PENURUNAN BAU AMIS (OFF-ODOR) DAGING ITIK LOKAL DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERFORMA
RUKMIASIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Februari 2011
Rukmiasih NIM P04600010
ABSTRACT RUKMIASIH. Reducing Off-odor of Local Duck Meat by Giving Beluntas Leaves (Pluchea Indica L.) Meal in the Ration and its Impact on the Performances. Supervised by PENI S. HARDJOSWORO, WIRANDA G. PILIANG, JOKO HERMANIANTO, and ANTON APRIYANTONO Local duck meat has been considered to have off-odor which is not preferable to be consumed by those who are not familiar with local duck meat. Previous studies showed that lipids especially unsaturated fatty acids are the main source of off-odor components liberated when the fatty acids are oxidized. A study with the aim to protect unsaturated fatty acids of local duck meat from excessive oxidation was conducted, using beluntas leaves (Pluchea indica L) meal (BLM) in feed as the source of flavonoid antioxidant. The effects of using BLM in the ration on feed consumption, on final body weight, and on feed conversion were studied on young male local ducks (4-10 weeks old). Three treatments applied were B0 (feed without BLM/control), B1 (control ration containing 1% BLM) and B2 (control ration containing 2% BLM). The data were analyzed using Completely Randomized Design. The study showed that no significant differences among treatments in the feed consumption and in the final body weight. The feed conversion of ducks given 1% of BLM in the ration (B1) and those given 2% of BLM in the ration (B2) were 3,4% and 8,6% respectively higher than those given the control ration. It was concluded that ducks fed the control ration was more efficient than those fed ration containing BLM. This could be due to the antinutrient tannin found in BLM. The effectiveness of flavonoid in BLM in reducing off-odor was also studied using old female ducks (12 months old). The data were analyzed using 3 x 3 factorial design. The first factor were the treatment ration i.e: B0, B1 and B2, the second factor were the duration of feeding trials i.e: 3, 5, and 7 weeks. The results showed that the meat with skin from ducks given BLM in the ration contained higher percentage of unsaturated fatty acids (C18:2; total C18:2 and C18:3) and lower in TBARS values than those given the countrol ration. These results proved that the flavonoid in BLM was able to protect the unsaturated fatty acid against lipid oxidation, therefore decreasing off-odor component liberation which was more preferable to be consumed. It was concluded that this type of ration could be applied to produce local duck meat.
Keywords: duck, off-odor, beluntas, performance, oxidation
RINGKASAN RUKMIASIH. Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa. Dibimbing oleh PENI S. HARDJOSWORO, WIRANDA G. PILIANG, JOKO HERMANIANTO, and ANTON APRIYANTONO Itik merupakan salah satu ternak lokal yang banyak dipelihara oleh masyarakat. Saat ini, daging itik lokal belum banyak dimanfaatkan, salah satu penyebabnya adalah daging itik mempunyai bau (off-odor) amis yang kurang disukai konsumen. Penyebab bau amis, yang paling dominan karena proses oksidasi lipid. Menurut beberapa pakar terdahulu, oksidasi lipid dapat dicegah dengan antioksidan. Beluntas merupakan tanaman herba, sudah dikenal sejak lama dapat mengurangi bau badan pada manusia. Oleh karena itu, pada penelitian ini dicoba apakah daun beluntas dapat mengurangi bau amis (off-odor) pada daging itik. Namun demikian, beluntas juga mengandung antinutrien seperti tanin. Oleh karena itu, pada penelitian ini diamati pula dampaknya pada performa, histopatologi organ dalam dan usus halusnya. Untuk menjawab tujuan di atas dilakukan penelitian-penelitian berikut. Penelitian I bertujuan mengetahui kandungan nutrien dan fitokimia tepung daun beluntas. Penelitian II untuk mengetahui respons biologis pemberian tepung daun beluntas pada itik jantan muda (4-10 minggu). Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 3 perlakuan pemberian tepung daun beluntas dalam pakan, yaitu Bo (ransum kontrol/tanpa tepung daun beluntas), B1 (ransum kontrol dengan 1% tepung daun beluntas), dan B2 (ransum kontrol dengan 2% tepung daun beluntas). Masing-masing perlakuan terdiri atas 6 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 5 ekor itik. Penelitian III untuk mengetahui secara cepat efektivitas tepung daun beluntas dalam mengurangi bau (off-odor) daging itik. Pada penelitian ini digunakan itik betina tua (umur 12 bulan) dengan Rancangan Acak lengkap yang terdiri atas 5 perlakuan, yaitu kontrol; pemberian pakan kontrol mengandung tepung daun beluntas 1% selama 5 hari; pemberian pakan kontrol mengandung tepung daun beluntas 1% selama 7 hari; pemberian pakan kontrol mengandung tepung daun beluntas 2% selama 5 hari; dan pemberian pakan kontrol mengandung tepung daun beluntas 2% selama 7 hari. Setiap perlakuan terdiri atas 7-8 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 1 ekor itik. Penelitian IV untuk mengetahui dosis/level tepung daun beluntas dan lama pemberian pakan perlakuan terhadap performa itik betina tua (berumur 12 bulan), kandungan gizi daging itik, kandungan asam lemak, nilai TBARS, intensitas bau (off-odor) amis daging itik dengan kulit dan tingkat penerimaan konsumen terhadap daging itik dengan kulit. Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 4 ekor itik. Faktor pertama ialah level penggunaan beluntas dalam pakan, yaitu Bo, B1, dan B2. Faktor kedua ialah lama pemberian pakan perlakuan, yaitu 3, 5 dan 7 minggu. Penelitian V adalah untuk mengetahui salah satu mekanisme pengurangan bau (off-odor) daging itik, dengan uji masking. Pada penelitian ini, selain tepung daun beluntas, digunakan dua jenis sayuran indigenous lainnya, yaitu tepung daun kenikir, dan tepung daun kemangi. Ketiga jenis sayuran indigenous ini masing-masing mempunyai aroma khas. Selain itu, daun kenikir mengandung fitokimia yang mempunyai kapasitas sebagai antioksidan (total fenol
dan flavonoid) lebih tinggi dari daun beluntas, sedangkan daun kemangi mengandung total fenol dan flavonoid lebih rendah dari beluntas. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan, yaitu daging itik betina tua dengan kulit direndam dalam ekstrak tepung daun beluntas/kenikir /kemangi sebanyak 0 g (kontrol), 10g/liter; 20g/liter dan 30g/liter air. Hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Tepung daun beluntas mengandung protein 17,78-19,02%, serat kasar 14,7715,80%, total tanin 1,88%, total fenol 9,85%, total flavonoid 4,47% dan kuersetin 1,45%. 2. Perlakuan B1 dan B2 tidak berpengaruh pada performa (konsumsi pakan, bobot badan, karkas, dada dan paha) itik jantan muda maupun itik betina tua, akan tetapi konversi pakan itik jantan muda yang mendapat perlakuan B1 dan B2 berturutturut 3,4% dan 8,6% lebih tinggi dari Bo. 3. Daging paha, kulit paha dan kulit dada dari itik betina tua yang mendapat 1% tepung daun beluntas dalam pakan selama 7 hari nyata (P<0,05) kurang amis dibandingkan dengan kontrol (tanpa tepung daun beluntas), dan daging dada itik betina tua yang mendapat 2% tepung daun beluntas dalam pakan selama 7 hari nyata (P<0,05) kurang amis dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan ada indikasi bahwa zat fitokimia yang terdapat dalam tepung daun beluntas berperan aktif sebagai antioksidan. 4. Perlakuan B1 dan B2 tidak berpengaruh pada kandungan gizi (air, protein dan lemak) daging dengan kulit itik betina tua. 5. Kandungan asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh linoleat dan linolenat (C18:2+C18:3) daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas lebih tinggi dari kontrol (tanpa beluntas). Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dapat melindungi kedua jenis asam lemak tidak jenuh tersebut dari oksidasi. 6. Nilai TBARS daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat perlakuan B1 dan B2 nyata (P<0,05) lebih rendah dari Bo. Hal ini menunjukkan bahwa komponen senyawa volatil turunan asam lemak penyebab bau yang terbentuk pada daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas lebih rendah dari kontrol. 7. Daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat perlakuan B1 dan B2 sangat nyata (P<0,01) kurang amis dibandingkan dengan Bo, dan daging dengan kulit itik betina tua yang diberi B2 sangat nyata (P<0,01) kurang amis dibandingkan dengan yang diberi B1. Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dapat menurunkan bau amis daging dengan kulit itik betina tua. 8. Nilai hedonik daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat perlakuan B1 dan B2 lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan Bo. Hal ini berarti, daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas lebih disukai oleh konsumen. 9. Kandungan air dan protein daging dengan kulit itik betina tua pada lama pemberian pakan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih rendah daripada lama pemberian pakan 3 dan 5 minggu, sedangkan antara lama pemberian pakan 3 dan 5 minggu tidak berbeda. Sebaliknya, kandungan lemak dan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua pada lama pemberian pakan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada lama pemberian pakan 3 dan 5 minggu, sedangkan kandungan lemak dan asam lemak antara 3 minggu dengan 5 minggu
tidak berbeda. Perbedaan kandungan gizi daging dengan kulit itik disebabkan karena makin tuanya umur itik. Makin tua umur itik, kandungan air dan protein daging dengan kulit menurun, sedangkan kandungan lemaknya meningkat. 10. Pengamatan perendaman daging dengan kulit itik betina tua, dengan ekstrak 3 jenis sayuran indigenous, menunjukkan bahwa ekstrak tepung daun beluntas mempunyai kemampuan menutupi (masking) bau amis daging dengan kulit itik. 11. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan pada itik betina tua ada indikasi memperbaiki kerusakan jaringan (degenerasi lemak dan serosis) hati. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pakan mengandung tepung daun beluntas dapat diaplikasikan untuk menghasilkan daging itik lokal. Kata kunci: itik, bau amis, beluntas, performa, oksidasi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENURUNAN BAU AMIS (OFF-ODOR) DAGING ITIK LOKAL DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERFORMA
RUKMIASIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Wasmen Manalu Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB 2. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. Staf Pengajar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Agr. Sc. Staf Peneliti Balai Penelitian Peternakan Ciawi Kementerian Pertanian Indonesia 2. Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Staf Pengajar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa
Nama
:
Rukmiasih
NIM
:
P04600010
Program Studi
:
Ilmu Ternak
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Em. Dr. Peni Soeprapti Hardjosworo, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, M.Sc. Ketua Anggota
Dr. Ir. Joko Hermanianto Anggota
Dr. Ir. Anton Apriyantono. MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA.
