DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL DENGAN PENAMBAHAN ASAM ASETAT PADA UMUR SIMPAN YANG BERBEDA
SKRIPSI HANDI SURYONO
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN HANDI SURYONO. D14202012. 2006. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat pada Umur Simpan yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Rukmiasih, MS. : Ir. Rini H. Mulyono, MSi.
Daya dan kestabilan buih merupakan salah satu faktor penting yang menentukan nilai telur sebagai pangan, misalnya dalam pembuatan tepung telur, mayones dan kue. Buih terbentuk karena terbukanya ikatan polipeptida dalam molekul protein (terjadi proses denaturasi) pada waktu pengocokan telur sehingga rantai protein menjadi lebih panjang, kemudian udara masuk diantara molekulmolekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume bagian buih telur menjadi bertambah. Semakin banyak udara yang tertangkap, buih yeng terbentuk semakin kaku dan kehilangan sifat alirnya, sedangkan kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih merupakan faktor penting dalam adonan kue karena mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari taraf penambahan asam asetat yang dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 hari. Penelitian dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada Mei hingga Oktober 2005. Penelitian ini menggunakan telur itik Tegal yang diperoleh dari itik Tegal yang dipelihara di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas. Penelitian ini terdiri dari dua perlakuan yaitu penggunaan umur telur yang berbeda yaitu 0, 7, 14 dan 21 hari dan penambahan asam asetat dengan taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%. Peubah yang diamati meliputi penyusutan bobot telur, daya dan kestabilan buih putih telur. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot telur itik akan mengalami penyusutan seiring lamanya penyimpanan pada suhu ruang. Telur itik segar menghasilkan daya buih yang tertinggi dan tirisan buih yang rendah yaitu 451, 79 % dan 5,20 %. Daya dan kestabilan buih semakin menurun seiring lamanya umur telur. Telur segar dengan penambahan asam asetat nol persen menghasilkan daya dan kestabilan buih yang tinggi. Telur itik Tegal pada umur 7 hari menghasilkan daya dan kestabilan buih yang baik dengan penambahan asam asetat sebanyak 0,8%. Telur itik Tegal umur 14 dan 21 hari menghasilkan daya dan kestabilan buih yang baik dengan penambahan asam asetat sebanyak 1,6%. Kata-Kata Kunci : asam asetat, putih telur, telur, itik Tegal, daya buih, tirisan buih.
ABSTRACT Foaming and Stability of Foam Duck Egg Albumen with Addition of Acetic Acid at Different Time Storage Suryono, H., Rukmiasih , R. H. Mulyono Food products such as breads, cakes, and several bakery items depend on air incorporation to maintain their texture and structure during or after processing. Proteins are utilized in the food industry since they improve texture attributes through their ability to encapsulate and retain air. This research was design to find out good of egg white foams and stability with adding acetic acid and storage at room temperature. A total of eggs obtained from Tegal duck were sample after periods of storage of 0, 7, 14 and 21 day at room temperature and adding acetic acid of 0%; 0.8%; 1.6%; 2.4% and 3.2%. Data on egg white foam and stability of foam were analyzed using descriptive method. The result of this research shown that whipping volume decrease slightly with increasing age of the egg. Whipping volume and stability of foam increased (442.35% and 2.92%) after the eggs were sampled after storage for 7 day at room temperature and addition with acetic acid as much 0,8%. Whipping volume and stability of foam increased (430.73% and 4.15%) and (435.31% and 3.69%) after the eggs were sampled after storage for 14 and 21 day at room temperature and addition with acetic acid as much 1.6%. Keyword : acetic acid, albumen, egg, stability, whipping volume.
DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL DENGAN PENAMBAHAN ASAM ASETAT PADA UMUR SIMPAN YANG BERBEDA
HANDI SURYONO D14202012
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL DENGAN PENAMBAHAN ASAM ASETAT PADA UMUR SIMPAN YANG BERBEDA
Oleh : HANDI SURYONO D14202012
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 23 Juni 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Rukmiasih, MS NIP 131 284 605
Ir. Rini H. Mulyono, MSi NIP 131 760 850
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Ronny R. Noor, M.Rur Sc NIP 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Pebruari 1984 di Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Penulis dilahirkan sebagai putra kedua dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Suharto dan Ibu Imiyati. Jenjang pendidikan ditempuh Penulis mulai dari TK Idhata Kecamatan Cirebon Barat pada tahun 1989-1990 kemudian dilanjutkan ke SDN Kedawung I Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 2 Weru Kabupaten Cirebon pada tahun 1996-1999, kemudian penulis mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon untuk melanjutkan ke SMUN 1 (Plus) Cisarua Kabupaten Bandung pada tahun 1999-2002. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada program studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2002. Penulis mendapatkan beberapa beasiswa selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor yaitu beasiswa Dompet Duafa Republika, Bimbingan Konseling, Student Equity dan Bantuan Belajar Mahasiswa. Penulis
mengikuti
beberapa
kegiatan
di
luar
aktivitas
akademik
kemahasiswaan selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Organisasi yang pernah diikuti penulis diantaranya, ketua Forum Mahasiswa Peduli Pertanian 2004-2005, staf Departemen Pertanian BEM KM IPB 2004-2005, staf Departemen Dalam Negeri BEM KM IPB 2004-2003, DPM TPB IPB 2002-2003 dan pengurus Ikatan Kekeluargaan Cirebon 2002-2004.
PRAKATA Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam yang menguasai ilmu pengetahuan atas bumi dan langit-Nya. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya kebenaran bagi seluruh umat manusia. Pembuatan produk pangan seperti kue, cake dan roti perlu menggunakan telur yang memiliki daya dan kestabilan buih telur yang tinggi, sedangkan telur itik memiliki daya dan kestabilan buih yang rendah. Penambahan asam asetat sebagai bahan tambahan makanan diharapkan dapat memperbaiki sifat daya dan kestabilan buih yang rendah pada telur itik. Asam asetat yang digunakan memiliki konsentrasi 5% agar tidak mempengaruhi rasa pada produk pangan yang dihasilkan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, karena hanya Allah SWT pemilik semua kesempurnaan. Kritik dan saran selalu penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak dan dunia peternakan
Bogor, Juni 2006 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN...................................................................................................
i
ABSTRACT......................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
iii
PRAKATA........................................................................................................
vi
DAFTAR ISI.....................................................................................................
v
DAFTAR TABEL.............................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
ix
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang......................................................................................... Tujuan ......................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
3
Struktur dan Komposisi Telur.................................................................. Kulit Telur ................................................................................... Kuning Telur ............................................................................... Putih Telur .................................................................................. Protein Putih Telur................................................................................... Ovalbumin ................................................................................... Ovomucin .................................................................................... Globulin ...................................................................................... Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal.................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih............... Umur Telur .................................................................................. Suhu ............................................................................................ Pengaruh pH ................................................................................ Pengocokan ................................................................................. Asam Asetat (CH3COOH) .......................................................................
