SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR ITIK DENGAN PENAMBAHAN TARAF ASAM SITRAT YANG BERBEDA
SKRIPSI DYAH RATIH AMIARTI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRACT Physical and Functional Characteristic of Duck Albumen Powder in Different Citric Acid Adding Amiarti, D.R, N. Ulupi, and Rukmiasih Egg is one kind of perishable foods. To prolong egg shelf life, it need to be preserved. The processing of duck albumen powder using pan drying. The research was aimed to examine physical and functional characteristic of duck albumen powder in different citric acid adding. The research was done on Juny-July 2006 at poultry science and animal product laboratory, food technology processing laboratory, Bogor Agricultural University. The experimental design was randomized complete block design. The collected data was analyzed using analysis of variance (ANOVA) followed by the Duncan’s test for any significant result. The result showed that different citric acid adding has very significantly effect (P<0.01) to foaming capacity and foaming stability of duck albumen powder. The result showed that different citric acid adding has significantly effect (P<0.05) to water content of duck albumen powder. The citric acid adding was increasing the functional properties of duck albumen powder. Keywords : duck albumen powder, physical characteristic, functional characteristic, citric acid.
RINGKASAN Dyah Ratih Amiarti. D14202055. 2007. Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penbimbing Utama Pembimbing Anggota
: :
Ir. Niken Ulupi, MS Ir. Rukmiasih, MS
Telur itik merupakan hasil dari ternak unggas yang mengandung nilai nutrisi lebih tinggi daripada telur ayam terutama protein, lemak, dan karbohidrat. Terbatasnya pemanfaatan telur itik dalam pengolahan pangan disebabkan oleh aroma yang kurang disukai dan sifatnya yang mudah rusak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan pembuatan tepung putih telur. Tepung putih telur yang dihasilkan mampu memiliki sifat fungsional protein yang tidak jauh berbeda dengan putih telur segar, namun dalam prosesnya terjadi penurunan sifat fungsional protein dan pencoklatan non enzimatik (reaksi maillard). Upaya untuk mengatasi penurunan sifat fungsional protein putih telur yaitu dengan penambahan asam. Asam yang umum digunakan adalah asam sitrat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan asam sitrat pada putih telur terhadap sifat fisik dan fungsional tepung putih telur itik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2006. Telur yang digunakan dalam pembuatan tepung putih telur dengan metode pengeringan lapis adalah 43 butir telur segar (umur 1 hari) untuk penelitian pendahuluan dan 117 butir telur segar (umur 1 hari) untuk penelitian utama. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penambahan asam sitrat sebagai perlakuan, terdiri atas tiga taraf yaitu 0; 6,1; dan 9,6% dengan tiga periode pembuatan tepung sebagai kelompok. Peubah yang diamati adalah kadar air, rendemen, kecerahan, daya buih dan kestabilan buih. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan dilanjutkan uji Duncan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat pada putih telur itik sangat nyata (P<0,01) meningkatkan daya dan kestabilan buih. Penambahan asam sitrat pada putih telur itik juga nyata (P<0,05) menurunkan kadar air, namun tidak mempengaruhi rendemen dan kecerahan tepung putih telur itik yang dihasilkan. Penambahan asam sitrat pada putih telur itik lokal dapat meningkatkan sifat fungsional tepung putih telur itik lokal. Penambahan asam sitrat sebesar 9,6% menghasilkan daya dan kestabilan tepung putih telur tertinggi, tetapi daya buih yang dicapai masih rendah atau kurang dari 600%. Kata-kata kunci :
tepung putih telur itik, sifat fisik, sifat fungsional, asam sitrat
SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR ITIK DENGAN PENAMBAHAN TARAF ASAM SITRAT YANG BERBEDA
DYAH RATIH AMIARTI D14202055
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR ITIK DENGAN PENAMBAHAN TARAF ASAM SITRAT YANG BERBEDA
Oleh DYAH RATIH AMIARTI D14202055
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 6 Juli 2007
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Niken Ulupi, MS NIP.131 284 604
Ir. Rukmiasih, MS NIP.131 284 605
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc NIP.131 624 188
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Agustus 1983 di Kebumen, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Suwandi dan ibu Djarinah. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Setiabudi 06 Pagi. Penulis selanjutnya menyelesaikan pendidikan menengah tingkat pertama pada tahun 1998 di SLTPN 58 Jakarta dan pendidikan menengah umum pada tahun 2001 di SMUN 3 Jakarta. Penulis diterima sebagai mehasiswa IPB pada tahun 2002 melalui program Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah menjadi pengurus Forum Keluarga Mahasiswa Muslim (FAMM) Al-An’aam periode 2003-2005. Penulis terlibat aktif dalam kepanitian pada kegiatan yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam dari tahun 2004-2006.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda”. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan upaya untuk memunculkan cara alternatif dari pengawetan telur itik. Hal ini didorong karena sifat telur yang mudah mengalami kerusakan. Skripsi ini membahas alternatif pengoptimalan pembuatan tepung putih telur itik dengan cara menambahkan asam sitrat untuk mempertahankan sifat fisik dan fungsionalnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan informasi, pengetahuan dan menfaat bagi yang membacanya khususnya bagi pengembangan peternakan dan bagi penulis sendiri.
Bogor, Juli
Penulis
2007
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
i
ABSTRACT ................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...............................................................................................
v
DAFTAR TABEL .......................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
ix
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................. Tujuan ............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
2
Telur Itik ........................................................................................ Putih Telur ..................................................................................... Pasteurisasi .................................................................................... Desugarisasi ................................................................................... Pengeringan Putih Telur ................................................................ Kadar Air ....................................................................................... Rendemen ...................................................................................... Warna ............................................................................................ Daya Buih ...................................................................................... Kestabilan Buih ............................................................................. Asam Sitrat ....................................................................................
2 2 4 4 5 6 7 7 8 10 10
METODE ....................................................................................................
11
Lokasi dan Waktu .......................................................................... Materi ............................................................................................ Rancangan ..................................................................................... Prosedur ......................................................................................... Penelitian Pendahuluan .................................................... Penelitian Utama ..............................................................
11 11 11 12 12 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
17
Penelitian Pendahuluan ................................................................. Penelitian Utama ........................................................................... Kadar Air .......................................................................... Rendemen ......................................................................... Kecerahan ......................................................................... Daya Buih ........................................................................ Kestabilan Buih ................................................................
17 18 19 20 21 22 23
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
26 26 26
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
28
LAMPIRAN ................................................................................................
30
PENDAHULUAN Latar Belakang Telur itik merupakan hasil dari ternak unggas yang sangat berpotensi bagi kebutuhan gizi masyarakat. Nilai nutrisi telur itik terdiri dari 13,7% protein, 14,4% lemak, dan 1,2% karbohidrat, lebih tinggi dibandingkan telur ayam yaitu 12,8% protein, 11,8% lemak, dan 1,0% karbohidrat (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kelebihan dari komponen telur itik perlu dimanfaatkan agar daya guna telur itik meningkat. Pemanfaatan daya guna telur itik sudah dikenal di masyarakat namun masih dalam jumlah terbatas. Umumnya telur itik dikonsumsi sebagai telur utuh atau telur asin. Terbatasnya pemanfaatan telur itik dalam pengolahan makanan di sebabkan oleh aroma yang kurang disukai dan sifatnya yang mudah rusak (perishable). Salah satu cara untuk mengatasi sifat yang mudah rusak tersebut adalah dengan perlakuan pengawetan untuk memperpanjang masa simpannya dan kemudahan dalam penggunaannya ketika dibutuhkan sewaktu-waktu. Pembuatan tepung putih telur merupakan satu alternatif pengawetan, selain fungsinya untuk memperpanjang masa simpan, dari segi fisik tepung putih telur memiliki
beberapa
keuntungan,
yaitu
meminimalkan
ruang
penyimpanan,
memudahkan distribusi, sehingga menjadi produk yang praktis. Tepung putih telur diharapkan memiliki sifat protein yang tidak berbeda jauh dengan putih telur segar, namun dalam proses pengeringan terjadi penurunan sifat protein. Salah satu cara untuk mengatasi penurunan sifat protein adalah dengan cara penambahan asam. Asam yang umum digunakan adalah asam sitrat. Penambahan asam sitrat membantu menstabilkan sifat protein pada saat proses pembuatan tepung putih telur. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penambahan asam sitrat pada putih telur terhadap sifat fisik dan fungsional tepung putih telur.
