SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SNACK EKSTRUSI BERBAHAN BAKU GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR
SKRIPSI RISMA PITRIAWATI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIANBOGOR 2008
i
RINGKASAN RISMA PITRIAWATI D14204008. 2008. Sifat Fisik dan Organoleptik Snack Ekstrusi Berbahan Baku Grits Jagung yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Zakiah Wulandari, S. TP., M. Si : Ir. B. N. Polii, SU
Teknologi ekstrusi adalah salah satu teknologi pemasakan dalam industri pangan.. Proses ekstrusi memiliki banyak keunggulan yaitu bentuk produk khas, bervariasi sesuai keinginan serta mutu produk tinggi karena memanfaatkan proses high temperature short time (HTST). Salah satu produk ekstrusi adalah snack (makanan ringan), yang saat ini banyak berkembang. Snack merupakan makanan yang sangat digemari oleh semua kalangan baik anak-anak, remaja, ataupun orang tua. Cara untuk memenuhi nilai gizi (protein), memperbaiki sifat fisik dan daya terima konsumen terhadap produk ekstrudat yang dihasilkan yaitu dengan mensubstitusi bahan baku (jagung) dengan bahan lain yang mengandung protein tinggi yaitu tepung putih telur. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisik dan organoleptik snack ekstrusi berbahan baku grits jagung yang disubstitusi dengan tepung putih telur. Penelitian ini dilakukan dengan membuat tepung putih telur menggunakan metode pan drying, dilanjutkan dengan pembuatan snack berbahan baku grits jagung yang disubstitusi tepung putih telur. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 taraf perlakuan (substitusi tepung putih telur 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%) dan 3 periode pembuatan snack sebagai kelompok. Peubah yang dianalisis adalah analisis terhadap sifat fisik dan penilaian sensori. Analisis sifat fisik snack meliputi derajat gelatinisasi, derajat pengembangan, kekerasan, indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Penilaian sensori meliputi uji hedonik dan mutu hedonik terhadap warna, rasa, kerenyahan, daya lengket dalam mulut dan bau. Data sifat fisik yang diperoleh diuji dengan uji asumsi. Data yang memenenuhi asumsi diolah mengunakan analisis ragam dan bila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Tukey. Data yang tidak memenuhi asumsi diolah menggunakan uji Friedman. Data organoleptik diolah menggunakan uji KruskalWallis. Hasil yang menunjukkan perbedaan yang nyata diolah menggunakan uji beda rataan ranking. Snack ekstrusi dengan tepung putih telur menghasilkan derajat gelatinisasi dan indeks kelarutan air yang meningkat, namun derajat pengembangan dan kekerasannya menurun. Indeks penyerapan air tidak dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur. Hasil penilaian sensori menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur dapat meningkatkan tingkat kesukaan terhadap warna, rasa, kerenyahan,daya lengket dalam mulut dan bau. Warna snack semakin krem gelap dan rasa semakin gurih dengan peningkatan substitusi tepung putih telur. Tingkat mutu kerenyahan, daya lengket dalam mulut dan bau tidak dipengaruhi oleh substitusi tepung putih telur. Kata-kata kunci: tepung putih telur, snack ekstrusi, grits jagung
ii
ABSTRACT Physical and Sensory Properties of Extrusion Snack Made of Raw Material Corn Grits which Substitution with Egg White Powder Pitriawati, R., Z. Wulandari, and B. N. Polii Extrusion technology is one cooking technique in food industry and developed rapidly compared to other processing technologies. One of extrusion product is snack. To fullfil the adequacy of nutritional snack, improving physical properties snack and consumer’s acceptance, substitution of high nutritional raw material needs to be done by adding egg white powder. This research was aimed to study physical and sensory properties of extrusion snack made of corn grits as raw material and substitued with egg white powder. This research contained two steps i.e making egg white powder by using pan drying method and making corn snack substitued with egg white powder. The experiment used Randomized Complete Block Design with 5 treatments and 3 blocks. The concetration of substitution of egg white powder were 0%, 5%, 10%, 15%, and 20%. The substitution of egg white powder in the snack influenced physical characteristic such as degree of gelatinization, degree of development, hardness and water solubility index, but it did not influence the water absorption index of snack. Substitution of egg white powder increased snack’s preferences interms of color, taste, hardness, mouthfeel, and smell. The results of the hedonic quality test including the color and taste were influenced, however the hardness, mouth feel and smell were not influenced by substitution of egg white powder. Keywords: Egg White Powder, Extrusion Snack, Corn Grits
iii
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SNACK EKSTRUSI BERBAHAN BAKU GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR
RISMA PITRIAWATI D14204008
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 iv
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SNACK EKSTRUSI BERBAHAN BAKU GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR
Oleh Risma Pitriawati D14204008
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 April 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Zakiah Wulandari, S.TP., M. Si. NIP. 132 206 246
Ir. B. N. Polii , SU NIP. 130 816 350
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc. NIP. 131 955 531
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1986 di Cianjur, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ivan Suherman dan Ibu Entin Wartini. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN Cisalak 1. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Cimalaka, Sumedang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Sumedang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Ternak Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama mengikuti pendidikan penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) Fakultas Peternakan, aktif menjadi Kepanitiaan berbagai acara atau program kampus, aktif mengikuti berbagai perlombaan diantaranya Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2007 dan 2008, dan Lomba Penulisan Proposal Bisnis Bioteknologi (LPBB). Penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak dan Penilaian Organoleptik Hasil Ternak.
vi
KATA PENGANTAR Industri Snack ekstrusi saat ini berkembang dengan pesat. Snack umumnya digemari oleh semua kalangan di masyarakat mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Masalah utama snack yang beredar di pasaran yaitu kandungan gizi, terutama protein yang rendah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mensubstitusi bahan utama snack (grits jagung) dengan tepung putih telur sebagai sumber protein. Skripsi ini berjudul ”Sifat Fisik dan Organoleptik Snack ekstrusi Berbahan Baku Grits Jagung yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur” mengemukakan tentang pengaruh substitusi tepung putih telur terhadap sifat fisik dan organoleptik snack yang berbahan baku grits jagung. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat maupun industri snack.
Penulis,
Risma Pitriawati
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ...................................................................................................
ii
ABSTRACT ......................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................
vii
DAFTAR ISI .....................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xii
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan ...................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
3
Ekstrusi ................................................................................................. .........3 Proses Ekstrusi ......................................................................... 3 Perubahan Komponen Bahan .................................................... .........4 Ekstruder ................................................................................... .........5 Telur Ayam ........................................................................................... .........7 Putih Telur ................................................................................ .........8 Komposisi Putih Telur ................................................... ........ 9 Sifat-sifat Protein Putih Telur ...................................... 9 Pasteurisasi ................................................................................ 11 Desugarisasi ............................................................................... 11 Pengeringan .............................................................................. 12 Jagung ................................................................................................... 13 Granula pati ............................................................................... 14 Struktur Molekul Pati ................................................................. 14 Sifat Fisik Snack ................................................................................... 15 Penilaian Sensori ................................................................................... 20 Bumbu-bumbu ...................................................................................... 22 METODE ...........................................................................................................
23
Lokasi dan waktu ................................................................................... Materi .................................................................................................... Rancangan Percobaan ........................................................................... Perlakuan ................................................................................... Model dan Analisis Data ............................................................ Peubah ...................................................................................... Prosedur ................................................................................................
23 23 23 23 23 25 27
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................
33 viii
Sifat Fisik .............................................................................................. 33 Derajat Gelatinisasi ................................................................... 33 Derajat Pengembangan .............................................................. 35 Kekerasan .................................................................................. 35 Indeks Kelarutan Air ................................................................. .......37 Indeks Penyerapan Air .............................................................. 38 Penilaian Sensori ................................................................................... 39 Warna ........................................................................................ 40 Rasa Gurih ................................................................................ 41 Kerenyahan ................................................................................ 42 Daya Lengket Produk dalam Mulut .......................................... 42 Bau ............................................................................................ 43 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
45
Kesimpulan ........................................................................................... Saran ....................................................................................................
45 45
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
47
LAMPIRAN .......................................................................................................
50
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Komposisi Kimia Telur dalam 100 gram Bahan ..................................
8
2.
Jenis dan Karakteristik Protein Putih Telur ..........................................
10
3.
Komposisi Telur Kering ......................................................................
11
4.
Syarat Mutu Tepung Putih Telur (SNI 01-4323-1996) .......................
13
5.
Kandungan Gizi Grits Jagung ..............................................................
14
6.
Mutu Makanan Ringan Ekstrudat (SNI 01-2886-2000) ......................
16
7.
Hasil Analisis Proksimat pada Snack Ekstrusi .....................................
17
8.
Formula Pembuatan Snack Ekstrusi ......................................................
31
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Sifat Fisik Snack ”Cheetos” .................................................................
33
Rataan dan Standard Deviasi Derajat Gelatinisasi Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur ........................
34
Rataan dan Standard Deviasi Derajat Pengembangan Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur ………..........
35
Rataan dan Standard Deviasi Kekerasan Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur ……..............
36
Rataan dan Standard Deviasi Indeks Kelarutan Air pada Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur ...........
37
Rataan dan Standard Deviasi Indeks Penyerapan Air pada Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur .....................
38
Hasil Penilaian Sensori dengan Uji Hedonik pada Snack Ekstrusi ....................................................................................
40
Hasil Penilaian Sensori dengan Uji Mutu Hedonik Snack Ekstrusi ....................................................................................
40
x
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Mekanisme Pembentukan Kompleks Amilosa dengan Monogliserida .........................................................................................
5
2.
Ekstruder Ulir Tunggal ............................................................................
6
3.
Struktur Telur ...........................................................................................
8
4.
Struktur molekul (a) amilosa dan (b) amilopektin ……….......................
15
5.
Mekanisme Gelatinisasi Pati ....................................................................
18
6.
Mekanisme Pengembangan Snack Ekstrusi ............................................
19
7.
Tahapan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur ………….....................
29
8.
Pembuatan Grits Jagung dengan Alat Grits Mill .....................................
30
9.
Grits Jagung .............................................................................................
31
10.
Tahapan Proses Pembuatan Snack Ekstrusi ………………...................
32
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Snack Ekstrusi Berbahan Baku Grits Jagung yang Disubstitusi Tepung Putih Telur..........................................................
51
2. Analisis Keragaman Derajat Gelatinisasi …………………................
51
3. Hasil Uji Tukey pada Derajat Gelatinisasi Snack ……...…................
51
4. Uji Friedman Indeks Penyerapan Air ……………….…….................
52
5. Analisis Keragaman Indeks Kelarutan Air .........................................
52
6. Hasil Uji Tukey pada Indeks Kelarutan Air Snack …….…...............
52
7. Analisis Keragaman Kekerasan ………………………..….................
53
8. Hasil Uji Tukey pada Kekerasan Snack ……………...……................
53
9. Analisis Keragaman Derajat Pengembangan .......................................
53
10. Hasil Uji Tukey pada Derajat Pengembangan Snack ……..................
54
11. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Warna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur …........
54
12. Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Warna Snack …………………………………...............................................
55
13. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Rasa Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ………...
55
14. Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Rasa Snack………………………………....................................................... 15. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Kerenyahan Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur … 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
56 56
Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Kerenyahan Snack …………………………………………...................................
57
Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Daya Lengket Snack dengan Substitusi Tepung Putih Telur …..........
57
Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Daya lengket Snack ………………………………………........................................
58
Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Bau Snack Ekstrusi dengan Tepung Putih Telur ………...................... Hasil Uji Perbandingan Rataan Ranking pada Uji Hedonik Bau Snack ………………………………………………….......................
59
Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadapWarna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ………......................
59
Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Mutu Hedonik Warna Snack………………………….............................................................
60
58
xii
23.
Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Rasa Snack Ekstrusi dengan Substitusi Putih Telur ……………………………..
60
Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Mutu Hedonik Rasa Snack …………………………...........................................................
60
Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Daya Lengket Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur …......……….
61
Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Kerenyahan Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ……...............
61
Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Bau Amis Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ………..…....
62
28.
Kandungan Kimia Jagung dan Tepung Putih Telur .............. ...........
62
29.
Hasil Uji Asumsi Kenormalan Data Indeks Penyerapan Air ..............
63
30.
Hasil Uji Asumsi Kebebasan Galat pada Data Indeks Penyerapan Air
63
31.
Ekstruder Ulir Tunggal merk “BALDOR”..........................................
64
24. 25. 26. 27.
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Snack merupakan makanan ringan yang sangat digemari oleh semua kalangan baik dari anak-anak, remaja sampai orang tua. Snack ekstrusi merupakan kelompok snack yang dibuat melalui pemasakan ekstrusi. Proses pembuatan snack ekstrusi yaitu menggunakan alat ekstruder dengan sistem pemasakan ekstrusi dan menghasilkan produk yang bergelembung kering (puff-dry) (Muchtadi et al., 1988). Snack ekstrusi yang beredar di pasaran umumnya memiliki kandungan gizi yang rendah terutama protein. Peningkatan citarasa snack yang ada dipasaran biasanya diberi tambahan flavor misalnya MSG (monosodium glutamat) yang bertujuan meningkatkan rasa gurih. Salah satu usaha untuk meningkatkan kandungan protein dan citarasa snack yaitu dengan mensubstitusi bahan baku snack (jagung) dengan bahan pangan sumber protein diantaranya telur. Telur ayam merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan bahan pangan nabati. Produksi telur ayam ras di Indonesia pada tahun 2006 cukup tinggi yaitu 750.861 ton. Pertumbuhan produksi telur dari tahun 2005 sampai 2006 mencapai 10,24% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Harga telur ayam ras relatif terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Keadaan tersebut memberikan peluang untuk memproduksi produk bahan pangan dari telur sebagai upaya diversifikasi pangan. Bagian telur yang memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu bagian putih telur. Putih telur bisa dibuat menjadi tepung putih telur. Tepung putih telur merupakan hasil dari pengeringan putih telur segar. Pengurangan kadar air dengan proses pengeringan dalam pembuatan tepung putih telur menyebabkan umur simpan putih telur lebih lama. Tepung putih telur bisa ditambahkan dalam pembuatan snack ekstrusi. Bahan baku yang umum digunakan dalam pembuatan snack ekstrusi yaitu jagung. Pemilihan jagung sebagai bahan baku snack karena snack yang dihasilkan memiliki tekstur yang cukup renyah dan mempunyai sifat yang mudah bergelembung (puffing). Jagung memiliki kandungan karbohidrat tinggi yaitu sebesar 68,11% namun kandungan proteinnya rendah hanya sebesar 10,18%. Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan protein dalam snack diantaranya dengan mensubstitusi
xiv
bahan baku snack (jagung) dengan sumber protein lain yaitu tepung putih telur. Substitusi tepung putih telur ke dalam bahan baku snack diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein, memperbaiki sifat fisik snack serta meningkatkan daya terima konsumen terhadap snack. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisik dan organoleptik snack ekstrusi berbahan baku grits jagung yang disubstitusi dengan tepung putih telur.