3 4 5 5 5 6 7 7 7 10 10 10 11 11 11
METODE PENELITIAN .................................................................................
13
Lokasi dan Waktu .................................................................................... Materi....................................................................................................... Rancangan................................................................................................ Perlakuan .................................................................................... Model .......................................................................................... Analisis Data ............................................................................... Peubah yang Diamati ................................................................... Prosedur ................................................................................................... Tahap Persiapan Kandang ........................................................... Tahap Pemeliharaan.....................................................................
13 13 13 13 13 13 14 14 14 14
Penyimpanan Telur ...................................................................... Pengukuran Daya dan Kestabilan Buih .......................................
15 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
17
Daya Buih Putih Telur Itik Tegal ............................................................ Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal....................................................
17 20
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
22
Kesimpulan .............................................................................................. Saran ............ ...........................................................................................
22 22
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
24
LAMPIRAN......................................................................................................
26
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perbandingan Komposisi Telur Ayam dan Telur Itik ..........................
4
2. Komposisi Protein Putih Telur Ayam...................................................
6
3. Daya Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada Lama Penyimpanan yang Berbeda .......................................................
17
4. Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada Lama Penyimpanan yang Berbeda .......................................................
20
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
5. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)..................................
3
6. Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan Watters, 1981) ...............
8
7. Perubahan Struktur Protein Akibat Denaturasi (Mesier, 1991) ............
9
8. Grafik Daya Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat ....................................................................................................
19
9. Grafik Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat ....................................................................................................
21
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
10. Suhu Ruangan Penyimpanan Telur ......................................................
27
11. Rumus Pearson untuk Pengenceran Asam Asetat ................................
27
PENDAHULUAN Latar Belakang Itik merupakan salah satu ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial di Indonesia. Jenis itik lokal merupakan keturunan dari bangsa Indian Runner, yang terkenal sebagai itik penghasil telur. Setelah bangsa Indian Runner beradaptasi dengan lingkungan dan geografis di Indonesia maka muncul sifat khas yang membedakan itik dari daerah yang satu dengan daerah yang lain. Itik Tegal merupakan salah satu itik yang banyak dikembangkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian Utara. Sesuai dengan nama daerah pengembangannya, maka dinamakan itik Tegal (Anas javanica) dengan ciri-ciri memiliki bentuk badan dengan posisi yang hampir berdiri tegak lurus, warna bulu umumnya coklat dengan variasi warna tertentu dan kerabang telur berwarna biru kehijau-hijauan. Telur merupakan salah satu sumber makanan yang sangat baik karena selain memiliki kandungan protein yang sempurna, telur juga memiliki kandungan nutrisi lain yang tinggi. Telur itik adalah salah satu jenis telur yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia selain telur ayam, tetapi penggunaan telur itik masih terbatas. Hal ini karena belum ada terobosan yang baru untuk menjadikan telur itik mampu bersaing dengan telur ayam ras. Industri pengolahan pangan membutuhkan telur yang memiliki sifat yang baik, seperti sifat daya dan kestabilan buih yang baik. Telur itik memiliki sifat daya dan kestabilan buih yang lebih rendah dibandingkan dengan telur ayam ras, sehingga pemanfaatan telur itik masih sangat kurang dibandingkan dengan telur ayam ras. Daya buih telur berpengaruh terhadap pengembangan adonan kue serta dapat mempengaruhi tekstur produk pangan tertentu. Volume dan kestabilan buih yang baik diperlukan agar kue yang dihasilkan mempunyai struktur dan tekstur yang baik. Daya buih dipengaruhi oleh beberapa protein dalam putih telur yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Protein yang berperan dalam pembentukan buih diantaranya ovalbumin, ovomucin dan globulin. Volume dan kestabilan buih juga dapat dipengaruhi oleh umur telur, karena semakin lama umur telur maka pH putih telur akan semakin meningkat, sehingga volume dan kestabilan buih yang terbentuk akan semakin menurun.
Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal dengan penambahan asam asetat. Asam asetat merupakan bahan tambahan makanan yang telah umum digunakan oleh masyarakat. Alasan penggunaan asam asetat karena asam asetat mudah ditemukan di pasaran dan memiliki harga yang terjangkau. Penambahan asam asetat pada penelitian ini dilakukan pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2% dengan merujuk pada penelitian sebelumnya. Penelitian dengan penggunaan taraf tersebut diharapkan dapat menurunkan pH putih telur itik Tegal, sehingga dapat menghasilkan daya dan kestabilan buih yang baik. Peternak itik petelur pada kehidupan sehari-hari tidak langsung menjual telur hasil ternaknya pada hari itik bertelur, karena tempat pemasaran yang jauh dari peternakan. Pemberlakuan first in first out pada penjual telur itik mengakibatkan terjadi proses penyimpanan. Mempertimbangkan hal tersebut telur itik Tegal yang digunakan pada penelitian ini merupakan telur pada umur 0, 7, 14 dan 21 hari. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mencari taraf penambahan asam asetat yang terbaik, sehingga dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 hari. Taraf penambahan asam asetat pada penelitian dilakukan pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%.
TINJAUAN PUSTAKA Struktur dan Komposisi Telur Telur merupakan bahan pangan yang sempurna, karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap bagi pertumbuhan mahluk hidup baru. Protein yang terdapat pada telur sangat diperlukan untuk membangun dan memperbaiki sel dalam tubuh manusia (Davis dan Reeves, 2002). Protein telur mempunyai mutu yang tinggi, karena memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap, sehingga dijadikan patokan untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan lain (Winarno dan Koswara, 2002). Bentuk telur itik yang normal umumnya sama dengan telur ayam yaitu oval dengan salah satu ujung meruncing, sedang ujung yang lain tumpul. Bentuk seperti ini berguna untuk meningkatkan daya tahan kulit telur terhadap tekanan mekanis serta mengurangi kemungkinan telur tergelincir pada bidang datar (Medved, 1986).
latebra
Gambar 1. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1963) Telur mengandung 66% air, 12% protein, 11% lemak dan 10% ion inorganik (Buttery dan Lindsay, 1980). Komponen pokok telur adalah kulit telur, putih telur dan kuning telur (Buckle et al., 1987).
