SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN
SKRIPSI YANUAR ARIANSAH
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN YANUAR ARIANSAH. 2008. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Plucea indica L.) dalam Pakan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Niken Ulupi, MS Pembimbing Anggota : Ir. Rukmiasih, MS Daging itik merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang masih kurang diminati, lain halnya dengan daging sapi, daging kambing maupun daging ayam, hal ini disebabkan daging itik mempunyai bau yang tak sedap (anyir). Bau daging itik ini menurut Hustiyani (2001), disebabkan oleh komponen volatil yang berasal dari hasil oksidasi lemak. Reaksi ini diakibatkan oleh adanya asam lemak tidak jenuh. Daging itik mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan daging ayam. Menurut Apriyantono (2001), reaksi oksidasi lemak dapat dicegah dengan adanya antioksidan. Beluntas merupakan tanaman herbal yang mengandung zat antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik bakso itik yang dibuat dari daging itik dengan dan tanpa kulit yang berasal dari pemeliharaan dengan pemberian tepung daun beluntas yang berbeda dalam pakan. Sifat fisik yang dipelajari adalah pH, daya mengikat air, susut masak, kekerasan dan kekenyalan serta warna. Palatabilitas diamati melalui uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola Faktorial 3 x 2 dengan dua kelompok. Faktor pertama adalah konsentrasi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, yaitu 0%, 1%, dan 2%. Faktor kedua adalah penggunaan bahan baku bakso yaitu dengan dan tanpa kulit itik. Sebagai kelompok adalah waktu pemotongan itik yang berbeda Perlakuan penambahan kulit dan tanpa penambahan kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 2% dalam pakan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH, kekenyalan dan warna (kecerahan, intensitas warna merah dan intensitas warna kuning) bakso daging itik. Penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dapat meningkatkan susut masak bakso daging itik. Berdasarkan hasil uji hedonik, bakso tanpa kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas 2% dalam pakan meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum bakso, tetapi tidak terhadap aroma. Bakso daging itik dengan penambahan kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas 2% dalam pakan meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum bakso daging itik. Kata-kata kunci : bakso, daging itik, kulit itik, sifat fisik, tepung daun beluntas.
ABSTRACT Physical and Organoleptic Properties of Meatball, With and Without Skin From Duck With Addition of Beluntas Leaf Powder in Feed Ariansah, Y., N. Ulupi, Rukmiasih Duck meat has undesire odor. The effort that is used to reduce it, is by adding beluntas leaf meal in feed. Howefer, the physical properties of product from duck meat like meatball need to be learned. The purpose of this research is to figure the effect of adding beluntas leaf meal in feed diet and with or without skin addition of duck meat on physical properties (pH, cooking loss, toughness and color) of duck meatball. This research is used 72 layer duck and given additional beluntas leaf meal (0%, 1% and 2%) to their feed and the treatment was given for eleven weeks. The results were interpreted with descriptive analysis. The result of pH, toughness, lightness, yellowness and redness intensity of duck meatball with beluntas leaf powder addition in diet were almost similar, but the persentage of cooking loss were decreased. Physical properties of meatball (pH, loss cooking, color and toughness) very depended from meat were used. The result of organoleptic test showed that meatball with 2% beluntas leaf powder addition were increased on all of parameters. Keywords : duck meat, duck skin, meat ball, physical properties, Pluchea indica L.
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN
YANUAR ARIANSAH D14203073
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN
Oleh YANUAR ARIANSAH D14203073
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 23 Januari 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Niken Ulupi, MS NIP. 131 284 604
Ir. Rukmiasih, MS NIP. 131 284 605
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Januari 1984 di Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan bapak Saim dan ibu S. Tin Soyah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN 07 Pagi Jakarta (1991-1997), pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTPN 186 Jakarta (1997-2000), dan pendidikan lanjutan menengah di SMUN 84 Jakarta (2000-2003). Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organanisasi ekstra kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (2003-2005), sebagai Staff Dept Pengabdian Masyarakat (2003-2004), sebagai Staff Dept Kaderisasi (2004-2005). Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Hurriyyah (2003-2004), sebagai Anggota. Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim (FAMM) Al-An’aam, sebagai staff Dept PSDM (2003-2004), Kepala Dept PSDM (2005-2006). Penulis juga aktif sebagai pengurus dan asisten untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam (2005-2006, 2006-2007). Beasiswa yang pernah penulis terima selama perkuliahan yaitu Karya Salemba Empat (KS-4) pada tahun 2006-2007.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Plucea indica L.) dalam Pakan”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penyusunan karya ilmiah ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam dunia peternakan. Penulis menyadarai sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga karya tulis ini menjadi lebih baik. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusun karya ilmiah ini, hanya Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amal shaleh Amin. Bogor, Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
i
ABSTRACT ................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...............................................................................................
v
DAFTAR TABEL .......................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
ix
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan .............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
Itik ................................................................................................... Daging Itik ...................................................................................... Kulit dan Lemak Itik ....................................................................... Oksidasi Lemak ............................................................................... Beluntas ........................................................................................... Pengaruh Tepung Daun Beluntas Terhadap Daging Itik ................ Bakso ............................................................................................... Bahan Utama ....................................................................... Bahan Pengisi ...................................................................... Bahan Tambahan ................................................................. Garam Dapur (NaCl) ................................................. Es atau Air Es ............................................................ Bumbu-bumbu .......................................................... Sodium Tripolifosfat (STPP) .................................... Garam NPS (Nitrit Pokeln Salt) ................................ Pembuatan Bakso ................................................................
3 3 4 5 7 8 9 9 10 10 10 10 11 11 11 11
METODE ....................................................................................................
13
Lokasi dan Waktu ........................................................................... Materi .............................................................................................. Rancangan Percobaan ..................................................................... Prosedur .......................................................................................... Pembuatan Tepung Daun Beluntas ..................................... Pemeliharaan Itik ................................................................ Pemotongan Itik .................................................................. Pembuatan Bakso ................................................................ Pengukuran Peubah .............................................................
13 13 13 14 14 14 15 15 16
pH .............................................................................. Susut Masak .............................................................. Kekenyalan ................................................................ Warna ........................................................................ Sifat Organoleptik .....................................................
16 16 16 17 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
18
Analisis Data ................................................................................... Analisis Sifat Fisik .......................................................................... pH ........................................................................................ Susut Masak ........................................................................ Kekenyalan .......................................................................... Warna .................................................................................. Hasil Uji Organoleptik .................................................................... Warna .................................................................................. Aroma .................................................................................. Tekstur ................................................................................ Kekenyalan .......................................................................... Rasa ..................................................................................... Penampakan Umum ............................................................
18 18 18 19 20 21 22 22 24 25 26 26 27
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
28
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
30
LAMPIRAN ................................................................................................
34
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Pengaruh Level Pemberian Tepung Beluntas dalam Pakan terhadap Kadar Protein dan Kadar Lemak Daging Itik Afkir Berkulit Segar …..
4
Kandungan Asam Lemak pada Daging Itik Afkir Berkulit yang Diberi Tepung Daun Beluntas pada Pakan Selama Tujuh Minggu …………..
5
3.
Persentase Kadar Lemak Daging Itik …………………………………
6
4.
Komposisi Nilai Gizi dalam Daging Itik ...............................................
9
5.
Formulasi Bakso Penelitian …………………………………………...
15
6.
Nilai Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Bakso Daging Itik …………………
18
7.
Hasil Pengujian Organoleptik Bakso Daging Itik …………………......
23
8.
Persentase Jumlah Panelis yang Menerima …………………………...
24
2.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Proses Oksidasi Lipid pada Bahan Pangan …...……………………….
7
2.
Tanaman Beluntas dan Tepung Daun Beluntas ……………………….
8
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Proses Pembuatan Bakso Daging Itik …………………………………
34
2.
Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Penampakan Umum…
35
3.
Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Warna, Aroma, Tekstur, Kekenyalan dan Rasa ...............................................................
35
Komposisi Nutrisi Tepung Daun Beluntas dan Pakan dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas 1% dan 2% ……………………..
36
5.
Uji Kruskal-Wallis Warna Bakso Itik …………………………………
36
6.
Uji Kruskal-Wallis Aroma Bakso Itik ………………………………...
36
7.
Uji Kruskal-Wallis Tekstur Bakso Itik ………………………………..
37
8.
Uji Kruskal-Wallis Kekenyalan Bakso Itik …………………………...
37
9.
Uji Kruskal-Wallis Rasa Bakso Itik …...………………………………
37
10.
Uji Kruskal-Wallis Penampakan Umum Bakso Itik …………………..
38
11.
Uji Banding Rataan Rangking Warna Bakso Itik …………………….
38
12.
Uji Banding Rataan Rangking Aroma Bakso Itik ……………………..
39
13.
Uji Banding Rataan Rangking Tekstur Bakso Itik ……………………
39
14.
Uji Banding Rataan Rangking Kekenyalan Bakso Itik ………………..
40
15.
Uji Banding Rataan Rangking Rasa Bakso Itik …...…………………..
40
16.
Uji Banding Rataan Rangking Penampakan Umum Bakso Itik ………
41
4.