2 xv
TINJAUAN PUSTAKA Ekstrusi Ekstrusi bahan pangan merupakan proses yang memaksa bahan mengalir dibawah satu atau lebih kondisi operasi seperti pencampuran (mixing), pemanasan dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering (puff-dry) (Muchtadi et al., 1988). Teknologi ekstrusi adalah teknologi pemasakan dalam industri pangan yang berkembang dengan pesat dibandingkan teknologi pengolahan yang lain. Perkembangan yang pesat ini dikarenakan proses ekstrusi memiliki banyak keunggulan seperti bentuk produk yang khas, bervariasi sesuai dengan keinginan serta mutu produk tinggi karena memanfaatkan proses high temperatur short time (HTST). Produk ekstrusi yang banyak dikenal misalnya makanan ringan, makanan pengganti roti (snack food breading substitution), beverages bases (campuran minuman), soup dan makanan campuran (bleended food) (Harper,1981). Proses Ekstrusi Pemasakan ekstrusi digunakan dalam industri pangan untuk pembuatan snack dan makanan sarapan. Penggunaan metode ini untuk memperbaiki pemanfaatan hasil ikutan dalam industri. Proses yang terjadi pada ekstrusi yaitu gelatinisasi, pemasakan,
pemotongan,
pencampuran,
sterilisasi,
pembentukan
dan
penggelembungan, dimana fungsi-fungsi tersebut tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi (Muchtadi et al., 1988).
Pemasakan ekstrusi termasuk proses high
temperature short time (HTST) karena suhu yang digunakan dapat mencapai 200 0C dengan waktu yang singkat, sekitar 5-10 detik sehingga terjadi gelatinisasi pati pada proses tersebut (Harper, 1981). Harper (1981) menyatakan agar diperoleh kerenyahan dan pengembangan produk yang relatif lebih baik, ekstrusi bahan yang berasal dari pati-patian dilakukan pada suhu optimum 1700C dengan tekanan 438 kPa (70 psi) sampai 5516 kPa (800 psi). Kecepatan ulir yang digunakan sebanyak 300 rpm dalam waktu sekitar 10 detik. Proses ekstrusi dipengaruhi oleh ukuran bahan yang akan diekstrusi dan menentukan mudah tidaknya atau cepat lambatnya bahan tersebut masak di
dalam laras
ekstruder. Proses ekstrusi pada umumnya menggunakan bahan yang berpati. Kadar air bahan dapat menentukan kecepatan proses pemasakan dan jenis bahan pangan. xvi
Bahan yang memiliki kandungan amilopektin yang tinggi akan menghasilkan produk yang mengembang, sedangkan kandungan amilosa lebih berperan sebagai pembentuk kerenyahan. Bahan protein yang ditambahkan akan menentukan tekstur produk ekstrudat (Muchtadi et al., 1988). Perubahan Komponen Bahan Pati.
Pati mengalami gelatinisasi pada saat proses ekstrusi (Harper, 1981).
Perubahan karbohidrat pada proses ekstrusi yaitu akan kehilangan sifat kristalinnya, mengalami degradasi molekuler, dan sering membentuk kompleks dengan lemak yang terdapat dalam campuran. Faktor pemotong, suhu, kelembaban dan komposisi bahan berperanan penting bagi perubahan karbohidrat selama proses ekstrusi. Pemotongan menyebabkan karbohidrat mengalami kerusakan mekanik, sedangkan pemanasan dan kelembaban cenderung menyebabkan kehilangan kristalinnya. Kadar kelembaban yang lebih rendah menyebabkan naiknya kekentalan dan kerusakan mekanik yang lebih besar (Muchtadi et al., 1988). Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan polirized microscope. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut birefringence. Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringence akan hilang (Winarno, 2002). Protein. Proses ekstrusi yang menggunakan suhu tinggi menyebabkan protein terdenaturasi (Smith, 1981). Denaturasi menurut deMan (1997) adalah proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutuskan ikatan kovalen. Jenis denaturasi protein menurut Winarno (1992) ada dua yaitu pengembangan rantai peptida yang terjadi pada rantai polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul yang terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder. Mekanisme denaturasi protein yaitu dengan meningkatnya suhu maka molekul protein akan terurai dari bentuk asalnya. Ikatan-ikatan ionik, disulfida, hidrogen dan van der wall’s akan terputus sehingga dihasilkan molekul yang memanjang. Beberapa molekul akan terpisah sesuai sub-unitnya yang bersifat tidak larut,
4 xvii
selanjutnya akan terjadi penggabungan molekul-molekul tersebut membentuk agregat (Harper, 1981). Lemak. Lemak dan minyak pada produk ekstrusi akan mempengaruhi tekstur, rasa dan flavor produk. Lemak bersama pati selama proses ekstrusi membentuk struktur yang baru yaitu kompleks antara amilosa dan monogliserida. Kompleks amilosa dan monogliserida ini akan mempengaruhi kekerasan dan pengembagan snack (Harper, 1981). Mekanisme pembentukan kompleks amilosa dengan monogliserida dapat dilihat pada Gambar 1.
Molekul amilosa Gambar
1.
Molekul monogliserida Kompleks amilosa atau rantai lurus monogliserida
Mekanisme Pembentukan Monogliserida
Kompleks
Amilosa
dengan
Sumber: Harper, 1981
Ekstruder Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi. Ekstruder memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan bahan baku, memasak, teksturasi komponen bahan pangan dengan cepat, berlanjut dan efisien (Harper, 1981). Ekstruder dapat digolongkan atas pengekstrusi pasta dan collet (snack, makanan ringan). Ekstruder umumnya terdiri atas tiga bagian yaitu bagian pengisian (feeding zone), bagian pengadonan (kneading zone) dan bagian pemasakan (cooking zone) (Riaz, 2001). Bagian–bagian ekstruder bisa dilihat pada Gambar 2. Tipe ekstruder berdasarkan jumlah ulirnya terbagi atas ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda (Muchtadi et al., 1988). Cara kerja kedua tipe ulir tersebut dipengaruhi oleh: (a) konfigurasi ulir dan kecepatan putarannya, (b) tekanan balik pada cetakan, serta (c) karakteristik bahan yang akan diekstrusi. Hampir semua energi mekanik dilepas ke bagian ulir yang relatif pendek, sehingga menyebabkan kenaikan suhu ekstruder yang cepat dan mengubah bahan berbentuk butiran menjadi massa yang terplastisasi pada ulir tunggal. Dalam proses ini
akan terjadi xviii 5
pemotongan dengan cepat dan dapat menyebabkan kerusakan mekanik terutama bagi molekul-molekul yang besar. Molekul berukuran besar akan tersusun di dalam medan beraliran. Molekul-molekul tersusun yang mengalami denaturasi tersebut sangat potensial untuk membentuk struktur antar molekul baru yang saling bersilang menjadi produk dengan berbagai tekstur. Molekul makanan yang besar sulit menyusun dirinya dalam aliran yang kental dan akibatnya mudah mengalami kerusakan mekanik karena pemotongan (Muchtadi et al., 1988).
Gambar 2. Ekstruder Ulir Tunggal dan Bagian-bagiannya Sumber : Britannica Encyclopedia Inc., 1996
Ekstruder ulir tunggal yang biasa digunakan dalam industri pangan dibagi dalam lima kelompok, yaitu: (1) ekstruder pasta yang biasa digunakan dalam pembuatan makaroni; (2) ekstruder pembentuk dengan tekanan tinggi untuk membentuk adonan dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi; (3) ekstruder pemasak dengan shear rendah untuk adonan dengan kadar air tinggi; (4) ekstruder collet untuk membuat pangan berbentuk butiran yang bergelembung kering; (5) ekstruder pemasak dengan shear tinggi serupa dengan dengan ekstruder collet, hanya pemakaiannya lebih luas untuk sereal bergelembung, pangan ringan dan pakan ternak (Muchtadi et al., 1988). Operasi pada ekstruder ulir tunggal umumnya masih sederhana. Ekstruder ulir tunggal umumnya tidak disertai dengan unit-unit injeksi air maupun injeksi uap pada bagian larasnya sedangkan ekstruder ulir ganda umumnya memiliki
xix 6
kecanggihan yang lebih tinggi, yaitu larasnya dilengkapi mantel pemanas dan atau pendingin, alat pengukur suhu dan tekanan, lubang untuk penyuntikan air atau uap dan atau penambahan bahan cair seperti minyak atau sirup. Suhu proses ekstrusi dalam ekstruder ulir ganda dapat diatur dan divariasikan (Riaz, 2001). Telur Ayam Telur ayam mengandung zat gizi yang cukup untuk mengembangkan sel yang telah dibuahi menjadi seekor anak ayam (Buckle et al., 1987). Telur ayam telah lama dikonsumsi manusia dan digunakan dalam produksi makanan. Fungsi telur yang penting dalam industri makanan yaitu albumin memiliki kemampuan membuih dan kuning telur bersifat emulsifier. Perlakuan panas menyebabkan perubahan struktur protein putih telur dan lipoprotein kuning telur yang menghasilkan perubahan fungsional seperti daya mengikat air, udara atau minyak (Yamamoto et al., 1997). Komponen pokok telur adalah kulit telur, putih telur dan kuning telur (Buckle et al., 1987). Kerabang telur terdiri dari empat lapisan yaitu kutikula, spongiosa (bunga karang), mamilaris dan membran kuning telur. Kerabang telur terdiri dari dua bahan yang berbeda yaitu matriks organik dan garam-garam anorganik dengan perbandingan 1:5. Matriks organik adalah serabut-serabut protein yang terjalin membentuk jala, sedangkan bahan-bahan anorganik yang berbentuk kristal diikat dalam jala-jala tersebut. Garam-garam anorganik antara lain garam-garam kalsium, garam fosfat dan garam karbonat. (Stadelman dan Cotteril, 1995). Total kerabang dalam telur utuh yaitu sebesar 11% (William, 2001). Kuning telur dilapisi oleh membran vitelin. Total padatan dalam kuning telur sebesar 50%. Besarnya total padatan dipengaruhi oleh umur ayam dan lamanya penyimpanan (Stadelman dan Cotteril, 1995). Putih telur yang terkandung dalam telur yaitu sebesar 58% (William, 2001). Struktur telur dapat dilihat pada Gambar 3.
7xx
Gambar 3. Struktur Telur Sumber: Buckle et al., 1987
Protein telur mempunyai mutu yang tinggi, karena memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap (Yamamoto et al., 1997). Protein telur menurut deMan (1997) merupakan protein berkualitas terbaik dan dianggap mempunyai nilai biologis yaitu 100. Bahan yang paling banyak dalam putih telur yaitu air, sedangkan dalam kuning telur yaitu lemak. Komposisi kimia telur ayam ras dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram Bahan) Unsur Gizi
Telur Utuh
Kuning Telur
Putih Telur
Kalori
150Kkal
353Kkal
45Kkal
Air
75%
49%
88%
Protein
12%
18%
12%
Lemak
10%
29%
-
Karbohidrat
2%
Sangat sedikit
Sangat sedikit
Sumber: Parker, 2003
Putih Telur Putih telur dibentuk dari beberapa lapisan yang berbeda kekentalannya, yang terdiri atas lapisan tebal hingga lapisan encer (Brown, 2000). Empat bagian utama putih telur yaitu lapisan putih telur yang encer bagian luar, lapisan putih telur yang kental, lapisan putih telur encer bagian dalam dan lapisan kalaza. Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh kalaza, yaitu serabut–serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin. Struktur putih telur dibentuk oleh serabut-
xxi 8
serabut protein yang terjalin membentuk jala yang disebut ovomucin, sedangkan bagian yang cair diikat kuat di dalamnya menjadi bagian kental (Romanoff dan Romanoff, 1963). Komposisi Putih Telur. Putih telur yang terkandung di dalam telur sekitar 56- 61 % dan dibentuk dari sebagian besar air dan protein (Brown, 2000). Karbohidrat yang terdapat dalam putih telur dapat dalam bentuk bebas maupun berikatan dengan protein membentuk glikoprotein. Sejumlah karbohidrat umumnya terdapat sebagai glukosa sebanyak 0,4% dari total putih telur dan 0,5% dari putih telur terdapat dalam bentuk glikoprotein yang mengandung unit- unit galaktosa dan manosa (Romanoff dan Romanoff, 1963). Perbedaan kekentalan putih telur disebabkan oleh perbedaan kandungan airnya. Selama penyimpanan bagian putih telur paling mudah rusak karena banyak mengandung air. Kerusakan ini terjadi terutama disebabkan oleh keluarnya air dari jala-jala ovomucin yang berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur (Belitz dan Grosch, 1986). Protein dan air merupakan komponen terbesar putih telur. Protein putih telur terdiri dari protein serabut yaitu ovomucin dan protein globular yaitu ovalbumin,
conalbumin,
ovomucoid,
lyzozyme,
flavoprotein,
ovoglobulin,
ovoinhibitor, dan avidin (Stadelman dan Cotteril, 1995). Sifat– sifat Protein Putih Telur. Putih telur merupakan campuran protein yang memiliki kemampuan buih yang tinggi dan setiap komponennya mempunyai fungsi yang spesifik. Fraksi putih telur yaitu globulin memudahkan terbentuknya buih (Plancken et al., 2006). Fraksi protein putih telur yang lainnya, seperti conalbumin, lysozyme, ovomucin dan ovomucoid sendiri mempunyai kemampuan membuih yang rendah. Ovotransferin, lysozyme dan ovomucoid juga berperan dalam pembentukan buih (Davis dan Reeves, 2002). Protein putih telur memiliki karakteristik untuk membentuk gel, membuih dan mengemulsi (Plancken et al., 2006). Jenis sifat dan karakteristik putih telur dapat dilihat pada Tabel 2.