Tanggal Ujian: 28 Januari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Lulus: ……………….
PRAKATA Bismillahirrohmaanirrohiim. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas perkenankan-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa, yang dilaksanakan sejak Mei 2004 sampai Oktober 2010 di Fakultas Peternakan IPB. Sebagian hasil penelitian ini telah diterbitkan pada Jurnal Media Peternakan Vol. 33 No. 2 Tahun 2010. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tak terhingga kepada ayahanda H. Surkad (Alm), ibunda Jasiti, suami Asep Tahyana, ananda Dewi Humaira dan Astridia Permatasari, kakak, adik dan semua keluarga atas pengorbanan, dorongan semangat dan do’a hingga terselesaikannya penelitian ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Prof. Em. Dr. dra. Peni Soeprapti Hardjosworo, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc., Dr. Ir. Joko Hermanianto, dan Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS atas bimbingan, motivasi, dan bantuan material kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya penulisan hasil penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Adi Sudono dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA atas arahannya selama penulis mengambil perkuliahan sampai penyelesaian studi penulis di PS PTK ini. Kepada Prof. Dr. Wasmen Manalu dan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing ujian tertutup, Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih atas masukan untuk perbaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberi bantuan beasiswa BPPS dan LPPM atas bantuan dana penelitian, penulis mengucapkan terima kasih. Kepada Prof. Dr. Drh. Rachmat Herman, MVSc., Drh. Hernomoadi Huminto, MVS, Ir. Anita Sardiana, MRur.Sc., Ir. Rini H. Mulyono, M.Si, Cahyo Budiman, S.Pt., M.Eng., Muhammad Baihaqi S.Pt., M.Sc., Procula R. Matitaputty, M.Si., Paini Sri Widyawati, S.Si., M.Si., Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.Sc., Dr. Rudi Afnan, S.Pt,M.Agr.Sc., Maria Ulfah, S.Pt, M.Agr.Sc., teman-teman di Fakultas Peternakan dan di Fakultas Teknologi Pertanian yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Kepada Eka Koswara, S.Pt., Anah Rohimah, S.Si., Rahmat Slamet, AMd (Alm), Laeli Komalasari, S.P., bapak Hamjah, staf laboran Lab. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB, staf laboran Lab. Kimia Pangan dan LJA Fateta IPB, staf laboran Balai Pascapanen Litbang Deptan, staf laboran Lab. Kimia Makanan, Depkes, Badan Litbang Gizi, Bogor, Dina, Adi, Ifit, Rizal, Lidya, Danang, Suci, Fitri, Ika, Fetty, Benny, tim panelis yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, khususnya dalam meningkatkan manfaat unggas lokal. Amiin. Bogor,
Februari 2011
Rukmiasih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 5 April 1957 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Surkad dan Jasiti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1984, penulis diterima di Program studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi PTK dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Tahun 1981-1983 penulis bekerja sebagai tenaga honorer dan diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1983 hingga sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xviiii 1.
2.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang .............................................................................. Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................ Hipotesis ....................................................................................... Kerangka Pemikiran ......................................................................
1 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
5
2.1
Itik Lokal ....................................................................................... 2.1.1 Produksi Daging.................................................................. 2.1.2 Ciri-ciri Daging Itik ............................................................ 2.2 Flavor Daging ............................................................................... 2.2.1 Terminologi .......................................................................... 2.2.2 Senyawa Flavor Daging ....................................................... 2.2.3 Mekanisme Terbentuknya Komponen Flavor...................... 2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Komponen Flavor ............................................................... 2.2.5 Upaya Pencegahan Terjadinya Reaksi Oksidasi Lemak oleh Radikal Bebas............................................................... 2.3 Beluntas (Pluchea Indica L.Less.) .................................................. 2.3.1 Ciri-ciri Umum.................................................................... 2.3.2 Fitokimia ............................................................................. 2.3.3 Aktivitas Komponen Bioaktif Daun Beluntas .................... 2.3.4 Metabolisme Lemak ........................................................... 2.3.5 Metabolisme Antioksidan ................................................... 2.3.6 Antinutrisi ........................................................................... 3.
5 5 6 9 9 9 12 16 20 24 24 26 29 34 36 41
BAHAN DAN METODE PENELITIAN .............................................. 43 3.1 Pengadaan Tepung Daun Beluntas, Analisis Gizi dan Fitokimia ... 3.1.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ............................................. 3.1.2 Metode Pembuatan Tepung Daun Beluntas .......................... 3.1.3 Pengumpulan Data ................................................................. 3.2 Respon Biologi Itik Jantan Muda (4 – 10 minggu) ........................ 3.2.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ............................................. 3.2.2 Metode Penelitian .................................................................. 3.2.3 Analisis Data .........................................................................
43 43 43 43 44 44 44 45
3.3 Efektivitas Tepung Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua (Umur 12 bulan)................... .. 3.3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ............................................. 3.3.2 Metode Penelitian .................................................................. 3.3.3 Analisis Data ......................................................................... 3.4 Respon Biologi Itik Betina Tua (Umur 12 bulan) ....................... 3.4.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ............................................. 3.4.2 Metode Penelitian .................................................................. 3.4.3 Analisis Data ......................................................................... 3.5 Uji Masking Daun Beluntas............................................................ 3.5.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ............................................. 3.5.2 Metode Penelitian .................................................................. 3.5.3 Analisis Data ......................................................................... 4.
46 46 46 52 52 52 53 55 56 56 56 57
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 58 4.1 Komposisi Gizi dan Fitokimia Daun Beluntas ................................ 4.2 Respons Biologis Itik Jantan Muda (4-10 Minggu) terhadap Pemberian Tepung Daun Beluntas dalam Pakan ............................ 4.2.1 Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan..................................... 4.2.2 Konsumsi Pakan ..................................................................... 4.2.3 Rataan Bobot Badan ............................................................... 4.2.4 Konversi Pakan....................................................................... 4.2.5 Persentase Karkas dan Bagian-bagian Karkas ....................... 4.3 Efektivitas Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua (Umur 12 bulan) ........................................ 4.4 Lama Waktu dan Level Tepung Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua dan Dampaknya terhadap Performa .......................................................................................... 4.4.1 Performa Itik Betina Tua ........................................................ 4.4.2 Persentase Karkas, Dada dan Paha Itik Betina Tua................ 4.4.3 Komposisi Gizi Daging Itik ................................................... 4.4.4 Komposisi Lemak Daging dan Kulit dan Pengaruhnya terhadap Intensitas Bau Daging ............................................. 4.4.5 TBARS ................................................................................... 4.4.6 Bau.......................................................................................... 4.4.7 Histopatologi Organ Dalam Itik ............................................. 4.5 Uji Masking Daun Beluntas ............................................................
58 61 61 62 62 63 64 64
68 68 71 72 74 79 80 84 90
5. PEMBAHASAN UMUM ........................................................................ 93 6. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 97 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 99 LAMPIRAN ................................................................................................. 111
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin .....................................
5
2
Kandungan nutrien daun beluntas kering.................................................
58
3
Kandungan zat fitokimia daun beluntas kering (kadar air 14,1714,70%) ...................................................................................................
59
4
Kandungan nutrien pakan itik jantan umur 4-10 minggu ........................
61
5
Rataan konsumsi pakan itik jantan selama penelitian (umur 4-10 minggu) ....................................................................................................
62
6
Rataan bobot badan itik jantan umur 4-10 minggu ..................................
63
7
Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap performa itik jantan muda ..............................................................................................
63
Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap persentase karkas, dada dan paha itik jantan umur 10 minggu ..................................
64
9
Kandungan nutrien pakan penelitian itik betina tua (umur 12 bulan) ......
65
10
Hasil uji perbandingan pasangan bau amis daging dan kulit itik betina tua ..................................................................................................
66
Hasil uji hedonik terhadap bau daging dan kulit mentah itik betina tua ......................................................................................................
67
Konsumsi pakan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ....................................
68
Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir itik betina tua ............................................................................................
69
Persentase lemak abdomen itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ..................
70
Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase karkas, dada dan paha itik betina tua ............
72
Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase daging dada dan paha itik betina tua .............
72
Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap nilai gizi daging dengan kulit segar itik betina tua berdasarkan bahan kering .........................................................................
73
Perubahan intensitas bau amis dan tingkat kesukaan konsumen terhadap daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan .....
