TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub class
: Theria
Infra class
: Eutheria
Ordo
: Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Infra ordo
: Pecora
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos (cattle)
Group
: Taurinae
Spesies
: Bos taurus (sapi Eropa) Bos indicus (sapi India/sapi Zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
Sapi Brahman Cross Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek, serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO‟S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford,
dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977). Sapi BX memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%, (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1,2% dan mortalitas dewasa sebesar 0,6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977). Menurut Winks et al. (1979), jantan kebiri sapi BX di daerah tropik Quensland secara normal memiliki performa di bawah bangsa sapi Eropa. Sapi Hereford steer lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX pada lingkungan beriklim sedang. Bobot hidup finishing yang sama pada produksi karkas sapi BX lebih berat dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas (dressing percentage) yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi Brahman dan Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki persentase tulang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn dan BX. Trim lemak bervariasi mulai dari 4,2% sampai 11,2%, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi pada Shorthorn. Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40,91%, (2) calf crop 42,54%, (3) mortalitas pedet 5,93%, (4) mortalitas induk 2,92%, (5) bobot sapih umur 8-9 bulan 141,5 kg (jantan) dan 138,3 kg (betina), (6) pertambahan bobot
4
badan sebelum disapih sebesar 0,38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994; Ditjen Peternakan dan Fapet UGM, 1986). Sebagian besar sapi di Australia merupakan sapi American Brahman dan Santa Gertrudis yang diimpor dari Amerika. Persilangan antara kedua bangsa sapi ini dengan sapi Zebu menghasilkan bangsa sapi yang sama dengan sapi American Brahman dan Santa Gertrudis yakni Brangus dan Braford. Persilangan lebih lanjut menghasilkan sapi Droughtmaster yang merupakan hasil persilangan dengan komposisi darah 3/8 – 5/8 darah Zebu utamanya American Brahman yang diimpor dari Texas (Payne, 1970). Sementara sapi Brangus mempunyai komposisi darah 5/8 Angus dan 3/8 Brahman (Minish dan Fox, 1979). Sapi Simmental Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss, berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anak dengan baik pertumbuhan cepat, serta badan panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran besar, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Pertumbuhan otot sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak di bawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecokelatan hingga sedikit merah dan warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor berwarna putih. Tanduk tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapih tinggi demikian pula pertambahan berat badan setelah sapih. Produksi susu tinggi (rata-rata 3.900 kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kirakira 1.150 kg dan betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna), diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986). Sapi Limousin Bangsa sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang banyak berbukit batu. Warna mulai dari kuning sampai merah keemasan. Tanduk berwarna cerah. Bobot lahir tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi golongan besar pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg sedangkan pejantan dewasa mencapai berat 1.100 kg. Fertilitas cukup tinggi, mudah melahirkan,
5
mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhan cepat (Blakely dan Bade, 1991). Produktivitas Sapi Potong di Indonesia Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya populasi ternak sapi dan tingkat produksi sapi. Produksi Sapi Potong Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker), dan penggemukan (finisher). Program Cow Calf (CC) bertujuan untuk menghasilkan anak, batas program ini dengan program lain atau program selanjutnya ialah pada waktu anak yang dihasilkan, disapih. Program ini merupakan dasar semua program yang ada dalam industri beef, anak yang dihasilkan dalam program ini merupakan materi untuk program lain. Program stocker atau pembesaran anak dapat dimulai dari awal pemanfaatan anak yang disapih dari program CC sampai anak tersebut akan digemukkan atau untuk replacement stock. Produk program ini adalah feeder untuk digemukkan ataupun untuk replacement stock. Gabungan berbagai program bukanlah suatu hal yang tidak mungkin apabila beberapa program bergabung bersama jika kondisi yang memungkinkana atau mengharuskan. Program CC yang bersatu dengan program pembesaran anak sering dilakukan oleh peternak (Parakkasi, 1999). Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performa, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan sehingga ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan, dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan 6
pada kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Kondisi ternak sapi dapat diamati dengan cara observasi, pengamatan, dan perabaan bagian tulang belakang. Reproduksi Sapi Potong Aspek reproduksi merupakan dasar utama dalam peternakan dan menentukan tingkat prestasi produksi. Semakin tinggi tingkat reproduksi yang dicapai, maka produksi yang dihasilkan akan meningkat pula (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yakni umur pada saat dicapai kematangan kelamin atau kematangan seksual. Hal ini ditandai dengan estrus yang pertama sebagai akibat dari pengaruh hormon esterogen yang disekresikan oleh ovari (Blakely dan Bade, 1991). Umur pada saat tercapainya masak kelamin bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 8-18 bulan (Blakely dan Bade, 1991). Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat mencolok karena timbul secara tiba-tiba. Umumnya sapi-sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas 6-12 bulan lebih lambat dari pada bangsa-bangsa sapi Eropa. Pubertas pada ternak sapi betina bangsa Eropa mulai timbul pada umur 6-18 bulan, sedangkan sapi Brahman dan Zebu pada umur 12-30 bulan. Penurunan tingkat makanan pada sapi potong pada umumnya dapat memperlambat pubertas (Toelihere, 1979). Menurut Wijono et al. (1998), umur pubertas lebih awal dapat terjadi pada perkembangan sapi dara yang dipelihara dengan baik atau memiliki kondisi badan yang baik. Adapun berat yang dicapai pada saat pubertas berkisar antara 250-400 kg (Blakely dan Bade, 1991). Umur pubertas sangat dipengaruhi oleh musim, suhu, makanan, dan genetik, oleh karena itu perkawinan awal sebaiknya dilakukan pada umur 14-22 bulan atau pada bobot badan 160-270 kg (Toelihere, 2006). Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan karena pubertas berkembang jauh sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan, dan kelahiran normal. Sapi potong yang kurang baik pertumbuhanya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24 bulan (Toelihere, 1979).