9 xxii
Tabel 2. Jenis dan Karakteristik Protein Putih Telur Jenis
Jumlah (%)
Ovalbumin
54,0
Titik Suhu Karakteristik Isoelektrik Denaturasi (oC) 4,5 84,5 Membentuk gel
Conalbumin
13,0
6,1
61,5
Mengikat Fe (logam lain)
Ovomucoid
11,0
4,1
70,0
Menghambat tripsin
Lysozyme
3,5
10,7
75,0
Menguraikan bakteri
G2- globulin
4,0
5,5
92,5
G3- globulin
4,0
5,8
Ovomucin
1,5
4,5 – 5,0
Pembentuk buih baik Pembentuk buih baik Mempengaruhi kekentalan
Flavoprotein
0,8
4,1
Mengikat riboflavin
Ovoglikoprotein
0,5
3,9
Sialoprotein
Ovomakroglobulin
0,5
4,5-4,7
Ovoinhibitor
0,1
5,2
Avidin
0,05
9,5
yang yang
Menghambat beberapa protease Mengikat biotin
Sumber : Belitz dan Grosch, 1999
Putih telur selain mengandung protein juga mengandung sedikit gula. Gula dalam putih telur dapat menyebabkan perubahan warna dan pembentukan bau selama penyimpanan. Penghilangan gula (desugarisasi) dari putih telur yang akan dikeringkan dapat menggunakan enzim atau melakukan fermentasi (Vail et al., 1978). Putih telur yang telah difermentasi tersebut akan menyisakan albumen yang disebut albumen terstabilisasi (Matz dan Matz, 1978). Komposisi telur kering dapat dilihat pada Tabel 3.
10 xxiii
Tabel 3. Komposisi Telur Kering (Nilai dalam %) Komposisi
Telur Utuh Kering
Putih Telur Kering
Kuning Telur Kering 5,0
Kelembabana
5,0
8,0
Lemakb
40,0
terbatas
57,0
Proteinb
45,0
80,0
30,0
Abu
3,7
5,7
3,4
Gula
0,1
0,1
0,1
Keterangan: a Nilai maksimum b Nilai minimum Sumber: Belitz dan Grosch (1986)
Pasteurisasi Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu (Fardiaz, 1992). Tujuan dari perlakuan pasteurisasi pada putih telur adalah untuk membunuh bakteri patogen yang terdapat pada putih telur, terutama Salmonella (Stadellman dan Cotterill, 1955). Pasteurisasi yang dilakukan terhadap putih telur menggunakan metode HTST (high temperature short time). Suhu yang digunakan dalam pasteurisasi putih telur yaitu 60OC selama 3,5 menit (FSIS-USDA, 2005). Pasteurisasi putih telur pada suhu 61,5oC bisa membunuh mikroorganisme yang membahayakan tanpa menyebabkan denaturasi putih telur yang tidak diinginkan (William, 2001). Desugarisasi Gula glukosa yang terkandung dalam putih telur akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard selama proses pengeringan, sehingga akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan seperti bau, citarasa, warna, ketidaklarutan dan pengurangan daya buih pada produk tepung putih telur (Buckle et al., 1987). Desugarisasi putih telur menggunakan ragi Sacharomyces cerevisiae pada konsentrasi 0,2-0,4 % dari berat putih telur segar serta inkubasi pada suhu 22-230C selama 2-4 jam dapat mengkonversi gula pereduksi secara sempurna serta menghasilkan produk akhir yang bebas dari ”yeast flavor” (Stadelman dan Cotterill, 1995). Desugarisasi dapat memperbaiki sifat buih dan pH akan menurun sampai 6 sehingga mampu terjadi reaksi enzimatik (Lechevalier et al., 2007). Desugarisasi
xxiv 11
akan mencegah reaksi Maillard, penyimpangan bau dan cita rasa, ketidaklarutan dan pengurangan daya fungsional (Buckle et al., 1987). Pengeringan Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air pada bahan sampai pada batas agar mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Pengeringan telur memiliki beberapa keuntungan yaitu; (1) mengurangi dan mempermudah ruang penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang daya simpan, dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963; Bergquist,1964). Metode pengeringan yang dapat digunakan untuk membuat tepung telur terdiri dari empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), foaming drying, pengeringan secara lapis (pan drying), dan pengeringan beku (freeze drying). Pengeringan putih telur umumnya menggunakan metode pan drying. Metode pan drying merupakan metode yang mudah dilakukan dan memerlukan biaya yang lebih murah. Pengeringan ini dilakukan dengan menggunakan oven dengan suhu berkisar antara 45-500 C (Bergquist,1964). Pengeringan bahan dengan ketebalan lapisan 6 mm pada suhu 40-450 C membutuhkan waktu selama 22 jam sampai diperoleh produk kering dengan kadar air 5% (Romanoff dan Romanoff, 1963). Pengeringan busa (foaming drying) digunakan untuk bahan cair yang dapat dibusakan. Tujuan pembusaan bahan tersebut adalah untuk memperluas permukaan dan mempercepat proses pengeringan. Metode pengeringan freeze drying merupakan proses pengeluaran air dari satu produk dengan cara sublimasi dari bentuk beku atau es menjadi uap atau gas (Aman et al.,1992). Pengeringan semprot (spray drying) biasanya digunakan dalam membuat tepung telur dan tepung kuning telur (Bergquist, 1964). Produk yang dihasilkan dari proses pengeringan putih telur adalah berupa remah (flake) putih telur dan tepung putih telur. Kedua bentuk ini dapat dihasilkan dengan metode pan drying, sedangkan pada spray drying hanya berupa tepung putih telur. Kadar air remah (flake) putih telur sekitar 12,16% dengan pH 4,5–7,0, dan kadar air tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode pan drying sekitar 6– 14%. Tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode pan drying adalah sekitar
xxv 12
4–8 % (Stadellman dan Cotterill, 1995). Syarat mutu tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat Mutu Tepung Putih Telur (SNI 01-4323-1996) Jenis Uji Satuan Persyaratan pH
-
6,5-7,5
Kadar Air
% b/b
Maksimal 8
Kadar Abu Total
% b/b
Maksimal 5
Kadar Protein
%b/b
Minimal 75
Kadar Lemak
% b/b
Maksimal 1
Gula Pereduksi
% b/b
Maksimal 0,5
Total Bakteri
Koloni/g
Maksimal 1,0 x 103
Sumber: BSN, 1996
Jagung Definisi jagung menurut SNI 01-3920-1995 adalah jagung pipilan hasil tanaman jagung berupa biji kering yang telah dilepaskan dan dibersihkan dari tongkolnya (DSN, 1995). Komponen dasar biji jagung secara kimiawi terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Pati merupakan karbohidrat utama dalam jagung. Granula pati jagung umumnya mengandung amilosa (27%) dan amilopektin (73%). Total gula pada biji jagung adalah 1-3 %. Fraksi-fraksi protein jagung terdiri atas albumin (3,2%), globulin (1,5%), prolamin atau zein (47,2%) dan glutein (35,1%) (Muhadjir,1988). Ahza (1996) menjelaskan bahwa untuk membuat berasan jagung (grits), biji jagung umumnya diolah dengan proses giling kering sehingga terpisahkan bagian lembaganya (germ), kulit ari dan dedak dari bagian endosperm yang hasil akhirnya akan dibuat menjadi butiran jagung (grits). Pembuatan snack biasanya ditambahkan grits jagung untuk meningkatkan kerenyahan selain itu juga grits jagung mempunyai kandungan gizi yang cukup baik untuk membuat produk snack tersebut (Harper, 1981). Kandungan gizi dari grits jagung dapat dilihat pada Tabel 5.
13 xxvi
Tabel 5. Kandungan Gizi Grits Jagung Komposisi
Nilai (%)
Air
13,0-14,5
Protein
6,5-8,0
Abu
0,2-0,3
Lemak
0,5-1,0
Serat
0,2-0,4
Karbohidrat
75,8-79,6
Sumber: Harper, 1981
Jenis jagung yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jagung putih varietas “Bayu”. Jagung varietas “Bayu” termasuk jenis jagung putih. Jagung putih adalah jagung yang terdiri sekurang-kurangnya 90% biji berwarna putih dan sebanyakbanyaknya 10% jagung berwarna lain (BSN, 1995). Granula Pati Pati terdapat dalam sel tanaman dalam bentuk partikel-partikel yang larut dalam air yang disebut granula. Granula pati merupakan susunan dari molekul yang berstruktur linier dan bercabang membentuk radial dalam sel yang konsentrik dan membentuk cincin atau lamela. Penampakan cincin atau lamela pada granula pati diduga sebagai akibat adanya pelapisan molekul-molekul pada granula (Banks et al., 1973). Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorfous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorfous bersifat labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorfous dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan. Ukuran granula pati bervariasi mulai dari 1mikron sampai 150 mikron, tergantung sumber patinya (Muchtadi et al., 1988). Struktur Molekul Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung panjang rantai karbonnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yaang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1992).
14 xxvii
Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa. Sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya, setiap cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa (Smith, 1982). Dibandingkan amilopektin,
amilosa lebih tahan
terhadap terhadap kerusakan mekanik selama berada di dalam aliran alat ekstrusi, juga diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk menambah kelarutannya. Biasanya produk yang beramilosa tinggi akan lebih rapat, lebih keras dan kurang mengembang secara radial ketika diekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Sruktur molekul amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4 (a) dan (b).
