Analisis Kelayakan Pola Bagi Hasil Usahaternak Sapi Perah Rakyat Arya Nugraha, Anita Fitriani, Dadi Suryadi Jurusan Sosial Ekonomi Peternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 45363 e-mail:
[email protected] Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang pada bulan Maret 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sensus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pola bagi hasil di desa Haurngombong dari 6 sumber modal bagi hasil membentuk 3 pola, yaitu: Pola I (PPK IPM) dengan B/C= 1,14, Pola II (BLM) dengan B/C= 1,01, dan Pola III, (koperasi, SMD, YCK, individu) dengan B/C= 1,09. Hasil analisis data juga menunjukan bahwa pola bagi hasil yang dijalankan peternak pada masingmasing sumber modal menghasilkan B/C sebesar: 1,14 pada PPK IPM, 1,01 pada BLM, 1,19 pada koperasi, 0,99 pada SMD, 1,05 pada YCK, dan 1,14 pada individu. Berdasarkan nilai B/C, pola bagi hasil yang paling layak untuk dikembangkan adalah pola bagi hasil I, sedangkan jika dilihat dari masing-masing sumber modal, kerjasama bagi hasil yang paling layak untuk dikembangkan adalah kerjasama bagi hasil dengan sumber modal dari koperasi. Kata kunci: sapi perah, bagi hasil, B/C PENDAHULUAN Peningkatan konsumsi susu nasional terus mengalami peningkatan. Konsumsi susu masyarakat Indonesia meningkat dari 888.758 ton pada tahun 2001 menjadi 1.758.243 ton pada tahun 2007. Akan tetapi, peningkatan konsumsi susu nasional tersebut tidak sejalan dengan peningkatan produksi susu nasional. Produksi susu nasional pada tahun 2001 adalah sebesar 479.947 ton dari populasi 347.000 ekor dan meningkat menjadi 567.682 ton dari pada tahun 2007 dari populasi 374.000 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2012). Hal ini disebabkan keterbatasan modal yang dimiliki oleh peternak rakyat, terutama untuk pengadaan ternak sapi perah, sehingga mendorong peternak rakyat untuk mencari tambahan modal dari luar, salah satu alternatifnya adalah dengan pola bagi hasil. Bagi hasil atau sering disebut juga kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu
untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah, 1999). Desa Haurngombong merupakan desa pengembangan usaha peternakan sapi perah. Peternak sapi perah di desa ini terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok Harapan Jaya, Harapan Sawargi, dan Wargi Saluyu. Pola bagi hasil yang terdapat di ketiga kelompok di desa Haurngombong cukup beragam tergantung dari sumber modal bagi hasil tersebut. Sumber modal bagi hasil tersebut diantaranya berasal dari Program Pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Masyarakat (PPK IPM), Program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), koperasi, Program Sarjana Membangun Desa (SMD), Yayasan Cahaya Keluarga (YCK), dan individu. Sumber-sumber dana ini memiliki pola bagi hasil tersendiri baik dari hasil penjualan susu, pedet, hingga penjualan sapi afkirnya. Namun peternak merasa bahwa sistem ini belum berjalan secara proporsional, dari hasil observasi awal peternak merasa bahwa yang mereka kerjakan atau keluarkan tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Mengingat belum adanya data fakta yang akurat mengenai hal ini, maka penelitian tentang hal ini diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: pola bagi hasil usaha yang terdapat di desa Haurngombong berdasarkan sumber-sumber modal, kelayakan pola bagi hasil usahaternak sapi perah rakyat di desa Haurngombong, bentuk pola bagi hasil usahaternak sapi perah rakyat mana yang paling layak untuk dikembangkan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari, Sumedang yaitu di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Penentuan lokasi dipilih secara sengaja (purposive). Metode penelitian yang digunakan adalah metode sensus. Sensus adalah penelitian yang dilakukan terhadap seluruh anggota populasi (Santoso, 2004). Responden berjumlah 69 peternak yang terbagi atas: PPK IPM 29 orang, BLM 17 orang, koperasi 9 orang, SMD 5 orang, YCK 6 orang, dan individu 3 orang. Data yang diambil terdiri dari data primer (hasil wawancara) dan data sekunder (dari KSU Tandangsari, ketua kelompok, Ditjennak, Disperindag-Jabar).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Bagi Hasil Berdasarkan Sumber-Sumber Modal Tabel 1. Kesepakatan Bagi Hasil Pada Masing-Masing Sumber Modal Bagi Hasil Sumber Dana PPK IPM BLM Koperasi SMD YCK Individu
Susu Pedet Induk Afkir Peternak Investor Peternak Investor Peternak Investor ------------------------------------%-----------------------------------100% - 0,5 0,5 50 50 25 75 lt/ek/hr lt/ek/hr 100 60 40 100 100 50 50 100 100 50 50 100 100 50 50 100 100 50 50 100
