SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN
SKRIPSI ANGGIE FITRIANI EKA PUTRI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ANGGIE FITRIANI EKA PUTRI. 2009. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi pada Lama Postmortem yang Berbeda dengan Penambahan Karagenan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, M.Si Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang populer di Indonesia ataupun di beberapa negara asia lainnya. Produk olahan ini banyak disukai oleh masyarakat umum dengan bahan utamanya daging. Bakso disukai karena harganya relatif murah, enak dan kaya nilai gizi. Daging yang sering digunakan adalah daging sapi segar prerigor yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa disimpan dahulu. Penelitian ini mencoba untuk mengkombinasikan bakso daging sebagai sumber protein hewani dengan penambahan karagenan yang bersifat organik. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan dan Seafast Center Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari 2009. Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi segar prerigor empat dan enam jam postmortem yang dibeli di pasar tradisional di Bogor dan karagenan yang dibeli di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bahan lainnya adalah garam, es batu, bawang putih, lada dan tepung tapioka. Penelitian ini menggunakan dua jenis perlakuan. Perlakuan pertama adalah penggunaan daging sapi dengan lama postmortem empat dan enam jam sedangkan perlakuan kedua adalah taraf penambahan kombinasi tepung tapioka dan karagenan (20% tapioka, 5% karagenan + 15% tapioka dan 2,5% karagenan + 17,5% tapioka). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2x3 dengan tiga ulangan. Hasil uji fisik dianalisis dengan Anova, jika berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Tukey. Data Organoleptik dijelaskan dengan menggunakan metode Kruskal Wallis. Peubah yang diamati adalah sifat fisik (pH, daya mengikat air dan kekenyalan) dan organoleptik (warna, aroma, tekstur, rasa dan kekenyalan). Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan lama postmortem daging dan penambahan karagenan berbeda nyata (P<0,05) terhadap pH dan daya mengikat air bakso, namun tidak berpengaruh terhadap kekenyalan bakso. Terdapat interaksi antara lama postmortem dengan penambahan karagenan (P<0,05) terhadap nilai pH bakso. Penambahan karagenan hingga 5% mempengaruhi warna dan kekenyalan bakso sedangkan aroma, tekstur dan rasa tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Kata-kata kunci : bakso daging sapi, karagenan, lama postmortem
ABSTRACT Physical Characteristics and Organoleptic Sensory of Meatball With Different Periode of Postmortem and Carrageenan Putri, A.F.E., Komariah, and H. Nuraini The objective of this research was to study the quality and palatability of meatball at the differences postmortem periods and combination of flour. The experiment was used a Completely Randomized Design, with two treatments (postmortem periods and combination of carrageenan) and three replications. Variables observed were pH, water holding capacity (WHC), firmness, colour, aroma and taste. The data were analyzed by Analysis of Variance and differences among treatments were tested with Tukey. The results showed that different periods postmortem and combination of carrageenan have significant effect to pH and WHC, but no differences for firmness. There is interaction between treatments for pH of meatball. Hedonic test has been used to analize organoleptic of meatball. Panelists give netral favoured for the organoleptics sensory of meatball. Keywords : meatball, carrageenan, postmortem
FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN
ANGGIE FITRIANI EKA PUTRI D14052556
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN
Oleh ANGGIE FITRIANI EKA PUTRI D14052556
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 15 Juni 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Hj. Komariah, M.Si
Dr. Ir Henny Nuraini, M.Si
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr
Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 30 Mei 1987. Penulis adalah anak pertama dari pasangan bapak Agus Sutedja dan ibu Yayah Sadiah. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Karsanagara, pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 2 Tasikmalaya dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Tasikmalaya. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur SPMB. Penulis kembali diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa diantaranya himpunan mahasiswa Tasimalaya (HIMALAYA) dan beberapa keanggotaan profesional lainnya.
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat ALLAH AWT atas segala rahmat, karunia, hidayah serta kasih sayang-Nya sehingga Penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam disampaikan kepada baginda Rasulallah Muhammad SAW, yang memberikan petunjuk pada zaman yang penuh keberkahan ini. Judul penelitian ini adalah ”Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi pada Lama Postmortem yang Berbeda dengan Penambahan Karagenan”. Skripsi ini membahas tentang pembuatan bakso dengan menggunakan daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan taraf penggunaan karagenan. Daging sapi segar prerigor yang digunakan untuk pembuatan bakso ini memiliki jumlah protein yang terekstrak lebih besar dibandingkan fase rigormortis. Perbedaan lama postmortem daging dan penambahan karagenan diharapkan dapat menghasilkan produk yang lebih baik dalam kualitas fisik maupun organoleptik sebagai produk daging olahan. Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Penulis dengan rendah hati berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan ilmu dan informasi mengenai bakso daging sapi. Bogor, Juli 2009
Penulis
DAFTAR ISI RINGKASAN...........................................................................................
i
ABSTRACT ............................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................
v
KATA PENGANTAR ............................................................................
vi
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
x
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................ Tujuan .........................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
Daging .......................................................................................... Bakso .......................................................................................... Bahan Pembuatan Bakso .............................................................. Bahan Pengisi .................................................................... Es atau Air Es .................................................................. Garam................................................................................ Bumbu .............................................................................. Pengolahan Bakso ........................................................................ Karagenan ..................................................................................... Kualitas Fisik Bakso .................................................................... Nilai pH ............................................................................ Daya Mengikat Air .......................................................... Kekenyalan ...................................................................... Kualitas Organoleptik Bakso ....................................................... Warna ............................................................................... Aroma .............................................................................. Rasa .................................................................................. Kekenyalan ...................................................................... Tekstur ............................................................................. METODE ................................................................................................
3 5 5 5 6 6 6 6 7 9 9 10 11 11 12 12 12 12 13 14
Lokasi dan Waktu ........................................................................ Materi .......................................................................................... Rancangan .................................................................................... Perlakuan ......................................................................... Peubah yang Diamati .......................................................
14 14 14 16 16
Prosedur ....................................................................................... Nilai pH Daging ........................................................... Daya Mengikat Air Daging .......................................... Nilai pH Bakso ............................................................. Kekenyalan .................................................................. Daya Mengikat Air Bakso ........................................... Organoleptik .................................................................
16 18 18 18 18 19 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
20
Kualitas Fisik Daging .................................................................. Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Bakso .................... Nilai pH ........................................................................ Daya Mengikat Air ...................................................... Kekenyalan .................................................................. Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik Bakso ..................... Warna ........................................................................... Aroma .......................................................................... Tekstur ......................................................................... Rasa .............................................................................. Kekenyalan ..................................................................
20 22 22 23 25 27 27 29 30 31 32
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
34
Kesimpulan .................................................................................. Saran ........................................................................................
34 34
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
36
LAMPIRAN
39
..........................................................................................
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Kimia Daging Sapi bagian Gandik dan Lemusir Berdasarkan Analisis Proksimat ....................................................
4
2. Komposisi Kimia Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii.................
8
3. Spesifikasi Mutu Karagenan..............................................................
8
4. Rataan Nilai pH dan mg H2O Daging Sapi.......................................
20
5. Rataan Nilai pH Bakso Daging Sapi.................................................
22
6. Rataan Nilai Daya Mengikat Air Bakso Daging Sapi.......................
24
7. Rataan Nilai Kekenyalan Bakso Daging Sapi...................................
25
8. Rataan dan Modus Uji Hedonik Warna Bakso Daging Sapi.............
27
9. Rataan dan Modus Uji Hedonik Aroma Bakso Daging Sapi............
29
10. Rataan dan Modus Uji Hedonik Tekstur Bakso Daging Sapi...........
30
11. Rataan dan Modus Uji Hedonik Rasa Bakso Daging Sapi...............
31
12. Rataan dan Modus Uji Hedonik Kekenyalan Bakso Daging Sapi....
32
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Pengaruh pH terhadap Daya Mengikat Air.....................................
9
2. Pola Penurunan pH Postmortem ....................................................
10
3. Tahapan Proses Pembuatan Bakso Daging Sapi............................
17
4. Rataan Nilai pH Bakso Daging Sapi .............................................
23
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Formulir Uji Hedonik Bakso……………………………….
