II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bangsa-bangsa Sapi Jenis sapi secara umum ada tiga ras yaitu Bos Taurus (berasal dari Inggris dan Eropa Daratan), Bos Indicus (berasal dari benua Asia dan Afrika) serta Bos sondaicus (terdapat di Semenanjung Malaya dan Indonesia). Beberapa jenis sapi yang termasuk Bos Sondaicus antara lain Sapi Bali, Sapi Madura, bangsa sapi Bos Indicus yaitu sapi Peranakan Ongol (PO), Brahman, sedangkan bangsa sapi yang termasuk Bos Taurus yaitu Sapi Simmental, Limousin, Peranakan Friesian Holstein (PFH), Angus dan Brangus (Rianto dan Purbowati, 2010). Sapi Limousin merupakan sapi tipe potong yang berasal dari Prancis. Ciri-ciri dari Sapi Limousin adalah warna bulu merah coklat, tetapi warna dari sekeliling mulai lutut kebawah sampai mata kaki agak terang. Ukuran tubuh besar, tubuh berbentuk kotak dan panjang, serta pertumbuhan bagus. Tanduk
pada
jantan
tumbuh
keluar
dan
agak
melengkung
(Sudarmono dan Sugeng, 2008). Sapi Simmental merupakan sapi yang berasal dari Switzerland. Tipe sapi ini merupakan tipe potong, perah dan kerja. Ciri-ciri Sapi Simental adalah tubuh berukuran besar, tubuh berbentuk kotak pertumbuhan otot bagus, penimbunan lemak di bawah kulit rendah. Warna bulu pada umumnya krem agak coklat atau sedikit merah, sedangkan muka keempat kaki mulai dari lutut, dan ujung ekor berwarna putih. Ukuran tanduk relatif kecil. Berat pada sapi betina mencapai 800 kg dan pada sapi jantan mencapai 1150 kg (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Sapi Brangus merupakan hasil persilangan antara Sapi Brahman dan Sapi Aberdeen Angus. Sapi ini merupakan tipe potong, dengan ciri-ciri bulu halus dan pada umumnya berwarna hitam atau merah. Sapi ini juga tidak bertanduk ataupun bergelambir serta memiliki telinga kecil. Sapi ini juga berpunuk, tetapi kecil (Sudarmono dan Sugeng, 2008).
4
5
Sapi Ongole merupakan sapi keturunan Bos Indicus yang berhasil dijinakkan di India. Sapi Ongole masuk ke Indonesia mulai abad ke 19 dan dikembangkan cukup baik di Pulau Sumba, sehingga lebih populer dikenal sebagai Sapi Sumba Ongole. Persilangan Sapi Ongole jantan murni dengan sapi betina Jawa, menghasilkan keturunan yang disebut Sapi Peranakan Ongole (PO). Karakteristik Sapi Ongole yaitu punuk yang besar dan kulit longgar dengan banyak lipatan di bawah leher dan perut, telinga panjang serta menggantung, temperamen tenang dengan mata besar, tanduk pendek dan hampir tidak terlihat, tanduk Sapi Ongole betina lebih panjang dari pada tanduk pejantannya dan warna bulu putih kusam agak kehitam-hitaman dan warna kulit kuning (Murtidjo, 1990). B. Penggemukan Sapi Potong Hal yang perlu diperhatikan dalam usaha penggemukan sapi potong ada 3, yaitu langkah awal usaha penggemukan, sistem penggemukan, dan lama penggemukan. Syarat yang perlu diperhatikan dalam langkah awal usaha penggemukan sapi potong adalah (1) keseragaman sapi, dalam hal ini menyangkut keseragaman tipe, umur dan besar tubuh; (2) jumlah sapi sesuai dengan jumlah modal, dimana modal ini digunakan untuk menyediakan fasilitas penunjang seperti kemudahan dalam memperoleh pakan, kandang, serta kemampuan peternak dalam pengelolaan dan manajemen; (3) penggunaan bangsa sapi, yang dipilih sebaiknya adalah bangsa sapi yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungannya (Sugeng, 1998). Usaha penggemukan sapi bertujuan mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan
bobot
sapi
yang
dipelihara.