Tabel 1 menunjukan bahwa pada PPK IPM, susu yang dihasilkan seluruhnya menjadi milik peternak, namun peternak wajib menghibahkan susu sebanyak 0,5 liter per hari dari setiap ekor sapi laktasi yang dibagi hasilkan. Dari hasil penjualan pedet peternak mendapatkan bagian sebesar 50% dari hasil penjualan dan 25% dari hasil penjualan induk afkir. Pada BLM, seluruh susu hasil produksi menjadi milik peternak, dari penjualan pedet peternak mendapatkan bagian sebesar 60%, namun tidak mendapat bagian dari hasil penjualan sapi afkir. Aturan bagi hasil yang diberlakukan koperasi, SMD, YCK dan individu adalah 100% produksi susu yang dihasilkan sapi bagi hasil seluruhnya adalah hak peternak, dari penjualan pedet peternak mendapatkan bagian sebesar 50% dari hasil penjualan, sedangkan dari penjualan induk afkir peternak tidak mendapatkan bagian. Aturan bagi hasil pada 6 sumber modal ini membentuk 3 pola, berikut tabel pola bagi hasil di desa Haurngombong berdasarkan sumber-sumber modal:
Tabel 2. Pola Bagi Hasil di Desa Haurngombong Susu Pedet Induk Afkir Pola Bagi Hasil Peternak Investor Peternak Investor Peternak Investor ------------------------------------%-----------------------------------100%- 0,5 0,5 Pola I 50 50 25 75 lt/ek/hr lt/ekor/hr Pola II 100 60 40 100 Pola III 100 50 50 100 Ket: Pola I (PPK IPM) Pola II (BLM) Pola III (koperasi, SMD, YCK, individu)
Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan secara finansial layak atau tidak untuk dijalankan. Analisis finansial merupakan analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut yang bersifat individual artinya tidak perlu diperhatikan apakah efek atau dampak dalam perekonomian dalam lingkup yang lebih luas (Kadariah, 1999). Indikator kelayakan usaha yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeluaran, penerimaan, pendapatan, dan Benefit Cost Ratio (B/C). Tabel 3. Rata-Rata Pendapatan per Tahun yang Diterima Peternak dan B/C Pada MasingMasing Sumber Modal Bagi Hasil Sumber Modal Bagi Hasil (Rp/ST)* No. Uraian PPK IPM BLM Koperasi 1 2 3 4 No. 1 2 3 4
Pengeluaran Penerimaan Pendapatan Benefit Cost Ratio (B/C) Uraian Pengeluaran Penerimaan Pendapatan Benefit Cost Ratio (B/C)
10.245.045,81 9.785.001,13 11.683.546,38 11.708.437,94 9.923.179,99 14.283.193,72 1.463.392,13 138.178,86 2.599.647,34 1,14 1,01 1,19 Sumber Modal Bagi Hasil (Rp/ST)* SMD YCK Individu 12.154.386,77 12.091.551,53 -62.835,24 0,99
14.522.797,05 15.330.207,80 807.410,76 1,05
9.577.864,70 10.949.461,27 1.371.596,57 1,14
Tabel 4. Rata-Rata Pendapatan per Tahun yang Diterima Peternak dan B/C Pada MasingMasing Pola Bagi Hasil Pola Bagi Hasil (Rp/ST)* No. Uraian Pola I Pola II Pola III 1 2 3 4
Pengeluaran Penerimaan Pendapatan Benefit Cost Ratio (B/C)
10.245.045,81 11.708.437,94 1.463.392,13 1,14
9.785.001,13 9.923.179,99 138.178,86 1,01
11.984.648,73 13.163.603,58 1.178.954,86 1,09
Benefit Cost Ratio (B/C) adalah perbandingan antara total penerimaan dan total biaya yang dikorbankan (Kasmir dan Jakfar, 2003). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai B/C yang paling tinggi adalah pada pola bagi hasil dengan sumber modal dari koperasi, yaitu sebesar 1,19, sedangkan yang paling rendah adalah pada pola bagi hasil dengan sumber modal dari program SMD, yaitu sebesar 0,99. Pada Tabel 4, nilai B/C yang paling tinggi adalah pada pola bagi hasil I, yaitu sebesar 1,14, sedangkan yang paling rendah adalah pada pola bagi hasil II, yaitu sebesar 1,01. Dari data tersebut dapat di lihat bahwa kerjasama dan pola bagi hasil yang paling layak
untuk dikembangkan adalah kerjasama bagi hasil dengan sumber modal dari koperasi dan pola bagi hasil I. Sedangkan kerjasama dan pola bagi hasil yang tidak layak untuk dikembangkan diantara ke-6 sumber modal bagi hasil itu adalah kerjasama bagi hasil dengan sumber modal dari program SMD dan pola bagi hasil II. KESIMPULAN Pola bagi hasil di desa Haurngombong terdiri dari 3 pola, yaitu: 1.
Pola I (Program PPK IPM), dimana peternak mendapat bagian 100% dikurangi 0,5 liter dari produksi susu, 50% dari penjualan pedet, dan 25% dari penjualan induk bagi hasil afkir;
2.
Pola II (Program BLM), dimana peternak mendapat bagian 100% dari produksi susu, 60% dari penjualan pedet, dan 0% dari penjualan induk bagi hasil afkir, dan;
3.
Pola III (koperasi, program SMD, YCK, individu), dimana peternak mendapat bagian 100% dari produksi susu, 50% dari penjualan pedet, dan 0% dari penjualan induk bagi hasil afkir.
Berdasarkan nilai Benefit Cost Ratio, pola bagi hasil yang paling layak untuk dikembangkan di desa Haurngombong adalah pola bagi hasil I (B/C= 1,14), sedangkan jika dilihat dari masingmasing sumber modal, maka kerjasama bagi hasil yang paling layak untuk dikembangkan adalah kerjasama bagi hasil dengan sumber modal dari koperasi (B/C= 1,19).
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Statistik Peternakan 2011. Departemen Pertanian. Avaiable at: http://www.deptan.go.id. (diakses pada Januari 2012) Hafsah, Jafar. 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Kadariah, 1999. Pengantar Evaluasi Proyek, LP FE UI, Jakarta. Kasmir dan Jakfar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Kencana. Jakarta. Santoso. 2004. SPSS Statistika Multivariat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.