DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA UMUR TELUR DAN TARAF PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA
SKRIPSI ANA RAHMAWATI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN ANA RAHMAWATI. D14202041. 2006. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal pada Umur Telur dan Taraf Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hj. Niken Ulupi, MS Pembimbing Anggota : Ir. Rukmiasih, MS Pemanfaatan telur itik untuk adonan kue masih jarang dilakukan, karena daya buihnya yang lebih rendah dari telur ayam. Daya dan kestabilan buih diantaranya dipengaruhi oleh umur telur dan penambahan bahan kimia atau stabilisator. Bahan kimia yang dapat digunakan salah satunya adalah asam sitrat. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui apakah daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur yang berbeda dapat ditingkatkan melalui penambahan asam sitrat dengan konsentrasi tertentu sebelum dilakukan pengocokan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal terbaik melalui penambahan asam sitrat pada umur telur yang berbeda. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok pola faktorial. Sebagai perlakuan pertama, yaitu umur telur itik yang terdiri dari 4 taraf faktor, yaitu telur segar, 7, 14, 21 hari. Perlakuan kedua, ialah penambahan asam sitrat, yang terdiri dari 4 taraf faktor, yaitu 0; 0,8; 1,6; 2,4%. Sebagai kelompok adalah telur yang dikoleksi pada hari yang berbeda. Jumlah kelompok makin banyak dengan makin lamanya umur simpan telur. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal tertinggi tanpa penambahan asam sitrat diperoleh pada telur segar, yakni sebesar 451,83±122,18% dan persentase tirisan sebesar 3,43±0,66%. Makin lama umur telur, daya dan kestabilan buih putih telurnya semakin menurun. Penambahan asam sitrat hingga 2,4% dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur hanya pada telur segar, dengan tingkat penambahan terbaik 0,8%. Penambahan asam sitrat tersebut menghasilkan daya buih sebesar 683,33±14,43% dan persentase tirisan sebesar 2,66±1,41%. Kata-kata kunci : daya buih, kestabilan buih, putih telur, asam sitrat, umur telur.
ABSTRACT Albumen Foaming and Its Stability of Tegal Ducks Egg in Different Age and Level of Citric Acid Addition Rahmawati, A., N. Ulupi, and Rukmiasih The usage of ducks egg for cake mixes is still rare since its foaming is lower than chicken egg. Albumen foaming and its stability are affected by egg age and chemical addition or stabilization. Chemical substance which can be used is citric acid. This research was designed to study whether albumen foaming and its stability of Tegal ducks egg in different age could be increased by adding citric acid in a given concentration before mixing. The result was hoped to supply information about the best albumen foaming and stability formed by Tegal duck egg by adding citric acid in different egg age. The research used Block Randomized Design factorial pattern. As first treatment were egg age which contained 4 factor levels; fresh, 7, 14 and 21 days of egg. Second treatment were citric acid addition, that also contained 4 factor levels; 0, 0.8, 1.6 and 2.4%. Egg which is collected in different days was used as block. The longer egg shelf life, the more block formed. Data which is obtained were analyzed by descriptive approach. The highest albumen foaming and its stability of Tegal ducks egg without citric acid addition was in fresh egg, which was 451.83±122.18% and 3.43±0.66% in leak percentage. Albumen foaming and its stability was decrease as egg age longer. Citric acid addition until 2.4% could increase albumen foaming and its stability only in fresh egg, with addition level best in 0.8%. This addition established foaming as much as 683.33±14.43% and 2.66±1.41% leak percentage. Keywords: Foaming, Foam Stability, Albumen, Citric Acid, Egg Age
DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA UMUR SIMPAN DAN TARAF PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA
ANA RAHMAWATI D14202041
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA UMUR SIMPAN DAN TARAF PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA
Oleh ANA RAHMAWATI D14202041
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 23 Juni 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Hj. Niken Ulupi, MS NIP. 131 284 604
Ir. Rukmiasih, MS NIP. 131 284 605
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc NIP 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 13 Mei 1984. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Heru Triyatmo dan Ibu Suryati. Pendidikan formal penulis diawali pada tahun 1989 di TK Pertiwi Selogiri, Wonogiri hingga tahun 1990. Pendidikan dasar penulis selesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Sendangijo I Selogiri, Wonogiri. Pendidikan lanjutan menegah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di MTs PPMI Assalam Kartasura, Sukoharjo dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMU PPMI Assalam Kartasura Sukoharjo lulus pada tahun 2002. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak yang sekarang menjadi Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) Fakultas Peternakan IPB periode 2002-2003 dan 2003-2004. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan di beberapa acara yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Selain itu penulis juga mengikuti beberapa seminar maupun pelatihan yang diadakan di Fakultas Peternakan maupun fakultas lainnya.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesainya skripsi ini. Skripsi ini yang berjudul Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal pada Umur Simpan dan Taraf Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini didasarkan pada pemanfaatan telur itik Tegal dalam industri kue, khususnya pada pembentukan buih putih telur. Telur itik Tegal dinilai memiliki daya buih yang lebih rendah daripada telur ayam, karena memiliki putih telur yang kental. Penambahan asam sitrat dan umur simpan telur diharapkan mampu memperbaiki daya dan kestabilan putih telur itik Tegal. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri kue, sehingga dapat meningkatkan daya guna telur itik Tegal. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Bogor, Juni 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
i
ABSTRACT
..............................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
ix
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan .............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
2
METODE ....................................................................................................
14
Lokasi dan Waktu ........................................................................... Materi .............................................................................................. Rancangan ....................................................................................... Prosedur ..........................................................................................
14 14 14 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
17
Suhu dan Kelembaban Ruang ......................................................... Tinggi dan pH Putih Telur .............................................................. Daya Buih Putih Telur Itik Tegal ................................................... Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal ...........................................
17 17 18 20
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
23
Kesimpulan ..................................................................................... Saran ..............................................................................................
23 23
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
25
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Ukuran dan Bentuk Pori-Pori Telur Itik dan Ayam.............................
3
2. Komposisi Kimia Putih Telur Itik dan Ayam......................................
4
3. Protein Putih Telur Itik dan Ayam .....................................................
9
4. Rataan pH dan Tinggi Putih Telur pada Umur Telur yang Berbeda ..
17
5. Nilai Rataan Daya Buih Putih Telur Itik Tegal .................................
18
6. Nilai Rataan pH Putih Telur pada Umur Telur dan Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda ..................................................................
19
7. Nilai Rataan Persentase Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal ..............
20
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Telur.......................................................................................