40
2. Sidik Ragam pH Bakso Daging Sapi……………………….
41
3. Sidik Ragam DMA Bakso Daging Sapi…………………...
41
4. Sidik Ragam Kekenyalan Bakso Daging Sapi……………...
41
5. Uji Lanjut Tukey pH Bakso Daging Sapi pada 4 jam Postmortem……………………………………..
41
6. Uji Lanjut Tukey pH Bakso Daging Sapi pada 6 Jam Postmortem…………………………………….
42
7. Uji Lanjut Tukey DMA Bakso Daging Sapi pada 4 Jam Postmortem…………………………………….
42
8. Uji Lanjut Tukey DMA Bakso Daging Sapi pada 6 Jam Postmortem…………………………………….
42
9. Kruskal-Wallis Warna Bakso Daging Sapi…………………
42
10. Uji Lanjut Gibbons terhadap Nilai Hedonik Warna Bakso Daging Sapi………………………………………….
43
11. Uji Kruskal-Wallis Aroma Bakso Daging Sapi…………….
43
12. Uji Kruskal-Wallis Tekstur Bakso Daging Sapi……………
43
13. Uji Kruskal-Wallis Rasa Bakso Daging Sapi………………
44
14. Uji Kruskal-Wallis Kekenyalan Bakso Daging Sapi……….
44
15. Uji Lanjut Gibbons terhadap Nilai Hedonik Kekenyalan Bakso Daging Sapi………………………………………….
44
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan hewani yang memiliki nilai jual tinggi dan sangat digemari masyarakat. Daging dapat diartikan sebagai salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini tidak semua masyarakat Indonesia dapat mengkonsumsi daging. Pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk meningkatkan gizi suatu bangsa masih terus digalakan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu produk olahan daging yang sudah lama dikenal dan sangat digemari masyarakat Indonesia adalah bakso. Pendistribusian bakso di wilayah Indonesia sudah sangat luas sehingga produk ini memegang peranan penting dalam penyebarluasan protein hewani bagi konsumsi zat gizi masyarakat Indonesia. Ciri khas dari produk bakso ini adalah bentuknya yang bulat menyerupai bola padat yang sangat menarik. Produk ini mempunyai bahan baku utama daging dan bahan tambahan lainnya seperti tepung, garam, es, Sodium Tripolyposphat (STPP) dan bumbu penyedap. Bakso banyak diminati karena rasanya yang enak, harganya relatif murah dan kaya nilai gizi. Daging yang sering digunakan adalah daging sapi segar prerigor yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa disimpan dahulu. Jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging pada fase prerigor akan lebih besar dibandingkan fase rigormortis. Pembuatan bakso dengan menggunakan daging segar prerigor akan menghasilkan bakso yang kenyal dan kompak. Produsen bakso sering merasa kesulitan untuk mendapatkan daging segar karena harus bersaing dengan produsen bakso yang lain, disamping waktu pembelian daging yang harus dilakukan dini hari. Penggunaan daging segar prerigor empat dan enam jam postmortem diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut sehingga akan menghasilkan bakso dengan kualitas fisik dan palatabilitas yang dapat diterima konsumen. Bakso merupakan produk emulsi yang memerlukan bahan tambahan dalam proses pembuatannya. Bahan-bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan bakso akan menentukan kualitas bakso yang dihasilkan. Salah satu bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan bakso adalah bahan pengenyal. Penambahan
bahan pengenyal pada bakso biasanya menggunakan bahan kimia anorganik yang jika digunakan dalam jumlah besar dapat menimbulkan efek samping. Penambahan bahan pengenyal organik seperti karagenan diharapkan dapat memperbaiki tekstur, meningkatkan daya mengikat air dan kekenyalan gel produk pada bakso yang dihasilkan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik (pH, daya mengikat air dan kekenyalan) dan palatabilitas terhadap bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan.
TINJAUAN PUSTAKA Daging Daging
merupakan
semua
jaringan
hewan
beserta
produk
hasil
pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005). Hewan yang telah dipotong (postmortem), fungsi otot tidak langsung berhenti dan otot menjadi daging, tetapi masih terjadi perubahan-perubahan fisik dan kimia untuk beberapa jam bahkan beberapa hari. Proses ini merupakan proses konversi otot (muscle) menjadi daging (meat) (Natasasmita et al., 1987). Selama 24-36 jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan proteolisis terjadi sebelum pH ultimat atau pH akhir karkas atau daging tercapai. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya, temperatur tinggi
meningkatkan
laju
penurunan
pH,
sedangkan
temperatur
rendah
menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 2005). Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan, pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor yang sangat mempengaruhi sifat fisik daging setelah pemotongan adalah pH dan daya mengikat air daging. Nilai pH adalah sebuah indikator penting kualitas daging dengan memperhatikan kualitas teknologi dan
pengaruh
kualitas
daging
segar.
Faktor
setelah
pemotongan
yang
mempengaruhi daya mengikat air daging antara lain meliputi pH daging, metode pemasakan, lemak intramuskular atau marbling, jenis otot dan lokasi otot daging (Soeparno, 2005). Komposisi kimia daging bervariasi dan bergantung pada spesies ternak, umur, jenis kelamin, makanan serta letak dan fungsi bagian daging tersebut di dalam tubuh. Menurut Lawrie (2003), daging juga dapat dipengaruhi oleh bangsa dan aktivitas ternak tersebut saat masih hidup. Secara umum komposisi kimia daging
terdiri dari protein, air, lemak, karbohidrat dan mineral. Komposisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Sapi Bagian Gandik dan Lemusir Berdasarkan Analisis Proksimat Komposisi
Gandik
Lemusir
Mentah
Masak
Mentah
Masak
Air (%)
66,6
54,7
55,7
43,9
Protein (%)
20,2
28,6
16,9
23
Lemak (%)
12,3
15,4
26,7
32
0,9
1,3
0,8
Abu (%)
1,1
Sumber : Schweigert (1987)
Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak, karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, dan lebih banyak lemak dan mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu skim (Soeparno, 2005). Berdasarkan komposisi kimia daging bahwa kandungan lemak, air, protein, abu untuk setiap potongan daging berbeda. Daging bagian gandik mentah maupun masak memiliki kandungan lemak yang lebih sedikit dibandingkan dengan daging bagian lemusir sehingga daging bagian gandik sering digunakan dalam pembuatan bakso. Sunarlim (1992) menyatakan bahwa daging yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah daging segar prerigor yang mengandung protein aktin sebesar 12-15 % dan sangat baik digunakan dalam pembentukan emulsi. Pada daging segar prerigor biasanya jumlah protein aktinnya sedikit, karena telah berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin. Daging sapi yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging segar prerigor yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa disimpan dahulu. Jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging pada fase prerigor akan lebih besar dibandingkan fase rigormortis. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa jika otot dibekukan sebelum
terjadinya proses rigormortis, dimana tingkat pH dan ATP masih tetap tinggi maka proses enzimatis yang berkaitan akan terhenti dan akan tetap terhenti selama penyimpanan beku. Jika terjadi pencairan kembali atau thawing maka proses tersebut akan kembali lagi bersama proses rigormortis. Proses ini dinamakan thaw rigor. Bakso Bakso daging menurut SNI No 01-3818-1995 merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran daging (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan (DSN, 1995). Pembuatan bakso meliputi aspek penyediaan bahan baku yaitu daging dan bahan pengisi, serta bahan tambahan yang umumnya terdiri dari garam, STPP, dan es. Bahan Pembuatan Bakso Bahan Pengisi. Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi air dua sampai tiga kali dari berat semula sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Ockerman, 1983). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka. Menurut Rusmono (1983) tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan. Berdasarkan SNI No 01-3818-1995, bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso maksimum 50% (DSN, 1995). Jika jumlah bahan pengisi yang ditambahkan semakin tinggi maka dapat menyebabkan kekerasan objektif bakso semakin meningkat (Purnomo, 1990). Menurut deMan (1989) pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuhan. Pati terdapat sebagai butiran kecil dengan berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Pati akar dan umbi (kentang, ketela dan tapioka) membentuk pasta sangat kental dan mengandung bagian-bagian panjang. Pasta ini biasanya jernih dan pada
pendinginan hanya membentuk gel lunak.
Es atau Air Es. Menurut Ockerman (1983), salah satu tujuan penambahan es atau air es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang ditimbulkan oleh gesekan selama penggilingan. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa jika panas pada proses penggilingan berlebih maka emulsi akan pecah dan produk
tidak
akan
bersatu
selama pemasakan.
Penambahan
es
pada
pembentukan emulsi daging bertujuan untuk (1) melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi, (4) mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah akibat pemanasan mekanis (Pearson et al., 1984). Garam Dapur (NaCI). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambah atau meningkatkan rasa dan memperpanjang masa simpan (shelf-life) produk. Menurut Sunarlim (1992), penambahan garam sebaiknya tidak kurang dari 2% karena konsentrasi garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya protein yang terlarut. Bumbu. Bumbu adalah bahan yang ditambahkan ke dalam komposisi suatu produk untuk memperbaiki citarasa produk tersebut. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan alami (Farrel, 1990). Lada dan bawang putih digunakan pada beberapa resep produk daging seperti bakso (Aberle et al., 2001). Pengolahan Bakso Menurut Pandisurya (1983) dan Indrarmono (1987), pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan. Bakso sendiri terdiri dari daging dan bahan tambahan lain seperti tepung, garam, es, STPP dan bumbu penyedap.
Penyimpanan
adonan
sebelum
dilakukan
pembentukan
bertujuan
meningkatkan jumlah protein larut garam dalam emulsi atau adonan bakso sehingga dapat memperbaiki sifat fisik bakso yang dihasilkan (Indrarmono, 1987). Menurut Pandisurya (1983), pemasakan bakso dilakukan dalam dua tahap, bertujuan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman bakso pada suhu 50-60°C bertujuan untuk membentuk bakso, lalu bakso direbus dalam air dengan suhu 100°C untuk mematangkannya. Karagenan Karagenan
adalah
polimer
galaktosa
(Fardiaz,
1989).