TINJAUAN PUSTAKA Telur Itik Bentuk telur itik yang normal sama dengan telur ayam yang oval dengan salah satu ujung meruncing, sedang ujung yang lain tumpul. Bentuk seperti ini berguna untuk meningkatkan daya tahan kulit telur terhadap tekanan mekanis serta mengurangi kemungkinan tergelincir pada bidang datar (Medved, 1986). Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa struktur fisik telur terdiri atas kuning telur, putih telur dan kerabang telur. Sebutir telur itik terdiri dari 12% kerabang telur, 52,6% putih telur dan 35,4% kuning telur. Putih Telur Putih telur memiliki empat bagian utama yaitu lapisan putih telur yang encer bagian luar, lapisan putih telur yang kental, lapisan putih telur encer bagian dalam dan lapisan khalaza. Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh khalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin. Struktur putih telur dibentuk oleh serabut-serabut protein yang membentuk jala yang disebut ovomucin, sedangkan bagian yang cair diikat kuat di dalamnya menjadi bagian kental (Romanoff dan Romanoff, 1963). Komposisi telur ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Itik (dalam 100 g berat bahan) Telur Itik
Komposisi Kimia Telur Utuh
Kuning Telur
Putih Telur
Kalori
(Kal)
189
398
54
Air
(%)
70,8
47
88
Protein
(g)
13,1
17
11
Lemak
(g)
14,3
35
0
Karbohidrat
(g)
0,8
0,8
0,8
Kalsium
(mg)
56
150
21
Fosfor
(mg)
175
400
20
(SI)
1230
2870
0
Vitamin A
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1979)
2
Protein dan air merupakan komponen terbesar putih telur. Protein putih telur terdiri dari protein serabut yaitu ovomucin dan protein globular yaitu ovalbumin, conalbumin, ovomucoid, lysozim, flavoprotein, ovoglobulin, ovoinhibitor, dan avidin. Protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin, ovomucin dan globulin (Stadelman dan Cotterill, 1995). Hasil-hasil penelitian yang dikutip Alleoni dan Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur yaitu globulin mempunyai kemampuan memudahkan terbentuknya buih, sementara kompleks ovomucin-lysozyme yaitu ikatan antara pembentuk stuktur gel putih telur dengan enzym pelindung protein telur, ovalbumin dan conalbumin mempunyai kemampuan membuat buih stabil. Jenis-jenis protein putih telur, sifat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis dan Karakteristik Protein dalam Putih Telur Itik Jenis
Ovalbumin Conalbumin (Ovotransferin) Ovomucoid Lysozyme (Ovoglobulin-G1) Ovomucin Flavoprotein Ovomacroglobulin Ovoinhibitor Avidin
Presentase dalam protein* (%) 40 2
pH Isoelektrik
Suhu Denaturasi (oC)
Karakteristik
4,5 6,1
84,5 61,5
11 1,2
4,1 10,7
70,0 75,0
Pembentuk jel Mengikat Fe (logam lain) Menghambat tripsin Menguraikan bakteri
3
4,5-5,0
0,3 1 Belum diketahui 0,03
4,0 4,5-4,7 5,1 9,5
Faktor yang mempengaruhi kekentalan Mengikat riboflavin Mengikat biotin
Sumber : Belitz dan Grosch, 1999 dan *Whitaker dan Tannenbaum (1977)
Ovomucin adalah protein yang bersifat menstabilkan busa. Jika ovomucin terdapat dalam jumlah banyak maka busa yang terbentuk bersifat stabil dan tahan terhadap koagulasi (Sirait, 1986). Ovomucin membentuk lapisan tipis yang tidak larut dalam air dan dapat menstabilkan struktur buih. Komposisi ovomucin sebanyak 1,5% dari protein putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Globulin merupakan protein yang memiliki tegangan permukaan yang rendah sehingga membantu tahapan pembentukan buih. Kurangnya globulin dalam putih telur membutuhkan waktu
3
pengocokan lebih lama untuk mencapai volume tertentu. Komposisi globulin sekitar 4% dari protein putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Pasteurisasi Pasteurisasi bermanfaat bagi telur karena mengurangi bakteri patogen. Perhatian utamanya adalah Salmonella, karena organisme tersebut umumnya tumbuh berkembang dalam telur dan produk olahan telur lainnya. Putih telur, telur utuh, dan kuning telur memiliki efek berbeda terhadap daya pemanasan Salmonella, karena adanya perbedaan pH, kepadatan, dan kandungan alaminya. Salah satu cara untuk mengurangi jumlah bakteri adalah dengan melakukan pasteurisasi terhadap cairan putih telur pada suhu sekitar 54,4oC salama 3 menit dan untuk memperoleh hasil yang bebas dari Salmonella, putih telur kering disimpan pada suhu 53,3oC selama 5 hari (Brown dan Zabik, 1967). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) stabilitas maksimum protein pada putih telur adalah mendekati pH netral, sehingga pada pH ini metode pasteurisasi yang digunakan untuk putih telur identik dengan pasteurisasi telur utuh yaitu pada suhu antara 60-62oC selama 3,5-4 menit. Suhu pasteurisasi yang direkomendasikan untuk putih telur mentah pada beberapa taraf pH dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rekomendasi Temperatur Pasteurisasi untuk Putih Telur Mentah pada Beberapa Taraf pH pH putih telur
Temperatur pasteurisasi (oC)
8,4
59
8,6
58
8,8
57
9,0
56
9,2
55
9,4
54
Sumber : Stadelman dan Cotterill (1977)
Desugarisasi Desugarisasi merupakan proses penghilangan gula pada pengeringan telur, untuk mencegah reaksi antara komponen amino (protein, fosfatidil etanolamin) dan gula pereduksi (glukosa). Hal ini dilakukan untuk menghindari perubahan warna
4
menjadi coklat dan bau yang menyimpang. Gula dihilangkan dari albumen setelah pasteurisasi dengan menggunakan fermentasi gula mikrobiologis, kemudian diinkubasi pada suhu 30-33oC dengan mikrooganisme berupa bakteri atau khamir. Penambahan sel khamir pada level tinggi (1%) pada cairan putih telur akan menghasilkan tepung dengan flavor khamir yang menyengat (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Sa’id (1987) dan Feed (1991) proses desugarisasi secara optimal selama 45 menit. Pertumbuhan Saccharomyces sp. dalam putih telur memerlukan beberapa nutrisi diantaranya adalah karbon. Karbon dapat diperoleh dari karbohidrat seperti glukosa, fruktosa, dan mannosa (Peppler, 1979). Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah nutrisi, pH, suhu, tersedianya oksigen dan ada tidaknya senyawa penghambat. Saccharomyces sp. merupakan khamir berbentuk oval. Khamir dapat tumbuh pada suhu 25-30oC (Fardiaz, 1992). Nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir menurut Fardiaz (1992) adalah 4,0-4,5 dan menurut Pelczar (1986) sebesar 3,8-5,6. Pengeringan Putih Telur Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air dengan energi panas. Kandungan air bahan dikurangi sampai batas tertentu agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut (Muchtadi, 1989). Pengeringan merupakan aplikasi pemanasan di bawah kondisi yang terkontrol untuk mengeluarkan air pada makanan dengan penguapan air (Fellows, 2000). Menurut McWilliams (2001), pengawetan telur dengan pengeringan atau pendinginan dilakukan untuk kemudahan dan keamanan, tetapi lebih utamanya untuk memudahkan kegunaannya dalam pengolahan pangan selanjutnya. Tepung telur merupakan produk lanjutan yang menarik karena kemudahannya dengan penyimpanan yang lama tanpa didinginkan atau dibekukan. Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air dalam bahan sampai pada batas mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Pengeringan telur mempunyai beberapa keuntungan yaitu: (1) mempermudah dan mengurangi ruang penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang daya simpan dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963 ; Bergquist, 1964).