2
2. Diagram Radial Kerabang Telur..........................................................
3
3. Mekanisme Pembentukan Buih ..........................................................
8
PENDAHULUAN Latar Belakang Itik merupakan salah satu jenis ternak unggas yang memiliki peranan sangat besar, baik bagi peningkatan pangan bergizi tinggi maupun peningkatan pendapatan masyarakat. Di Indonesia ternak itik dikenal sebagai penghasil telur yang cukup potensial dan disukai masyarakat. Itik Tegal tergolong itik lokal yang tinggi produksi telurnya. Konsumsi protein hewani asal telur itik menempati urutan kedua setelah telur ayam ras (BPS, 2000). Namun, pemanfaatan telur itik masih terbatas. Pada umumnya telur itik dimanfaatkan sebagai telur asin. Pemanfaatan telur itik untuk adonan kue masih jarang dilakukan, karena putih telurnya sulit untuk membentuk buih. Pada telur ayam daya dan kestabilan buih diantaranya dipengaruhi oleh umur telur dan penambahan bahan kimia atau stabilisator. Salah satu bahan kimia yang biasa digunakan adalah asam sitrat. Asam sitrat merupakan asam lemah yang dapat diperoleh dengan mudah dan murah, serta sering digunakan pada produk pangan baik sebagai pengawet maupun sebagai penambah rasa asam. Penambahan asam sitrat pada putih telur ditujukan untuk meningkatkan daya dan kestabilan buih, karena asam dapat mendenaturasi protein putih telur sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan. Tegangan permukaan yang rendah memudahkan penangkapan udara pada saat pengocokan. Selain itu semakin lama umur telur juga menurunkan tegangan permukaan protein putih telur. Umur telur dan penambahan asam sitrat diharapkan mampu memanipulasi pH, sehingga pH putih telur dapat sesuai dengan pH yang optimal dalam pembentukan buih. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk mengetahui daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur telur yang berbeda dan penambahan asam sitrat sebelum pengocokan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna putih telur itik Tegal pada industi kue, melalui peningkatan daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada telur yang disimpan di suhu ruang dan ditambah asam sitrat sebelum pengocokan.
TINJAUAN PUSTAKA Telur Struktur fisik telur ayam terbagi menjadi tiga bagian utama berturut-turut dari yang paling luar sampai yang paling dalam adalah kerabang telur, putih telur dan kuning telur dengan persentase 12,3%; 55,8%; 31,9%. Struktur telur itik dianggap sama dengan telur ayam, tetapi kuning telur itik 7% lebih banyak dan putih telur itik 5% lebih sedikit dari telur ayam (Stadelman dan Cotterill, 1995). Struktur telur diperlihatkan pada (Gambar 1).
Gambar 1. Struktur Telur Sumber: Romanoff dan Romanoff, 1963
Kerabang telur merupakan bagian telur yang paling keras dan kaku. Fungsi utamanya sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Kerabang telur terdiri dari empat lapisan, yaitu lapisan kutikula, bunga karang, mamilaris, dan membran kerabang telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Diagram radial kerabang telur dapat dilihat pada (Gambar 2). Telur yang masih baru, pori-porinya masih dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula adalah untuk mencegah penetrasi mikroba melalui kerabang telur dan mengurangi penguapan air yang terlalu cepat (Sirait, 1986).
Gambar 2. Diagram Radial Kerabang Telur Sumber: Stadelman dan Coterill, 1995
Permukaan kerabang telur mula-mula dilapisi oleh cairan mukosa yang kental. Pada saat dikeluarkan oleh induknya terjadi pengeringan cairan mukosa tersebut. Cairan mukosa basah mampu melindungi telur dari penetrasi air, gas dan bakteri melalui pori-pori kerabang. Setelah mengering penutupan pori-pori menjadi tidak sempurna lagi (Muchtadi, 1992). Pori-pori telur itik berbeda dengan telur ayam, baik dalam jumlah maupun ukurannya. Pori-pori yang terdapat pada telur itik tiap cm2 jauh lebih banyak dibandingkan telur ayam (Romanoff dan Romanoff, 1963). Ukuran dan bentuk pori-pori telur itik dan ayam tertera pada (Tabel 1). Tabel 1. Ukuran dan Bentuk Pori-Pori Telur Itik dan Ayam Jenis Telur
Pori-pori Besar (mm)
Pori-pori Kecil (mm)
Bentuk
Itik
0,036 x 0,031
0,014 x 0,012
Oval
Ayam
0,029 x 0,02
0,011 x 0,009
Oval
Sumber: Romanoff dan Romanoff, 1963
Putih telur terdiri dari empat bagian yang berturut-turut dari bagian luar sampai bagian dalam adalah lapisan putih telur encer luar, putih telur kental luar, kental dalam atau chalaziferous dan lapisan encer dalam. Perbedaan kekentalan ini disebabkan karena perbedaan kadar air pada lapisan-lapisan tersebut. Kandungan air putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian lain, sehingga bagian ini yang mudah rusak selama penyimpanan. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh keluarnya air dari serabut ovomucin yang berfungsi sebagai pembentuk struktur putih
telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Putih telur mengandung asam karbonat yang merupakan bahan penyusun larutan buffer putih telur terurai menjadi CO2 dan H2O. Sebagian H2O dan CO2 menguap melalui pori-pori kerabang telur, sedangkan sebagian H2O tertinggal dan masuk ke dalam kuning telur (Mountney, 1976). Menurut Panda (1996), komponen kimia telur terbesar adalah air diikuti protein, lemak, dan karbohidrat. Komposisi kimia putih telur tertera pada (Tabel 2). Tabel 2. Komposisi Kimia Putih Telur Itik dan Ayam Putih Telur Itik
Komposisi Kimia
Ayam
----------------------------------(%)-----------------------------Air
87,9
86,8
Protein
11,5
12,4
Lemak
0,03
0,08
Karbohidrat
0,9
1,0
Sumber: Romanoff dan Romanoff, 1963
Kuning telur terletak ditengah-tengah bila telur dalam keadaan normal atau masih segar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Posisi kuning telur tersebut akan bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas (Buckle et al., 1987). Kualitas Telur Kualitas telur merupakan kumpulan ciri-ciri telur yang mempengaruhi selera konsumen (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kualitas merupakan ciri atau sifat yang sama dari suatu produk yang menentukan derajat kesempurnaannya yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kualitas telur yang dipengaruhi oleh sifat genetika adalah tekstur dan ketebalan kerabang telur, jumlah pori-pori kerabang telur, adanya noda darah, banyaknya putih telur kental dan komposisi kimia telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Sirait (1986), faktor-faktor kualitas yang dapat memberikan petunjuk terhadap kesegaran telur adalah susut berat telur, keadaan diameter rongga udara, keadaan putih dan kuning telur, bentuk dan warna kuning telur serta tingkat kebersihan kerabang telur. Susut berat telur dipengaruhi keadaan awal dari telur.
