Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI DI DAERAH TROPIS MELALUI PERSILANGAN SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DAN BOS INDICUS (Increased Milk Production through Crossbreeding Between Friesian Holstein and Bos Indicus in the Tropics) LISA PRAHARANI Balai Penelitian Ternak, Bogor ABSTRACT Demand for milk and milk products in Indonesia have been increasing tremendously in Indonesia, on the other hand, the increment in supply for milk has not met the demand. Therefore, milk importation tends to increase over years. Indigenous dairy breed in the tropics has been well-known as lower productivity than Bos taurus cows. Genetic improvement through selection and creating new breed suitable for tropical area by crossbreeding of Bos indicus and Bos taurus (Friesian Holstein) has been done in many countries. Generating Bos indicus x Bos Taurus crossbred need to be considered for dairy cattle development in tropic areas. Most literatures showed milk yield and reproductivity was dependent upon percentage of Bos Taurus inheritance. Rearing Bos indicus x Bos Taurus crossbred cows was more efficient than parental breeds in traditional management system. This paper is reviewing performance of Bos Taurus x Bos indicus in improving milk production in the tropics. Keywords: Dairy cattle, crossbreeding, tropic, milk production ABSTRAK Kebutuhan susu sapi di Indonesia mengalami peningkatan, di lain pihak peningkatan produksi susu belum dapat mengimbangi peningkatan permintaan susu sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan impor susu dari tahun ke tahun. Sapi perah lokal di daerah tropis adalah sapi Bos indicus mempunyai kemampuan produksi susu lebih rendah dibandingkan sapi Bos taurus. Peningkatan mutu genetik dapat dilakukan dengan dengan cara pembentukan sapi perah adaptif melalui seleksi maupun persilangan antara sapi perah Bos taurus (Fiesian Holstein) dan Bos indicus. Pembentukan sapi perah persilangan perlu dipertimbangkan sebagai upaya pengembangan sapi perah pada daerah dataran rendah. Dari berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa produksi dan reproduksi sapi persilangan FH dengan beberapa sapi Bos indicus dipengaruhi oleh proporsi gen FH. Sapi persilangan memiliki penampilan lebih tinggi dan lebih efisien pada pemeliharaan tradisional peternakan rakyat dibandingkan dengan sapi lokal Bos indicus. Makalah ini merupakan suatu tinjauan dalam pembentukan sapi perah persilangan untuk meningkatkan produksi susu khususnya di negara beriklim tropis. Kata kunci: Sapi perah, persilangan, tropis, produksi susu
PENDAHULUAN Permintaan susu dan produk susu dunia pada dua dekade ke depan diramalkan akan meningkat sebagai akibat dari pertambahan penduduk, urbanisasi dan pendapatan masyarakat (DELGADO et al., 2001 dan DE LEEUW et al., 1999). Permintaan susu di negara-negara berkembang meningkat tajam diperkirakan pertambahan sekitar 3% per tahun
(GRIFFIN, 1999). Selain itu pula, produksi susu dunia diramalkan akan meningkat dengan pertambahan 1% per tahun dengan pertambahan terbesar berasal dari negara berkembang (GRIFFIN, 1999). Ramalan pertambahan produksi susu di negara berkembang antara tahun 1997-2020 diperkirakan sekitar 2,73% (DELGADO et al., 2001). Sementara di Indonesia produksi susu belum mampu memenuhi permintaan susu
153
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
nasional, sehingga harus mengimpor susu sebesar 60-70%. Rendahnya ketersediaan susu ini akibat dari rendahnya produktivitas sapi perah di Indonesia yaitu bervariasi antara 3000 – 5200 liter per 305 hari laktasi (ANGGRAENI et al., 2001; TALIB et al., 2004) yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kualitas genetik ternak, umur beranak pertama, periode laktasi, frekwensi pemerahan, musim, masa kering sebelumnya, tatalaksana pakan dan kesehatan (SCHMIDT et al., 1988; TALIB et al.,2001). Peternakan sapi perah di daerah tropis yang berada diantara 30o Lintang Utara dan 30o Lintang Selatan berawal hanya pada daerah tertentu di dataran sedang sampai tinggi. Sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah jenis Holstein yang pada awalnya diimpor dari Belanda dan telah lama beradaptasi dengan kondisi lingkungan tropis basah Indonesia, yang mulanya hanya di dataran tinggi, tetapi kemudian berkembang ke daerah dataran rendah. Beberapa lokasi peternakan sapi perah yang berkembang di dataran rendah seperti di DKI Jakarta dan Pasuruan antara lain disebabkan