Karagenan
(Carrageenan) memiliki klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Chapman dan Chapman (1980) adalah filum Rhodophyta, sub kelas Floridae, kelas Rhodopyceae, ordo Gigartinales, famili Soliriaceae, genus Kappaphycpus, spesies Kappaphycus alvarezii (Doty), Eucheuma cottonii (nama dagang). Karagenan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air atau larutan alkali pada temperatur tinggi (Glicksman, 1983). Karagenan merupakan hasil olahan rumput laut (seaweeds) yang sebenarnya tergolong ke dalam alga, yaitu kelompok tumbuhan sederhana yang tidak berdaun, berbatang, dan berakar. Alga sendiri berasal dari bahasa Latin algor yang berarti dingin. Menurut
Keeton
(2001),
karagenan
dapat
menyerap
air
sehingga
menghasilkan tekstur yang kompak. Karagenan juga meningkatkan rendemen, meningkatkan daya serap air, menambah kesan
juiceness, meningkatkan
kemampuan potong produk dan melindungi produk dari efek pembekuan dan thawing. Karagenan dapat dicampurkan bersama daging, larutan garam, tepung dan bahan tambahan pangan lainnya ke dalam mixer, blender atau tumbler. Adapun komposisi kimia dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat tiga macam karagenan yang banyak dimanfaatkan yaitu lambda, iota, dan kappa karagenan. Iota karagenan diekstraksi dari Eucheuma spisonum, Lambda karagenan dari Chondrus crispus dan Kappa karagenan dari Eucheuma cottoni, baik melalui proses semi refine maupun refine. Terdapat beberapa istilah untuk semi refine karagenan (SRC) yaitu seperti Alkali Treated Carrageenan (ATC),
Alkali Modified Flour (AMF) dan Seaweed Flour (SF). Semirefine carrageenan ini merupakan bahan baku untuk industri karagenan yang sudah melalui perlakuan alkali (Istini et al., 1991). Tabel 2. Komposisi Kimia Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii Komposisi Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karagenan (%)
Jumlah 12,90 5,12 0,13 13,38 1,39 14,21 52,82 0,11 2,26 4,00 65,75
Sumber: Istiani et al. (1986)
Standar mutu karagenan dalam bentuk tepung adalah 99% lolos pada saringan 60 mesh dan memiliki densitas 0,7 (yang diendapkan oleh alkohol) dengan kadar air 15% pada Rh 50 dan 25% pada Rh 70. Penggunaan ini biasanya dilakukan pada konsentrasi kation yang terdapat dalam sistem (Winarno, 1996). Pembuatan tepung karagenan dari alga laut secara umum terdiri atas penyiapan bahan baku, proses ekstraksi, penyaringan, pengendapan dan pengeringan produk. Karagenan merupakan tepung berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau dan memiliki rasa getah (mucilaginous). Karagenan larut dalam air pada suhu sekitar 80oC dan membentuk larutan kental (Food Chemicals Codex, 1980). Spesifikasi mutu karagenan menurut Food Chemicals Codex dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi Mutu Karagenan Kriteria Uji Arsen (As) Abu tidak larut asam Total abu Logam berat Lead Penyusutan pada pengeringan Sulfat Viskositas larutan 1,5% Sumber: Food Chemicals Codex (1980)
Persyaratan Maks 3 ppm Maks 1% Maks 35% Maks 0,004% Maks 10 ppm Maks 12 % 18-40 % berdasarkan BK Min 5 cP pada suhu 75°C
Kualitas Fisik Bakso Niai pH Nilai pH bakso berkaitan dengan protein yang terlarut serta dapat mempengaruhi daya mengikat air suatu produk emulsi. Semakin tinggi nilai pH akan meningkatkan daya mengikat air. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa semakin tinggi pH maka semakin banyak jumlah salt-soluble protein (SSP) yang terekstrak. Besarnya nilai pH dapat digunakan untuk menentukan suatu produk daging bersifat asam, netral atau basa. Nilai pH adalah sebuah indikator penting kualitas daging dengan memperhatikan kualitas teknologi dan pengaruh kualitas daging segar. Nilai pH daging sangat berpengaruh terhadap sifat fisik daging, yaitu warna, DMA dan kekenyalan. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air yang dihasilkan. Menurut Soeparno (2005), daya mengikat air akan meningkat pada pH yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari titik isoelektrik protein daging seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh pH terhadap Daya Mengikat Air Daging (Wismer-Pedersen, 1971) Pengamatan terhadap pH penting dilakukan karena perubahan pH berpengaruh terhadap kualitas bakso yang dihasilkan. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui tingkat keasaman bakso yang disebabkan oleh ion hidrogen (H+). Produk akhir yang mengalami pemasakan dan penggaraman bergantung pada pH daging. Temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur
rendah menghambat laju penurunan pH. Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, dan glikogen otot. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, perlakuan dan stress sebelum pemotongan (Soeparno, 2005). Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,3-5,7. Pola penurunan pH ini normal. 2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8. Sifat daging yang dihasilkan gelap, keras dan kering sehingga disebut daging dark firm dry (DFD). 3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5,4-5,5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4-5,6. Sifat daging yang dihasilkan pucat, lembek dan berair, sehingga disebut daging pale soft eksudative (PSE).
Gambar 2. Pola Penurunan pH Daging Setelah Pemotongan Daya Mengikat Air (DMA) Menurut Soeparno (2005) daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Pengaruh luar tersebut meliputi pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan dan tekanan. Menurut Fardiaz. et al (1992) kapasitas menahan air pada daging adalah kemampuan jaringan otot menahan air selama penanganan seperti pemotongan, pemasakan, penggilingan atau pengepresan. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi DMA daging antara lain meliputi pH daging, metode pemasakan, lemak intramuskuler atau marbling, jenis otot dan lokasi otot. Perbedaan DMA antara otot disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan. Fungsi otot juga mempengaruhi DMA oleh karena jumlah glikogen masing-masing otot bervariasi. Penurunan daya mengikat air dapat dideteksi dengan adanya eksudasi cairan yaitu drip, yang terdapat pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Eksudasi ini berasal dari lemak dan cairan daging (Soeparno, 2005). Peningkatan daya mengikat air biasanya diikuti oleh penurunan drip pada daging beku. Pelayuan meningkatkan daya mengikat air daging pada berbagai macam pH karena terjadi perubahan hubungan air-protein yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca+. Menurut Ockermen (1983) pati sebagai bahan pengisi dapat meningkatkan daya mengikat air bakso karena kemampuannya menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat mengikat air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula sehingga adonan menjadi lebih besar. Pada proses pemanasan sampai 70-710C adonan pati akan membentuk gel, dan ketika didinginkan akan membentuk padatan. Kekenyalan Sifat kenyal merupakan sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan. Sifat kenyal dan keras sebenarnya sama-sama menyatakan daya tahan untuk pecah. Perbedaannya adalah sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk pangan yang tidak deformasi, sedangkan sifat kenyal adalah sifat reologi pada produk pangan plastis yang bersifat deformasi (Soekarto, 1990). Kualitas Organoleptik Bakso Soekarto (1990) menyatakan bahwa sifat subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra. Palatabilitas panelis dapat ditunjukan
melalui uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, rasa, kekenyalan dan tekstur. Warna Warna makanan memiliki peranan utama dalam penampilan makanan, meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan tidak menarik waktu disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang (Soeparno, 2005). Warna merupakan refleksi cahaya pada permukaan bahan yang ditangkap oleh indra penglihatan dan ditranmisi dalam sistem syaraf. Perubahan warna dapat ditentukan oleh pembuatan bahan kimia dan perombakan enzim menjadi pigmen.Warna mempengaruhi penerimaan suatu bahan pangan, karena umumnya penerimaan bahan yang pertama kali dilihat adalah warna. Warna yang menarik akan meeningkatkan penerimaan produk. Pada saat pemasakan warna bahan atau produk pangan dapat berubah. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, intensitas warna semakin menurun (Elviera, 1998). Warna produk bakso dipengaruhi oleh kualitas warna bahan baku (daging). Aroma Aroma adalah faktor paling penting pada daging. Aroma sukar untuk didefinisikan secara objektif. Evaluasi aroma dan rasa masih tergantung pada pengujian secara sensori (tes panel). Keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu menyebabkan pemilihan anggota panel menjadi penting (Lawrie, 2003). Pembauan disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat
hanya
dengan mencium baunya dari jarak jauh (Soekarto, 1990). Jenis daging yang digunakan, lemak intramuskular, bahan-bahan yang ditambahkan selama pemasakan serta jumlah tepung yang terlalu tinggi akan mempengaruhi aroma bakso, penggunaan tepung yang terlalu banyak akan menutupi aroma daging pada bakso sehingga tidak disukai oleh panelis (Purnomo, 1990). Rasa Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila yaitu noda merah jingga pada lidah. Faktor yang
mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsistensi dan interaksi pangan dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan. Atribut rasa banyak ditentukan oleh formulasi yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh pengolahan suatu produk pangan (Winarno, 1997). Menurut Surjana (2001), umumnya ada tiga macam rasa yang sangat menentukan penerimaan konsumen yaitu kegurihan, keasinan, dan rasa daging. Tingkat kegurihan produk daging bakso dipengaruhi oleh kadar garam dan kadar daging, semakin tinggi kadar daging maka kegurihannya akan semakin tinggi. Kekenyalan Kekenyalan mempengaruhi palatabilitas seseorang terhadap suatu produk. Kekenyalan didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa kehilangan sifatsifat jaringan yang layak. Kekenyalan melibatkan tekstur, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam bakso, kemudian mengunyah menjadi potongan yang lebih kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie, 2003). Tekstur Tekstur makanan berhubungan dengan sifat aliran dan deformasi produk serta cara berbagai struktur unsur dan struktur komponen ditata dan digabung menjadi mikro dan makro struktur (de Man, 1989). Menurut Wirakartakusuma (1992), alasan pokok untuk memanaskan jaringan otot adalah agar terjadi perubahan tekstur. Ada empat mekanisme yang mempengaruhi tekstur selama pemasakan, yaitu: (1) enzim proteolitik dinonaktifkan, (2) denaturasi termal jaringan ikat mengakibatkan pengempukan, (3) terjadi denaturasi protein kontraktil yang berakibat pengerasan dan (4) turunnya DMA, kekurangan cairan seperti air, lemak, dan terjadi penyusutan diameter.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Seafast Center Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Pebruari sampai Maret 2009. Materi Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini dibedakan menjadi dua macam yaitu bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama berupa daging sapi segar prerigor bagian gandik yang diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan Kotamadya Bogor. Bahan tambahan yang digunakan adalah tepung tapioka, es batu, garam dapur, bawang putih, lada dan karagenan yang diperolah dari Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Peralatan yang digunakan untuk membuat bakso terdiri atas alat untuk membuat adonan bakso yaitu alat penggiling daging sekaligus pencampur adonan (food processor) dan peralatan masak lain. Peralatan yang digunakan untuk melakukan analisa sifat fisik bakso adalah pH-meter, planimeter, carverpress, kertas saring Whatman 41, timbangan, blender, gelas ukur, Sentrifuse, Textur Analyzer TAXT2i, vortex mixer, penangas air, dan stopwatch. Peralatan yang digunakan untuk uji organoleptik bakso adalah piring, garpu, gelas, kertas tisu, pisau, kertas kuisioner dan alat tulis. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan daging pada empat dan enam jam postmortem, sedangkan faktor kedua adalah taraf penggunaan karagenan yang terdiri atas tiga taraf yaitu 20% tapioka (K0), 17,5 % tapioka + 2,5 % karagenan (K1), 15% tapioka + 5% karagenan (K2). Model Statistik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij Keterangan : Yijk = Hasil pengamatan sifat fisik bakso dengan menggunakan daging ke-j, bahan tambahan pangan ke-i dan ulangan ke-k µ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh taraf penggunaan karagenan level ke-i