Pertumbuhan
dan
lama
penggemukan itu ditentukan oleh faktor individu, ras (bangsa) sapi, jenis kelamin, dan usia ternak bakalan (Sarwono dan Arianto, 2006). 1. Pemilihan Bibit Sapi Potong Pemilihan ternak sapi disesuaikan dengan tujuan usaha peternakan yang dilaksanakan. Tipe ternak yang akan dipelihara untuk tujuan menghasilkan daging, misalnya dipilih ternak sapi tipe pedaging atau sapi
6
potong. Ciri-ciri sapi tipe pedaging adalah (a) tubuh dalam, besar, berbentuk persegi empat atau balok; (b) kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan; (c) laju pertumbuhannya cepat; (d) cepat mencapai dewasa; (e) efisiensi pakannya tinggi (Santosa, 2003). Keberhasilan penggemukan sapi potong sangat tergantung pada pemilihan bibit yang baik dan kecermatan selama pemeliharaan. Bakalan yang akan digemukkan dengan pemberian pakan tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan di pasar hewan atau sapi impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Sebaiknya bakalan dipilih dari sapi yang memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah digemukkan. Prioritas utama bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja, dan sepasang gigi serinya telah tanggal (Sarwono dan Arianto, 2006). 2. Metode Penggemukan Sapi Potong Sistem penggemukan sapi di Indonesia dikenal dengan sistem kereman. Penggemukan sapi sistem kereman ini, sapi yang dipelihara di dalam kandang secara terus menerus dalam periode tertentu. Sapi tersebut diberi makan dan minum di dalam kandang, tidak digembalakan ataupun dipekerjakan (Sugeng, 1998). Sistem penggemukan terdiri dari tiga macam penggemukan 1) Dry Lot Fattening yaitu pemberian ransum dengan pemberian biji-bijian atau kacang-kacangan, 2) Pasture Fattening yaitu sapi yang diternakkan digembalakan di padang penggembalaan, 3) Kombinasi antara Dry Lot Fattening dan Pasture Fattening yaitu sistem ini dilakukan dengan pertimbangan musim dan ketersediaan pakan. Penggemukan di daerah tropis, pada saat musim produksi hijauan tinggi penggemukan dilakukan dengan Pasture Fattening sedangkan pada saat hijauan berkurang penggemukan dilakukan dengan cara Dry Lot Fattening (Siregar, 2003). C. Manajemen Perkandangan Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari pemukiman penduduk agar bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak
7
kandang dari tempat pemukiman minimal 50 meter. Lokasi pembangunan kandang ternak sapi sebaiknya dipilih lahan yang terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan. Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai. Bentuk kandang di dataran rendah dan dataran tinggi dibuat berbeda karena tinggi suhunya berbeda. Bangunan kandang di dataran rendah sebaiknya memiliki dinding yang lebih terbuka untuk ventilasi udara karena suhu didataran rendah lebih panas dibandingkan suhu di dataran tinggi (Sarwono dan Arianto, 2006). Kandang itu sendiri diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan memperoleh kenyamanan. Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Luas kandang barak diperhitungkan tidak boleh kurang dari 2,0 m²/ekor. Ukuran kandang individual dapat lebih kecil daripada kandang barak, yaitu sekitar 1,7 m²/ekor, masing-masing untuk bobot badan sapi sekitar 150 kg (Santosa, 2003). Sarwono dan Arianto (2006) membedakan tipe kandang menjadi kandang koloni dan kandang tunggal. Kandang koloni adalah kandang yang hanya terdiri dari satu bangunan atau ruangan, tetapi digunakan untuk ternak dalam jumlah banyak. Kandang koloni berukuran 7 x 9 m dapat menampung 20 - 24 ekor sapi. Kandang tunggal adalah kandang yang hanya terdiri dari satu ruangan atau bangunan dan hanya digunakan untuk memelihara satu ekor ternak saja. Penggemukan sapi jenis PO, Brahman Cross, Bali, dan bangsa sapi eropa, setiap satu ekor sapinya membutuhkan kandang seluas 3,75 m² dengan ukuran panjang 2,25 m, lebar 1 m, dan tinggi 2 - 2,5 m. D. Manajemen Pakan Santosa (2003) menyatakan bahwa yang penting untuk diperhatikan dalam pemberian pakan di kandang adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak pada berbagai tingkat kelas dan keadaan sapi yang bersangkutan. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu adlibitum (pakan diberikan dalam jumlah
8
yang selalu tersedia), dan restricted (pemberian pakan dibatasi). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena akan menyebabkan bahan pakan banyak terbuang dan pakan yang tersisa menjadi busuk sehingga ditumbuhi jamur dan sebagainya yang dapat membahayakan ternak apabila termakan. Sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk pakan hijauan yang biasanya berupa rumput dan konsentrat. Satu hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Selain itu, terdapat juga pakan tambahan yang membuat proses penggemukan sapi berlangsung lebih cepat, efisien, murah, dan mudah diterapkan sehari-hari (Sarwono dan Arianto, 2006). Konsentrat
adalah
makanan
utama
bagi
ternak
sapi
dengan
pemeliharaan feedlots. Pakan yang berkualitas tinggi sangat diperlukan untuk memperoleh pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu relatif singkat. Hal ini hanya dapat dicapai dengan tersedianya konsentrat yang cukup tinggi dan tidak mungkin tercapai bila pakannya hanya berupa rumput atau hijauan (Santosa, 2003). E. Manajemen Kesehatan Pengendalian penyakit sangat diperlukan, karena akan menurunkan produktivitas ternak, terutama penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, antara lain bakteri (Brucellosis, Vibriosis, Leptospirosis), virus (Bovine Viral Diarrhea atau BVD), infeksi Protozoa