oleh dekatnya lokasi peternakan dengan pasar (kota besar) sehingga memperpendek jalur tataniaga. Peternak biasanya menjual susu langsung kepada konsumen dengan harga lebih tinggi. Akan tetapi temperatur udara di dataran rendah lebih panas dibandingkan dengan dataran tinggi menyebabkan rendahnya produksi susu sapi, khususnya sapi perah asal Eropa (Bos taurus) akibat cekaman suhu udara. Penyediaan bibit unggul sapi perah yang cocok dengan kondisi dataran rendah dapat dilakukan melalui peningkatan mutu genetik sapi perah dengan cara persilangan sapi perah Frisian Holstein (FH) dengan sapi bangsa Bos indicus yang banyak dilakukan di berbagai negara seperti Brasil, Meksiko dan India. Sapi lokal Bos indicus sebagian besar terdapat di daerah tropis dikenal memiliki produktivitas inferior sehingga persilangan dengan sapi FH (Bos taurus) diharapkan dapat meningkatkan produksi susu sapi lokal, sehingga untuk memenuhi kebutuhan susu sapi, daerah tropis melakukan berbagai usaha meningkatkan produksi. Peningkatan produksi susu melalui persilangan di India dapat meningkatkan produksi susunya sebesar 4-6% per tahun, selama lebih dari 20 tahun (MCDOWELL, 1996),
154
Lebih dari 18 juta sapi perah di India merupakan sapi persilangan, sehingga menjadikan India salah satu negara dengan populasi persilangan sapi perah terbesar. Malaysia mendatangkan sapi Sahiwal dan Holstein dari Australia dan menyilangkan kedua bangsa sapi tersebut secara besarbesaran. Persilangan sapi perah di beberapa Negara Afrika seperti Ethiopia, Zimbabwe juga banyak dilakukan antara sapi lokal dan Holstein atau Jersey. Sementara di Amerika latin, persilangan sapi lokal Zebu (Bos indicus) atau Criollo (Bos taurus) dilakukan dengan tujuan untuk produksi susu dan daging (dwiguna). Laporan berbagai hasil penelitian persilangan sapi perah dalam bentuk ringkasan mengenai produksi, reproduksi dan efisiensi biologis dan ekonomis belum banyak diketahui. Makalah ini merupakan suatu tinjauan alternatif pembentukan sapi perah persilangan untuk pengembangan di daerah dataran rendah. Diharapkan makalah ini dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan pemuliaan sapi perah di Indonesia. Tulisan makalah ini adalah rangkuman dari berbagai hasil penelitian produksi susu sapi persilangan antara sapi Holstein dengan sapi Bos indicus. SISTEM PERKAWINAN SILANG Sistem persilangan ternak secara luas telah banyak dilakukan dan terbukti merupakan salah satu cara tercepat dalam meningkatkan produktivitas ternak. Beberapa keuntungan dalam sistem persilangan antara lain memperoleh keturunan yang memiliki kombinasi beberapa sifat keunggulan ekonomis tetuanya dan mendapatkan derajat heterosis baik yang berasal dari individu ternak, paternal maupun dari maternalnya yang merupakan perbedaan penampilan hasil persilangan terhadap rataan bangsa tetuanya. Sistem persilangan ternak dilakukan pula pada beberapa kasus dalam populasi tertentu sehingga persilangan bertujuan untuk menghilangan pengaruh tekanan inbreeding, yang biasanya menyebabkan penampilan inferior produktivitas ternak sapi lokal. Persilangan yang dilakukan pada umumnya bertujuan untuk membentuk bangsa sapi perah
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
persilangan yang berbeda proporsi gen Bos taurus. Meskipun demikian hasil persilangan turunan pertama F-1 memiliki performan produksi tertinggi diantara persilangan lainnya sebagai akibat pengaruh heterosis tertinggi pada F-1. Pengaruh heterosis menurun pada keturunan kedua (F-2) dan selanjutnya. Beberapa negara di daerah tropis telah mengembangkan bangsa komposit hasil persilangan dua atau lebih bangsa sapi yang berbeda namun demikian belum memiliki dampak produksi susu yang nyata bagi industri susu sapi (MCDOWELL et al., 1996). Pada dasarnya tujuan dari persilangan bangsa sapi Bos taurus dengan sapi Bos indicus adalah untuk menghasilkan ternak silangan. Diharapkan sapi silangan ini memiliki nilai genetik aditif sebesar ratan performan dari bangsa tetuanya. Pengaruh nonaditiv hasil persilangan yang atau heterosis merupakan nilai deviasi performan dari komponen aditive rataan bangsa tetuanya (KINGHORN, 2000), yang terjadi bila dua individu ternak memiliki hubungan kekerabatan yang jauh. PAYNE dan HODGES (1997) mengatakan bahwa heterosis meningkat pada persilangan antara individu dari bangsa berbeda yang memiliki perbedaan nilai gentiknya. BARLOW (1981) melaporkan bahwa nilai hybrid vigor tersebut menjadi lebih besar bila