n
(a) 1,6 linkage
,4lin 1 a k e g
(b)
Gambar 4. Struktur molekul (a) amilosa dan (b) amilopektin Sumber: Swinkels, 1985
Sifat Fisik Snack Snack adalah makanan ringan yang dimakan dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari (Muchtadi et al., 1988). Snack terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pertama yaitu snack tanpa pengolahan lebih lanjut seperti keripik kentang, singkong dan ”crackers”. Kelompok kedua yaitu snack yang mengalami proses lebih lanjut setelah keluar dari ekstruder yaitu pemotongan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan pengeringan untuk menurunkan kadar air. Kelompok ketiga yaitu snack yang setelah diekstrusi masih memerlukan pengolahan lanjut seperti pengeringan dan penggorengan (Harper, 1981). Snack ekstrusi dibedakan dua macam berdasarkan bahan baku yang digunakan. Kelompok pertama yaitu snack yang menggunakan satu bahan utama 15 xxviii
seperti jagung atau beras yang hanya ditambahkan garam, gula dan bumbu penyedap lainnya. Kelompok kedua adalah snack yang menggunakan bahan dasar dan bahan tambahan lainnya yang dicampur untuk memperoleh produk ekstrusi yang mempunyai nilai gizi yang baik, daya cerna dan mutu fisik atau organoleptik yang lebih tinggi. Protein hewani dapat dijadikan sebagai sumber protein alternatif pada makanan ringan produk ekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Syarat mutu makanan ekstrudat berdasarkan SN1 01-2886-2000 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Syarat Mutu Makanan Ringan Ekstrudat (SNI 01-2886-2000) Jenis Uji Satuan Persyaratan Bau
-
Normal
Rasa
-
Normal
Warna
-
Normal
Kadar Air
% b/b
Maksimal 4
Kadar Lemak Tanpa Proses Penggorengan
% b/b
Maksimal 30
Angka Lempeng Total
Koloni/g
Maksimal 1,0x 104
Kapang
Koloni/g
Maksimal 50
E.coli
Koloni/g
Negatif
Sumber: BSN, 2000
Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik tekstur produk yang diekstrusi yaitu bahan-bahan yang digunakan, suhu, kecepatan ulir dan kelembaban. Muchtadi et al. (1988) menjelaskan bahwa protein yang dihidrolisis dengan enzim menghasilkan produk bertekstur yang integritas strukturnya mudah lepas bila dipanaskan. Hal ini menunjukkan efek yang merugikan bagi tekstur suatu produk yang ukuran molekulnya diperkecil. Protein dengan bobot molekul lebih rendah menghasilkan hasil ekstrusi dengan kualitas tekstur yang jelek, hal ini dapat terjadi bila bahan tersebut mengalami pemotongan mekanik berlebihan selama berada didalam ulir atau cetakan. Peningkatan konsentrasi protein akan mempermudah pembentukan tekstur dan memperbanyak ikatan silang. Molekul-molekul karbohidrat yang rusak akibat pemanasan dan kelembaban yang rendah kurang bersifat kohesif dibandingkan karbohidrat yang tergelatinisasi yang tidak rusak. Hal ini menyebabkan molekul-molekul tersebut kurang mengembang, sehingga menghasilkan produk
16 xxix
berpori-pori lebih kecil, tekstur lebih lunak, lebih mudah larut dan lengket bila dikonsumsi. Hasil analisis proksimat pada snack ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Analisis Proksimat pada Snack Ekstrusi Tepung Putih Telur Komposisi
0%
5%
10%
15%
20%
---------------------------------------------%-------------------------------------Kadar Air
2,34±0,23
2,49±0,18
2,43±0,10
2,69±0,23
2,41±0,16
Lemak
3,57±0,18a
3,79±0,18
4,49±0,21
4,85±0,05
4,99±0,09
Protein
8,73±0,43a
13,28±0,07
17,79±0,84
20,17±0,41
23,82±0,17
Sumber: Budiman, 2008 Proses utama yang dialami oleh bahan pangan pati-patian yang diekstrusi adalah adanya perlakuan suhu tinggi yang akan mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi. Granula pati akan mengembang dalam air hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Muchtadi et al., 1988). Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 5. Suhu gelatinisasi merupakan suatu kisaran suhu dimana proses gelatinisasi berlangsung dari awal sampai berakhir sempurna. Kisaran suhu gelatinisasi pada umumnya dibagi dalam tiga titik suhu yaitu suhu awal (To), suhu puncak (Tp) dan suhu akhir gelatinisasi (Tc). Suhu gelatinisasi pati merupakan sifat khas untuk masing-masing pati. Suhu gelatinisasi ini diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula telah kehilangan sifat kristalnya. Suhu gelatinisasi jagung yaitu suhu awal 67oC, suhu puncak 78oC, dan suhu akhir yaitu 95oC. Peleburan granula pati terjadi pada suhu yang lebih tinggi diatas suhu gelatinisasinya (Muchtadi et al., 1988). Derajat gelatinisasi merupakan rasio antar pati tergelatinisasi dengan total pati (Wooton et al., 1971). Kesempurnaan gelatinisasi pati pada produk ekstrusi perlu dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana pati siap dan mudah dicerna oleh tubuh. Kesempurnaan gelatinisasi pati secara umum dipengaruhi oleh kadar air dan suhu proses. Gelatinisasi mudah terjadi pada sistem larutan dengan rasio air berbanding pati yang tinggi (Muchtadi et al., 1988). 17 xxx
Granula pati mentah yamg terdiri atas amilosa (helix) dan amilopektin (bercabang-cabang)
Penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang
Penambahan panas dan air yang berlebihan akan menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai terdifusi keluar granula
Granula hampir hanya mengandung amilopektin saja dan terperangkap dan terlihat dalam struktur matriks amilosa, membentuk suatu sel Gambar 5. Mekanisme Gelatinisasi Pati Sumber: Harper, 1981
Perlakuan ekstrasi lemak akan berpengaruh nyata terhadap proses gelatinisasi. Protein dan lemak akan menghambat proses gelatinisasi pati. Tingginya kadar protein dan lemak akan menurunkan derajat gelatinisasi yang juga akan menurunkan derajat pengembangan (Apsari, 2006). Karakteristik lain dari produk-produk ekstrusi adalah adanya fenomena puffing, yaitu terjadinya pengembangan volume. Pengembangan volume ini dapat dinyatakan dengan rasio pengembangan. Rasio pengembangan terutama tergantung dari gelatinisasi pati (Muchtadi et al., 1988). Derajat gelatinisasi yang semakin tinggi diikuti dengan derajat pengembangan yang semakin tinggi pula (Harper, 1981). Pengembangan produk dipengaruhi juga oleh kandungan amilosa dan amilopektin. Kandungan amilopektin yang lebih tinggi menyebabkan produk menjadi lebih mengembang, sedangkan produk dengan amilosa yang lebih tinggi mempunyai
xxxi 18
pengembangan yang terbatas. Kandungan amilosa lebih dari 50% menyebabkan produk kurang mengembang (Harper, 1981). Kandungan lemak yang cukup tinggi akan mempengaruhi pengembangan produk yang dihasilkan. Lemak akan berikatan dengan molekul amilosa dan amilopektin sehingga produk yang seharusnya mengembang akan terhambat pengembangannya dan mengurangi kerenyahan (Muchtadi et al., 1988). Mekanisme pengembangan snack ekstrusi dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan: a= ekstruder, b= produk ekstrusi, c= granula pati
Gambar 6. Mekanisme Pengembangan Snack Ekstrusi Sumber: Harper, 1981
Mekanisme pengembangan produk ekstrusi yaitu adonan dalam ulir akan mengalami proses hidrasi, denaturasi dan proses melebur menjadi bahan kental yang terplastisasi. Hal ini terjadi karena adanya panas yang dialirkan melalui pelepasan energi mekanik dari perputaran ulir. Adanya tekanan yang tinggi pada ekstruder menyebabkan produk dipaksa keluar melalui lubang die yang kecil, maka akan terjadi pengembangan produk (puffing). Pengembangan produk ditandai dengan mengembangnya molekul-molekul pati. Molekul pati yang pecah akan menyebabkan penyusutan produk (Harper, 1981). Definisi kekerasan menurut deMan (1997) ialah ketahanan terhadap deformasi atau gaya untuk menghasilkan deformasi tertentu. Kekerasan snack ekstrusi dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin. Amilopektin mempengaruhi pengembangan produk, kecerahan dan menyebabkan produk menjadi mudah pecah
xxxii 19
atau hancur. Produk dengan amilosa yang tinggi cenderung lebih keras. Penambahan lemak atau minyak kedalam produk ekstrusi dapat menurunkan kekerasan produk dan meningkatkan plastisitas ketika produk keluar dari ekstruder (Harper, 1981). Muchtadi et al. (1988) menjelaskan bahwa molekul-molekul protein dan karbohidrat keduanya disusun dan saling berikatan silang selama mengalir melalui pengekstrusi. Ikatan antar molekul saling bersilang pada karbohidrat terbatas pada hidrofobik dan ikatan hidrogen, sehingga tekstur dan struktur akhirnya mudah dipecah oleh air. Protein dapat saling bersilang lebih kuat melalui ikatan kovalen dan ikatan ionik, sehingga mempunyai tekstur yang lebih tahan bila diproses lebih lanjut. Indeks kelarutan air menunjukkan jumlah partikel produk yang dapat larut dalam air. Indeks penyerapan air merupakan jumlah air yang dapat diserap per gram sampel yang diukur setelah sampel disentrifugasi dan supernatan dihilangkan (Harper, 1981). Nilai indeks penyerapan air tergantung pada ketersediaan grup-grup hidrofilik pada makromolekul yang dapat mengikat molekul-molekul air dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin tinggi derajat gelatinisasi maka nilai IPA akan meningkat (Gomez dan Aguilera, 1983). Pemasakan ekstrusi akan menyebabkan terjadinya pemecahan granula pati dan menyebabkan peningkatan indeks kelarutan air (Matz, 1984). Kandungan protein dalam produk dapat mempengaruhi kelarutan produk dalam air. Kandungan bagian asam amino polar yang tinggi dalam protein dapat meningkatkan kelarutannya dalam air. Rantai samping asam amino yang paling polar ialah rantai samping asam amino basa dan asam amino asam. Asam-asam amino ini terdapat dalam albumin yang dapat larut dalam air. Protein dalam jagung yaitu zein termasuk kedalam prolamin. Prolamin dapat larut dalam alkohol 50-90% dan tidak larut dalam air (deMan, 1997). Penilaian Sensori Penilaian sensori dengan menggunakan uji penerimaan adalah salah satu cara untuk mengetahui penerimaan dan penilaian panelis terhadap suatu produk. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sifat sensorik atau kualitas yang
xxxiii 20
dinilai. Jenis uji yang termasuk kelompok uji penerimaan ini yaitu uji kesukaan (hedonik) dan mutu hedonik (Soekarto, 1985). Uji kesukaan disebut juga uji hedonik. Dalam uji hedonik panelis diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, tidak suka dan sangat tidak suka. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut skala yang dikehendaki. Skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan. Uji kesukaan umumnya menggunakan panel tidak terlatih. Panelis yang diperlukan yaitu lebih dari 25 orang (Soekarto, 1985). Uji mutu hedonik adalah uji hedonik yang lebih spesifik untuk suatu jenis mutu tertentu. Tujuan dari uji mutu hedonik yaitu ingin mengetahui respon terhadap sifa-sifat produk yang lebih spesifik. Skala hedonik pada uji mutu hedonik sesuai dengan tingkat mutu hedonik. Data penilaian pada uji mutu hedonik dapat ditransformasi dalam skala numerik dan selanjutnya dapat dianalisis statistik untuk interpretasinya (Soekarto, 1985). Cita-rasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen yaitu: aroma, rasa dan rangsangan dalam mulut. Aroma atau bau menentukan kelezatan suatu bahan agar dapat diterima atau ditolak panelis. Aroma merupakan molekul gas yang dihirup oleh hidung sehingga dapat ditentukan bahan pangan tersebut enak (Winarno, 1992). Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan penerimaan atau penolakan suatu bahan pangan oleh panelis. Rasa dapat dinilai sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang berasal dari cairan kimia dalam suatu bahan pangan yang memberi kesan manis, pahit, asam dan asin (Soekarto, 1990). Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa lain. Penilaian mutu makanan bergantung dari cita-rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Secara penglihatan faktor warna akan lebih dulu dipertimbangkan dan ditentukan (Winarno, 1992). Warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan (deMan, 1997). Penilaian warna suatu makanan melibatkan organ mata dan objek (makanan) yang merefleksikan cahaya (Lyon dan Lyon, 2001).
xxxiv 21
Bumbu- bumbu Bumbu-bumbu atau rempah-rempah merupakan bahan asal tumbuhan yang dicampurkan kedalam berbagai makanan dan berfungsi membentuk cita rasa dan membangkitkan selera makan. Garam berfungsi meningkatkan citarasa dan penambah rasa enak pada produk, sedangkan gula berfungsi sebagai pemanis pada produk.(Buckle et al., 1987). Bawang putih (Allium sativum) dapat meningkatkan aroma dan citarasa produk yang dihasilkan (Wong, 1989). Merica atau lada biasa ditambahkan dalam makanan. Lada memiliki sifat penting yaitu pedas dan aromanya khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimiawi organik yang terdapat dalam lada tersebut. Rasa lada yang pedas disebabkan adanya zat piperin dan piperanin serta khavisin yang merupakan persenyawaan dari piperin dan alkaloida (Rismunandar, 1998).
22 xxxv
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium pengolahan pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, serta di SEAFAST (South East Asia Food and Agriculture Study Center) Center Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu dari bulan Agustus sampai Nopember 2007. Materi Bahan utama yang digunakan adalah telur ayam ras, jagung varietas ”Bayu” (jagung putih), minyak goreng, ragi Sacharomyces sp., garam bubuk, lada bubuk, gula,dan bawang putih bubuk. Bahan untuk uji sifat fisik adalah aquadest, HCl 0,5 M, iodium, dan snack ”Cheetos”. Bahan untuk penilaian organoleptik yaitu plastik LDPE (low density polyethylene), kertas label, format uji dan air minum. Peralatan yang digunakan untuk membuat tepung putih telur adalah loyang, wadah, oven, grinder, dan pengaduk. Peralatan yang digunakan untuk membuat snack ekstrusi adalah grits mill, wadah bertutup dan ekstruder. Peralatan untuk analisis fisik adalah jangka sorong, rheoner, alat sentrifuse, waring blender, vibrator, cawan, oven, tabung, dan timbangan digital. Peralatan untuk penilaian organoleptik yaitu piring kecil, gunting dan gelas. Rancangan Percobaan Perlakuan Perlakuan yang digunakan yaitu substitusi tepung putih telur sebanyak 0%, 5%, 10%, 15 %, dan 20% ke dalam formula adonan snack. Dilakukan sebanyak tiga periode pembuatan snack. Model dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak kelompok dengan tiga kali periode pembuatan snack sebagai kelompok. Adapun model rancangan percobaan untuk rancangan acak kelompok sebagai berikut : Yij = μ + ιi + βj + εij Keterangan : xxxvi
Yij
= variabel yang dianalisa
μ
= nilai tengah umum
ι
= efek perlakuan (konsentrasi tepung putih telur 0%, 5%, 10%, 15%, 20%)
βj
= Pengaruh Kelompok ke-j
εij
= galat percobaan perlakuan ke-i
i
= jumlah unit
j
= unit pengelompokan Data sifat fisik yang diperoleh selanjutnya disusun tabulasi. Data kemudian
dilakukan uji asumsi yaitu uji kehomogenan ragam, kenormalan data dan kebebasan galat menggunakan software Minitab 14. Data yang memenuhi asumsi diolah menggunakan uji parametrik yaitu analisis keragaman (ANOVA). Hasil analisis yang menunjukkan ada perbedaan, dilakukan uji Tukey untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda dengan menggunakan software Statistix 8. Data yang tidak memenuhi asumsi diuji dengan uji non parametrik yaitu uji Friedman. Uji statistik yang digunakan untuk uji organoleptik ini adalah uji KruskalWallis. Data diolah menggunakan software Minitab 14. dan Statistix 8. Persamaan statistik non parametrik Kruskal-Wallis yaitu sebagai berikut: H= 12/N(N+1) x ∑ Ri2 / Ni – 3 (N+1) Keterangan: Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i Ni = Jumlah pengamatan dalam perlakuan ke-i N = Jumlah Total pengamatan Uji lanjut yang digunakan yaitu uji beda rataan ranking menurut Hollander dan Wolfe (1973). Rumus yang digunakan yaitu: |Ri- Rj| ≤ Zα (K(N+1) / 6) 0,5 Keterangan: Ri = Rataan ranking pada perlakuan ke-i Ni = Rataan ranking pada perlakuan ke-j
xxxvii 24
Zα = nilai Z untuk pembanding lebih dari 2 rata-rata (0,05 dan 0,01) N = Jumlah total pengamatan (∑panelis x ∑ sampel) K = Jumlah taraf dalam perlakuan Jika nilai |Ri- Rj| ≤ Zα (K(N+1) / 6) 0,5 maka perlakuan Ri dan Rj dikatakan berbeda pada taraf α. Peubah Derajat Gelatinisasi (Metode Spektrofotometer). Persiapan contoh dilakukan dengan menghaluskan produk sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0,5 ml HCl 0,5 M dan dijadikan 10 ml dengan
aquades. Salah satu tabung duplo tersebut
ditambah 0,1 ml larutan iodium, kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit lalu disentrifuse (suhu ruang, 15 menit) kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0,5 ml HCl dan dijadikan 10 ml dengan aquades. Salah satu tabung duplo tersebut ditambah 0,1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Pengamatan dilakukan sebagai berikut : 1) Larutan yang ditambah HCl, sebagai blanko (standar) larutan pati yang tergelatinisasi. 2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan dan larutan iodium, sebagai larutan pati yang tergelatinisasi 3) Larutan bahan ditambah NaOH dan HCl sebagai larutan standar untuk total pati dalam bahan makanan 4) Larutan ditambah NaOH,
HCl dan iodium dihitung sebagai larutan total pati
dalam bahan makanan. derajat gelatinisasi dihitung dengan:
25 xxxviii
derajat gelatinisasi (%) =
A1 × 100% A2
Dimana, A1= nilai absorbansi pati tergelatinisasi A2 = Nilai absorbansi dari total pati Derajat Pengembangan (Zullichem, 1975, yang disitir oleh Lingko et al., 1981). Derajat pengembangan ditentukan dengan rumus : Derajat pengembangan (%) =
Diameter Produk (mm) Diameter Ekstruder
X 100%
Pengukuran diameter produk dilakukan sebanyak 6 kali ulangan dengan menggunakan jangka sorong. Kekerasan. Kekerasan snack merupakan kemampuan snack untuk pecah dengan adanya tekanan. Penentuan derajat kekerasan ini yaitu menggunakan alat rheoner. Probe yang digunakan merupakan probe yang dapat menekan snack sampai dengan snack pecah. Beban yang digunakan 1 volt, test speednya 1 mm/s, chart speednya 40 mm/menit. Diameter silinder probe 3 mm. Contoh diletakkan pada probe outputnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (g) dan waktu (s). Nilai kekuatan snack ditunjukkan pada puncak kurva dengan satuan gram force (gf). Indeks Penyerapan Air (IPA dan Indeks Kelarutan Air (IKA) (Modifikasi Anderson et al., 1984 yang disitir oleh Melianawati, A., 1998). Sebanyak Tiga gram sampel dalam bentuk tepung dengan ukuran 60 mesh dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Kemudian Aquades sebanyak 30 ml ditambahkan dan diaduk dengan menggunakan vibrator sampai semua bahan terdispersi merata. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang ke dalam wadah lain, sedangkan tabung sentrifuse beserta residunya dipanaskan dalam oven. Tabung diletakkan dengan posisi miring (250) dan oven diatur pada suhu 500C selama 25 menit, akhirnya tabung sentrifuse ditimbang untuk menentukan berat residunya. Supernatan yang diperoleh lalu diambil contoh sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 1100C selama 24 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang sebagai bahan kering yang terlarut supernatan. Indeks absorbansi air ditentukan oleh persamaan : 26xxxix
Berat tabung dan residu setelah dikeringkan– berat tabung dan sampel awal IPA (ml/g) = Berat contoh Indeks kelarutan air ditentukan oleh persamaan: Berat cawan setelah dikeringkan dengan oven – berat cawan IKA (g/ml)
= 2 ml
Penilaian Sensori. Penilaian sensori dilakukan dengan menggunakan uji hedonik dan uji mutu hedonik. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan tanpa membandingkan antar sampel pada uji hedonik. Parameter produk yang diujikan meliputi rasa, warna, kerenyahan, daya lengket produk dalam mulut dan bau. Skala pada uji hedonik yang digunakan 1-5 dengan urutan sangat tidak suka, tidak suka, agak suka, suka dan sangat suka. Uji hedonik melibatkan 80 panelis tidak terlatih, sedangkan pada uji mutu hedonik melibatkan 50 panelis yang agak terlatih. Panelis diberi penjelasan sebelum mengisi pada uji hedonik yaitu: (a) kriteria rasa panelis menilai dengan mengecap produk, (b) kriteria kerenyahan panelis menilai dengan mengigit produk, (c) kriteria warna panelis menilai dengan indra penglihatan. Sebelum pengujian mutu hedonik snack, panelis diberi pengarahan mengenai standar mutu untuk warna, rasa gurih, kerenyahan, daya lengket produk dalam mulut dan bau amis telur. Prosedur Penelitian dilakukan dengan membuat tepung putih telur menggunakan metode pengeringan oven (pan drying) dilanjutkan dengan membuat snack yang berbahan baku grits jagung yang disubstitusi tepung putih telur sebesar 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Snack yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik dan sensori.