PENDAHULUAN Latar Belakang Itik merupakan unggas air penghasil telur dan daging. Akan tetapi produk yang biasanya diambil dari itik adalah telur. Sumber daging itik sebagian besar berasal dari itik betina afkir. Ketersediaan daging itik dapat juga dipenuhi melalui pemeliharaan itik jantan yang selama ini dipelihara sebagai pejantan berubah fungsi menjadi itik pedaging. Daging itik merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang masih kurang diminati, lain halnya dengan daging sapi, daging kambing maupun daging ayam, hal ini disebabkan oleh daging itik mempunyai bau yang tak sedap (anyir). Bau daging itik ini menurut Hustiyani (2001), disebabkan oleh komponen volatil yang berasal dari hasil oksidasi lemak. Reaksi ini diakibatkan oleh adanya asam lemak tidak jenuh. Daging itik mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan daging ayam. Menurut Apriyantono (2001), reaksi oksidasi lemak dapat dicegah dengan adanya antioksidan. Beluntas merupakan tanaman herbal yang mengandung zat antioksidan. Tanaman ini merupakan tanaman obat asli Indonesia yang daunnya dapat digunakan untuk mengurangi bau busuk pada mulut dan atau keringat. Berdasarkan manfaat yang ada tersebut dan kemudahan mendapatkannya, diharapkan daun beluntas dapat digunakan sebagai pakan pada ternak itik yang dapat mengurangi bau amisnya. Usaha peningkatan daya terima masyarakat terhadap daging itik terus dikembangkan. Salah satunya adalah dengan pembuatan bakso itik. Bakso merupakan produk emulsi yang mempunyai bentuk yang khas dan banyak disukai masyarakat. Penggunaan kulit diharapkan dapat memaksimalkan hasil produk dari pemotongan itik. Kualitas dari bakso antara lain ditentukan oleh sifat fisik daging, hal ini meliputi: pH, susut masak, kekenyalan dan warna serta uji organoleptik. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik bakso itik yang dibuat dari daging itik dengan dan tanpa kulit yang berasal dari pemeliharaan dengan pemberian tepung daun beluntas yang berbeda dalam pakan.
Sifat fisik yang dipelajari adalah pH, susut masak, kekenyalan serta warna. Palatabilitas diamati melalui uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum.
TINJAUAN PUSTAKA Itik Itik merupakan salah satu unggas air yang termasuk kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub-famili Anatinae, tribus Anatini dan Genus Anas (Srigandono, 1996). Salah satu yang termasuk genus anas adalah itik lokal Indonesia. Itik lokal Indonesia hampir seluruhnya merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner, yang merupakan bangsa itik terkenal sebagai penghasil telur (Samosir, 1984). Itik digolongkan menjadi tiga jenis yaitu itik petelur, itik ornamental dan itik pedaging. Itik petelur dipelihara untuk diperoleh telurnya, itik ornamental dipelihara sebagai itik hias dan itik pedaging dipelihara untuk diambil dagingnya. Peternakan itik pedaging belum sepopuler peternakan itik petelur, karena itu pada umumnya kebutuhan akan daging itik di pasaran dipenuhi dari itik petelur afkir atau hasil penggemukan itik jantan (Srigandono, 1996). Daging Itik Daging unggas merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino essensial yang lengkap dengan perbandingan jumlah yang baik (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging yang dikonsumsi adalah warna, daya mengikat air oleh protein daging, kadar juiciness, tekstur, keempukan, flavor, citarasa dan pH (Soeparno, 1992). Daging itik merupakan daging unggas yang berwarna merah, karena sebagian besar mengandung serabut merah dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16% (Smith, 2001). Menurut Lawrie (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging yaitu pakan, spesies, bangsa, umur dan jenis kelamin. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi faktor penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Konsentrasi mioglobin berbeda diantara otot merah dan otot putih. Pada unggas berumur delapan minggu, kandungan mioglobin daging unggas berwarna merah sebesar 0,4 mg per gram daging, sedangkan pada daging unggas berwarna putih sebesar 0,01 mg per gram daging. Kandungan mioglobin tersebut makin tinggi dengan bertambahnya umur.
Tekstur daging merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas daging. Tekstur otot dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tekstur kasar dan tekstur halus (Lawrie, 1995). Menurut Forrest et al., (1975), otot yang berukuran kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang berpenampilan kasar dan liat. Meningkatnya umur mengakibatkan peningkatan ukuran diameter otot. Menurut Sudjatinah (1998), itik pada umur tua (afkir) memiliki ukuran diameter serabut otot dada yang lebih besar dan lebih keras daripada entog pada umur yang sama. Itik dapat dikembangkan sebagai penghasil daging alternatif seperti daging ayam. Akan tetapi, daging itik kurang disukai konsumen karena dagingnya yang keras, liat, berbau amis dan berwarna merah (Hustiany, 2001). Menurut Apriyantono (1992), bau amis pada daging itik disebabkan oleh lemak yang terdapat didalamnya. Kandungan lemak banyak ditemukan pada bagian kulit. Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit, tebalnya kulit itik antara lain disebabkan oleh penyebaran lemak di bawahnya (Rukmiasih dan Tjakradidjaja, 2006). Kulit dan Lemak Itik Menurut Judoamidjojo et al. (1979), secara topografis kulit terdiri dari tiga bagian yaitu, daerah krupon meliputi kira-kira 55% dari seluruh kulit, yang susunan seratnya relatif paling padat dan merata. Daerah leher dan kepala meliputi kira-kira 23% dari seluruh kulit yang memiliki tenunan yang lebih longgar dibandingkan dengan daerah krupon. Daerah perut, paha dan ekor meliputi kira-kira 22% dari seluruh kulit. Secara histologis kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu, lapisan epidermis yang terdiri dari protein keratin. Lapisan korium atau kutis (derma) tersusun dari serat-serat pengikat yaitu kolagen, elastin dan retikular. Lapisan subkutis atau hipodermis yang terdiri dari serat-serat elastin, susunannya longgar dan terdapat tenunan lemak serta merupakan tempat penimbunan lemak. Kadar lemak daging itik yang berkulit lebih tinggi daripada daging tanpa kulit pada bagian paha maupun dada. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. yang dianalisis dalam bentuk segar maupun freezedried.
Tabel 3. Persentase Kadar Lemak Daging Itik Sampel
Segar Freeze dried
Paha Dada Berkulit Tanpa Kulit Berkulit Tanpa Kulit --------------------------------------%-----------------------------------12,21 4,16 9,46 1,53 39,41 15,94 29,74 6,33
Sumber : Hustiany (2001)
Bagian hipodermis pada kulit unggas merupakan tempat penimbunan lemak. Lemak merupakan salah satu golongan zat-zat selain protein, karbohidrat yang diperoleh melalui konsumsi pakan. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya proses ketengikan yang disebabkan oleh aksi oksigen terhadap lemak. Lemak terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh lebih reaktif dibandingkan asam lemak jenuh (Kochhar, 1993). Menurut Stadelman et al., (1988) kandungan asam lemak jenuh, tidak jenuh tunggal dan tidak jenuh ganda pada ayam berturut-turut sebesar 29,9, 44,7 dan 21,0 gram per 100 gram daging dan kulit yang dapat dimakan, sedangkan pada itik masing-masing sebasar 33,3, 49,4 dan 13,0 gram per 100 gram daging dan kulit yang dapat dimakan. Asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat pada daging unggas dapat dengan mudah membentuk komponen volatil hasil oksidasi lipid yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan flavor. Oksidasi Lemak Menurut Kochhar (1993) mekanisme oksidasi lipid terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi terjadi pada atom C yang berdekatan dengan ikatan rangkap. Pada tahapan ini akan terbentuk radikal bebas (R*) apabila lipid atau asam lemak tidak jenuh (RH) terkena panas, cahaya atau logam. Tahapan selanjutnya yaitu tahap propagasi, radikal bebas (R*) yang terbentuk pada tahap inisiasi, bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (ROO*) dengan sangat cepat. Radikal peroksi menarik ion H dari asam lemak tidak jenuh yang lain membentuk hidroperoksida (ROOH) dengan sangat lambat dan radikal alkoksi (RO*) akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh membentuk aldehid. Hidroperoksida yang terbentuk akan bereaksi lagi dengan inisiator secara terusmenerus membentuk radikal-radikal bebas. Tahapan terakhir yaitu tahap terminasi. Pada tahap ini terjadi reaksi antara radikal-radikal membentuk senyawa tidak radikal.
Tahapan terminasi ini terjadi ketika konsentrasi oksigen pada permukaan lipid rendah. Adapun tahap-tahap reaksi oksidasi adalah sebagai berikut : Inisiasi
: RH
R* + H
Propagasi
: R* + O2
ROO*
ROO* + RH
ROOH + R*
RO* + RH Terminasi
ROH + R*
: R* + R*
2R
R* + ROO*
ROOR
ROO* + ROO*
ROOR + O2
Menurut Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), bau amis pada daging itik ditentukan oleh komponen-komponen volatil yang terdapat pada daging. Komponen volatil daging itik berasal dari hasil oksidasi lipid. Oksidasi komponen bahan pangan akan menyebabkan kepada kerusakan vitamin, pigmen, flavor, dan aroma, serta protein menjadi tidak larut. Menurut Hustiany (2001), faktor yang dapat mempercepat oksidasi lipid yaitu jumlah asam lemak tidak jenuh, logam, dan panas, sedangkan faktor yang dapat menghambat oksidasi lipid adalah antioksidan. Oksidasi bahan pangan akan menyebabkan kerusakan kepada vitamin, pigmen, flavor dan aroma serta protein menjadi tidak larut (Kochhar, 1993). Asam Asam Lemak Lemak atau atau Lipid Lipid pada pada Bahan Bahan Pangan Pangan Oksigen
Cahaya, panas, pro - oksidan Enzim (seperti lipoksigenase)
Hidroperoksida Hidroperoksida Pemecahan Produk sekunder dan tersier seperti Oksidasi komponen bahan pangan yang aldehid, keton, lakton, furan, asam, akan membawa kepada kerusakan vitamin, alkohol, dan hidrokarbon yang dapat pigmen, flavor dan aroma serta protein menyebakan off-flavor dan off-odor, menjadi tidak larut kerusakan asam lemak esensial, pencoklatan Polimerisasi (warna gelap) yang menghasilkan senyawa toksik Gambar 1. Proses Oksidasi Lipid pada Bahan Pangan (Kochhar, 1993)
Beluntas (Pluchea indica) Beluntas adalah tanaman herba/perdu yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara (India, Malaysia ke Taiwan) dan Cina Selatan (Indo-China). Di Indonesia tanaman ini tumbuh pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut dan di tempat yang terkena sinar matahari. Beluntas mempunyai percabangan yang banyak, berusuk halus, berambut lembut. Daun bertangkai pendek, letak berseling, helai daun terulur sungsang, ujung bulat melancip, tepi bergerigi lemah atau kasar, berkelenjar, panjang 2.5-9 cm dan lebar 1-1.5 cm. Warnanya hijau terang sampai hijau tua, jika diremas menimbulkan bau yang harum, panjang tangkai daun 4-8 mm, tulang daun menyirip, pada permukaan di atas dan bawah daun tidak licin, berambut cukup rapat (Heyne, 1987).