5
Matz dan Matz (1978), menyatakan bahwa metode pengeringan yang dapat digunakan untuk membuat tepung telur ada empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), pengeringan busa (foaming drying), pengeringan lapis tipis (pan drying) dan pengeringan beku (freeze drying). Metode pengeringan semprot tidak biasa digunakan untuk membuat tepung putih telur, karena dapat menyebabkan penggumpalan dan penyumbatan pada nozzle alat pengering semprot (Bergquist, 1964). Salah satu kegunaan dari pengeringan adalah mempertahankan stabilitas, sifat fungsional, dan kualitas tepung telur. Pengeringan lapis tipis termasuk dalam jenis pengeringan yaitu digunakan untuk menghasilkan tepung putih telur. Flake putih telur dihasilkan dalam proses ini (Stadelman dan Cotterill, 1995). Produk yang dihasilkan dari proses pengeringan putih telur adalah berupa remah (flake) putih telur, dan tepung putih telur. Kedua bentuk ini dapat dihasilkan dangan metode pan drying sedangkan pada spray drying hanya berupa tepung putih telur. Kadar air remah (flake) putih telur sekitar 12,16% dengan pH 4,5-7,0 dan kadar air tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode pan drying adalah 6-14%. Tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode spray drying adalah 4-8% (Stadelman dan Cotterill, 1995). Romanoff dan Romanoff (1963) melaporkan bahwa metode pan drying pada suhu sekitar 40-45oC, tebal lapisan bahan sekitar 6 mm selama 22 jam akan diperoleh produk kering dengan kadar air sekitar 5%. Kadar Air Winarno (1997), menyatakan bahwa air adalah bahan yang menguap pada pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu. Air merupakan komponen yang sangat penting karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan daya terima, kesegaran, dan daya tahan bahan pangan tersebut. Air juga merupakan faktor pendukung yang sangat mempengaruhi laju perubahan kimiawi maupun fisik pada bahan makanan (De Man, 1989). Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara, tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105 – 110oC selama 3 jam atau sampai diperoleh berat konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (Winarno, 1997).
6
Air yang terdapat dalam bahan makanan disebut dengan istilah air terikat. Menurut derajat keterikatan air, air terikat dapat dibagi atas empat tipe yaitu tipe I, tipe II, tipe III dan tipe IV. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekulmolekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan sedangkan tipe IV adalah air murni. Berdasarkan kadar air hasil pengeringan dengan suhu dan waktu yang sama, air tipe II dan III masing-masing memiliki kadar air 3-7% dan 12-25% (Winarno, 1997). Kandungan air putih telur, kuning telur dan telur utuh antara telur itik dan ayam menurut Romanoff dan Romanoff (1963) adalah 86,8%, 44,8% dan 69,7% pada telur itik, sedangkan 87,9%, 48,7% dan 73,6% pada telur ayam. Rendemen Rendemen adalah berat tepung putih telur yang diperoleh, dibandingkan dengan berat telur segar. Rendemen dipengaruhi oleh protein yang dapat mengikat air. Semakin banyak air yang ditahan oleh protein, semakin sedikit air keluar sehingga rendemen semakin bertambah (Ockerman, 1978). Perhitungan rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan (AOAC, 1995). Nilai rendemen bahan kering putih telur ayam menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1979) yaitu sebesar 12,20%. Nilai rendemen tepung putih telur ayam ras dengan penambahan asam sitrat yang berbeda rata-rata sebesar 12,56% (Novitasari, 2006). Warna Menurut Soekarto (1990), warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada komoditas pangan dan hasil pertanian yang lainnya. Peranan itu sangat nyata pada tiga hal yaitu daya tarik, tanda pengenal dan atribut mutu. Sifat produk pangan yang paling menarik perhatian pada konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak adalah sifat warna. Proses pengolahan makanan bertujuan untuk meningkatkan edibilitas suatu makanan yang dapat menimbulkan perubahan warna yang dihasilkan. Perubahan warna makanan dapat bersifat
7
signifikan bagi tingkat kesukaan terhadap makanan tersebut. Perubahan warna ini dapat mengindikasikan kesegaran dan tingkat pemasakan produk (Hutching, 1999). Ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan berwarna yaitu pigmen yang secara alami, ada reaksi karamelisasi, reaksi maillard, reaksi antara senyawa organik dengan udara, dan penambahan zat warna (Winarno 1997). Warna pada tepung telur sangat sensitif terhadap oksidan dan pengeringan yang berlebihan, karena akan memutihkan produk. Faktor alat pengering juga mempengaruhi warna produk yang dihasilkan (Bergquist, 1964). Kecerahan merupakan ciri penentu untuk penyerapan penglihatan yaitu sumber yang dilihat memancarkan jumlah kandungan cahaya. Kecerahan juga merupakan penyerapan yang dihasilkan dari kekilauan sasaran penglihatan (Wikipedia, 2006). Daya Buih Buih adalah dispersi koloid, yaitu fase gas terdispersi dalam fase cair. Ketika putih telur dikocok gelembung udara terperangkap di dalam putih telur dan terbentuk buih. Selama pengocokan putih telur, ukuran gelembung udara menurun dan jumlah gelembung udara meningkat, dan putih telur tembus cahaya berubah menjadi tidak tembus cahaya dengan penampakan lembab. Seiring dengan peningkatan pengikatan udara, buih menjadi stabil dan kehilangan kemampuan mencair. Bila pengocokan dilanjutkan maka buih akan mudah rusak, kehilangan kelembaban serta tampak mengkilat (Stadelman dan Cotterill, 1995). Pasteurisasi pada putih telur dapat menurunkan kemampuan membuih dan menurunkan kualitas volume angel cake, hal ini terjadi karena ovotransferin terdenaturasi pada suhu pasteurisasi 53oC. Salah satu cara yang digunakan agar suhu pasteurisasi dapat ditingkatkan dan untuk meningkatkan kemampuan membuih putih telur setelah pasteurisasi, maka dapat ditambahkan metallic ions, garam fosfor, dan asam sitrat (Hatta et al, 1997). Menurut Nakamura dan Sato (1964), daya buih terbaik adalah pada pH netral dan pH asam kecuali pada pH yang sangat asam sekali. Salah satu daya guna putih telur adalah pembentuk buih. Semakin banyak udara yang terperangkap, buih yang terbentuk akan semakin kokoh dan mampu menahan air sehingga tidak mudah mencair. Daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persen terhadap putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Daya buih
8
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan nilai telur sebagai pangan misalnya dalam pembuatan tepung telur dan kue. Telur yang baik memiliki daya buih sebesar 6 sampai 8 kali volume putih telur (Georgian Egg Commission, 2005). Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan- ikatan protein sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Dilanjutkan dengan proses pembentukan lapisan monolayer (adsorbsi) (Cherry dan McWaters, 1981). Udara kemudian masuk di antara molekul-molekul protein yang terbuka rantainya dan ditahan di sana sehingga volume bagian putih telur menjadi bertambah (Sirait, 1986). Setelah terbentuknya buih, akan terjadi adsorbsi kontinyu membentuk monolayer kedua untuk menggantikan lapisan yang terdenaturasi. Lapisan protein akan saling mengikat untuk mencegah keluarnya air. Terakhir akan terjadi proses yang menyebabkan agregasi dan melemahnya ikatan yang terbentuk (Cherry dan McWaters, 1981). Semakin lama ikatan akan semakin melemah dan tirisan akan keluar dari lamela yang terdapat di antara gelembung, pada akhirnya ini dapat menyebabkan rusaknya film buih (Wong, 1989). Mekanisme terbentuknya buih ini disajikan pada Gambar 1 (Cherry dan McWaters,1981). PROTEIN DENATURASI PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS
udara
udara
udara
udara
MENANGKAP UDARA
PERBAIKAN BUIH YANG TERBENTUK
KOAGULASI
udara udara
DISTRUPSI Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Buih Sumber : Cherry dan McWaters ,1981
9
Kestabilan Buih Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas yang rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau direnggangkan seluas mungkin (Stadelman dan Cotterill, 1995). Asam Sitrat Asam sitrat (C6H8O7) disebut asam sitrun, biasa digunakan untuk pembuatan permen, es krim, marmalade, dan pembuatan jelli (Belitz dan Grosch, 1999). Menurut Mohrle (1989), asam sitrat lebih banyak digunakan dalam bentuk serbuk karena tersedia berlimpah di alam, bentuk granular atau serbuknya dapat diperoleh secara komersial dan harganya relatif murah dibandingkan asam makanan lain. Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada buah tumbuhan genus citrus (jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan pengawet yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa masam pada makanan dan minuman ringan, asam sitrat dikenal sebagai senyawa antara dalam siklus asam sitrat yang digunakan sebagai zat pembersih yang ramah lingkungan dan sebagai antioksidan (Wikipedia, 2005). Hasil penelitian Novitasari (2006) menyatakan bahwa penambahan asam sitrat pada putih telur ayam ras sangat nyata (P<0,01) meningkatkan daya dan kestabilan buih tepung putih telur ayam ras yang dihasilkan. Asam dan garam asam dapat meningkatkan kestabilan dengan cara mengubah konsentrasi protein yang terdenaturasi pada wilayah interfase cair dan udara dalam buih (Baldwin, 1979). Protein akan lebih mudah diadsorbsi ke permukaan karena lebih mudah terdenaturasi (Cherry dan McWaters,1981) saat dikocok. Tingginya konsentrasi protein yang terdenaturasi pada wilayah interfase cair dan udara menyebabkan buih lebih stabil karena membuat film protein menjadi tebal (Zayas, 1997).