Tabel 1. Perbandingan Komposisi Telur Ayam dan Telur Itik Komponen Kimia Air Padatan Bahan organik Protein Lemak Karbohidrat Bahan anorganik
Telur ayam Telur itik (51,6 gram) (66,6 gram) ---------------------------- ---(%)------------------------------73,6 69,7 26,4 30.3 29,3 25,6 13,7 12,8 14,4 11,8 1,2 1,0 1,2 0,8
Sumber : Romanoff dan Romanoff (1963)
Kulit Telur Kulit telur terdiri atas empat lapisan yaitu: (1) lapisan membran kulit telur, (2) lapisan mamilari, (3) lapisan bunga karang (spongiosa), dan (4) lapisan kutikula (Belitz dan Grosch, 1999). Pada bagian kulit telur banyak terdapat pori-pori yang berguna sebagai saluran pertukaran udara untuk memenuhi kebutuhan embrio di dalamnya. Kulit telur bersifat keras, dilapisi kutikula dengan permukaan halus serta terikat kuat pada bagian luar lapisan membran (Winarno dan Koswara, 2002). Lapisan kulit telur dapat memberikan perlindungan fisik (Charley, 1982). Karakteristik lain dari kulit telur ini adalah pori-pori yang dapat menjadikan jalan keluar masuk air, gas dan bakteri ke dalam telur. Jumlah pori-pori tersebut bervariasi antara 100-200 lubang/cm3 luas permukaan kulit telur. Pada bagian tumpul, jumlah pori-pori per satuan luas lebih besar jika dibandingkan dengan bagian lain sehingga terjadi rongga udara di daerah ini (Sirait, 1986). Membran kulit telur terdiri atas dua yaitu lapisan luar dan lapisan dalam. Kedua membran tersebut disusun oleh mucin, yaitu protein yang sama dengan yang terdapat dalam kutikula (Winarno dan Koswara, 2002). Membran kulit telur dapat berfungsi sebagai penghambat bakteri masuk ke dalam telur. Membran kulit telur terdiri atas dua lapisan, lapisan yang pertama adalah membran yang menempel pada kerabang telur dan membran yang kedua yang menyelimuti putih telur (Sikorski, 2001), sedangkan menurut Winarno dan Koswara (2002) membran kulit telur mengandung enzim lipozim yang dipercaya bersifat bakteriosidal terhadap bakteri gram positif, tetapi membran telur tidak efektif untuk mencegah masuknya mikroba
yang menghasilkan enzim proteolitik, karena protein lapisan tersebut akan mudah dihancurkan oleh enzim bakteri. Kuning Telur Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang mengandung 50% bahan kering (Belitz, 1987). Kuning telur berbatasan dengan putih telur dan dibungkus oleh satu lapisan yang disebut membran vitelin. Umumnya kuning telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau oranye yang terletak pada pusat telur dan bersifat elastis (Winarno dan Koswara, 2002). Warna kuning telur sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan karotenoid yang berasal dari pakan (Charley, 1982). Pigmen karotenoid yang terdapat pada kuning telur adalah karoten dan santofil. Kuning telur pada telur segar berbentuk utuh yang dikelilingi oleh membran vitelin yang kuat (Romanoff dan Romanoff, 1963). Putih Telur Putih telur terdiri atas empat lapisan yaitu lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam dan khalazaferous (Nakai dan Modler, 2000). Bahan utama penyusun putih telur adalah protein dan air. Perbedaan kekentalan putih telur disebabkan oleh perbedaan kandungan air (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kandungan air pada putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian lainnya sehingga selama penyimpanan bagian inilah yang mudah rusak (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerusakan tersebut ditemukan pada jala-jala ovomucin yang berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kerusakan jala-jala ovomucin mengakibatkan air dari protein putih telur akan keluar dan putih telur menjadi encer (Heath, 1977), dan semakin encer putih telur maka tirisan buih yang dihasilkan semakin tinggi (Silverside dan Budgell, 2004). Protein Putih Telur Protein putih telur terdiri atas protein serabut dan protein globular. Jenis-jenis protein dapat dilihat pada Tabel 2. Protein telur dibedakan atas protein sederhana dan protein konyugasi (protein yang berikatan dengan senyawa lain). Pada putih telur, protein sederhana lebih dominan dan berjumlah sekitar 11 macam, sedangkan protein konyugasi lebih banyak terdapat pada kuning telur (Winarno dan Koswara, 2002).