Gambar 2. Tanaman Beluntas dan Tepung Daun Beluntas. Menurut Asiamaya (2003), klasifikasi tanaman beluntas, termasuk kelas Magnoliophyta, sub-kelas Asteridae, ordo Asterales, famili Asteraceae, genus Pluchea cass dan spesies Pluchea Indica L. Daun beluntas secara tradisional digunakan sebagai obat untuk menghilangkan bau badan, obat turun panas, obat batuk, obat diare, mengobati sakit kulit dengan cara direbus dan juga sering di konsumsi oleh masyarakat sebagai lalapan (Ardiansyah, 2005). Tanaman beluntas mengandung senyawa flavonoid yang efektif dalam menangkap radikal bebas atau sebagai antioksidan. radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang mengandung satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan. Elektron yang tidak berpasangan ini menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif. Untuk menstabilkan dirinya, radikal bebas akan berusaha menarik elektron lain seperti asam lemak tidak jenuh, protein, polisakarida dan asam nukleat, sedangkan menurut Winarno (1997), antioksidan adalah suatu senyawa atau zat yang memiliki kemampuan sebagai anti radikal bebas.
Kandungan antioksidan dalam daun beluntas yaitu senyawa flavonoid, vitamin C dan β-karoten masing-masing sebesar 3,75%; 9,25 mg/100g dan 2,552 mg/100g (Rukmiasih dan Tjakradidjaja, 2006). Menurut Buhler dan Miranda (2000), asupan per hari flavonoid sebagai antioksidan antara 50-800 mg, asupan ini terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin C, vitamin E dan karotenoid masingmasing sebesar 70 mg, 7-10 mg dan 2-3 mg. Pengaruh Tepung Daun Beluntas terhadap Daging Itik Penambahan tepung daun beluntas dalam pakan itik dengan konsentrasi yang berbeda didapatkan hasil yang hampir sama, sedangkan kadar lemak yang dihasilkan semakin meningkat, seperti terlihat Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Level Pemberian Tepung Beluntas dalam Pakan terhadap Kadar Protein dan Kadar Lemak Daging Itik Afkir Berkulit Segar Peubah yang diamati
Lama Pemberian Beluntas (Minggu)
Level Pemberian Tepung Daun Beluntas 0%
1%
2%
---------------------------- % ----------------------Kadar Protein
7
12,49 ± 1,55
12,93 ± 1,50
13,82 ± 1,65
Kadar Lemak
7
26,67 ± 8,66
29,85 ± 7,21
29,31 ± 4,92
Sumber : Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006)
Penambahan tepung daun beluntas pada pakan itik menyebabkan peningkatan kandungan asam lemak tidak jenuh pada daging itik, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Asam Lemak pada Daging Itik Afkir Berkulit yang Diberi Tepung Daun Beluntas pada Pakan Selama Tujuh Minggu. Asam Lemak
Penambahan Tepung Daun Beluntas 0%
Asam lemak jenuh Asam lemak tidak jenuh Asam lemak tidak jenuh tunggal Asam lemak tidak jenuh ganda Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006)
1%
2%
-----------------------mg/g-------------------483,15 571,6 639,2 508,82
1022,68
1146,36
443,86
666,14
703,77
64,96
356,54
442,59
Bakso Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ternak tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan (Standar Nasional Indonesia, 1995). Menurut Soekarto (1990), bakso diperkirakan berasal dari Cina yang dibawa oleh perantau Cina ke Indonesia. Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1) penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan. Bahan Utama Daging merupakan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan bakso. Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut, yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1992). Nilai gizi dalam daging itik disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Nilai Gizi dalam Daging Itik. Peubah
Bagian
Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak
Paha
Daging Itik + Kulit Daging Itik ---------------------------- % --------------------------66,53 73,31
Dada
68,17
75,82
Paha
1,03
1,14
Dada
1,13
1,22
Paha
12,17
16,70
Dada
18,61
18,43
Paha
12,21
4,16
Dada
9,46
1,53
Sumber : Hustiany (2001)
Daging unggas mengandung beberapa nutrisi penting diantaranya adalah 2023% protein yang terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan tingkat kelarutannya yaitu miofibrilar, sarkoplasma dan stroma. Selain itu daging unggas mudah dicerna dan rendah kalori (Mountney, 1976). Kondisi daging sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan. Daging yang telah melewati fase pre-rigor akan menyebabkan mutu bakso menurun, terutama pada sifat kekenyalan dan kekompakannya (Elviera, 1988).
Bahan Pengisi Bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso. Penggunaan bahan pengisi dalam adonan bakso berdasarkan SNI 01-3818-1995 maksimum 50% dari berat daging. Jumlah bahan pengisi mempengaruhi sifat fisik, kimia dan palatabilitas bakso (Pandisurya, 1983). Penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk meningkatkan daya mengikat air, memperkecil penyusutan dan menekan biaya produk (Sunarlim, 1992). Bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung tapioka dan sagu aren (Pandisurya, 1983). Hasil penelitian Gaffar (1998) menunjukkan, bahwa penggunaan jenis tepung yang berbeda baik sagu maupun tapioka pada bakso daging unggas tidak berpengaruh terhadap komposisi kimia bakso, palatabilitas, sifat fisik dan kecerahan warna bakso. Bahan Tambahan Garam Dapur (NaCl) Penambahan garam dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan (1) mengekstrak protein miofibril dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, (2) Berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matrik yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk (Schmidt,1988). Peningkatan konsentrasi garam dapur yang digunakan akan meningkatkan daya mengikat air pada bakso. Daya mengikat air dapat mempengaruhi mutu bakso. Daging dengan daya mengikat air tinggi menyebabkan rendemen tinggi dan tekstur bakso menjadi baik. Sebaliknya daging dengan daya mengikat air rendah menghasilkan rendemen rendah dan teksturnya kurang baik (Sunarlim, 1992). Es atau Air Es Fungsi penambahan es dalam adonan bakso adalah untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan daging dan pembuatan bakso atau emulsifikasi (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan dapat mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso yang dihasilkan (Indarmono, 1987).
Bumbu-bumbu Bumbu adalah suatu bahan yang ditambahkan dalam komposisi produk daging untuk memperbaiki citarasa produk. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan mutu, meningkatkan citarasa dari produk yang dihasilkan serta sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Bumbu-bumbu tersebut terdiri dari campuran rempah-rempah, biasanya ditambahkan dalam bentuk tepung, minyak atsiri atau oleoresin (Kramlich, 1971). Sodium Tripolifosfat (STPP) Menurut Soeparno (1992), Sodium Tripolifosfat (STPP) merupakan tipe fosfat yang umum digunakan dalam produk daging karena dapat berfungsi untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging, menghambat ketengikan oksidatif bersama-sama asam askorbat dan dapat memperbaiki tekstur dari produk. Elviera (1988) menyatakan, bahwa STPP berfungsi juga sebagai pengembang dan dapat meningkatkan rendemen, kekerasan, kekompakan dan kekenyalan bakso yang dibuat. Garam NPS (Nitrit Pokeln Salt) Garam NPS atau sendawa, yang merupakan campuran dari garam dapur (NaCl) dan nitrit (NaNO2) dengan perbandingan 99,5% dan 0,5% digunakan untuk mempertahankan warna asli daging. Garam nitrit ini digunakan pada pembuatan produk olahan daging paling banyak 15,7 gram/100 kg (Hill, 1991). Selain untuk mempertahankan warna, garam nitrit juga berfungsi sebagai antioksidan, agen citarasa, mempercepat proses curing dan mencegah berkembangnya mikroba (Soeparno, 1992). Pembuatan Bakso Pembuatan bakso dibagi menjadi empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso dan pemasakan bakso. Tujuan penghancuran daging adalah untuk memecah dinding sel serabut otot, sehingga protein daging seperti miosin dan aktin dapat diekstrak dengan menggunakan larutan garam (Pisula, 1984). Pada proses penggilingan akan terjadi kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan. Suhu diatas 20oC dapat menyebabkan denaturasi protein dan pecahnya emulsi adonan, sehingga kestabilan emulsi perlu dipertahankan pada suhu dibawah 20oC (Pearson dan Tauber, 1984). Penyimpanan adonan sebelum dicetak menjadi
bakso bertujuan untuk meningkatkan jumlah protein larut garam dalam emulsi atau adonan bakso, juga dapat memperbaiki sifat fisik bakso yang dihasilkan (Indarmono, 1987).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2006, bertempat di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan dan Laboratorium Kimia Pangan (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor. Materi Itik yang digunakan adalah itik betina afkir yang berumur 12 bulan sebanyak 72 ekor yang berasal dari daerah Cirebon. Pakan yang diberikan adalah pakan komersial produksi PT Japfa Comfeed Indonesia dengan kode produksi Par-L1 serta tepung daun beluntas. Bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah campuran daging dada dan paha serta kulit itik yang berasal dari pemeliharaan dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, tepung tapioka, susu skim, gula pasir, garam dapur, STPP, sendawa, lada halus, bawang putih bubuk dan es batu. Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso antara lain peralatan memasak, timbangan, thermometer, meat grinder, food processor, freezer. Alat yang digunakan dalam uji fisik adalah pH meter, rheoner, chromameter, sedangkan alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah piring kertas, sendok, garpu, pisau, gelas, kertas kuisioner, kertas tissue dan label. Rancangan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial 3 x 2
dengan dua kelompok. Faktor pertama adalah konsentrasi
penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, yaitu 0%, 1%, dan 2%. Faktor kedua adalah penggunaan bahan baku bakso yaitu dengan dan tanpa kulit itik. Sebagai kelompok adalah perbedaan rataan bobot badan awal itik yaitu kelompok bobot badan kecil dan besar. Peubah yang diamati adalah sifat fisik bakso daging itik yang meliputi pengukuran pH, susut masak, kekenyalan dan warna (kecerahan, intensitas warna merah dan intensitas warna kuning). Peubah lain ialah sifat organoleptik (warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum).
