KAND UNG AN NUT RI SI DA N DA YA CE N R A P ROT E I N SECARA IN VITRO SNACK EKSTRUSI BERBAHAN GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN
SKRIPSI BUDIMAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
1
RINGKASAN BUDIMAN. D14204013. 2008. Kandungan Nutrisi dan Daya Cerna Protein secara in Vitro Snack Ekstrusi Berbahan Grits Jagung yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur sebagai Sumber Protein. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Telur ayam merupakan salah satu produk peternakan. Telur dinyatakan sebagai salah satu bahan pangan hewani yang bernilai gizi tinggi. Saat ini telur sudah banyak digunakan dalam berbagai industri makanan seperti kue dan roti. Kandungan gizi dan sifat fungsional telur benar-benar digunakan dalam industri makanan. Telur terdiri atas dua bagian yang dapat dikonsumsi yaitu kuning telur dan putih telur. Putih telur merupakan bagian dengan kandungan protein tinggi dan mudah dicerna. Putih telur yang dikeringkan sudah banyak digunakan untuk suplemen atau bahan tambahan pada produksi makanan. Snack ekstrusi dengan bahan dasar pati memiliki kelemahan yaitu kandungan protein yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan nutrisi dan daya cerna protein pada snack ekstrusi yang disubstitusi oleh tepung putih telur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam peningkatan nilai gizi snack ekstrusi dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam diversifikasi produk berbahan dasar pati. Penelitian ini telah dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, SEAFAST Center, dan Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus hingga Nopember 2007. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok dengan perlakuan perbedaan taraf substitusi tepung putih telur yaitu 0, 5, 10, 15, dan 20%. Peubah yang diamati yaitu kadar air, lemak, protein, dan daya cerna dengan metode in vitro. Kelompok yang digunakan yaitu perbedaan waktu produksi snack ekstrusi. Analisis ragam digunakan untuk menganalisis data analisis kimia yang memenuhi asumsi pengujian ragam. Data yang tidak memenuhi asumsi diuji dengan metode pengujian non parametrik. Kadar air tidak dipengaruhi oleh peningkatan taraf substitusi tepung putih telur. Kadar lemak berbeda nyata antar taraf substitusi tepung putih telur. Kadar lemak meningkat pada taraf substitusi tepung putih telur 10%. Kadar protein dan protein tercerna meningkat dengan peningkatan taraf substitusi tepung putih telur. Daya cerna protein pada taraf substitusi 10% berbeda dengan taraf substitusi 0%. Taraf substitusi tepung putih telur sebesar 20% memberikan daya cerna snack ekstrusi yang paling rendah yaitu 87,50%. Kata-kata kunci: tepung putih telur, snack ekstrusi, daya cerna protein
2
ABSTRACT Nutritional Content and in Vitro Protein Digestibility of Extrusion Snack from Corn Grits which Substituted with Egg White Powder as Protein Source Budiman, Z. Wulandari, T. Suryati Snack is popular for children and adult. It could be made by extrusion process. Snack is low in protein content because it made up of cereal such as rice and corn. Egg is one of the animal products that widely used in food industries such as bakeries. On the basis of nutritional and functional properties, egg was used in food industries. Egg white is high in its protein content and easy to digest by human digestion tract. The objective of the research were to analyze the nutrient content and in vitro digestibility of extrusion snack from corn grits which substituted by egg white powder as protein source. The experiment was conducted in the department Laboratory of Animal Product and Processing Technology FAPET IPB, SEAFAST Center, and Laboratory of Chemical and Food Analysis, FEMA IPB. The experiment was conducted from August until November 2007. Randomized complete block design was used in this experiment with production periods as block. Data were analyzed with analysis of variance (ANOVA) if it fulfilled the assumption. Others, data were analyzed with Friedman test as non-parametric test. Water content was not significantly different between treatments. Substitution with 10% egg white powder significantly increased the fat content of extrusion snack. Protein content and digestible protein increased significantly as increasing of egg white powder substitution. Protein digestibility in 10%, 15%, and 20% was significantly lower than 0% and 5% of egg white substitution. Protein, fat, and carbohydrate linkage had formed snack extrusion as porous product. This linkage affects product nutritive content and digestibility. Keywords: egg white powder, extrusion snack, protein digestibility
3
KAND UNG AN NUT RI SI DA N DA YA CE N R A P ROT E I N SECARA IN VITRO SNACK EKSTRUSI BERBAHAN GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN
BUDIMAN D14204013
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
4
KAND UNG AN NUT RI SI DA N DA YA CE N R A P ROT E I N SECARA IN VITRO SNACK EKSTRUSI BERBAHAN GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN
Oleh BUDIMAN D14204013
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 12 Mei 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP. 132 206 246
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 132 159 706
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc. NIP. 131 955 531
5
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan putra keempat dari pasangan Bapak Tugiman dan Alm. Ibu Sutarmi. Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 April 1985. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Babakan Dramaga 04. Pendidikan menengah dilanjutkan di SLTP Negeri 4 Kota Bogor pada tahun 1998 hingga 2001. Penulis memperoleh bantuan pembiayaan pendidikan selama pendidikan menengah oleh program beasiswa prestasi selama tiga tahun dari pihak sekolah. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Kota Bogor. Penulis diterima pada program studi Teknologi Hasil Ternak di tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis pernah mendapat penghargaan pada tahun 2007 sebagai Mahasiswa Berprestasi 2 Departemen IPTP dan Peringkat 5 di Fakultas Peternakan. Penulis mendapat beasiswa TPSDP dari DIKTI dari tahun 2005 hingga 2008. Penulis aktif pada Departemen Pengembangan Minat dan Bakat di BEM TPB IPB periode 20042005. Kegiatan kemahasiswaan dilanjutkan di tingkat fakultas dengan aktif di BEM Fakultas
Peternakan
periode
2005-2006
pada
Departemen
Informasi dan
Komunikasi. Tahun 2006-2007, penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa IPTP sebagai staf Departemen Informasi, Komunikasi, dan Teknologi. Pertengahan tahun 2007, penulis berkesempatan menjadi layouter pada majalah EMULSI yang merupakan kerjasama 4 himpunan mahasiswa yaitu Himaproter, Himasilkan, Himagita, dan Himitepa. Kegiatan asisten mata kuliah pernah dijalani oleh penulis. Penulis menjadi asisten mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak dan Penilaian Organoleptik Hasil Ternak pada tahun 2007 serta Teknik Pengolahan Susu pada tahun 2008.
6
KATA PENGANTAR Penelitian ini bermula dari penelitian tim Program Kreativitas Mahasiswa yang berhasil mendapat dana dari DIKTI pada tahun 2007. Penelitian tersebut terfokus pada pengoptimalan pembuatan snack ekstrusi dengan penambahan tepung putih telur. Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis merupakan penyempurnaan dari penelitian PKM. Penelitian dengan judul ”Kandungan Nutrisi dan Daya Cerna Protein secara In Vitro Snack Ekstrusi Berbahan Grits Jagung yang Disubstitusi dengan Tepung Putih Telur sebagai Sumber Protein” mengetengahkan pembahasan mengenai kandungan nutrisi di dalam produk. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pengguna hasil penelitian baik mahasiswa peneliti maupun industri kecil makanan ringan. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini memberikan kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Mei 2008 Penulis
Budiman
7
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Tujuan ................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
4
Putih Telur........................................................................................... Komposisi Putih Telur ............................................................. Tepung Putih Telur .................................................................. Jagung ................................................................................................ Snack .................................................................................................. Ekstrusi ............................................................................................... Proses Ekstrusi ........................................................................ Extruder .................................................................................. Extruder Single-Screw ............................................................. Pati ..................................................................................................... Daya Cerna Protein ............................................................................. Perubahan Nutrisi Selama Proses Ekstrusi .......................................... Karbohidrat ............................................................................. Protein ..................................................................................... Lemak .....................................................................................
4 4 6 8 11 12 12 12 13 14 17 19 19 20 21
METODE .......................................................................................................
22
Lokasi dan Waktu ............................................................................... Materi ................................................................................................. Rancangan .......................................................................................... Perlakuan ................................................................................ Model ...................................................................................... Analisis Data ........................................................................... Prosedur .............................................................................................. Pembuatan Tepung Putih Telur (Puspitasari, 2006) .................. Pembuatan Snack ....................................................................
22 22 23 23 23 23 24 24 26
8
Peubah yang Diamati ...............................................................
28
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
31
Komposisi Kimia Bahan Baku ............................................................ Kandungan Nutrisi Snack Ekstrusi ...................................................... Kadar Air ................................................................................ Kadar Lemak ........................................................................... Kadar Protein .......................................................................... Daya Cerna Protein .............................................................................
31 32 32 34 35 36
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
41
Kesimpulan ......................................................................................... Saran ..................................................................................................
41 41
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
43
LAMPIRAN ...................................................................................................
49
vi9
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Telur dalam 100 gram bahan .................................................
4
2. Kandungan Asam Amino pada Putih Telur Ayam ...................................
5
3. Komposisi Tepung Putih Telur Berdasarkan SNI 01-4323-1996 ..............
6
4. Kandungan Asam Amino pada Jagung ....................................................
10
5. Komposisi Grits Jagung ...........................................................................
11
6. Syarat Mutu Makanan Ekstrudat Berdasarkan SNI 01-2886-2000 ...........
11
7. Formulasi Pembuatan Snack ....................................................................
26
8. Komposisi Jagung Varietas ”Bayu” dan Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering Bahan .................................................................................
31
9. Kadar Air Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering .......................................................................
33
10. Kadar Lemak Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering .......................................................................
35
11. Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering .......................................................................
36
12. Daya Cerna Protein dan Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering ........................................
37
10
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bagian-bagian Jagung .............................................................................
8
2. Ekstruder Single Screw dan Bagian-bagiannya ........................................
14
3. Struktur Amilosa dan Amilopektin sebagai Penyusun Pati .......................
15
4. Mekanisme Gelatinisasi Pati ...................................................................
16
5. Diagram Alir Pembuatan Tepung Putih Telur ..........................................
25
6. Diagram Alir Proses Pembuatan Snack Ekstrusi ......................................
27
11
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Extruder SEAFAST Center .....................................................................
49
2. Produk Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur .................
50
3. Hasil Uji Asumsi Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur...
50
4. Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Air Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur .................................................................
50
5. Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Lemak Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ..................................................................
51
6. Uji Tukey terhadap Kadar Lemak Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur .................................................................................
51
7. Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur .................................................................
51
8. Uji Tukey terhadap Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur .................................................................................
52
9. Hasil Uji Friedman Daya Cerna Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur .................................................................................
52
10. Uji Pembandingan Berganda Nilai Tengah Daya Cerna Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ........................................
52
11. Hasil Uji Friedman Protein Tercerna Snack Ekstrusi dengan Susbstitusi Tepung Putih Telur .................................................................................
53
12. Uji Pembandingan Berganda Nilai Tengah Protein Tercerna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur ........................................
53
12
PENDAHULUAN Latar Belakang Telur merupakan salah satu pangan hasil ternak yang mengandung protein tinggi. Produksi telur ayam ras petelur pada tahun 2006 mencapai 750.861 ton dengan pertumbuhan produksi telur mencapai 10,24%. Konsumsi telur oleh penduduk Indonesia mencapai 1.126.909 ton dengan pertumbuhan konsumsi mencapai
4,09%
(Direktorat
Jenderal
Peternakan,
2006).
Potensi tersebut
memberikan peluang untuk melakukan diversifikasi produk pangan berbasis telur. Jagung merupakan salah satu bahan pangan sumber karbohidrat selain beras dan gandum. Jagung umum dikonsumsi sebagai pakan burung atau produksi makanan ringan. Jagung sendiri telah mengalami berbagai perkembangan seperti perubahan genetik untuk memperoleh jagung dengan rasa manis. Pengolahan jagung menjadi produk lain juga tidak dapat dilepaskan dari meningkatnya permintaan konsumen pada produk olahan jagung. Diversifikasi produk merupakan proses penganekaragaman pangan. Tubuh manusia diharapkan mendapat asupan zat gizi yang cukup dan eimbang. s Diversifikasi inilah dapat membantu pencapaian tersebut. Diversifikasi tidak hanya mengkonsumsi pangan pengganti tetapi juga proses pengolahan yang berbeda. Proses pengolahan untuk diversifikasi dapat mengkombinasikan beragam bahan baku menjadi produk baru dengan kandungan nutrisi yang cukup. Makanan ringan merupakan suatu produk pangan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama. Snack ekstrusi merupakan salah satu makanan ringan selain kripik, cracker, atau cookies. Jagung merupakan bahan baku yang umum digunakan dalam pembuatan snack ekstrusi. Pemilihan jagung sebagai bahan baku snack ekstrusi disebabkan oleh jagung murah dan mudah diperoleh dan produk yang dihasilkan memiliki karakter renyah dan mengembang. Konsumen snack pada umumnya adalah anak-anak dan remaja. Kelompok dewasa juga masih mengkonsumsi snack pada waktu-waktu tertentu. Snack ekstrusi yang ada di pasaran masih berbahan baku jagung atau bahan berkarbohidrat tinggi dan bahan tambahan pangan tanpa penambahan protein atau vitamin dan mineral. Konsumsi bahan pangan seharusnya memperhatikan keseimbangan kandungan nutrisinya. Pangan olahan yang tidak seimbang akan merugikan konsumen karena
1
menyebabkan timbulnya gejala kekurangan nutrisi seperti gejala kekurangan energiprotein (KEP). Kekurangan energi-protein atau KEP merupakan gejala yang timbul akibat ketidakseimbangan konsumsi bahan pangan. Konsumsi berlebih pada karbohidrat tanpa keseimbangan konsumsi protein dapat menyebabkan tubuh tidak dapat melakukan metabolisme dengan baik. Hal ini terlihat dari penyakit marasmus atau kwasihorkor dengan tubuh yang terhambat pertumbuhannya. Konsumsi berlebih protein tanpa diimbangi konsumsi karbohidrat dapat menyebabkan protein menjadi racun bagi tubuh. Produk snack ekstrusi berbahan baku jagung mengandung karbohidrat dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan nilai gizi snack ekstrusi dapat dilakukan dengan penambahan makronutrien seperti protein. Protein yang ditambahkan dapat berasal dari protein
hewani
atau
nabati.