xl27
Pembuatan Tepung Putih Telur (Puspitasari, 2006) Telur diseleksi kemudian ditimbang menggunakan timbangan digital. Kerabang telur kemudian dibersihkan menggunakan air hangat yang suhunya sekitar 30-40oC. Suhu tersebut sangat efektif untuk menghilangkan kotoran ayam yang menempel di kerabang, sedangkan jika suhu air yang digunakan terlalu tinggi akan merusak sifat fungsional telur. Proses ini dilakukan secara hati-hati untuk menghindari telur pecah. Telur yang telah dibersihkan disimpan dalam suatu wadah (baskom) kemudian dilakukan pemisahan putih telur dan kuning telur. Proses ini dilakukan secara hati-hati untuk menghindari masuknya kuning telur ke wadah khusus putih telur, jika kuning telur masuk ke dalam wadah putih telur maka akan mempengaruhi komposisi gizi tepung putih telur yang dihasilkan. Persentase putih telur yang dihasilkan dari total telur yang digunakan dari penelitian ini yaitu sebesar 57,5%. Persentase putih telur ini telah sesuai dengan Brown (2000) yang menyebutkan bahwa komposisi putih telur dalam telur sebesar 56- 61%. Pasteurisasi putih telur dilakukan dengan cara double wall yaitu menggunakan dua buah panci. Panci yang berukuran lebih kecil digunakan sebagai tempat putih telur dan panci yang berukuran besar diisi air kemudian dimasukkan panci tempat putih telur. Metode ini dilakukan untuk meghindari penggumpalan putih telur karena penyebaran panas berlangsung secara merata melalui sistem konduksi dan konveksi. Pasteurisasi dilakukan selama 3 menit pada suhu 62oC bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen, terutama Salmonella yang sering terdapat pada telur. Suhu pasteurisasi diusahakan konstan karena jika suhu terlalu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein pada putih telur. Telur yang sudah dipasteurisasi kemudian didinginkan sampai suhunya 30oC. Pendinginan putih telur ini penting dilakukan untuk mengoptimumkan pertumbuhan Sacharomyces sp. pada proses desugarisasi. Proses desugarisasi dilakukan dengan cara menambahkan Sacharomyces sp. sebanyak 0,3% dari berat putih telur segar ke dalam putih telur dan diinkubasi pada suhu ruang. Hal ini karena Sacharomyces sp. dapat tumbuh pada suhu 25-30oC (Fardiaz, 1992). Gula pereduksi pada putih telur akan dipecah menjadi gula yang
xli 28
lebih sederhana sehingga dapat mencegah reaksi Maillard serta menghasilkan tepung putih telur yang bebas yeast flavor. Inkubasi dilakukan selama 2,5 jam.
Telur ayam
Seleksi dan pembersihan telur
Pemisahan putih telur
Homogenisasi
Pasteurisasi 620C, 3menit
Desugarisasi oleh Sacharomyces sp.
Pengeringan 500C, 42 jam
Flake putih telur
Penggilingan flake putih telur
Tepung putih telur Gambar 7. Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Pan Drying Pengeringan putih telur dilakukan dengan metode pan drying dengan cara menuangkan cairan putih telur ke dalam loyang alumunium. Tinggi cairan putih telur 29 xlii
dalam loyang yaitu 6 mm. Hal ini dimaksudkan agar putih telur cepat kering dan tidak hangus. Pengeringan dalam oven dilakukan pada suhu 50o C selama 42 jam sampai putih telur menjadi kering dan membentuk flake. Flake putih telur kemudian digiling menggunakan grinder dengan lama penggilingan 3 detik. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerusakan protein. Tepung putih telur yang dihasilkan kemudian dikemas dalam plastik LDPE (low density polyethlene). Proses pembuatan tepung putih telur secara umum dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuatan Snack Butiran jagung dimasukkan terlebih dahulu kedalam plastik untuk memudahkan pemasukan ke dalam grits mill. Saringan dalam grits mill diatur yaitu menggunakan saringan yang berukuran 20 mesh. Jagung dimasukkan ke dalam grits mill dan akan keluar melalui die pada grits mill dalam bentuk grits. Pembuatan grits jagung dan grits jagung yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar8. Pembuatan Grits Jagung dengan Alat Grits Mill (Foto Penelitian, 2007)
xliii 30
Gambar 9. Grits Jagung (Foto Penelitian, 2007) Grits jagung, tepung putih telur dan bumbu-bumbu dicampurkan sesuai dengan formula. Formula perlakuan pembuatan snack ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 8. Minyak sebanyak 30 ml dimasukkan ke dalam semua formula. Suhu outlet ekstruder diatur pada suhu 600 C dan suhu inlet yaitu 200o C. Kecepatan pisau diatur pada 500 rpm. Adonan dari masing-masing formula dimasukkan ke dalam ekstruder dan produk keluar melalui lubang cetakan (die). Proses pembuatan snack secara umum dapat dilihat pada Gambar 10. Tabel 8. Formula Pembuatan Snack Ekstrusi Bahan yang Formula Formula Formula Formula Formula digunakan I II III IV V -------------------------------------%-----------------------------------Grits Jagung
96,5
91,5
86,5
81,5
76,5
Tepung putih telur
0
5
10
15
20
Garam
1
1
1
1
1
Bubuk bawangputih
1
1
1
1
1
Gula
1
1
1
1
1
Lada
0,5
0.5
0,5
0,5
0,5
Snack ekstrusi yang dihasilkan kemudian dianalis fisik dan penilaian sesnsori. Analisis sifat fisik meliputi derajat gelatinisasi, derajat pengembangan, kekerasan, indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Sifat fisik snack ekstrusi yang disubstitusi dengan tepung putih telur kemudian dibandingkan dengan snack yang
xliv 31
telah diterima konsumen secara luas (snack ”Cheetos”). Penilaian sensori meliputi uji hedonik dan mutu hedonik terhadap warna, rasa, kerenyahan, daya lengket dalam mulut dan bau.
Grits jagung, tepung putih telur, garam, lada, gula, bawang putih, minyak goreng
Pengaturan suhu ekstruder 180-2000C
Pencampuran bahan sesuai formulasi
Dimasukkan ke feed hopper
Snack ekstrusi
Gambar 10. Diagram Alir Proses Pembuatan Snack Ekstrusi
xlv 32
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Pengujian sifat fisik snack yang disubstitusi dengan tepung putih telur meliputi derajat gelatinisasi, derajat pengembangan, kekerasan, indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Sifat fisik snack yang disubstitusi dengan tepung putih telur dibandingkan dengan snack yang
telah diterima konsumen secara luas
bertujuan mengetahui spesifikasi pasar snack. Data sifat fisik snack “Cheetos” dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sifat Fisik Snack ”Cheetos” Sifat Fisik Snack “Cheetos” Rataan dan Standard Deviasi Derajat Gelatinisasi (%)
59,18 ± 0,29
Kekerasan (gf)
1375 ± 139,19
Indeks Kelarutan Air (g/ml)
0,02 ± 0 ,00
Indeks Penyerapan Air (ml/g)
3,78 ± 0,08
Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati (Wooton et al., 1971). Pengukuran derajat gelatinisasi snack sangat penting dilakukan karena gelatinisasi merupakan proses utama yang terjadi pada pati yang diekstrusi selain itu untuk mengetahui sampai sejauh mana pati siap dan mudah dicerna oleh tubuh. Derajat gelatinisasi snack berkisar antara 35,73% sampai 59,85%. Analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur dengan persentase yang berbeda berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi produk ekstrusi (P<0,05). Uji Tukey menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur 10-20 % menghasilkan derajat gelatinisasi yang lebuh besar dan berbeda nyata dengan tanpa substitusi tepung putih telur (Tabel 10).
Hal ini terjadi karena suhu proses yang semakin tinggi.
Pemasukkan bahan ke dalam ekstruder dilakukan secara berurutan yaitu dari bahan dengan substitusi tepung putih telur 0% sampai substitusi tepung putih telur 20%, sedangkan suhu inlet ekstruder semakin tinggi (mencapai 200oC). Peningkatan suhu inlet ekstruder karena adanya gerakan dari ulir atau gesekan antar bahan, sehingga bahan adonan snack dengan substitusi tepung putih telur 10-20 % mengalami suhu
xlvi
pemasakan yang lebih tinggi. Suhu pemasakan yang semakin tinggi akan meningkatkan derajat gelatinisasi. Ruslim (1993) menjelaskan bahwa pada suhu proses yang lebih tinggi maka derajat gelatinisasi akan tinggi karena jumlah pati yang tergelatinisasi semakin banyak. Derajat gelatinisasi akibat substitusi tepung putih telur 10-20 % tidak nyata karena adanya faktor penghambatan maksimum oleh protein yang terjadi pada substitusi tepung putih telur mulai dari 10%. Protein dapat menghambat derajat gelatinisasi. Tabel 10. Rataan dan Standard Deviasi Derajat Gelatinisasi Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur Nilai Absorbansi Derajat Konsentrasi Tepung Nilai Absorbansi Pati Total Pati Gelatinisas Putih Telur i (%) (%) Tergelatinisa si 0 0,45 ± 0,04 1,46 ± 0,55 35,73 ± 19,08a 5
0,53 ± 0,04
1,44 ± 0,52
40,96 ± 16,65ab
10
0,74 ± 0,08
1,44 ± 0,64
59,18 ± 27,50b
15
0,88 ± 0,23
1,52 ± 0,53
59,85 ± 7,66b
20
0,87 ± 0,14
1,55 ± 0,50
59,0 ± 11,58b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran granula, rasio amilosa dengan amilopektin dan komponen-komponen yang terdapat di dalam bahan pangan seperti kadar air, gula, protein, lemak dan serat kasar. Ukuran granula yang lebih besar disebabkan karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi et al.,1988). Hal ini akan meningkatkan derajat gelatinisasi, karena granula yang lebih besar dapat mudah dipecah dengan adanya suhu pemanasan yang tinggi. Rasio amilosa dan amilopektin yang rendah dapat meningkatkan derajat gelatinisasi. Amilopektin tidak tahan terhadap kerusakan mekanik selama berada dalam aliran ekstrusi. Keadaan ini dapat menghasilkan produk yang lebih lunak dan mengembang. Derajat gelatinisasi snack yang disubstitusi tepung putih telur sebesar 10-20 % hampir memenuhi spesifikasi derajat gelatinisasi snack di pasaran (Cheetos) yaitu sebesar 59%.