ternak berada dalam cekaman lingkungan. Pengaruh heterosis terdiri atas pengaruh individual heterosis, paternal dan maternal heterosis. Individual heterosis adalah hybrid vigor langsung (direct component) yang merupakan fungsi kombinasi gen pada indivdu ternak tersebut. Pengaruh heterosis diekspresikan melalui performan individu ternak silangan melebihi rataan kedua tetua bangsa murni. Besarnya persentase heterosis individu berbeda antara sifat ekonomis, dan sifat reproduksi umumnya lebih tinggi nilai heterosisnya dibandingkan dengan produksi susu dan pertumbuhan. Pengaruh heterosis maternal dan paternal merupakan fungsi kombinasi gen yang berasal dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu pengaruh heterosis ini tergantung pada kombinasi gen induk dan pejantannya. Pengaruh heterosis maternal yang biasa diamati pada ternak betina hasil persilangan antara lain persentase beranak atau fertilitas, daya hidup anak dan produksi susu. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pengaruh
heterosis maternal ternak betina persilangan Bos indicus x Bos taurus lebih tinggi dibandingkan persilangan Bos taurus x Bos taurus. Persilangan Bos indicus x Bos taurus misalnya, menunjukan superioritas dibandingkan persilangan sesama Bos taurus disebabkan keragaman genetik diantara kedua bangsa yang berbeda dibandingkan keragaman di dalam kedua bangsa tersebut (MCDOWELL et al., 1996). Pengaruh heterosis antara sifat berbeda, seperti yang disajikan pada Tabel 1 terlihat pada umur beranak pertama, calving interval sesudah beranak pertama dan produksi susu meskipun secara umum dibawah 5% pada F-1 (keturunan pertama hasil persilangan). MENZI et al., (1981) melaporkan heterosis efek hasil persilangan F-1 antara sapi Brown Swiss dan Sahiwal untuk produksi susu dua kali lipat dibandingkan tetuanya (Sahiwal) dan lebih tinggi dibandingkan Brown Swiss, masingmasing sebesar 1515 kg (Sahiwal), 2706 kg (Brown Swiss) dan 3190 kg (F-1). Tabel 1. Pengaruh heterosis (F-1) pada beberapa sifat produksi dan reproduksi sapi persilangan Bos indicus x Bos taurus Sifat Heterosis (%) Umur beranak pertama, hari -1.68 Produksi susu laktasi pertama, kg 3.18 Lama laktasi pertama, hari -0.04 Calving interval pertama, hari -1.19 Sumber: TANEJA dan BHAT (1978)
Komplementaritas bangsa berbeda yang memiliki keunggulan sifat ekonomi tertentu terdapat pada hasil persilangan yang diperoleh dengan menyilangkan ternak-ternak pejantan dan betina yang mempunyai pengaruh paternal dan maternal yang kuat terhadap suatu sifat. Persilangan ini akan menghasilkan keturunan yang mewarisi karakteristik sifat ekonomi yang superior dari tetua pejantannya dan memperoleh lingkungan maternal yang baik dari induknya. Komplementaritas merupakan pengaruh kombinasi dari beberapa sifat dibawah pengaruh gen aditif berasal dari superioritas bangsa pejantan yang diwariskan kepada keturunannya. Oleh karena itu komplementaritas sangat tergantung pada superioritas bangsa tetua terhadap suatu sifat.
155
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Dalam sistem persilangan, pemilihan dan penetapan bangsa sapi yang akan disilangkan merupakan hal penting mengingat setiap bangsa sapi memiliki keunggulan suatu sifat tertentu. Oleh karena itu informasi superioritas setiap bangsa pada sifat tertentu perlu diketahui guna menghasilkan persilangan yang memiliki produktivitas tinggi sekaligus daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Sapi Bos taurus dari daerah temperate terkenal memiliki sifat reproduktivitas seperti fertilitas, produksi susu, pertumbuhan dan kualitas karkas yang baik, sementara sapi Bos indicus daerah tropis umumnya memiliki performans reproduksi lebih rendah, tetapi mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan ekstrim tropis. KARAKTERISTIK SAPI PERAH BOS TAURUS DAN BOS INDICUS Pada umumnya sapi lokal yang dipelihara di daerah tropis adalah jenis Bos indicus yang diketahui memiliki produktivitas rendah dan reproduktivitas rendah, tetapi kemampuan adaptasinya terhadap kondisi lingkungan ekstrim sangat tinggi antara lain tahan terhadap ektoparasit, serta efisien dalam mencerna pakan serat kasar tinggi. Dari sepuluh sapi perah lokal bangsa Zebu (Bos indicus) seperti Sahiwal, Red Sindhi dan Zebu di daerah asalnya India memiliki kemampuan produksi sebesar 1057 kg per laktasi, dengan rataan produksi 752 kg per tahun, umur beranak pertama 48 bulan, masa kering 225 hari, jarak beranak 521 hari (MCDOWELL, 