Penyusutan berat telur akan bertambah besar dengan bertambahnya umur simpan sampai batas tertentu dan selanjutnya berat telur akan relatif konstan (Romanoff dan Romanoff, 1963). Penyusutan bobot telur pada telur-telur yang tidak diawet, relatif berlangsung dengan cepat. Hal ini disebabkan pengaruh suhu yang tinggi selama penyimpanan, pengaruh lama penyimpanan, serta kelembaban udara yang rendah akan mempercepat penguapan air dari dalam telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Penguapan air melalui kerabang telur, difusi air dari putih telur ke kuning telur akibat perbedaan tekanan osmotik, terjadinya pelepasan gas yang menyebabkan pH naik dan struktur gel putih telur rusak. Semua kejadian tersebut berlangsung terus menerus, sehingga semakin lama telur disimpan isi telur semakin encer (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kekentalan putih telur yang semakin tinggi dapat ditandai dengan tingginya lapisan putih telur kental. Hal ini menunjukkan bahwa telur masih berada dalam kondisi segar. Dengan bertambahnya lama penyimpanan maka tinggi lapisan kental tersebut akan menurun dengan cepat pada awalnya dan akhirnya penurunan tersebut akan semakin lambat. Penurunan tinggi putih telur bersifat logaritmik negatif (Sirait, 1986). Waktu peyimpanan yang semakin lama menyebabkan pori-pori semakin besar dan rusaknya lapisan mukosa, air, gas dan bakteri lebih mudah melewati kerabang tanpa ada yang menghalangi, sehingga penurunan kualitas dan kesegaran telur semakin cepat terjadi (Muchtadi, 1992). Faktor kualitas telur menurut Umar (2000), dibagi menjadi dua, yaitu faktor kualitas eksterior yang meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan, kebersihan kerabang. Faktor interior meliputi keadaan putih telur yaitu kekentalannya, bentuk kuning telur yaitu tidak ada noda pada putih maupun kuning telur. Kualitas interior telur dapat dilihat dengan candling (peneropongan). Dengan peneropongan akan diketahui kondisi kulit telur, ukuran rongga udara dan pergeseran kuning telur. Telur segar yang disimpan pada suhu kamar hanya akan bertahan 10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami kerusakan (Sarwono, 1995). Semakin lama telur disimpan maka putih telur akan semakin encer. Hal ini terjadi karena penguapan CO2 dari putih telur yang mengakibatkan perubahan pH putih telur dari asam menjadi basa. Pengenceran putih telur karena serat glikoprotein ovomucin pecah, suasana ini mengakibatkan melemahnya ikatan ovomucin (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Telur yang memiliki berat awal lebih besar dari 58,90 gram mengalami penurunan berat yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang beratnya lebih kecil dari 58,90 gram (Sirait, 1986). Kehilangan berat telur sebagian besar disebabkan terjadinya penguapan air, terutama pada bagian putih telur, dan sebagian kecil oleh penguapan gas-gas, seperti CO2, NH3, N2 dan sedikit H2S akibat degradasi komponen organik telur. Rata-rata produksi CO2 per hari sebesar 3,5 mg (Romanoff dan Romanoff, 1963). Daya dan Kestabilan Buih Daya Buih Buih merupakan dispersi koloidal, udara terdispersi ke dalam fase cair. Ketika putih telur dikocok gelembung udara terperangkap didalam putih telur dan terbentuk buih. Selama pengocokan putih telur, ukuran gelembung udara menurun, jumlah gelembung udara meningkat dan putih telur tembus cahaya berubah menjadi tidak tembus cahaya dengan penampakan lembab. Seiring dengan peningkatan pengikatan udara, buih menjadi stabil dan kehilangan kemampuan mencair, jika pengocokan dilanjutkan maka buih akan mudah rusak, kehilangan kelembaban serta tampak mengkilat (Stadelman dan Cotterill,1995). Daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dengan persentase terhadap volume putih telur (Stademan dan Cotterill, 1995). Pengocokan telur segar encer menghasilkan buih dengan volume lebih besar daripada putih telur kental (Lowe, 1955). Buih yang baik mempunyai daya sebesar 6 sampai 8 kali dari volume awal putih telur (Georgian Egg Commission, 2005). Kestabilan Buih Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Tirisan buih terjadi karena ikatan antara udara dengan protein putih telur yang kurang kokoh, sehingga setelah didiamkan beberapa saat akan terbentuk tirisan buih (Rhodes et. al.,1960).
Struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau diregangkan seluas mungkin (Stadelman dan Cotterill, 1995). Mekanisme Pembentukan Buih Pembentukan buih terjadi pada waktu pengocokan, karena terbukanya ikatan polipeptida dalam molekul protein pada waktu pengocokan telur sehingga rantai protein menjadi lebih panjang, kemudian udara masuk di antara molekul-molekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume bagian buih telur menjadi bertambah (Sirait, 1986). Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-ikatan dalam molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Dilanjutkan dengan proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau film dari protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh film dan membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua dilanjutkan di sekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang terkoagulasi. Film protein dari gelembung yang berdekatan akan berhubungan dan mencegah keluarnya cairan. Terjadi peningkatan kekuatan interaksi antara polipeptida akan menyebabkan agregasi (pengumpulan) protein dan melemahnya permukaan film dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih (Cherry dan McWaters, 1981). Semakin lama ikatan yang terbentuk tersebut akan semakin melemah dan tirisan akan keluar dari lamela yang terdapat diantara gelembung, pada akhirnya ini dapat menyebabkan rusaknya film buih (Wong, 1989). Perubahan konfigurasi molekul tersebut akan menyebabkan hilangnya daya larut atau sifat koagulasi putih telur, dan absorpsi selaput buih penting untuk kestabilan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Pembentukan buih yang stabil memerlukan cairan dengan kuat keregangan dan elastisitas yang tinggi. Penambahan waktu pengocokan akan memperbanyak udara yang terperangkap, sehingga volume buih meningkat, tetapi elastisitas putih telur berkurang. Volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah, sebaliknya struktur buih yang stabil pada umumnya akan dihasilkan dari putih telur yang memiliki elastisitas yang tinggi. Jika putih telur terlalu banyak dikocok atau direnggangkan seluas mungkin akan menyebabkan hilangnya elastisitas (Stadelman dan Cotterill, 1995). Semakin