7
Sapi betina hanya akan menerima pejantan selama periode estrus yang lamanya rata-rata 16 jam, dan jika tidak terjadi perkawinan maka kondisi ini akan berulang setiap 21 hari (Blakely dan Bade, 1991). Periode estrus ini menurut Frandson (1993) ditentukan oleh tingkat sirkulasi esterogen. Arthur et al. (1989) mengatakan bahwa lama estrus ini berkisar 12-30 jam dengan rata-rata 20 jam, sedangkan ovulasi setelah estrus rata-rata 31 jam atau antara 18-48 jam. Pembuahan atau konsepsi atau fertilisasi merupakan awal dari periode kebuntingan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Menurut Frandson (1993), periode kebuntingan dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai anak lahir. Periode kebuntingan yang normal berkisar antara 240-330 hari atau rata-rata 283 hari (Blakely dan Bade, 1991). Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini, menurut Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Bearden dan Fuguay (1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan inseminasi buatan (IB) tergantung dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina. Tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya. Kunci untuk menentukan yang mana di antara sapi-sapi itu yang sedang birahi adalah sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Frandson (1993), konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang dikawinkan mulai dari 34 jam sebelum ovulasi sampai 14 jam setelah ovulasi. Spermatozoa dari pejantan harus hadir sekurang-kurangnya 6 jam di dalam uterus atau oviduk betina sebelum mampu membuahi sebuah ovum (Frandson, 1993). Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus
8
sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991). Efisiensi Reproduksi Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception . Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan services per conception (S/C). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval (CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6, dan conception rate (CR) 62,5%. Service per Conception (S/C) Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.
9
Conception Rate (CR) Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 6070%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%. Calving interval (CI) Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Peters (1996) menyatakan bahwa CI yang optimum adalah 365 hari atau 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak. Nilai CI pada sapi peranakan Simmental yang dikawinkan secara IB yaitu sebesar 392,28±77,27 hari (Iswoyo dan Priyantini, 2008). Faktor -faktor yang mempengaruhi jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi, dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak (Bowker et al., 1978). Nilai CI yang optimum tersebut akan dapat dicapai jika sapi-sapi betina yang telah melahirkan dikawinkan lagi setelah 50-70 hari (Craig, 1981).
10
Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Sapi Potong Kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik dapat dijaga dengan pemeliharaan dan perawatan yang baik. Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, dan sapi dewasa (finishing). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit, dan limbah peternakannya. Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi pada sistem ekstensif biasanya dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Usaha peternakan secara ekstensif dapat dilakukan di daerah dan padang rumput luas, tandus, dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian. Dibeberapa daerah ternak dilepaskan di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakan dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming system atau sistem pertanian campuran dilakukan petani dengan memelihara beberapa ekor ternak sapi untuk digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).
11
Bangunan dan Fasilitas Peternakan Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak, yaitu (a) menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat menjadi sumber polusi. Lokasi sumber polusi meliputi: (i) pembakaran sampah lokal yang melepaskan banyak senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa pelarut dan logam berat, atau (ii) dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi udara (dekat dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon), (iii) polusi tanah (industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun), atau (iv) tempat perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan (b) menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu banguan khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah. Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan masuk ke areal peternakan. Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan, dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, serta penerangan dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak (Ensminger dan Taylor, 2006). Area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta
12
memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005). Perkandangan Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri, dan sarana untuk menjaga kesehatan. Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) meliputi: 1. Konstruksi kandang harus kuat 2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup 4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung 7. Kandang isolasi dibuat terpisah Manajemen Pakan Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya, yaitu lebih besar dari 18%. Konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan yaitu kurang dari 18% dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993). Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak, tetapi hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat
13
konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya. Sapi dewasa dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999). Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa pakan komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar, tanggal kadaluarsa, dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko bahaya terdapat residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1) segi ekonomi, dengan fixed maintanance cost tingkat konsumsi penting dimaksimumkan guna memaksimumkan produksi, 2) berdasarkan pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi, 3) makanan yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibanding dengan makanan berkualitas rendah, 4) hewan yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi yang lebih tinggi, produksinya pun relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan kapasitas/ sifat konsumsi rendah (dengan ransum yang sama), dan 5) variabilitas kapasitas produksi yang disebabkan oleh makanan pada berbagai ternak karena perbedaan dalam konsumsi (± 60%), kecernaan (± 25%) ataupun konversi hasil pencernaan menjadi produksi ( ±15%). Iklim Iklim merupakan manifestasi dari berbagai unsur, seperti suhu, curah hujan, kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya, dan pengionan. Suhu dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981). Indonesia termasuk daerah tropis sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan 14
iklim yang berbeda-beda. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim tropis yaitu tipe iklim di bumi yang daerahnya berada di sekitar equator (Suharsono, 1995). Negara yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim sangat basah, setengah basah, dan kering. Iklim tropis merupakan tipe iklim dengan suhu dan kelembabann tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di daerah beriklim tropis yaitu 18 °C (Suharsono, 1995). Banyak daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) maupun sapi impor dari luar negeri. Faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum. Bila hal ini terus terjadi, akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi dari sapi (Williamson dan Payne, 1993). Good Breeding Practices (GBP) Good Breeding Practices (GBP) ditetapkan bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Tujuan ditetapkannya pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi potong dapat diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek, yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi, dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian makanan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). 15