1996). Sedangkan di Indonesia sapi Bos indicus yang memiliki populasi terbesar adalah sapi Peranakan Ongole (DITJENNAK, 2005). Meskipun sapi PO merupakan sapi pedaging, di beberapa daerah di Indonesia sapi PO diperah untuk menghasilkan susu, meskipun produksi susunya hanya sekitar 4-6 liter per hari (personal komunikasi). Sementara produksi susu sapi FH di dataran rendah berkisar 8-10 liter per hari. Di India, sapi Ongole memiliki peranan penting dalam industri susu. Sapi perah Bos taurus yang terkenal adalah jenis sapi Friesian Holstein yang berasal dari Eropa (Belanda) memiliki kemampuan produksi dan reproduksi yang tinggi. Pada pemeliharaan di daerah temperate produksi
156
susu sapi FH dapat mencapai lebih dari 7500 kg per laktasi. Tetapi pada pemeliharaan di daerah tropis mengalami cekaman lingkungan panas sehingga produktifitas dan reproduktifitasnya lebih rendah dan tidak dapat menampilkan potensi genetik yang sesungguhnya. Hal yang sama juga banyak terjadi pada sejumlah negara tropis yang mengembangkan budidaya rumpun sapi perah temperate di sejumlah negara Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan rataan produksi susu berkisar dari 2207–4739 kg/lkt (ANGGRAENI, 2006). Meskipun demikian, terjadi peningkatan produksi pada sapi FH yang dipelihara pada manajemen intensif di wilayah dataran tinggi pulau Jawa. Rataan produksi susu sapi FH di BPTU Baturraden dan beberapa perusahaan swasta di Jawa Barat mencapai sekitar 3500– 4750 kg/laktasi. Akan tetapi pada kondisi dataran rendah menyebabkan turunnya produksi susu sapi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa produksi susu sapi di daerah dataran rendah berkisar 1500–4500 kg per laktasi. Oleh karena itu introduksi ternak eksotik untuk program persilangan dengan sapi lokal diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak lokal. Introduksi sapi perah bangsa Bos taurus di daerah tropis telah dilakukan berabad-abad lalu bertujuan memperbaiki genetik sapi lokal dengan cara persilangan guna meningkatkan produksi susu pada daerah tersebut. PERSILANGAN BOS TAURUS X BOS INDICUS Pemanfaatan sapi perah dari daerah dingin (temperate) dengan sapi lokal dilakukan secara luas dengan tujuan memadukan performan superior sapi Bos taurus dengan adaptasi superior dari sapi lokal (PETERS, 1991). Menurut CUNNINGHAM (1991), persilangan antara sapi bangsa Bos taurus dan sapi lokal Bos indicus di daerah tropis memadukan kemampuan produksi susu sapi Bos taurus dari daerah temperate dengan sapi Bos indicus yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Akan tetapi PETERS (1991) melaporkan proporsi kemampuan genetik performan dan daya adaptasi ditentukan oleh proporsi darah sapi eksotik (Bos taurus), sehingga berbagai
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
penelitian mencari proporsi darah terbaik untuk mendapatkan produksi yang optimum. Pembentukan sapi perah dataran rendah (tropis) melalui persilangan dilakukan berdasarkan asumsi sapi persilangan lebih efisien secara biologis. HOFMANN et al. (1990) melaporkan bahwa persilangan (dual purpose) sistem memberikan keruntungan lebih besar dibandingkan sapi FH murni yang dipelihara pada kondisi tropis di Venezuela. Demikian pula MUREDA et al., (2007) mengatakan bahwa persilangan FH dan Zebu lebih efisien secara biologis dalam penggunaan pakan terhadap reproduksi pada kondisi dataran rendah di Ethiopia.Untuk mendapatkan produksi susu yang baik sesuai menurut TEJA (1990) menyarankan persilangan sapi FH dan Bos indicus diarahkan pada pembentukan sapi dengan proporsi darah 5/8 FH dan 3/8 Bos indicus. Seperti halnya MATHARU dan GILL (1981) membuktikan bahwa produksi susu terbaik pada sapi genotipa 5/8 FH. Beberapa penelitian persilangan sapi perah FH dengan beberapa sapi Bos indicus (BI) seperti Sahiwal, Gyr, Ongole, Red Sindhi, Hissar telah banyak dilakukan di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Persilangan sapi FH x Bos indicus bertujuan pembentukan bangsa baru dengan proporsi darah yang berbeda menghasilkan keturunan dengan proporsi darah 25% FH 75% BI; 32,5% FH 67,5% BI; 50% FH 50% BI; 67,5% FH 32,5% BI dan 75% FH 25% BI. Penampilan produksi dan reproduksi dari masing-masing kelompok genotip berbeda. Pada umumnya, persilangan induk Bos indicus dengan pejantan FH menghasilkan performan produksi hasil persilangan yang baik, tetapi tidak dianjurkan mengawinkan backcross dengan pejantan FH, menurut CUNNINGHAM (1991) rendahnya performan F2 disebabkan adanya penghambatan gen-gen epistasi tetuanya. Berbagai penelitian lain melaporkan bahwa perfoman sapi persilangan meningkat sampai 50% gen Bos taurus. CUNNINGHAM dan SYRSTAD (1988) menganalisa 46 data set dari beberapa negara tropis dan menyimpulkan bahwa adanya peningkatan secara linear terhadap produksi susu, umur beranak pertama dan jarak beranak sapi persilangan F1 dan F-2 yang memiliki gen Bos taurus sampai 50%. Sedangkan VACCARO (1990) menyimpulkan bahwa grading up mempunyai pengaruh