banyak udara yang masuk, buih yang terbentuk semakin kaku (Lowe, 1955). Mekanisme terbentuknya buih ini disajikan pada (Gambar 3). PROTEIN
DENATURASI
PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS
udara
udara
udara
MENANGKAP UDARA
PERBAIKAN BUIH YANG TERBENTUK
udara
KOAGULASI udara udara
DISTRUPSI
Gambar 3. Mekanisme Pembentukan Buih Sumber : Cherry dan McWaters ,1981
Protein Putih Telur Setiap protein telur memiliki kemampuan membentuk busa yang berbedabeda (Sirait, 1986). Hasil-hasil penelitian yang dikutip Alleoni dan Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur yaitu globulin mempunyai
kemampuan memudahkan terbentuknya buih, sementara kompleks ovomucinlysozyme, ovalbumin dan conalbumin mempunyai kemampuan membuat buih stabil saat dipanaskan. Fraksi protein putih telur lainnya, seperti conalbumin, lysozyme, ovomucin dan ovomucoid sendiri mempunyai kemampuan membuih yang sangat rendah, tetapi interaksi antara lysozyme dan globulin mempunyai peranan penting dalam pembentukan buih. Sementara itu, menurut Stadelman dan Cotterill (1995) fraksi-fraksi protein putih telur yang berperan dalam pembentukan buih, diantaranya ovalbumin, ovomucin dan globulin, sedangkan Johnson dan Zabik (1981) dalam Davis dan Reeves (2002) mengemukakan bahwa ovotransferrin, lysozyme dan ovomucoid berperan dalam pembentukan buih. Menurut Belitz dan Grosch (1999), pada telur ayam ovotransferrin identik dengan conalbumin. Menurut Hamersjof dan Anderson (2000), protein putih telur yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin, ovotransferin, ovoglobulin dan ovomucin. Interaksi antara ovomucin dan globulin akan meningkatkan volume buih atau daya pembuihannya tinggi, sedangkan ovomucin menstabilkan buih karena ovomucin lebih kental dan mengandung karbohidrat yang tinggi yang mengikat air. Daya buih meningkat pada pH yang dekat dengan titik isoelektrik, kestabilan buih lebih rendah dari kondisi tersebut. Protein putih telur itik dan ayam tertera pada (Tabel 3). Tabel 3. Protein Putih Telur Itik dan Ayam Protein Ovalbumin Conalbumin (Ovotransferin)* Penalbumin Ovomucoid Lysozyme Ovomucin Ovoflavoprotein Ovomacroglobulin Ovoinhibitor Avidin Lain-lain
Itik
Ayam (%)
---------------------------------(%)---------------------------40 54 2 12 0,1 10 1,2 3 0,3 1,0 Belum diketahui 0,03 42
Sumber: Whitaker dan Tannenbaum, 1977 *) Belitz dan Grosch, 1999
0 11 3,4 3,5 0,8 0,5 1,5 0,05 15
Ovalbumin adalah salah satu jenis protein dalam putih telur yang terbanyak (54% dari total protein putih telur) yang mempunyai kemampuan membentuk buih (Alleoni dan Antunes, 2004). Ovalbumin dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 3,7 sampai 4,0 sedangkan protein yang lain dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 6,5 sampai 9,5. Peningkatan pH putih telur dari 5,5 menjadi 11,0 akan meningkatkan volume busa dari 688% menjadi 982% (Sirait, 1986). Ovalbumin sangat mudah terdenaturasi (Whitaker dan Tannenbaum, 1977). Meskipun ovalbumin mudah terdenaturasi oleh perlakuan pada permukaan seperti pembuihan, tetapi relatif stabil pada pemanasan (Froning, 1988). Ovalbumin terdenaturasi pada pH 4,7 (Nakamura dan Doi, 2000). Penurunan kekentalan putih telur terutama disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur gelnya. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisikokimia dari serabut ovomucin yang berakibat keluarnya air dari jala-jala yang telah dibentuknya. Ovomucin merupakan glikoprotein berbentuk serabut dan dapat mengikat air membentuk struktur gel. Kerusakan struktur itu juga disebabkan oleh sifat protein putih telur, khususnya pada pH di atas 8,5 (Sirait, 1986). Ovomucin merupakan fraksi protein putih telur yang berbentuk selaput (film) yang tidak larut dalam air dan berfungsi menstabilkan struktur buih (Baldwin, 1973). Komposisi ovomucin sebanyak 1,5% dari protein putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Perbedaan putih telur kental dan encer terutama disebabkan karena perbedaan kandungan ovomucin. Ovomucin pada putih telur kental kira-kira empat kali lebih besar daripada di putih telur encer (Brooks dan Hale, 1961 dalam Stadelman dan Cotterill, 1995). Ovomucin adalah protein yang bersifat menstabilkan busa. Jika ovomucin terdapat dalam jumlah cukup banyak maka busa yang terbentuk bersifat stabil (Sirait, 1986). Proses penipisan dari tinggi putih telur akibat dari interaksi antara lysozym dan ovomucin yang menyebabkan berkurangnya daya larut ovomucin dan merusak sifat kental dari putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Globulin merupakan protein yang menentukan kekentalan putih telur dan mengurangi pencairan buih. Globulin mempunyai tegangan permukaan yang rendah sehingga membantu tahapan pembentukan buih. Tegangan permukaan yang rendah cenderung memperkecil ukuran gelembung dan meratakan tekstur buih. Kurangnya
globulin dalam putih telur membutuhkan waktu pengocokan lebih lama untuk mencapai volume tertentu (Stadelman dan Cotterill, 1995). Lysozyme terdenaturasi pada suhu sekitar 70-75oC, tetapi tergantung pada pH dan kondisi medium. Kestabilan dari lysozime mempengaruhi sifat fungsionalnya. Daya membuih lysozyme rendah (Nakamura dan Doi, 2000). Lysozime sendiri tidak terlihat superior pada sifat fungsional dalam sistem pangan seperti buih, gel dan emulsifikasi. Namun, lysozyme adalah protein yang sangat dasar, lysozime mudah berinteraksi dengan protein lain dan komponen lain dalam sistem pangan yang dapat meningkatkan sifat fungsionalnya (Doi dan Kitabatake, 1997). Conalbumin juga sering disebut ovotransferin (Froning, 1988). Ovotransferin adalah protein putih telur yang mudah terdenaturasi oleh perlakuan panas. Ovotransferin terdenaturasi pada suhu 60oC. Sifat fungsional dari putih telur dipengaruhi oleh denaturasi ovotransferin pada suhu sekitar 70oC (Doi dan Kitabatake, 1997). Ovotransferin lebih sensitif terhadap panas daripada ovalbumin, tetapi kurang rentan terhadap denaturasi permukaan (Stadelman dan Cotterill, 1995). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih Menurut beberapa peneliti terdahulu, daya buih dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator (Stadelman dan Cotterill, 1995), konsentrasi protein, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Alleoni dan Antunes, 2004). Umur telur sangat mempengaruhi nilai pH. Selama proses penyimpanan, telur akan mengalami perubahan karena terjadinya penguapan CO2 dan air, sehingga terjadi perubahan pH, serta perubahan struktur serabut protein putih telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Penyimpanan telur selama 5 dan 10 hari, hasil penelitian Silversides dan Budgell (2004), menyebabkan penurunan berat telur dan tinggi putih telur, tetapi meningkatkan pH putih telur dan volume buih putih telur. Telur yang baru dihasilkan oleh induk mempunyai pH sekitar 7,6. Hasil penelitian Kurniawan (1991) menunjukkan bahwa pH putih telur itik pada umur satu hari berkisar antara 7,12-7,72 dan pada putih telur itik yang telah disimpan selama 14 hari pada suhu ruang berkisar antara 8,33-9,16. Selanjutnya akan mengalami kenaikan selama penyimpanan. Penyimpanan telur pada suhu tinggi akan
mempercepat peningkatan pH, pada pH 9,5 terjadi pemecahan beberapa protein (Lowe, 1955). Menurut Hawthorne (1955) yang dikutip Stadelman dan Cotterill (1995) pada saat pH meningkat menjadi sekitar 9 terjadi interaksi antara ovomusin dan lisozyme yang menyebabkan putih telur menjadi encer. Alleoni dan Antunes (2004) mengemukakan bahwa tranformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi akibat penyimpanan dengan adanya peningkatan pH dan suhu. Jika kandungan s-ovalbumin meningkat, akan menyebabkan meningkatnya tirisan buih dan menurunkan stabilitas buih. Peningkatan pH putih telur akan memperbesar volume buih. Volume buih tertinggi terjadi pada pH sekitar 8,0 dan kestabilan buih yang tinggi pada pH kurang dari 8,0 (Stadelman dan Cotterill, 1995). Penampilan kue yang baik dicerminkan dari volume kue dan waktu pengocokan yang lebih baik yang akan dicapai pada saat pH putih telur mencapai 8,75. Hal ini tidak berlaku untuk tingkat pH yang lain (9,0-9,5). Peningkatan pH putih telur hingga mencapai 9,0 akan memecah protein globulin putih telur, sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara dalam pembentukan buih (Seideman et al., 1963). pH putih telur yang disimpan selama 21 hari adalah 9,3. Putih telur dari telur yang disimpan selama 14 hari pada suhu 24oC lebih besar volume penguapannya daripada penyimpanan telur yang disimpan selama 0, 7 dan 21 hari. pH putih telur pada penyimpanan 14 hari adalah 9,3 (Heat dan Owens, 1985). Penambahan asam atau garam asam ke dalam putih telur akan menambah kestabilan buih (Lowe, 1955). Penambahan bahan-bahan kimia berupa asam dan garam asam dapat mempertahankan ikatan antara udara dengan protein putih telur sehingga buih yang terbentuk lebih stabil (Rhodes et. al., 1960). Penambahan cream of tartart, asam asetat atau asam sitrat akan menambah kestabilan buih. Penambahan lemon juice, lysozyme atau globulin dapat memperbaiki sifat buih putih telur itik, tetapi tidak sebaik buih yang dihasilkan putih telur ayam (Forsythe dan Berquist, 1951). Asam Sitrat (H8C6O7) Asam sitrat adalah asam organik lemah yang ditemukan dalam buah citrus. Pada suhu ruang, asam sitrat berbentuk bubuk kristal putih, dan terdapat dalam bentuk anhydrous (bebas air). Asam sitrat merupakan pengawet alami dan juga biasa digunakan untuk menambah rasa asam pada makanan dan minuman ringan
(Wikipedia, 2005). Asam sitrat mudah larut dalam air, spirtus dan etanol, tidak berbau dan jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai. Penggunaan maksimum dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah (Margono et al., 1993) Asam sitrat disebut juga asam sitrun, yang biasa digunakan untuk pembuatan permen, es krim, marmalade, dan pembuatan jelli (Belitz dan Grosch, 1999). Asam sitrat yang dijual di pasar umumnya sudah tidak murni lagi, sedangkan asam sitrat yang biasa digunakan untuk analisis laboratorium adalah asam sitrat murni yang berkonsentrasi 99%. Konsentrasi yang masih dapat ditolerir oleh tubuh manusia sebesar 0,3-0,2 gram per orang per hari, jika melebihi dosis tersebut dapat menyebabkan diare (Kurniawan, 1999). Hasil penelitian Kurniawan (1991) menunjukkan bahwa penambahan asam ke dalam putih telur segar dapat meningkatkan daya dan kestabilan buihnya. Bila digunakan asam sitrat, daya dan kestabilan buih tertinggi baik pada putih telur umur satu hari maupun 14 hari adalah sebesar 0,50 cc per 30 cc putih telur dengan daya buih 594,55±3,90%. Pengocokan dilakukan dengan menggunakan mixer selama lima menit pada tingkat kecepatan tertinggi, yaitu pada skala tiga. Penambahan lemon juice yang banyak mengandung asam sitrat (citric acid) pada putih telur itik menghasilkan daya buih yang lebih tinggi daripada penambahan asam asetat (Forsythe dan Berquist, 1951).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, mulai Mei hingga September 2005. Materi Bahan-bahan yang digunakan adalah telur itik Tegal sebanyak 168 butir yang didapatkan dari pemeliharaan 60 ekor itik Tegal, asam sitrat 5% dan aquades. Telur yang akan digunakan dikoleksi dan disimpan pada suhu ruang laboratorium. Alat-alat yang digunakan meliputi egg tray, timbangan elektrik kapasitas 120 g dengan dua bilangan desimal, termometer, higrometer, hand mixer electric Philips tipe HR 1500, spatula, meja kaca, tripod micrometer, gelas ukur 500 ml, stop wacth dan pH meter. Rancangan Percobaan Penelitian ini disusun dengan rancangan acak kelompok pola faktorial (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Sebagai perlakuan pertama, yaitu umur telur itik yang terdiri dari 4 taraf faktor, yaitu 0, 7, 14, 21 hari. Perlakuan kedua, ialah penambahan asam sitrat, yang terdiri dari 4 taraf faktor, yaitu 0; 0,8; 1,6; 2,4%. Sebagai kelompok adalah telur yang dikoleksi pada hari yang berbeda. Jumlah kelompok makin banyak dengan makin lamanya umur simpan telur. Umur telur 9 hari sebanyak 5 kelompok, 7 hari 9 kelompok dan 14 hari 12 kelompok serta 21 hari sebanyak 15 kelompok. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur telur dan penambahan asam sitrat yang berbeda. Prosedur Penelitian ini terdiri dari tiga tahap prosedur yaitu persiapan kandang, pemeliharaan serta pengukuran daya dan kestabilan buih. Tahap Persiapan Kandang Tahap ini diawali dengan pembersihan empat kandang dari sekam, lalu disikat dengan sabun dan dibilas hingga bersih. Setelah bersih, kandang dibiarkan