Data sifat fisik dianalisis ragam, sebelumnya dilakukan uji asumsi yang meliputi uji kenormalan, kehomogenan, kebebasan galat dan keaditifan. Bila uji analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey’s untuk membedakan perlakuan yang satu dengan yang lain (Steel dan Torrie 1995). Data uji organoleptik dianalisis dengan uji non parametrik Kruskall-Wallis (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Jika diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison of Means Ranks (Daniel, 1990). Model rancangannya sebagai berikut: │ Ri – Rj │≤ Z [ K(N+1) / 6 ] 0,5 Jika │Ri – Rj │lebih dari Z [ K(N+1) / 6 ]
0,5
, maka perbedaan Ri dan Rj
adalah nyata pada taraf Z = 0,05. Keterangan: Ri Rj K N Z
= nilai rataan perlakuan ke-i (i = 0, 1 dan 2%) = nilai rataan perlakuan ke-j (j = 1 dan 2) = jumlah level dalam perlakuan = jumalah total data = Nilai Z untuk perbandingan lebih dari dua rata-rata Prosedur
Pembuatan Tepung Daun Beluntas Daun beluntas diambil sekitar 30-50 cm dari ujung atas tanaman, kemudian daun dipisahkan dari batangnya dan dilayukan selama dua hari pada suhu kamar, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60 0C selama lima jam. Daun yang telah kering digiling sampai halus menjadi tepung daun beluntas dan dikemas ke dalam kantung plastik tertutup. Pemeliharaan Itik Itik dipelihara di dalam petak kandang alas litter berukuran 2 x 2 meter sebanyak enam kandang yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Sebelum dilakukan pemeliharaan dengan perlakuan pemberian tepung daun beluntas, itik terlebih dahulu dilakukan adaptasi lingkungan selama dua pekan, kemudian adaptasi pakan selama enam hari dengan perbandingan pakan kontrol dengan pakan perlakuan selang dua hari berturut-turut adalah 75:25, 50:50, dan 25:75. Itik kemudian diberi pakan berdasarkan perlakuan masing-masing selama 11
pekan sebanyak 100g/ekor/hari yang dberikan pada pagi sebanyak 50 g/hari dan sore hari 50 g/hari. Pemotongan Itik Sebelum dilakukan pemotongan, itik dipuasakan selama 12 jam. Pemotongan dilakukan pada bagian arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus kemudian didiamkan sampai darah tidak menetes. Pencabutan bulu dilakukan sebelum proses pengeluaran jeroan. Daging bagian dada dan paha dari karkas kemudian disimpan dalam freezer. Selanjutnya, dilakukan proses pemisahan daging dari tulang. Pembuatan Bakso Formulasi bakso yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Formulasi Bakso Penelitian Bahan-bahan Daging Itik Kulit Itik
Tanpa Kulit
Dengan Kulit
Gram
%
Gram
%
300
61,50
210
43,05
0
90
18,45
0
Bahan Tambahan*) Tepung tapioka
36
7,38
36
7,38
Susu Skim
24
4,92
24
4,92
Garam Dapur
9,6
1,97
9,6
1,97
Gula Pasir
4,5
0,92
4,5
0,92
STPP
0,6
0,12
0,6
0,12
Sendawa
0,6
0,12
0,6
0,12
Bawang Putih Bubuk
4,5
0,92
4,5
0,92
Lada Halus
3
0,62
3
0,62
105
21,53
105
21,53
Es Batu Total Sumber:
487,2 *)
100
487,2
100
Sianipar (2003)
Daging itik dipisahkan dari kulit dan dipotong-potong terpisah, kemudian digiling dalam grinder dan food processor bersama dengan garam dapur, gula pasir, STPP, sendawa dan 1/3 bagian es batu selama tiga menit. Kemudian ditambahkan
bumbu dan 1/3 bagian es batu dan digiling kembali selama tiga menit. Tepung tapioka, susu skim dan 1/3 bagian es batu dimasukkan terakhir dan digiling kembali selama tiga menit. Adonan bakso kemudian dibentuk bulatan secara manual dan direbus selama 15 menit pada suhu 75 0C. Bakso yang telah matang kemudian ditiriskan, didinginkan dan ditimbang. Pengukuran Peubah pH (AOAC, 1995) Pengujian pH bakso dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sampel bakso diambil sebanyak 10 gram dan digiling, ditambahkan aquades sebanyak 100 ml kemudian dihomogenkan dengan mixer. Setelah homogen, larutan tersebut diukur pH-nya dengan alat pH meter. Susut Masak (Ockerman, 1983) Susut masak menunjukkan banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan. Bakso mentah ditimbang, dimasak lalu ditimbang kembali susut masak diperoleh dengan menggunakan rumus: Susut Masak = a b
(a – b) a
x 100%
= bobot bakso mentah (g) = bobot bakso setelah dimasak (g)
Kekenyalan (Wiranatakusumah, 1998) Pengukuran kekenyalan bakso dilakukan dengan alat Rheoner RE 3305 dengan plunger berbentuk silinder berdiameter 4 cm terhadap 5 cm sampel bakso. Sampel diletakkan pada posisi horizontal dengan arah pergerakan plunger. Pengukuran dilakukan dengan dua penekanan. Penekanan pertama sampai bakso tepat akan pecah, bakso pada alat akan bekerja menarik kembali penekanan secara otomatis, penekanan kedua respon kekenyalan ditampilkan dalam bentuk grafik. Nilai kekenyalan yang dihasilkan merupakan perbandingan nilai puncak grafik pertama dengan satuan persen. Nilai kekenyalan dihitung sebagai berikut: Kekenyalan (%) = gf 1 gf 2
= tekanan pertama = tekanan kedua
gf 2 gf 1
x 100%
Warna (Hutchings, 1999). Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Chromameter CR 300 Minolta. Sampel diletakkan pada cawan petri dengan alas putih. Sampel diratakan sampai seluruh permukaan cawan tertutup. Pengukuran dilakukan pada dua posisi yang berbeda dan dua kali untuk tiap sampel. Pengukuran intensitas warna menggunakan metode Hunter (L, a, b). Alat ini menggunakan sistem warna L, a dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap) hingga 100 (terang), sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma, nilai a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) dan nilai b untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Sifat Organoleptik (Amerine et al., 1985) Sifat organoleptik dari produk bakso daging itik dengan dan tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dianalisis dengan menggunakan uji kesukaan (hedonik). Panelis diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan dalam uji hedonik ini. Panelis menilai sifat spesifik sampel bakso yang disajikan dalam piring kertas sebanyak 3 gram. Penilaian terhadap bakso dimulai dari warna kemudian dilanjutkan aroma, tekstur, kekenyalan dan rasa. Penilaian untuk penampakan umum disajikan secara terpisah dalam piring kertas dalam kondisi utuh masih bulat. Penilaian terhadap sampel bakso ini dalam bentuk tingkat kesukaan dari selang 1 sampai 7, dengan 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka) dan 7 (sangat suka). Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang berasal dari mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor sebanyak 100 orang. Panelis diminta memberi penilaian terhadap sampel bakso yang diujikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data Data sifat fisik, sebelum dilakukan analisis ragam, dilakukan pengujian asumsi yang meliputi uji kenormalan, kehomogenan data, kebebasan galat dan keaditifan data. Hasil uji asumsi tersebut tidak memenuhi persyaratan analisis ragam, maka data dianalisis secara deskriptif. Analisis Sifat Fisik Hasil uji fisik bakso daging itik dengan dan tanpa kulit dari itik yang mengkonsumsi tepung daun beluntas dalam pakannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Bakso Daging Itik Peubah
0 6,22 ± 0,18 6,21 ± 0,33
%Beluntas 1 6,19 ± 0,38 6,17 ± 0,18
2 6,28 ± 0,34 6,27 ± 0,20
Tanpa Kulit Dengan Kulit
0,78 ± 0,35 1,54 ± 0,25
0,98 ± 0,47 1,74 ± 1,16
0,93 ± 0,26 1,75 ± 0,65
Tanpa Kulit Dengan Kulit
62,19 ± 3,39 61,41 ± 2,09 61,22 ± 3,17 58,99 ± 3,39 59,29 ± 2,79 59,68 ± 6,34
Tanpa Kulit Dengan Kulit
56,65 ± 3,43 55,05 ± 3,47 54,94 ± 1,08 62,04 ± 1,14 60,02 ± 1,53 58,40 ± 2,19
Intensitas Warna Merah (a)
Tanpa Kulit Dengan Kulit
6,34 ± 0,35 5,70 ± 0,49
Intensitas Warna Kuning (b)
Tanpa Kulit Dengan Kulit
11,23 ± 2,99 10,87 ± 2,17 9,11 ± 0,53 12,20 ± 1,17 12,74 ± 1,16 11,26 ± 0,18
Penambahan kulit Tanpa Kulit Dengan Kulit
Susut Masak (%) Kekenyalan (%)
pH
Warna : Kecerahan (L)
6,61 ± 0,41 5,98 ± 0,74
6,36 ± 0,34 5,83 ± 0,20
pH Nilai pH bakso yang didapat pada penelitian berkisar antara 6,17-6,28. pH bakso yang dihasilkan hampir sama antara bakso yang tanpa kulit dengan bakso yang menggunakan kulit. Nilai pH suatu produk berkaitan dengan nilai pH daging yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut (Sianipar, 2003). Menurut Allen et al., (1997) nilai pH daging gelap (itik) berkisar antara 6,08-6,22, nilai pH tersebut hampir sama dengan nilai pH bakso pada penelitian yaitu berkisar antara 6,17-6,28.