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penentuan penambahan asam sitrat tahap pertama dilakukan dengan menambahkan asam sitrat pada putih telur hingga pH putih telur mencapai 7,2; 6,8; 6,4. Penentuan besarnya pH yang diinginkan didasarkan pendapat Stadelman dan Cotterill (1995) yang menyatakan bahwa pada pembuatan tepung putih telur, pH harus diatur sedemikian rupa hingga pH cairan putih telur antara 6,6 – 7,0. Besar pH yang digunakan adalah pH lebih dari 7 dan lebih rendah dari 6,6 serta pH di antara 6,6 – 7 dengan selisih yang sama. Tujuannya untuk memperoleh hasil penambahan asam sitrat yang berbeda dan berpengaruh pada sifat fisik dan sifat fungsional tepung putih telur itik. Penentuan pH ini juga berperan dalam mengkondisikan pH putih telur pada saat dipasteurisasi untuk memaksimumkan kestabilan protein, karena masih diharapkan putih telur itik dapat mempertahankan sifat fisik dan fungsionalnya setelah menjadi tepung putih telur. Hasil pengukuran asam sitrat kemudian dibandingkan dengan bobot putih telur dan diubah ke dalam bentuk persen, ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase Penambahan Asam Sitrat pada Putih Telur Itik Kelompok
pH putih telur 7,2
6,8
6,4
--------------------------- (%) --------------------------1
2,62
4,26
6,56
2
2,86
4,64
6,78
3
2,21
3,60
5,54
4
2,54
3,81
5,33
Rata-rata
2,56
4,08
6,05
Persentase penambahan asam sitrat yang telah diperoleh pada tahap pertama digunakan dalam proses pembuatan tepung putih telur pendahuluan, setelah itu dihitung daya dan kestabilan buihnya. Hasil pengukuran daya dan kestabilan buih tepung putih itik ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Daya dan Kestabilan Buih Tepung Putih Telur Itik Penambahan Asam Sitrat (%)
Peubah Daya Buih (%) Kestabilan Buih (%)
2,6
4,1
6,1
177,77
281,00
461,11
55,53
69,49
85,52
Daya buih tertinggi tepung putih telur itik diperoleh dengan persentase penambahan asam sitrat sebesar 6,1%. Kestabilan buih yang paling rendah dicapai oleh tepung putih telur itik dengan persentase penambahan asam sitrat sebesar 6,1%. Oleh karena itu, persentase penambahan asam sitrat yang dipilih sebagai taraf perlakuan pada penelitian utama adalah 6,1%. Berdasarkan Tabel 5 terlihat ada indikasi bahwa makin tinggi penambahan asam sitrat, daya buih tepung putih telur makin meningkat. Kestabilan buih tepung putih telur juga meningkat. Daya buih tepung putih telur diharapkan dapat mencapai lebih dari 600%. Dari Tabel 5, pada penambahan asam sitrat 6,1% daya buih yang baru dicapai sebesar 461,11%, untuk mencapai daya buih tepung putih telur lebih dari 600% dan minimal 461,11%, daya buih perlu ditingkatkan sebesar 139%. Peningkatan penambahan asam sitrat sebesar 1,5% (dari 2,6% menjadi 4,1%) menyebabkan peningkatan daya buih sebesar 103,23% (dari 177,77 menjadi 281%). Peningkatan penambahan asam sitrat sebesar 3,5% (dari 2,6% menjadi 6,1%) menyebabkan peningkatan daya buih sebesar 283,34% (dari 177,77 menjadi 461,11%). Peningkatan penambahan asam sitrat sebesar 2% (dari 4,1% menjadi 6,1%) menyebabkan peningkatan daya buih sebesar 180,11% (dari 281 menjadi 461,11%). Berdasarkan hal tersebut, peningkatan penambahan asam sitrat yang dapat meningkatkan daya buih terbesar adalah sebesar 3,5%. Oleh karena itu, pada penelitian utama akan digunakan penambahan asam sitrat sebesar 0; 6,1 dan 9,6% (6,1% + 3,5%). Penelitian Utama Taraf asam sitrat yang digunakan untuk pembuatan tepung putih telur adalah 0; 6,1 dan 9,6%. Taraf tersebut berdasarkan penelitian pendahuluan. Peubah yang diamati adalah kadar air, rendemen, kecerahan, daya buih dan kestabilan buih.