74
19
Perubahan komposisi asam lemak akibat perubahan pakan ....................
76
20
Rataan kandungan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua pada level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda ......................
77
8
11 12 13
14 15 16 17
18
21
Rataan kandungan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua pada lama pemberian pakan perlakuan yang berbeda ..............................
79
22
Nilai TBARS daging itik betina tua dengan kulit akibat perlakuan.........
79
23
Hasil uji skalar tingkat bau amis (off-odor) daging dengan kulit itik betina tua ..................................................................................................
81
24
Hasil uji hedonik daging dengan kulit itik betina tua ..............................
83
25
Persentase itik yang mengalami degenerasi lemak pada jaringan hati itik penelitian.....................................................................................
84
Persentase itik yang mengalami sirosis pada jaringan hati itik penelitian ..................................................................................................
87
Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan pankreas dan ginjal ......................................................................................................
89
Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan usus halus itik penelitian ..................................................................................................
90
Intensitas bau amis dan bau beluntas pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun beluntas konsentrasi yang berbeda ...........................................................
90
Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kenikir konsentrasi yang berbeda .............................................................
91
Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kemangi konsentrasi yang berbeda ..........................................................
91
26 27 28 29
30
31
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Proses oksidasi lemak pada bahan pangan ...............................................
14
2
Beluntas (Pluchea indica Less.) ..............................................................
25
3
Struktur dasar flavonoid ...........................................................................
27
4
Struktur komponen fenol tumbuhan (Cadenas 2004) .............................
28
5
Penghambatan peroksidasi lemak oleh flavonoid (Cadenas 2004) .........
31
6
Aktivitas beta-karoten sebagai antioksidan .............................................
32
7
Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh kombinasi - karoten (B), vitamin C (C), dan vitamin E (E)..................
33
8
Metabolisme lemak asal pakan modifikasi dari Suttie (1972) ................
35
9
Metabolisme lemak (Bell dan Freeman 1971) .........................................
36
10
Pembentukan metabolit dan konjugasi flavonoid pada manusia ............
39
11
Hasil pemotongan bagian paha dan dada ........................................... ….. 47
12
Contoh cara penyajian uji segi tiga ..........................................................
49
13
Konsumsi pakan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda selama penelitian. ...........................
69
Pertambahan bobot badan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda selama penelitian...........
71
Perubahan bau amis daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan ......................................................................................
75
Tingkat kesukaan konsumen terhadap intensitas bau amis daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan ................................
75
17
Degenerasi lemak ringan hepatosit organ hati..... ....................................
85
18
Degenerasi lemak hati parah dengan vakuola lemak yang besarbesar di dalam hepatosit (panah). ............................................................
85
19
Sirosis hati dengan pembentukan jaringan ikat diantara hepatosit.. ........
87
20
Enteritis parasit cacing pita (panah hitam). Sel-sel radang meningkat di dalam lapisan propria usus sebagai indikator radang usus (panah biru).. ....................................................................................
89
14 15 16
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur pembuatan tepung daun beluntas .............................................. 111
2
Contoh kuisioner seleksi panelis .............................................................. 112
3
Format uji segitiga .................................................................................... 114
4
Contoh format uji perbandingan pasangan ............................................... 115
5
Format uji hedonik ................................................................................... 116
6
Contoh format uji skalar ........................................................................... 117
7
Bahan kimia, alat, dan prosedur yang digunakan untuk analisis asam lemak ............................................................................................... 118
8
Prosedur analisis nilai TBARS ................................................................. 122
9
Sidik ragam konsumsi pakan itik jantan muda (4-10 minggu)................. 123
10
Sidik ragam PBB itik jantan muda akibat level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ............................................... 124
11
Sidik ragam karkas, dada, paha itik jantan muda akibat level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda.................. 125
12
Analisis Kruskal Wallis dan uji banding rataan ranking tingkat kesukaan konsumen terhadap bau daging dan kulit paha mentah itik betina tua .................................................................................................. 127
13
Sidik ragam pertambahan bobot badan itik akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda................... 129
14
Sidik ragam lemak abdomen itik betina tua akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda................... 132
15
Sidik ragam karkas, dada dan paha itik betina tua akibat lama dan level pemberian beluntas dalam pakan yang berbeda ............................. 135
16
Sidik ragam nilai gizi daging itik dengan kulit segar berdasarkan bahan kering akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ....................................................................... 140
17
Sidik ragam intensitas bau amis dan tingkat kesukaan konsumen terhadap daging itik dengan kulit akibat perubahan pakan ...................... 144
18
Sidik ragam kandungan asam lemak daging itik dengan kulit pada level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda ............................... 146
19
Nilai TBARS daging itik dengan kulit akibat perlakuan .......................... 158
20
Uji skalar tingkat bau amis (off-odor) daging itik dengan kulit ............... 159
21
Uji hedonik daging itik dengan kulit ........................................................ 160
22
Intensitas bau amis dan bau beluntas pada daging itik dengan kulit yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun beluntas konsentrasi yang berbeda.......................................................................... 161
23
Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging itik dengan kulit yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kenikir konsentrasi yang berbeda.......................................................................... 163
24
Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging itik dengan kulit yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kemangi konsentrasi yang berbeda.......................................................................... 165
1
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah kecukupan pangan di Indonesia, khususnya yang bersumber dari
hewani,
bukan
karena
masalah
ketersediaan
tetapi
masalah
ketergantungan pada negara di luar Indonesia. Sebagai contoh, suplai daging dan telur unggas di Indonesia didominasi oleh ayam ras. Pada tahun 2008 suplai daging unggas asal ayam ras (pedaging dan petelur) mencapai 1 050,9 ribu ton, ayam buras 307,5 ribu ton, sedangkan itik lokal hanya 217,7 ribu ton (Dirjenak 2009). Penyebab ketergantungan Indonesia pada luar negeri untuk daging dan telur unggas adalah karena bibit ayam ras jenjang Grand Parent Stock atau Parent Stock harus didatangkan dari industri pembibitan di luar negeri. Jenjang bibit tersebut dibudidayakan di Indonesia untuk menghasilkan final stock penghasil daging atau telur. Pada saat ini terdapat 9 galur ayam tipe pedaging (Ross 308, Cobb 500, Hubbard, Hubbard PG+, Hubbard JA 57, AA Plus, Hubbard Flex, Hybro dan Lohman Meat), dan 4 galur ayam tipe petelur (Isa Brown, Hisex Brown, Hy-line dan Lohman Brown).
Galur-galur
tersebut
berasal
dari
Amerika
dan
Eropa.
Ketergantungan bibit ayam ras pada luar negeri membuat Indonesia akan selalu bergantung pada luar negeri untuk suplai daging dan telur. Apalagi 70% dari bahan baku pakan dan obat-obatan juga masih harus diimpor. Untuk menunjang program ketahanan pangan, secara bertahap ketergantungan pada luar negeri harus dikurangi, bila belum memungkinkan untuk dihilangkan karena produktivitas unggas lokal masih jauh di bawah ayam ras. Pemuliaan ayam ras untuk produksi daging dan telur sudah dimulai sekitar 60 tahun yang lalu, sedangkan pemuliaan unggas lokal secara berkesinambungan belum dilakukan. Namun demikian, sudah saatnya dirintis peningkatan pemanfaatan unggas lokal dan perannya sebagai sumber daging dan telur. Di antara unggas lokal yang sudah lazim dimanfaatkan sebagai sumber pangan adalah ayam buras dan itik lokal. Ayam buras merupakan sumber daging dan telur, sedangkan itik lokal lebih dimanfaatkan sebagai sumber telur. Namun, produksi daging itik lokal tahun 2007-2008 (rata-rata 44,65 ribu ton) menunjukkan peningkatan sebesar
2 96,7% dibandingkan produksi tahun 2004-2006 (rata-rata sebesar 22,7 ribu ton) (Dirjenak 2009). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan konsumsi daging itik lokal. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan peranan unggas lokal adalah dengan cara mencegah kematian karena penyakit, peningkatan produktivitas, dan peningkatan produksi produknya. Untuk itu diperlukan sinergisme dalam penelitian-penelitian yang dilakukan di bidang kesehatan, pemuliaan, nutrisi, manajemen, dan upaya-upaya peningkatan konsumsi produk. Dibandingkan dengan daging ayam, pangsa pasar daging itik lebih sempit. Warna, tekstur dan bau amis (off-odor) daging itik lokal dapat menjadi penyebab penolakan konsumen terutama konsumen yang belum terbiasa mengkonsumsi daging itik lokal. Untuk mengurangi ketajaman bau amis daging itik lokal, cara-cara yang lazim dilakukan adalah mencekok itik lokal dengan cuka sebelum dipotong atau membuat olahan yang sarat dengan bumbu. Sebagai contoh, di Sumatera Barat dikenal dengan gulai itik hijau, di Aceh dikenal gulai itik, dan di Bali dikenal itik betutu. Untuk memperkaya jenis olahan daging itik lokal perlu diupayakan cara-cara menghasilkan daging itik segar yang tidak terlalu berbau amis. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan yang diketahui mempunyai kemampuan mengurangi bau di antaranya beluntas, kenikir, dan kemangi. Penelitian ini merupakan rintisan. Pada penelitian ini dicoba menggunakan tepung daun beluntas untuk mengurangi bau amis daging itik. Beluntas merupakan tanaman pagar yang mudah diproduksi. Berdasarkan para pakar obat tradisional, beluntas mengandung fitokimia dan dapat mengurangi bau badan pada manusia. Bila konsumsi daging itik dapat ditingkatkan yang berarti ada peningkatan permintaan, diharapkan dapat memacu minat peternak itik untuk meningkatkan usahanya di bidang ternak itik. Diharapkan, hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengusaha itik potong sebagai penghasil daging itik lokal.