Protein sederhana
diantaranya ovalbumin, ovoconalbumin dan ovoglobulin,
sedangkan yang kedua termasuk glycoprotein yaitu ovomucoid dan ovomucin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Setiap protein putih telur memiliki kemampuan membentuk buih yang berbeda. Protein-protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin, ovomucin dan globulin (Stadelman dan Cotterill, 1995), sedangkan menurut Alleoni dan Antunes (2004) conalbumin, lysozym, dan ovomucoid sedikit memiliki kemampuan untuk mengembang (berbuih), tetapi interaksi antara lysozym dan globulin sangat penting dalam pembentukan buih. Tabel 2. Komposisi Protein Putih Telur Ayam Persen dari Total Protein 54
Berat Molekul
12-13
77.700
Ovomucoid
11
28.000
Ovomucin
1,5-3,5
0,23-8,3 x 106
Lysozyme
3,4-3,5
14.300
G2 globulin
4,0
49.000
G3 globulin
4,0
49.000
Ovoinhibitor
0,1-1,5
49.000
Ovoglycoprotein
0,5-1,0
24.400
Ovoflavoprotein
0,8
32.000
Ovomacroglobulin
0,5
0,76-0,90 x 106
Cystatin
0,05
12.700
Avidin
0,05
68.300
Protein Ovalbumin Ovotransfferrin
45.000
Sumber : Nakai dan Modler (2000)
Ovalbumin Ovalbumin adalah protein utama pada putih telur (Nakai dan Modler, 2000). Ovalbumin terdiri dari atas tiga macam protein, yaitu G1-globulin (lysozyme), G2globulin dan G3-globulin. Ketiga jenis protein tersebut berperan penting dalam pembentukan busa. Ovalbumin mudah terdenaturasi dan terkoagulasi karena pengocokan, tetapi lebih tahan terhadap panas. Pemanasan pada suhu 62 oC dan pH
sekitar sembilan selama
3,5 menit, ovalbumin hanya mengalami denaturasi
sebanyak 3%-5% (Winarno dan Koswara, 2002). Nakai dan Modler (2000) menyatakan bahwa s-ovalbumin merupakan turunan dari ovalbumin. Transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi sebagai akibat penyimpanan yang meningkatkan pH. Jika kandungan s-ovalbumin meningkat, akan berakibat pada peningkatan tirisan buih dan penurunan stabilitas telur. Ovalbumin tidak akan hilang akibat pengocokan dan kandungannya akan tetap sama seperti pada telur segar. Protein ini akan menggumpal jika dipanaskan sehingga dapat mempengaruhi bentuk kue (Stadelman dan Cotterill, 1995). Ovomucin Ovomucin merupakan glikoprotein pembentuk struktur seperti gel pada lapisan putih telur kental. Jumlah ovomucin pada lapisan putih telur kental adalah empat kali lebih banyak dari pada lapisan putih telur encer. Ovomucin bersifat tahan panas (Winarno dan Koswara, 2002). Perbedaan putih telur kental dan encer disebabkan perbedaan kandungan ovomucin. Ovomucin pada putih telur yang kental empat kali lebih besar dari pada putih telur yang encer. Ovomucin merupakan fraksi protein putih telur yang membentuk selaput dan berfungsi menstabilkan srtuktur buih. Pengocokan yang berlebihan akan mengakibatkan penggumpalan sebagian ovomucin dan memperkecil elastisitas gelembung buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Globulin Globulin merupakan protein yang menentukan kekentalan putih telur dan mengurangi pencairan buih. Globulin mempunyai tegangan permukaan yang rendah sehingga membantu tahapan pembentukan buih. Tegangan permukaan yang rendah cenderung memperkecil ukuran gelembung dan meratakan tekstur buih. Kandungan globulin yang rendah pada putih telur membutuhkan waktu pengocokan lebih lama untuk mencapai volume tertentu (Stadelman dan Cotterill, 1995). Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Buih dapat didefinisikan sebagai dua fase yang terdiri atas fase gas dalam fase cair (Zayas, 1997). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) buih merupakan dispersi koloidal dengan gas-gas atau udara terdispersi ke dalam fase cair, sedangkan
daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan dinyatakan dengan persentase terhadap volume putih telur. Daya buih merupakan salah satu faktor penting yang menentukan nilai telur sebagai pangan misalnya dalam pembuatan tepung telur, mayones dan kue. Mekanisme pembentukan buih disajikan pada Gambar 2. Protein putih telur Denaturasi (perentangan rantai polipeptida) Adsorpsi (pembentukan lapisan monolayer) Penangkapan udara, membentuk busa Adsorpsi kontinyu untuk membentuk monolayer kedua untuk menggantikan lapisan yang terdenaturasi Lapisan protein saling mengikat untuk mencegah cairan keluar Koagulasi (gaya interaksi polipeptida naik dan menyebabkan agregasi, sehingga melemahkan lapisan yang terbentuk) Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan Watters, 1981) Perubahan putih telur menjadi buih disebabkan denaturasi protein, yaitu proses yang mengubah struktur molekul protein tanpa memutuskan ikatan kovalen (Belitz dan Grosch, 1999). Denaturasi protein dapat diakibatkan bukan hanya oleh panas, tetapi juga oleh pH ekstrim; beberapa pelarut organik seperti alkohol atau aseton; zat terlarut tertentu seperti urea; detergen atau hanya dengan pengguncangan intensif (mekanik) larutan protein yang bersinggungan dengan udara sehingga terbentuk busa (Lehninger, 1982). Winarno (1997) menambahkan bahwa masingmasing cara mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap denaturasi protein. Perubahan sifat fisik, kimia dan biologi akibat dari denaturasi adalah: (1) penurunan tingkat kelarutan protein, (2) perubahan daya ikat air, (3) penurunan aktivitas biologi pada enzim dan imonulogi, (4) peningkatan viskositas intrinsik dan
(5) ketidakmampuan untuk mengkristal (Fennema, 1985). Pemekaran atau pengembangan molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau yang berdekatan. Bila unit ikatan yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak lagi terdispersi sebagai suatu koloid, maka protein tersebut mengalami koagulasi. Apabila ikatan-ikatan antara gugus reaktif protein tersebut menahan seluruh cairan, akan terbentuk gel. Sedangkan bila cairan terpisah dari protein yang terkoagulasi itu, maka protein mengendap (Winarno, 1997). Gambar 3 menyajikan perubahan struktur protein akibat denaturasi.