Kedelai
dapat
digun akan
untuk
meningkatkan kandungan protein snack ekstrusi berbahan dasar jagung. Bahan pangan hewani seperti daging dan telur dapat digunakan untuk peningkatan nilai gizi snack ekstrusi. Konsumsi pangan telur lebih didasarkan pada segi ekonomis yang lebih murah dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Selain bernutrisi tinggi, telur juga memiliki sifat fungsional dalam pengolahan bahan pangan. Telur dapat dimanfaatkan
dengan
melakukan suplementasi
telur
dalam
bahan pangan.
Suplementasi ini bertujuan untuk meningkatkan variasi pengolahan telur dan meningkatkan kandungan gizi produk. Penambahan telur dapat dilakukan pada produk makanan ringan atau snack. Putih telur mengandung protein yang cukup tinggi dan merupakan bahan pangan rujukan sebagai sumber protein. Substitusi jagung dengan tepung putih telur diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein produk snack ekstrusi. Kecernaan protein produk snack ekstrusi juga diharapkan dapat diperbaiki, sehingga dapat meningkatkan kualitas protein produk snack ekstrusi. Tujuan Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan snack ekstrusi dengan bahan dasar jagung yang disubstitusi dengan tepung putih telur dan menganalisis kandungan nutrisi serta daya cerna protein produk. Penelitian ini diharapkan dapat
2
memperbaiki sifat kimia produk snack ekstrusi sehingga layak dikonsumsi sebagai makanan yang bergizi seimbang.
3
TINJAUAN PUSTAKA Putih Telur Komposisi Putih Telur Telur tersusun atas putih telur (58%), kuning telur (31%) dan kerabang (11%). Putih telur atau albumin terletak antara selaput putih telur dan kuning telur. Putih telur mengandung air hingga 88% dan protein lebih dari 80%. Protein telur terdiri dari ovalbumin lebih dari setengah protein telur, konalbumin, ovomukoid, globulin, ovomucin, avidin, dan riboflavin (Charley, 1982). Komposisi kandungan telur diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Telur dalam 100 gram Bahan Komposisi
Telur Utuh
Kuning Telur
Putih Telur
Kalori (Kkal)
150
353
45
Air (%)
75
49
88
Protein (%)
12
18
12
Lemak (%)
10
29
-
Karbohidrat (%)
2
Sangat sedikit
Sangat sedikit
Sumber: Parker, 2003
Putih telur tersusun atas empat bagian utama. Lapisan pertama yaitu lapisan putih encer pada bagian dekat membran telur. Lapisan kedua yaitu lapisan kental dan dilanjutkan dengan lapisan encer bagian dalam. Lapisan ke empat yaitu lapisan kalaza. Lapisan kalaza ini mengikat lapisan putih telur dengan lapisan kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Perbedaan kekentalan ini disebabkan oleh perbedaan kandungan air. Kerusakan dapat terjadi pada bagian ini dengan keluarnya air dari jaringan ovomucin yang berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur (Belitz dan Grosch, 1999). Karbohidrat dalam putih telur dapat berbentuk bebas atau terikat. Karbohidrat bebas sebanyak 0,4% dari total putih telur. Karbohidrat yang terikat dengan protein dalam bentuk glikoprotein sebanyak 0,5% dari total putih telur. Unit-unit karbohidrat yang terkandung dalam putih telur yaitu glikoprotein dengan unit galaktosa dan manosa (Romanoff dan Romanoff, 1963).
4
Protein putih telur merupakan campuran protein yang memiliki fungsi secara spesifik. Protein putih telur lebih sensitif terhadap panas daripada kuning telur. Koagulasi mulai terjadi pada suhu 60OC untuk putih telur. Kuning telur mulai terjadi koagulasi pada suhu 65OC (Charley, 1982). Kandungan asam amino pada putih telur dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Asam Amino pada Putih Telur Ayam Asam Amino
Putih Telur --------------- g/100 g protein --------------
Alanin
3,4
Arginin
3,2
Asam Aspartat
6,2
Asam Glutamat
8,4
Fenilalanin
3,3
Glisin
2,0
Histidin
1,3
Isoleusin
2,9
Leusin
4,7
Lisin
3,7
Metionin
2,2
Prolin
2,1
Serin
4,1
Sistein
1,4
Tirosin
2,0
Treonin
2,7
Triptofan
0,9
Valin
2,7
Sumber: Food and Agriculture Organization, 1981
Kemampuan untuk membuat buih merupakan salah satu sifat protein putih telur. Sifat tersebut dimiliki oleh protein globulin. Protein buih ini sangat penting untuk beberapa kategori pangan. Fungsi utama protein dalam buih yaitu untuk mengurangi tegangan interfasial pada permukaan cairan dalam memfasilitasi
5
terikatnya udara dalam fase cairan. Tepung putih telur memiliki kapasitas pembuihan yang lebih tinggi daripada tepung SPI (isolat protein kedelai), NFDM (susu kering non lemak), dan BMS (padatan buttermilk). Tepung putih telur memiliki pH mendekati titik isoelektrik protein albumin telur. Hal ini berkorelasi positif terhadap peningkatan kemampuan berbuih (Wong dan Kitts, 2003). Tepung Putih Telur Tepung putih telur diperoleh dengan cara pengeringan putih telur. Proses pengeringan terbagi tiga tipe yaitu pengeringan udara dan tekanan atmosfer, pengeringan vakum, dan pengeringan beku. Pengeringan yang dilakukan pada telur mencakup pengeringan seluruh bagian telur, kuning telur, dan putih telur. Tahapan pembuatan tepung putih telur yaitu pasteurisasi, desugarisasi, dan pengeringan putih telur (Puspitasari, 2006). Komposisi tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Tepung Putih Telur berdasarkan SNI 01-4323-1996 Komposisi
Tepung Putih Telur ------------------- % b/b --------------------
Kadar Air
Maksimal 8
Kadar Abu
Maksimal 5
Kadar Lemak
Maksimal 1
Kadar Protein
Minimal 75
Sumber: BSN, 1996
Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu. Proses tersebut akan membunuh bakteri patogen yang berbahaya seperti Salmonella pada telur (Fardiaz, 1992). Pasteurisasi yang dilakukan terhadap putih telur menggunakan metode HTST (High Temperature Short Time). Metode ini memanfaatkan suhu yang tinggi dan waktu kontak antara panas dan bahan singkat. Suhu yang digunakan dalam pasteurisasi putih telur yaitu 60OC selama 3,5 menit (FSIS-USDA, 2005). Tahap pembuatan tepung putih telur yang cukup penting yaitu desugarisasi. Desugarisasi merupakan proses yang bertujuan menghilangkan sejumlah glukosa yang terkandung di dalam putih telur. Glukosa yang masih terkandung di dalam putih telur dapat menyebabkan reaksi Maillard. Proses desugarisasi tersebut dapat
6
mempengaruhi kandungan air yang terdapat dalam tepung putih telur (Puspitasari, 2006). Penghilangan glukosa dengan penambahan ragi atau Saccaromyces spp. terjadi melalui dua kondisi yaitu anaerobik dan aerobik. Suhu optimum untuk aktivitas ragi yaitu 25-30OC (Belitz dan Grosch, 1999). Desugarisasi secara aerobik akan merubah glukosa (C6H12O6) menjadi CO2 dan H2O. Kondisi anaerobik akan menghasilkan beberapa komponen utama yaitu CO2 dan C2H5OH (etanol) (Lehninger, 1994). Pengeringan
merupakan
suatu
me tode
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan sejumlah air dari bahan dengan cara menguapkannya dengan energi panas. Produk yang telah dikeringkan akan memberikan manfaat pada kemudahan dalam
pengemasan,
transportasi,
memperpanjang
masa
simpan,
dan
dapat
menurunkan biaya produksi. Produk pengeringan juga mudah mengalami perubahan mutu fisik dan kimia (Winarno et al., 1980). Pengeringan pada telur dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan beku, pengeringan semprot, dan penyemprotan busa (Charley, 1982). Pengeringan semprot menghasilkan produk tepung yang cukup memuaskan untuk berbagai keperluan. Pengeringan metode semprot ini biasa digunakan untuk telur utuh dan kuning telur (Vail et al., 1978). Pengeringan busa (foam drying) dilakukan dengan membusakan dahulu putih telur sebelum dikeringkan. Proses pengeringan beku dimulai dengan mendinginkan bahan lalu divakum untuk membuang uap air. Teknik pengeringan beku menghasilkan kualitas yang baik tetapi biaya yang digunakan cukup mahal (Matz dan Matz, 1978). Pengeringan pan dilakukan dengan membentuk lapisan tipis di pan kemudian dipanaskan dengan udara panas. Metode pengeringan ini dilakukan untuk putih telur (Vail et al., 1978). Produk yang diperoleh berkadar air 5% dari pengeringan pada suhu 40-45OC selama 22 jam. Lamanya pengeringan sangat tergantung dari karakteristik bahan (kadar air, komposisi, bentuk, dan ukuran), suhu dan kelembapan, serta tingkat sirkulasi udara (Vieira, 1996). Putih telur selain mengandung protein juga mengandung sedikit gula. Gula dalam putih telur dapat menyebabkan perubahan warna dan pembentukan bau selama
7
penyimpanan. Penghilangan gula dari putih telur yang akan dikeringkan dapat menggunakan enzim atau melakukan fermentasi (Vail et al., 1978). Proses pengolahan seperti pengeringan diharapkan dapat meningkatkan kecernaan putih telur. Hal ini telah dijelaskan oleh Rose dan MacLeod (1923) dengan peningkatan daya cerna protein putih telur. Telur yang telah dimasak akan memiliki koefisien kecernaan 81,8-90,6% dari 10 kasus. Telur mentah memiliki rentang kecernaan 75,7 hingga 91,2%. Protein putih telur dapat meningkatkan oksidasi asam amino dan tingkat pemecahan protein yang cepat pada penderita kwasihorkor atau marasmus kwasihorkor (Manary et al., 1997). Jagung Jagung terdiri atas empat bagian pokok yaitu embrio, endosperma, aleuron, dan kulit (pericarp) (Hoseney, 1998). Pericarp merupakan lapisan pembungkus seluruh biji dan pelindung bagian dalam biji. Aleuron merupakan lapisan antara endosperma dan pericarp. Lapisan tersebut menyelubungi endosperma dan lembaga. Lembaga terletak pada bagian dasar dan berhubungan dengan endosperma. Jagung dan bagian-bagiannya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagian-bagian Jagung Sumber: Britannica Encyclopaedia Inc., 1996a
Jagung mengandung sejumlah karbohidrat, lemak, dan protein. Karbohidrat jagung terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosa. Karbohidrat utama dalam jagung yaitu pati sebanyak 72% untuk jagung keseluruhan dan 88% pada endosperm. Pati
8
jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin. Jagung mengandung sekitar 24% amilosa dan 76% amilopektin (Medcalf, 1973). Sugiyono et al. (2004) menjelaskan bahwa pati jagung tipe “Bayu” merupakan pati dengan gelatinisasi yang lebih rendah daripada tipe jagung Arjuna dan Antasena pada pengukusan 100OC. Hal tersebut ditunjukkan pada pembuatan beras jagung instan. Rendahnya tingkat gelatinisasi pati memberikan manfaat pada penyerapan terbatas pati oleh tubuh (Holm et al., 1988). Monosakarida pada jagung yaitu D-Fruktosa dan D-Glukosa. Gula sederhana lainnya yaitu disakarida (sukrosa) dan trisakarida (rafinosa dan maltotriosa) (Boyer dan Shannon, 2003). Tipe jagung manis akan berbeda pada jumlah dan tipe gula pada endosperma. Jagung manis mengandung mulai dari 65% pati hingga 20-30% pati. Kandungan gula dari 5% dapat ditingkatkan hingga 15-35% gula (Marshall dan Tracy, 2003). Fraksi protein pada biji jagung terdiri atas albumin (3,2%), globulin (1,5%), prolamin (47,2%), dan glutein (35,1%) (Muhadjir, 1988). Zein merupakan prolamin yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam etilalkohol dan alkohol tertentu. Hal tersebut diakibatkan adanya asam amino hidrofobik seperti leusin dan alanin. Zein memiliki dua komponen yaitu -zein dan -zein. Kandungan asam amino histidin, arginin, prolin, dan metionin pada
-zein lebih banyak dari pada -zein. Glutelin
adalah protein jagung yang larut dalam alkali. Asam amino yang terkandung dalam glutelin yaitu lisin, arginin, histidin, dan triptofan. Asam amino tersebut di dalam glutelin lebih tinggi daripada di dalam zein (Lawton dan Wilson, 2003). Protein albumin dan globulin terkosentrasi pada sel aleuron, bran, dan germ. Albumin dan globulin mengandung lisin, triptofan, dan metionin. Prolamin dan glutelin merupakan protein simpanan untuk pertumbuhan. Prolamin sangat rendah kandungan asam amino lisin, triptofan, dan metionin (Hoseney, 1998). Asam amino pembatas pada jagung yaitu lisin dan triptofan (Chung dan Pomeranz, 2000). Kandungan asam amino pada jagung dapat dilihat pada Tabel 4.