3 1.2
Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui kandungan zat fitokimia daun beluntas yang dapat mempengaruhi performa itik.
2.
Mengetahui efek daun beluntas terhadap performa itik.
3.
Mengetahui perubahan-perubahan kimiawi dalam daging itik akibat pemberian tepung daun beluntas.
4.
Mengetahui efektivitas daun beluntas sebagai antioksidan dalam mengurangi bau amis daging itik lokal.
1.3
Manfaat Penelitian 1. Menemukan cara yang praktis untuk mengurangi bau pada daging itik sehingga dapat membantu peternak menghasilkan daging itik siap olah yang bau amisnya lebih rendah. 2. Memacu usaha produksi itik potong. 3. Daging itik segar yang kurang amis dapat meningkatkan lebih banyak variasi cara pengolahan.
1.4
Hipotesis 1. Zat fitokimia yang terdapat dalam beluntas tidak berpengaruh negatif terhadap performa itik. 2. Pemberian daun beluntas dalam pakan dapat menyebabkan perubahan kimia daging yang berkaitan dengan penurunan bau amis (off-odor) daging itik lokal. 3. Pengurangan bau (off-odor) pada daging itik dengan penambahan beluntas berkaitan dengan pengurangan oksidasi lemak pada daging itik. Pengurangan oksidasi lemak terjadi karena peredaman radikal bebas oleh antioksidan yang terdapat dalam daun beluntas.
1.5
Kerangka Pemikiran Itik merupakan salah satu ternak lokal yang banyak dipelihara oleh masyarakat di pedesaan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat. Saat ini, itik lokal yang ada di Indonesia dimanfaatkan sebagai penghasil telur, sedangkan dagingnya belum banyak dimanfaatkan. Salah
4 satu sebabnya adalah karena daging itik mempunyai bau (off-odor) khas yang kurang disukai konsumen. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar daging itik mempunyai bau yang dapat diterima konsumen. Sumber daging itik dapat berasal dari itik jantan muda, itik dewasa jantan (tetapi jumlahnya sedikit), dan itik betina afkir yang sudah tidak bertelur lagi yang jumlahnya relatif banyak. Bau (off-odor) yang tidak menyenangkan, menurut Heath dan Reineccius (1986) dapat berasal dari protein, karbohidrat dan lemak, tetapi yang paling dominan adalah berasal dari lemak (Wu dan Liou 1992). Hasil penelitian Hustiany dkk. (2001) menunjukkan bahwa bau (off-odor) pada daging itik sebagian besar merupakan hasil proses oksidasi lipid, yaitu senyawa-senyawa turunan asam lemak. Senyawa volatil daging itik betina tua (dada dan paha) dengan perebusan selama 40 menit atau tanpa perebusan, yang teridentifikasi ialah heksanal, nonanal dan 1-heksadekanol. Selain itu, teridentifikasi pula senyawa volatil pentanal (pada daging dada dan paha tanpa perebusan), 1-heksanol dan (E)-okten-3-ol (pada daging dada tanpa perebusan), (E)-okten-3-ol dan (E-E)-2,4-dekadienal (pada daging dada dan paha rebus), pentanal (daging dada rebus), 3-metil butanal, (E-E)-2,4-heptadienal dan oktadekanal (daging paha rebus). Oksidasi lipid dapat dicegah dengan antioksidan (Zieli ska et al. 2001; Hernandez et al. 2004). Beluntas merupakan salah satu tanaman herba yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan (Widyawati 2004; Andarwulan et al. 2008). Oleh karena itu, pada penelitian ini dicoba apakah antioksidan yang terdapat pada beluntas dapat mengurangi bau amis (off-odor) pada daging itik. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menyediakan daging itik sebagai bahan baku olahan tertentu tanpa terganggu oleh baunya. Namun demikian, selain berfungsi sebagai antioksidan, beluntas juga mengandung zat antinutrisi seperti tanin (Dalimartha 1999). Tanin akan bereaksi dengan protein dalam pakan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna, mengikat
enzim pencernaan sehingga menurunkan daya
cerna semua nutrien pakan (Marzo et al. 2002). Oleh karena itu, pada penelitian ini diamati pula dampaknya terhadap performa ternak, histopatologi organ dalam, dan usus halusnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Itik Lokal 2.1.1 Produksi Daging Para ahli sejarah perkembangan unggas telah sepakat bahwa tetua yang menurunkan itik-itik yang dibudidayakan saat ini adalah itik mallard berkepala hijau. Itik tersebut mulai didomestikasi di Cina dan sekitarnya serta Eropa (Crawford 1993). Dari pernyataan tersebut terbukti bahwa Indonesia tidak memiliki tetua itik, sehingga dapat dinyatakan bahwa itik yang ada di Indonesia merupakan keturunan dari itik pendatang yang mengalami domestikasi di Indonesia. Berdasarkan klasifikasi zoologis, itik merupakan salah satu unggas air, termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, dan genus Anas, spesies platyrhynchos (Crawford 1993). Itik terdiri atas itik tipe pedaging dan itik tipe petelur. Kedua tipe tersebut dapat dibedakan dari postur tubuhnya. Dada itik tipe pedaging lebih mendekati sejajar dengan lantai, sedangkan itik tipe petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Itik yang ada di Indonesia, disebut itik lokal, mempunyai ciri-ciri fisik itik Indian Runner yang manfaat utamanya adalah penghasil telur. Di luar Indonesia, seperti di Cina, Amerika dan Eropa itik yang dikembangkan adalah itik tipe pedaging. Produksi daging itik lokal jantan alabio umur 10 minggu dan produksi daging itik Pekin jantan dan betina umur 8 minggu hasil penelitian Retailleau (1999) dapat dilihat seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin Bagian yang Diamati*
Itik Lokal Jantan 10 Minggu
Itik Pekin Jantan** 8 Minggu
Itik Pekin Betina** 8 Minggu
Karkas tanpa leher (%)
60,69
66,55
67,26
Daging dada dengan kulit (%)
16,73
14,76
15,12
Daging paha dan betis (%)
11,94
13,67
13,56
* Nilai % dihitung berdasarkan bobot hidup ** Retailleau 1999
6
Karkas merupakan bagian tubuh unggas setelah dipotong, dihilangkan bulunya, dipisahkan kepala, leher, kaki, dan jeroannya, maka karkas disebut bagian yang edible atau dapat dimakan karena terdapat daging dan kulit yang menempel pada tulang-tulang karkas. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi karkas itik lokal lebih rendah dari itik Pekin. Hal lain yang menarik dari Tabel 1 adalah selisih antara bagian daging dada dan paha serta betis pada itik lokal lebih besar, sedangkan pada itik Pekin hampir sama. Hal tersebut karena pada itik Pekin sudah dilakukan pemuliaan khusus untuk produksi daging. 2.1.2 Ciri-ciri Daging Itik Dibandingkan dengan daging ayam, pada umur yang sama (49 hari), daging itik memiliki warna lebih tua. Daging dada ayam 100% terdiri atas serat berwarna putih dan daging pahanya berwarna merah, sedangkan daging itik Pekin 16% seratnya berwarna putih dan 84% berwarna merah tua. Warna merah pada daging disebabkan karena mioglobin (Fletcher 2003; Akiba et al. 2001; Chaijan 2008). Pada unggas berumur delapan minggu, kandungan mioglobin daging unggas berwarna merah sebesar 0,4 mg/gram daging, sedangkan pada daging unggas berwarna putih sebesar 0,01 mg/g daging. Kandungan mioglobin tersebut makin tinggi dengan bertambahnya umur. Sebagai akibat tingginya kandungan mioglobin, kandungan Fe daging merah juga lebih tinggi daripada daging putih. Kandungan Fe daging merah (itik) sebesar 2,40 mg/100 g daging mentah termasuk kulit, sedang kandungan Fe daging putih (daging ayam broiler) sebesar 0,90 mg/100 g daging mentah termasuk kulit yang dapat dimakan (Stadelman et al. 1988). Ion Fe merupakan katalis yang dapat mempercepat laju oksidasi (Tang et al. 2000; Alvarado et al. 2007; Barciela et al. 2008; Min et al. 2010; Yoon et al. 2010). Menurut Lawrie (1991) kandungan Fe daging ternak bergantung pada spesies, jenis kelamin, umur, jenis urat daging, dan aktivitas. Pada urat daging yang aktivitasnya tinggi menyebabkan terbentuknya mioglobin lebih banyak. Hal ini didukung pernyataan Rusell et al. (2003) bahwa daging paha itik mengadung Fe yang lebih tinggi daripada daging dada itik.