hingga kering. Kandang yang sudah kering dikapur dan difumigasi menggunakan destan dengan dosis 60 cc/10 liter air. Kemudian kandang dibiarkan selama satu minggu. Setiap kandang diisi dengan 15 cage. Individual cage digunakan sebanyak 60 bagian. Individual cage ini diletakkan di atas kaki cage yang terbuat dari kayu dengan tinggi 50 cm dari lantai. Cage yang digunakan berukuran 30 x 51 x 53 cm. Kemiringan dan lebar penampung telur yaitu lebar 15 cm dan kemiringan 5 cm. Setelah cage dimasukkan ke dalam kandang, maka seterusnya tempat pakan dan tempat minum yang telah dibersihkan dipasang pada cage. Tempat pakan yang digunakan sebanyak 60 buah terbuat dari paralon. Tempat minum yang digunakan sebanyak 20 buah, terbuat dari paralon dengan panjang 90 cm. Setiap tempat minum digunakan untuk 3 ekor itik. Itik dimasukkan ke dalam individual cage secara acak. Setiap cage ditempati oleh satu ekor, karena itik lebih mudah stres sehingga itik membutuhkan ruang gerak yang luas. Tahap Pemeliharaan Pada hari pertama, itik diberi larutan gula 10%. Hal ini bertujuan untuk menganti kehilangan energi dan mengurangi stres selama perjalanan. Itik diberi obat cacing (Triworm) setelah satu hari dipelihara. Pemeliharaan itik meliputi pemberian pakan Par-L1 produksi PT Japfa Comfeed Indonesia, air minum, vitamin perangsang produksi telur (Turbo), pembersihan kandang, dan pengukuran suhu kandang. Pakan dan air minum diberikan tiga kali sehari secara ad libitum. Pemberian pakan itik ditambah air yang telah dicampur dengan vitamin perangsang produksi telur (Turbo) dengan dosis 5 g/liter air. Tempat pakan dan tempat minum dicuci seminggu sekali dan air minum diganti tiap hari. Itik dimandikan setiap hari. Pembersihan kandang dilakukan tiga kali sehari dengan menggunakan alat pembersih. Suhu harian diukur pada pagi, siang dan sore hari. Penyimpanan Telur Telur itik yang diperoleh dari pemeliharaan ditimbang bobot awalnya dengan timbangan elektrik 120 g. Telur kemudian ditempatkan pada egg tray dan disimpan di suhu ruang selama 7, 14 dan 21 hari. Suhu dan kelembaban ruangan penyimpanan
diukur tiga kali sehari (pagi, siang dan sore hari). Pengumpulan telur dilakukan pada pagi hari. Telur yang diperoleh dari pemeliharaan setiap harinya hanya cukup untuk lima kelompok sebagaimana yang dibutuhkan untuk pengocokan telur segar. Penyimpanan 7, 14 dan 21 hari memerlukan kelompok yang lebih banyak, maka pengumpulan telur dilakukan lebih dari satu hari. Pengukuran Daya dan Kestabilan Buih Alat dan bahan yang dibutuhkan disiapkan terlebih dahulu. Asam sitrat 90% diencerkan menggunakan aquades hingga konsentrasinya menjadi 5%. Gelas ukur yang digunakan dicuci dan dikeringkan, diberi label yang bertuliskan jenis perlakuan dan bobotnya kemudian ditimbang. Telur dipecah di atas meja kaca dan diukur tinggi albumennya menggunakan tripod micrometer. Kuning dan putih telur dipisahkan dengan spatula. Putih telur dimasukkan ke dalam gelas ukur dan kuning telur dimasukkan ke dalam wadah terpisah. Putih telur diukur volume dan pH. Pengocokan dilakukan menggunakan hand mixer electric Philips tipe HR 1500, dengan kecepatan maksimum (skala 3) selama 5 menit, dengan posisi badan berdiri dan pengocokan dilakukan kearah kanan (searah dengan perputaran mixer). Penambahan asam sitrat 5% dilakukan sesaat sebelum telur dikocok, dengan taraf 0 sebagai kontrol 0,8; 1,6 dan 2,4%. Masing-masing taraf mendapat ulangan yang berbeda sesuai dengan umur telur. Setelah pengocokan selesai, buih yang terbentuk diratakan dengan menggunakan spatula dan diukur volumenya. Setelah itu buih didiamkan selama satu jam, dan diukur volume tirisan yang terbentuk. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), daya buih dihitung dengan rumus: Daya Buih = (Volume Buih / Volume Putih Telur) x 100% Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), kestabilan buih dihitung dari persentase tirisan buih. Kestabilan buih yang tinggi dihasilkan dari persentase tirisan buih yang rendah. Persentase tirisan buih dihitung dengan rumus: Persentase Tirisan Buih = (Volume Tirisan / Volume Buih) x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruang Suhu lingkungan tempat telur disimpan berkisar dari 25-28oC dengan kelembaban 62-69%. Menurut Heath (1977), telur yang disimpan pada suhu 22oC akan mengalami penguapan CO2 yang tinggi dari dalam telur. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), penguapan CO2 dari dalam telur terjadi akibat penguraian senyawa NaHCO3 menjadi NaOH, selanjutnya NaOH ini akan terurai lagi menjadi ion-ion Na+ dan OH-, sehingga meningkatkan pH putih telur sesuai dengan reaksi berikut: NaHCO3
----------> NaOH + CO2
NaOH
----------> Na+ + OH-
Menurut Mountney (1976), besarnya penguapan CO2 dan H2O akan mempengaruhi peningkatan pH putih telur. Tinggi dan pH Putih Telur Hasil pengamatan rataan pH putih telur pada umur telur yang berbeda tertera pada (Tabel 4). Tabel 4. Rataan pH dan Tinggi Putih Telur pada Umur Telur yang Berbeda Umur Telur
pH
Tinggi Putih Telur
0
8,05±0,28
11,15±0,34
7
9,38±0,17
6,31±0,27
14
9,22±0,09
4,92±0,23
21
9,27±0,06
4,10±0,17
Dari Tabel 4 terlihat bahwa rataan pH putih telur segar adalah 8,05. Makin lama umur telur (7-21 hari), pH meningkat menjadi 9,22-9,38. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), peningkatan pH putih telur mencapai 9,0 akan mengakibatkan terjadi ikatan kompleks ovomucin-lysozime yang menyebabkan putih telur menjadi encer. Hal ini yang menyebabkan tinggi putih telur makin rendah dengan makin bertambahnya umur telur (Tabel 4). Menurut Sirait (1986), perubahan tinggi putih telur tersebut terjadi karena adanya kerusakan dari serabut ovomucin yang berakibat keluarnya air dari jala-jala yang telah dibentuknya.