negative terhadap umur beranak pertama, jarak beranak dan kemampuan daya hidup dan umur produktif sapi. MADALENA (1993) melaporkan performan akan menurun pada persilangan sapi FH dengan Bos indicus pada gen FH lebih tinggi atau lebih rendah dari 50%. Secara umum, produktivitas dan reproduktivitas sapi genotypa Bos taurus sampai 75% baik, dan re-produktivitas meningkat dengan meningkatnya gen Bos taurus. Akan tetapi menurut BEE (2006) yang melaporkan peningkatan gen Bos taurus diatas 75% dan mendekati 100%, mortalitas meningkat dan fertilitas menurun akibat cekaman lingkungan panas. Demikian juga MSANGA et al. (2000) hanya menganjurkan penggunaan gen Bos taurus sampai level medium untuk memperoleh hasil optimum beberapa sifat seperti fertilitas, daya hidup (survivabilitas), produksi susu dan pertumbuhan. Persilangan antara sapi perah Bos taurus dan Bos indicus di Indonesia belum banyak dilakukan sehingga laporan performan hasil persilangan belum lengkap dilaporkan. Begitu pula informasi efisiensi produksi susu persilangan FH dan Bos indicus belum banyak dilaporkan, meskipun adanya pendugaan produksi susu sapi persilangan FH dan Bos indicus lebih efisien mengingat keunggulan biologis sapi Bos indicus terhadap iklim panas. SIREGAR et al. (2000) melaporkan bahwa produksi susu harian persilangan antara sapi FH dan Hissar (Bos indicus) di Sumatera Utara cukup baik, meskipun belum secara rinci dan lengkap dilaporkan. Balai Penelitian Ternak melakukan persilangan antara sapi perah betina dengan sapi Peranakan Ongole (PO) dengan tujuan memperoleh sapi perah yang efisien dan cocok untuk dikembangkan di daerah tropis ekstrim seperti dataran rendah. Hasil penelitian awal yang dilakukan di Balitnak menunjukan bahwa performa anak sapi persilangan HO (Holstein Ongole) cukup baik. Rataan bobot lahir pedet HO sebesar 28 ± 3 kg bila dibandingkan dengan FH murni di dataran rendah sebesar 32 kg, sedangkan bobot lahir sapi Ongole sebesar 22 kg yang berarti terjadi peningkatan (heterosis) sebesar 3,6% (SIREGAR et al., 2007). Performa pertumbuhan dari umur sapih sampai umur setahun sapi HO yang dipelihara di stasiun Balitnak, Cicadas sebesar 0,3
157
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
kg/hari. Sementara performa produktivitas dan reproduktivitas sapi dara HO umur setahun sampai umur dewasa belum tersedia. Oleh karena itu masih dilakukan penelitian lanjutan guna memperoleh informasi awal kinerja sapi OH sebagai tahap awal dalam pembentukan sapi perah 5/8 FH dan 3/8 PO. Pengaruh interaksi antara lingkungan dan gen Bos Taurus terhadap performan sangat besar. Meskipun BEE et al. (206) melaporkan tidak ada perbedaan produksi susu antara sapi dengan genotip Bos Taurus yang berbeda dipelihara pada kondisi lingkungan manajemen pemberian pakan dan suhu udara yang berbeda. KIWUWA (1983) melaporkan bahwa produksi susu sapi genotip 50% Bos taurus lebih tinggi dibandingkan sapi persilangan genotypa lainnya (> 50% Bos taurus) pada kondisi sistem pemeliharaan tradisional dimana kualitas dan kuantitas pakan rendah. Akan tetapi pada kondisi cukup pakan, sapi persilangan genotip Bos taurus > 50% menghasilkan susu lebih dari 1000 kg lebih tinggi dibandingkan sapi genotip Bos taurus 50%. PRODUKSI SUSU SAPI PERSILANGAN FRISIAN HOLSTEIN X BOS INDICUS Produksi susu harian sapi persilangan Bos taurus dan Bos indicus berkisar antara 4,5 – 7 kg per hari dipengaruhi oleh gen Bos taurus, meskipun beberapa laporan mengatakan genotypa Bos taurus lebih dari 50% tidak mempengaruhi produksi susu hariannya. BEE et al., (2006) melaporkan produksi susu harian sapi genotip Bos taurus 50%, 62%, 75% dan > 75% berturut-turut 6,0; 6,8; 7,0 dan 6,9 kg. DHILLON dan JAIN (1977) menghitung produksi susu harian sapi persilangan FH x Sahiwal yang memiliki genotip Sahiwal, ¼ HF; ½ HF; 5/8 HF, dan ¾ HF masing-masing 4,52, 5,11, 6,40, 6,58, dan 5,98 kg, dimana produksi harian sapi genotip ½ HF; 5/8 HF; dan ¾ HF dilaporkan tidak berbeda nyata. Hal yang sama dilaporkan oleh ZAMBRANO et al. (2006) bahwa sapi genotipa 1/4FH dan 1/2FH tidak berbeda produksi susunya pada kondisi tropis Venezuela. Pada Tabel 2 menunjukan produksi susu dari berbagai hasil penelitian di beberapa