9
Tabel 4. Kandungan Asam Amino pada Jagung Asam Amino
Jagung ----------- g/ 100 g protein -----------
Alanin
4,9
Arginin
2,8
Asam Aspartat
4,1
Asam Glutamat
12,4
Fenilalanin
3,2
Glisin
2,4
Histidin
1,8
Isoleusin
2,4
Leusin
8,2
Lisin
1,8
Metionin
1,3
Prolin
5,9
Serin
3,3
Sistein
1,3
Tirosin
2,5
Treonin
2,4
Triptofan
0,4
Valin
3,2
Sumber: Chung dan Pomeranz, 2000
Proses pembuatan snack biasanya menggunakan grits jagung. Grits jagung merupakan biji jagung yang telah lepas bagian lembaga, kulit ari, dan dedak. Grits jagung digunakan karena akan menghasilkan produk ekstrusi yang renyah dan mudah mengembang (Muchtadi et al., 1988). Grits yang biasa dipakai dalam produksi snack atau crackers yaitu jenis grits coarse dan medium grits (Kent, 1983). Kandungan gizi grits jagung dapat dilihat pada Tabel 5.
10
Tabel 5. Komposisi Grits Jagung Kandungan
Gits Jagung ---------------------- % ----------------------
Air
11,0
Protein
7,2
Lemak
1,8
Karbohidrat
79,2
Serat
4,0
Sumber: Nutrition Data, 2006
Snack Snack merupakan makanan ringan yang umumnya dimakan antara waktu makan utama dalam sehari. Makanan ini sangat beragam dalam bentuk, rasa, pengolahan, dan penyajian (Muchtadi et al., 1988). Harper (1981) menyatakan bahwa
makanan
ringan
tersebut
terbagi
atas
tig a kelompok
berdasarkan
perkembangannya. Kelompok pertama yaitu makanan ringan berbahan dasar hasil pertanian yang mengalami pengolahan sederhana seperti keripik kentang, keripik singkong, cracker. Kelompok kedua mengalami pengolahan lanjutan setelah keluar dari extruder seperti pemotongan dan sedikit pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan. Kelompok ketiga yaitu snack yang telah keluar dari extruder masih memerlukan pengolahan lanjutan seperti penggorengan dan pengeringan. Syarat mutu makanan ekstrudat menurut SNI 01-2886-2000 diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Syarat Mutu Makanan Ekstrudat Berdasarkan SNI 01-2886-2000 Komposisi
Syarat Mutu ------------------ % b/b ------------------
Kadar Air
Maksimal 4
Kadar Lemak tanpa Proses Penggorengan
Maksimal 30
Kadar Lemak dengan Proses Penggorengan
Maksimal 38
Kadar Protein
-
Sumber: BSN, 2000
11
Pembagian makanan ringan menurut Muchtadi et al. (1988) berdasarkan bahan baku terbagi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu makanan ringan yang menggunakan satu bahan utama seperti jagung atau beras lalu ditambahkan perasa seperti garam, gula, dan bumbu penyedap lainnya. Kelompok kedua yaitu makanan ringan dengan bahan utama dan terjadi penambahan bahan tambahan. Bahan tambahan tersebut digunakan untuk meningkatkan nilai gizi, daya cerna, dan kualitas secara fisik. Bahan tambahan yang dapat digunakan yaitu protein hewani. Ekstrusi Proses Ekstrusi Ekstrusi merupakan salah satu pengolahan bahan pangan yang biasa digunakan untuk pembuatan snack dan makanan sarapan atau sereal. Ekstrusi adalah proses yang melibatkan kekuatan bahan mengalir dalam kondisi tertentu lalu melewati sebuah lubang kecil dengan ukuran dan bentuk yang telah ditetapkan (Dziezak, 1989). Proses pengolahan dengan ekstrusi termasuk ke dalam proses high temperature short time karena suhu pengolahan mencapai 200OC dan waktu kontak dengan bahan sekitar 5-10 detik. Proses pengolahan tersebut akan memberikan manfaat seperti produk khas dan beragam, kerusakan gizi kecil, dan mikroba yang ada dapat mati (Harper, 1981). Proses ekstrusi yang terjadi yaitu pemasakan, pemotongan, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan penggelembungan. Fungsifungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Matz (1993) menyatakan bahwa tekstur snack yang diperoleh dari ekstrusi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Amilopektin menyebabkan produk akhir yang mudah rapuh dengan rendahnya berat jenis. Amilosa dibutuhkan untuk memberikan tekstur memuaskan dan tidak terlalu keras. Extruder Extruder merupakan alat yang digunakan untuk melakukan proses ekstrusi bahan pangan dengan beragam formula bahan baku dan menghasilkan bentuk produk yang beragam (Faridi, 1994). Kinerja extruder dipengaruhi oleh konfigurasi ulir dan kecepatan putarannya, tekanan balik pada cetakan, serta karakteristik bahan yang diekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Extruder dengan fungsi mengembangkan produk
12
terjadi jika temperatur bahan melebihi 100OC ketika meninggalkan bagian bertekanan (Harper, 1981). Pemasakan ekstrusi (extrusion cooking) digunakan untuk memproduksi produk dengan karakteristik yang baru dengan bahan dasar pati atau protein. Karakteristik tersebut berkaitan dengan tekstur spesifik seperti porositas dan fibrositas. Teksturasi produk diperoleh akibat kerusakan struktur biopolimer tertier dan kuarter karena terjadi pengaturan ulang rantai polimer dan pembentukan struktur ruang (Lewicki, 2004). Operasi extruder dimulai dengan pemasukan bahan ke dalam feed hoper. Ulir extruder akan mendorong bahan melewati ruang dan akhirnya celah sempit sehingga menghasilkan produk dengan tesktur tertentu. Extruder akan melepaskan energi mekaniknya menuju bagian ulir yang pendek. Pemotongan berlangsung sangat cepat sehingga terjadi kerusakan mekanis molekul-molekul berukuran besar. Molekul yang terdenaturasi tersebut akan tersusun dalam medan aliran sehingga berpotensi untuk membentuk molekul baru dengan struktur silang. Struktur tersebut yang nantinya menjadi ekstrudat dengan beragam tekstur (Muchtadi et al., 1988). Extruder Single-Screw Extruder single screw merupakan salah satu dari tipe extruder model screw. Dziezak (1989) membagi extruder ke dalam tiga kategori yaitu extruder piston, extruder roller, dan extruder screw. Extruder screw dibagi ke dalam tiga kategori yaitu extruder single screw, extruder double screw, dan extruder multi screw. Gambar 2 memperlihatkan extruder single screw dan bagian-bagiannya. Lewicki (2004) membagi extruder ke dalam beberapa bagian yaitu bagian masukan, tekanan, dan bagian pemasakan. Bagian pemasukan merupakan sebuah ruang untuk memasukan bahan. Bahan mendapat perlakuan seperti pencampuran, pemanasan, dan pelembaban untuk memperoleh sebuah massa yang seragam. Bagian penekanan akan memberikan tekanan pada adonan disertai pemanasan dan pemotongan. Suhu akhir pada bagian tersebut dapat mencapai 100OC. Bagian pemasakan (cooking zone) akan memberikan tekanan yang lebih besar. Tekanan sangat berbeda akibat perbedaan barrel dan massa adonan terus terpotong-potong. Panas dalam bagian pemasakan diperoleh dari pemanas dan energi mekanis bahan yang terus bergesekan dengan ruangan yang sempit. Suhu adonan
13
dalam bagian pemasakan dapat mencapai 150-200OC dengan waktu kontak kurang dari 5 detik. Tekanan maksimal dalam bagian pemasakan yaitu 70Pa.
Gambar 2. Extruder Single Screw dan Bagian-bagiannya Sumber: Britannica Encyclopaedia Inc., 1996b
Proses pembentukan merupakan hasil dari penekanan bahan sepanjang lubang kecil (die). Air dalam adonan memiliki temperatur yang sama dengan bahan. Air selama pemanasan akan menguap ke atmosfir dan kadar air akan lebih rendah daripada bahan. Hal tersebut menyebakan produk akhir lebih mengembang. Pati Pati secara alami berbentuk partikel kecil yang disebut granula. Granula tersebut mengandung campuran molekul berstruktur linier dan bercabang. Campuran tersebut membentuk lapisan-lapisan tipis berbentuk cincin atau lamela. Lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang terluar molekul bercabang dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Letak hilum dalam granula pati jagung yaitu ditengah (Chaplin, 2007). Pati merupakan homopolimer yang disusun dari glukosa dengan ikatan
-
glikosidik. Pati tersusun dari tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan protein serta lemak (Boyer dan Shannon, 2003). Pati pada umumnya mengandung 12-30% amilosa, 75-80% amilopektin dan 5-10% meliputi lemak dan protein.
14
Kandungan amilosa pada jagung adalah 24% dan amilopektin 76%. Struktur umum amilosa dan amilopektin sebagai penyusun pati dapat dilihat pada Gambar 3.
Amilosa
Amilopektin Gambar 3. Struktur Amilosa dan Amilopektin sebagai Penyusun Pati Sumber: McWilliams, 2001
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan
-(1-4) dari
struktur cincin piranosa. Amilopektin merupakan komponen pati yang berbentuk bercabang-cabang. Ikatan yang ada yaitu -(1-4) pada rantai lurusnya dan ikatan (1,6) pada titik percabangannya (Winarno, 1992). Amilopektin akan membentuk suatu produk makanan yang ringan, porous, garing, dan renyah. Amilosa cenderung menghasilkan produk keras dan proses mekar terjadi secara terbatas (Muchtadi et al., 1988). Amilopektin memiliki berat molekul lebih besar daripada amilosa sehingga amilopektin lebih besar area permukaanya daripada amilosa. Amilosa yang lebih kecil ternyata kekuatan ikatan antar glukosanya lebih besar daripada amilopektin.
15
Hal ini menyebabkan memudahkan amilopektin lebih mudah rusak daripada amilosa oleh proses pengolahan (Thorne et al., 1983).
Granula pati mentah terdiri atas amilosa (helix) dan amilopektin (bercabang-cabang)
Penambahan air akan memecah kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa sehingga granula mengembang
Penambahan panas dan air yang berlebihan akan menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai terdifusi keluar granula
Granula hanya mengandung amilopektin saja dan terperangkap dalam struktur matriks amilosa, membentuk suatu sel Gambar 4. Mekanisme Gelatinisasi Pati Sumber: Harper, 1981
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang tidak dapat kembali pada kondisi semula (Eliasson dan Gudmundsson, 2006). Gambar 4 menunjukkan mekanisme gelatinisasi pati. Holm et al. (1988) menjelaskan gelatinisasi sebagai kerusakan ikatan hidrogen intramolekul dan mengakibatkan melemahnya struktur granula dan meningkatnya pembengkakan serta absorpsi air. Kerusakan tersebut mengakibatkan struktur granula berubah dan lepasnya gugus hidroksil. Gelatinisasi tidak terjadi jika rasio pati dan air sangat besar. Proses ekstrusi dengan kadar air rendah menyebabkan pati mengalami peleburan. Proses tersebut tetap diikuti oleh gelatinisasi tetapi hanya sebagian pati (Muchtadi et al., 1988).