Kadar Air Pengaruh penambahan asam sitrat 0; 6,1 dan 9,6% terhadap kadar air disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar Air Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf Asam Sitrat (%)
Kadar Air (%)
0
7,00±0,50a
6,1
5,83±0,38b
9,6
5,17±0,38b
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Penambahan asam sitrat dengan taraf 0%; 6,1% dan 9,6% pada putih telur itik memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air tepung putih telur itik yang dihasilkan. Kadar air tepung putih telur pada penambahan asam sitrat 9,6% nyata (P<0,05) lebih rendah daripada tanpa penambahan asam sitrat, sedangkan kadar air tepung putih telur itik antara penambahan asam sitrat 6,1% dan 9,6% tidak berbeda. Perlakuan tanpa penambahan asam sitrat menyebabkan kadar air tepung putih telur lebih tinggi dibandingkan kadar air tepung putih telur dengan taraf penambahan asam sitrat 6,1% dan 9,6% Kondisi tersebut disebabkan belum maksimalnya reaksi Saccharomyces sp. dengan protein dalam proses penggunaan glukosa untuk pertumbuhannya, sehingga air dalam protein putih telur masih terikat. Proses saat pasteurisasi pun yang menyebabkan ikatan protein sebagian terbuka. Hal ini disebabkan bagian hidrofilik pada permukaan luar protein tidak banyak membalik ke dalam untuk bertukar tempat dengan bagian hidrofobik pada permukaan dalam protein, sehingga masih ada air yang terikat di bagian dalam protein. Penambahan asam sitrat pada putih telur menyebabkan kadar air tepung putih telur menurun. Reaksi Saccharomyces sp. dengan protein putih telur yang ditambahkan asam sitrat mampu mengurangi glukosa dalam putih telur, kondisi pH putih telur setelah ditambahkan asam sitrat juga membantu memaksimalkan kerja dari Saccharomyces sp. pada saat fase pertumbuhannya. Penambahan asam sitrat pada putih telur dilakukan sebelum pasteurisasi, dua proses tersebut mempengaruhi terbukanya ikatan protein. Namun, perlu diketahui protein putih telur memiliki karakteristik tertentu dalam menentukan maksimal atau tidaknya fungsi proteinnya
bekerja, penambahan asam sitrat salah satu upaya dalam menstabilkan sifat fungsional protein saat dipasteurisasi. Bagian hidrofilik pada permukaan luar protein telah banyak bertukar tempat dengan bagian hidrofobik pada permukaan dalam protein yang menyebabkan air yang terikat dalam protein keluar, dan kemudian digunakan dalam proses desugarisasi oleh Saccharomyces sp. Asumsi tersebut sesuai dengan pernyataan Zayas (1997) bahwa pengurangan air pada protein sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi pH, menjadi lebih sedikit air dalam protein pada saat pH mendekati daerah isoelektrik yaitu muatan protein nol dan interaksi antar protein maksimal. Air yang terdapat dalam putih telur itik merupakan air tipe II, karena setelah mengalami pengeringan kadar air tepung putih telur itik berkisar 5,17 – 7,33 %. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Winarno (1997) bahwa kadar air suatu bahan pangan yang berkisar 3 -7 % merupakan air tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Nilai kadar air tepung putih telur itik ini aman dari adanya pertumbuhan mikroorganisme, hal ini sesuai dengan Brooker et al (1974) yang menyatakan bahwa pengeringan sebagai proses penurunan kadar air sampai batas tertentu dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia. Tingkat kadar air 28%
sebagai
hasil
pengeringan,
aman
dari
resiko
adanya
pertumbuhan
mikroorganisme kontaminan contohnya Salmonella sp. Rendemen Nilai rendemen merupakan peubah yang menentukan efektif dan efisien tidaknya proses pengeringan. Semakin besar nilai rendemen tiap perlakuan menunjukkan makin efektif dan efisien proses yang dilakukan terhadap tepung putih telur itik. Hasil pengukuran rendemen disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rendemen Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf Asam Sitrat (%)
Rendemen (%)
0
13,05±0,39
6,1
13,95±1,26
9,6
13,42±0,35
Taraf asam sitrat sebesar 0%; 6,1% dan 9,6% pada putih telur itik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rataan rendemen tepung putih telur itik. Besarnya rendemen suatu produk kemungkinan dipengaruhi oleh penambahan suatu bahan, namun pada tepung putih telur itik nilai rendemen tiap taraf tidak jauh berbeda. Kondisi ini karena bahan yang ditambahkan berupa larutan asam sitrat. Nilai rendemen tepung putih telur itik dalam penelitian ini berkisar antara 13,05 – 13,95% atau rata-rata sebesar 13,47%. Nilai rataan rendemen tersebut di atas nilai rataan rendemen tepung putih telur ayam dengan penambahan asam sitrat yang berbeda yaitu 12,56% (Novitasari, 2006) dan dinyatakan juga oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1979) bahwa nilai bahan kering putih telur ayam sekitar 12,20%. Rataan sebesar 13,47% menunjukkan bahwa kadar air tepung putih telur itik lebih rendah dibandingkan kadar air tepung putih telur ayam. Kecerahan Penampilan fisik tepung putih telur itik yang merupakan salah satu daya tarik konsumen adalah warna. Kecerahan menunjukkan layak atau tidaknya tepung putih telur untuk dipasarkan. Semakin rendah tingkat kecerahan tepung menunjukkan warnanya semakin gelap dan terlihat bukan seperti tepung. Kecerahan tepung putih telur itik menunjukkan bahwa taraf asam sitrat
0%; 6,1% dan 9,6% tidak
memberikan pengaruh yang nyata. Hasil pengukuran nilai kecerahan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kecerahan Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf Asam Sitrat (%)
Nilai Kecerahan (L)
0
64,76±0,38
6,1
65,60±1,14
9,6
65,72±0,53
Hal ini karena warna larutan asam sitrat yang bening sehingga tidak menyebabkan perubahan warna atau menghasilkan produk baru, walaupun dengan taraf yang berbeda dan semua perlakuan dari awal hingga akhir pembuatan tepung putih telur sama. Reaksi antar protein dan larutan asam secara umum hanya
menghasilkan perubahan pada gugus aminonya yaitu dalam keadaan positif, reaksinya dapat dilihat di bawah ini : R – CH – COOH + H+
R – CH – COOH NH3+
NH2
Gambar 4. Reaksi Protein dan Larutan Asam Nilai kecerahan tepung putih telur itik dalam penelitian ini berkisar 64,76 65,72. Kisaran tersebut menunjukkan bahwa tepung telur itik tingkat kecerahannya mendekati warna putih. Perlakuan pengeringan yang sama dari tiga taraf tersebut juga mengakibatkan nilai kecerahan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Tingkat kecerahan dari suatu produk akan mempengaruhi perilaku konsumen untuk mengkonsumsinya, biasanya produk yang lebih cerah lebih disukai konsumen. Daya Buih Daya buih tepung putih telur itik dengan taraf asam sitrat sebesar 0%; 6,1% dan 9,6% memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01). Hasil pengukuran daya buih ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Daya Buih Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf Asam Sitrat (%)
Daya Buih (%)
0
366,67±33,34A
6,1
455,56±19,25A
9,6
522,22±38,49B
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01)
Uji Duncan daya buih tepung putih telur itik tanpa penambahan asam sitrat atau taraf 0% dengan taraf 6,1% tidak memberikan pengaruh yang berbeda, sama halnya antara taraf 6,1% dengan 9,6%. Daya buih tepung putih telur itik pada penambahan asam sitrat 9,6% nyata lebih tinggi daripada tanpa penambahan asam sitrat. Namun demikian, daya buih yang dicapai masih termasuk lebih rendah (kurang dari 600%) atau belum sesuai harapan. Pembentukan buih lebih mudah tercapai bila pH putih telur mendekati pH isoelektrik. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan penambahan asam
sitrat. Upaya tersebut sesuai dengan Romanoff dan Romanoff (1963) yang menyatakan bahwa jika ditambahkan asam sitrat maka daya buih putih telur akan meningkat. Penambahan asam sitrat pada penelitian ini menyebabkan pH tepung putih telur itik yang dihasilkan semakin rendah. Nilai pH rata-rata tepung putih telur itik ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 10. Nilai pH Tepung Putih Telur Itik Setelah Direhidrasi Penambahan Asam Sitrat (%)
Kelompok 0
6,1
9,6
1
9,23
7,30
5,92
2
9,12
6,78
6,03
3
9,52
6,62
6,24
Putih telur itik yang memiliki pH lebih basa dibandingkan pH telur ayam membutuhkan lebih banyak asam sitrat untuk mendekati pH isoelektrik. Kisaran pH pada taraf penambahan asam sitrat 9,6% menunjukkan nilai yang mendekati pH isoelektrik. Kondisi tersebut menerangkan bahwa protein putih telur mudah terdenaturasi oleh asam, namun asam sitrat tidak menyebabkan protein putih telur mengendap. Hal ini terjadi karena ikatan ionik muatan gugus amino (muatan positif) dan karboksil bebas pada protein (muatan negatif) tidak saling menetralkan. O +
---C O
NH3 ---
-
Gambar 5. Ikatan ionik gugus amino dan gugus karboksil Sumber : Winarno, 1997
Asumsi tersebut sesuai dengan pendapat Winarno (1997) yaitu lapisan molekul protein yang terdenaturasi bagian dalamnya yang bersifat hidrofobik akan berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam. Ikatan ionik salah satu ikatan yang dipengaruhi oleh proses denaturasi. Muatan gugus amino dan karboksil bebas yang saling menetralkan akan menyebabkan pengendapan protein. Pelipatan atau pembalikan terjadi khususnya bila larutan protein telah mendekati pH isoelektrik. Tepung putih telur itik mendekati pH isoelektrik protein (4-5) putih telur yaitu ovomucin yang mempengaruhi daya buih (Linden dan Laurient, 1999).