7
Selain itu, daging dengan serabut merah mengandung kadar lemak dan kolesterol lebih tinggi daripada serabut otot putih. Daging itik juga memiliki komposisi kimia yang berbeda dari jenis unggas lain. Kandungan lemak daging itik lebih tinggi dari ayam dan kalkun (Stadelman et al. 1988). Kandungan air, protein, lemak dan abu daging dada itik liar (Anas platyrhynchos) berturut-turut 73,93%; 20,8%; 3,39%; dan 1,27% (Cobos et al. 2000). Komposisi kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, jenis kelamin dan lingkungan. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih rendah (P<0,01) daripada umur 7, 8, dan 9 minggu (Erisir et al. 2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur 7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kelebihan daging unggas dibandingkan dengan daging asal ternak ruminansia adalah kadar proteinnya lebih tinggi, sedangkan kadar lemaknya lebih rendah (Mountney dan Parkhurst 1995). Lemak tersebut sebagian besar merupakan lemak subkutan dan tidak banyak didistribusikan pada jaringan daging seperti halnya pada ternak ruminansia. Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Oleh karena perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit, maka tebalnya kulit itik antara lain disebabkan oleh penyebaran lemak yang ada di bawah kulit (lemak subkutan). Kandungan lemak daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3,84% dan 8,47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59,32% dan 52,67% (Damayanti 2003). Kandungan lemak daging dada itik betina lokal Jawa afkir (umur 12 bulan, langsung dari pasar) dengan dan tanpa kulit masingmasing 9,46% dan 1,53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa kulit masing-masing 12,21% dan 4,16% (Hustiany 2001). Kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar 4,81% (Chartrin et al. 2006). Akibat pemberian pakan yang berlebih pada itik antara umur 12-14 minggu, menyebabkan terjadinya akumulasi lemak yang tinggi pada jaringan adiposa daging dada dan paha serta peningkatan kandungan trigliserida pada urat daging dada dan paha (Chartrin et al.
8
2005). Menurut Baeza et al. (2006) kombinasi genotipe, umur dan nutrien pakan memungkinkan untuk mencapai kandungan lemak daging dengan kisaran yang diinginkan. Berbeda dari ternak ruminansia, lemak unggas sebagian besar terdiri atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005). Komposisi asam lemak daging dada itik liar (Anas platyrhynchos) paling tinggi adalah ALTJG (36,3-46,0%), diikuti ALJ (33,8-37,52%) dan ALTJT (16,5-28,9%). Dari data tersebut terlihat bahwa daging dada itik sangat baik dimanfaatkan sebagai sumber asam lemak esensial tidak jenuh ganda (Cobos et al. 2000). Menurut Witak (2008) daging dan lemak itik mempunyai nilai nutrisi yang baik karena kandungan asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi daripada asam lemak jenuh (pada daging dada itik pekin A44 umur 8 minggu 40,15% vs 24,13% dan pada daging paha 51,38% vs 23,54%) dan kandungan asam lemak oleat (C18:1) dan linoleatnya (C18:2) tinggi. Komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada daging dada dengan kulit pada itik Jawa betina afkir dengan kulit masing-masing sebesar 2695,8 vs 5058,8 mg/100 g daging, sedangkan pada daging paha masing-masing sebesar 2491,3 vs 4830,9 mg/100 g daging (Hustiany 2001). Hustiany (2001) menunjukkan bahwa asam lemak oleat (C18:1) dan asam lemak linoleat (C18:2) daging dada itik Jawa betina afkir dengan kulit lebih tinggi dibandingkan daging paha dengan kulit. Asam lemak oleat (C18:1) dan linoleat (C18:2) pada daging dada itik betina afkir masing-masing sebesar 337,9 dan 159,6 mg/g lemak, sedangkan pada daging pahanya kandungan kedua asam lemak tersebut masing-masing sebesar 239,5 dan 133,1 mg/g lemak. Komposisi asam lemak daging unggas, menurut Cortinas et al. (2004), Baeza et al. (2006) dan Ferrini et al. (2008) dapat dimodifikasi melalui komposisi asam lemak dalam pakan.
9
2.2 Flavor Daging 2.2.1 Terminologi Flavor (cita rasa) adalah sejumlah karakteristik dari suatu bahan pangan yang masuk ke mulut, dideteksi oleh indera perasa atau pengecap dan indera pencium serta ditangkap oleh reseptor perasa dan taktil yang terdapat di dalam mulut yang kemudian diterima dan diinterpretasi oleh otak (Heath dan Reineccius 1986). Menurut Winarno (1997) cita rasa bahan pangan pada prinsipnya terdiri atas tiga komponen penting, yaitu bau, rasa, dan rangsangan mulut. Bau lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indera pencium. Senyawa yang menghasilkan bau harus dapat menguap (volatil) dan molekul-molekul senyawa tersebut mengadakan kontak dengan penerima pada sel olfaktori. Berdasarkan bau yang dikenali, seseorang akan menentukan apakah jadi memakan makanan tersebut atau tidak. Senyawa yang menghasilkan rasa adalah zat yang tidak volatil atau zat yang larut dalam air yang dikenali oleh indera pengecap (taste buds) dan taktil di lidah dan bagian dari mulut. Indera pengecap mengenali 4 rasa utama, yaitu manis, asam, asin, pahit, dan sensasi lain, seperti sepet/astringency, metalik, pedas, dan enak/umami (Meilgaard et al. 1999; Farmer 1999). Evaluasi flavor sangat bergantung pada panel cita rasa. Adanya flavor yang tidak disukai konsumen pada bahan pangan tertentu, termasuk pada daging, akan menentukan konsumen untuk menerima atau menolak mengkonsumsi daging tersebut. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi produsen untuk menghasilkan daging yang mempunyai flavor yang lebih diterima oleh konsumen. Menurut Kilcast (1996) bau yang kurang menyenangkan dalam makanan yang berasal dari luar bahan pangan disebut dengan istilah taint, sedangkan bau yang kurang menyenangkan dalam makanan akibat kerusakan dari dalam bahan pangan tersebut dikenal dengan istilah off-flavor atau off-odor. 2.2.2 Senyawa Flavor Daging Daging merupakan struktur matriks kompleks yang terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, air, beberapa vitamin (dalam jumlah sedikit),
10
dan senyawa organik lain serta anorganik. Senyawa volatil flavor terbentuk karena adanya prekursor. Prekursor flavor yang utama, diduga gula bebas, gula fosfat, nukleotid-gula, asam amino bebas, peptida, nukleotida, dan komponen nitrogen lain seperti tiamin (Mottram 1998). Walaupun pada awalnya mengandung prekursor penghasil flavor yang sama, komposisi kimia flavor daging mentah, dan masak berbeda (Spanier dan Boylston. 1994). Pada saat pemanasan, prekursor tersebut bereaksi menghasilkan senyawa volatil dan non-volatil yang menghasilkan aroma dan rasa daging yang khas. Senyawa volatil yang terbentuk konsentrasinya bisa sangat kecil tetapi mempengaruhi flavor secara keseluruhan (Farmer 1999). Selanjutnya Farmer (1999) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, genotif, pakan dan kepadatan kandang, metode pemotongan ternak, lama waktu setelah pemotongan ke pengeluaran jeroan, waktu dan suhu chilling, penyimpanan dan metode pemasakan juga mempengaruhi flavor dan terbentuknya flavor. Sejauh ini hampir 1000 senyawa volatile flavor dari daging sapi, ayam, babi, dan domba telah berhasil diidentifikasi. Senyawa volatile tersebut termasuk kelompok senyawa organik seperti hidrokarbon, alkohol, aldehid, ketons, asam karboksilik, ester, lakton, eter, furans, piridines, pirazines, pirols, oksazoles dan oksazolines, tiazoles dan tiazolines, tiofenes, dan zat yang mengandung sulfur dan halogen. Selanjutnya dinyatakan bahwa sumbangan utama terhadap aroma adalah sulfur dan komponen volatile yang mengandung karbonil (Shahidi 1994). Berdasarkan sumbernya, komponen flavor pada makanan dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu (1) secara alami ada dalam makanan sebelum ternak dipotong atau mati; (2) terbentuk setelah ternak dipotong atau mati karena aktivitas enzim; (3) terbentuk selama pemrosesan dan penyimpanan; (4) sengaja ditambahkan ke dalam makanan : berupa alami, identik dengan alami atau flavor buatan (Apriyantono 1992). Heath dan Reineccius (1986) menyatakan bahwa senyawa volatil flavor berasal dari protein, karbohidrat dan lemak. Asam amino, peptida dan nukleotida dapat berinteraksi dengan komponen lain yang menghasilkan volatile flavor dan berkontribusi terhadap sensasi rasa manis (sweet), asin (salty), pahit (bitter), asam (sour),