βj
= Pengaruh lama postmortem level ke-j
i
= Taraf penggunaan karagenan
j
= Daging dengan lama postmortem yang berbeda
(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara taraf penggunaan karagenan pada daging dengan lama postmortem yang berbeda ε ij = Pengaruh galat Data diolah dengan pengujian asumsi analisis ragam diantaranya, pengujian keaditifan model, pengujian kehomogenan ragam, pengujian kebebasan galat dan pengujian kenormalan galat. Apabila keempat uji asumsi tersebut terpenuhi maka data diolah dengan menggunakan statistik parametrik. Apabila pada analisis ragam didapatkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1995). Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik untuk melihat tingkat kesukaan konsumen. Hasil penilaian oganoleptik dianalisis dengan metode non parametrik sesuai petunjuk Kruskal Wallis. Apabila hasilnya berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji yang dikembangkan oleh Gibbons (1975). Rumus Gibbons : |Ri – Rj| ≤ [K (N+1)/6]0.5 Jika |Ri – Rj| lebih besar dari Z [K(N+1)/6]0.5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf α. Keterangan : K = jumlah level dalam perlakuan (1, 2, 3,…, 6) N = jumlah total data (jumlah panelis x jumlah sampel) Ri = jumlah peringkat dalam contoh ke-i Rj = jumlah peringkat dalam contoh ke-j Z = nilai Z yang kemudian dicari pada tabel Z
Perlakuan A1: Daging empat jam postmortem dan 20% tapioka A2: Daging empat jam postmortem dan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan A3: Daging empat jam postmortem dan 15 tapioka + 5% karagenan B1: Daging enam jam postmortem dan 20% tapioka B2: Daging enam jam postmortem dan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan B3: Daging enam jam postmortem dan 15 tapioka + 5% karagenan Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini diantaranya yaitu pengujian sifat fisik yang meliputi pH, Daya Mengikat Air dan Kekenyalan. Penilaian Organoleptik dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap bakso daging sapi. Prosedur Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan formulasi penambahan karagenan dan tapioka sehingga dihasilkan formula bakso yang tepat. Formula tersebut terdiri atas 0% karagenan dan 20% tapioka, 10% karagenan dan 10% tapioka, 15% karagenan dan 5% tapioka. Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging sapi yang telah dibersihkan dari lemak permukaan. Daging yang telah dibersihkan dipotong kecilkecil. Potongan daging yang telah siap tersebut dimasukkan ke dalam alat food processor bersama dengan es batu dan garam lalu digiling halus selama satu menit. Lada, bawang putih, tepung tapioka dan karagenan digiling kembali selama satu menit. Setelah terbentuk adonan, selanjutnya adonan didiamkan selama 10 menit. Adonan kemudian dibentuk menjadi bulatan-bulatan untuk dimasukkan dalam air panas dengan suhu 80°C selama 15 menit, lalu bakso diangkat dan dimasak kembali dalam air mendidih dengan suhu 100°C selama kurang lebih 10 menit. Tahapan proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 3.
150 gram daging dibersihkan lemak permukaannya, dipotong kecil-kecil, kemudian dimasukkan ke dalam food processor Ditambahkan 20% es batu, 5% NaCl
Digiling halus selama 1 menit Ditambahkan 0,2% lada, tapioka/karagenan dan bawang putih Digiling kembali selama 1 menit
Adonan yang terbentuk didiamkan selama 10 menit dan disimpan dalam refrigerator dengan suhu 10°C
Adonan dicetak berbentuk bulat-bulatan bakso
bakso dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) selama 15 menit
bakso dimasak kembali pada air panas (100°C) selama 10 menit
Bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit
Analisa fisik dan uji organoleptik bakso
Gambar 3. Tahapan Proses Pembuatan Bakso Daging Sapi
Nilai pH daging (Soeparno, 2005). Sampel daging diukur dengan menggunakan pH-meter Probe merk Hanna Instruments HI 99163. Alat pH meter mula-mula dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 4 dan 7. Elektroda dibilas menggunakan aquades dan dikeringkan. Alat pH-meter ditusukkan ke dalam sampel daging kira-kira 2-4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala tersebut. Daya Mengikat Air Daging (Soeparno, 2005). Pengukuran daya mengikat air dianalisis dengan menghitung nilai mgH2O dengan menggunakan metode Hamm, yaitu dengan cara mengambil sampel daging sebanyak 0,3 gram, kemudian sampel disimpan diantara dua kertas saring tipe Whatman 41. Setelah itu, sampel tersebut dipress dengan menggunakan carverpress selama lima menit dengan tekanan 35 kg/cm2. Batas antara daging dengan air ditandai, lalu ukur dengan Planimeter merk Hruden dengan cara, batas luar (wet area) diberi tanda dengan titik, lalu putar searah jarum jam, angka yang dihasilkan sebelum diputar dan sesudah diputar dibaca, dan ini juga berlaku untuk mengukur luas lingkaran dalam.
1.
Daerah basah (cm2) = luas lingkaran luar – luas lingkaran dalam x 6,45 cm2
Angka yang diperoleh dalam satuan inchi dikonversikan ke dalam sentimeter, (1 inchi = 2.54 cm). setelah didapatkan hasilnya, baru kemudian dicari hasilnya dengan rumus : mg H2O =
daerah basah(cm 2 ) - 8,0 0,0948
% mg H2O =
mgH 2 O × 100% 300
Nilai pH bakso (AOAC, 1995). Nilai pH bakso diukur dengan menggunakan pH-meter merek Orion model 210A dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Sampel ditimbang 5 gram, kemudian ditambah aquades 45 ml, setelah itu sampel diblender selama satu menit, sampel dipindahkan ke dalam gelas ukur, pH-meter dicelupkan ke dalam sampel kira-kira 2 – 4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala.
Kekenyalan (Muhibiddin, 2007). Pengukuran kekenyalan bakso dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer TA-XT2i. Cara kerja alat ini adalah pisau pada alat akan memotong sampel (berukuran 2x2x2 cm3) sebanyak 2 kali. Pada
pemotongan pertama akan terbentuk kurva tertinggi menyatakan nilai kekerasan sampel, kemudian pada pemotongan berikutnya akan diperoleh kurva kedua. Kekenyalan sample akan diperoleh dengan membandingkan time different antara kedua kurva tersebut. Kekenyalan (%) =
kurva 2(cm ) × 100% kurva 1(cm )
Daya Mengikat Air Bakso (Fardiaz et al., 1992). Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan mencampurkan bakso yang telah di blender dengan air yang ditambahkan dibiarkan berinteraksi, kemudian air yang tidak terserap dipisahkan dengan sentrifusi. Jumlah air yang terserap merupakan selisih jumlah air mula-mula dengan jumlah air setelah sentrifusi. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram, masukkan kedalam tabung reaksi (tabung sentrifus). Air sebanyak 10 ml ditambahkan, dikocok dengan vortex mixer. Didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar, kemudian disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Volume supernatan diukur dengan gelas ukur 10 ml. Air yang terserap dihitung yaitu selisih air mula-mula (10 ml) dengan volume supernatan yang dinyatakan dalam g/g dengan asumsi berat jenis air adalah 1 (g/ml). % Daya Mengikat Air =
A− B × 100% A
Keterangan : A = volume aquades yang ditambahkan (ml) B = aquades yang diserap (ml) Persentase air yang keluar dari sampel daging dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan daging dalam mengikat air (DMA).
Organoleptik (Soekarto, 1990). Uji organoleptik merupakan analisis sifatsifat sensorik suatu komoditi dengan menggunakan panel yang bertindak sebagai instrumen atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang yang disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu produk berdasarkan kesan subjektif. Uji organoleptik dilakukan menggunakan metode hedonik dengan skala 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka). Pengujian dilakukan terhadap 43 orang. Panelis diminta menyatakan penilaiannya terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur tanpa membandingkan satu sama lain pada kertas format yang telah disediakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisik Daging Mengetahui sifat fisik dari suatu produk sangatlah penting. Kualitas fisik daging pasca pemotongan sangat menentukan produk yang akan dihasilkan. Pengamatan terhadap pH dan Daya Mengikat Air (DMA) daging penting dilakukan karena akan berpengaruh terhadap kualitas bakso yang dihasilkan terutama warna dan kekenyalan. Rataan nilai pH dan mg H2O daging disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Rataan Nilai pH dan mg H2O Daging Sapi Peubah pH mg H2O (%)
Lama Postmortem 4 Jam 5,79±0,08 36,49±3,69
6 Jam 5,62±0,08 30,59±3,96
Nilai daya mengikat air (DMA) ditunjukkan dalam persen air yang terikat, sehingga semakin besar persentase mg H2O yang dibebaskan semakin rendah pula kemampuan daging untuk mengikat air. Berdasarkan hasil pengujian daging penurunan nilai pH diikuti dengan penurunan nilai mg H2O. Berdasarkan Tabel 4. semakin lama waktu postmortem maka semakin rendah pula nilai pH dan persentase mg H2O daging, hal ini berarti nilai pH daging dapat mempengaruhi mg H2O yang dihasilkan. Pada Tabel 4. dapat dilihat penurunan pH daging secara perlahan dari empat jam hingga enam jam postmortem namun nilai pH akhir daging dari kedua perlakuan tersebut belum dapat ditentukan karena dimungkinkan masing-masing nilai pH kedua perlakuan masih dapat turun selama enzim-enzim glikolisis masih dapat bekerja menghasilkan asam laktat. Menurut Aberle et al. (2001) pH akhir daging pada kualitas daging normal mencapai ±5,5. Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan daya mengikat air daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik protein miofibril, filamen miosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis menyebabkan penurunan daya mengikat air (Soeparno, 2005).
Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan antara lain jaringan otot menjadi keras, kaku dan tidak mudah digerakkan. Keadaan ini memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk lagi. Menurut Muchtadi (1992), setelah hewan mati metabolisme aerobik tidak terjadi karena sirkulasi darah ke jaringan otot terhenti, sehingga metabolisme berubah menjadi sistem anaerobik yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Adanya penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan turunnya pH jaringan otot. Perubahan nilai pH sangatlah penting untuk diperhatikan selama postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, citarasa, daya ikat air, dan masa simpan. Berdasarkan hasil pengujian pH daging pada postmortem empat jam mengalami penurunan secara perlahan. Kecepatan penurunan pH sangat dipengaruhi oleh temperatur sekitarnya. Suhu lingkungan tinggi, pH daging akan turun lebih cepat. Kecepatan penurunan pH mempengaruhi kondisi fisik daging. Selama 24-36 jam postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Glikolisis merupakan pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa yang diawali dengan degradasi glikogen secara enzimatik (glikogenolisis). Glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot sebagai sumber energi pada saat pemotongan (Soeparno, 2005). Daya
mengikat
air
diartikan
sebagai
kemampuan
daging
untuk
mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Air yang keluar akibat perlakuan yang ringan adalah biasa karena sebagian dari air yang terkandung dalam daging ada dalam bentuk bebas (Natasasmita et al., 1987). Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase prerigor daya mengikat air masih relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan menurunnya nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot. Titik minimal daya mengikat air daging bersamaan dengan pencapaian pH terendah pada fase rigormortis yaitu antara pH 5,0-5,1 yang juga bertepatan dengan titik isoelektrik protein daging. Berdasarkan hasil penelitian Huidobro et al. (2002) sapi yang telah melalui proses pemotongan, temperatur dan pH daging mengalami penurunan hingga mencapai 24 jam postmortem dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara daging
yang berasal dari sapi dara (heifer) dan sapi jantan (bulls). Nilai rataan pH daging pada penelitian ini adalah 5,79-5,62. Nilai pH tersebut termasuk ke dalam jarak yang normal. Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Bakso Nilai pH Nilai pH merupakan faktor penting yang harus diketahui dalam semua produk pangan olahan khususnya produk olahan daging. Menurut Soeparno (2005), perubahan pH berhubungan erat dengan warna serta tekstur daging dan produknya. Nilai rataan pH bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 4. Tabel 5. Rataan Nilai pH Bakso Daging Sapi Perlakuan K0 K1 K2
4 jam 6,28±0,01a 6,23±0,01b 6,13±0,00c
Lama Postmortem 6 jam 6,03±0,03d 6,20±0,00e 6,32±0,00f
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) K0 : 20% tapioka K1 : 17,5% tapioka + 2,5% karagenan K2 : 15% tapioka + 5% karagenan
Terdapat interaksi antara lama postmortem dan penambahan karagenan terhadap pH bakso. Bakso dengan penambahan 15% tapioka + 5% karagenan (K2) pada enam jam postmortem memiliki pH 6,32 yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelima perlakuan yang lain. Nilai pH terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan karagenan pada enam jam postmortem yaitu 6,03. Penambahan karagenan hingga taraf 5% mengakibatkan nilai pH meningkat, hal ini disebabkan pH karagenan yang bersifat basa yaitu sekitar 9,5-10,5 sehingga bakso yang dihasilkan memiliki nilai pH yang mendekati netral. Berdasarkan hasil penelitian Sudrajat (2007), pH bakso dengan penambahan karagenan berkisar antara 6-7. Sifat fungsional protein daging dapat berkurang pada pH rendah akibat terjadinya denaturasi. Sifat tersebut berfungsi sebagai emulsifier yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso. .
6.35 6.3 6.25
Nilai pH
6.2 6.15 6.1 6.05 6 5.95 5.9 5.85 1
2
3
Taraf penggunaan karagenan 4 jam postmortem
6 jam postmortem
Gambar 4. Rataan Nilai pH Bakso Daging Sapi Berdasarkan Gambar 4. pH daging yang mendekati 7 yaitu pada daging dengan lama postmortem empat jam dengan penambahan karagenan akan menurunkan pH bakso yang dihasilkan dan sebaliknya pH daging yang menjauhi 7 yaitu pada daging dengan lama postmortem enam jam dengan penambahan karagenan akan meningkatkan pH bakso yang dihasilkan. Nilai pH bakso ini akan mengindikasikan pada penilaian fisik panelis terhadap bakso yang dihasilkan seperti pada warna, aroma, tekstur dan kekenyalan. Secara umum, penurunan pH akan berpengaruh pada kualitas produk. Semakin rendah pH suatu produk umumnya akan meningkatkan daya simpan produk karena bakteri akan sulit hidup pada pH rendah kecuali bakteri yang tahan pada pH rendah (Achidophilic) (Soeparno, 2005). Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil (Buckle et al., 1987). Daya Mengikat Air Menurut Soeparno (2005) daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Daya mengikat air menunjukkan kemampuan daging
atau produk daging olahan untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Dalam pembuatan produk tersebut diperlukan DMA tinggi. Pengukuran DMA penting dilakukan untuk melihat seberapa besar jumlah air yang dapat diikat dan dipertahankan adonan selama pemasakan. Rataan nilai DMA bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Nilai Daya Mengikat Air Bakso Daging Sapi (%) Lama Postmortem 4 jam 6 jam 12,67±2,52 10,00±0,00 15,00±0,00 9,00±2,65 20,33±0,58 16,33±2,31 15,99±3,64a 11,77±3,87b
Perlakuan K0 K1 K2 Rataan
Rataan 11,34±2,16a 12,00±3,69a 18,33±2,66b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) K0 : 20% tapioka K1 : 17,5% tapioka + 2,5% karagenan K2 : 15% tapioka + 5% karagenan
Perbedaan lama postmortem daging dan penambahan karagenan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap DMA bakso. Tidak terdapat interaksi antara lama postmortem dan penambahan karagenan terhadap DMA bakso daging sapi. Berdasarkan data yang diperoleh maka DMA bakso daging sapi pada empat jam postmortem nyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging enam jam postmortem. DMA bakso tanpa penambahan karagenan nyata lebih rendah dibandingkan dengan penambahan karagenan 5% tetapi tidak nyata dengan penambahan 2,5% karagenan. Berdasarkan data yang diperoleh maka penambahan karagenan pada kombinasi satu dan kombinasi dua menghasilkan DMA yang meningkat, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh
Keeton
(2001)
bahwa
penggunaan
karagenan
dapat
meningkatkan daya mengikat air dan juiceness. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi DMA daging antara lain meliputi pH daging, metode pemasakan, lemak intramuskuler atau marbling. Suhu selama proses pemasakan akan menyebabkan denaturasi protein dan banyak menurunkan daya mengikat air (Soeparno, 2005). Rataan DMA bakso daging sapi pada penelitian ini adalah sebesar 13,89±3,11%. Nilai DMA bakso pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan
dengan penelitian Panjaitan (2006) mengenai sifat fisik, kimia dan palatabilitas bakso daging kerbau dengan menggunakan bagian daging dan taraf tepung tapioka yang berbeda menghasilkan daya mengikat air sebesar 21,21%. Hal ini disebabkan karagenan lebih bersifat sebagai pengikat
(binding agent) air,
sehingga
kemampuannya dalam mempertahankan air dalam bakso rendah. Protein aktin dan myosin merupakan komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan bakso. Pengukuran DMA berhubungan erat dengan nilai juiceness dan tekstur yang dihasilkan. Bakso yang memiliki nilai DMA yang rendah akan menghasilkan produk yang kurang kenyal dan cenderung kering. Winarno (1997) menyatakan bahwa bahan pengisi dapat meningkatkan DMA produk karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Pati mentah akan menyerap air sampai kira-kira sepertiga beratnya dan pada proses pemanasan adonan akan membentuk gel. Daya mengikat air merupakan faktor penting dalam pembentukan gel. Kekenyalan Rataan nilai kekenyalan bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kekenyalan Bakso Daging Sapi (%) Perlakuan K0 K1 K2 Rataan