(Trichomoniasis)
dan
infeksi
Jamur
(Aspergillosis)
(Hardjosubroto, 1995). Luka yang terdapat pada anggota tubuh ternak, sebelum dibalut hendaknya luka dibersihkan dari kotoran yang melekat. Pencucian dilakukan dengan air hangat yang dicampur dengan kapur atau disinfektan. Luka yang sudah dibersihkan, kemudian dilumuri salep hewan atau sulfanilame untuk
9
luka bernanah. Luka yang baru terjadi bisa diberikan powder antibiotika atau yodium (Murtidjo, 1990). Cara untuk menjaga kesehatan ternak dari serangan eksternal parasit biasanya dilakukan dengan pencelupan atau spraying menggunakan zat kimia. Pencelupan merupakan tindakan menyelamatkan ternak sapi secara mekanis ataupun manual. Tujuan pencelupan atau spraying adalah membunuh eksternal parasit yang terdapat pada badan sapi (Sugeng, 1998). F. Manajemen Limbah Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak dan lain-lain. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, lemak, darah, tulang, tanduk, isi rumen (Djuarnani, 2006). Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feses dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Djuarnani, 2006). Limbah kandang yang berupa kotoran ternak, baik padat (feses) maupun cair (air kencing, air bekas mandi sapi, air bekas mencuci kandang dan prasarana kandang) serta sisa pakan yang tercecer merupakan sumber pencemaran lingkungan paling dominan di area peternakan. Limbah kandang dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan bau yang menyengat, sehingga perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Sarwono dan Arianto, 2002). Kecepatan pengomposan dipengaruhi oleh banyak sedikitnya jumlah mikroorganisme yang membantu pemecahan atau penghancuran bahan organik yang dikomposkan. Bakteri asam laktat yang berperan dalam menguraikan bahan organik, bakteri fotosintesis yang dapat memfiksasi
10
nitrogen, dan Actinomycetes yang dapat mengendalikan mikroorganisme patogen sehingga menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lainnya (Isroi, 2008). Ciri-ciri kompos sudah jadi dan baik adalah: warna kompos biasanya coklat kehitaman. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal. Gumpalan kompos akan hancur dengan mudah apabila ditekan dengan lunak, (Farida, 2000). Pupuk cair organik adalah jenis pupuk yang berbentuk cair tidak padat yang mudah sekali larut pada tanah dan membawa unsur-unsur penting guna kesuburan tanah. Pupuk organik cair adalah pupuk yang dapat memberikan hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman pada tanah, karena bentuknya yang cair, maka jika terjadi kelebihan kapasitas pupuk pada tanah maka dengan sendirinya tanaman akan mudah mengatur penyerapan komposisi pupuk yang dibutuhkan. Pupuk cair organik dalam pemupukan jelas lebih merata, tidak akan terjadi penumpukan konsentrasi pupuk di satu tempat (Slamet, 2005). G. Analisis Finansial 1. B/C Ratio (Benefit Cost Ratio) Efisiensi usaha ditentukan dengan menggunakan konsep benefit cost ratio (BCR), yaitu imbangan antara total penghasilan (out put) dengan total biaya(input). Nilai BCR > 1 menyatakan usaha tersebut menguntungkan. Semakin besar nilai BCR maka usaha dinyatakan semakin efisien. Benefit/Cost ratio adalah merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Semakin besar B/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh petani mengalokasikan faktor produksi dengan lebih efiisien (Soekartawi,2003). B/C Ratio adalah nilai atau manfaat yang diperoleh dari setiap satuan biayayang dikeluarkan. B/C Ratio diperoleh dengan cara membagikan total penerimaan dengan total pengeluaran. Kadariah (1999) menyatakan
11
bahwa untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha dapat digunakan parameter yaitu dengan mengukur besarnya pemasukan dibagi besarnya pengeluaran, dimana B/C Ratio >1 :Efisien B/C Ratio = 1 :Impas B/C Ratio <1 :Tidakefisien B/C- Ratio
= Total hasil produksi (pendapatan) Total biaya produksi (pengeluaran)
BCR merupakan hasil perbandingan antara nilai total benefit dengan total biaya sebagai indikator bisa diterima atau tidaknya investasi yang dijalankan dalam perusahaan. Metode ini digunakan untuk menghitung present value dari cash in flow dibagi dengan present value dari cash out flow (Sugiono, 2009). Semakin besar B/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh perusahaan mengalokasikan faktor produksi dengan lebih efisien (Soekartawi, 2003). 2. IRR
Menurut Umar (2005) Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal. Nilai IRR yang sama dengan tingkat discount maka usaha tidak dapat mendapatkan untung atau rugi, tetapi jika IRR < tingkat discount rate maka usaha tersebut tidak layak diusahakan, sedangkan apabila IRR > tingkat discount rate maka usaha tersebut layak untuk diusahakan. IRR adalah suatu metode untuk mengukur tingkat investasi. Tingkat investasi adalah suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow setelah dikalikan discount factor. Hasil IRR ternyata lebih besar dari bunga bank maka
dapat
dikatakan
bahwa
investasi
yang
dilakukan
lebih
menguntungkan jika dibandingkan modal yang dimiliki disimpan di bank. (Soetriono, 2006 ).