158
negara berbeda. Secara umum ditunjukan bahwa produksi susu sapi lokal (Bos indicus) lebih rendah dibandingkan sapi FH meskipun produksi susu sapi FH tersebut belum merupakan kemampuan genetiknya akibat pengaruh cekaman lingkungan. Sedangkan, produksi susu sapi FH murni lebih rendah dibandingkan persilangannya dengan sapi lokal, tetapi lebih tinggi dibandingkan sapi lokal (Bos indicus), dimana sapi genotip 1/2FH dan 3/4FH lebih superior. Beberapa hasil penelitian pengaruh proporsi gen Bos taurus dan Bos indicus terhadap produksi susu telah banyak dilaporkan. FADHELMOULA et al. (2007) melaporkan bahwa produksi susu meningkat dengan meningkatnya proporsi darah FH sampai 75% pada management standard. Sedangkan ALI (1988) melaporkan bahwa proporsi darah 50% FH adalah yang terbaik untuk kondisi daerah tropis. Pendapat lain dari FREITAS et al. (1998) menganjurkan bahwa sebaiknya dilakukan up grading sapi indicus lokal. Sedangkan persilangan yang dilakukan oleh ABDINASIR (2000) di Etiopia antara sapi FH dengan sapi Arsi antara 25–62,5% lebih rendah produksi susunya (1547 kg) dibandingkan sapi dengan gen Arsi lebih dari 62,5–75% (2924 kg). Menurut KIWUWA (1983) sapi lokal memiliki produksi susu yang lebih rendah dan lebih singkat lama produksinya dibandingkan persilangan F1. Sedangkan persilangan 50% FH 50% Zebu, 50% FH 50% Arsi dan 75% FH 25% Zebu lebih tinggi produksi susunya dan tidak berbeda antara genotype FH yang berbeda. Umumnya produksi susu sapi persilangan Bos indicus dan Bos taurus lebih tinggi dari rataan tetuanya akibat pengaruh heterosis. Penampilan produksi sapi persilangan F-1 lokal x FH atau Jersey menghasilkan produksi susu 265% lebih tinggi, lama kebuntingan 32% lebih pendek, jarak beranak 30% lebih pendek, masa kering berkurang 234% (MCDOWELL, 1996). Pada peternakan di pedesaan, sapi persilangan menghasilkan susu 300% dibandingkan sapi lokal, tetapi pemeliharaan pada lembaga penelitian hanya sekitar 200% dari sapi lokal. Produksi susu sapi genotype 5/8FH dan 3/4FH dengan sapi lokal mencapai 5000 kg per laktasi.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 2. Produksi susu (300 hari, kg) sapi persilangan FH dan Bos indicus genotypa berbeda1 Jenis sapi 0FH 1/8FH Sahiwal 2040 Jenubi 1943 Zebu Arsi 809 Gyr Ongole Zebu
1/4FH 3/8FH 1/2FH 1989 2097 2755 3070 1979 2078 2150 1977 2471 1202 1158 2261
5/8FH 3/4FH FH 2604 2643 2844 3565 3144 2259 1863 2193 2374 2318 2347 1898 1303 1368 3060 2287 3444
Sumber India (RAO dan TANEJA, 1980) Irak (AL-RAWI dan SAID, 1980) Sudan (OSMAN dan RUSSELL, 1974) Ethiopia (KIWUWA et al., 1983) Brazil (MAGDALENA, 1982) Brazil (FREITAS et al., 1980) Cuba (PRADA, 1979)
Sumber: 1FAO (1989)
PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERSILANGAN Umumnya literatur melaporkan umur beranak pertama sapi Zebu lebih panjang dibandingkan sapi Holstein, dan sapi persilangan (Holstein x Zebu) berada diantaranya (YOSEPH et al., 2006). Demikian pula jarak antara beranak dan kawin pertama sampai bunting atau jarak beranaknya, meskipun dipengaruhi oleh sistem managemen peternakan. MUREDA et al. (2007) melaporkan adanya interaksi antara genotypa sapi persilangan dengan sistem managemen ternak. Ternak persilangan FH x Zebu yang dipelihara pada kondisi sistem pemeliharaan tradisional lebih pendek jarak beranaknya dibandingkan ternak FH dan Zebu (tetuanya) yang menunjukan adanya pengaruh heterosis dan kombinasi keunggulan sifat fertilitas (FH) dan daya adaptasi (Zebu).
Pada Tabel 3 menampilkan performan reproduksi sapi persilangan Holstein (H) dengan Bos indicus pada beberapa genotypa berbeda. Secara umum, umur beranak, jarak beranak dan mortalitas dipengaruhi oleh proporsi gen Bos taurus. Dengan meningkatnya proporsi gen Bos taurus umur beranak pertama semakin pendek, sedangkan jarak beranak tidak menurun secara linear dengan meningkatnya proporsi gen FH. Mortalitas dipengaruhi oleh proporsi gen FH, dimana sapi genotipa 3/8FH 5/8BI memiliki daya hidup lebih tinggi sebagai akibat kontribusi daya adaptasi yang tinggi berasal dari gen BI. Sapi lokal Bos indicus memiliki jarak beranak, umur beranak lebih tinggi dibandingkan sapi persilangan menunjukan adanya peningkatan reproduksi performan melalui perkawinan silang.