11
dan enak (umami) pada daging (Shahidi 1994). Menurut Wu dan Liou (1992) dari komponen protein, karbohidrat dan lemak, komponen yang paling penting dalam menentukan flavor daging adalah lemak. Menurut Mottram (1998) jaringan tanpa lemak pada daging bertanggung jawab terhadap pembentukan flavor daging dasar, sedangkan jaringan lemak daging bertanggung jawab terhadap pembentukan flavor khas untuk setiap spesies hewan. Komponen penyebab bau amis pada daging itik betina Jawa afkir tanpa perebusan awal maupun melalui perebusan awal selama 40 menit, dengan kulit atau tanpa kulit yang diidentifikasi dengan menggunakan alat GC-MS kebanyakan merupakan hasil proses oksidasi lipid, yaitu berupa turunan lipid yang meliputi golongan aldehid, alkohol, keton, asam karboksilat, dan hidrokarbon. Dari sekian banyak komponen volatil, komponen off-odor yang diidentifikasi dengan metode GC-O (GCOlfactometry) adalah E-4-penten-2-ol, 1-pentanol, heksanal, E-1-okten-3-ol, nonanal, E-2-okten-1-ol, E-2-dekenal, E-2-nonen-1-ol, trans-2-undekenal, serta dua komponen yang tidak terdeteksi pada GC-MS tetapi menghasilkan off-odor yaitu komponen dengan LRI (Linear Retension Index) 1104 dan 1123. Off-odor yang tercium adalah green, grassy, apek, amis, langu, ubi jalar, pesing, unpleasant dan busuk. Komponen yang paling mendekati offodor daging itik adalah komponen yang tidak terdeteksi yang memiliki LRI 1104 dan 1123 (Hustiany 2001). Beberapa volatile flavor daging dari spesies yang berbeda secara kualitatif serupa, tetapi secara kuantitatif berbeda (Macleod 1994). Perbedaan bau (off-odor) daging sapi dengan ayam diduga disebabkan karena asam linoleat (C18:2) pada ayam lebih tinggi (Farmer 1999). Konsentrasi asam lemak linoleat (C18:2) daging dada itik Jawa betina afkir dengan kulit lebih besar dibandingkan daging paha, berturut-turut sebesar 159,6g/g lemak dan 133,1 g/g lemak (Hustiany 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa dari total senyawa volatil yang telah teridentifikasi, hanya sedikit yang memberi aroma khas dari spesies yang berbeda, terutama senyawa yang mengandung sulfur. Senyawa volatil yang
12
mengandung sulfur pada daging dalam jumlah tertentu menunjukkan aroma yang menyenangkan, tetapi jika konsentrasinya tinggi, baunya menjadi tidak disukai. 2.2.3 Mekanisme Terbentuknya Komponen Flavor Secara umum, komponen flavor dapat terbentuk melalui oksidasi lipid, reaksi Maillard dan degradasi tiamin (Farmer 1999). Penyebab utama penurunan kualitas pangan khususnya daging adalah karena perubahan komponen lemak melalui proses oksidasi lemak (Hoac et al. 2006) atau reaksi
hidrolitik
(Hamilton
1983)
baik
secara
enzimatik
dari
pangan/mikroorganisme atau melalui penyerapan/kontaminasi dengan bahan lain (Shahidi 1998; Pegg dan Shahidi 2007) maupun non-enzimatik browning (reaksi Maillard) dan fotokatalisis (Mariutti et al. 2009). 2.2.3.1 Oksidasi Lemak Proses otooksidasi dalam pangan adalah fenomena kompleks yang disebabkan oleh oksigen dengan pemicu seperti suhu, radikal bebas, cahaya, pigmen dan ion logam, yang menghasilkan hidroperoksida dan senyawa volatil (Georgieva dan Tsvetkov 2008; Mariutti et al. 2009). Pada umumnya proses otooksidasi melalui suatu proses
yang
terdiri
atas
tiga
tahap
yaitu
inisiasi/tahap
awal/pembentukan radikal, propagasi/pengubahan suatu radikal menjadi radikal lain dan terminasi/tahap akhir/kombinasi dua radikal membentuk produk yang lebih stabil. Pada oksidasi lemak, perubahan yang terjadi diawali dengan perubahan struktur asam lemak dan terbentuknya radikal
bebas
antara.
Tahap
berikutnya
adalah
terbentuknya lemak hidroperoksida yang merupakan produk primer oksidasi lemak, yang kemudian akan terdegradasi membentuk produk sekunder yang mempunyai bau khas (Shahidi 1998; Mariutti et al. 2009). Pembentukan hidroperoksida pada jalur ini bergantung pada produksi radikal bebas R* dari molekul lemak RH melalui interaksi RH dengan oksigen dengan adanya katalis eksternal seperti panas,
13
cahaya atau energi radiasi tinggi atau inisiasi kimia termasuk ion metal atau metaloprotein seperti haem pada tahap inisiasi. Mekanisme tahap inisiasi ini belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian, radikal bebas R* yang diproduksi pada tahap inisiasi akan bereaksi membentuk lemak peroksi radikal ROO* yang dapat bereaksi lebih lanjut membentuk hidroperoksida ROOH. Hidroperoksida ROOH adalah produk primer otoksidasi lemak. Setiap asam lemak pada oksidasi ini dapat memproduksi beberapa hidroperoksida, tetapi tidak menimbulkan flavor. Reaksi kedua tahap propagasi juga membentuk radikal bebas R* berikutnya membentuk rangkaian propagasi sendiri. Dalam hal ini sejumlah kecil katalis seperti ion Cu dapat memulai reaksi, memproduksi beberapa molekul hidroperokside, yang akan terdegradasi membentuk produk sekunder dan berpotensi terhadap flavor (Gambar 1). Rangkaian propagasi dapat dihentikan/berhenti dengan reaksi terminal/terakhir yaitu dua radikal berkombinasi menghasilkan produk yang tidak memberi kesempatan reaksi propagasi. Mekanismenya digambarkan sebagai berikut: Inisiasi: katalis
RH + O2
R* + *OOH
katalis
RH
R* + H*
Propagasi: R* + O2 ROO* ROO* + RH ROOH + R* Terminasi: ROO* + R* ROOR R* + R* R-R ROO* + ROO* ROOR + O2 Keterangan: RH = Lemak tidak jenuh; R* = Lemak radikal; ROO* = lemak peroksi radikal.
14
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat senyawa-senyawa flavor yang mungkin terbentuk. Hidroperoksida lemak yang dihasilkan dari ketiga jalur di atas sangat tidak stabil dan akan membentuk radikal bebas alkoksi yang terurai menghasilkan senyawa flavor volatil rantai pendek. Dengan kisaran hidroperoksida yang ada akan terbentuk sejumlah aldehida. Aldehida meningkatkan flavor dari sweet, pungent sampai milky.
(A)
Gambar 1
(B) Proses oksidasi lemak pada bahan pangan (A) Sumber: Kochhar 1996 (B) Sumber: Ockerman 1999
15
Hidrokarbon radikal bebas yang dapat menangkap OH* radikal membentuk alkohol atau menangkap H* radikal membentuk hidrokarbon. Alkohol pada kisaran tengah, dari C3 alkohol jenuh dideskripsikan sebagai solventy, --- ke C6 dideskripsikan sebagai grassy, green, ke C9 dideskripsikan sebagai fatty, green. Jika H* radikal diperoleh dari R’ H akan membentuk R’* radikal baru. Jika metode penguraian terjadi pada metil linolenat hidroperoksida akan diperoleh berbagai produk, di antaranya adalah 3,6-Nonadienal, 2,4,7-Decatrienal, 3-Hexenal, 2,4-Heptadienal, 2pentene, 2-penten-1-ol, propional. 2.2.3.2 Reaksi Hidrolitik Reaksi hidrolitik terutama akan menghasilkan metil keton, lakton dan ester. Gliserida dengan adanya panas dan air, akan terurai menjadi asam keto. Pembebasan hidroksi asam lemak dapat melengkapi prekursor - dan - lakton. Reaksi hidrolitik termasuk lipolisis, menyebabkan asam oleat, linoleat, dan linolenat bebas mengalami otoksidasi lebih cepat. Metilketone berkontribusi terhadap rasa sweet fruitiness, dengan kisaran dari C3 pungent, sweet sampai C7 blue cheesy, ke C11 fatty, sweet. Asam alifatik berkontribusi terhadap flavor dengan rasa asam (sour), buah (fruity), keju (cheesy) atau animal-like. Kontribusinya berkisar dari C2 vinegary, C3 sour, Swiss cheesy, C4 sweaty cheesy, C9 paraffinic, sampai C14-C18 dengan odor sangat kecil. Metil alkohol, yang dapat diturunkan dari metil keton, mempunyai kontribusi flavor sama dengan keton tetapi less fruity dan more grassy green, dengan kisaran dari C5 grassy, solvent sampai C7 grassy, blue cheesy. Lakton berkontribusi a rich, creamy, fruity fullness. -lakton mempunyai kontribusi dari C4 oily, C5 creamy, tobacco, C6 creamy coconut, C8 coconut, sampai C10 peachy, sedangkan - lakton serupa tapi lebih lembut, less fruity (seperti buahbuahan) dan lebih mirip susu.