12
Menurut Mangitung (2013) Untuk mendapatkan IRR dilakukan dengan mencari besarnya NPV dengan memberikan nilai i variabel (berubah-ubah) sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu nilai i saat NPV mendekati nol yaitu NPV(+) dan nilai NPV(-), dengan cara coba-coba (trial and error).jika telahdiperolehnilai NPV(+), NPV(-) tersebut diasumsikan
nilai
dilakukaninterpolasi
di
antaranya
untuk
sebagai
mendapatkan
garislurus, IRR,
selanjutnya
Sehingga
untuk
mencariInternal Rate of Return (IRR) dapat menggunakan rumus:
Dimana: IRR
= Internal Rate of Return yang akan dicari
iNPV_ = suku bunga negative iNPV+ = suku bunga positive NPV_
= Net Present Value dengan hasil Negative
NPV+
= Net Present Value dengan hasil positive
3. NPV
Net Present Value (NPV) adalah nilai sekarang dari keuntungan bersih (manfaat neto tambahan) yang akan diperoleh pada masa mendatang,
merupakan selisih antara nilai sekarang arus manfaat
dikurangi dengan nilai sekarang arus biaya. Kriteria penilaian untuk Net Present Value (NPV) adalah sebagai berikut : jika NPV > 0, maka usaha yang dijalankan layak untuk dilaksanakan, jika NPV < 0, maka usaha yang dijalankan tidak layak untuk dilaksanakan, jika NPV = 0, maka usaha yang dijalankan tidak rugi dan tidak untung (Gittinger, 2003). Net present value adalah sistem memilih suatu tingkat potongan tunai yang sesuai dengan menggunakan NPV kalkulasi. Suatu praktek yang baik dari memilih tingkat potongan tunai adalah untuk memutuskan tingkat tarip yang mana modal sangat diperlukan oleh suatu proyek yang
13
bisa dikembalikan jika diinvestasikan di suatu alternatif misalnya dengan cara berspekulasi. Misalnya sebagai contoh, modal yang diperlukan oleh suatu perusahaan suatu produk tertentu mendapat lima persen di tempat lain, menggunakan tingkat potongan tunai ini di NPV kalkulasi yaitu dengan cara mengarahkan perbandingan yang dibuat antara perusahaan adalah suatu cara alternatif yang sesungguhnya, NPV adalah nilai yang diperoleh dengan cara menggunakan tingkat potongan tunai variabel dengan tahun dari jangka waktu investasi lebih dikhususkan pada situasi yang riil dibanding yang dihitung dari suatu tingkat potongan tunai yang tetap untuk jangka waktu investasi yang keseluruhan (Cahyono, 1998). 4. PPC Payback period dapat diartikan sebagai jangka waktu kembalinya investasi yang telah dikeluarkan, melalui keuntungan yang diperoleh dari suatu proyek yang telah direncanakan (Abdul,2004). Menurut Bambang (2004) payback period adalah suatu periode yang diperlukan untuk dapat menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan proceeds atau aliran kas netto (net cash flow). Metode analisis payback period bertujuan untuk mengetahui seberapa lama (periode) investasi akan dapat dikembalikan saat terjadinya kondisi Break Event Point (jumlah arus kas masuk sama dengan jumlah arus kas keluar). Analisis payback period dihitung dengan cara menghitung waktu yang diperlukan pada saat total arus kas masuk sama dengan jumlah arus kas keluar. Berdasarkan hasil analisis payback period ini nantinya alternatif yang akan dipilih adalah alternatif dengan periode pengembalian lebih singkat. Penggunaan analisis ini hanya disarankan untuk mendapat informasi tambahan guna mengukur seberapa cepat pengembalian modal yang diinvestasikan (Djarwanto, 2003).