16
Daya Cerna Protein Daya cerna atau kecernaan protein merupakan kemampuan protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim pencernaan (Muchtadi, 1989). Protein dalam bahan makanan sangat penting untuk penyusunan senyawa biomolekul dalam proses biokimiawi dalam mengganti jaringan yang rusak. Protein disusun oleh struktur N, C, H, O, S, dan beberapa P, Fe, dan Cu. Molekul besar seperti protein akan lebih mudah untuk mengalami perubahan secara fisis (penggumpalan) atau biologis dengan agen seperti asam, basa, panas, pelarut organik, garam, dan logam berat (Sudarmadji et al., 1989). Mutu nutrisi protein yang diberikan sangat tergantung dari kandungan asamasam amino esensialnya dan daya cerna. Protein yang masuk ke dalam tubuh tidak seluruhnya dapat dicerna. Protein hewani dapat dihidrolisis hampir sempurna menjadi asam-asam amino. Protein nabati umumnya tidak sempurna dicerna karena protein
dilindungi
oleh
pelindung
selulosa
dan
polisakarida. Hal
tersebut
menyebabkan protein harus dikonsumsi jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan harian minimum seluruh asam amino. Pemanfaatan protein oleh tubuh dimulai dari pencernaan yang bergantung pada hidrolisis ikatan protein (ikatan peptida). Ikatan peptida pada protein dapat terputus oleh hadirnya pemanasan dan enzim proteolitik seperti tripsin dan kimotripsin (Hawab, 2003). Enzim proteolitik akan mengurai protein menjadi asamasam amino bebas dan peptida rantai pendek (Crim dan Munro, 1987). Asam-asam amino bebas diperoleh sebanyak 30% dari protein yang dirombak dan diserap langsung melalui mukosa usus. Lehninger (1994) menjelaskan bahwa enzim-enzim yang terlibat dalam pencernaan protein di dalam tubuh manusia yaitu pepsin, tripsin, kimotripsin, karboksipeptidase, dan aminopeptidase. Asam lambung atau HCl dikeluarkan oleh sel parietal kelenjar lambung. Nilai pH asam lambung yang rendah yaitu 1,5-2,5 berfungsi sebagai antiseptik dan membunuh sebagian besar bakteri. Keasaman lambung menyebabkan protein globular terdenaturasi atau terbuka lipatannya dan menjadikan ikatan peptida dalam lebih terbuka terhadap hidrolisis enzimatik. Pepsin merupakan enzim yang dihasilkan oleh lambung. Pepsin merupakan salah satu enzim yang berperan dalam hidrolisis protein menjadi asam-asam amino
17
penyusunnya. Pepsin akan menghidrolisa ikatan-ikatan peptida protein terutama asam amino aromatik tirosin, fenilalanin, triptofan, leusin, glutamin, dan asam glutamat. Produk yang dihasilkan yaitu rantai polipeptida yang masih besar dengan terminal karbon (C) (Jackson, 2002). Asam amino dari suatu makanan yang dapat diserap tubuh terbatas pada asam amino dengan jumlah paling rendah. Asam amino lain yang terkandung berlebih akan dideaminasi dalam hati dan diubah menjadi glikogen atau lemak atau dibakar sebagai bahan bakar. Protein nabati tertentu dapat saling melengkapi dalam makanan seperti campuran jagung dan kacang dengan saling menambahkan asam amino triptofan (Lehninger, 1994). Enzim-enzim yang berasal dari kelenjar pankreas yaitu endopeptidase, tripsin, kimotripsin, eksopeptidase, karboksipeptidase, dan aminopeptidase. Jackson (2002) menjelaskan bahwa enzim-enzim tersebut akan mengubah rantai polipeptida dari lambung menjadi rantai dipeptida dan asam amino. Karboksipeptidase akan mengurai peptida menjadi asam amino pada terminal karboksil sedangkan aminopeptidase pada terminal amina. Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan dengan cara in vitro. Metode ini dilakukan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan. Enzim-enzim tersebut diantaranya pepsin, pankreatin, tripsin, kimotripsin, peptidase, dan multi enzim (Muchtadi, 1989). Penggunaan enzim-enzim tersebut akan menghasilkan koefisien daya cerna protein setiap bahan berbeda. Koefisien daya cerna untuk serealia sebesar 80 % (Suhardjo dan Kusharto, 1987) sedangkan untuk telur sebesar 90% pada manusia (Evenepoel et al., 1998). Metode in vitro dapat memperkirakan kecernaan pada tubuh manusia atau kondisi biologis yang sebenarnya. Bodwell et al. (1980) telah melakukan pengujian daya cerna protein bahan makanan campuran pada manusia, tikus, dan enzimatis. Hasil yang diperoleh tidak berbeda dengan metode in vitro tiga enzim atau modifikasinya (kimotripsin, tripsin, dan peptidase). Bahan makanan dengan protein hewani memiliki koefisien korelasi mencapai 0,88 yaitu antara pengujian pada manusia dengan metode 3 enzim. Daya cerna protein dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Damodaran (1996). Konformasi protein akan mengurangi kecernaan protein jika terjadi ikatan
18
silang antar protein. Ikatan silang ini terjadi dengan terbentuknya lisinoalanin pada susu UHT, tepung putih telur, dan keripik jagung dengan kadar yang berbeda-beda. Kecernaan protein juga dipengaruhi oleh anti nutrisi pada bahan pangan seperti tripsin inhibitor. Anti nutrisi tersebut menghambat enzim pencernaan protein untuk memecah protein. Protein dapat berikatan kuat dengan makromolekul lainnya seperti ikatan dengan polisakarida dan serat pangan sehingga menurunkan kecernaan protein. Proses pengolahan juga mempengaruhi kecernaan protein. Reaksi Maillard dapat menyebabkan penurunan kecernaan akibat terikatnya protein dengan gula pereduksi. Perubahan Nutrisi Selama Proses Ekstrusi Proses pengolahan dengan menggunakan extruder dapat disamakan dengan proses HTST. Camire (2001) menyatakan bahwa suhu dan tekanan yang cukup tinggi dapat merubah susunan struktur tertier dan kuarter protein. Jembatan sulfur dapat terbentuk dan struktur baru akan stabil dengan adanya ikatan hidrogen. Ekstrusi tidak akan merubah kecernaan protein tetapi suhu yang tinggi dapat menyebabkan oksidasi dan destruksi asam amino yang mengandung sulfur (metionin dan sistein). Ekstrusi dapat mempengaruhi kualitas nutrisi produk akhir. Parameter dalam proses ekstrusi yang mempengaruhi nutrisi yaitu komposisi bahan masukan, kadar air, kecepatan pemasukan bahan, kecepatan screw, konfigurasi screw, suhu barrel, dan konfigurasi lubang die (Camire, 2001). Bahan baku dalam proses ekstrusi akan mempengaruhi produk akhir. Rasio karbohidrat harus dipertimbangkan sesuai kebutuhan produk akhir. Konfigurasi screw dapat mempengaruhi kerusakan pati atau protein. Konfigurasi tersebut diatur untuk meminimalkan pemecahan makromolekul. Perubahan sifat bahan baku akan terjadi selama proses pengolahan ekstrusi. Perubahan tersebut diantaranya yaitu perubahan fisikokimia, nilai gizi, dan organoleptik. Karbohidrat Karbohidrat akan mengalami gelatinisasi selama proses ekstrusi. Gelatinisasi pati terjadi pada kadar air 12-22% lebih rendah daripada pembuatan makanan olahan lainnya.
Derajat
gelatinisasi dapat
meningkat
dengan
meningkatnya
suhu,
19
pemotongan, dan tekanan. Rantai cabang pada amilopektin dengan mudah terlepas di dalam barrel. Pengurangan berat molekul untuk amilosa dan amilopektin juga terjadi selama proses ekstrusi. Produk ekstrusi dengan bahan dasar karbohidrat dapat menaikkan kadar gula darah. Proses ekstrusi dapat dimanipulasi untuk membentuk produk yang rendah kecernaan karbohidratnya. Rantai cabang amilopektin dapat dilepas tetapi akan bereaksi dengan karbohidrat lainnya yang sulit dicerna enzim. Penambahan serat juga
mengurangi kecernaan
karbohidrat.
Kecernaan
akan
menurun
dengan
terbentuknya kompleks amilosa-lemak (Camire, 2000). Tekstur produk yang garing dan renyah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi renyah tidaknya produk ekstrusi. Amilopektin akan memberikan produk yang renyah, porous, dan ringan sedangkan amilosa akan memberikan sifat produk keras dan pejal (Muchtadi, 1988). Molekulmolekul makanan yang besar seperti karbohidrat dan protein akan mengalami denaturasi dan penyusunan diri selama di dalam ulir extruder dan cetakan. Jika suhu meningkat maka terjadi perubahan struktur sehingga produk yang keluar dapat mengembang (Muchtadi et al., 1988). Komponen pati selama proses ekstrusi akan mengalami gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi tergantung dari bahan baku dan kondisi proses ekstrusi. Gelatinisasi pati akan dipengaruhi oleh suhu proses, tekanan, dan gesekan. Tingkat gelatinisasi akan meningkat dengan peningkatan waktu dan suhu proses ekstrusi, gesekan, serta kadar air bahan yang rendah (Santoso, 2007). Protein Ekstrusi yang menggunakan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein akan memudahkan hidrolisis ikatan peptida oleh proteolitik (Hawab, 2003). Denaturasi juga dapat mengurangi aktivitas enzim dan enzim inhibitor. Proses ekstrusi akan memecah butiran protein sehingga protein akan berdifusi dengan pati selama pemanasan. Protein juga memberikan peranan dalam kerenyahan produk ekstrusi dengan pembentukan matriks protein. Suhu barrel yang tinggi dan rendahnya kadar air bahan dapat mendukung reaksi Maillard selama proses ekstrusi. Gula pereduksi dapat berkurang karena berikatan dengan asam-asam
20
amino. Hal tersebut mengakibatkan penurunan nilai nutrisi protein produk akhir (Huber, 2001). Proses ekstrusi juga mempengaruhi nilai gizi produk makanan ekstrudat. Nilai gizi protein nabati akan meningkat dengan proses ekstrusi. Zat antinutrisi seperti tripsin inhibitor dari putih telur akan rusak (Ternes, 2001). Lemak Bahan baku makanan ekstrusi pada umumnya mengandung lemak yang rendah. Kandungan lemak yang cukup tinggi akan mempengaruhi pengembangan produk yang dihasilkan. Lemak akan berikatan dengan molekul amilosa dan amilopektin sehingga produk yang seharusnya mengembang akan terhambat pengembangannya dan mengurangi kerenyahan (Muchtadi et al., 1988).
21
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di tiga tempat berbeda. Pembuatan tepung putih telur dilakukan di Laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Pembuatan snack ekstrusi berlangsung di South East Asia Food and Agriculture Study Center (SEAFAST Center). Analisis kimia dan daya cerna dilakukan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Agustus hingga Nopember 2007. Materi Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan snack ekstrusi yaitu grits jagung, minyak goreng, garam, bubuk lada, bubuk bawang putih, telur, gula pasir dan air. Jagung yang digunakan adalah jagung varietas “Bayu”. Jagung ini termasuk jagung putih karena lebih dari 90% berwarna putih sesuai SNI 01-3920-1995 (DSN, 1995). Jagung tersebut diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor. Telur yang digunakan merupakan telur berumur satu hari. Telur tersebut diperoleh dari peternakan ayam petelur di daerah Cibeureum, Dramaga, Bogor. Pengambilan telur dengan umur 0 hari dilakukan pada siang hari, kemudian disimpan semalam pada suhu ruang. Bahan untuk analisis kimia diantaranya campuran selen, larutan H2SO4, larutan H3BO3 2%, HCl 0,1 N, indikator PP, selongsong kertas saring, kapas non lemak, pelarut lemak eter, NaOH 0,5 N, buffer fosfat, enzim pepsin, enzim pankreatin dan akuades. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan snack ekstrusi yaitu loyang, oven, blender kering, timbangan, extruder, dan alat tulis. Peralatan analisis kimia yaitu cawan porselin, desikator, oven, neraca analitik, tanur listrik, labu Kjeldhal, alat penyulingan, pemanas atau pembakar, pipet, labu lemak, alat ekstraksi Soxhlet, labu Erlenmeyer, gelas ukur, buret, shaker water bath.
22
Rancangan Perlakuan Penelitian ini menetapkan perlakuan tunggal yaitu substitusi tepung putih telur terhadap grits jagung dengan taraf yang berbeda. Perlakuan tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung putih telur terhadap kandungan nutrisi dan daya cerna protein snack ekstrusi yang dihasilkan. Substitusi terhadap grits jagung dilakukan pada lima taraf yaitu 0, 5, 10, 15, dan 20%. Model Penelitian yang dilakukan menggunakan model rancangan acak kelompok. Kelompok tersebut yaitu perbedaan waktu pembuatan snack ekstrusi sebanyak tiga kali. Model rancangan percobaan secara matematis menurut Steel dan Torrie (1980) adalah : Yij =
+ τi + βj + εij
Keterangan : Yij = peubah yang diamati (kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan daya cerna protein) = rataan umum τi = pengaruh perlakuan ke-i (konsentrasi tepung putih telur 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) βj = pengaruh kelompok ke-j ij = pengaruh acak yang berasal dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j i = jumlah perlakuan (5 perlakuan) j = jumlah pengelompokan (3 kelompok) Analisis Data Produk yang telah diperoleh kemudian diamati setiap peubahnya. Data kandungan nutrisi dan daya cerna protein dilakukan pengujian asumsi-asumsi dasar analisis keragaman yang dijelaskan oleh Hanafiah (2005). Asumsi-asumsi tersebut yaitu:
23
1.
Galat percobaan harus terdistribusi acak, bebas, dan normal.
2.
Keragaman yang terjadi pada data contoh hasil pengamatan harus bersifat homogen.
3.
Keragaman dan rata-rata contoh harus tidak berkorelasi.
4.
Pengaruh-pengaruh utama, baik sesama perlakuan maupun dengan faktor lokal kontrol, harus bersifat aditif.