Hal tersebut didukung dengan laporan Faelani (2006) bahwa penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 1% dalam pakan rata-rata 6,01-6,50 dan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai pH daging itik, sehingga tidak berbeda juga terhadap nilai pH daging hasil olahannya yaitu bakso. Daging itik termasuk daging gelap karena sebagian besar komposisinya terdiri atas serat-serat merah. Menurut Lawrie (1995) daging yang terdiri dari seratserat merah mempunyai pH akhir yang lebih tinggi dan kapasitas buffer asam yang lebih rendah daripada urat-urat daging yang terdiri atas serat-serat putih. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai pH bakso yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pH isoelektrik yaitu 5,2-5,4. Pada saat pH di atas titik isoelektrik maka protein menjadi lebih bermuatan negatif, tingginya muatan negatif akan meningkatkan kekuatan tolak-menolak antara protein di dalam miofilamen yang pada akhirnya akan memudahkan miofibril untuk mengembang dan menahan air (Smith, 2001). Menurut Pearson dan Tauber (1984), perbedaan daya mengikat air diantara setiap individu ternak pada spesies yang sama biasanya berhubungan dengan pH otot. Daya mengikat air akan meningkat jika pH meningkat. Kenaikan atau penurunan pH daging akan menyebabkan penurunan kualitas produk, karena jika pH suatu produk turun maka akan menyebabkan daya mengikat air menjadi turun. Susut Masak Susut masak merupakan berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Perhitungan susut masak bertujuan untuk mengetahui jumlah kehilangan berat dan jumlah produk yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Nilai susut masak bakso daging itik berkisar antara 0,78-1,75%. Bakso dengan kulit memiliki susut masak yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Penambahan kulit dapat meningkatkan susut masak, karena menurut Rust (1987), fungsi protein dalam pembuatan bakso yaitu menyelubungi lemak dan mengikat air. Deposit lemak pada unggas berada pada jaringan kulit dan di bagian bawah kulit. Penambahan lemak kulit tanpa disertai dengan jumlah protein yang cukup menyebabkan tidak seluruh partikel lemak dapat terselubungi oleh protein, selebihnya lemak yang tidak terselubungi tersebut akan keluar dari bahan pangan
pada saat proses pemanasan. Menurut Ockerman (1983), pelepasan air yang terjadi disebabkan adanya daya saling menarik dari muatan elektrik positif dan negatif yang menyebabkan protein saling berikatan, sehingga ruangan menjadi sempit yang akhirnya air tidak dapat ditahan di dalam daging dan terdesak keluar. Keadaan ini menyebabkan daya mengikat air jadi rendah. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan menyebabkan kenaikan susut masak. Hal ini disebabkan oleh daun beluntas dapat menahan laju oksidasi lemak, sehingga kandungan lemak dalam daging dengan penambahan tepung daun beluntas lebih tinggi. Hasil penelitian Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), menunjukkan peningkatan asam lemak tidak jenuh dengan penambahan daun beluntas dalam pakan. Kenaikan susut masak ini disebabkan oleh kandungan asam lemak tidak jenuh pada bakso dengan penambahan tepung daun beluntas yang lebih banyak, sehingga saat terjadi proses pemasakan bakso asam lemak tidak jenuh akan keluar lebih banyak. Asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak yang memiliki titik leleh rendah dan bersifat tidak stabil terutama terhadap perbedaan temperatur. Kekenyalan Nilai kekenyalan bakso daging itik berkisar antara 58,99-62,19%. Bakso tanpa kulit memiliki kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan bakso dengan kulit. Kekenyalan bakso berkaitan dengan pembentukan gel. Menurut Niwa (1992), yang paling berperan dalam pembentukan gel adalah protein yang berasal dari daging. Protein miofibril terutama miosin yang terekstrak pada saat penggilingan dengan garam berperan besar dalam pembentukan gel. Pembentukan gel pada bakso terjadi karena adanya interaksi antara protein, pati dan air yang dipengaruhi oleh pH, suhu dan konsentrasi larutan garam. Gel protein terbentuk pada saat pemanasan (Smith, 2001). Menurut Winarno (1997), pada saat pemasakan protein miofibril yang terlarut akan membentuk suatu matriks hidrogel sehingga menghasilkan produk yang lebih kenyal. Bakso dengan kulit memiliki kekenyalan yang lebih rendah karena subtitusi kulit mengurangi jumlah daging yang digunakan dalam pembuatan bakso, dengan bertambahnya lemak maka kandungan protein miofibril juga akan semakin berkurang. Selain itu menurut Lukman (1995), kadar lemak yang tinggi melarutkan atau menurunkan kandungan kolagen jaringan ikat.
Berdasarkan
hasil
penelitian
Rukmiasih
dan
Tjakradidjaja
(2006),
penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 2% dalam pakan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein daging, jadi daging yang digunakan dalam pembuatan bakso yang berasal dari daging dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan mempunyai kadar protein yang sama, sehingga akan menghasilkan nilai kekenyalan yang sama. Warna Warna merupakan salah satu sifat visual yang pertama kali dilihat oleh konsumen, karena warna memberikan suatu kesan disukai atau tidaknya suatu produk. Nilai L (Lightness) menunjukkan tingkat kecerahan suatu produk. Rentang nilai L dari 0 (gelap) sampai 100 (terang). Semakin tinggi nilai L maka produk semakin cerah. Nilai kecerahan bakso itik berkisar antara 54,94-62,04. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa penggunaan kulit dan tanpa kulit bakso daging itik dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan hampir sama terhadap nilai kecerahan bakso. Nilai kecerahan bakso ditentukan oleh warna daging yang digunakan dan bahan tambahan lain yang digunakan. Bakso dengan kulit memiliki kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Hal ini karena subtitusi kulit dapat menambah kecerahan pada bakso. Menurut Radley (1976) yang dikutip oleh Nashiruddin (2004), kecerahan dapat dipengaruhi oleh pati dalam tepung, namun pada penelitian ini tepung yang digunakan untuk setiap perlakuan jumlahnya sama sehingga tidak berpengaruh terhadap kecerahan bakso. Nilai a (redness) menunjukkan intensitas warna merah pada suatu produk. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah sampai hijau. Untuk warna merah dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100, sedangkan untuk warna hijau dengan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80. Semakin tinggi nilai a maka semakin merah warna produk. Nilai intensitas warna merah bakso itik berkisar antara 5,706,61. Bakso dengan kulit memiliki intensitas warna merah yang lebih rendah. Menurut Kramlich (1971), warna merah pada bakso disebabkan oleh pigmen mioglobin yang terkandung dalam daging. Subtitusi kulit mengurangi jumlah daging, sehingga pigmen mioglobinnya lebih rendah. Pada bakso tanpa kulit terjadi hal yang sebaliknya. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan tidak memberikan
pengaruh terhadap nilai intensitas warna merah. Pigmen warna merah yang terdapat pada daun beluntas yaitu pigmen anthosianin. Hal ini diduga karena taraf perlakuan yang diberikan relatif rendah, selain itu adanya pigmen lain yang konsentrasinya lebih besar dapat menutupi warna merah yang ditimbulkan oleh pigmen anthosianin tersebut (Winarno, 1997). Nilai b (yellowness) menunjukkan intensitas warna kuning pada suatu produk. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning sampai biru. Untuk warna kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +100, sedangkan untuk warna biru dengan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70. Semakin tinggi nilai b maka semakin kuning warna produk. Nilai intensitas warna kuning bakso itik berkisar antara 9,11-12,74. Bakso dengan kulit memiliki intensitas warna kuning yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Hal ini karena warna kuning pada bakso berasal dari lemak kulit dan juga lemak daging. Menurut Ketaren (1986), timbulnya warna kuning pada lemak disebabkan oleh adanya pigmen karoten. Subtitusi kulit yang mengandung pigmen karoten memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap intensitas warna kuning pada bakso. Penggunaan daun beluntas tidak memberikan pengaruh karena kandungan pigmen karoten yang terkandung dalam tepung daun beluntas yang rendah, sehingga daya serapnya juga cukup rendah. Menurut Hencken (1992) yang dikutip oleh Surai (2001), pada ayam penyerapan dan akumulasi dari pigmen karoten juga rendah, pada broiler pemberian sekitar 83% zeasantin dalam pakan dan yang dikeluarkan hanya sekitar 1,7% zeasantin yang terserap oleh kulit. Hasil Uji Organoleptik Hasil uji organoleptik bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit yang diberi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dilakukan oleh 100 orang panelis (mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor) tidak terlatih disajikan pada Tabel 7, sedangkan persentase jumlah panelis yang menerima bakso daging itik disajikan pada Tabel 8. Warna Warna mempunyai peranan penting dalam menentukan penerimaan produk pangan dan hasil-hasil pertanian. Warna merupakan salah satu parameter yang