Tabel 3. Penampilan reproduksi sapi persilangan FH dan beberapa sapi Bos indicus Sifat Umur beranak I (bulan) Jarak beranak (hari) Mortalitas (ekor) Umur beranak I (bulan) Jarak beranak (hari) Umur beranak I (bulan) Jarak beranak (hari)
Jenis sapi Sahiwal (MCDOWELL, 1996) Arsi (KIWUWA, 1983) Zebu (KIWUWA, 1983)
EFISIENSI SAPI PERSILANGAN PERSILANGAN Penelitian yang dilakukan oleh MADALENA et al. (1993) mengevaluasi efisiensi sapi persilangan FH dengan Zebu menghasilkan beberapa sapi persilangan dengan genotip FH yang berbeda pada manajemen lingkungan
OH 43,9 466 26,4 34,4
1/4H 34,7 456 22,4 393 394
3/8H 33,5 395 17,7
1/2H 32,3 427 18,6 33,9 427 34,8 458
5/8H 33,5 462 18,2 31,3 425 32,4 427
3/4H 30,5 461 20,4 33,7 464 33,6 475
yang baik (HML = High Management Level) dan kurang (LML = Low Management Level). Keturunan pertama (F-1) pada kedua level manajemen menunjukkan performan reproduksi dan produksi lebih baik dibandingkan grup genotip lain. Sedangkan umur produksi grup genotip ¼ dan 5/8 lebih pendek dan menghasilkan produksi susu lebih rendah pada
159
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
manajemen lingkungan yang baik (HML), sehingga menghasilkan keuntungan yang negatif. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa 5/8 HF mempunyai efisiensi lebih rendah, sehingga persilangan tidak dianjurkan menghasilkan persilangan dengan proporsi gen FH diatas 50%. Penelitian lain di Venezuela yang dilakukan oleh HOFFMANN et al. (1990) melaporkan sapi persilangan dwiguna persilangan Holstein dan Zebu dengan proporsi darah <50% FH dan >50% FH serta sapi perah murni FH pada dua lokasi lingkungan yang berbeda yaitu dataran rendah dan tinggi. Pemeliharaan pada dataran rendah dimana cekaman lingkungan lebih besar, sapi dwiguna (persilangan) baik yang memiliki gen <50% FH maupun >50% FH lebih efisien dan menguntungan dibandingkan sapi perah murni disebabkan oleh rendahnya biaya produksi. Rasio produksi susu dan pakan konsentrat pada sapi perah FH murni di dataran tinggi, sapi dwiguna (>50% gen FH) di dataran rendah basah dan kering, serta sapi persilangan dwiguna (<50% gen FH) berturut-turut adalah 5:1, 16:1, 5:1, 15:1 dan 16:1. Demikian juga biaya variabel sapi perah murni FH lebih tinggi dibandingkan sapi dwiguna persilangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan sapi persilangan dwiguna di dataran rendah lebih menguntungan dibandingkan pemeliharaan sapi FH murni di daerah dataran tinggi. KESIMPULAN Dari berbagai hasil penelitian diatas memperlihatkan bahwa produksi dan reproduksi sapi lokal tropis (Bos indicus) dapat ditingkatkan melalui persilangan dengan Bos taurus (Holstein). Penampilan produksi, reproduksi dan efisiensi sapi persilangan FH dengan berbagai sapi Bos indicus dipengaruhi oleh proporsi gen FH, dimana sapi persilangan memiliki penampilan lebih tinggi dan lebih efisien. Adanya interaksi antara genotypa sapi persilangan dengan lingkungan manajemen sehingga proporsi gen Bos taurus sangat tergantung pada sistem pemeliharaan. Pada pemeliharaan tradisional peternakan rakyat sapi persilangan lebih baik dibandingkan dengan tetuanya sebagai akibat pengaruh
160
heterosis. Selain itu sapi persilangan pada kondisi tropis lebih efisien dan menguntungkan dibandingan sapi murni Holstein. DAFTAR PUSTAKA ABDINASIR, I. B. 2006. Smallholder dairy production and dairy technology adoption in the mixed farming system in Arsi highland, Ethiopia. PhD thesis. Humboldt University of Berlin, Department of Animal Breeding in the Tropics and Subtropics. Germany. ALI, T.E., F.A. AHMED and Y.A. OMBABI. 1988. Productivity of crossbred Zebu cattle with different levels of Friesian blood. Sudan J. Anim. Prod. 1(2): 69-79. ANGGRAENI,A., K. DIWYANTO, L. PRAHARANI, A. SALEH dan C. TALIB. 2001. Evaluasi mutu genetik sapi perah induk Fries Holland di daerah sentra produksi susu. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek “Rekayasa Teknologi Pertanian/ARMP-II”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. BARLOW, R. 1981. Experimental evidence for interaction between heterosis and environment in animals. Anim. Breed. Abstract., 49(11), 715-737. BEE J K A, Y N MSANGA and P Y KAVANA. 2006. Lactation yield of crossbred dairy cattle under farmer management in Eastern coast of Tanzania. Livestock Research for Rural Development 18 (2). CUNNINGHAM, E. P. 1991. Breeding programs for improved dairy production in tropical climates. In: Animal Husbandry in Warm Climates. Proceedings of the International Symposium on Animal Husbandry in Warm Climates. EAAP publication, no. 55, 25-27 October 1990, Viterbo, Italy. DE LEEUW, P. N., OMORE, A., STAAL, S. and THORPE, W. 1999. Dairy production system in the tropics. In: Smallholder Dairy in the Tropics. ILRI. Kenya. DELGADO, C. L., ROSEGRANT, M. W. and MEIJER, S. 2001. Livestock to 2020: The revolutioncontinues. Paper presented at the annual meetings of the International Agricultural Trade Research Consortium (IATRC). January 18-19, 2001, Auckland, New Zealand. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan 2006. Dirjen Peternakan. Jakarta
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
FADLELMOULA, A.A., A.M. ABU NEKHEILA, and I.A.YOUSIF. 2007. Lactation performance of crossbred dairy cows in the Sudan. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 3(5): 389-393
NKHONJERA L P. 1986. Evaluation of the productivity of crossbred dairy cattle on smallholder and government farms in the Republic of Malawi. ILCA Research Report No.12.