Daya Buih Putih Telur Itik Tegal Hasil pengamatan perlakuan penambahan asam sitrat pada umur telur yang berbeda terhadap daya buih putih telur itik Tegal tertera pada (Tabel 5). Tabel 5. Nilai Rataan Daya Buih Putih Telur Itik Tegal Umur Telur (Hari)
Penambahan Asam Sitrat (%) 0
0,8
1,6
2,4
---------------------------------------%---------------------------------0
451,83±122,18 683,33±14, 43
558,33±57,73
650,00± 43,30
7
444,10±118,11 388,29±39,77
416,79±57,87
408,43±102,49
14
408,26± 82,59 383,73±44,45
424,83±75,19
391,49± 63,67
21
376,03± 68,61 354,05±69,10
350,72±61,95
325,98± 78,41
Rataan daya buih putih telur itik Tegal hasil penelitian berkisar antara 325,98-683,33%. Secara keseluruhan rataan daya buih sebesar 438,51%, artinya setiap ml putih telur itik Tegal jika dikocok akan membentuk buih sebanyak 4,4 kalinya. Telur itik Tegal segar tanpa penambahan asam sitrat menghasilkan daya buih sebesar 451,83±122,18% yang merupakan daya buih tertinggi dibandingkan dengan telur umur 7, 14 dan 21 hari. Hal ini disebabkan semakin lama telur disimpan maka pH putih telur akan semakin meningkat. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) volume buih putih telur tertinggi pada ayam, dihasilkan pada pH sekitar 8,0. Dalam keadaan tersebut maka pH pada telur itik Tegal segar mempunyai pH yang mendekati pH optimal dalam pembentukan buih putih telur, karena memiliki pH 8,05. Selain itu pada telur segar konsentrasi protein yang berperan dalam pembentukan buih masih tinggi. Telur yang berumur 7, 14 dan 21 hari memiliki rataan pH diatas 9,0. Pada pH yang lebih dari 9,0 pembentukan buih akan terhambat. Hal ini sesuai dengan pendapat Seideman et al. (1963), yang menyatakan bahwa peningkatan pH putih telur hingga mencapai 9,0 akan menyebabkan protein globulin putih telur terurai, sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara dalam pembentukan buih. Selain itu protein yang berperan dalam pembentukan buih seperti ovalbumin telah bertransformasi menjadi s-ovalbumin (Alleoni dan Antunes, 2004) dan ovomucin telah berinteraksi dengan lysozime
(Stadelman dan Cotterill, 1995) selama penyimpanan. Hal tersebut akan menurunkan kemampuan protein dalam mengikat udara pada saat pengocokan. Penambahan asam sitrat 0,8-2,4% pada putih telur segar dapat meningkatkan daya buihnya. Penambahan asam sitrat ditujukan untuk membantu denaturasi protein pembentuk buih pada tahap awal pembentukan buih, sehingga menurunkan tegangan permukaan protein dan meningkatkan daya buihnya. Selain itu pada saat tersebut, pH putih telur 7,27-7,59. Hal ini menunjukkan bahwa pH optimal dalam pembentukan buih putih telur itik Tegal sekitar 7,27-7,59. Kemampuan membuih putih telur itik Tegal segar yang ditambahkan 0,8 dan 2,4% asam sitrat pada penelitian ini, dinilai baik jika didasarkan pada Georgian Egg Commission (2005) yang menyatakan bahwa buih yang bagus memiliki daya buih 6-8 kali dari volume awal putih telur. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Romanoff dan romanoff (1963) yang menyatakan jika ditambahkan asam sitrat maka daya buih putih telur akan meningkat. Hal ini karena putih telur memiliki bentuk fisik yang kental dan setelah ditambahkan bahan kimia tersebut, terjadi reaksi dengan putih telur sehingga tegangan permukaan putih telur berkurang. Pada keadaan demikian putih telur lebih mudah menangkap udara. Penambahan asam sitrat kurang efektif meningkatkan daya buih putih telur itik Tegal yang disimpan 7, 14 dan 21 hari. Nilai rataan pH putih telur pada umur telur dan penambahan asam sitrat yang berbeda tertera pada (Tabel 6). Tabel 6. Nilai Rataan pH Putih pada Umur Telur dan Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda Umur Telur Penambahan Asam Sitrat (%) (Hari) 0 0,8 1,6 2,4 0 8,05±0,28 7,59±0,16 7,35±0,06 7,27±0,46 7
9,38±0,17
8,91±0,09
7,98±0,30
7,72±0,11
14
9,22±0,09
8,97±0,06
8,21±0,33
7,79±0,19
21
9,27±0,06
9,12±0,31
8,63±0,21
7,78±0,23
Penambahan asam sitrat pada telur umur 7,14 dan 21 hari kurang efektif meningkatkan daya buih karena setelah ditambahkan asam sitrat 0; 0,8; 1,6 dan 2,4% dihasilkan daya buih yang hampir seragam, yakni sekitar empat kali dari volume
putih telurnya pada telur yang disimpan 7 dan 14 hari, serta sekitar tiga kali dari volume putih telur pada telur yang disimpan 21 hari. Hal ini karena semakin lama telur disimpan maka konsentrasi protein pembentuk buih semakin berkurang, sehingga penambahan asam sitrat hanya mendenaturasi sedikit protein putih telur yang berperan. Selain itu, selama penyimpanan pH putih telur semakin tinggi dan penambahan asam sitrat hingga taraf tertinggi tidak dapat menurunkan pH hingga mencapai pH yang optimum pada pembentukan buih putih telur itik Tegal, yakni sekitar 7,27-7,59. Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal Kestabilan buih yang tinggi dinilai dari besarnya tirisan buih yang terjadi setelah 1 jam. Semakin rendah tirisan buih yang terjadi maka buih putih telur semakin stabil. Kestabilan buih yang tinggi dihasilkan dari persentase tirisan buih yang rendah. Hasil pengamatan perlakuan penambahan asam sitrat pada umur telur itik Tegal yang berbeda terhadap persentase tirisan buih tertera pada (Tabel 7). Tabel 7. Nilai Rataan Persentase Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal Umur Telur (Hari)
Penambahan Asam Sitrat (%) 0
0,8
1,6
2,4
----------------------------------(%)----------------------------------0
3,43±0,66
2,66±1,41
4,51±0,44
2,12±0,47
7
4,44±1,10
4,75±1,40
5,44±1,64
6,53±4,04
14
3,59±1,33
4,12±1,84
3,26±1,57
4,66±2,1
21
8,75±5,52
8,76±6,26
7,88±3,44
13,00±6,78
Telur segar tanpa penambahan asam sitrat memiliki kestabilan yang tertinggi dibandingkan dengan telur umur 7, 14 dan 21 hari, karena telur segar memiliki persentase tirisan buih terendah, yakni sebesar 3,39±0,93%. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), kestabilan buih tertinggi dihasilkan pada pH kurang dari 8,0. Telur segar memiliki pH 8,05 yang merupakan pH terendah dari semua perlakuan penyimpanan, sehingga paling mendekati pH yang optimum untuk menghasilkan buih yang stabil. Selain itu karena telur segar belum mengalami penurunan kualitas
yang besar. Kandungan ovomucin pada saat tersebut belum mengalami perubahan menjadi ovomucin-lysozime yang menyebabkan putih telur menjadi encer, sehingga tirisan buih yang terjadi sedikit. Ovomucin merupakan fraksi protein yang berfungsi menstabilkan struktur buih. Hal ini sesuai dengan pendapat Brooks dan Hale (1961) dalam Stadelman dan Cotterill (1995), yang menyatakan bahwa semakin banyak kandungan ovomucin maka kestabilan buihnya akan semakin tinggi. Penambahan asam sitrat ditujukkan untuk mempertahankan ikatan antara udara dengan ikatan rantai polipeptida putih telur, sehingga buih yang terbentuk lebih stabil. Kestabilan buih tertinggi dihasilkan dari penambahan asam sitrat 2,4% pada telur segar, karena memiliki rataan persentase tirisan buih terendah dari semua perlakuan, yakni sebesar 2,12±0,47%. Hal ini sesuai dengan pendapat Rhodes et al., (1960) yang menyatakan bahwa penambahan bahan kimia berupa asam dapat mempertahankan ikatan antara udara dengan protein putih telur sehingga buih yang terbentuk lebih stabil. Penambahan asam sitrat 0,8% memiliki kestabilan buih yang tidak jauh berbeda dengan penambahan asam sitrat 2,4%, karena memiliki persentase tirisan buih 2,66±1,41%. Penambahan asam sitrat 0,8% dinilai lebih ekonomis dibandingkan penambahan asam sitrat 2,4% dengan kestabilan buih yang tidak jauh berbeda. Penambahan asam sitrat 0; 0,8; 1,6 dan 2,4% pada telur umur 7, 14 dan 21 hari, tidak memberikan pengaruh terhadap kestabilan buih putih telur itik Tegal. Hal ini karena telur mengalami penurunan kualitas selama penyimpanan. Semakin lama umur telur maka kekentalan putih telur semakin berkurang. Penurunan kekentalan putih telur selama penyimpanan disebabkan oleh kandungan ovomucin dalam telur yang semakin berkurang. Berkurangnya kandungan ovomucin tersebut menurut Brooks dan Hale (1961) dalam Stadelman dan Cotterill (1995), akan menurunkan kestabilan buih putih telur. Selain itu menurut Whitaker dan Tannenbaum (1977), kestabilan buih juga dipengaruhi oleh kandungan s-ovalbumin putih telur. s-ovalbumin merupakan turunan dari ovalbumin. Transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi akibat penyimpanan. Menurut Alleoni dan Antunes (2004), semakin banyak s-ovalbumin yang terbentuk akan meningkatkan tirisan buih yang terbentuk. Selain itu pada telur yang berumur 7, 14 dan 21 hari, penambahan asam sitrat hingga 2,4% tidak dapat menurunkan pH hingga mencapai pH optimum dalam
