TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging
merupakan
semua
jaringan
hewan
beserta
produk
hasil
pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1998). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat sewaktu dipotong. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), daging merupakan bahan makanan berprotein yang berharga serta sumber penting vitamin B (terutama asam nikotinat) dan zat besi. Komposisi daging sangat bervariasi. Kadar lemak berkisar antara 10% sampai 50%. Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak, artinya daging dengan kadar lemak tinggi mempunyai kadar air yang rendah. Tabel 1. Komposisi Nutrien Daging Sapi Mentah Nutrien
Jumlah (%)
Protein
20
Lemak
11
Karbohidrat Air
0 68
Vitamin dan mineral
kurang dari 1
Sumber : Gaman dan Sherrington (1992) Postmortem pada Daging Sapi Menurut Soeparno (1998), perubahan biokimia dan biofisis pada konversi otot menjadi daging diawali pada saat penyembelihan ternak. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging, dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik.
pH ultimat normal daging
postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Menurut Lawrie (2003), glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5,4 – 5,5. Menurut Soeparno (1998), faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas di antara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan aditif sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur yang tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. pH daging mempunyai hubungan yang erat dengan warna, tekstur serta daya ikat air oleh protein daging. Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan daya ikat air dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya mengikat protein. Temperatur tinggi juga mempercepat penurunan pH otot postmortem, dan meningkatkan penurunan daya ikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraselular (Soeparno, 1998) Lawrie (2003) menyatakan, bahwa daging sapi yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging segar prerigor yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa disimpan dahulu. Jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging pada fase prerigor akan lebih besar dibandingkan pada fase rigormortis. Menurut Aberle (2001), fase prerigor pada suhu ruang berlangsung 5-8 jam setelah pemotongan hewan (postmortem). Pada mamalia besar seperti sapi, fase prerigor berlangsung kurang lebih delapan jam postmortem.
Jenis protein yang membantu proses emulsi dalam bakso adalah protein sarkoplasma, protein aktin-miosin dan protein lainnya seperti mioglobin. Protein daging yang banyak berperan dalam proses pembuatan bakso adalah protein larut garam, yaitu protein aktin-miosin (Wilson et al., 1981). Bakso Bakso daging menurut SNI Nomor 01-3818-1995 merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran daging (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan (DSN, 1995). Menurut Wibowo (2006), bakso daging sapi memiliki komposisi kimia (proksimat) yang terdiri atas kadar air 77,85%, kadar protein 20-22 %, kadar lemak 4-8 % dan kadar abu 1%. Menurut Purnomo (1990), pengolahan bakso meliputi aspek penyediaan bahan baku yaitu daging, tepung pati dan cara pengolahannya. Bahan tambahan yang biasanya digunakan dalam pembuatan bakso adalah garam, es atau air es dan bumbu-bumbu. Bahan Pembuatan Bakso Bahan Pengisi Bahan pengisi dan bahan pengikat merupakan fraksi bukan daging yang ditambahkan
dalam
pembuatan
bakso.
Kedua
bahan
tersebut
berfungsi
memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki sifat irisan, mengurangi penyusutan selama proses pemasakan, peningkatan citarasa dan mereduksi biaya produksi. Fungsi penurunan biaya produksi ini terutama ditujukan untuk bahan pengisi (Kramlich, 1971). Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi. Tepung pengisi mengandung lemak dalam jumlah relatif rendah sehingga mempunyai kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi rendah, misalnya adalah tepung tapioka (Soeparno, 1998). Menurut Winarno (2002), pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut merupakan amilosa sedangkan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-
D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)D-glukosa sebanyak 4-5 % dari berat total. Jika pati mentah dimasukkan dalam air dingin maka granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakan yang terjadi adalah terbatas. Air yang terserap hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi dalam air pada suhu antara 55-60 °C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, kemudian granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak bisa kembali (irreversible) pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Suhu gelatinisasi tapioka adalah 52-64 °C (Winarno, 2002). Tepung tapioka memiliki sifat yang sangat mirip dengan amilopektin. Sifatsifat amilopektin yang sangat disukai antara lain memiliki daya perekat yang tinggi sehingga pemakaian pati dapat dihemat. Kandungan amilopektin pada tepung tapioka adalah 83% sedangkan amilosa adalah sebesar 17%. Kandungan komposisi kimia tepung tapioka terdiri atas kadar air 13,12%, kadar protein 0,13%, kadar
lemak
0,04%,
kadar
abu
0,16%
dan
kadar
karbohidrat
86,55%
(Tjokroadikosoema, 1986). Garam Dapur (NaCI) Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambah atau meningkatkan rasa dan memperpanjang masa simpan (shelf-life) produk. Sunarlim (1992) menyatakan, bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3 % garam tetapi dapat berkisar antara 1,5-5 %. Penambahan NaCI sebanyak 3% hingga 5% memiliki daya penerimaan bakso yang sama dengan sifat mutu yang tetap tinggi. Bumbu Bumbu adalah bahan yang ditambahkan ke dalam komposisi suatu produk untuk memperbaiki citarasa produk tersebut. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan (Schmidt, 1988).