Daya buih tepung putih telur itik tanpa penambahan asam sitrat lebih rendah dibandingkan daya buih tepung putih telur itik dengan penambahan asam sitrat. Hal ini terjadi karena tidak adanya zat yang mampu mempertahankan kondisi protein pada proses pembuatan tepung putih telur itik. Stadelmen dan Cotterill (1995) menyatakan bahwa daya buih putih telur akan mengalami kerusakan selama pasteurisasi, karena terjadi denaturasi kompleks ovomucin-lysozyme akibat perlakuan pemanasan. Kondisi ini menyebabkan putih telur itik terlebih dahulu membuka ikatan molekul-molekul protein sebelum dilakukan proses selanjutnya. Protein yang telah terbuka ikatannya akan lebih mudah diadsorbsi ke permukaan karena lebih mudah terdenaturasi, sehingga memudahkan dalam pembentukan buih. Kestabilan Buih Hasil pengukuran kestabilan buih disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kestabilan Buih Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf Asam Sitrat (%)
Kestabilan Buih (%)
0
82,99±0,87A
6,1
87,58±0,82B
9,6
88,83±1,02B
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01)
Kestabilan buih tepung putih telur itik dengan taraf asam sitrat sebesar 0%; 6,1% dan 9,6% memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01). Persentase kestabilan buih tepung putih telur itik pada penambahan asam sitrat 6,1% dan 9,6% nyata lebih besar daripada tanpa penambahan asam, sedangkan persentase kestabilan buih tepung putih telur itik antara penambahan asam sitrat 6,1% dan 9,6% tidak berbeda. Penambahan asam sitrat sangat mempengaruhi kestabilan buih. Hal ini sesuai dengan pendapat Rhodes et al. (1960) yang dikutip dalam Kurniawan (1991) bahwa penambahan bahan-bahan kimia berupa asam dapat mempertahankan ikatan antara udara dengan protein putih telur sehingga buih yang terbentuk stabil. Kestabilan buih dipengaruhi oleh ketebalan film karena konsentrasi protein yang tinggi pada wilayah interfase cair dan udara, selain itu kekuatan mekanik, interaksi protein dengan lingkungan seperti pH dan temperatur (Zayas, 1997).
Nilai persentase tirisan buih menjadi acuan untuk menentukan besarnya kestabilan buih dari tepung putih telur itik yang dihasilkan dalam penelitian ini. Nilai kestabilan buih berbanding terbalik dengan persentase tirisan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Semakin rendah tirisan buih yang dihasilkan, maka menunjukkan kestabilan buih tepung putih telur itik semakin tinggi. Persentase kestabilan tertinggi dicapai pada taraf asam sitrat 9,6% yaitu 88,83%. Perbedaan kekentalan putih telur disebabkan oleh perbedaan kandungan airnya. Nilai kadar air tepung putih telur itik mempengaruhi besarnya air yang terkandung pada tepung putih telur yang telah direhidrasi. Kadar air tepung putih telur yang makin besar mengakibatkan kandungan air pada tepung putih telur yang telah direhidrasi makin banyak, sehingga kekentalan putih telur berkurang dan tirisan mudah terbentuk.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Bagian Teknologi Hasil Ternak Unggas Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2006. Materi Bahan utama yang dibutuhkan dalam pembuatan tepung putih telur dengan metode pengeringan lapis (pan drying) adalah 43 butir telur segar (umur 1 hari) digunakan pada penelitian pendahuluan dan 117 butir telur segar (umur 1 hari) yang digunakan pada penelitian utama, asam sitrat 5%, ragi roti (Sacharomyces cereviceae) dan air. Peralatan yang dibutuhkan untuk proses pembuatan tepung putih telur terdiri hand mixer elektrik (philips), kompor gas, loyang berukuran 38,5 x 26,5 x 2 cm, mangkuk alumunium, panci, termometer, blender kering elektrik (philips), timbangan elektrik, gelas ukur, spatula, stopwatch, pH meter, cawan porselen, oven 50oC dan 105oC, desikator dan magnetic stirrer. Rancangan Penelitian disusun dengan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan asam sitrat yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0%; 6,1% dan 9,6% dengan tiga periode pembuatan tepung putih telur sebagai kelompok. Model persamaan yang digunakan ialah : Yij = μ + τi + βj + εij Keterangan: Yij
: Hasil pengamatan pada penambahan asam sitrat ke-i dan kelompok ke-j
μ
: Rataan umum
τi
: Pengaruh penambahan asam sitrat ke-i (i: 0; 6,1 dan 9,6%)
βj
: Pengaruh kelompok ke-j (j: 1,2,3)
εij
: Pengaruh acak pada penambahan asam sitrat ke-i dan kelompok ke-j Peubah yang diamati adalah sifat fisik yang meliputi rendemen dan warna
dan sifat fungsional yang meliputi daya dan kestabilan buih tepung putih telur itik.
Data yang diperoleh dianalisis ragam, untuk mengetahui perbedaan antar rataan setiap ulangan dilakukan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995). Prosedur Penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan taraf penambahan asam sitrat yang akan digunakan pada penelitian utama. Penentuan taraf asam sitrat dibagi menjadi tiga tahap : Persiapan, pemecahan telur dan homogenisasi putih telur Tahap I
Penambahan asam sitrat hingga mencapai pH 7,2; 6,8 dan 6,4
Pengukuran persentase asam sitrat yang ditambahkan
Pembuatan tepung putih telur dengan penambahan asam sitrat hasil dari tahap1 Tahap II
Pengukuran daya dan kestabilan buih tepung putih telur
Hasil pengukuran daya dan kestabilan buih tertinggi dipilih sebagai salah satu taraf pada penelitian utama
Tahap III
Perhitungan persentase penambahan asam sitrat yang diperkirakan dapat menghasilkan daya dan kestabilan buih yang lebih tinggi dari tahap 2
Taraf penambahan asam sitrat yaitu kontrol, tahap 2 dan 3 Gambar 2. Diagram Proses Penentuan Taraf Penambahan Asam Sitrat
Tahap pertama, 4 butir telur segar (dipilih secara acak) yang akan digunakan dalam pengukuran pH dibersihkan dengan air hangat kemudian ditiriskan. Pengukuran pH dalam penelitian pendahuluan dilakukan sebanyak 4 kali ulangan, setiap ulangan menggunakan 1 butir telur. Telur dipecah satu persatu kemudian dipisahkan antara putih dan kuning telurnya, kemudian putih telur itik dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer. Putih telur dari setiap butir secara bergantian masing-masing diukur pH awalnya dengan menggunakan pHmeter, kemudian ditambahkan asam sitrat hingga pH putih telur mencapai 7,2; 6,8 dan 6,4 (sebelum pengukuran pH, putih telur dihomogenkan dahulu menggunakan magnetic stirrer agar asam sitrat tercampur merata). Banyaknya asam sitrat yang ditambahkan pada putih telur tiap butirnya untuk mencapai pH yang diinginkan (7,2; 6,8 dan 6,4 ), jumlahnya diukur dengan pipet. Banyaknya asam sitrat yang ditambahkan untuk mencapai pH yang diinginkan dirata-rata tiap ulangannya, kemudian dihitung persentasenya terhadap bobot putih telur. Penambahan asam sitrat (%) =
Rata-rata penambahan asam sitrat Bobot putih telur
x 100 %
Tahap kedua adalah pembuatan tepung putih telur itik dengan menggunakan persentase penambahan asam sitrat yang diperoleh pada tahap pertama, kemudian dihitung daya dan kestabilan buih dari tepung putih telur itik. Hasil pengukuran daya dan kestabilan buih tertinggi dipilih sebagai salah satu taraf dalam penelitian utama. Tahap ketiga adalah mencari persentase penambahan asam sitrat yang diperkirakan dapat menghasilkan daya dan kestabilan buih lebih besar daripada daya dan kestabilan buih pada tahap kedua. Persentase penambahan asam sitrat tersebut diperoleh dari penjumlahan antara persentase penambahan asam sitrat yang menghasilkan daya dan kestabilan buih tertinggi dan selisih persentase penambahan asam sitrat yang tertinggi dan terendah pada tahap kedua. Penambahan asam sitrat yang diinginkan dapat dilakukan dengan rumus : X = A + (B - C) Keterangan : X : persentase penambahan asam sitrat yang diinginkan A : persentase penambahan asam sitrat dengan daya dan kestabilan buih tertinggi B : persentase penambahan asam sitrat tertinggi C : persentase penambahan asam sitrat terendah
PenelitianUtama Penelitian ini menggunakan telur itik segar sebanyak 117 butir (umur 1 hari). Penelitian utama lebih difokuskan pada pembuatan, uji sifat fisik dan fungsional tepung putih telur itik. Proses pembuatan tepung putih telur itik disajikan pada Gambar 3.