Setiap data dari masing-masing peubah dilakukan uji asumsi. Jika seluruh asumsi terpenuhi maka data dianalisis dengan analisis keragaman dan diuji lanjut dengan metode uji perbandingan nilai tengah Tukey. Jika salah satu asumsi dari data contoh tidak terpenuhi maka data dianalisis dengan metode analisis non parametrik (Uji Friedman). Statistik uji yang digunakan dalam uji Friedman berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002) yaitu: T=
12 rt t 1
1
Ri2
3r t 1
i 1
dengan r menunjukkan banyaknya kelompok, t menunjukkan banyaknya perlakuan, dan Ri menunjukkan jumlah peringkat dari perlakuan ke-i. Jika nilai T lebih besar dari χ2α,t-1 maka minimal ada satu perlakuan yang berbeda dengan perlakuan yang lainnya. Prosedur Penelitian ini terbagai dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan tepung putih telur yang dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak. Tahap kedua yaitu pembuatan snack ekstrusi di SEAFAST Center. Pembuatan Tepung Putih Telur (Puspitasari, 2006) Pembuatan tepung putih telur dimulai dengan seleksi telur yang baik dan pembersihan telur. Telur yang baik berdasarkan penampakannya yaitu telur dengan kerabang bersih, tidak retak, dan bentuknya normal. Pencucian dilakukan jika telur kotor yaitu dengan menggunakan air hangat lalu dikeringkan. Telur kemudian dipecahkan dan dipisahkan antara putih telur dan kuning telur. Putih telur dipasteurisasi pada suhu 60-62OC selama tiga menit. Proses desugarisasi dilakukan dengan menambahkan ragi roti sebanyak 0,3% ke dalam putih telur tersebut,
24
kemudian diaduk hingga merata tanpa menyebabkan pembuihan. Putih telur tersebut didiamkan selama 2,5 jam pada suhu ruang (± 28OC). Telur ayam
Seleksi dan pembersihan
Pemisahan putih dan kuning telur
Putih telur
Pasteurisasi 60-62OC selama 3 menit
Putih telur
Ragi 0,3%
Inkubasi 2 ½ jam, suhu ruang (± 30OC)
Pengeringan pada oven 45-50OC, 42 jam
Flake putih telur
Penggilingan flake 2-3 menit
Tepung putih telur
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Tepung Putih Telur Sumber: Puspitasari, 2006
25
Putih telur yang telah melalui desugarisasi dimasukkan ke dalam loyang dengan ketebalan ± 6 mm. Putih telur tersebut dikeringkan di dalam oven dengan suhu 45-50OC selama 42 jam sehingga menghasilkan flake. Flake yang diperoleh kemudian digiling menggunakan blender kering selama 2-3 menit. Diagran alir pembuatan tepung putih telur dapat dilihat pada Gambar 5. Pembuatan Snack Penggilingan dilakukan pada aj gung yang diperoleh dari BB Biogen. Penggilingan dilakukan untuk mengurangi ukuran jagung sehingga dapat mudah diproses menjadi snack ekstrusi di dalam extruder. Penggilingan dilakukan di SEAFAST Center dengan alat multi mill Gansons, Bombay, India. Penggilingan dilakukan untuk memperoleh jagung dengan ukuran 20 mesh. Hal ini dilakukan agar diperoleh produk snack yang cukup mengembang dan tidak menghambat aliran ulir extruder. Pembuatan snack dimulai setelah tepung putih telur diperoleh. Formulasi pembuatan snack dengan bahan grits jagung dengan substitusi tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 7. Bahan-bahan sesuai formulasi kemudian dicampur dengan tambahan 30 ml minyak goreng. Pengadukan dilakukan dengan spatula plastik hingga seluruh grits jagung dan tepung putih telur tercampur merata. Tabel 7. Formulasi Pembuatan Snack Bahan
Grits Jagung
Formulasi 1
2
3
4
5
------------------------------- g ------------------------------96,5 91,5 86,5 81,5 76,5
Tepung Putih Telur
0
5
10
15
20
Garam
1
1
1
1
1
Bubuk Bawang Putih
1
1
1
1
1
Gula
1
1
1
1
1
Lada
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Extruder yang digunakan yaitu extruder dengan merek Baldor. Extruder dikondisikan pada suhu dan kecepatan putaran pisau tertentu sebelum digunakan.
26
Suhu outlet extruder diatur pada suhu 60OC. Suhu outlet tersebut dapat dicapai selama 20-30 menit setelah extruder dinyalakan dengan melihat pergerakan penunjuk suhu. Pengaturan kecepatan pisau dilakukan setelah suhu outlet tercapai. Pisau pemotong di dalam extruder berjumlah enam buah dengan formasi pisau segienam yang akan terus berputar. Kecepatan pisau extruder diatur pada 500 rpm. Peningkatan kecepatan pisau dapat mengakibatkan ukuran panjang produk snack akan semakin pendek. Bahan baku snack ekstrusi yang telah dicampur dapat langsung dimasukkan ke dalam feed hooper extruder. Feed hopper pada extruder Baldor SEAFAST Center terdiri atas dua bagian. Bahan baku snack dengan total bahan kurang dari 5 kg sebaiknya menggunakan feed hooper samping. Pencampuran bahan-bahan dilakukan di luar extruder karena bahan baku langsung diterapkan proses ekstrusi. Feed hooper utama digunakan untuk memasukkan bahan snack dengan kapasitas produksi lebih dari 5 kg. Bahan baku snack akan mengalami pencampuran lanjutan di dalam extruder jika melalui feed hooper utama.
Bahan sesuai formulasi Minyak goreng Pencampuran
Extruder dipanaskan 180-200OC
Pemasukan bahan ke feed hooper
Snack ekstrusi
Gambar 6. Diagram Alir Proses Pembuatan Snack Ekstrusi
27
Produksi snack dengan waktu singkat akan menghasilkan produk snack ekstrusi yang sangat banyak. Snack ekstrusi akan keluar dari extruder melalui bagian bawah. Snack yang telah keluar kemudian didinginkan selama 15 menit. Pendinginan dilakukan agar snack yang akan dikemas tidak cepat menjadi lembek karena uap air masih tinggi akbiat proses ekstrusi. Snack tersebut kemudian dikemas dengan kemasan plastik untuk dilakukan analisis. Diagram alir pembuatan snack ini dapat dilihat pada Gambar 6. Peubah yang Diamati Snack yang diperoleh dari extruder kemudian diambil sebagai contoh secara acak untuk diamati. Peubah yang diamati yaitu kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan daya cerna. Kadar Air SNI 01-2891-1992 (Dewan Standardisasi Nasional, 1992). Pengukuran kadar air ini dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan yang akan digunakan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105OC selama 15 menit lalu didinginkan dan ditimbang. Sampel snack ditimbang sekitar 2 ± 0,1 g pada cawan yang telah diketahui bobotnya. Sampel pada cawan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105OC selama enam jam lalu didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar air dapat ditentukan dengan rumus : Kadar Air =
w w1 w
100%
w = berat awal contoh (g) w1 = berat akhir contoh (g) Kadar Lemak SNI 01-2891-1992 (Dewan Standardisasi Nasional, 1992). Kadar lemak snack diukur dengan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet. Sampel snack diambil sebanyak 2 ± 0,1 g lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong tersebut disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu maksimal 80OC maksimal satu jam kemudian dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxhlet yang dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih dan diketahui bobotnya. Ekstraksi dilakukan dengan heksana selama
6 jam. Labu
lemak dengan ekstrak lemak tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 105OC lalu
28
didinginkan dan ditimbang hingga tercapai bobot tetap. Kadar lemak dapat diketahui dengan rumus : Kadar Lemak =
w2
w1 w
100%
w = bobot contoh (g) w1 = bobot labu lemak sebelum diekstraksi w2 = bobot labu lemak setelah diekstraksi Kadar Protein SNI 01-2891-1992 (Dewan Standardisasi Nasional, 1992). Sampel snack diambil sebanyak 0,51 g lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal 100 ml yang ditambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat. Pemanasan labu Kjeldhal dilakukan di atas pemanas listrik sampai mendidih dan larutan menjadi kehijauan. Labu dibiarkan dingin lalu diencerkan pada labu ukur 100 ml sampai tanda tera. Larutan tersebut diambil lima ml dan dimasukkan dalam alat penyuling kemudian ditambahkan lima ml NaOH 30% dan indikator PP. Penyulingan dilakukan selama 10 menit dengan penampung 10 ml asam borat 2% yang ditambah indikator. Ujung pendingin dibilas air suling. Hasil penyulingan dititrasi dengan larutan HCl 0,01N. Penentuan blanko dilakukan dengan cara yang sama. Perhitungan kadar protein dapat digunakan rumus : Kadar Protein =
V1
V2
N HCl 0,0014 w
f .k .
f . p.
100%
w = bobot sampel V1 = volume HCl 0,01N dalam penitaran sampel V2 = volume HCl dalam penitaran blanko N = normalitas HCl f.k. = faktor konversi untuk protein dari makanan secara umum (6,25) f.p. = faktor pengenceran Daya Cerna Protein secara In Vitro (Saunders et al. (1973) yang disitir oleh Muchtadi (1993)). Sampel sebanyak 1-2 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 ml lalu ditambahkan 15 ml HCl 0,1 N. Larutan HCl tersebut mengandung 1,5 ml enzim pepsin. Labu Erlenmeyer diaduk pada shake water bath dengan kecepatan rendah pada suhu 30OC selama tiga jam. Larutan dinetralkan (pH 7) dengan NaOH 0,5 N
29
dan kemudian ditambahkan empat ml enzim pankreatin di dalam 7,5 ml larutan buffer fosfat 0,2 M dengan pH 8 yang mengandung natrium azida 0,005 M. Larutan yang diperoleh diaduk kembali dengan shake water bath dengan kecepatan rendah pada suhu 37OC selama 24 jam. Larutan tersebut disaring dengan kertas saring Whatman 41 yang sudah ditimbang beratnya. Padatan bersama kertas saring kemudian dikeringkan dalam oven 105OC selama dua jam kemudian ditimbang. Padatan yang telah kering kemudian dilakukan analisis kandungan nitrogen dengan menggunakan metode Kjeldahl. Protein yang diperoleh disebut protein sisa. Kecernaan Protein =
% protein awal % protein sisa 100% % protein awal
Protein Tercerna (Nastiti, 2007). Protein tercerna merupakan banyaknya protein yang terkandung di dalam bahan yang dapat dicerna oleh enzim pencernaan. Total protein tercerna diperoleh dari hasil kali antara daya cerna protein dengan kadar protein bahan.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Kimia Bahan Baku Pembuatan tepung putih telur dilakukan sebanyak tiga kali dengan waktu yang berbeda. Rendemen putih telur dalam penelitian ini berkisar antara 11,45 – 11,86%. Komposisi kimia jagung dan tepung putih telur yang digunakan dalam pembuatan snack ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 juga memperlihatkan standar tepung putih telur berdasarkan SNI 01-4323-1996 (BSN, 1996). Tabel 8. Komposisi Jagung Varietas “Bayu” dan Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering Bahan Komposisi
Tepung Putih SNI Tepung Putih Telur Telur ----------------------------------- % ----------------------------------Jagung “Bayu”
Kadar Air
14,76
6,91
<8
Kadar Abu
1,35
2,44
<5
Kadar Lemak
5,60
1,71
<1
Kadar Protein
10,18
78,58
> 75
Karbohidrat (by difference)
82,87
-
-
Kandungan nutrisi jagung didominasi oleh karbohidrat sebesar 68,11%. Karbohidrat di dalam jagung dapat berbentuk pati, gula sederhana, dan serat. Perbedaan komposisi antara tipe karbohidrat yang terkandung dapat menyebabkan perbedaan karakteristik jagung seperti penerimaan sensori dan gelatinisasi pati. Sugiyono et al. (2004) menjelaskan bahwa pati jagung tipe “Bayu” merupakan pati dengan gelatinisasi yang lebih rendah daripada tipe jagung Arjuna dan Antasena pada pengukusan 100OC. Hal tersebut ditunjukkan pada pembuatan beras jagung instan. Rendahnya tingkat gelatinisasi pati memberikan manfaat pada penyerapan terbatas pati oleh tubuh (Holm et al., 1988). Protein yang terkandung dalam jagung mencapai 10,18%. Protein jagung didominasi oleh fraksi protein prolamin dan glutelin (Muhadjir, 1988). Masing-masing fraksi protein tersebut kurang dapat larut di dalam air tetapi mudah larut dalam etil alkohol dan asam atau basa lemah (Hoseney, 1998). Lemak yang terkandung di dalam biji jagung mencapai 5,60%.