Gambar 3. Perubahan Struktur Protein Akibat Denaturasi (Mesier, 1991) Denaturasi protein mungkin dapat balik dan mungkin juga tidak. Pada denaturasi yang dapat balik, protein membentang karena senyawa pendenatur, tetapi akan kembali melipat setelah senyawa tersebut tidak ada. Denaturasi yang dapat atau tak dapat balik cukup beragam yang bergantung pada protein yang bereaksi dan keadaan reaksi (Wilbraham dan Matta, 1992). Protein globular yang terdenaturasi oleh panas atau pH ekstrim akan kembali ke struktur asli dan memperoleh kembali aktivitas biologinya. Jika protein ini didinginkan atau dikembalikan ke pH normal secara perlahan-lahan maka proses ini disebut renaturasi (Lehninger, 1982). Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih dicirikan oleh
banyak tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan. Tirisan buih yang banyak menyatakan kestabilan buih yang rendah sebaliknya tirisan buih yang sedikit mencirikan kestabilan buih yang tinggi (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kestabilan buih merupakan faktor penting dalam adonan kue karena mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan. Pemanasan adonan kue mengakibatkan udara dalam sel memuai dan putih telur yang menyelubunginya meregang. Dalam hal ini, buih yang tidak stabil tidak dapat mendukung pengembangan kue secara maksimal (Stadelman dan Cotterill, 1995). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih Daya dan kestabilan buih putih telur yang dikocok dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, suhu, pH putih telur dan ada tidaknya zat yang ditambahkan ke dalam putih telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Umur Telur Telur akan mengalami beberapa perubahan selama penyimpanan antara lain penguapan karbondioksida dan air, perubahan pH serta perubahan struktur serabut protein. Penyimpanan telur pada suhu ruang selama dua minggu berakibat pada peningkatan pH dari putih telur. Semakin meningkat umur telur, maka stabilitas buih putih telur semakin menurun (Romanoff dan Romanoff, 1963). Suhu Pengocokan telur pada suhu 10-25oC tidak mempengaruhi pembentukan busa. Pengocokan pada suhu ruang 20-28oC lebih mudah menghasilkan busa daripada yang dilakukan pada suhu rendah (Winarno dan Koswara, 2002). Pengaruh pH Telur yang baru dihasilkan mempunyai pH antara 7,6-8,5. Selama penyimpanan, pH akan meningkat dan mencapai maksimum 9,7. Peningkatan pH disebabkan penguapan CO2 dari dalam telur melalui pori-pori kerabang (Winarno dan Koswara, 2002). Peningkatan pH pada putih telur disebabkan penguapan H2O dan CO2 pada putih telur. Penguapan CO2 dari dalam telur diakibatkan oleh senyawa
NaHCO3 yang terurai menjadi NaOH, kemudian NaOH ini akan terurai kembali menjadi ion-ion Na+ dan OH- sehingga mengakibatkan pH putih telur meningkat (Silverside dan Scott, 2000). Volume putih telur yang dikocok akan tinggi apabila putih telur memiliki pH sekitar 8,0; apabila pH putih telur di bawah 8,0 maka akan menghasilkan buih yang stabil. Buih yang stabil didapatkan dari putih telur yang memiliki pH relatif rendah daripada putih telur yang memiliki pH yang tinggi (Romanoff dan Romanoff, 1963). Pengocokan Gerakan dan jenis pengocokan akan mempengaruhi pengikatan udara dalam buih. Pengocokan dengan menggunakan pengocok elektrik ternyata membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk membuat buih putih telur (Kurniawan, 1991). Lama pengocokan putih telur akan berakibat pada volume dan stabilitas dari buih putih telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Homogenisasi sebelum pengocokan akan mengurangi waktu pengocokan (Stadelman dan Cotterill, 1995). Asam Asetat (CH3COOH) Asam asetat dikenal dalam kehidupan sehari-hari dengan sebutan asam cuka atau asam etanoat (CH3COOH). Asam asetat berbentuk larutan yang berwarna putih bening. Konsentrasi asam asetat yang umum dijual di pasar adalah 5%-25%. Asam asetat murni mempunyai konsentrasi 96% yang sering digunakan untuk analisis laboratorium (Kurniawan, 1991). Asam asetat ini termasuk asam organik lemah yang berupa cairan tak berwarna dan berbau sangit (Pudjaatmaka dan Qudratillah, 1999). Ikatan rantai hidrogen dalam asam asetat mampu untuk mencegah ikatan H2O terbentuk dalam putih telur setelah dilakukan pengocokan dan didiamkan beberapa saat (Cuningham, 1976) Badan Standardisasi Nasional (1995) menyatakan bahwa asam asetat glasial merupakan salah satu zat aditif makanan yang telah diizinkan oleh pemerintah Indonesia. Asam asetat dimasukkan sebagai zat pengatur keasaman pada suatu produk pangan. Penggunaan asam asetat untuk konsumsi makanan dan farmasi biasanya dalam bentuk produk cuka yang diperoleh dengan cara mengencerkan asam asetat glasial.
Winarno (1982) menerangkan bahwa penambahan asam asetat pada produk makanan biasanya dilakukan secara sengaja sehingga asam cuka biasa disebut zat aditif sengaja. Penambahan asam asetat memiliki tujuan tertentu seperti meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta memantapkan bentuk dan rupa dari produk pangan.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama enam bulan dimulai pada bulan Mei hingga Oktober 2005. Materi Bahan utama yang dibutuhkan adalah telur itik Tegal berumur simpan 0, 7, 14 dan 21 hari. Telur yang digunakan diperoleh dari itik Tegal yang dipelihara di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas. Bahan lain yang digunakan adalah asam asetat 5% dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah hand mixer electric Philips tipe HR 1500, spatula, meja kaca, gelas ukur 500 ml, stopwatch, kertas label, pensil, timbangan elektrik 120 g, pH meter, egg tray, tissue. Rancangan Perlakuan Perlakuan yang diberikan terhadap putih telur itik adalah dengan menambahkan asam asetat. Telur itik yang digunakan adalah telur itik yang telah disimpan selama 0, 7, 14 dan 21 hari pada suhu ruang. Putih telur itik ditambah asam asetat dengan taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%. Penambahan asam asetat pada putih telur itik dilakukan sesaat sebelum telur dikocok. Model Rancangan percobaan yang digunakan untuk melihat pengaruh perlakuan penyimpanan telur pada suhu ruang dan penambahan asam asetat adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial 4 x 5. Faktor pertama adalah umur telur 0, 7, 14 dan 21 hari. Faktor kedua adalah taraf penambahan asam asetat 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%. Analisis Data Data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi daya dan kestabilan buih putih telut itik Tegal. Daya Buih Putih Telur. Daya buih dihitung berdasarkan rumus yang dinyatakan oleh Stadelman dan Cotteril (1995) sebagai berikut: Daya Buih