Lama Postmortem 4 jam 6 jam 32,62±10,63 32,53±10,26 36,61± 3,55 28,22±5,23 36,93±11,45 40,17±9,60 35,39±8,28 33,64±9,15
Rataan 32,58±9,34 32,41±6,09 38,55±8,56 34,51±8,51
Keterangan : K0 : 20% tapioka K1 : 17,5% tapioka + 2,5% karagenan K2 : 15% tapioka + 5% karagenan
Penambahan karagenan pada lama postmortem yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai kekenyalan bakso daging sapi. Rataan umum nilai kekenyalan bakso adalah 34,51±8,51%. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh DMA dan pH daging. Nilai pH yang semakin tinggi mengakibatkan DMA semakin tinggi sehingga kandungan air dalam bakso akan semakin banyak. Tingginya kandungan air dalam bakso mengakibatkan bakso akan menjadi lebih kenyal. Hal ini disebabkan air, lemak dan tersedianya hasil ekstraksi protein akan
menyebabkan terjadinya emulsi. Emulsi ini menyebabkan bakso yang diperoleh menjadi lebih kompak dan tidak akan mudah pecah. Daging segar prerigor mempunyai jumlah protein yang terekstraksi dari daging dengan perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan dengan postrigor. Hal ini akan meningkatkan jumlah zat pengemulsi yaitu protein larut garam aktin dan miosin sehingga emulsi lebih stabil (Aberle et al., 2001). Pada prinsipnya pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan kekenyalan produk dan kedua pengaruh pemasakan ini tergantung waktu atau temperatur. Lama waktu pemasakan mempengaruhi pelunakan kolagen, sedangkan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibril (Soeparno, 2005). Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat pemanasan. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh gelatinisasi yang terjadi pada tepung tapioka. Gelatinisasi merupakan pengembangan yang terjadi dalam granula-granula pati selama pemasakan. Pengembangan pati akan menghasilkan pasta yang kenyal atau gel yang kaku. Pati dengan amilopektin yang tinggi akan membentuk produk yang lekat. Peningkatan viskositas disebabkan air yang sebelumnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini berada dalam butirbutir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Penambahan karagenan dapat membantu pembentukan gel yang dapat memperbaiki sifat kekenyalan. karagenan dapat berikatan baik dengan protein dan air, sehingga bakso memiliki kekuatan menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula setelah tekanan dihilangkan. Sifat tersebut disebut sifat kenyal. Menurut Fardiaz (1989), gel mungkin mengandung sampai 99,9% air tetapi mempunyai sifat lebih khas seperti padatan, khususnya sifat elastisitas dan kekakuan. Pada prinsipnya terbentuknya sifat-sifat gel ini adalah sebagai akibat adanya pembentukan jala atau jaringan tiga dimensi oleh molekul-molekul polimer seperti protein atau polisakarida yang secara sempurna merentang pada seluruh volume gel yang terbentuk. Sifat jaringan keseluruhan gel akan menentukan kekuatan, stabilitas, daya simpan makanan serta tekstur dan rasanya. Menurut Winarno (1996), penambahan karagenan mampu berinteraksi dengan makromolekul yang bermuatan. Misalnya protein, sehingga mampu mempengaruhi peningkatan viskositas. Pembentukan gel, pengendapan dan
stabilitasi. Karagenan mempunyai peranan sangat penting dan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai stabilisator, bahan pengental (thickener), pengikat (binder), pembentuk gel (gelling agent), pengemulsi (emulsifier) dan lain-lain. Bila dikombinasikan dengan garam kalsium, karagenan sangat efektif sebagai gel pelapis produk daging. Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Organoleptik Bakso Pengujian terhadap sifat organoleptik penting dilakukan, khususnya terhadap produk baru yang dapat menentukan daya terima konsumen. Pengujian organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik. Uji hedonik ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk bakso daging sapi ini. Kriteria yang diuji pada uji hedonik ini adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan kekenyalan. Secara keseluruhan panelis memberikan penilaian yang sama terhadap penerimaan bakso daging sapi yang disajikan. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat pada nilai rataan umum. Keseluruhan panelis berjumlah 43 orang. Hasil uji Kruskal Wallis untuk uji hedonik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap atribut aroma, tekstur, rasa. Namun, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna dan kekenyalan bakso daging sapi. Warna Nilai rataan dan modus warna bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 8. Umumnya, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadangkadang sangat menentukan mutu suatu produk sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan seperti rasa, aroma dan tekstur (Winarno, 1997). Tabel 8. Nilai Rataan dan Modus Uji Hedonik Warna Bakso Daging Sapi Lama Postmortem Perlakuan K0 K1 K2
4 jam Rataan 3,27b 3,5b 3,7ab
Keterangan: 1. Sangat tidak suka
6 jam Modus 4 4 4
2. Tidak suka
Rataan 3,8a 3,6ab 3,5ab 3. Netral
4. Suka
Modus 4 4 4 5. Sangat suka
Bakso daging sapi yang dihasilkan berwarna abu-abu. Warna bakso daging sapi berdasarkan rata-rata mempunyai nilai hedonik netral hingga cenderung suka yaitu berkisar antara 3,27 hingga 3,8. Tingkat kesukaan warna bakso yang paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 20% tapioka dan menggunakan daging postmortem empat jam yaitu dengan nilai hedonik cenderung netral. Warna yang paling disukai terdapat pada bakso yang menggunakan penambahan 20% tapioka dengan menggunakan daging postmortem enam jam. Berdasarkan nilai modus, warna bakso daging sapi memiliki tingkat kesukaan seragam yaitu suka pada semua jenis kombinasi dan lama postmortem daging yang berbeda. Hal ini menunjukkan panelis cukup menerima warna bakso daging sapi yang dihasilkan. Warna pada produk bakso salah satunya dipengaruhi oleh kandungan mioglobin pada daging. Perbedaan aktivitas otot berdasarkan jenis urat dapat mempengaruhi jumlah kandungan mioglobin daging (Lawrie, 2003). Bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan berpengaruh nyata terhadap warna bakso. Selama pemanasan warna daging akan berubah secara bertahap dari merah muda menjadi lebih pucat. Jika suhu pemanasan memenuhi terjadinya reaksi pencoklatan maka daging akan berubah lagi menjadi abu-abu atau coklat. Warna coklat tersebut disebabkan oleh jumlah pigmen yang menurun akibat terjadinya denaturasi kandungan heme pada myoglobin dan juga terjadinya dekomposisi dan polimerisasi karbohidrat, lemak dan protein. Menurut Muchtadi et al. (1992), warna merah daging merupakan refleksi dari pigmen myoglobin. Myoglobin merupakan protein kompleks yang berfungsi membawa oksigen untuk sel. Kandungan mioglobin pada jaringan bergantung pada aktivitas jaringan, efisiensi darah membawa oksigen, umur serta jenis hewan. Pencoklatan juga disebabkan oleh adanya reaksi pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard) yaitu reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino. Kappakaragenan mengandung sulfat sekitar 25-30% dan terdiri atas gugus galaktosa yang akan bereaksi dengan asam amino lisin yang peka terhadap kerusakan terutama pencoklatan non enzimatis. Selain berikatan dengan Kappa-karagenan, asam amino pun bereaksi dengan gula pereduksi yang terdapat pada pati yang mengandung glukosa.
Selain itu adanya perbedaan perbandingan antara bahan pengisi dan
karagenan pada setiap perlakuan menyebabkan perubahan warna yang nyata.