menjadi pertimbangan pertama dalam penerimaan produk pangan salah satunya bakso. Tabel 7. Hasil Pengujian Organoleptik Bakso Daging Itik Peubah
Penambahan Kulit Tanpa Kulit Dengan Kulit
0 4,56±1,50b 4,03±1,56a
% Beluntas 1 4,74±1,52b 4,14±1,50a
2 4,83±1,44b 4,59±1,54b
Aroma
Tanpa Kulit Dengan Kulit
4,90±1,29d 4,22±1,40a
4,42±1,49b 4,53±1,26b
4,58±1,28bc 4,74±1,26cd
Tekstur
Tanpa Kulit Dengan Kulit
4,97±1,27de 4,43±1,44b
4,81±1,34ce 4,06±1,44a
5,16±1,28d 4,73±1,47c
Kekenyalan
Tanpa Kulit Dengan Kulit
4,97±1,37c 4,61±1,44b
4,93±1,43c 3,78±1,43a
5,13±1,21c 4,62±1,62b
Rasa
Tanpa Kulit Dengan Kulit
5,15±1,37bc 4,90±1,59b
5,00±1,53b 4,70±1,51a
5,47±1,03d 5,30±1,25cd
Penampakan Umum
Tanpa Kulit Dengan Kulit
4,68±1,32bc 4,52±1,42b
4,76±1,62cd 3,86±1,39a
4,95±1,55d 4,70±1,40bc
Warna
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas pada taraf 0 – 2% didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan bakso itik dengan kulit untuk penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai daripada kontrol dan penambahan tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena bakso yang menggunakan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% mempunyai warna yang lebih gelap. Menurut Andayani (1999), konsumen cenderung menyukai bakso berwarna abu-abu pucat. Bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% mempunyai nilai kesukaan panelis yang sama dengan yang tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%. Hal ini karena penambahan tepung daun beluntas akan meningkatkan nilai kegelapan dari bakso. Menurut Kochhar (1993), reaksi oksidasi dari suatu bahan pangan akan menyebabkan kerusakan pigmen yang ada dalam bahan pangan tersebut. Warna bakso dapat juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah daging yang digunakan. Lukman (1995) menyatakan, bahwa perubahan
warna daging pada produk bakso disebabkan pada proses pemasakan terjadi reaksi degradasi dan denaturasi komponen daging dan bermacam pigmen terutama mioglobin. Jumlah panelis yang menerima warna bakso daging itik tanpa kulit dengan atau tanpa penambahan tepung daun beluntas didapatkan hasil di atas 60%, sedangkan untuk bakso itik dengan kulit semakin tinggi level pemberian tepung daun beluntas, maka jumlah penelis yang menerima semakin banyak. Tabel 8. Persentase Jumlah Panelis yang Menerima Bakso Daging Itik* Peubah
Warna
Penambahan Kulit
% Beluntas 0 1 2 ----------------------------%--------------------------Tanpa Kulit 63 63 63 Dengan Kulit 44 46 53
Aroma
Tanpa Kulit Dengan Kulit
67 46
49 52
60 61
Tekstur
Tanpa Kulit Dengan Kulit
73 53
68 42
76 65
Kekenyalan
Tanpa Kulit Dengan Kulit
70 61
68 34
77 62
Rasa
Tanpa Kulit Dengan Kulit
72 63
70 64
85 77
Penampakan Umum
Tanpa Kulit Dengan Kulit
60 58
60 36
71 63
Keterangan : *) Skala hedonik di atas 5
Aroma Pembauan disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium bau atau aroma makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto, 1985). Menurut Winarno (1997), aroma lebih banyak dipengaruhi oleh indera penciuman. Aroma bakso dapat dipengaruhi oleh senyawa volatil, zat yang ada di dalam daging dan bahan-bahan selain daging. Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 1% sama dengan 2%, sedangkan untuk bakso dengan kulit yang ditambah tepung daun beluntas dalam pakan 1 dan 2% nyata (p<0,05) lebih disukai daripada kontrol. Bakso tanpa kulit tanpa penambahan tepung
daun beluntas kurang disukai karena tidak adanya zat antioksidan akan menyebabkan lemak dalam bakso mengalami oksidasi, sehingga menimbulkan bau anyir yang lebih tinggi. Jumlah panelis yang menerima aroma bakso daging itik tanpa kulit tanpa pemberian daun beluntas lebih tinggi yaitu sebesar 67% , sedangkan untuk bakso itik dengan kulit semakin tinggi level pemberian tepung daun beluntas, maka jumlah penelis yang menerima semakin banyak. Menurut Andayani (1999), konsumen lebih menyukai aroma daging rebus pada bakso sapi. Tekstur Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso itik tanpa kulit kontrol tidak berbeda dengan penambahan tepung daun beluntas 1% dan 2%, sedangkan untuk bakso dengan kulit yang ditambahkan tepung daun beluntas dalam pakan 2% nyata (P<0,05) lebih disukai daripada kontrol dan 1%. Hal ini karena pada bakso tanpa kulit memiliki kandungan lemak yang sedikit dan persentase daging yang sama, sehingga persentase protein di dalam bakso tanpa kulit juga sama. Untuk bakso dengan kulit penambahan tepung daun beluntas 2% akan mencegah terjadi oksidasi, sehingga emulsi yang dihasilkan antara lemak, protein dan air masih baik. Penggunaan kulit akan menyebabkan berkurangnya nilai kesukaan dari tekstur bakso itik yang dihasilkan. Hal ini karena persentase daging bakso tanpa kulit lebih banyak, sehingga terjadinya emulsi dan daya mengikat air dari protein daging itik dengan air, lemak dan tepung serta bahan-bahan lainnya menjadi lebih baik dan dihasilkan tekstur yang lebih kompak. Menurut Forrest et al., (1975), tekstur daging masak mempengaruhi penampakan dan memberikan kesan sensori yang dihubungkan dengan kekompakan, kesan pada saat dimakan atau digigit. Jumlah panelis yang menerima tekstur bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 76%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 65%. Menurut Andayani (1999), konsumen lebih menyukai bakso yang kompak dengan tekstur yang halus.
Kekenyalan Kekenyalan dapat diukur berdasarkan keelastisannya ketika ditekan diantara ibu jari dan telunjuk. Pembentukan kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula, garam dan pati (Moedjiharto, 2003). Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 0 – 2% tidak berbeda nyata, hal ini karena kandungan protein yang ada di dalam bakso tanpa kulit sama, sehingga tingkat kekenyalan yang dihasilkan sama. Untuk bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai dari pada kontrol maupun penambahan tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena kandungan lemak dalam bakso dengan kulit dengan penambahan 2% tidak mengalami oksidasi, sehingga kelarutan protein miosin masih baik. Menurut Kochhar (1993), oksidasi lipid dalam bahan pangan akan menyebabkan protein menjadi tidak larut. Kelarutan protein yang baik akan menyebabkan daya emulsi antara lemak, protein, dan air yang dihasilkan lebih baik sehingga bakso yang dihasilkan menjadi lebih kenyal. Jumlah panelis yang menerima kekenyalan bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 77%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 62%. Standar Nasional Indonesia 01-3818-1995 mensyaratkan bahwa bakso yang baik mempunyai nilai kekenyalan yang cukup. Rasa Rasa bakso dipengaruhi oleh daging, bumbu-bumbu dan bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pengolahan. Hasil uji statistik tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso itik tanpa kulit dengan taraf 2% berbeda dengan kontrol dan 1%, sedangkan untuk bakso dengan kulit yang ditambahkan tepung daun beluntas dalam pakan 2% nyata (p<0,05) lebih disukai dari pada kontrol dan penambahan tepung daun beluntas 1%. Adanya zat antioksidan dalam pakan akan mengurangi kerusakan dari flavor yang dihasilkan (Kochhar, 1993), bakso tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% lebih disukai karena adanya zat anti oksidan yang