Menurut SNI 01-3160-1992, bawang putih (Allium cepa L.) adalah umbi dari tanaman bawang putih yang terdiri dari siung-siung, kompak dan masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Manfaat utamanya yaitu sebagai bumbu penyedap masakan yang dapat membuat masakan menjadi beraroma dan mengundang selera. Bawang putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri. Minyak atsiri bawang putih bersifat antibakteri dan antiseptik. Komposisi kimia bawang putih per 100 g terdiri dari 6,5 g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g dan karbohidrat 77,6 g (Farrell, 1990). Menurut SNI 01-3717-1995, merica atau lada putih bubuk adalah lada putih (Pepper ningrum L.) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khas lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa pedas. Komposisi kimia lada putih per 100 g terdiri dari 10,5 g air, protein 11,0 g, lemak 3,3 g, abu 4,3 g dan karbohidrat 64,8 g (Farrell, 1990). Es Batu Tujuan ditambahkannya es batu atau air es dalam pembentukan emulsi daging diantaranya adalah : (1) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (2) melarutkan garam dan menyebarkan secara merata pada seluruh bagian massa daging, (3) mempertahankan suhu adonan supaya tetap rendah akibat pemanasan mekanis dan (4) membantu pembentukan emulsi (Kramlich et al., 1973). Salah satu tujuan penambahan es dan air pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang ditimbulkan oleh gesekan selama penggilingan. Jika panas ini menjadi berlebih maka emulsi akan pecah dan produk tidak akan bersatu selama pemasakan. Hal ini disebabkan oleh adanya denaturasi protein akibat panas yang terlalu tinggi. Penambahan es lebih baik daripada air karena setiap penambahan satu gram es pada suhu 0 °C menjadi air dengan suhu 0°C membutuhkan 80 kalori. Jumlah kalori yang sama digunakan untuk meningkatkan suhu sebesar l°C pada suhu air 80 °C. Peningkatan suhu selama pelumatan daging akibat panas yang timbul akan digunakan untuk mencairkan es sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan (Aberle et al., 2001).