Telur itik Seleksi Telur
Pemecahan Telur
Pemisahan Telur dan Homogenisasi
Penambahan Asam Sitrat 5% Pasteurisasi pada suhu 60-62oC selama 3 menit
Desugarisasi dengan ragi roti sebanyak 0,3% dan didiamkan selama 1 jam Pengeringan dengan oven 50oC selama ± 56 jam
Tepung Putih Telur Itik Analisa Sifat Fisik dan Fungsional Gambar 3. Diagram Pembuatan Tepung Putih Telur Itik dengan Metode Pan Drying Pembuatan Tepung Putih Telur Itik. Telur yang digunakan diseleksi terlebih dahulu yaitu dengan memilih telur yang memiliki kualitas yang baik dan memiliki bobot yang seragam. Pencucian telur dilakukan apabila kulit telur kotor, yaitu dicuci
dengan air hangat (35-40oC) kemudian ditiriskan. Telur dipecahkan kemudian putih telur dipisahkan dari bagian kuningnya. Tahap berikutnya adalah penambahan asam sitrat 5% dengan taraf 0%; 6,1%; 9,6% (taraf asam sitrat ditentukan pada penelitian pendahuluan), kemudian putih telur itik yang telah ditambahkan asam sitrat dipasteurisasi dengan menggunakan metode double wall pada suhu 60-62oC selama 3 menit dengan tujuan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen (Stadelmen dan Cotterill, 1995). Ragi roti (Sacharomyces sp.) ditambahkan sebanyak 0,3% (w/w) ke dalam cairan putih telur yang telah dipasteurisasi untuk proses desugarisasi, kemudian cairan tersebut diaduk hingga merata dan didiamkan pada suhu ruang (30oC) selama 1 jam. Cairan putih telur dimasukkan ke dalam loyang, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50oC selama ±56 jam hingga menghasilkan flake. Flake yang diperoleh dari hasil pengeringan kemudian digiling menggunakan blender kering elektrik (Phillips). Kadar Air (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 3 g sampel dimasukkan dalam cawan yang telah diketahui bobotnya, kemudian dikeringkan dalam oven 105oC selama 24 jam hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel yang telah dioven dimasukkan ke dalam desikator, didinginkan dan kemudian ditimbang. Kadar air sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Air (%) =
Bobot sampel awal – bobot sampel akhir Bobot sampel awal
x 100 %
Rendemen (Association of Official Analytical Chemist, 1995). Perhitungan rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Rendemen (%) =
Berat tepung putih telur (gram) Berat putih telur awal (gram)
x 100 %
Kecerahan (Pomeranz, 1978). Warna diukur menggunakan Chromameter Minolta CR-200 dengan ruang warna (color space), kemudian nilai skala warna y
dikonversikan ke dalam parameter L. Konversi nilai tersebut dilakukan dengan rumus : Y
=y
L
= 10 y1/2
Nilai L menunjukkan parameter kecerahan yang bernilai 0-100 untuk warna hitam sampai putih. Daya Buih. Daya buih diperoleh dengan cara mengocok tepung putih telur pada satuan bobot yang sama, selama 90 detik dengan kecepatan dua kemudian dilanjutkan dengan kecepatan tiga selama 90 detik. Perhitungan daya buih berdasarkan rumus yang dikemukakan Stadelman dan Cotterill (1995). Daya buih (%) =
Volume buih Volume putih telur
x 100 %
Kestabilan Buih. Kestabilan buih dapat diukur dari banyaknya tirisan buih yang terjadi. Semakin tinggi tirisan buih yang dihasilkan, berarti kestabilan buih semkin rendah. Perhitungan kestabilan buih berdasarkan rumus yang dikemukakan Stadelman dan Cotterill (1995). Persentase Tirisan Buih (%) =
Volume tirisan Volume buih
x 100 %
Persentase Kestabilan Buih (%) per jam = 100 – Persentase Tirisan Buih
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan asam sitrat pada putih telur itik lokal dapat meningkatkan sifat fungsional tepung putih telur itik lokal. Penambahan asam sitrat sebesar 9,6% menghasilkan daya dan kestabilan tepung putih telur tertinggi, tetapi daya buih yang dicapai masih rendah atau kurang dari 600%. Saran Saran untuk penelitian lebih lanjut yaitu mengenai pembuatan tepung putih telur itik dengan penambahan taraf asam sitrat lebih dari 9,6% dan pengemasan yang sesuai untuk tepung telur tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Niken Ulupi, MS dan Ir. Rukmiasih, MS yang telah sabar meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, petunjuk dan pelajaran berharga dari awal hingga akhir penyelesaian skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Ir. Maman Duljaman, MS sebagai dosen Pembimbing Akademik atas motivasi dan arahan yang diberikan, kepada Zakiah Wulandari, STP, M.Si dan Dr. Ir. Nahrowi Romli, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran untuk penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya penulis haturkan kepada Bapak, Ibu dan adik tercinta atas ketulusan hati, kasih sayang dan pengorbanan yang senantiasa diberikan selama menyelesaikan skripsi. Penulis juga menyampaikan terima kasih pada teman-teman angkatan THT 39, 40, 41 dan Tim Buih atas pengalaman berharga selama kuliah dan penelitian. Kesempurnaan hakiki hanya milik Allah, semoga skripsi ini dapat memberikan informasi, pengetahuan dan manfaat bagi yang membacanya khususnya bagi pengembangan peternakan dan bagi penulis sendiri.
Bogor, Juli
2007
Penulis
v
DAFTAR PUSTAKA Alleoni, A. C. C. and A. J. Antunes. 2004. Albumen foam stability and s-ovalbumen contents in eggs coated with whey protein concentrate. Rev. Bras. Cienc. Avic. Vol 6. No. 2. Campinas. ./Revista Brasileira de Ciencia AvicolaAlbumen foam stability and s-ovalbumen contents in e 4/9/05. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th Edit. Association of Official Analitic Chemist Int., Washington D.C. Belitz, H. D dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2nd. Edit. Springer, New York. Bergquist, D. H. 1973. Egg Dehydration. Dalam: W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology, p.190. The Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Brown, S. L. and M. E. Zabik. 1967. Effect of heat treatments on the physical and function propertiesof liquid and spraydried egg albumen. Food Technology, 21 (1): 87. Cherry, J. P. and K. H. Mc Watters. 1981. Whippability and Aeration. Dalam: J.P. Cherry. Protein functionality in foods. American Chemical Society, Washington D.C. De man, J. M. 1989. Kimia Makanan. Edisi Kedua. ITB, Bandung. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar komposisi Bahan-bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fellow. P. J. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice. 2nd edition. Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC, New York. Hammershoj, M and L. B. Larsen. 1999. Foaming of ovalbumin and egg albumen fractions and the role of the disulfide bonds at various pH level. Dalam: Lomakina, K and K. Mikova. A study of the factors affecting the foaming properties of egg white. Czech J. Food Science. 24 (3): 110-118. Hatta, H., Hagi, T., and Hirano, K. 1997. Chemical and physicochemical properties of hen eggs and their aplication in foods. Dalam: Lomakina, K and K. Mikova. A study of the factors affecting the foaming properties of egg white. Czech J. Food Science. 24 (3): 110-118. Kurniawan, I. 1991. Pengaruh penambahan asam atau garam asam terhadap daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal umur satu dan empat belas hari. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Linden and Lorient. 1999. New Ingredients in Food Processing. Woodhead Publishing, Cambridge England. Matz, S. A., and Matz, T. D. 1978. Cookie and Cracker Technology, 2nd Edition. The AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut. Medved, E. 1986. Food: Preparation and Theory. Prentice-Hall. Englewood Cliffs, New Jersey.