31
Tepung putih telur mengandung protein sebesar 78,58%. Kandungan protein tersebut menandakan bahwa tepung putih telur dapat dinyatakan sebagai bahan sumber protein. Kandungan protein telah memenuhi standar SNI 01-4323-1996 yang menyatakan bahwa kadar protein minimal 75%. Kandungan protein di dalam putih telur didominasi oleh fraksi albumin yang mudah terkoagulasi oleh panas. Fraksi tersebut merupakan fraksi protein yang larut dalam air. Tepung putih telur juga masih mengandung lemak dengan kadar yang rendah yaitu 1,71%. Kadar lemak belum memenuhi SNI 01-4323-1996 yaitu maksimal 1%. Kadar lemak pada tepung putih telur ini dapat diakibatkan oleh masih terkandungnya lemak transport dalam bentuk apoLDL dan apoHDL (Campos et al., 2003). Lemak pada tepung putih telur juga dapat diakibatkan oleh penggunaan loyang yang belum bebas lemak. Kadar abu dalam tepung putih mencapai 2,44% yang menunjukkan bahwa di dalam tepung putih telur masih memiliki sejumlah mineral yang baik untuk membantu metabolisme tubuh, baik untuk embrio, maupun manusia pada telur konsumsi. Kadar abu telah memenuhi persyaratan SNI 01-4323-1996 yaitu maksimal 5%. Tabel 8 menunjukkan kandungan nutrisi bahan baku pembuatan snack ekstrusi. Kedua bahan baku tersebut dapat memberikan pengaruh saling melengkapi. Keunggulan dan kelemahan bahan baku berdasarkan kandungan nutrisi dapat dilihat pada aspek protein dan karbohidrat. Protein mendominasi tepung putih telur. Protein ini dapat mensubstitusi kandungan protein jagung yang rendah. Karbohidrat sebagai sumber energi diperoleh dari jagung karena tepung putih telur hanya menyediakan karbohidrat yang rendah. Pemanfaatan kedua bahan secara bersamaan dapat memberikan pengaruh pada peningkatan nilai nutrisi produk pangan yang dihasilkan seperti produksi snack ekstrusi. Kandungan Nutrisi Snack Ekstrusi Kandungan nutrisi yang dianalis is pada snack ekstrusi dengan substitusi tepung putih telur meliputi kadar air, kadar lemak, dan kadar protein. Kadar Air Kadar air adalah banyaknya air yang dikandung di dalam bahan. Kandungan air akan mempengaruhi kualitas produk akhir. Kandungan air yang cukup tinggi
32
dapat menyebabkan produk kurang renyah dan garing. Hal ini dapat berakibat pada menurunnya penerimaan konsumen terhadap produk snack ekstrusi. Kadar air snack ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 9. Kadar air maksimal yang terkandung di dalam snack ekstrusi berdasarkan SNI 01-2886-2000 yaitu 4% (BSN, 2000). Produk snack ekstrusi yang disubstitusi dengan tepung putih telur telah memenuhi persyaratan kualitas standar di Indonesia. Kadar air yang terkandung tidak dipengaruhi oleh susbtitusi tepung putih telur (P>0,05). Kadar air akan semakin berkurang dengan penambahan bahan kering di dalam formulasi dan penambahan minyak goreng serta proses pengeringan lanjutan. Kadar air di dalam snack berkurang dari kadar air bahan baku dikarenakan air yang terkandung akan diuapkan selama proses ekstrusi berlangsung. Hal ini terjadi karena selama proses terjadi pemanasan sehingga air yang terdapat di dalam bahan baku menguap. Puncak penguapan air terjadi ketika bahan keluar dari die atau cetakan snack ekstrusi. Menguapnya air yang terkandung di dalam bahan menyebabkan pula pembentukan struktur produk snack ekstrusi yang berpori atau dengan struktur silang. Santoso et al. (2007) menjelaskan berkurangnya kadar air disebabkan oleh molekul pati yang tetap terselubung oleh protein dan lemak yang merupakan struktur yang kompak dengan ikatan kovalen dan ionik yang sulit dipecah oleh air. Tabel 9. Kadar Air Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering Tepung Putih Telur
Kadar Air
------------------------------------------------ % -----------------------------------------------0
2,34 ± 0,233
5
2,49 ± 0,179
10
2,43 ± 0,096
15
2,69 ± 0,225
20
2,41 ± 0,164
Air yang terkandung di dalam bahan baku berada dalam jumlah yang terbatas. Gelatinisasi dapat dipengaruhi kandungan air di dalam produk snack ekstrusi. Gelatinisasi merupakan proses pengembangan granula karena perlakuan suhu tinggi dengan hasil akhir amilosa akan keluar dari granula pati jika suhu terus
33
meningkat (Muchtadi et al., 1988). Air akan terperangkap dalam sistem amilosa amilopektin tetapi jika suhu terus meningkat maka granula pati akan pecah sehingga molekul pati akan keluar. Proses ekstrusi dilakukan dengan bahan baku berkadar air rendah. Kadar air bahan baku kurang dari 15% dan kadar air produk akhir mencapai 2,69%. Muchtadi et al. (1988) menyatakan bahwa proses gelatinisasi tidak terjadi melainkan terjadi proses peleburan granula pati oleh panas. Proses gelatinisasi dapat terjadi tetapi hanya terjadi gelatinisasi sebagian atau tidak sempurna akibat rendahnya kadar air bahan baku (Holm et al., 1988). Santoso et al. (2007) menyatakan bahwa gelatinisasi pati ubi jalar menjadi tidak empurna s diakibatkan juga oleh berkurangnya penyerapan air ke dalam granula pati. Wianecki
dan
Kolokowski
(2007) menjelaskan
bahwa
pati
jagung
membutuhkan waktu 25 menit untuk terjadi proses gelatinisasi secara keseluruhan. Gelatinisasi dimulai pada kisaran suhu 66-70OC dan berakhir pada kisaran suhu 8284OC. Kisaran suhu berakhirnya gelatinisasi akan meningkat dengan meningkatnya ukuran grits jagung yang digunakan. Proses peleburan akan terjadi jika suhu yang diterapkan lebih tinggi dari suhu gelatinisasi. Kadar Lemak Kadar lemak pada snack ekstrusi dengan substitusi tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 10. Kadar lemak menunjukkan banyaknya lemak yang terkandung di dalam bahan berdasarkan pengujian ekstraksi Sokhlet. Kadar lemak snack ekstrusi yang diperoleh memenuhi persyaratan SNI 01-2886-2000 yaitu dibawah 30% (BSN, 1992). Tabel 10 memperlihatkan kandungan lemak di dalam snack ekstrusi yang berbeda nyata antar perlakuan pada taraf P<0,01. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung putih telur mempengaruhi kandungan lemak snack ekstrusi. Kadar lemak di dalam snack ekstrusi semakin meningkat dengan peningkatan taraf substitusi tepung putih telur. Lemak pada snack ekstrusi berasal dari beberapa sumber. Penambahan minyak goreng yang sama yaitu sebanyak 30 ml selama proses pembuatan snack bertujuan untuk mempermudah aliran bahan di dalam ulir extruder (Camire, 2001). Penambahan ini diharapkan tidak menggumpalkan bahan di dalam ulir atau menyebabkan extruder kesulitan mengeluarkan bahan melalui die atau cetakan.
34
Tabel 10. Kadar Lemak Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering Tepung Putih Telur
Kadar Lemak
------------------------------------------------ % -----------------------------------------------0
3,57 ± 0,187 A
5
3,79 ± 0,175 A
10
4,49 ± 0,208 B
15
4,85 ± 0,045 B
20
4,99 ± 0,086 B
Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada P < 0,01
Peningkatan kadar lemak yang teranalisis dapat disebabkan oleh minyak goreng yang digunakan selama proses ekstrusi. Minyak goreng dapat tertinggal pada ulir extruder. Hal ini menyebabkan setiap produk yang dihasilkan akan mengalami penempelan minyak goreng dari formulasi sebelumnya. Kadar lemak yang tinggi juga adpat disebabkan oleh berkurangnya pembentukan kompleks makronutrient. Korus et al. (2006) menyatakan bahwa penurunan kadar lemak dapat disebabkan oleh terjadinya ikatan antara lemak dan amilosa. Amilosa dalam produk ekstrusi lebih banyak 6% daripada pati mentah karena terjadi penguraian mekanis (Gambus et al., 1999). Hal tersebut dapat menyebabkan kandungan amilosa yang berikatan dengan lemak semakin banyak. Ikatan antara amilosa dan lemak yang ada sulit diekstraksi. Camire (2001) menyatakan bahwa lemak yang tergabung dalam komplek lemak – pati sulit diekstraksi dengan analisis Sokhlet karena tidak menggunakan asam yang dapat memecah pati terlebih dahulu. Kadar Protein Kadar protein adalah sejumlah protein yang terkandung di dalam produk. Kadar protein snack ekstrusi dapat di lihat pada Tabel 11. Kadar protein snack ekstrusi dengan substitusi tepung putih telur menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf P<0,01. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan taraf substitusi tepung putih telur dapat meningkatkan kadar protein bahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan dapat tercampur merata sehingga tidak terjadi
35
penyimpangan kandungan protein antara perlakuan yang diberikan. Hal ini berdasarkan pernyataan Muchtadi et al. (1988) tentang kelebihan proses ekstrusi yaitu proses ini dapat mencampur, memasak, dan membentuk produk akhir. Tabel 11. Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering Tepung Putih Telur
Kadar Protein
----------------------------------------------- % -----------------------------------------------0
8,73 ± 0,425 A
5
13,28 ± 0,068 B
10
17,79 ± 0,839 C
15
20,17 ± 0,411 D
20
23,82 ± 0,168 E
Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada P < 0,01
Protein
dapat
berikatan
dengan komponen
lain
seperti karbohi drat.
Karbohidrat dalam bentuk pati merupakan pembentuk struktur produk snack ekstrusi dengan sifat renyah dan berpori (porous). Substitusi tepung putih telur yang dilakukan yaitu mengurangi kandungan pati yang terdapat dalam bahan baku. Substitusi tersebut menyebabkan protein yang terdapat di dalam tepung putih telur dapat bersama-sama membentuk struktur produk snack ekstrusi yang lebih padat. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pembentukan matriks antara pati dan protein (Harper, 1981). Struktur produk snack ekstrusi tanpa tepung putih telur cenderung lebih mengembang dan berbeda dengan snack ekstrusi dengan susbtitusi tepung putih telur yang lebih padat dan kompak. Daya Cerna Protein Protein merupakan salah satu nutrien yang dibutuhkan oleh tubuh terutama di masa pertumbuhan. Protein yang baik adalah protein yang mengandung sejumlah asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh tetapi tidak diproduksi oleh tubuh. Kandungan asam amino yang cukup tinggi harus didukung oleh daya cerna protein oleh tubuh yang tinggi pula agar tubuh dapat menyerap asam amino yang berasal dari bahan pangan. Daya cerna protein adalah banyaknya protein yang dapat dicerna oleh tubuh atau banyaknya protein yang dapat dipotong ikatannya oleh enzim
36
protease sehingga dapat diperoleh asam-asam amino yang dapat langsung diserap oleh tubuh. Tabel 12 memperlihatkan daya cerna protein snack ekstrusi yang diperoleh dengan menggunakan metode in vitro. Metode ini digunakan untuk mempermudah dalam memperkirakan daya cerna sesungguhnya dari snack ekstrusi. Daya cerna protein snack ekstrusi berbeda nyata pada taraf α = 0,2. Tabel 12 menunjukkan bahwa subtitusi 10 hingga 20% memberikan pengaruh yang berbeda dengan taraf 0% dan 5% terhadap daya cerna protein. Tabel 12. Daya Cerna Protein dan Kadar Protein Tercerna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Berdasarkan Berat Kering Tepung Putih Telur
Daya Cerna Protein
Protein Tercerna
------------------------------------------------ % ----------------------------------------------0
90,27 ± 0,926 a
7,88 ± 0,413 a
5
88,87 ± 0,230 a
11,80 ± 0,036 a
10
87,78 ± 0,298 b
15,62 ± 0,691 b
15
87,58 ± 0,148 b
17,66 ± 0,389 b
20
87,50 ± 0,244 b
20,84 ± 0,130 c
Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada α = 0,2
Daya cerna snack ekstrusi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dijelaskan oleh Damodaran (1996). Daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, faktor anti nutrisi, ikatan protein, dan pengolahan bahan pangan. Proses ekstrusi menerapkan panas dan tekanan yang tinggi mencapai 200OC dengan tekanan 50-70 Pa. Substitusi tepung putih telur yang mengandung protein yang cukup tinggi dapat memberikan produk akhir yang kurang renyah tetapi padat. Struktur protein yang terdapat di dalam snack ekstrusi merupakan hasil reorientasi protein dan pembentukan struktur mirip serat. Struktur et rsebut yang dapat menyebabkan daya cerna protein berkurang. Antitripsin merupakan salah satu faktor anti nutrisi yang terdapat dalam telur yaitu pada ovomukoid. Aktivitas antitripsin akan menurun dengan proses pemanasan. Penurunan aktivitas antitripsin telah dijelaskan oleh Lineweaver dan Murray (1947) pada telur. Inhibitor tripsin juga menurun ketika direbus, dipanggang, dan proses
37