Volumebuih buihyang yangterbentuk terbentuk x 100% = volume volume putih telur Volume putih telur
Kestabilan Buih Putih Telur. Kestabilan buih dihitung berdasarkan rumus yang dinyatakan oleh Stadelman dan Cotteril (1995) sebagai berikut: volumetirisan tirisanbuih buihyang yangterbentuk terbentuk x 100% Tirisan Buih = Volume volume putih telur Volume putih telur Prosedur Tahap Persiapan Kandang Persiapan kandang diawali dengan melakukan pembersihan empat kandang dari sekam dan sarang laba-laba, kemudian dibersihkan dengan sabun dan disikat pada bagian dalam kandang. Kandang dibiarkan hingga kering. Setelah kandang kering dilakukan pengapuran pada seluruh bagian kandang kemudian dilakukan fumigasi dengan menggunakan desinfektan (destan) dengan dosis 60 ml/10 liter. Kandang yang telah difumigasi dibiarkan selama satu minggu. Kandang yang telah dibersihkan ditempati oleh itik sebanyak empat kandang. Setiap kandang ditempatkan 15 cage. Cage yang diperlukan untuk itik sebanyak 60 buah karena setiap cage dapat ditempati oleh satu ekor itik. Cage yang telah siap ditempati dipasang tempat makan dan tempat minum yang telah bersih. Itik dimasukkan ke individual cage secara acak. Cage berukuran panjang 30 cm, lebar 51 cm dan tinggi 53 cm. Tempat minum yang digunakan pada kandang itik sebanyak 20 buah yang dibuat dari pipa paralon dengan panjang 90 cm. Tempat pakan untuk yang digunakan untuk memelihara itik sebanyak 60 buah. Tahap Pemeliharaan Alat yang digunakan dalam pemeliharaan adalah sikat, kuas, skop, sprayer, lampu, tempat pakan, tempat minum, individual cage, kaki cage, serokan, spatula,
takaran pakan, timbangan lima kg, timbangan 120 g, sapu lidi, plastik, meteran, karung, ember, selang, drum plastik, termometer, pensil dan kandang. Bahan yang diperlukan untuk pemeliharaan itik Tegal meliputi sabun, kapur, destan (desinfektan), vitamin, obat cacing, pakan dan air gula 10%. Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial Par-L berbentuk tepung yang diproduksi oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia. Vitamin yang digunakan adalah Turbo dan obat cacing Triworm. Itik yang baru datang diberi larutan gula 10 untuk mengganti energi yang hilang selama perjalanan dan mengurangi stres. Selain itu pada hari kedua pemeliharaan ternak itik juga diberi obat cacing. Pemeliharaan itik meliputi pemberian pakan, air minum, vitamin, perangsang produksi telur, pembersihan kandang dan pengukuran suhu dalam kandang. Pakan dan minuman diberikan tiga kali dalam sehari ad libitum. Pada itik pemberian vitamin perangsang produksi telur (Turbo) dicampurkan dengan pakan yang diberikan. Air minum pada itik diganti satu kali sehari. Pembersihan kandang dilakukan tiga kali sehari, sedangkan untuk tempat pakan dan minum setiap satu minggu. Pengukuran suhu dilakukan tiga kali sehari untuk mengetahui suhu pagi, siang dan sore dalam kandang. Penyimpanan Telur Pengumpulan telur dilakukan sehari sekali pada pukul 08.00 WIB. Telur tersebut dicatat sesuai nomor itik dan diberi tanggal, kemudian ditimbang bobot awalnya dengan menggunakan timbangan elektrik 120 g. Hasil pengukuran telur dicatat pada tabel produksi telur harian setiap individu, kemudian telur disimpan pada egg tray selama 0, 7, 14 dan 21 hari pada suhu ruang. Suhu dan kelembaban pada ruang penyimpanan telur diukur tiga kali sehari. Pengukuran Daya dan Kestabilan Buih Telur itik Tegal yang berumur 0, 7, 14 dan 21 hari dipecah di atas meja kaca, kuning dan putih telur dipisahkan. Putih telur dimasukkan ke dalam gelas ukur dan diukur volumenya, kemudian ditambahkan dengan asam asetat dengan penambahan asam asetat sesuai perlakuan. Langkah selanjutnya adalah pengocokan putih telur itik Tegal yang telah dicampur dengan asam asetat. Pengocokan dilakukan pada gelas ukur 500 ml dengan
menggunakan hand mixer electric selama lima menit pada kecepatan maksimal (skala tiga pada hand mixer electric) hingga terbentuk buih. Buih yang terbentuk dalam gelas ukur diratakan dan diukur volumenya. Buih tersebut dibiarkan selama satu jam, dan tirisan buih yang terbentuk diukur volumenya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Buih Putih Telur Itik Tegal Daya buih putih telur itik Tegal yang terbentuk ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 menyajikan daya buih telur itik segar dengan tanpa penambahan asam asetat menghasilkan daya buih paling tinggi dibandingkan daya buih telur itik pada umur 7, 14 dan 21 hari. Semakin lama umur telur, daya buih yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin lama umur telur, pH putih telur akan semakin meningkat. pH putih telur itik umur 0, 7, 14 dan 21 hari berturut-turut 8,00; 9,36; 9,13 dan 9,32. Peningkatan pH pada putih telur disebabkan oleh penguapan H2O dan CO2 pada putih telur. Menurut Silverside dan Scott (2000) penguapan CO2 dari dalam telur diakibatkan oleh senyawa NaHCO3 yang terurai menjadi NaOH, kemudian NaOH ini akan terurai kembali menjadi ion-ion Na+ dan OH- sehingga mengakibatkan meningkatnya pH putih telur Tabel 3. Daya Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada Lama Penyimpanan yang Berbeda Penambahan Asam Asetat ------(%)----0,00
0,80
1,60
2,40
3,20
0
Lama Penyimpanan (hari) 7 14
21
------------------------------------------(%)-----------------------------------------451,79 + 122,22
423,42 +129,00
405,25 + 104,40
374,48 + 72,73
n = 12
n = 20
n = 28
n = 40
408,33 + 137,69
442,35 + 93,43
405,45 + 50,48
419,51 + 58,24
n= 3
n=5
n=7
n = 10
389,04 + 96,48
416,03 + 28,29
430,73 + 68,37
435,31 + 83,77
n= 3
n=5
n=7
n = 10
331,25 + 75,78
425,25 + 35,04
418,54 + 41,90
427,43 + 62,72
n= 3
n=5
n=7
n = 10
388,89 + 71,85
416,09 + 43,90
455,33 + 98,80
409,32 + 55,86
n= 3
n=5
n=7
n = 10
Daya buih telur itik segar tertinggi (451,79 + 122,22%) diperoleh pada telur yang tidak ditambah asam asetat. Hal tersebut terjadi karena menurut Stadelman dan Cotterill (1995) telur segar masih memiliki kandungan ovalbumin, ovomucin dan globulin yang sempurna karena belum terjadi proses penguapan pada isi telur.