16
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Komponen Flavor Fosfolipid intramuskuler dan asam lemak bebas merupakan 2 faktor penting yang menentukan flavor daging. Fosfolipid pada daging (biceps femoris) mentah itik Cina sebesar 46,69% dari total lipid. Fosfolipid tersebut terdiri atas fosfatidiletanolamin (28,1%) dan fosfatidilkholin (64,7%) yang mengandung asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG) dengan persentase tinggi (Wang et al. 2009). Menurut Cobos et al. (2000) komposisi kimia utama daging mentah itik liar adalah protein dan lemak dengan asam lemak arakhidonat (C20:4) paling tinggi, mencapai 25% dari total asam lemak penyusun fosfolipid. Selain asam lemak arakhidonat, asam lemak utama penyusun fosfolipid adalah asam stearat (C18:0), oleat (C18:1), dan palmitat (C16:0) masing-masing sebesar 18,72%; 7,52%, dan 16,67%. Oksidasi lemak merupakan penyebab kerusakan daging yang dimanifestasikan dalam bentuk perubahan flavor (Wang et al. 2009). Penyebab utama penurunan flavor pada daging adalah oksidasi lemak. Laju oksidasi lemak pada daging bergantung pada banyak faktor, di antaranya spesies, banyaknya asam lemak tidak jenuh (Shahidi, 1998) terutama asam lemak tidak jenuh ganda (Cortinas et al. 2005), adanya prooksidan (seperti ion Fe haem dan non-haem), dan adanya antioksidan (Barciela et al. 2008). Berdasarkan spesies ternak, oksidasi yang paling cepat adalah pada ikan, diikuti dengan unggas (ayam dan kalkun), babi, sapi, dan domba. Laju oksidasi asam lemak daging C18:3 lebih cepat dari C18:2 lebih cepat dari C18:1 dan lebih cepat dari C18:0 (Shahidi 1998). Asam lemak C18:1, C18:2 dan C18:3 menghasilkan profil odor yang berbeda, misalnya C18:1 menghasilkan skor oily lebih tinggi, C18:2 menghasilkan skor creosote lebih tinggi, C18:3 menghasilkan skor fishy, linseed (putty) dan creosote yang tinggi. Bila C18:3 ditambah sistein dan ribosa terutama ketika FeSO4 digunakan sebagai katalis reaksi oksidasi menghasilkan skor grassy lebih tinggi (Wood et al. 2004). Menurut Shahidi (1994) senyawa utama yang sering ditemukan pada profil volatil produk daging yang kaya asam lemak
17
tidak jenuh
-6 (linoleat C18:2) adalah heksanal, sedangkan pada produk
daging yang kaya asam lemak tidak jenuh
-9 dan
-3 masing-masing
nonanal dan propanal. Asam lemak yang berlimpah pada minyak kacang kedelai sangat responsif terhadap pembentukan off-odor (Nawar 1996). Akan tetapi, tingginya asam lemak C18:2 pada lemak babi yang mengkonsumsi lemak asal kacang tanah, bunga matahari dan kacang kedelai dimasak, menurut panelis terlatih tidak menyebabkan off-odor, bahkan makin tingginya asam lemak C18:2 pada produk babi lebih diterima konsumen (Melton 1990). Daging itik mengandung lemak yang lebih tinggi daripada daging ayam dan kalkun. Di antara daging spesies unggas, daging itik mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi (sekitar 60% dari total asam lemak) dan pigmen haematik (hemoglobin dan mioglobin) yang tinggi. Hal ini yang memungkinkan oksidasi pada daging itik lebih tinggi daripada daging ayam dan kalkun (Baeza 2006). Laju dan intensitas oksidasi lemak dipengaruhi banyak faktor, tetapi faktor yang paling penting adalah kandungan asam lemak tidak jenuh ganda yang ada dalam jaringan urat daging tersebut. Oksidasi lemak meningkat secara linear dengan makin tingginya asam lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005). Laju oksidasi antarspesies bervariasi bergantung pada kandungan fosfolipid dan komposisi asam lemaknya. Fosfolipid mudah teroksidasi karena tingginya asam lemak tidak jenuh ganda (terutama linoleat dan arakhidonat) atau karena dekatnya kumpulan membran dengan jaringan katalis oksidasi. Pemotongan dan penggilingan mengacaukan membran dan membuka fosfolipid terhadap oksigen, enzim, pigmen heme, dan ion logam yang dapat mempercepat laju oksidasi meskipun pada daging segar mentah. Pada daging berwarna merah, oksidasi lemak merupakan masalah yang penting. Hal ini karena katalis ion Fe dengan heme (hemoglobin, mioglobin dan sitokrom) atau ion Fe tanpa heme dapat mempercepat laju oksidasi (Tang et al. 2000; Barciela et al. 2008; Min et al. 2010, Yoon et al. 2010). Sementara itu, laju peroksidasi lemak pada masa jaringan adiposa lebih lambat, membutuhkan waktu 3 kali lebih lama daripada laju peroksidasi
18
pada urat daging. Hal ini disebabkan karena lemak pada jaringan adiposa dalam bentuk triasilgliserol (trigliserida) atau lemak netral, sedangan pada urat daging terdiri atas fosfolipid (Caldironi dan Bazan 1982). Menurut Hogan (2002) dalam keadaan mentah, daging mempunyai flavor yang sangat lemah. Pemanasan, selama proses pemasakan, flavor berkembang melalui pemecahan protein, lemak, gula, vitamin, dan komponen lain yang satu sama lain karena adanya panas saling berinteraksi melalui reaksi pencokelatan Maillard dan menghasilkan flavor daging yang jelas. Proses memasak yang berbeda juga akan memberikan profil flavor yang berbeda meskipun berasal dari tipe daging yang sama. Tipe dan jumlah komponen flavor yang dihasilkan bergantung pada lama waktu dan metode memasak. Daging sapi yang dipanggang mempunyai profil flavor yang berbeda dari yang digiling atau direbus. Komponen volatil dan non volatil yang dihasilkan dalam proses pemasakan menghasilkan flavor daging. Ekstrak daging mengandung sejumlah besar asam amino, peptida, nukleotida, asam dan gula. Hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasi lebih dari 1.000 komponen flavor daging sapi panggang oven. Beberapa komponen kimia volatil yang diidentifikasi pada daging yang dimasak, aromanya adalah karbonil, seperti asetaldehida, proprionaldehida, 2metilpropanal, 3-metilbutanal, aseton, 2-butanon, n-heksanal, dan 3-metil-2butanon, tetapi beberapa dari komponen ini tidak menghasilkan
flavor
daging sapi panggang. Sebagai contoh, walaupun 3-metilbutanal merupakan komponen utama aroma daging sapi panggang, kontribusi flavornya secara nyata tidak terjadi. Pirazin, furans, dan komponen yang mengadung sulfur seperti sulfida, thiol, tiopen dan tiazol, juga berkaitan dengan aroma daging yang dipanaskan dan makanan lain. Bentuk pirazin pada pemanasan dan ada dalam flavor hampir semua makanan yang dipanggang. Flavor pirazin digambarkan seperti nutty, atau seperti biskuit asin dengan aroma bellpepper. Pirazin terbentuk di permukaan pangan yang dipanggang pada suhu di atas 70 oC, dan maksimum pada suhu 120oC. Selain berupa produk hasil perombakan kimia, flavor yang diperoleh melalui pengolahan dapat berupa produk-produk hasil interaksi, bergantung
19
pada bahan awal dan kondisi pengolahan. Soeparno (1994) mengemukakan bahwa flavor daging masak dipengaruhi oleh umur ternak, pakan, spesies, jenis kelamin, bangsa, lama waktu, dan kondisi penyimpanan setelah pemotongan serta jenis, lama, dan temperatur pemasakan. Secara umum disepakati bahwa daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih kuat daripada ternak yang lebih muda (Farmer 1999). Hal ini dapat terjadi karena perubahan komposisi asam lemak (trigliserida dan fosfolipid) pada jaringan adiposa baik di bawah kulit maupun pada urat daging sangat mempengaruhi sensitivitas terjadinya oksidasi dan stabilitas membran. Perbedaan umur pada sapi menyebabkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) pada C14:0, C16:1, C18:0 dan C18:2 (Clemens et al. 1973). Selanjutnya dikemukakan bahwa berdasarkan penelitian sebelumnya, C18:1, C18:2 secara umum meningkat, sedangkan C16:0 dan C18:0 menurun sejalan dengan pertumbuhan ternak. Menurut Baeza (2006) kadar lemak intramuskuler dapat diubah dengan mengkombinasi genotif, umur, dan nutrisi. Peningkatan lemak pada daging itik terutama disebabkan karena peningkatan trigliserida, asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal dan kandungan lemak intramuskuler dapat dimodifikasi melalui komposisi asam lemak pakan. Laju oksidasi daging itik berbeda dari daging ayam dan kalkun. Pada ayam broiler dan kalkun, laju oksidasi daging paha lebih tinggi daripada daging dada, sedangkan pada itik laju oksidasi daging dada lebih tinggi daripada daging paha. Hal ini karena daging dada juga digunakan untuk terbang (Russell et al. 2003). Apriyantono dan Lingganingrum (2001) menyatakan bahwa secara genetik, setiap jenis unggas mempunyai komposisi penyusun daging yang berbeda. Pada ayam, daging bagian dada berwarna putih dan bagian paha berwana merah, sedangkan pada itik, baik daging bagian dada maupun paha berwarna merah. Perbedaan warna daging diikuti dengan perbedaan kadar pigmen daging (mioglobin), pigmen darah (hemoglobin), dan komponen minor lain yaitu protein, lemak, vitamin B12, dan flavin (Lawrie 1991). Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan mioglobin dan hemoglobin dalam
20