dengan panas dan tekanan (autoclave) pada cowpea Sesquipedalis. Penurunan inhibitor tripsin terendah 20% pada pemanggangan selama 30 menit kemudian terus menurun dengan peningkatan waktu pengolahan (Udensi et al., 2007). Penelitian Stanojevic et al. (2004) juga menunjukkan penurunan yang nyata dengan peningkatan waktu pengolahan terhadap aktivitas inhibitor tripsin. Aktivitas inhibitor tripsin pada kedelai berkurang 20% pada proses dengan autoclave selama 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa faktor anti nutrisi tidak berpengaruh terhadap penurunan daya cerna snack ekstrusi. Tepung putih telur dengan bahan lainnya telah tercampur dengan baik karena kadar protein meningkat seiring penurunan grits jagung. Protein yang terkandung dapat saling melengkapi dalam kandungan asam aminonya. Telur telah lama dijadikan sebagai bahan pangan dengan asam amino standar. Telur mengandung asam amino yang lengkap dan ketersediannya dapat dimanfaatkan oleh tubuh dibandingkan isolat protein kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa asam amino pada putih telur dapat saling melengkapi ketersediaan asam amino pada produk ekstrusi (Humayun et al., 2007). Asam amino utama dalam jagung yaitu asam glutamat dan leusin. Asam amino pembatas di dalam jagung yaitu lisin dan triptofan (Chung and Pomeranz, 2000). Lisin merupakan satu dari tiga asam amino basa polar. Björk and Asp (1984) menyatakan bahwa kehilangan kandungan lisin dalam bahan baku ekstrusi seperti jagung dapat disebabkan oleh peningkatan suhu extruder dan penurunan kadar air bahan. Kehilangan lisin berada pada kisaran 0 hingga 40% dengan suhu extruder antara 170 - 210OC. Penurunan daya cerna snack ekstrusi dapat disebabkan oleh terbentuknya ikatan silang protein. Ikatan silang yang terjadi pada snack ekstrusi menyebabkan protease seperti tripsin kesulitan dalam memecah atau memutus ikatan peptida di dalam ikatan silang protein. Ikatan silang protein antara lisin dan alanin menjadi lisinoalanin tersebut juga muncul pada produk-produk seperti susu UHT, susu bubuk dengan pengering semprot, dan tepung putih telur (Damodaran, 1996). Hal ini sesuai dengan penelitian de Vrese (2000) yang menunjukkan bahwa sejumlah kecil produk lisinoalanin di dalam protein seperti kasein dan protein gandum dapat menurunkan daya cerna protein secara nyata. Ikatan lisin dengan gugus lain atau makronutrient disebabkan oleh gugus karbon laifatik [-(CH2)4-NH3+]. Lisin akan mudah
38
berinteraksi sehingga ketersediaan lisin menjadi kurang bermanfaat (Tome dan Bos, 2007). Reaksi Maillard juga berperan dalam penurunan daya cerna protein. Winarno (1992) menjelaskan reaksi Maillard dimulai dengan reaksi antara asam amino dan gula pereduksi akan membentuk suatu basa Schiff yang tidak stabil. Obuchowski et al. (2007) menjelaskan bahwa gula pereduksi pada produk snack ekstrusi diperoleh dari hasil dekomposisi pati menjadi rantai yang lebih pendek dan dalam bentuk dekstrin dengan 7 – 10 molekul glukosa selama pemasakan ekstrusi. Penguraian pati tersebut tidak berlangsung terlalu jauh tetapi hanya pada pembentukan molekul dengan bobot molekul lebih rendah. Gula sederhana seperti glukosa, fruktosa dan maltosa (disakarida) akan digunakan untuk membentuk molekul besar yang berikatan dengan bahan lain. Produk basa Schiff yang tidak stabil akan mengalami rangkaian reaksi Melanoidin menghasilkan produk Amadori. Produk Amadori ini cukup stabil dibandingkan produk basa Schiif. Reaksi Maillard akan mengarah pada perubahan warna produk dan flavour. Plakas et al. (1988) menjelaskan bahwa produk reaksi Maillard akan sulit digunakan oleh tubuh. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan lisin untuk tubuh. Selain itu, hadirnya asam penghidrolisis hanya mampu mengurai 50% lisin dari komponen Amadori. Reaksi Maillard pada pembuatan snack ekstrusi dapat dilihat pada hasil produk yang semakin berwarna coklat seiring dengan peningkatan rasio tepung putih telur dan grits jagung. Lisin yang terkandung di dalam telur merupakan asam amino yang cukup reaktif (Björk dan Asp, 1984). Reaksi Maillard ini dapat terjadi antara lisin dengan gula pereduksi dari jagung. Jagung tipe “Bayu” merupakan salah satu tipe jagung manis. Jagung tersebut mengandung sejumlah gula sederhana dalam bentuk fruktosa. Fruktosa akan mudah berikatan dengan asam amino reaktif (lisin) sehingga membentuk produk Maillard. Protein yang terkandung dari tepung putih telur dapat berikatan dengan gula pereduksi sehingga membentuk sebuah senyawa yang sulit dipecah oleh protease seperti karboksipeptidase dan aminopeptidase. Produk
Maillard
ini
lebih
bany ak
terjadi
pada
proses penggorengan dan
pemanggangan tetapi Seiquer et al. (2006) menyatakan bahwa penurunan daya cerna protein pada makanan berwarna coklat hanya 6% daripada makanan kontrol.
39
Protein tercerna merupakan banyaknya protein bahan yang dapat didegradasi oleh enzim protease. Penentuan protein tercerna dengan cara mengalikan antara daya cerna dan protein yang terkandung. Tabel 12 menampilkan kadar protein tercerna snack ekstrusi. Protein tercerna meningkat dengan peningkatan taraf substitusi tepung putih telur. Protein tercerna pada taraf subtitusi 10% dan 15% berbeda dengan kadar protein tercerna pada taraf subtitusi 0% dan 5%. Kadar protein tercerna tertinggi terjadi pada taraf subtitusi tepung putih telur sebesar 20%. Protein tercerna yang semakin meningkat menunjukkan bahwa kualitas protein dalam bahan semakin baik. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna semakin menurun dengan peningkatan taraf substitusi tepung putih telur. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna seperti produk reaksi Maillard dan produk ikatan silang antar protein masih terkandung di dalam produk snack ekstrusi. Daya cerna protein menurun diakibatkan oleh berkurangnya protein yang dapat terurai menjadi asam amino. Protein tercerna meningkat sebagai akibat peningkatan jumlah protein yang terkandung di dalam snack. Tabel 10 menunjukkan bahwa asam amino reaktif yang terkandung semakin banyak tetapi diikuti pula oleh meningkatnya asam amino yang kurang reaktif. Asam amino reaktif semakin meningkat pada taraf substitusi tepung putih telur yang tinggi. Asam amino seperti lisin, histidin, aspartat, alanin, sistein, valin, dan leusin akan menurun dengan meningkatnya campuran bahan baku. Hal ini telah dijelaskan oleh Nwabueze (2007) yaitu asam amino menurun pada produk snack ekstrusi Treculia africana 20 – 30%. Asam amino tersebut bereaksi dengan bahan lain seperti gula yang membentuk reaksi Maillard. Asam amino lainnya yang tidak ikut bereaksi masih terkandung dalam produk snack ekstrusi.
40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Snack ekstrusi dengan bahan baku pati dapat disubstitusi dengan tepung putih telur untuk peningkatan kandungan protein. Meskipun daya cerna protein snack ekstrusi menurun, tetapi persen protein tercerna semakin meningkat akibat peningkatan kadar protein. Penelitian ini merekomendasikan penggunaan tepung putih telur pada taraf 20% sebagai taraf terbaik dari sudut pandang nutrisi yang terkandung dan protein yang tercerna. Saran Penelitian ini dapat dikembangkan dengan mengevaluasi kecernaan snack ekstrusi dengan metode in vivo agar dapat diketahui kecernaan sejati. Produksi snack ekstrusi dengan substitusi tepung putih telur dapat dikembangkan untuk industri skala rumah tangga setelah analisis ekonomi untuk studi kelayakan usaha dilakukan.
41
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah atas selesainya pembuatan skripsi ini. Skripsi ini telah terwujud atas perhatian, kerjasama, dan dukungan seluruh pihak yang terkait. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis, Ayahanda dan Almarhumah Ibunda, Joko Prayitno, Rini Setiawati, dan Dewi Sri Lestari, atas dukungan dan bantuan yang tidak mungkin dapat penulis balas tanpa memberikan hal yang membanggakan. Terima kasih atas bimbingannya kepada Dr. Ir. Rudy Priyanto sebagai dosen pembimbing akademik. Dosen pembimbing skripsi, Zakiah Wulandari S.TP., M.Si. dan Tuti Suryati S.Pt., M.Si., yang telah rela berkorban untuk menerima dan mendampingi dalam penelitian dan penyusunan karya ini. Epi Taufik, S.Pt., MVPH dan Ir. Anita Sardiana Tjakradidjaja, M.Rur.Sc sebagai penguji sidang atas segala masukannya. Teknisi di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Iyom dan Parta atas bantuannya. Teknisi SEAFAST Center, Junaedi, teknisi di Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB, Nina Herlina dan Mashudi yang sudah membantu penelitian secara teknis. Rekan-rekan di Teknologi Hasil Ternak angkatan 41 untuk kebersamaannya dalam mendorong dan mendukung penyelesaian skripsi penulis. Teman satu tim penelitian, Risma dan Delvia, kelompok tepung putih telur THT angkatan 40, Laila, Taufik, Samsyul atas kerjasamanya. Kelompok snack ekstrusi PKM 2007, Maya dan Widimartani atas kerjasama selama penelitian PKM. Kelompok tepung daging, Topan, Ari, Anindita, Tria, Wieke, dan Harfan, atas bantuan dan dukungan yang tiada henti, semoga bisa bersama lagi. Terima kasih untuk mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan angkatan 42 dan 43, rekan-rekan Ilmu dan Teknologi Pangan di Emulsi, serta Agita, Deni, dan Ratih di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB untuk bantuan dan kerjasamanya. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademik Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
42
DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional. 1996. SNI 01-4323-1996. Tepung Putih Telur. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-2886-2000. Makanan Ekstrudat. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Second Edition. Springer Verlag, Berlin. Björk, I. dan N. –G. Asp. 1984. The effects of extrusion cooking on nutritional value – A literature review. Dalam: R. Jowitt (Editor). Extrusion Cooking Technology. Elsevier Applied Science Publishers, London. Bodwell, C. E., L. D. Satterlee, dan L. R. Hackler. 1980. Protein digestibility of the same protein preparations by human and rat assays and by invitro enzymic digestion methods. The American J. of Clinical Nutr. 33: 677-686. Britannica Encyclopaedia Inc., 1996a. Corn. http://www.britannica.com. [3 Januari 2008]. Britannica Encyclopaedia Inc., 1996b. Extruder. http://www.britannica.com. [3 Januari 2008]. Boyer, C. D. dan J. C. Shannon. 2003. Carbohydrates of the kernel. Dalam: P. J. White dan L. A. Johnson (Editor). Corn: Chemistry and Technology. Second Edition. The American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. Camire, M. E. 2001. Extrusion and nutritional quality. Dalam: Extrusion Cooking: Technologies and Application. R. Guy (Editor). Woodhead Publishing Ltd., Cambridge, England. Campos, C. M. T., A. J. S. Hamad, E. R. Amante, J. L. Thapon, F. Nau, dan C. Guerin-Dubiard. 2003. Protein profile in freeze-dried chicken embryo eggs with different periods of development. Braz. Jvet. Res. Anim. Sci. 40: 9 – 13. Chaplin, M. 2007. Starch. http://www.lsbu.ac.uk/water/hysta.html. [3 Januari 2008]. Charley, H. 1982. Food Science. John Wiley and Sons, New York. Chung, O. K. dan Y. Pomeranz. 2000. Cereal processing. Dalam: S. Nakai dan H. W. Modler (Editor). Food Proteins: Processing Applications. Wiley-VCH, New York. Crim, M. C. dan H. N. Munro. 1987. Protein. Dalam: R. E Olson, H. P. Broquist, C. O. Chichester, W. J. Darby, A. C. Kolbye Jr., dan R. M. Stalvey (Editor). Pengetahuan Gizi Mutakhir: Energi dan Zat-zat Gizi. Terjemahan: A.H. Nasoetion, D. Karyadi, A. Nasoetion, Anwar Nur, I. K. Amarullah, dan S. Gretiani. PT Gramedia, Jakarta.
43
Damodaran, S. 1996. Amino acids, peptides, and proteins. Dalam: O. R. Fennema (Editor). Food Chemistry. Third Edition. Marcel Dekker, Inc., New York. De Vrese, M., R. Frik, N. Roos, dan H. Hagemeister. 2000. Protein-bound D-amino acids, and to a lesser extent lysinoalanine, decrease true ileal protein digestibility in minipigs as determined with 15N-labelling. J. Nutr. 130 : 2026 – 2031. Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Dewan
Standardisasi Nasional. 1995. Standardisasi Nasional, Jakarta.
SNI
01-3920-1995.
Jagung.
Dewan
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Konsumsi telur menurut provinsi 2002-2006. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/nak06/Konsumsi%20Telur1.htm. [25 Januari 2007]. Dziezak, J. D. 1989. Single- and twin-screw extruders in food processing. Food Technology. April:4. 164-174. Eliasson, A-C. dan M. Gudmundsson. 2006. Starch: Physicochemical and functional aspects. Dalam: A-C. Eliasson (Editor). Carbohydrates in Food. Second Edition. CRC-Taylor and Francis Group, Boca Raton, Finlandia. Evenepoel, P., B. Geypens, A. Luypaerts, M. Hiele, Y. Ghoos, dan P. Rutgeerts. 1998. Digestibility of cooked and raw egg protein in humans as assessed by stable isotope techniques. J. Nutr. 128: 1716 – 1722. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta. Faridi, H. 1994. Technology of cookie and cracker production. Dalam: Hamed Faridi (Editor). The Science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York. Food and Agriculture Organization. 1981. Amino-acid Content of Foods and Biological Data on Proteins. ttp://www.fao.org/docrep/005/AC854T/ h AC854T00.htm [6 Nopember 2007] FSIS-USDA. 2005. Annex G: Pasteurization of Liquid Egg Products and Shell Eggs. http://www.fsis.usda.gov/PDF/SE_Risk_Assess_Annex_G_Oct2005.pdf. [8 Januari 2008]. Gambus, H. A. Golachowski, A. Bala-Piasek, R. Ziobro, A. Nowotna, dan K. Surowka. 1992. Functional properties of starch extrudates. Part I. Dependence of extrudates properties on starch water content. Electronic J. of Polish Agric. Univ. 2 (2). http://www.ejpau.media.pl/series/volume3/issue1/ food/art-02.html. [11 Pebruari 2008].