34 xlvii
Derajat Pengembangan Derajat pengembangan snack berhubungan dengan penampilan umum snack dan aspek ekonomis. Derajat pengembangan produk berkisar antara 327,3% sampai 418,6 %. Analisis ragam pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa derajat pengembangan dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur (P<0,05). Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur sebanyak 15-20 % menyebabkan derajat pengembangan yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanpa substitusi tepung putih telur (Tabel 11). Tabel 11. Rataan dan Standard Deviasi Derajat Pengembangan Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur Konsentrasi Tepung Putih Telur (%) Derajat Pengembangan (%) 0
418,63 ± 17,67a
5
386,48 ± 25,03 ab
10
363,29 ± 34,00ab
15
352,74 ± 37,47b
20
327,30 ± 41,87b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Adanya kecenderungan penurunan derajat pengembangan ini seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung putih telur karena kadar lemak snack meningkat. Lemak dan amilosa akan membentuk suatu kompleks sehingga akan menurunkan derajat pengembangan (Harper, 1981). Peningkatan kandungan protein juga dapat menurunkan derajat pengembangan. Protein dapat membentuk matriks atau struktur saling silang melalui ikatan kovalen dan ioniknya sehingga menurunkan derajat pengembagan snack (Muchtadi et al., 1988). Kekerasan Kekerasan snack merupakan parameter yang diperhatikan konsumen dalam memilih snack. Hasil pengukuran kekerasan dengan rheoner menunjukkan bahwa nilai kekerasan berkisar antara 847-1517 gram force (gf). Semakin tinggi nilai kekerasan, semakin keras teksturnya dan bersifat kurang renyah dibandingkan produk yang memiliki nilai kekerasan lebih rendah.
35 xlviii
Analisis ragam (P<0,05) menunjukkan bahwa kekerasan dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur. Substitusi tepung putih telur sebanyak 20% menghasilkan kekerasan snack yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan penambahan tepung putih telur sebanyak 0-5 % (Tabel 12). Tabel 12. Rataan dan Standard Deviasi Kekerasan Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur Konsentrasi Tepung Putih Telur (%) Kekerasan (gf) 0
1394± 213,80a
5
1517± 44,10a
10
1289± 206,90ab
15
1128± 77,4ab
20
847± 169,2b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Kekerasan
snack
berhubungan
dengan
derajat
gelatinisasi,
derajat
pengembangan, indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Derajat gelatinisasi pati yang semakin tinggi menyebabkan derajat pengembangan semakin tinggi, sehingga akan menurunkan kekerasan snack (Muchtadi et al., 1988). Menurunnya tingkat kekerasan pada snack yang dihasilkan disebabkan adanya bahan lain yaitu lemak. Lemak dapat membentuk suatu kompleks dengan amilosa yang dapat menurunkan derajat pengembangan, namun rasio lemak dengan amilosa yang semakin tinggi menyebabkan kekerasan menurun. Hal ini karena semakin banyak lemak yang tidak membentuk kompleks dengan amilosa. Lemak bebas yang tidak membentuk kompleks dengan amilosa ini menyebabkan produk menjadi tidak keras (Harper, 1981). Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air juga mempengaruhi kekerasan snack. Indeks penyerapan air yang tinggi dapat menurunkan kekerasan snack. Hal ini terjadi karena semakin banyak air yang diserap oleh snack, semakin lunak produknya. Hal yang sama terjadi pada indeks kelarutan air. Jika indeks kelarutan air yang tinggi akan menurunkan kekerasan snack karena snack tersebut menjadi mudah hancur (tidak keras). Snack ekstrusi yang dihasilkan secara umum telah memenuhi spesifikasi snack yang telah diterima oleh konsumen kecuali pada snack dengan substitusi xlix 36
tepung putih telur 20%. Snack dengan substitusi tepung putih telur 20% memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah (847±169,2 gf)
dibandingkan dengan
snack”Cheetos” (375±139,19 gf) Indeks Kelarutan Air (IKA) Indeks kelarutan air (IKA) menunjukkan jumlah partikel produk yang dapat larut dalam air. Indeks kelarutan air pada produk ekstrusi yang disubstitusi tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 13. Indeks kelarutan air berkisar antara 0,024 g/ml sampai 0,034 g/ml. Analisis ragam pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa indeks kelarutan air pada produk dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur (P<0,05). Tabel 13. Rataan dan Standard Deviasi Indeks Kelarutan Air pada Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur Konsentrasi Tepung Putih Telur (%) Indeks Kelarutan Air (g/ml) 0
0,024± 0,004a
5
0,027 ± 0,001ab
10
0,034 ± 0,002bc
15
0,034 ± 0,002c
20
0,033 ± 0,002bc
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Uji Tukey menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur sebanyak 1020% akan meningkatkan indeks kelarutan air (Tabel 13). Hal ini disebabkan oleh adanya degradasi molekul besar yaitu protein yang setelah melalui proses ekstrusi berubah menjadi molekul yang lebih kecil sehingga lebih mudah larut dalam air (Melianawati, 1998). Tingkat pemasakan ekstrusi dapat ditunjukkkan oleh nilai derajat gelatinisasi. Peningkatan derajat gelatinisasi akan meningkatkan indeks kelarutan air (Cahyono,1999). Peningkatan indeks kelarutan air dapat disebabkan juga oleh rasio tepung putih telur dengan pati yang semakin tinggi. Peningkatan substitusi tepung putih telur menyebabkan ovalbumin dalam produk semakin meningkat. Ovalbumin merupakan protein yang mudah larut dalam air.
l 37
Indeks kelarutan air yang rendah pada snack tanpa substitusi tepung putih telur dikarenakan tingginya konsentrasi jagung. Kandungan jagung yang tinggi menyebabkan juga kandungan protein jagung yaitu diantaranya zein semakin tinggi. Zein termasuk kedalam kelompok protein prolamin yang memiliki sifat tidak mudah larut dalam air (deMan, 1997). Indeks kelarutan air snack dengan substitusi tepung putih telur lebih tinggi dibandingkan dengan indeks kelarutan air pada snack ”Cheetos”. Snack Cheetos memiliki indeks kelarutan air sebesar 0,02 g/ml. Rendahnya indeks kelarutan air pada snack ”Cheetos” karena kandungan protein dalam snack ini lebih rendah hanya 5,5%. Bahan utama snack ”Cheetos yang” digunakan hanya jagung. Secara umum indeks kelarutan air snack yang disubstitusi tepung putih telur telah memenuhi spesifikasi pasar yaitu minimal 0,02 g/ml. Ruslim (1993) menyatakan bahwa indeks kelarutan air yang lebih tinggi menunjukkan produk semakin baik karena semakin mudah diserap tubuh. Indeks Penyerapan Air (IPA) Indeks penyerapan air merupakan jumlah air maksimum yang dapat diikat oleh produk snack ekstrusi. Indeks penyerapan air akan mempengaruhi kelengketan snack yang akhirnya akan mempengaruhi juga terhadap penilaian konsumen. Indeks penyerapan air produk ekstrusi berkisar antara 2,47 ml/gram sampai 3,94 ml/gram. Nilai IPA terendah dimiliki oleh produk ekstrusi dengan penambahan tepung putih telur sebesar 20% sedangkan nilai terbesar dimiliki oleh produk ekstrusi tanpa penambahan tepung putih telur. Indeks penyerapan air snack ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan dan Standard Deviasi Indeks Penyerapan Air pada Snack Ekstrusi yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur Konsentrasi Tepung Putih Telur (%) Indeks Penyerapan Air (ml/g) 0
3,94 ± 0,38
5
2,65 ± 0,96
10
2,78± 0,85
15
2,54± 1,07
20
2,47 ± 0,79
38 li
Data indeks penyerapan air
diolah dengan menggunakan uji Friedman,
karena data ini tidak memenuhi asumsi yaitu galat tidak bebas dan data tidak menyebar normal (Lampiran 29 dan 30). Substitusi tepung putih telur tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) pada indeks penyerapan air (Tabel 14). Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa rataan umum indeks penyerapan air pada snack yaitu 2,88. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 2,88 ml air dapat diserap oleh setiap 1 gram produk. Indeks penyerapan air snack secara deskriptif cenderung semakin menurun dengan peningkatan kadar tepung putih telur. Indeks penyerapan air dapat berhubungan dengan derajat gelatinisasi. Derajat gelatinisasi yang meningkat dapat meningkatkan indeks penyerapan air (Muchtadi et al., 1988). Peningkatan pati tergelatinisasi menyebabkan jumlah amilosa yang keluar juga semakin tinggi. Amilosa yang terdifusi dari struktur asalnya merupakan gugus pengikat air yang baik. Terjadinya penurunan indeks penyerapan air dikarenakan kandungan lemak pada produk semakin meningkat. Lemak dan protein dapat membentuk interaksi namun rasio lemak dan protein yang lebih tinggi akan menurunkan indeks penyerapan air. Lemak tersebut dapat menghambat grup hidrofilik pada protein sehingga indeks penyerapan air akan menurun. Indeks penyerapan air pada snack ekstrusi dengan tepung putih telur lebih rendah dibandingkan dengan snack ”Cheetos. Snack ”Cheetos” memiliki indeks penyerapan air sebesar 3,78 ml/g. Indeks penyerapan air ini dapat menunjukkan kelengketan produk dalam mulut. Snack ”Cheetos” memiliki kelengketan produk yang lebih tinggi karena nilai indeks penyerapan airnya tinggi. Indeks penyerapan air yang tinggi mengakibatkan gaya adhesi produk dengan air liur semakin tinggi. Secara umum produk ekstrusi dengan substitusi tepung putih telur memiliki indeks penyerapan air yang lebih baik dibandingkan dengan snack yang ada di pasaran. Snack dengan substitusi tepung putih telur ini telah memenuhi spesifikasi pasar snack dari segi indeks penyerapan air. Penilaian Sensori Penilaian sensori dilakukan dengan uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik dan mutu hedonik dapat dilihat pada Tabel 15. dan Tabel 16.