Aroma Nilai rataan dan modus aroma bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Rataan dan Modus Uji Hedonik Aroma Bakso Daging Sapi Lama Postmortem Perlakuan K0 K1 K2
4 jam Rataan 3,37 3,58 3,49
Keterangan: 1. Sangat tidak suka
6 jam Modus 3 4 4
2. Tidak suka
Rataan 3,56 3,21 3,49 3. Netral
4. Suka
Modus 4 4 4 5. Sangat suka
Aroma sulit untuk didefinisikan secara obyektif, evaluasi aroma dan rasa masih tergantung pada testing panel atau secara sensori. Tanpa adanya aroma, keempat rasa lainnya (manis, pahit, asam atau asin) akan terasa dominan. Evaluasi bau dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa. Bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan tidak berpengaruh nyata terhadap aroma bakso. Hal ini dikarenakan karagenan dapat mempertahankan protein, baik yang larut garam maupun air. Daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih kuat daripada daging dari ternak yang lebih muda. Bakso daging sapi yang dihasilkan memiliki tingkat aroma yang tinggi. Rataan penilaian panelis terhadap aroma bakso berkisar antara 3,21 hingga 3,58 yang berarti bahwa aroma bakso daging sapi yang dihasilkan secara umum dari semua formulasi pembuatan bakso adalah relatif sama yaitu netral cenderung suka. Penyajian bakso yang hangat pada panelis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi panelis dalam menentukan tingkat penginderaan penciuman panelis. Tingkat kesukaan aroma bakso yang paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) dan menggunakan daging postmortem enam jam yaitu dengan nilai hedonik cenderung netral. Berdasarkan nilai modus, aroma bakso daging sapi memiliki nilai hedonik dominan suka. Aroma bakso yang menggunakan 20% tapioka dengan lama postmortem empat jam (K0) memiliki nilai hedonik netral. Flavor daging berkembang selama pemasakan. Aroma dari produk olahan daging dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan
kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan serta jenis, lama dan temperatur pemasakan (Lawrie, 2003). Aroma dari produk biasanya akan berkurang selama penanganan, pengolahan, dan penyimpanan. Selama pemasakan akan terjadi berbagai reaksi antara bahan pengisi dan daging, sehingga aroma yang khas pada daging sapi akan berkurang selama pengolahan produk. Tekstur Nilai rataan dan modus tekstur bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10. Rataan dan Modus Uji Hedonik Tekstur Bakso Daging Sapi Lama Postmortem Perlakuan K0 K1 K2
4 jam Rataan 3,42 3,39 3,42
Keterangan: 1. Sangat tidak suka
6 jam Modus 4 4 4
2. Tidak suka
Rataan 3,51 3,21 3,51 3. Netral
4. Suka
Modus 4 3 4 5. Sangat suka
Tekstur merupakan segala hal yang berhubungan dengan mekanik, geometris, dan permukaan suatu produk dan ditandai dengan kasar atau halusnya produk yang dihasilkan. Tekstur daging sapi berdasarkan nilai rataan memiliki nilai hedonik cenderung netral hingga suka. Tekstur bakso yang paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) pada lama postmortem enam jam dengan nilai hedonik cenderung netral. Tekstur yang tinggi dengan nilai hedonik cenderung suka terdapat pada bakso dengan penambahan 15% tapioka + 5% karagenan (K2) dan penambahan 20% tapioka (K0) pada lama postmortem enam jam. Tekstur bakso dengan penambahan karagenan mengakibatkan adanya tekstur seperti gel di permukaaan dan di dalam bakso yang dihasilkan. Hal ini disukai oleh panelis karena dengan fungsi karagenan sebagai stabilizer, sehingga penambahan karagenan dapat meingkatkan tekstur bakso daging sapi. Tekstur bakso juga dipengaruhi oleh nilai daya mengikat air dan pH. Peningkatan nilai pH dan daya mengikat air akan meningkatkan tekstur bakso menjadi lebih kompak. Penambahan karagenan hingga 5% menyebabkan tekstur agak keras. Kappa-karagenan merupakan
fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat thermoreversible, yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel jika kembali jika didinginkan. Berdasarkan nilai modus, tekstur bakso daging sapi memiliki nilai hedonik dominan suka. Teksur bakso yang menggunakan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) pada lama postmortem enam jam memiliki nilai hedonik netral. Aspek yang dinilai dari kriteria tekstur adalah kasar atau halusnya bakso yang dihasilkan. Kolagen daging mempengaruhi tingkat kekerasan produk. Kolagen merupakan protein struktural pokok pada jaringan ikat yang meliputi 20-25% total protein daging (Soeparno, 2005). Penambahan karagenan akan menghasilkan bakso dengan tekstur yang unik karena di permukaan dan di dalam bakso terdapat gel yang menyerupai agar. Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala ini mampu menangkap air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Rasa Nilai rataan dan modus rasa bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Rataan dan Modus Uji Hedonik Rasa Bakso Daging Sapi Lama Postmortem Perlakuan K0 K1 K2
4 jam Rataan 3,81 3,56 3,63
Keterangan: 1. Sangat tidak suka
6 jam Modus 4 4 4
2. Tidak suka
Rataan 3,79 3,49 3,39 3. Netral
4. Suka
Modus 4 4 4 5. Sangat suka
Rasa merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam penerimaan konsumen terhadap produk olahan pangan. Rasa bakso yang diharapkan adalah bakso yang masih memiliki rasa daging. Rasa daging sapi berdasarkan nilai rataan adalah antara 3,39 hingga 3,81 yang berarti bahwa rasa bakso daging sapi yang dihasilkan secara umum dari semua formulasi pembuatan bakso adalah relatif sama yaitu netral cenderung suka. Rasa bakso yang paling disukai terdapat pada bakso dengan penambahan 20% tapioka (K0) pada lama postmortem empat jam sedangkan
bakso yang kurang disukai terdapat pada bakso dengan menggunakan 15% tapioka + 5% karagenan (K2) pada lama postmortem enam jam. Hal ini kemungkinan disebabkan persentase penambahan karagenan lebih besar dibandingkan kombinasi satu yaitu hanya menggunakan 2,5% karagenan. Gel yang terbentuk pada bakso yang dihasilkan merupakan salah satu faktor panelis kurang menyukai bakso tersebut. Penambahan karagenan sampai taraf 5% menyebabkan rasa bumbu pada produk agak hambar. Hal ini dikarenakan karagenan mempunyai rasa yang ringan, sehingga penambahannya terhadap perlakuan tidak mempengaruhi rasa produk. Berdasarkan nilai modus, rasa bakso memiliki nilai hedonik suka. Rasa bakso daging sapi dengan semua perlakuan menghasilkan memiliki modus empat, yang artinya bahwa mayoritas panelis bakso daging sapi menyukai bakso yang terbuat dari 20% tapioka (K0), 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1), 15% tapioka + 5% karagenan (K2) pada lama postmortem empat dan enam jam. Rasa suatu produk pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya senyawa kimia, temperatur, konsistensi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno, 1997). Kekenyalan Nilai rataan dan modus kekenyalan bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 12. Kenyal adalah sifat produk pangan dalam hal ini daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan (Soekarto, 1990). Kekenyalan suatu produk pangan dapat dilihat dengan menggunakan indera peraba dan perasa. Tabel 12. Rataan dan Modus Uji Hedonik Kekenyalan Bakso Daging Sapi Lama Postmortem Perlakuan K0 K1 K2
4 jam Rataan 3,63ab 3,6ab 3,81ab
Keterangan: 1. Sangat tidak suka
6 jam Modus 4 4 4
2. Tidak suka
Rataan 3,77ac 3,19b 3,67ab 3. Netral
4. Suka
Modus 4 4 4 5. Sangat suka
Kekenyalan bakso daging sapi berdasarkan nilai rataan memiliki nilai hedonik 3,19 hingga 3,81 yang berarti bahwa kekenyalan bakso daging sapi yang
dihasilkan secara umum dari semua formulasi pembuatan bakso adalah relatif sama yaitu netral cenderung suka. Berdasarkan uji hedonik kekenyalan menyatakan bahwa kekenyalan bakso yang paling tinggi terdapat pada bakso dengan penambahan 15% tapioka + 5% karagenan (K2) pada lama postmortem empat jam sedangkan kekenyalan bakso paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) pada lama postmortem enam jam. Bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan berpengaruh nyata terhadap kekenyalan bakso. Berdasarkan nilai modus, kekenyalan bakso memiliki nilai hedonik cenderung suka. Tekstur dan kekenyalan makanan sering ditentukan oleh kandungan air dan lemaknya, jenis dan struktur karbohidratnya dan protein-protein yang ada. Menurut Keeton (2001), penggunaan karagenan dimaksudkan untuk memperbaiki gel produk dan merupakan bahan pengental dan pengikat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan daging sapi hingga 6 jam postmortem menghasilkan bakso dengan tingkat kekenyalan yang tidak berbeda dengan daging sapi 4 jam postmortem. Penggunaan daging sapi hingga 6 jam postmortem menghasilkan bakso dengan kualitas fisik yang dapat diterima panelis. Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembuatan bakso perlu mempertimbangkan taraf persentase penambahan tepung tapioka dan karagenan yang tepat sehingga dapat menghasilkan produk bakso daging sapi yang berkualitas dan disukai oleh konsumen. Diperlukan penelitian untuk mengetahui sifat fisik dari bakso daging sapi postrigor dengan perbaikan formula yang lebih baik.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas perkenan-Nya penelitian dapat diselesaikan yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara langsung atau tidak langsung sejak penelitian sampai penulisan skripsi. Penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada kedua orang tua dan adikku Mega yang telah mencurahkan kasih dan sayang yang tidak terkira dan selalu mendukung dalam memberi motivasi. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ir. Hj. Komariah, M.Si., dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada dosen penguji sidang Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si dan Dr. Ir. Yuli Retnani yang telah memberikan kritik dan saran dalam skripsi ini. Ucapan terimakasih tidak lupa disampaikan kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si sebagai pembimbing akademik yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan. Kepada seluruh staf yang ada di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar penulis mengucapkan rasa terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan secara teknis selama penelitian. Terimakasih disampaikan kepada Bhakti Wibowo, S.Pt atas semua pengertian, dukungan juga bantuannya. Ratu Fika Hertaviani, Enur Noerhayati, S.Pt, Retno Putri Dewanti, Dudi Firmansyah, Tito Grandisa, S.Pt, dan Umar terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya selama penelitian sampai penulisan skripsi serta sahabatku Pretty Maytha Gabrina, S.Pt, Wiwin Tarwinangsih, S.Pt dan Sarjito yang teramat berarti bagi penulis, terimakasih atas semua kasih sayang, dukungan dan doa yang diberikan. Bogor, Juli 2009 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Aberle., H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing Co., USA. AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Atmadja, W. S., A. Kadi, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. Jakarta. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Chapman, V. J. dan D.J. Chapman. 1980. Seawewds and Their Uses. Chapman and Hall. deMan, J.M. 1989. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Terjemahan: K. Padmawinata. Institute Teknologi Bandung, Bandung. Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 1995. SNI 01-3775-1995. Corned Beef dalam Kaleng. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Elviera, G. 1998. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, D., N. Andarwulan, H. W. Hariantono, dan N.L. Puspita. 1992.Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Farrell, K. T. 1990. Spices, Condiments and Seasonings. 2nd Ed. Van Nostrand Reinhold, New York. Food Chemichal Codex. 1980. Carrageenan. 3rd. Edit. FAO. Rome. Gibbons, J. 1975. Non Parametric Method for Quantitive Analysis. Elsevier Co., Alabama. Press, Yogyakarta. Glicksman, M. 1983. Seaweed extracts (Agar, Carrageenans, Furcellaran). Dalam: Food Hydrocoloids II (M. Glicksman, Ed). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Huidobro, F.R., E. Miguel, E. Onega dan B. Bla´ zquez. 2002. Changes in meat quality characteristics of bovine meat during the first 6 days post mortem. J. Meat Sci. 65 (2003) : 1439-1446. Indrarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan terhadap sifat fisiko-kimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Istini, S., A. Zatnika, Suhaimi dan J. Anggadiredja. 1986. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jurnal Penelitian. Balai Pusat Pengembangan Teknologi, Jakarta. Istini, S., dan A. Zatnika. 1991. Optimasi Proses semirefine carrageenan dari rumput laut Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut SLIPI, Departemen Pertanian. Keeton, J. T. 2001. Formed and Emulsion Product. Dalam: J. F. Price and B. S. Schweigert (Eds). The Science of Meat and Meat Products. 2nd Edit. W. H. Freeman and Company, San Fransisco. Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan A. Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Muchtadi, T.R dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbud. Dirjen DIKTI. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muhibiddin. 2007. Mempelajari pengaruh penambahan jenis dan konsentrasi serat terhadap mutu produk bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Natasasmita, S., Rudi Priyanto dan D. M. Tauhid. 1987. Pengantar Evaluasi Daging. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Department of Animal Science The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center, USA. Panjaitan, R. 2006. Sifat fisik, kimia, dan palatabilitas bakso daging kerbau dengan menggunakan bagian daging dan taraf tepung tapioka yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pandisurya, C. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu bakso. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pearson, A.M. and E.W. Tauber. 1984. Processed Meat. The Avi Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Purnomo, H. 1990. Kajian mutu bakso daging sapi, bakso urat dan bakso aci di daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rusmono, M. 1983. Mempelajari pengaruh derajat kehalusan pulp dan jumlah air pcngekstrak terhadap rendemen dan mutu tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schweigert, B. S. 1987. The Nutritional Content and Value of Meat and Meat Products. In: J. F Price and B. S. Schweigert. 3`a Eds. The Science of Meat and Meat Product. Food & Nutritition Press, Inc., Westport, Connecticut, USA.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Steel, R. G. D. Dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudrajat, G. 1997. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging sapi dan daging kerbau dengan penambahan karagenan dan khitosan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Surjana, W.2001. Pengawetan bakso daging sapi dengan bahan aditif kimia pada penyimpanan suhu kamar. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan NaCl dan Natrium Tripolyfosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta. Wirakartakusuma, M.A., K. Abdullah, dan A.M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wismer-Pedersen. J. 1971. The Science of Meat an Meat Products. Dalam : Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Uji Hedonik Bakso Daging Sapi
UJI HEDONIK Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis Produk
:
Instruksi
: Nyatakan penilaian anda terhadap karakteristik sensori sampel bakso pada kolom secara spontan tanpa pembandingan menurut tingkat kesukaan
karakteristik
Kode Sampel 126
262
403
602
245
Warna Aroma Tekstur Rasa Kekenyalan Keterangan : 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka Keterangan Kode Sampel : 126
: Daging empat jam postmortem dan 20% tapioka
262
: Daging empat jam postmortem dan 17,5% tapioka+2,5% karagenan
403
: Daging empat jam postmortem dan 15 tapioka+5% karagenan
602
: Daging enam jam postmortem dan 20% tapioka
245
: Daging enam jam postmortem dan 17,5% tapioka+ 2,5% karagenan
256
: Daging enam jam postmortem dan 15 tapioka + 5% karagenan
256
Lampiran 2. Sidik Ragam pH Bakso Daging Sapi Sumber db JK KT F hitung Lama postmortem 1 0,004356 0,004356 25,29 Taraf penggunaan karagenan 2 0,018078 0,009039 52,48 Lama postmortem* Taraf penggunaan karagenan 2 0,147411 0,073706 427,97 Error 12 0,002067 0,000172 Total 17 0,171911 Keterangan : ** Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
P 0,000** 0,000** 0,000**
Lampiran 3. Sidik Ragam DMA Bakso Daging Sapi Sumber db JK KT F hitung P Lama postmortem 1 80,222 80,222 25,33 0,000 Taraf penggunaan karagenan 2 179,111 89,556 28,28 0,000 Lama postmortem* Taraf penggunaan karagenan 2 8,444 4,222 1,33 0,300 Error 12 38,000 3,167 Total 17 305,778 Keterangan : ** Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) Lampiran 4. Sidik Ragam Kekenyalan Bakso Daging Sapi Sumber Lama postmortem Taraf penggunaan karagenan Lama postmortem* Taraf penggunaan karagenan Error Total
db 1 2
JK 13,78 146,60
KT 13,78 73,30
F hitung 0,17 0,91
P 0,686 0,427
2 107,52 12 963,02 17 1230,93
53,76 80,25
0,67
0,530
Lampiran 5. Uji lanjut Tukey pH Bakso Daging Sapi Pada 4 Jam Postmortem Taraf penggunaan Karagenan pd Post Perbedaan Perbedaan galat Perbandingan 4jam rata-rata Nilai T Nilai P 0-1 -0,0500 0,006667 - 7,50 0,0007** 0-2 -0,1500 0,006667 -22,50 0,0000** 1-2 -0,1000 0,006667 -15,00 0,0000** Keterangan : ** Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 6. Uji lanjut Tukey pH Bakso Daging Sapi Pada 6 Jam Postmortem Taraf penggunaan karagenan pd post Perbedaan Perbedaan galat Perbandingan 6jam rata-rata Nilai T Nilai P 0-1 0,1733 0,01361 12,74 0,0000** 0-2 0,2933 0,01361 21,56 0,0000** 1-2 0,1200 0,01361 8,818 0,0003** Keterangan : ** Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) Lampiran 7. Uji lanjut Tukey DMA Bakso Daging Sapi Pada 4 Jam Postmortem Taraf penggunaan karagenan pd Post Perbedaan Perbedaan galat 4jam rata-rata 0-1 2,333 1,217 0-2 7,667 1,217 1-2 5,333 1,217 Keterangan : *Hasil menunjukkan berbeda nyata (P<0,01)
Perbandingan Nilai T Nilai P 1,917 0,2142 6,299 0,0018* 4,382 0,0111*
Lampiran 8.Uji lanjut Tukey DMA Bakso Daging Sapi Pada 6 Jam Postmortem Taraf penggunaan karagenan pd Post Perbedaan Perbedaan galat Perbandingan 6jam rata-rata Nilai T Nilai P 0-1 2,333 1,217 1,917 0,2142 0-2 7,667 1,217 6,299 0,0018* 1-2 5,333 1,217 4,382 0,0111* Keterangan : *Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Warna Kode Sampel Jumlah Panelis Median b 126 43 4,0 b 262 43 4,0 403ab 43 4,0 a 43 4,0 602 245ab 43 4,0 256ab 43 4,0 Total 258 H = 14,15 DF = 5 P = 0,015 H = 18,18 DF = 5 P = 0,003 (adjusted for ties)
Peringkat Rata-Rata Z 109,2 1,95 109,2 1,95 144,4 1,43 157,1 2,66 132,0 0,24 125,0 0,44 129,5
Lampiran 10. Uji Lanjut Gibbons terhadap Nilai Hedonik terhadap Warna Antar Sampel 126 – 262 126 – 403 126 – 602 126 – 245 126 – 256 262 – 403 262 – 602 262 – 245 262 – 256 403 – 602 403 – 245 403 – 256 602 – 245 602 – 256 245 – 256
|Ri-Rj| 0 35,2 47,9 22,8 15,8 35,2 47,9 22,8 15,8 12,7 12,4 19,4 25,1 32,1 7
Z √ [K(N+1)/6] 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441
Lampiran 11. Uji Kruskal-Wallis Aroma Perlakuan Jumlah Panelis Median 126 43 3,0 262 43 4,0 403 43 4,0 602 43 4,0 245 43 4,0 256 43 4,0 Total 258 H = 3,78 DF = 5 P = 0,581 H = 4,55 DF = 5 P = 0,473 (adjusted for ties)
PeringkatRata-Rata 114,7 132,3 123,8 131,4 144,5 130,3 129,5
Z 1,43 0,27 0,55 0,19 1,45 0,07
Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis Tekstur Perlakuan Jumlah Panelis Median 126 43 3,0 262 43 4,0 403 43 3,0 602 43 4,0 245 43 3,0 256 43 4,0 Total 258 H = 3,69 DF = 5 P = 0,594 H = 4,37 DF = 5 P = 0,498 (adjusted for ties)
Peringkat Rata-Rata 130,4 128,9 126,3 137,4 113,0 141,0 129,5
Z 0,09 0,06 0,31 0,76 1,59 1,10
Lampiran 13. Uji Kruskal-Wallis Rasa Perlakuan Jumlah Panelis Median 126 43 4,0 262 43 4,0 403 43 4,0 602 43 4,0 245 43 4,0 256 43 4,0 Total 258 H = 7,48 DF = 5 P = 0,188 H = 9,28 DF = 5 P = 0,098 (adjusted for ties)
Peringkat Rata-Rata Z 143,1 1,31 125,6 0,37 131,8 0,22 147,3 1,72 114,9 1,40 114,2 1,47 129,5
Lampiran 14. Uji Kruskal-Wallis Kekenyalan Perlakuan Jumlah Panelis Median 126ab 43 4,0 ab 43 4,0 262 403ab 43 4,0 ac 602 43 4,0 43 3,0 245b 256ab 43 4,0 Total 258 H = 10,47 DF = 5 P = 0,063 H = 12,32 DF = 5 P = 0,031 (adjusted for ties)
Peringkat Rata-Rata Z 135,4 0,57 132,4 0,28 127,5 0,19 145,1 1,50 98,1 3,02 138,5 0,86 129,5
Lampiran 15. Uji Lanjut Gibbons terhadap Nilai Hedonik terhadap Kekenyalan Antar Sampel 126 – 262 126 – 403 126 – 602 126 – 245 126 – 256 262 – 403 262 – 602 262 – 245 262 – 256 403 – 602 403 – 245 403 – 256 602 – 245 602 – 256 245 – 256
|Ri-Rj| 3 7,9 9,7 37,3 3,1 4,9 12,7 34,3 6,1 17,6 29,4 11 47 6,6 40,4
Z √ [K(N+1)/6] 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441 41,441