McWilliams, M. 2001. Food Experimental Perspectives. 4th Edition. Prentice Hall, New Jersey. Muchtadi, T. R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknis Proses Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Nakamura, R. and Y. Sato. 1964. Studies on the foaming property of the chicken egg white. Agricultural and Biological Chemistry. 28:524-529. Novitasari. 2006. Sifat fisik dan fungsional tepung putih telur ayam ras dengan penambahan taraf asam sitrat yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ockerman, H. W. 1978. Source Book for Food Scientict. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Pelczar, M. J dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Peppler, H. J. 1979. Microbial Technology. Volume 1 : Microbial Process. Academic Press, New York. Pomeranz dan Meloan. 1978. Food Analysis. The AVI Publishing. Company, Inc. Westport, Connecticut. Rhodes, M.B., N. Bennet dan R.E. Feeney. 1960. The trypsin and chymotrypsin inhibitors from avian egg white. J. Biol. Chem. 235:1686-1693. Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. 2nd . Ed. John Wiley and Sons, New york. Rose. S. P. 1997. Principle of Poultry Science Center for Agriculture and Bioscences International, London. Sa’id, E. G. 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Stadelman, N.J dan O.J Cotteril. 1977. Egg Science and Technology. 2nd Editian. Avi Publishing Company, Inc, Connecticut. Steel, R.G. dan J.H Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : M. Syah. P.T Gramedia, Jakarta. Whitaker, J.R. dan S.R. Tannenbaum. 1977. Food Protein. AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut. Wikipedia. 2005. Asam Sitrat. http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_sitrat. [10 April 2006] Wikipedia. 2006. Kecerahan. http://ms.wikipedia.org/wiki/Kecerahan. [5 Desember 2006] Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer. Berlin.
DAFTAR PUSTAKA Alleoni, A. C. C. and A. J. Antunes. 2004. Albumen foam stability and s-ovalbumen contents in eggs coated with whey protein concentrate. Rev. Bras. Cienc. Avic. Vol 6. No. 2. Campinas. ./Revista Brasileira de Ciencia AvicolaAlbumen foam stability and s-ovalbumen contents in e 4/9/05. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th Edit. Association of Official Analitic Chemist Int., Washington D.C. Belitz, H. D dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2nd. Edit. Springer, New York. Bergquist, D. H. 1973. Egg Dehydration. Dalam: W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology, p.190. The Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Brown, S. L. and M. E. Zabik. 1967. Effect of heat treatments on the physical and function propertiesof liquid and spraydried egg albumen. Food Technology, 21 (1): 87. Cherry, J. P. and K. H. Mc Watters. 1981. Whippability and Aeration. Dalam: J.P. Cherry. Protein functionality in foods. American Chemical Society, Washington D.C. De man, J. M. 1989. Kimia Makanan. Edisi Kedua. ITB, Bandung. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar komposisi Bahan-bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fellow. P. J. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice. 2nd edition. Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC, New York. Hammershoj, M and L. B. Larsen. 1999. Foaming of ovalbumin and egg albumen fractions and the role of the disulfide bonds at various pH level. Dalam: Lomakina, K and K. Mikova. A study of the factors affecting the foaming properties of egg white. Czech J. Food Science. 24 (3): 110-118. Hatta, H., Hagi, T., and Hirano, K. 1997. Chemical and physicochemical properties of hen eggs and their aplication in foods. Dalam: Lomakina, K and K. Mikova. A study of the factors affecting the foaming properties of egg white. Czech J. Food Science. 24 (3): 110-118. Kurniawan, I. 1991. Pengaruh penambahan asam atau garam asam terhadap daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal umur satu dan empat belas hari. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Linden and Lorient. 1999. New Ingredients in Food Processing. Woodhead Publishing, Cambridge England. Matz, S. A., and Matz, T. D. 1978. Cookie and Cracker Technology, 2nd Edition. The AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut. Medved, E. 1986. Food: Preparation and Theory. Prentice-Hall. Englewood Cliffs, New Jersey.
McWilliams, M. 2001. Food Experimental Perspectives. 4th Edition. Prentice Hall, New Jersey. Muchtadi, T. R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknis Proses Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Nakamura, R. and Y. Sato. 1964. Studies on the foaming property of the chicken egg white. Agricultural and Biological Chemistry. 28:524-529. Novitasari. 2006. Sifat fisik dan fungsional tepung putih telur ayam ras dengan penambahan taraf asam sitrat yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ockerman, H. W. 1978. Source Book for Food Scientict. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Pelczar, M. J dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Peppler, H. J. 1979. Microbial Technology. Volume 1 : Microbial Process. Academic Press, New York. Pomeranz dan Meloan. 1978. Food Analysis. The AVI Publishing. Company, Inc. Westport, Connecticut. Rhodes, M.B., N. Bennet dan R.E. Feeney. 1960. The trypsin and chymotrypsin inhibitors from avian egg white. J. Biol. Chem. 235:1686-1693. Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. 2nd . Ed. John Wiley and Sons, New york. Rose. S. P. 1997. Principle of Poultry Science Center for Agriculture and Bioscences International, London. Sa’id, E. G. 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Stadelman, N.J dan O.J Cotteril. 1977. Egg Science and Technology. 2nd Editian. Avi Publishing Company, Inc, Connecticut. Steel, R.G. dan J.H Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : M. Syah. P.T Gramedia, Jakarta. Whitaker, J.R. dan S.R. Tannenbaum. 1977. Food Protein. AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut. Wikipedia. 2005. Asam Sitrat. http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_sitrat. [10 April 2006] Wikipedia. 2006. Kecerahan. http://ms.wikipedia.org/wiki/Kecerahan. [5 Desember 2006] Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer. Berlin.
Lampiran 1. Analisis Ragam Kadar Air Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda SK
DB
JK
KT
Fhit
P
Perlakuan
2
5,167
2,583
17,714
0,010*
Kelompok
2
0,500
0,250
1,714
0,290
Galat
4
0,583
0,146
Total
8
6,250
Keterangan : * berbeda nyata
Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Kadar Air Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0%
3
a
7
6,1%
3
b
5,83
9,6%
3
b
5,17
Lampiran 3. Analisis Ragam Rendemen Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda SK
DB
JK
KT
Fhit
P
Perlakuan
2
1,2289
0,6144
2,21
0,225
Kelompok
2
2,6163
1,3081
4,72
0,089
Galat
4
1,1096
0,2774
Total
8
4,9548
Lampiran 4. Analisis Ragam Kecerahan Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda SK DB JK KT Fhit P Perlakuan
2
1,630
0,815
3,40
0,137
Kelompok
2
2,519
1,259
5,25
0,076
Galat
4
0,960
0,240
Total
8
5,108
31
Lampiran 5. Analisis Ragam Daya Buih Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda SK DB JK KT Fhit P Perlakuan
2
36544
18272
36,99
0,003**
Kelompok
2
3951
1976
4,00
0,111
Galat
4
1976
494
Total
8
42470
Keterangan : **sangat berbeda nyata
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan Daya Buih Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0%
3
A
366,67
6,1%
3
A
455,56
9,6%
3
B
522,22
Lampiran 7. Analisis Ragam Kestabilan Buih Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda SK
DB
JK
KT
Fhit
P
Perlakuan
2
56,71
28,36
26,61
0,005**
Kelompok
2
0,47
0,24
0,22
0,810
Galat
4
4,26
1,07
Total
8
61,54
Keterangan : **sangat berbeda nyata
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan Kestabilan Buih Tepung Putih Telur Itik pada Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0%
3
A
82,99
6,1%
3
B
87,58
9,6%
3
B
88,83
32