menghambat proses oksidasi. Untuk bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% kandungan lemaknya lebih banyak, sehingga saat terjadi pemasakan akan terbentuk senyawa volatil pembentuk rasa yang lebih banyak. Menurut Lawrie (1995), rasa dari daging yang dimasak banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak serta terbentuknya komponen volatil yang terdapat dalam daging. Komponen-komponen senyawa volatil yang berperan terhadap rasa daging yang dihasilkan terutama adalah senyawa bersulfur. Senyawa bersulfur berperan dalam memberikan bau dan rasa daging (meaty). Jumlah panelis yang menerima rasa bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 85%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 77%. Menurut Sunarlim (1992), umumnya ada tiga macam rasa yang sangat menentukan kesukaan konsumen terhadap bakso, yaitu tingkat keasinan, rasa daging dan tingkat kegurihan yang ditentukan oleh kadar garam dan kadar daging. Konsumen lebih menyukai rasa daging pada bakso dan tidak menyukai rasa pati. Penampakan Umum Penampakan secara umum merupakan salah satu penilaian secara visual dan menjadi pertimbangan konsumen dalam penerimaan suatu produk pangan. Penampakan umum merupakan kesimpulan dari beberapa faktor yang saling mempengaruhi dan sulit dipisahkan satu dengan yang lain, seperti warna, bentuk, kesan tekstur halus atau kasar dan lain sebagainnya. Permukaan bakso yang tidak berlubang, tidak basah atau tidak berlendir dan tidak kasar lebih disukai oleh konsumen. Hasil uji statistik pada bakso tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 1% sama dengan kontrol dan penambahan tepung daun beluntas 2%, sedangkan untuk bakso yang menggunakan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai daripada kontrol dan penambahn tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena bakso tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% memilki tingkat kesukaan terhadap warna, tekstur dan kekenyalan yang lebih tinggi, begitu pula dengan bakso yang dengan kulit. Penampakan umum berkolerasi dengan warna, tekstur dan kekenyalan. Semakin tinggi nilai warna,
tekstur dan kekenyalan maka semakin tinggi pula nilai penampakan umum yang dihasilkan. Jumlah panelis yang menerima tekstur bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 71%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 63%.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlakuan penambahan kulit dan tanpa dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 2% dalam pakan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH, kekenyalan dan warna (kecerahan, intensitas warna merah dan intensitas warna kuning) bakso daging itik. Penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dapat meningkatkan susut masak bakso daging itik. Berdasarkan hasil uji hedonik, bakso tanpa kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas 2% dalam pakan meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum bakso, tetapi tidak terhadap aroma. Bakso daging itik dengan penambahan kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas 2% dalam pakan meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum bakso daging itik. Saran Penambahan tepung daun beluntas 2% dapat mengurangi bau anyir dari bakso itik dan meningkatkan nilai kesukaan terhadap bakso daging itik. Akan tetapi meningkatkan nilai susut masak yang dihasilkan, sehingga perlu adanya penambahan bahan pengikat yang digunakan.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sahabat dan umatnya yang tetap istiqomah berada dijalanNya. Pertama, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Saim dan Ibunda S. Tin Soyah serta kakak-kakakku Euis Nurliana Soraya, Saptadji Adi Kusuma S.H, Dian Harri Permana S.Pt, adikku Sofyan Hadi dan kakak iparku Iin Farida beserta anandanya Sayyida Nafisa Permana yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, dan dorongan semangat yang tiada henti. Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Ir. Niken Ulupi, MS. selaku pembimbing utama dan ibu Ir. Rukmiasih, MS. selaku pembimbing anggota atas bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan pada penulis selama penyusunan karya tulis ini. Terimakasih kepada ibu Ir. B. N. Polii, S.U dan bapak Ir. Abdul Djamil H., MS. sebagai dosen penguji sidang yang telah memberikan saran dan masukkan terhadap skripsi ini. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada bapak Ir. Sudjana Natasasmita selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatian yang telah diberikan selama kuliah. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan lab unggas (Windy, Astri, Maya, Luki, Adit, Rinni, Nina, Aldina, Aif, Anggoro), teknisi dan laboran bagian IPT unggas terima kasih atas kerjasama dan bantuan selama penelitian. Teman-teman T’9 (Aep, Nana, Kardi, Arif, Try, Rudi, Wiwit dan Bogi) yang telah memberikan perhatian dan semangat yang lebih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman THT’40, Wisma Rawyd, Wisma Dolpin, gradasi_crew rohis THT40, F3 community, serta saudara-saudaraku di TAPAK-PAGI ANABA 2005 atas tausiyah, dukungan, nasihat serta kasih sayang yang diberikan. Tak lupa untuk my Team (Pa Yusfan, Dekri, Denny dan Sauqi). Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Januari 2008 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Allen, C. D., Russell, S. M., and Fletcher, D. L. 1997. Spoilage bacteria associated with poultry. In: Sams, A. R. (Ed.). Poultry Meat Procesing. CRC Press, USA. Amerine M. A., R. M. Pangborn and E. Roeslan. 1985. Principle of Sensory Evaluation of Food. Academic Press, New York. Andayani, R. Y. 1999. Standarisasi mutu bakso berdasarkan kesukaan konsumen (studi kasus bakso di wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Apriyantono, A. 1992. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Apriyantono, A. 2001. Off-flavour pada daging unggas. Lokakarya Nasional Unggas Air. Ciawi, Bogor. Hal 58-71 Ardiansyah. 2005. Daun beluntas sebagai bahan antibakteri dan antioksidan. http:// www. beritaiptek.com. [15/02/2007]. Asiamaya. 2003. Beluntas. http:// www. Asiamaya.com/jamu/index jamuinfo.html. [7/03/2004]. Association of Official Analitical Chemistry (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis Assosiciation of Official Analitical Chemistry, Washington D. C. Buhler, D.R. dan Miranda, C. 2000. Antioxidant activities of flavonoids. Departement of Environmental and Molecular Toxicology Oregon State University. http://lpi.oregonstate.edu/f-w00/flavonoid. html. (13 Mei 2006). Daniel, W.W. 1990. Statistik Nonparametrik Terapan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Elviera, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Faelani, I. 2006. Flavor dan sifat fisik daging itik jantan yang pakannya diberi penambahan tepung daun beluntas (Pluchea indica l.). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Forrest, J. C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel.1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fracisco. Gaffar, R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso ayam bloiler yang menggunakan tepung sagu dan tapioka. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol III. Terjemahan Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Hill, M. J. 1991. Nitrates and Nitrites in Food and Water. Ellis Horwood. Ltd., London. Hustiany, R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off-odor pada daging itik. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutchings, J. B. 1999. Food Color and Appearance. 2nded. A Chapman and Hall Food Science Book, an Aspen Publ. Gaithersburg. Maryland. Indrarmono, T.P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan terhadap sifat fisik-kimia bakso sapi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Judoamidjojo, R.M., Fahidin, dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Bogor. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Kochhar, S. P. 1993. Oxidative Pathway to Taints and Off-flavours. In: M. J. Saxby (Ed.). New York: Food Taints and Off-flavours. Blackie Academic and Prof. Kramlich, W. E. 1971. Sausage Product. In The Science of Meat and Meat Products. J. F. Price and B. S. Schweigert (Ed.). W. H. Freeman and Co. p:485. Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi kelima. Terjemahan: Parakkasi, A dan Y. Amwila. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lukman, H. 1995. Perbedaan karakteristik daging karkas dan olahannya antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi kedua. IPB Press. Bogor. Moedjiharto, T.J. 2003. Evaluasi fisikokimia sosis tempe-dumbo. J. Teknologi dan Industri Pangan. 16(2) : 164-168. Mountney, G.J. 1976. Poultry Product and Technology. 2nded. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nashiruddin, R. 2004. Kualitas fisik, kimia dan organoleptik sosis kelinci dengan penggunaan bahan pengikat dan pengisi yang berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Niwa, E. 1992. Chemistry of surimi gelation. In: Lanier, T. C and C. M. Lee. (Ed.). Surimi Technology. Marcell Dekker, USA. Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Departement of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agriculture Research and Development Center, Ohio. Pandisurya, C. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu bakso. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pearson, A. M. and F. W. Tauber. 1984. Processed Meats. The AVI publishing Co, Inc. Westport, Conecticut. Pisula, A. 1984. Meat Processing. FAO Rome, Italy. Rukmiasih dan A.S. Tjakradidjaja. 2006. Upaya menurunkan lemak penyebab offflavor pada daging itik melalui pemberian tepung daun beluntas (Pluchea indica l.) dalam pakan. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rust, R. E. 1987. Sausage product. In: Price, J. F and B. S. Schweigrt (Ed.). The Science of Meat and Meat Product. 3rded. Food and nutrition Press, West Port, Connecticut. Samosir, D.J. 1984. Ilmu Ternak Itik. Gramedia, Jakarta. Schmidt, G.R. 1988. Processing. In World Animal Science. Edited by. H. R. Cross and A. J. Overbay. Elsevier Science Publisher, Netherland. Setiyanto, R. D. 2005. Persentase bagian-bagian tubuh itik jantan lokal umur 10 minggu dengan penambahan tepung daun beluntas (Pluchea indica L.) dalam pakan. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sianipar, D. P. 2003. Meningkatkan daya guna daging itik dan daging entog melalui pemanfaatan sebagai bahan pembuatan sosis. Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Smith, D. M. 2001. Functional properties of muscle proteins in processed poultry product. In: Sams, A. R. (Ed.). Poultry Meat Processing. CRC Press, USA. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Srigandono, B. 1996. Beternak Itik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Stadelman, W.J., V.M. Olson, G.A. Shemwell dan S. Pasch. 1988. Egg and PoultryMeat Processing. Ellis Horwood Ltd., England. Standar Nasional Indonesia 01-3818-1995. Bakso Daging. Dewan Standarisasi Indonesia, Jakarta. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua. Terjemahan : Sumantri B. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologis jaringan otot dada dan paha pada itik dan entog. Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Surai, P.F. 2001. Natural Antioxidants In Avian Nutrition and Reproduction. Nothingham University Press, Nothingham, UK. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Wiranatakusumah, M. A. 1998. Aplikasi Peralatan Laboratorium Instron. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Proses Pembuatan Bakso Daging Itik
Daging
Pemotongan Kecil-kecil
Penggilingan I 3 Menit
Es 35g, Bawang Putih 4,5g, Lada Halus 3g
Es 35g, Garam 9,6g, Gula Pasir 4,5g, STPP 0,3%
Penggilingan II 3 Menit
Penggilingan III 3 Menit
Penyimpanan 30 menit
Dibentuk bulatan
Dimasak 15 menit 75oC
Bakso matang
Es 35g, Tepung Tapioka 36g, Susu Skim 24g
Lampiran 2. Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Penampakan Umum Uji Hedonik Nama : No Hp/Telp : Jenis Sampel : Tanggal Pengujian : Petunjuk Pengisian • Sampel dihadapan anda adalah bakso daging itik dan anda diharapkan untuk mengisi kolom yang tersedia dengan tanda silang (X) sesuai dengan pilihan anda • Peubah yang diujikan meliputi Penampakan Umum Kode Sampel Sangat Tidak Agak Tidak Netral Agak Suka Sangat Tidak Suka Suka Suka Suka Suka 436 347 258 812 623 445
Lampiran 3. Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Warna, Aroma, Tekstur, Kekenyalan dan Rasa Uji Hedonik Nama : No Hp/Telp : Jenis Sampel : Tanggal Pengujian : Petunjuk Pengisian • Sampel dihadapan anda adalah bakso daging itik dan anda diharapkan untuk mengisi kolom yang tersedia dengan tanda silang (X) sesuai dengan pilihan anda • Peubah yang diujikan meliputi Warna, Aroma, Tekstur, Kekenyalan dan Rasa. • Usahakan untuk menetralkan lidah anda dengan air mineral sebelum anda beralih menuju sampel lain Kode Sampel Sangat Tidak Agak Tidak Netral Agak Suka Sangat (No Sampel) Tidak Suka Suka Suka Suka Suka Warna Aroma Tekstur Kekenyalan Rasa
Lampiran 4. Komposisi Nutrisi Tepung Daun Beluntas dan Pakan dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas 1% dan 2% Komposisi
TDB*)
Pakan kontrol**) 89,77 9,40 19,39
99% pakan + 1% TDB 89,73 9,47 19,39
98% pakan + 2%TDB 89,69 9,52 19,38
Bahan kering (%) Abu (%) Protein Kasar (%)
85,83 15,69 19,02
Serat Kasar (%)
15,80
2,85
2,98
3,11
Kalsium (%)
2,40
4,94
4,91
4,89
Fosfor (%)
0,29
0,86
0,85
0,84
3.862,00
4.066,00
4.063,96
4.061,92
Energi Bruto (kkal/kg)
Sumber: *) Setyanto (2005) **) Rumiasih dan Tjakradidjaja (2006) TDB = Tepung Daun Beluntas
Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis Warna Bakso Itik Perlakuan N Median BODK 100 4 BOTK 100 5 B1DK 100 4 B1TK 100 5 B2DK 100 5 B2TK 100 5 Total 600 H = 21,53 DF = 5 P = 0,001 H = 22,56 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut)
Rank 250,1 317,2 260,8 327,1 312,3 335,6 300,5
Z -3,18 1,06 -2,51 1,68 0,78 2,22
Lampiran 6. Uji Kruskal-Wallis Aroma Bakso Itik Perlakuan N Median BODK 100 4 BOTK 100 5 B1DK 100 5 B1TK 100 4 B2DK 100 5 B2TK 100 5 Total 600 H = 14,60 DF = 5 P = 0,012 H = 15,40 DF = 5 P = 0,009 (dilakukan uji lanjut)
Rank 258,8 344,4 291,5 286,4 321,5 300,4 300,5
Z -2,63 2,78 -0,57 -0,89 1,33 -0,01
Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Tekstur Bakso Itik Perlakuan N Median Rank
Z
BODK
100
5
269,4
-1,97
BOTK
100
5
332,2
2,01
B1DK
100
4
225,2
-4,76
B1TK
100
5
313,1
0,80
B2DK
100
5
306,1
0,36
B2TK
100
6
357,0
3,57
Total
600
300,5
H = 36,69 DF = 5 P = 0,000 H = 39,14 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut) Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis Kekenyalan Bakso Itik Perlakuan N Median Rank
Z
BODK
100
5
296,9
-0,23
BOTK
100
5
331,0
1,93
B1DK
100
3
198,6
-6,44
B1TK
100
5
327,9
1,73
B2DK
100
5
298,8
-0,11
B2TK
100
6
349,9
3,12
Total
600
300,5
H = 48,34 DF = 5 P = 0,000 H = 51,28 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut) Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Rasa Bakso Itik Perlakuan N Median Rank
Z
BODK
100
5
285,0
-0,98
BOTK
100
6
309,0
0,54
B1DK
100
5
254,0
-2,94
B1TK
100
5
295,2
-0,33
B2DK
100
6
321,5
1,33
B2TK
100
6
338,2
2,38
Total
600
H = 14,53 DF = 5 P = 0,013 H = 15,72 DF = 5 P = 0,008 (dilakukan uji lanjut)
300,5
Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis Penampakan Umum Bakso Itik Perlakuan
N
Median
Rank
Z
BODK
100
5
292,8
-0,49
BOTK
100
5
306,9
0,40
B1DK
100
4
216,9
-5,28
B1TK
100
5
324,7
1,53
B2DK
100
5
312,8
0,78
B2TK
100
5
348,9
3,09
Total
600
300,5
H = 33,86 DF = 5 P = 0,000 H = 35,44 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut) Lampiran 11. Uji Banding Rataan Rangking Warna Bakso Itik Ri-Ri'
|Ri-Ri'|
Beda
Z [K(N+1)/6]0,5
B0TK vs B1TK
9,9
<
25,74
B0TK vs B2TK
18,4
<
25,74
B0TK vs B0DK
67,1*
>
25,74
B0TK vs B1DK
56,4*
>
25,74
B0TK vs B2DK
4,9
<
25,74
B1TK vs B2TK
8,5
<
25,74
B1TK vs B0DK
77*
>
25,74
B1TK vs B1DK
66,3*
>
25,74
B1TK vs B2DK
14,8
<
25,74
B2TK vs B0DK
85,5*
>
25,74
B2TK vs B1DK
74,8*
>
25,74
B2TK vs B2DK
23,3
<
25,74
B0DK vs B1DK
10,7
<
25,74
B0DK vs B2DK
62,2*
>
25,74
B1DK vs B2DK
51,5*
>
25,74
Lampiran 12. Uji Banding Rataan Rangking Aroma Bakso Itik Ri-Ri' B0TK vs B1TK B0TK vs B2TK B0TK vs B0DK B0TK vs B1DK B0TK vs B2DK B1TK vs B2TK B1TK vs B0DK B1TK vs B1DK B1TK vs B2DK B2TK vs B0DK B2TK vs B1DK B2TK vs B2DK B0DK vs B1DK B0DK vs B2DK B1DK vs B2DK
|Ri-Ri'| 58* 44* 85,6* 52,9* 22,9 14 27,6* 5,1 35,1* 41,6* 8,9 21,1 32,7* 62,7* 30*
Beda > > > > < < > < > > < < > > >
Z [K(N+1)/6]0,5 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74
Lampiran 13. Uji Banding Rataan Rangking Tekstur Bakso Itik Ri-Ri' B0TK vs B1TK B0TK vs B2TK B0TK vs B0DK B0TK vs B1DK B0TK vs B2DK B1TK vs B2TK B1TK vs B0DK B1TK vs B1DK B1TK vs B2DK B2TK vs B0DK B2TK vs B1DK B2TK vs B2DK B0DK vs B1DK B0DK vs B2DK B1DK vs B2DK
|Ri-Ri'| 19,1 24,8 62,8* 107* 26,1* 43,9* 43,7* 87,9* 7 87,6* 131,8* 50,9* 44,2* 36,7* 80,9*
Beda < < > > > > > > < > > > > > >
Z [K(N+1)/6]0,5 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74
Lampiran 14. Uji Banding Rataan Rangking Kekenyalan Bakso Itik Ri-Ri' B0TK vs B1TK B0TK vs B2TK B0TK vs B0DK B0TK vs B1DK B0TK vs B2DK B1TK vs B2TK B1TK vs B0DK B1TK vs B1DK B1TK vs B2DK B2TK vs B0DK B2TK vs B1DK B2TK vs B2DK B0DK vs B1DK B0DK vs B2DK B1DK vs B2DK
|Ri-Ri'| 3,1 18,9 34,1* 132,4* 32,2* 22 31* 129,3* 29,1* 53* 151,3* 51,1* 98,3* 1,9 100,2*
Beda < < > > > < > > > > > > > < >
Z [K(N+1)/6]0,5 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74
Lampiran 15. Uji Banding Rataan Rangking Rasa Bakso Itik Ri-Ri' B0TK vs B1TK B0TK vs B2TK B0TK vs B0DK B0TK vs B1DK B0TK vs B2DK B1TK vs B2TK B1TK vs B0DK B1TK vs B1DK B1TK vs B2DK B2TK vs B0DK B2TK vs B1DK B2TK vs B2DK B0DK vs B1DK B0DK vs B2DK B1DK vs B2DK
|Ri-Ri'| 13,8 29,2* 24 55* 12,5 43* 10,2 41,2* 26,3* 53,2* 84,2* 16,7 31* 36,5* 67,5*
Beda < > < > < > < > > > > < > > >
Z [K(N+1)/6]0,5 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74
Lampiran 16. Uji Banding Rataan Rangking Penampakan Umum Bakso Itik Ri-Ri' B0TK vs B1TK B0TK vs B2TK B0TK vs B0DK B0TK vs B1DK B0TK vs B2DK B1TK vs B2TK B1TK vs B0DK B1TK vs B1DK B1TK vs B2DK B2TK vs B0DK B2TK vs B1DK B2TK vs B2DK B0DK vs B1DK B0DK vs B2DK B1DK vs B2DK
|Ri-Ri'| 17,8 42* 14,1 90* 5,9 24,2 31,9* 107,8* 11,9 56,1* 132* 36,1* 75,9* 20 95,9*
Beda < > < > < < > > < > > > > < >
Z [K(N+1)/6]0,5 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74 25,74