Ovalbumin merupakan protein utama pada putih telur yang berperan penting dalam pembentukan busa, sedangkan ovomucin merupakan protein yang mempengaruhi kekentalan putih telur dan mampu mencegah buih mencair kembali. Daya buih telur itik umur tujuh hari tertinggi (442,35 + 93,43%) diperoleh pada telur yang ditambahkan asam asetat sebanyak 0,8% dibandingkan dengan telur itik tanpa penambahan asam asetat. Pada telur umur tujuh hari telah terjadi penguapan CO2 dan H2O dan mengakibatkan terjadinya transformasi ovalbumin menjadi sovalbumin akibat adanya penurunan pH. Hal ini yang menyebabkan daya buih telur umur tujuh hari lebih rendah dari pada telur segar karena ovalbumin sangat berperan pada proses pembentukan buih telah mengalami transformasi menjadi s-ovalbumin. Peningkatan pH yang terjadi akibat penyimpanan selama tujuh hari dapat diperbaiki dengan penambahan asam asetat 0,8%; sehingga pH putih telur menurun mencapai pH telur segar. Penambahan asam asetat 0,8% diduga dapat menyebabkan renaturasi protein, sehingga protein yang terbuka akibat proses penyimpanan akan kembali menjadi native protein, sehingga daya buih yang dihasilkan dapat kembali meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Lehninger (1992) bahwa protein globular yang terdenaturasi oleh panas atau pH ekstrim akan kembali ke struktur aslinya dan memperoleh kembali aktivitas biologinya, jika protein ini dikembalikan ke pH normalnya secara perlahan-lahan. Penambahan asam asetat yang semakin meningkat akan mengakibatkan pH putih telur menurun sehingga daya buih yang dihasilkan semakin menurun, karena menurut Winarno (1997) penambahan asam yang terlalu banyak akan menimbulkan denaturasi pada protein putih telur. Umur simpan 14 hari menghasilkan daya buih yang semakin menurun karena penguapan CO2 dalam telur semakin tinggi. Selain itu selama proses penyimpanan ovalbumin akan berikatan dengan lisozym yang mengakibatkan putih telur menjadi encer dan ovalbumin juga berubah menjadi s-ovalbumin yang mengakibatkan daya buih yang dihasilkan menurun. Daya buih pada telur umur 14 hari dapat diperbaiki dengan menambahkan asam asetat sebanyak 1,6% pada putih telur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama umur telur maka pH putih telur akan semakin tinggi, sehingga penambahan asam asetat yang semakin banyak untuk mendekati pH telur segar.
Telur itik umur simpan 21 hari tanpa penambahan asam asetat menghasilkan daya buih yang rendah karena pH putih telur semakin meningkat akibat adanya proses penyimpanan. Pada umur telur 21 hari juga telah terjadi pengenceran pada putih telur bahkan sebagian air dalam putih telur akan pindah menuju kuning telur melalui membran vitelin. Akibat proses perpindahan air maka akan sangat mempengaruhi terhadap daya buih yang dihasilkan, untuk mendapatkan pH seperti telur segar, telur umur 21 hari perlu ditambahkan asam asetat sebanyak 1,6% untuk menghasilkan daya buih yang mendekati daya buih telur itik segar. Perbedaan daya buih pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 dengan penambahan asam asetat pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2% disajikan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 menyajikan secara lebih jelas perbedaan daya buih putih telur itik dengan
Daya Buih (%)
penambahan asam asetat yang berbeda. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0
7
14
21
Umur Telur (hari)
Keterangan :
0.0%
0.8%
1.6%
2.4%
3.2%
Gambar 4. Grafik Daya Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat Kestabilan Putih Telur Itik Tegal Tabel 4 menunjukkan nilai tirisan buih. Telur segar menghasilkan tirisan yang sedikit jika dibandingkan dengan telur itik yang telah disimpan pada umur 7, 14 dan 21 hari. Menurut Silverside dan Budgell (2004) pada telur segar putih telur masih kental, sehingga tirisan buih yang dihasilkan rendah, sedangkan telur yang telah
mengalami penyimpanan memiliki putih telur yang encer maka tirisan buih yang dihasilkan semakin tinggi. Tabel 4. Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada Lama Penyimpanan yang Berbeda Penambahan Asam Asetat ------(%)----0,00
0,80
1,60
2,40
3,20
Lama Penyimpanan 0
7
14
21
--------------------------------------(%)----------------------------------5,20 + 2,08
5,68 + 4,90
5,08 + 4,68
6,33 + 3,77
n = 12
n = 20
n = 28
n = 40
6,75 + 2,81
2,92 + 2,27
4,02 + 1,94
3,58 + 1,21
n= 3
n=5
n=7
n = 10
7,79 + 0,19
4,94 + 1,28
4,15 + 1,23
3,69 + 2,17
n= 3
n=5
n=7
n = 10
11,77 + 9,30
4,62 + 1,11
4,60 + 1,35
4,47 + 1,59
n= 3
n=5
n=7
n = 10
9,25 + 5,33
5,30 + 0,57
4,98 + 2,40
5,58 + 1,94
n= 3
n=5
n=7
n = 10
Kestabilan buih akan mengalami penurunan seiring lama umur penyimpanan telur yang diperlihatkan dengan tingginya tirisan buih yang dihasilkan, seperti pendapat Romanoff dan Romanoff (1963) bahwa umur telur semakin meningkat maka stabilitas buih putih telur semakin menurun. Kestabilan buih berbanding terbalik dengan tirisan buih, semakin sedikit tirisan yang dihasilkan maka kestabilan buihnya tinggi, sebaliknya semakin banyak tirisan buih yang terbentuk maka semakin rendah kestabilan buih yang dihasilkan. Selama penyimpanan terjadi penguapan H2O dan CO2 yang mengakibatkan peningkatan pH putih telur, peningkatan pH akan menyebabkan serabut protein yang membentuk jala di dalam putih telur yaitu ovomucin akan rusak dan pecah, sehingga terjadi pembentukan ikatan kompleks ovomucin-lysozym, sehingga air dari protein putih telur akan keluar dan putih telur menjadi encer, sesuai dengan pendapat Heath (1977). Pada telur itik segar kestabilan yang baik diperoleh dari putih telur tanpa penambahan asam asetat. Pada telur umur tujuh hari, tirisan buih terendah diperoleh dengan penambahan asam asetat sebanyak 0,8%. Hal ini disebabkan ikatan rantai
hidrogen dalam asam asetat mampu mencegah terbentuknya ikatan H2O dalam putih telur setelah dilakukan pengocokan dan didiamkan beberapa saat, sehingga tirisan yang terbentuk lebih sedikit atau buih lebih stabil, sesuai dengan pendapat Cuningham (1976) Tirisan buih yang rendah pada putih telur itik umur 14 hari didapatkan pada penambahan asam asetat sebanyak 0, 8% dan 1,6%, demikian pula telur itik umur 21 hari. Setelah dibandingkan dengan nilai daya buih pada penambahan asam asetat 0,8% dan 1,6%, telur itik umur 14 dan 21 hari menghasilkan daya dan tirisan buih yang baik pada penambahan asam asetat 1,6%; karena buih yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan asam asetat 0,8%. Penambahan asam asetat akan berpengaruh terhadap protein globulin dan ovomucin putih telur. Kedua protein itu sangat menentukan kekentalan dari putih telur dan menstabilkan srtuktur buih. Perbedaan tirisan buih pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 dengan penambahan asam asetat pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2% disajikan pada Gambar 5. Pada Gambar 5 menyajikan secara lebih jelas perbedaan tirisan buih putih telur itik dengan penambahan asam asetat yang berbeda. 14.00 Tirisan Buih (%)