lii39
Tabel 15. Hasil Penilaian Sensori dengan Uji Hedonik pada Snack Ekstrusi Konsentrasi Tepung Putih Telur (%) Peubah
0
5
10
15
20
Warna
2,10±0,75a
2,81±0,86b
3,34±0,83c
3,35±0,75c
3,21±0,95bc
Rasa Gurih
2,20±0,70a
2,66±0,76b
3,18±0,76c
3,41±0,76c
3,38±0,96c
Kerenyahan
2,34±0,83a
3,18±0,76b
3,53±0,71bc
3,69±0,69c
3,74±0,73c
Daya Lengket Mulut
2,11±0,73a
2,66±0,76b
3,06±0,75c
3,11±0,83c
3,41±0,78c
2,74±0,85a
2,96±0,65a
3,39±0,67b
3,34±0,73b
3,45±0,87b
di
Bau
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak suka, 4=suka, 5= sangat suka
Tabel 16. Hasil Penilaian Sensori dengan Uji Mutu Hedonik pada Snack Ekstrusi Konsentrasi Tepung Putih Telur (%) Peubah
0
Warna Krem
10
15
20
4,08±0,92a 3,62±0,57a
3,02±0,71b
2,46±0,65c
2,16±0,79c
Rasa Gurih
2,72±1,05a 3,08±0,80ab
3,06±0,94ab
3,32±0,89bc
3,680±0,9c
Kerenyahan
3,42±1,01
3,68±0,79
3,46±0,930
3,66±0,80
3,80±0,78
Daya lengket 3,20±0,86 di Mulut
3,00±0,76
3,10±0,84
3,04±0,83
2,84±0,84
Bau Telur
2,08±0,70
2,06±0,71
2,02±0,62
1,94±0,59
Amis 1,84±0,68
5
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tingkat warna krem :1 = sangat gelap, 2 = gelap, 3 = agak cerah, 4 = cerah, 5 = sangat cerah Tingkat rasa gurih :1 = sangat tidak gurih, 2 = tidak gurih, 3 = agak gurih, 4 = gurih, 5= sangat gurih Tingkat kerenyahan :1 = sangat keras, 2 = keras, 3 = agak renyah, 4 = renyah, 5 = sangat renyah Tingkat Daya Lengket dalam Mulut :1= sangat tidak lengket, 2 = tidak lengket, 3 = agak lengket, 4= lengket, 5 = sangat lengket Tingkat Bau amis Telur : 1= sangat tidak bau, 2 = tidak bau, 3 = agak bau, 4 = bau, 5= sangat bau
Warna Nilai kesukaan panelis terhadap warna snack dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh substitusi tepung putih telur. Warna produk dengan penambahan 40 liii
tepung putih telur lebih disukai dibandingkan warna produk snack tanpa substitusi tepung putih telur. Tanpa substitusi tepung putih telur, snack ekstrusi ternyata menghasilkan tingkat kesukaan yang lebih rendah dan berbeda dengan substitusi tepung putih telur 5-20 %. Substitusi tepung putih telur 10-20 % menghasilkan tingkat kesukaan yang sama terhadap warna snack yaitu agak suka. Penilaian mutu hedonik terhadap warna krem snack menunjukkan warna yang semakin gelap dengan peningkatan tepung putih telur. Substitusi tepung putih telur mempengaruhi secara nyata mutu warna snack. Substitusi tepung putih telur 10-20 % menghasilkan tingkat warna krem yang lebih gelap dan berbeda dengan hasil substitusi tepung putih telur 0-5 % yang lebih cerah. Substitusi tepung putih telur sebanyak 15-20 % menghasilkan warna yang sama tetapi berbeda terhadap hasil substitusi tepung putih telur sebanyak 10%. Panelis lebih menyukai warna snack yang lebih gelap dibandingkan warna snack yang pucat. Peningkatan substitusi tepung putih telur menghasilkan warna snack semakin coklat. Hal ini terjadi karena adanya reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi karena reaksi antara gula pereduksi dengan asam-asam amino (Winarno,1992). Rasa Gurih Kesukaan panelis terhadap rasa dipengaruhi oleh penambahan bumbu-bumbu pada snack ekstrusi. Nilai kesukaan terhadap rasa produk juga dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur (P<0,05). Substitusi tepung putih telur menyebabkan penilaian panelis terhadap tingkat kesukaan rasa produk semakin meningkat. Substitusi 10-20 % menghasilkan tingkat kesukaan yang lebih tinggi dan berbeda dengan 0-5 %. Nilai kesukaan terhadap rasa pada produk ekstrusi tertinggi dicapai pada produk dengan substitusi tepung putih telur sebesar 15%. Substitusi tepung putih telur mempengaruhi rasa gurih snack ekstrusi secara nyata (P<0,05). Substitusi tepung putih telur mulai 15-20 % menghasilkan rasa gurih yang lebih terasa dan berbeda dengan substitusi tepung putih telur 0-10 %. Rasa snack berkisar antara agak gurih (2,72) sampai gurih (3,68). Penilaian panelis menunjukkan tingkat kesukaan terhadap rasa gurih snack meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung putih telur karena putih telur dapat membuat rasa lebih gurih. Pengujian rasa berdasarkan penilaian panelis
liv 41
ini berhubungan dengan indeks kelarutan air. Nilai indeks kelarutan air yang semakin tinggi menyebabkan rasa dari protein semakin terasa karena semakin banyak molekul yang pecah menjadi lebih kecil dan larut dalam air. Winarno (1992) menjelaskan agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang terbentuk dikirim melalui syaraf ke pusat susunan syaraf. Penilaian rasa gurih snack oleh panelis dipengaruhi juga oleh keadaan indera cecap panelis. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila yaitu pada bagian noda merah jingga pada lidah. Kuncup-kuncup cecapan terletak dalam epitelium papila fungiform yang terletak dibagian dasar dan ujung lidah (Winarno, 1992). Kerenyahan Tingkat kesukaan terhadap kerenyahan dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur (P<0,05). Substitusi tepung putih telur 5-20 % memberikan tingkat kesukaan terhadap kerenyahan yang lebih tinggi dan berbeda dengan tanpa substitusi tepung putih telur (0%). Substitusi tepung putih telur 10-20 % menghasilkan tingkat kesukaan yang sama. Kesukaan panelis terhadap kerenyahan snack berkisar antara 2,34 (tidak suka) sampai 3,74 (suka). Uji Kruskal-Wallis pada uji mutu hedonik terhadap kerenyahan menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur tidak nyata mempengaruhi kerenyahan walaupun terdapat kecenderungan peningkatan kerenyahan seiring dengan meningkatnya jumlah tepung putih telur. Snack yang dihasilkan secara umum memiliki tingkat mutu kerenyahan sebesar 3,6 ± 0,87 (renyah). Hal ini karena kandungan lemak snack tinggi yang menyebabkan produk ini tidak keras. Produk ekstrusi dengan substitusi tepung putih telur sampai 20% merupakan produk ekstrusi dengan kerenyahan yang paling disukai karena karena produk ini paling renyah. Panelis cenderung menyukai tekstur snack yang lebih renyah. Hal ini karena energi yang diperlukan untuk mengunyah atau memecah snack lebih kecil dibandingkan dengan snack yang bertekstur keras. Daya Lengket Produk dalam Mulut Sifat lengket merupakan sifat deformasi bentuk yang dipengaruhi oleh gaya kohesi dan adhesi. Gaya adhesi yang tinggi menyebabkan produk menjadi lengket, 42 lv
sedangkan gaya kohesi yang tinggi menyebabkan produk menjadi kompak (Soekarto, 1990). Substitusi tepung putih telur mempengaruhi secara nyata dan meningkatkan tingkat kesukaan terhadap daya lengket produk. Substitusi tepung putih telur 10-20% menghasilkan tingkat kesukaan yang sama (agak suka) terhadap daya lengket produk dalam mulut dan berbeda dengan substitusi tepung putih telur 0-5 % (tidak suka – agak suka). Substitusi tepung putih telur tidak mempengaruhi secara nyata terhadap mutu daya lengket produk dalam mulut (P>0,05). Daya lengket produk berhubungan dengan nilai indeks penyerapan air (IPA). IPA yang semakin rendah menyebabkan produk tidak lengket dimulut pada saat dikunyah. Hal ini karena gaya adhesi antar air liur dengan produk juga semakin rendah. Daya
lengket
produk
dalam
mulut
berdasarkan
penilaian
panelis
menunjukkan rataan umum 3,04 (agak lengket). Panelis lebih menyukai snack yang tidak lengket dalam mulut walaupun secara umum masih perlu ditingkatkan, snack yang disubstitusi tepung putih telur memiliki daya lengket produk dalam mulut yang masih dapat diterima oleh panelis. Bau Substitusi tepung putih telur mempengaruhi tingkat kesukaan secara nyata (P<0,05) terhadap bau snack. Tingkat kesukaan terhadap bau snack berkisar antara 2,74 (agak suka) sampai 3,45 (suka). Substitusi tepung putih telur 10-20 % menghasilkan tingkat kesukaan yang lebih besar dan sama terhadap bau namun berbeda nyata dengan produk yang disubstitusi tepung putih telur 0% dan substitusi 5%. Hal ini karena bau putih telur menghasilkan sensasi bau khas yang dihasilkan dari proses pemanasan. Reaksi Maillard merupakan reaksi utama pembentuk flavor atau bau pada berbagai jenis makanan. Hasil reaksi Maillard yaitu produk spesifik asam amino dan produk spesifik karbohidrat akan membentuk heterosiklik yang mengandung atom N dan atom S yang berperan dalam pembentukan bau. Reaksi Maillard menghasilkan senyawa bau yang khas dan biasanya lebih disukai panelis. Bau yang khas dari hasil reaksi Maillard mampu menutup bau amis telur. deMan (1997) mejelaskan bahwa reaksi urai Strecker asam α-amino merupakan reaksi yang berperan juga dalam pembentukan senyawa baurasa. Senyawa dikarbonil yang terbentuk bereaksi dengan 43 lvi
asam α-amino. Asam amino diubah menjadi aldehida dengan atom karbonnya kurang satu. Senyawa aroma yang berbau jagung terdiri atas senyawa heterosiklik tak jenuh datar yang mengandung satu atau dua atom nitrogen dalam cincinnya. Plancken et al. (2006) menjelaskan bahwa pengaruh pemanasan pada putih telur dapat menurunkan kandungan total SH. Substitusi tepung putih telur dari 0-20 % menghasilkan tingkat bau amis telur yang sama (P>0,05). Tingkat bau amis telur pada snack secara umum sebesar 1,99 (tidak bau amis). Hal ini karena bau amis telur dapat dikurangi atau dihilangkan melalui pemanasan misalnya pada pengeringan dengan oven pada pembuatan tepung putih telur atau pemanasan pada proses ekstrusi. Bau-bauan baru dapat dikenali bila berbentuk uap dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus sempat menyentuh silia sel olfaktori. Adanya penerima (reseptor) khas dalam sel olfaktori akan menangkap molekul senyawa bau yang bentuk dan ukurannya cocok, sehingga timbul impuls yang menyatakan mutu bau terebut (Winarno, 1992).
lvii
44
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Substitusi tepung putih telur menghasilkan derajat gelatinisasi dan indeks penyerapan air yang semakin meningkat, namun tingkat kekerasan dan derajat pengembangannya semakin menurun. Indeks penyerapan air tidak dipengaruhi secara nyata oleh substitusi tepung putih telur. Sifat fisik snack dengan substitusi tepung putih telur secara umum telah memenuhi spesifikasi dan mempunyai sifat fisik yang lebih baik dari snack yang telah ada dipasaran dan diterima konsumen secara luas. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna, rasa gurih, daya lengket dalam mulut dan bau pada snack semakin meningkat dengan peningkatan substitusi tepung putih telur namun masih dalam tingkat agak suka. Tingkat kesukaan panelis terhadap kerenyahan snack dengan substitusi tepung putih telur sampai 20% meningkat dan berada dalam tingkat suka. Warna snack berdasarkan penilaian sensori cenderung semakin gelap (coklat) dan rasa snack yang semakin gurih dengan peningkatan substitusi tepung putih telur. Tingkat mutu kerenyahan, daya lengket dalam mulut dan bau snack tidak nyata dipengaruhi oleh substitusi tepung putih telur. Saran Peningkatan mutu snack dapat dilakukan dengan penambahan sumber protein lain selain telur dan perlu dilakukan perbaikan formula untuk mendapatkan produk yang lebih baik derajat pengembangan dan sifat organoleptiknya. Penggunaan teknologi yang lebih tinggi perlu juga dilakukan misalnya penggunaan ekstruder ulir ganda untuk membandingkan kualitas snack yang dihasilkan oleh ekstruder ulir tunggal.
lviii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis sadar bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik. Penulis mengucapkan banyak terima kasih banyak kepada kedua orangtua, adik dan kakak yang telah banyak membantu baik dari materi, doa, motivasi serta perhatian dan kasih sayangnya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Ir. B. N Polii, SU sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat,dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyusunan tahap akhir penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tuti Suryati, S. Pt., M.Si dan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc sebagai dosen penguji atas saran dan kritikannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada teman-teman THT’41, Budiman, Delvia, Widimartani, Maya, Anindita, Ari, Tofan, Tria, Harfan dan Wieke yang telah membantu dan memberikan motivasi selama penelitian. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, April 2008 Penulis
lix
DAFTAR PUSTAKA Ahza, A. B. 1996. Kondisi dan parameter operasional pada teknologi ekstrusi, pemanggangan dan penggorengan. Modul 2. Pelatihan produk-produk olahan ekstrusi, bakery and frying (Tambun-Bekasi, 2-3 Oktober 1996). Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bogor dengan Kantor Menteri Urusan Pangan, Bekasi. Aman, W, Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor,Bogor. Apsari, K. W. 2006. Pengaruh subtitusi pati sagu terhadap sifat fisiko kimia produk ekstrusi berbasis jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar ansional Indonesia 01-432-1996. Tepung Putih Telur. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Badan Standaridsasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia 01-2886-2000. Makanan Ringan Ekstrudat. Departemen Perindustrian dan perdagangan Indonesia, Jakarta. Banks, W., C.T. Greenwood, and D.D. Muir. 1973. The Structure of Starch. Dalam: G.G. Beich dan L.F Green Editors). Molecular Strustur and Function of Food Carbohydrate. Applied Science, Publ. Ltd, London. Belitz, H. D dan W. Grosch. 1986. Food Chemistry. 2th. Ed., Springer Verlag. Bergquist, D. H. 1964. Eggs. Dalam : Von Arsdei, W. B. and M. J. Coplej. Food Dehydration Volume II. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Britannica Encyclopaedia Inc., 1996a. Corn. http://www.britannica.com. [23 Nopember 2007]. Brown, A. 2000. Understanding Food Principles and Preparation. Wadsworth. University of Hawaii, United States. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton.1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Budiman, 2008. Kandungan nutrisi dan daya cerna protein secara invitro snack ekstrusi berbahan baku grits jagung yang disubstitusi dengan tepung putih telur sebagai sumber protein. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cahyono, U. 1999. Karakteristik mutu fisiko kimia dan organoleptik produk sereal sarapan dengan teknologi ekstrusi ulir tunggal dari hasil samping penggilingan padi, menir dan bekatul. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Davis, C. and R. Reeves. 2002. High value opportunities from the chicken egg. A report for Rural Research Industries Research and Development Corporation. RIRDC Publication No. 02/094. lx
deMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh K. Padmawinata. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia 01-3920-1995. Jagung. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan.2006. Konsumsi telur menurut provinsi 2002-2006 http://www.deptan.go.id./infoeksekutif/nak/nak06/konsumsi%20Telur1.htm. [25Januari,2007]. Direktorat Jenderal Peternakan.2006. Produksi telur ayam ras petelur menurut provinsi 2002-2006. http://www. deptan. go.id. /infoeksekutif /nak/ nak06/ konsumsi %20ayam%20ras%20petelur2.htm. [25Januari,2007]. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia, Jakarta. FSIS-USDA. 2005. Annex G : Pasteurization of Liquid Egg Products and Shell Eggs. http://www.fsis.usda.gov/PDF/SE_Risk_Assess_Annex_G_Oct2005.pdf. [10 Januari 2008]. Gomez, M. H. Dan Agulera, J.M. 1983. A physiochemical model for extrussion of corn starch. J. Food Sci.49:40. Harper, J. M. 1981. Extrussion of Foods I. CRC Press, Inc., Boca Raton. Hollander, M. and D.A. Wolfe. 1973. Nonparametric Statistical Methods. John Wiley and Sons, New York. Lechevalier, V., R. Jeantet., A. Arhaliass, J. Legrand, and F. Nau. 2007. Egg white drying: influence of industrial processing steps on protein structure and functionalities. J. Food Eng.83: 404-413. Lingko, P., P. Colonna and C. Mercier. 1981. HTST Extrusion Cooking. Dalam: Y. Pomeronz (Editor). Advanced in Cereal Science and Technology. The AVIAACC Inc., St. Paul. Minnesota. Lyon, B.G. and C.E. Lyon. 2001. Meat Quality: sensory and instrumental evaluation. Dalam: A. R. Sams (Editor). Poultry Meat Processing. CRC. Press, New York. Matz, S. A., and Matz, T. D. 1978. Cookie and Cracker Technology, 2nd edition. The AVI Publishing Co., Inc. West Port, Connecticut. Matz, S.A. 1984. Snack Food Technology. AVI Publishing CompanyInc. Westport, Connecticut. Melianawati, A. 1998. karakteristik produk ekstrusi campuran menir, beras, tepung pisang, kedelai olahan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T. R., Purwiyatno dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muhadjir, F. 1988. Karakteristik Tanaman Jagung. Dalam: jagung. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Oktavia, D.A. 2007. Kajian SNI 01-2886-2000 makanan ringan ekstrudat. J. Standardisasi. 9:1-9. 48 lxi
Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar Thomson Learning, Inc., New York. Plancken, I.V., A.V. Loey, and M.E. Hendrickx. 2006. Effect of heat treatment on physic-chemical properties of egg white protein: A kinetic study. J. Food Eng.75: 316-326. Puspitasari, R. 2006. Sifat fisik dan fungsional tepung putih telur ayam ras dengan waktu desugarisasi berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Riaz, M. N. 2001. Selecting the right extruder. Dalam: Guy, R (Editor). Extrusion Cooking Technologiest and Application. CRC Press. Boca Raton, USA. Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. 2nd. Ed. The avian Egg. John Wiley and Sons, New York. Ruslim, E. 1993. Mempelajari sifat fisi-kokimia dan daya cerna produk ekstrusi dari campuran beras, kedelai dan biji nangka. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smith, O. B. 1981. Extrution Cooking of Cereal and Fortifield Foods. Makalah pada Proceding Extruder Technologi, 8th ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980. Bangkok, Thailand. Smith, P.S. 1982. Starch Derivative and the Use in Food. Dalam: D.R. Leneback dan G.E. Inglet (Editors). Food Carbohydrates. AVI Publ. Co. Inc. Westport, Connecticut. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhrahtara Karya Aksara, Jakarta. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standardisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Stadelman, W. E., and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. The AVI Publ.Co. Inc. Rahway, NewYork. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1980. Principles and Procedur of Statistic. A Biometrical Approach. Mc Graw-Hill Book Company, New York. Swinkels, J.I.N. 1985. Source of Starch, its Chemistry and Physics. Dalam: J.A. Roels dan G.M.A.V. Beynum (Editors). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker Inc. New York dan Basel. Vail, G. E., J. A. Phillips, L. O. Rust, R. M. Grisworld, M. M. Justin. 1978. Foods. Seventh Edition. Houghton Mifflin Company, Boston. William, M. Mc. Foods. 2001. Experimental Perspectives. Prentice Hall, New Jersey. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Wooton, M., D. Weeden and N. Munk. 1971. A rapid method for the estimation of starch gelatinitation in processed food. J Food Tech, December: 612-615. Yamamoto, T., L.R. Juneja, H. Hatta, dan M. Kim.1997. Hen Eggs: Their Basics and Applied Science. CRC Press LLC, Boca Raton, Florida. 49 lxii
LAMPIRAN
lxiii
Lampiran 1. Snack Ekstrusi Berbahan Baku Grits Jagung yang Disubstitusi Tepung Putih Telur (Foto Penelitian, 2007)
Lampiran 2. Analisis Keragaman Derajat Gelatinisasi Sumber Keragaman Perlakuan
db
JK
KT
F
4
1629,45
407,36
6,56*
Kelompok
2
2683,66
1341,83
21,60*
Error
8
497,05
62,13
Total
14
4810,16
Keterangan: Simbol * menunjukkan nyata (P<0,05)
Lampiran 3. Hasil Uji Tukey pada Derajat Gelatinisasi Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup kesamaan 0%
40,958
a
5%
35,732
ab
10%
59,850
b
15%
59,180
b
20%
58,998
b
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05
Standard Error untuk perbandingan= 6,4359
Nilai Q kritis= 4,877 Nilai kritis untuk Perbandingan 22,195
lxiv51
Lampiran 4. Uji Friedman Indeks Penyerapan Air Taraf Perlakuan N Median
Jumlah Ranking
0%
3
3,990
12,0
5%
3
2,172
9,0
10%
3
2,358
11,0
15%
3
2,012
7,0
20%
3
2,009
6,0
S = 3,47 DF = 4 P = 0,483 Lampiran 5. Analisis Keragaman Indeks Kelarutan Air Sumber db JK KT F Keragaman Perlakuan 4 0,000268408 0,000067102 9,82* Kelompok
2
0,000001640
0,000000820
Error
8
0,000054641
0,000006830
Total
14
0,000324689
0,12
Keterangan: Simbol * menunjukkan nyata (P<0,05)
Lampiran 6. Hasil Uji Tukey pada Indeks Kelarutan Air Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
0,0236
a
5%
0,0267
ab
10%
0,0338
bc
15%
0,0341
c
20%
0,0326
bc
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Standard Error untuk perbandingan= 2,134E-03 Nilai Q kritis= 4,877 Nilai kritis untuk Perbandingan 7,359E-03
lxv 52
Lampiran 7. Analisis Keragaman Kekerasan Sumber db JK KT Keragaman Perlakuan 4 808593 202148
7,19 **
Kelompok
2
25333
12667
0,45
Error
8
224852
28106
Total
14
224852
F
tn
Keterangan: Simbol ** menunjukkan sangat nyata (P<0,01) tn = tidak nyata
Lampiran 8. Hasil Uji Tukey pada Kekerasan Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan
Grup kesamaan
0%
1394,4
a
5%
1516,7
a
10%
1288,9
ab
15%
1127,8
ab
20%
847,2
b
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Standard Error untuk perbandingan= 136,89 Nilai Q kritis= 4,877 Nilai kritis untuk Perbandingan 472,07 Lampiran 9. Analisis Keragaman Derajat Pengembangan Sumber db JK KT F Keragaman Perlakuan 4 14407,6 3601,9 7,54 ** Kelompok
2
6682,3
3341,2
Error
8
3819,4
477,4
Total
14
24909,3
7,00 *
Keterangan: Simbol ** menunjukkan sangat nyata (P<0,01) Simbol * menunjukkan nyata (P<0,05)
lxvi53
Lampiran 10. Hasil Uji Tukey pada Derajat Pengembangan Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur
Rataan
Grup Kesamaan
0%
418,63
a
5%
386,48
ab
10%
363,29
ab
15%
352,74
b
20%
327,30
b
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Standar Error untuk perbandingan= 17,840 Nilai Q kritis= 4,877 Nilai kritis untuk Perbandingan 61,525 Lampiran 11. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Warna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 80 2,00 101,6 -8,55 5%
80
3,00
181,0
-1,69
10%
80
3,00
243,8
3,74
15%
80
3,00
248,3
4,14
20%
80
3,00
227,8
2,36
Total
400
200,5
H = 98,85 DF = 4 P = 0,000
lxvii54
Lampiran 12. Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Warna Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
101,61
a
5%
181,00
b
10%
243,76
c
15%
248,31
c
20%
227,82
bc
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 51,313 Lampiran 13. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Rasa Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf Perlakuan 0%
N
Median
Rataan Rank
Nilai Z
80
2,00
107,8
-8,02
5%
80
3,00
162,0
-3,33
10%
80
3,00
227,5
2,34
15%
80
3,50
256,6
4,85
20%
80
3,00
248,6
4,16
Total
400
200,5
H = 107,65 DF = 4 P = 0,000
lxviii 55
Lampiran 14. Hasil Uji Perbandingan Rataan Ranking pada Uji Hedonik Rasa Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur
Rataan
Grup Kesamaan
0%
107,77
a
5%
161,97
b
10%
227,53
c
15%
256,63
c
20%
248,60
c
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 51,313 Lampiran 15. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Kerenyahan Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 80 2,00 92,3 -9,36 5%
80
3,00
181,9
-1,61
10%
80
4,00
227,5
2,3
15%
80
4,00
246,5
3,98
20%
80
4,00
254,3
4,66
Total
400
200,5
H = 119.64 DF = 4 P = 0.000
56 lxix
Lampiran 16. Hasil Uji Perbandingan Rataan Ranking pada Uji Hedonik Kerenyahan Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
92,306
a
5%
181,91
b
10%
227,45
bc
15%
246,51
c
20%
254,33
c
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 51,313 Lampiran 17. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Daya Lengket Snack dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 80 2,00 107,2 -8,07 5%
80
3,00
171,9
-2,47
10%
80
3,00
224,9
2,11
15%
80
3,00
231,9
2,71
20%
80
3,00
266,6
5,72
Total
400
H = 103.21 DF = 4 P = 0.000
lxx 57
Lampiran 18. Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Daya lengket Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
107,21
a
5%
171,93
b
10%
224,89
c
15%
231,86
c
20%
266,63
c
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 51,313 Lampiran 19. Hasil Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kesukaan (Uji Hedonik) terhadap Bau Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 80 3,00 146,5 -4,67 5%
80
3,00
169,2
-2,71
10%
80
3,00
231,9
2,71
15%
80
3,00
223,4
1,98
20%
80
3,00
231,6
2,69
Total
400
200,5
H = 44,07 DF = 4 P = 0,000
lxxi 58
Lampiran 20. Hasil Uji Perbandingan Rataan ranking pada Uji Hedonik Bau Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
146,53
a
5%
169,18
a
10%
231,85
b
15%
223,38
b
20%
231,58
b
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 51,313 Lampiran 21. Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Warna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 50 4,00 192,4 7,31 5%
50
4,00
167,3
4,57
10%
50
3,00
122,7
-0,30
15%
50
2,00
81,3
-4,84
20%
50
2,00
63,8
-6,75
Total
250
125,5
H = 124,70 DF = 4 P = 0,000
59 lxxii
Lampiran 22. Hasil Uji Perbandingan Rataan Ranking pada Uji Mutu Hedonik Warna Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
192,38
a
5%
167,34
a
10%
122,72
b
15%
81,270
c
20%
63,790
c
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 40,597 Lampiran 23. Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Rasa Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf Perlakuan 0%
N
Median
Rataan Rank
Nilai Z
50
2.00
94,5
-3,39
5%
50
3,00
117,5
-0,87
10%
50
3,00
117,4
-0,88
15%
50
3,00
136,0
1,15
20%
50
4,00
162,1
4,00
Total
250
125,5
H = 26.63 DF = 4 P = 0.000 Lampiran 24. Hasil Uji Perbandingan Rataan Ranking pada Uji Mutu Hedonik Rasa Snack Konsentrasi Tepung Putih Telur Rataan Grup Kesamaan 0%
94,520
a
5%
117,51
ab
10%
117,43
ab
15%
135,98
bc
20%
162,06
c
Keterangan: Grup kesamaan yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
lxxiii 60
α= 0,05 Nilai Z kritis= 2,807 Nilai kritis untuk perbandingan= 40,597 Lampiran 25. Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Daya Lengket Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 50 3,00 142,2 -1,82 5%
50
3,00
121,1
-0,48
10%
50
3,00
130,2
0,52
15%
50
3,00
124,7
-0,09
20%
50
3,00
109,3
-1,77
Total
250
125,5
H = 6,38 DF = 4 P = 0,172 Lampiran 26. Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Kerenyahan Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 50 3,50 114.1 -1.25 5%
50
4,00
129.9
0,48
10%
50
4,00
114.7
-1.18
15%
50
4,00
128.0
0.27
20%
50
4,00
140.9
1.68
Total
250
125.5
H = 5.57 DF = 4 P = 0.234
lxxiv 61
Lampiran 27. Hasil Uji Kruskal-Wallis Uji Mutu Hedonik terhadap Bau Amis Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Taraf N Median Rataan Rank Nilai Z Perlakuan 0% 50 2.00 109,7 -1,73 5%
50
2,00
134,1
0,94
10%
50
2,00
130,6
0,56
15%
50
2,00
129,9
0,48
20%
50
2,00
123,3
-0,24
Total
250
125,5
H = 5.00 DF = 4 P = 0.287 Lampiran 28. Kandungan Kimia Jagung dan Tepung Putih Telur Komposisi
Jagung “Bayu”
Tepung Putih Telur
----------------------------------%----------------------------Kadar Air
14,76
6,91
Kadar Abu
1,35
2,44
Kadar Lemak
5,60
1,71
Kadar Protein
10,18
78,58
Karbohidrat
68,11
Sangat sedikit
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Terpadu Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, 2007
lxxv 62
Lampiran 29. Hasil Uji Asumsi Kenormalan Data Indeks Penyerapan Air Plot Data Inde ks Pe nye rapan Air Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
2.877 0.9079 15 0.241 0.028
80
Persen
70 60 50 40 30 20 10 5
1
1
2 3 Indeks Penyerapan A ir
4
5
Nilai P (P-value) = 0,028 < 0,05. Nilai tersebut menunjukkan data indeks penyerapan air tidak menyebar secara normal. Lampiran 30. Hasil Uji Asumsi Kebebasan Galat pada data Indeks Penyerapan Air Sis a dan N ilai K e s e s uaian (Res p o n ad alah in d eks p en y erap an air 1.5
Sisa
1.0
0.5
0.0
-0.5 2.50
2.75
3.00 3.25 Nilai Ke se suaian
3.50
3.75
4.00
Plot-plot membentuk suatu pola tertentu maka sebaran tidak normal atau galat tidak bebas.
lxxvi 63
Lampiran 31. Ekstruder Ulir Tunggal merk “BALDOR”
Spesifikasi Alat I.E.C. Industrial Motor Direct Current
Ser # : W 007250109
Baldor Electric Co.
Type : PN 3320 P
FT Smith, AR, MFD in USA
AMPS : 1,25 P
CAT No. VP3311D
AMP : 40 C
Spec. 33-2370Z 132
Supply : F.F.1.3
Kwh P : 18/23 TE IP54
BRG/ODF : 6203
RPM : 1750
Kapasitas : 65-75 kg/jam
Frame : D7/D
Heater : 1250 watt (60-80OC)
Volts : 180
Putaran Ulir : 1400 rpm
Insul : F
Motor : Teco 25 Hp ‘for screw’
Duty : Cont.
VEMA : 1 Hp ‘for knife’
Brg/DE : 6203
BALDOR : 0,25 Hp for ‘material
Brush : 2/ BP 5011 AB01
feeding’
64 lxxvii
54