pembentukan buih yang stabil seperti pada telur segar. Nilai rataan pH putih telur pada umur telur dan penambahan asam sitrat yang berbeda tertera pada (Tabel 6).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal tertinggi tanpa penambahan asam sitrat diperoleh pada telur segar. Makin lama umur telur, daya dan kestabilan buih putih telurnya semakin menurun. Penambahan asam sitrat hingga 2,4% dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur hanya pada telur segar, dengan tingkat penambahan terbaik 0,8%. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal dengan mengukur besarnya fraksi protein dalam putih telur selama penyimpanan. Pada pembuatan kue yang membutuhkan daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal yang tinggi disarankan menggunakan telur itik segar, jika ingin lebih baik ditambahkan asam sitrat 0,8% sebelum pengocokan.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda Heru Triyatmo dan Ibunda Suryati yang telah banyak membantu baik materi, motivasi, serta memberikan segenap kasih sayang yang tiada henti-hentinya. Juga kepada Mutiara Dwi Cahyani dan Fajri Hermawan, serta keluarga besar Gito Wiyono dan Siswo Martono. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Hj. Niken Ulupi, MS dan Ir. Rukmiasih, MS yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian hingga tahap akhir penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ir. R. Bambang Pangestu sebagai pembimbing akademik penulis yang telah memberikan saran dan masukan demi kemajuan penulis. Kepada Ir. Dwi Margi Suci, MS dan Zakiah Wulandari STP, MSi selaku dosen penguji skripsi, penulis mengucapkan terima kasih atas saran dan masukannya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada A2 yang telah memberikan bantuan penelitian melalui program Hibah A2, sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bayu Hadianto, C Henry Kusumas Karyadinata dan Neny Hidayati yang telah memberi masukan dan saran dalam skripsi ini. Kepada teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam tim buih: Anwar, Esha, Dedi, Dian, Edgar, Hamidah, Handi, Heidy, Nanda, Novi, Ratih, Ratna, Rosidah, Samsudin, Umi, Wian, Zaky. THT 39 terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Juni 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Alleoni, A.C.C. and A.J. Antunes. 2004. Albumen foam stability and s-ovalbumen contents in eggs coated with whey protein concentrate. Rev.Bras.Cienc.Avic. Vol 6. No.2. Campinas/Revista Brasileira de Ciencia Avicola – Balbumen foam stability and s-ovalbumin contents in e 4/9/05. Baldwin, R.E. 1973. Functional Properties in Food. The AVI Publ., Co., Inc., Westport, Conecticut. Belitz, H.D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2nd Ed. Spinger, German. BPS, 2000. Neraca Bahan Makanan Indonesia. Indonesia Food Balance Sheet. 19981999. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Buckle, K.A., R.A. Edwards., G.H. Fleet., and M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia-Press, Jakarta. Cherry, J.P. dan K.H.Mc. Watters. 1981. Whippability and Aeration. Dalam: Protein Fungtionality in Food. American Chemical Society, Washington, D.C. Davis, C. and R. Reeves. 2002. High value opportunities from the chicken egg. A report for Rural Industries Research and Development Corporation. RIRDC Publication No. 02/094. Doi, E dan N. Kitabatake.1997. Structure and functionality of Egg Proteins. Dalam: S. Damodaran dan A. Paraf (Editor). Food Proteins and Their Applications. Marcel Dekker, Inc., New York. Basel. Forsythe, R.H. dan D.H. Berquist. 1951. The effect of physical treatments on some properties of egg white. Poultry Sci. 30: 302-311. Froning, G.W. 1988. Nutritional and Functional Properties of Egg Proteins. Dalam: B.J. F. Hudson (Editor). Development in Food Proteins-6. Elsevier Applied Science, London. Georgia Egg Commission. 2005. Albumen. http://www.georgiaeggs.org/pages/ albumen.html. [4 Maret 2006] Hammershoj, M. dan J. Anderson. 2002. Egg processing focus on the functional properties of egg albumen powder. Poultry International. 41: 18-24. Heath, J.L. dan L. Owens. 1985. Expansion and contraction characteristics of albumen and yolk. Poultry Sci. 64: 1098-1105. Kurniawan, I. 1991. Pengaruh penambahan asam atau garam asam terhadap daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal umur satu dan empat belas hari. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, IPB. Lowe, B. 1955. Experimental Cookery. 4th Ed. John Wiley and Sons Inc, New York. Margono, T., D. Suryati, S. Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI, Jakarta.
Mattjik, A.A dan I made, S. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi kedua. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Mountney, G.J. 1976. Poultry Products Technology. 2nd Ed. The AVI Publ., Co., Inc., Westport, Conecticut. Muchtadi, T.R. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nakamura, R. dan E. Doi. 2000. Egg Processing. Dalam: S. Nakai dan H.W. Modler (Editor). Food Proteins: Processing Applications. Wiley-VCH, Inc., New York. Panda, P.G. 1996. Text Book on Egg and Poultry Technology. Vikas Publishm House Put. Ltd., Hisar. Rhodes, M.B., N. Bennett dan R.E. Feeney. 1960. The trypsin and chymotrypsin inhibitors from avian egg white. J. Biol. Chem. 235:1686-1693 Romanoff, A.L. and A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. 2nd Ed. John Wiley and Sons, New York. Sarwono, B. 1995. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Penebar Swadaya, Jakarta. Seideman, W.E., O.J. Cotterill dan E.M. Funk. 1963. Factors affecting heat coagulation of egg white. Poultry Sci. 42: 406-417. Silversides, F.G. dan K. Budgell. 2004. The relationships among measures of egg albumen height, pH, and whipping volume. Poultry Sci. 83 : 1619-1623 Sirait, C.H. 1986. Telur dan pengolahannya. Diktat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Stadelman, W.J. and O.J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York. Umar. 2000. Kualitas fisik telur ayam kampung segar di pasar tradisional, swalayan dan peternakan di kotamadya Bogor. Skripsi. Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor Wikipedia. 2005. http://en.wikipedia.org/wikipedia.org/wikipedia/Citric_Acid. [31 Juli 2005]. Whitaker, J.R. dan S.R. Tannenbaum. 1977. Food Protein. AVI Publishing Compani, inc., Westport, Connecticut. Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van Nostrand Reinhold, New York.