12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 0
7
14
21
Umur Telur (hari)
Keterangan :
0.0%
0.8%
1.6%
2.4%
3.2%
Gambar 5. Grafik Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Daya dan kestabilan buih telur itik segar paling tinggi jika dibandingkan dengan telur itik yang telah disimpan selama 7, 14 dan 21 hari. Telur itik segar menghasilkan daya dan kestabilan buih tertinggi pada telur itik tanpa penambahan asam asetat. Daya dan kestabilan buih telur itik umur tujuh hari dapat ditingkatkan dengan penambahan asam asetat sebanyak 0,8%; sedangkan pada telur itik umur 14 dan 21 hari perlu ditambahkan asam asetat sebanyak 1,6%. Daya dan kestabilan buih putih telur itik dengan penambahan asam asetat belum bisa mencapai daya dan kestabilan buih yang tinggi seperti pada telur ayam. Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur itik dengan penambahan bahan kimia lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam yang menguasai ilmu pengetahuan atas bumi dan langit-Nya. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya kebenaran bagi seluruh umat manusia. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada ibu Ir. Rukmiasih, MS dan ibu Ir. Rini H. Mulyono, MSi yang telah banyak membimbing penulis dari pembuatan proposal penelitian hingga tahap terakhir pada penulisan skripsi. Selain itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Tuti Suryati, S.Pt, MSi dan Ir. Dwi Margi Suci, MSi yang telah menguji, mengkritik, dan banyak memberikan sumbangan pemikiran serta masukan yang dapat membantu dalam penyelesaian skripsi ini, serta Dr. Muladno sebagai dosen pembimbing akademik. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang banyak membantu baik dalam memotivasi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, maupun kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis terpacu untuk menulis. Terima kasih juga untuk kakak saya Sugiyanto dan adik-adik saya Beny dan Tanti atas semua motivasi yang diberikan kepada penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman THT 39, TPT 39 yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis, terima kasih juga untuk semua kebersamaan kita, semoga kita selalu menjadi sebuah kisah manis untuk masa depan. Tidak lupa juga teman-teman satu perjuangan baik di DPM TPB maupun di BEM KM IPB terima kasih untuk semua pelajaran dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis semoga hal tersebut bermanfaat. Terakhir penulis ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah banyak membantu hingga selesai penulisan skripsi ini, semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Alleoni, A. C. C. and Antunes A. J. 2004. Albumen Foam Stability and S-Ovalbumin Contents in Eggs Coated with Whey Protein Concentrate. Universidade do Norte do ParanĂ¡, UNOPAR, Londrina. Badan Standardisasi Nasional. 01-0222-1995. Standar Bahan Tambahan Makanan. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Belitz, H. D. 1987. Food Chemistry. Grosch-Heidenberg: Spinger-Verlag, Berlin. Belitz, H. D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spinger, Berlin. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Buttery, P. J. and D. B. Lindsay. 1980. Protein Depositions in Animal. Butterworths, London. Cherry, J. P. and K. H. Mc. Watters. 1981. Whippability and Aeration. In : J. P. Cherry. Protein Fuctionality in Foods. American Chemical Society, Washington, D. C. Charley, H. 1982. Food Science. John Wiley & Sons, Inc., New York. Cunningham, F. E. 1976. Properties of egg white foam drainage. Poultry Sci. 55: 738-743. Davis, C. and R. Reeves. 2002. High Value Opportunities from the Chicken Egg. Rural Industries Research & Development Corporation, Hamilton. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. Georgia Egg Commission. 2005. Albumen. http://www.georgiaeggs.org/pages/ albumen.html. [4 Maret 2006] Heath, J. L. 1977. Chemical and Related Osmotic Changes in Egg Albumen During Storage. J. Poultry Sci. 56: 822-828. Kurniawan, I. 1991. Pengaruh penambahan asam atau garam asam terhadap daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal umur satu dan empat belas hari. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Messier, P. 1991. Protein chemistry of albumen photographs. Albumen: 4:124-135. Medved, E. 1986. Food: Preparation and Theory. Prentice-Hall. Englewood Cliffs, New Jersey. Nakai, S. dan W. Modler. 2000. Food protein Processing Applications. Whey-VHC, Inc., Ottawa. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Terjemahan. M. Thenawijaya. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Pudjaatmaka, A.H. dan M.T. Qudratillah. 1999. Kamus Kimia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka, Jakarta. Romanoff, A. L. dan A. F. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and Sons. Inc., New York. Silverside F. G. and T. A.Scott. 2000. The relationships among measures of egg albumen height, pH and whipping volume. J. Poultry Sci. 83: 1619-11623. Silverside F. G. and K. Budgell. 2004. The effect of storage and strain of hen on egg quality. J. Poultry Sci. 79: 1725-1729. Sikorski, Z. E. 2001. Chemical & Functional Properties of Food Protein. Technomic Publishing Co., Inc., Lancaster. Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Stadelman, W. F. and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Edition. Food Products Press., An Imprint of the Haworth Press, Inc., New York. Winarno, F. G., dan S. Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahannnya. M-Brio Press, Bogor. Winarno F. G. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wilbraham, A. C. dan M. S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer, Verlag Berlin, Heidenberg.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Suhu Ruangan Penyimpanan Telur Pagi
Siang
Sore
o
-------------------------------------------------( C)------------------------------------------25,27 + 2,41
26,25 + 1,75
28
Lampiran 2. Rumus Pearson untuk Pengenceran Asam Asetat Asam Asetat
95
5 55
Akuades
0
90 95 5 x 100% = 5,26% 95
Asam Asetat yang dicanpurkan
=
Akuades yang dicampurkan
= 90 x 100% = 94,74% 95