Varnam dan Sutherland (1995) menyatakan, air yang ditambahkan berkisar 2040 % dari berat adonan. Penambahan es sebanyak 20% dari berat daging menghasilkan bakso yang memiliki sifat fisik dan organoleptik yang disukai oleh konsumen. Khitosan Definisi Khitosan Secara garis besar khitosan atau deacetylated chitin atau disingkat menjadi DAC adalah khitin yang telah mengalami proses penghilangan gugus asetil (deasetilisasi). Khitosan mempunyai sifat yang larut dalam asam-asam organik encer (asam asetat encer) dan tidak larut air. Khitosan tidak beracun dan tidak mempunyai efek samping bila dikonsumsi manusia (Alamsyah, 2006). Menurut Wahjuadi (2006) bahwa khitosan merupakan polimer dengan berat molekul tinggi yang merupakan turunan dari bahan alami yaitu khitin. Khitosan komersial diproduksi melalui proses penghilangan grup asetil (CH3-CO) dari rantai polimer khitin dengan menggunakan dilusi asam atau disebut juga dengan proses deasetilisasi. Derajat deasetilisasi dapat ditentukan menggunakan spektroskopi NMR. Persentase derajat deasetilisasi pada khitosan komersial berkisar antara 60100 %. Proses pembuatan khitosan dilakukan melalui beberapa tahapan. Dimulai dari penggilingan,
penyaringan,
deproteinisasi,
pencucian
dan
penyaringan,
demineralisasi (penghilangan mineral Ca), pencucian, desalinisasi dan pengeringan. Setelah itu barulah terbentuk produk akhir khitosan. Sumber Khitosan Khitosan merupakan produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Khitosan adalah polimer dengan berat molekul tinggi yang merupakan turunan dari bahan alami yaitu khitin. Limbah udang windu, limbah udang barong, udang putih, udang galah dan kulit kerang, kepiting, lobster serta beberapa jenis crustacea lainnya mengandung khitin dalam jumlah besar, yaitu antara 42-57 % dan kadar khitosan antara 10-15 % (Wibowo, 2006). Karakteristik dan Fungsi Khitosan Khitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Dalam suasana asam, gugus amino
bebas (NH2) dari khitosan akan terprotonisasi membentuk gugus amino kationik (NH3). Kation dalam khitosan akan bereaksi dengan polimer anion yang membentuk kompleks elektrolit. Khitin dan khitosan termasuk istimewa karena secara alami mengandung N dalam jumlah yang tinggi, yaitu 6,89% (Alamsyah, 2006). Khitin adalah senyawa polimer organik yang selanjutnya dapat diproses menjadi khitosan yaitu senyawa poliglukosamin, melalui proses deasetilisasi yang berpengaruh terhadap rendemen, berat molekul, viskositas dan kemampuan mekanik dari produk khitosan yang dihasilkan. Penggunaan khitosan pada bahan pangan adalah sebagai bahan pengawet alami, penstabil warna, mengurangi reduksi lemak, memperpanjang umur bau yang alami, antioksidan dan agen pengontrol tekstur. Khitosan dapat bertindak sebagai emulsifier pada bahan pangan karena kemampuannya mengikat air dan lemak (Wahjuadi, 2006). Khitosan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam industri mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi karena keberadaannya sangat diperlukan terutama di pasaran luar negeri untuk berbagai industri seperti bahan penstabil (stabilizer), pembentuk tekstur (texturing agent), pembentuk gel (gelling agent), bahan pengemulsi (emulsifier), penurun kolesterol, pengikat logam (floculant agent), pengental, untuk campuran kertas, additive pada cat, bahan speaker dan penggumpal protein (Alamsyah, 2006). Khitosan memiliki nilai Lethal Dosage (LD 50) sebesar 16 g/kg berat badan pada mencit. Untuk keamanan pada manusia Aceptance Daily Intake (ADI) ditetapkan dari LD 50 dibagi 12 yaitu sebesar 1,33 g/kg berat badan manusia. Dengan rata-rata berat badan 50 kg, maka konsumsi khitosan yang diperbolehkan tanpa menimbulkan efek samping adalah 66,5 g/hari (Linawati, 2006). Menurut Hawab (2006), khitosan dapat mengikat kolesterol karena dapat diikat oleh polimer khitosan sebelum diabsorpsi. Selain itu khitosan juga dapat mengikat tiga kelompok vitamin yang terdiri atas vitamin E (α-tokoferol), provitamin A (β-karoten), vitamin B1 (tiamin), dan ion krom (Cr-IV). Pembuatan Bakso Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu : (1) penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan.
Penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah atau menggiling daging hingga daging menjadi lumat atau halus (Wilson et al., 1981). Pembentukan adonan dilakukan dengan cara mencampur seluruh bahan lalu menghancurkannya (mixing dan chopping) hingga terbentuk suatu adonan. Selain itu dapat dilakukan dengan menghancurkan daging lalu mencampur dengan bahan lainnya. Penghancuran daging dimaksudkan untuk memecah dinding sel serabut otot daging sehingga memudahkan protein larut garam seperti aktin dan miosin dapat diekstrak keluar dengan menggunakan larutan garam.Pemasakan bakso dilakukan dalam dua tahap, bertujuan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman bakso pada suhu 50-60 °C bertujuan untuk membentuk bakso, lalu bakso direbus dalam air dengan suhu 100°C untuk mematangkan (Wilson et al., 1981). Pada proses penggilingan daging perlu diperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan. Suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi di bawah 20°C. Apabila dalam proses penggilingan daging, kenaikan suhu lebih dari 20°C, dapat menyebabkan denaturasi protein dan sebagian emulsi akan pecah (Pearson dan Tauber, 1984). Sifat Fisik Bakso Nilai pH Nilai pH adalah sebuah indikator penting kualitas daging dengan memperhatikan kualitas teknologi dan pengaruh kualitas daging segar. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui tingkat keasaman bakso yang disebabkan oleh ion hidrogen (H+). Produk akhir yang mengalami pemasakan dan penggaraman bergantung pada pH daging. Temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 1998). Nilai pH yang tinggi (5,8 atau lebih) akan meningkatkan daya ikat air, warna lebih gelap, tekstur lebih kasar dan mempercepat pembusukan. Nilai pH rendah (5,5 atau kurang) akan memberikan efek yang sebaliknya (Pearson, 1987). Daya Ikat Air (DIA) Menurut Soeparno (1998), daya ikat air merupakan kemampuan untuk mempertahankan kandungan air selama mengalami perlakuan dari luar seperti
pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Penurunan daya ikat air dapat dideteksi dengan adanya eksudasi cairan yaitu air yang terdapat pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Eksudasi ini berasal dari lemak dan cairan daging. Daya ikat air dipengaruhi oleh pH, pelayuan, pemasakan dan pemanasan. Pelayuan meningkatkan daya ikat air daging pada berbagai macam pH karena terjadi perubahan hubungan air protein yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca+ (Soeparno, 1998). Kekenyalan Sifat kenyal merupakan sifat fisik produk alam. Sifat ini berhubungan dengan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang dapat menyebabkan deformasi. Sifat kenyal dan keras sama-sama menyatakan tahan untuk pecah. Perbedaan keduanya adalah sifat keras menyatakan sifat benda atau produk pangan padat yang tidak bersifat deformasi sedangkan sifat kenyal merupakan sifat produk pangan plastis yang bersifat deformasi (Soekarto, 1990). Sifat Organoleptik Warna Warna makanan memiliki peranan utama dalam penampilan makanan, meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan tidak menarik waktu disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang (Soeparno, 1998). Perubahan warna dapat ditentukan oleh penambahan bahan kimia dan perombakan enzim menjadi pigmen. Warna dapat mengalami perubahan saat pemasakan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, intensitas warna semakin menurun (Fellows, 1992). Aroma Aroma adalah faktor paling penting pada daging. Aroma sukar untuk didefinisikan secara objektif. Evaluasi aroma dan rasa masih tergantung pada pengujian secara sensori (tes panel). Keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu menyebabkan pemilihan anggota panel menjadi penting (Lawrie, 2003).
Rasa Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila yaitu noda merah jingga pada lidah. Faktor yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi pangan dengan komponen rasa yang lain. Atribut rasa banyak ditentukan oleh formulasi yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh pengolahan suatu produk pangan (Winarno, 2002). Tekstur Komponen utama dari lemak daging adalah lemak bebas dan fosfolipid. Lemak itu terdapat dalam daging dan sebagian terdapat di antara serat daging (marbling atau lemak intramuskular). Marbling ini akan mempermudah proses pengunyahan dan proses penelanan atau berfungsi sebagai pelumas. Marbling ini dapat berfungsi sebagai penambah cita rasa yang disukai karena daging menimbulkan rasa juiceness, tetapi jumlah marbling yang cukup besar akan membatasi palatabilitas dari daging dan produk olahannya (Aberle et al., 2001). Kekenyalan Kekenyalan mempengaruhi palabilitas seseorang terhadap suatu produk. Kekenyalan didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa kehilangan sifatsifat jaringan yang layak. Kekenyalan melibatkan kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam bakso, kemudahan mengunyah menjadi potongan yang lebih kecil dan jumlah residu yang tertinggal selama pengunyahan (Lawrie, 2003).