44
Hanafiah, K. A. 2005. Rancangan Percobaan Aplikatif: Aplikasi Kondisional Bidang Pertanaman, Peternakan, Perikanan, Industri, dan Hayati. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Harper, J. M. 1981. Extrussion of Foods I dan II. CRC Press, Inc., Boca Raton. Hawab, H. M. 2003. Pengantar Biokimia. Bayumedia Publishing, Malang. Holm, J., I. Lundquist, I. Bjorck, A-C. Eliasson, dan N-G. Asp. 1988. Degree of starch gelatinization, digestion rate of starch in vitro, and metabolic response in rats. Am. J. Clin. Nutr. 47: 1010 – 1016. Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal: Science and Technology. Second Edition. American Association of Cereal Chemist, Inc., St. Paul. Huber, G. 2001. Snack food from cooking extruders. Dalam: R. W. Lewis dan L. W. Rooney. Snack Foods Processing. CRC Press, Boca Raton. Humayun, M. A., R. Elango, S. Moehn, R. O. Ball, dan P. B. Pencharz. 2007. application of the indicator amino acid oxidation technique for the determination of metabolic availability of sulfur amino acids from casein versus soy protein isolate in adult men. J. Nutr. 137: 1874 – 1879. Jackson, A. 2002. Protein. Dalam: J. Mann dan A. S. Truswell (Editor). Essentials of Human Nutrition. Second Edition. Oxford University Press, New York. Korus J., D. Gumul, dan B. Achremowicz. 2006. The influence of extrusion on chemical composition of dry seeds of bean (Phaseolus vulgaris L.). Electronic J. of Polish Agric. Univ. 9 (1). http://www.ejpau.media.pl/volume9/issue1/ art-10.html. [11 Pebruari 2008]. Lawton, J. W. dan T. F. Wilson. 2003. Proteins of the kernel. Dalam: P. J. White dan L. A. Johnson (Editor). Corn : Chemistry and Technology. Second Edition. The American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. Lehninger, A. L. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan: Maggy Thenawijaya. Penerbit Erlangga, Jakarta. Lewicki, P. P. 2004. Extrusion technology. Dalam: W. K. Jensen, C. Devine, dan M. Dikeman (Editor). Encyclopedia of Meat Sciences.. Elsevier Ltd., New York. Lineweaver, H. dan C. W. Murray. 1947. Identification of trypsin inhibitor of egg white with ovomucoid. The J. of Biol. Chem. Manary, M. J., D. R. Brewster, R. L. Broadhead, S. M. Graham, C. A. Hart, J. R. Crowley, C. R. Fjeld, dan K. E. Yarasheski. 1997. Whole-body protein kinetics in children with kwashiorkor and infection: a comparison of egg white and milk as dietary sources of protein. Am. J. Clin. Nutr. 66: 643 – 648.
45
Marshall, S. W. dan W. F. Tracy. 2003. Sweet corn. Dalam: P. J. White dan L. A. Johnson (Editor). Corn: Chemistry and Technology. Second Edit ion. The American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. Matz, S. A. dan T. D. Matz. 1978. Cookie and Cracker Technology. Second Edition. The AVI Publishing Company, Inc., Connecticut. Matz, S. A. 1993. Snack Food Technology. Third Edition. Pan-Tech International Inc., Texas. McWilliams, M. 2001. Food: Experimental Perspectives. Prentice Hall, New Jersey. Medcalf, D. G. 1973. Structure and composition of cereal components as related to their potential industrial utilization. Dalam: Y. Pomeronz (Editor). Industrial Uses of Cereals. American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. Muchtadi, T. R., Purwiyatno, dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muhadjir, F. 1988. Karakteristik tanaman jagung. Dalam: Jagung. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Nastiti, D. 2007. Kadar tanin dan kecernaan in vitro telur pindang dengan lama perebusan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nutrition Data. 2006. Nutritional summary for cornmeal, degermed, unenriched, yellow. http://www.nutritiondata.com/facts-C00001-01c21Vj.html. [25 Januari 2007]. Nwabueze, T. U. 2007. Nitrogen solubility index and amino acid profile of extruded African breadfruit (T. Africana) blends. Nigerian Food J. 25 (1): 23 – 35. Obuchowski, W. A. Chalcarz, dan H. Paschke. 2007. The effect of raw material composition on a soluble substances content as well as the direction and extend of changes in saccharides during extrusion process. Electronic J. of Polish Agric. Univ. 10 (1). http://www.ejpau.media.pl/volume10/issue1/art17.html. [11 Pebruari 2008]. Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar Thomson Learning, Inc., New York.
46
Plakas, S. M., T-C. Lee, dan R. E. Wolke. 1988. Bioavailability of lysine in Maillard browned protein as determined by plasma lysine response in rainbow trout (Salmo gairdneri). J. Nutr. 118: 19 – 22. Puspitasari, R. 2006. Sifat fisik dan fungsional tepung putih telur ayam ras dengan waktu desugarisasi berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Romanoff, A. L. dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. Second Edition. John Wiley and Sons, New York. Rose, M. S. dan G. MacLeod. 1923. Digestion experiments with the raw white of egg: II. The digestibility of Unbeaten in comparison with beaten whites. J. Biol. Chem.: 369-371. Santoso, U., T. Murdaningsih, dan R. Mudjisihono. 2007. Produk ekstrusi berbasis tepung ubi jalar. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 18 (1): 40 – 46. Seiquer, I., J. D-. Alguacil, C. D-. Andrade, M. L-. Frías, A. M. Hoyos, G. Galdό, dan M. P. Navarro. 2006. Diets rich in Maillard reaction products affect protein digestibility in adolescent males aged 11-14 y. Am. J. Clin. Nutr. 83: 1082 – 1088. Stanijevic, S. P., B. V. Vucelic-Radovic, M. B. Barac, dan M. B. Pesic. 2004. The effect of autoclaving on soluble protein composition and trypsin inhibitor activity of cracked soybean. APTEFF. 35: 48 – 57. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company, New York. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta – Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sugiyono, S. T. Soekarto, P. Hariyadi, dan A. Supriadi. 2004. Kajian optimasi teknologi pengolahan beras jagung instan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 15 (2): 119 – 128. Suhardjo dan C. M. Kusharto. 1987. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ternes, W. 2001. Egg proteins. Dalam: Z. E. Sikorski (Editor). Chemical and Functional Properties of Food Proteins. Technomic Publishing Co., Inc., Lancaster, Barel. Thorne, M. J., L. U. Thompson, dan D. J. A. Jenkins. 1983. Factors affecting starch digestibility and the glycemic response with special reference to legumes. Am. J. Clin. Nutr. 38: 481 – 488.
47
Thijssen, A. A. C. dan P. J. A. M. Kerkhof. 1977. Effect of temperature-moisture content history during processing on food quality. Dalam: T. Høyem dan O. Kvǻle (Editor). Physical, Chemical and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing. Applied Science Publishers, Ltd., London. Tome, D. dan C. Bos. Lysine requirement through human life cycle. J. Nutr. 137: 1642S – 1645S. Udensi, E. A., F. C. Ekwu, dan J. N. Isinguzo. 2007. Antinutrient factors of vegetable cowpea (Sesquipedalis) seeds during thermal processing. Pakistan J. of Nutr. 6 (2): 194 – 197. Vail, G. E., J. A. Phillips, L. O. Rust, R. M. Grisworld, dan M. M. Justin. 1978. Foods Seventh Edition. Houghton Mifflin Company, Boston. Vieira, E. R. 1996. Elementary Food Science. Fourth Edition. Chapman and Hall, New York. Wianecki, M. dan E. Kolakowski. 2007. Gelatinization parameters of starch and some cereal products, as determined thermomechanically from torque measurements. Electronic J. of Poli sh Agric. Univ. 10 (4). http://www.ejpau.media.pl/volume10/issue4/art-23.html. [11 Pebruari 2008] Winarno, F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wong, P. Y. Y. dan D. D. Kitts. 2003. A comparison of the buttermilk solids functional properties to nonfat dried milk, soy protein isolate, dried egg white, and egg yolk powders. J. Dairy Sci. 86: 746–754.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1.
Extruder SEAFAST Center
Spesifikasi Alat : Ekstruder Baldor
Brush : 2/ BP 5011 AB01
I.E.C. Industrial Motor Direct Current
Ser # : W 007250109
Baldor Electric Co.
Type : PN 3320 P
FT Smith, AR, MFD in USA
AMPS : 1,25 P
CAT No. VP3311D
AMP : 40 C
Spec. 33-2370Z 132
Supply : F.F.1.3
Kwh P : 18/23 TE IP54
BRG/ODF : 6203
RPM : 1750
Kapasitas : 65-75 kg/jam
Frame : D7/D
Heater : 1250 watt (60-80OC)
Volts : 180
Putaran Ulir : 1400 rpm
Insul : F
Motor : Teco 25 Hp ‘for screw’
Duty : Cont.
VEMA : 1 Hp ‘for knife’
Brg/DE : 6203
BALDOR : 0,25 Hp for ‘material feeding’
49
Lampiran 2.
Produk Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Formulasi 1
Formulasi 2
Formulasi 3
Formulasi 4 Lampiran 3.
Formulasi 5
Hasil Uji Asumsi Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Asumsi
Kadar Air
Kadar Lemak
Kadar Protein
Daya Cerna
Protein Tercerna
Kenormalan Data
√
√
√
X
√
Kebebasan Galat
√
√
√
√
√
Kehomogenan Data
√
√
√
√
X
Kesimpulan
Analisis Keragaman
Analisis Keragaman
Analisis Keragaman
Uji Friedman
Uji Friedman
Keterangan:
√ memenuhi pengujian asumsi X tidak memenuhi pengujian asumsi
Lampiran 4.
Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Air Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Sumber
db
JK
KT
Fhit
P
Taraf Tepung Putih Telur
4
0,20955
0,05239
1,42
0,312
Kelompok
2
0,04932
0,02466
0,67
0,539
Galat
8
0,29540
0,03693
Total
14
0,55427
50
Lampiran 5.
Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Lemak Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Sumber
db
JK
KT
Fhit
P
Taraf Tepung Putih Telur
4
4,59637
1,14909
60,09**
0,000
Kelompok
2
0,07319
0,03659
1,91
0,209
Galat
8
0,15298
0,01912
Total
14
4,82254
Keterangan:
** menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01)
Lampiran 6.
Uji Tukey terhadap Kadar Lemak Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Rataan
0%
5%
10%
0%
-
0,2153tn
0,8933**
1,2493**
1,3933**
-
0,6780**
1,0340**
1,1780**
5% 10%
15%
20%
tn
-
15%
0,3560
0,5000*
-
0,1440tn
20%
-
Keterangan:
** menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01) * menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) tn menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0,05)
Lampiran 7.
Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Sumber
db
JK
KT
Fhit
P
Taraf Tepung Putih Telur
4
398,869
99,717
451,14**
0,000
Kelompok
2
0,306
0,153
0,69
0,528
Galat
8
1,768
0,221
Total
14
400,943
Keterangan:
** menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01)
51
Lampiran 8.
Uji Tukey terhadap Kadar Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Rataan
0%
5%
10%
15%
20%
0%
-
4,450**
8,853**
11,183**
14,753**
-
4,403**
6,733**
10,303**
-
2,330**
5,900**
-
3,570**
5% 10% 15% 20%
-
Keterangan:
** menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01)
Lampiran 9.
Hasil Uji Friedman Daya Cerna Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur
Perlakuan
N
Jumlah Rangking
0%
3
15
5%
3
12
10 %
3
7
15 %
3
6
20 %
3
5
db
4
P
0,043 *
Keterangan:
* menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,05)
Lampiran 10. Uji Pembandingan Berganda Nilai Tengah Daya Cerna Protein Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Rataan
0%
5%
10%
15%
20%
0%
-
3tn
8*
9*
10*
-
5*
6*
7*
-
1tn
1tn
-
1tn
5% 10% 15% 20% Keterangan:
* menunjukkan perbedaan (α = 0,2) tn menunjukkan tidak ada perbedaan
52
Lampiran 11. Hasil Uji Friedman Protein Tercerna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Perlakuan
N
Jumlah Rangking
0%
3
3
5%
3
6
10 %
3
9
15 %
3
12
20 %
3
15
db
4
P
0,017 *
Keterangan:
* menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,05)
Lampiran 12. Uji Pembandingan Berganda Nilai Tengah Protein Tercerna Snack Ekstrusi dengan Substitusi Tepung Putih Telur Rataan
0%
5%
10%
15%
20%
0%
-
3tn
6*
9*
12*
3
tn
6*
9*
-
3tn
6*
-
3tn
5%
-
10% 15% 20% Keterangan:
* menunjukkan perbedaan (α = 0,2) tn menunjukkan tidak ada perbedaan
53