GRIFFIN, M. 1999. Outlook for the dairy sector to the year 2005. Paper presented at The International Symposium on International Prospect for Dairying in the Next WTO Negotiating Round, 3-4 June, 1999, Buenos Aires, Argentina.
PAYNE, W. J. A. and HODGES, J. 1997. Tropical cattle: origins, breeds and breeding policies. First edition. Blackwell Science. 319 pp.
HOLMANN, F., R. W. BLAKE! M. V. HAHN, R. BARKER, R. A. MILLIGAN, P. A. OLTENACU and T. L. STANTON. 1990. Comparative profitability of purebred and crossbred. Holstein Herds in Venezuela. J Dairy Sci 73:219-2205 KINGHORN, B. 2000. Nucleus breeding schemes. In: Animal Breeding: Use of new technologies. pp. 151-158. KIWUWA, G. H., TRAIL, J. C. M., KURTU, Y. M., GETACHEW, W., ANDERSON, F. M. and DURKIN, J. 1983. Crossbred dairy cattle productivity in arsi region, Ethiopia. Arsi Rural Development Unit and International Livestock Research Center for Africa, Addis Ababa, Ethiopia. MADALENA, F. E. 1993. A simple scheme to utilize heterosis in tropical dairy cattle. World Animal Review-74-75-1993/1-2. MATHARU, R.S. and GILL, G.S. 1981. Evaluation of different grades of Holstein-Friesian × Sahiwal crosses on the basis of lifetime production and reproduction efficiency. Indian J. Dairy Sci. 24, 16–20. MCDOWEL, R.E., J.C. WILK AND C.W. TALBOT. 1996. Economic viability of crosses of Bos taurus and Bos indicus for dairying in warm climates. J Dairy Sci 79:12%-1303. MENZI, M., KROPF, W. and VON SIEBENTHAL, W. 1982. An exotic cattle population under a tropical environment. Wld Anim. Rev. 44, 24– 29. MSANGA Y N, BRYANT M J, RUTAM I B, MINJA F N and ZYLSTRA L. 2000. Effect of Environmental factors and the proportion of Holstein blood on milk yield and lactation length of crossbred dairy cattle on smallholder farms in northeast Tanzania. Tropical Animal health and Production 32 (1): 23 - 31 MUREDA, E. and Z. M. ZELEKE. 2007. Reproductive performance of crossbred dairy cows in eastern lowlands of Ethiopia. Livestock Research for Rural Development 19 (11).
PETERS, K. J. 1991. Selection and breeding strategies for production in warm climates. In: Animal Husbandry in Warm Climates. Proceedings of the International Symposium on Animal Husbandry in Warm Climates. EAAP publication no. 55,25-27 October 1990, Viterbo, Italy. SIREGAR, A.R. C. TALIB, J. BESTARI, KUSWANDI, dan HASTONO. 2007. Persilangan dan seleksi untuk mendapatkan bibit unggul sapi perah dataran rendah. Kumpulan Hasil Penelitian Dipa TA 2006. Balai Penelitian Ternak. Bogor. TANEJA, V.K. and BHAT, P.N. 1978. Additive and non-additive genetic effects for various economic traits among Sahiwal and Sahiwal × Holstein cross-bred grades. Indian J. Anim. Sc:.48 (12), 845–852. TALIB, C., A. ANGGRAENI, K. DIWYANTO dan E. KURNIATIN. 2001. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah FH di bawah managemen perusahaan komersial. Gakuryoku, Jurnal Ilmiah Pertanian. Vol: VII: 1: 81-87. Persatuan Alumni dari Jepang, Bogor. TALIB, C., KUSWANDI, T. SUGIARTI, BASUKI and A.R. SIREGAR. 2004. Performance production of lactating Indonesian Holstein cows based on the month of lactating periods. Unpublished. VACCARO, L. P. 1990. Survival of European dairy breeds and their crosses with zebus in the tropics. Animal Breeding Abstracts, Vol. 58, No. 6: 475-494. YOSEPH S, TENHAGEN B A, MERGA B and TESFU K. 2003. Reproductive performance of crossbred dairy cows managed under different production systems in central highlands of Ethiopia. Journal of Tropical Animal Health and Production, 35 (6): 551-561 ZAMBRANO, S., G. CONTRERAS, M. PIRELA, H. CAÑAS, T. OLSON and A. LANDAETAHERNÁNDEZ. 2006. Milk yield and reproductive performance of crossbred Holstein x Criollo Limonero cows. Rev. Cient. (Maracaibo) vol.16 no.2.
161