daging dapat mempercepat laju oksidasi lemak. Selain itu, setiap spesies unggas mempunyai kadar lemak yang akan menghasilkan flavor yang berbeda. Ayam memiliki kadar lemak lebih rendah dari itik. Menurut Shahidi dan Pegg (1994) oksidasi lemak akan menghasilkan turunan lipid, di antaranya heksanal yang menghasilkan bau yang tidak enak atau apek. Selain itu, pengaruh lainnya juga sangat merugikan. Hamilton (1983) mengemukakan bahwa oksidasi lemak selain menyebabkan kerusakan flavor, juga menyebabkan kerusakan membran, enzim, vitamin, dan protein termasuk proses penuaan. Hal ini ditambahkan oleh Shahidi (1998) bahwa oksidasi lemak menyebabkan kehilangan asam lemak esensial, perubahan warna, tekstur, dan daya guna (nilai nutrisi) pangan tersebut seperti menyebabkan kerusakan vitamin larut lemak dan pembentukan kolesterol oksida. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mencegah terjadinya oksidasi tersebut. 2.2.5 Upaya Pencegahan Terjadinya Reaksi Oksidasi Lemak oleh Radikal Bebas Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi oksidasi lemak oleh radikal bebas pada daging efektif dicegah dengan menggunakan antioksidan (Surai dan Sparks 2000; Grau et al. 2001; Zieli ska et al. 2001; Bou et al. 2004; Hernandez et al. 2004). Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat reaksi oksidasi lemak oleh radikal bebas. Oksidasi lemak terdiri atas tiga tahap utama yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen. Tahap selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak lain menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru. Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak. Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan
21
mengalami terminasi melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks bukan radikal. Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Efektivitas antioksidan dalam menghambat oksidasi lemak atau untuk mengetahui kualitas daging, menurut Shahidi (1998) dapat diukur dengan beberapa metode, di antaranya (1) mengukur produk primer hasil oksidasi lemak, yaitu dengan cara mengukur PV (Peroxide Value); (2) mengukur semua perubahan yang terjadi pada lemak, seperti nilai total oksidasi; (3) metode tidak langsung, dengan cara mengukur tekstur, daya guna (functional properties) dan warna; (4) mengetahui perubahan konsentrasi salah satu atau lebih substrat. Pada metode ini termasuk analisis komposisi asam lemak, konsumsi oksigen, pembentukan asam lemak radikal bebas, atau turunannya; (5) mengukur produk sekunder hasil oksidasi lemak, kandungan malondialdehid (MDA), zat reaktif asam tiobarbiturik (TBA) atau thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), total karbonil atau zat volatile terpilih; (6) analisis sensori. Analisis sensori sangat penting dan umumnya metode kuantitatif dari oksidasi lemak berkorelasi dengan hasil analisis ini. Teknik evaluasi sensori sederhana, tetapi membutuhkan waktu, biaya mahal dan sering tidak dapat diulang. Untuk menghindari bias dan eror panelis, beberapa alat ukur dibentuk dan digunakan analisis statistik. Dari keenam metode pengukuran di atas, pada penelitian ini dilakukan analisis sensori, komposisi asam lemak dan nilai TBARS. Analisis sensori merupakan salah satu cara untuk menilai intensitas off-odor suatu bahan pangan. Metode ini melibatkan sejumlah panelis yang mampu mendeteksi dan mendeskripsikan off-odor. Sistem analisis sensori pada prinsipnya mencakup faktor fisiologis dan psikologis. Pendekatan yang paling mudah dalam analisis sensori baik dari segi praktis maupun teoretis dibedakan dalam 4 bidang utama yaitu analisis deskriptif (bagaimana seseorang menjelaskan persepsinya tentang makanan yang diujinya), pengukuran intensitas (persepsi sensori yang dinyatakan dalam skala), pengukuran hedonik (menguji suka atau tidak suka) dan analisis GC-Sniffing (tehnik GCO yang menggabungkan instrumen dan manusia). Sejalan dengan makin
22
meningkatnya penelitian-penelitian flavor, metode pengujian sensori juga makin berkembang. Metode pengujian sensori yang banyak mendapat perhatian di antaranya uji pembedaan, ranking dan rating serta profil. Metode uji pembedaan yang paling banyak dipakai adalah uji segitiga, uji berpasangan, dan uji duo-trio. Uji ini biasanya melibatkan jumlah panelis yang lebih sedikit bahkan sering kali tidak harus yang berpengalaman. Sampel yang diuji harus diberi kode sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bias. Metode ranking dan rating umumnya menggunakan panelis terlatih dan berpengalaman. Panelis berperan mengevaluasi dan menempatkan secara berurut (berjenjang, ranking) intensitas dari sifat-sifat spesifik, mengkuantifikasi dan memberi skor (rating) serta mengklasifikasi (grading). Hasil penilaian panelis biasanya dalam bentuk skala atau grafik. Pada metode profil digunakan analisis deskriptif suatu produk dengan mengidentifikasi dan menguraikan secara kuantitatif berdasarkan kualitas visual, tekstur, karakteristik aroma, flavor, oral, dan skinfeel (Meilgaard et al. 1999). Penentuan produk peroksidasi lipid dengan TBARS yaitu dengan mengukur kandungan malondialdehid dalam daging yang dinyatakan dalam mg malondialdehid per kg jaringan. Hasil penelitian Marusich et al. (1975) menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan malonaldehid (MDA) atau TBARS sejalan dengan meningkatnya oksidasi lipid jaringan. Selain itu malondialdehid juga digunakan untuk memonitoring oksidasi lemak produk reaksi sekunder, yang diperoleh dari hasil dekomposisi karbonil dari asam lemak tak jenuh ganda (Tokur et al. 2006). Oksidasi lemak pada umumnya dipengaruhi oleh kadar lemak, asam lemak tak jenuh ganda, antioksidan, prooksidan, proses pengolahan daging dan penyimpanan (Kim et al. 2003; Juntachote et al. 2007). Oksidasi lipid dalam jaringan ternak yang dinyatakan dalam nilai MDA atau TBARS bergantung pada banyak faktor, di antaranya kondisi lingkungan ternak dan strain, jenis ternak, asal daging, penyimpanan, pemanasan, ada tidaknya antioksidan pada bahan pangan tersebut. Cekaman panas (heat stress) menyebabkan meningkatnya laju oksidasi, sehingga turunan radikal bebas makin banyak, yang diindikasikan
23
dengan tingginya konsentrasi malondialdehid (MDA). Adaptasi terhadap cekaman panas tergantung pada strain. Pada kondisi cekaman panas yang sama, konsentrasi malondialdehid pada ayam broiler strain Ross lebih besar daripada strain Cobb (Altan et al. 2003). Russell et al. (2003) menunjukkan bahwa nilai TBARS daging itik pekin setelah dimasak lebih tinggi daripada daging segar. Demikian juga nilai TBARS setelah disimpan. Nilai TBARS daging dada itik pekin berbeda 8 kali lipat antara nilai oksidasi awal mentah dengan matang setelah disimpan selama dua bulan pada suhu – 20oC, sedangkan pada daging paha perbedaannya 12 kali lipat. Rababah et al. (2006) menyatakan bahwa antioksidan pada ekstrak teh hijau (flavonoid: kuersetin dan rutin) nyata (P<0,05) menurunkan nilai TBARS dan senyawa volatil, baik pada daging mentah maupun yang dimasak setelah melalui penyimpanan. Pada 0 hari, nilai TBARS daging dada ayam mentah yang ditambah ekstrak teh hijau sebanyak 8% dari bobot daging atau 2,5% dari lemak ayam dibandingkan kontrol tidak berbeda (16,4 vs 16,1 mg malondialdehid/kg), sedangkan pada daging dada yang dimasak, nilai TBARS yang mendapat antioksidan nyata (P<0,05) lebih rendah dari kontrol (36,1 vs 50,2 mg MDA/kg). Nilai TBARS daging dada ayam mentah maupun masak yang disimpan selama 12 hari pada suhu 5oC nyata (P<0,05) lebih rendah dari kontrol, masing-masing 67,8 vs 38,0 mg MDA/kg pada daging mentah dan 366,1 vs 77,1 pada daging masak. Nilai heksanal daging dada ayam mentah yang ditambah ekstrak teh hijau dibandingkan kontrol sebesar 1 816,3 vs 2 879,7 ppb, sedangkan pada daging dada ayam yang dimasak 5 097,5 vs 5 782,7 ppb. Nilai heptanal daging ayam mentah yang ditambah ektrak teh hijau dibanding kontrol sebesar 496,9 vs 605,1 ppb, sedangkan pada daging dada ayam yang dimasak 1 790,0 vs 1 965,0 ppb. Hal serupa diperoleh Randa (2007) pada daging itik. Pada daging itik segar, nilai TBARS akibat pemberian antioksidan (vitamin E dan C) tidak berbeda, tetapi setelah dimasak dan dibekukan, nilai TBARS pada kontrol meningkat setelah 3 minggu sedangkan yang mendapat antioksidan nilai TBARS stabil hingga umur 4
24
minggu. Hal ini berarti, efek antioksidan lebih terlihat pada daging yang telah mengalami pemasakan dan penyimpanan daripada daging segar. Hasil penelitian Cherian et al. (2002) menunjukkan bahwa tanin yang terdapat pada gandum dapat berfungsi sebagai antioksidan. Tanin dapat mencegah terbentuknya superoksid dan mempunyai aktivitas menangkap radikal bebas, yang dapat mencegah terjadinya peroksidasi lipid. Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan lemak daging yang makin tinggi, membutuhkan antioksidan yang lebih banyak untuk menurunkan proses oksidasi, sehingga daging yang mengandung lemak tinggi memiliki nilai TBARS yang tinggi. Namun, sangat sulit untuk mengkaitkan antara hasil pengukuran sensori dengan hasil pengukuran ketengikan secara kimia pada daging masak meskipun keduanya menggunakan metode yang sama. Sebagai contoh, panelis memberikan skor off-odor yang berbeda pada daging babi yang mempunyai nilai ambang TBARS 0,5-1,0 mg/kg sampel. Namun, di sisi lain, panelis memberi skor off-odor yang sama terhadap daging yang mempunyai nilai TBARS 5,9-11,3 (Enser 2003). 2.3
Beluntas (Pluchea Indica L.Less.) 2.3.1 Ciri-ciri Umum Beluntas adalah tanaman herba atau perdu yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara (India, Malaysia ke Taiwan) dan di Cina Selatan (IndoChina). Tanaman ini, di Indonesia, dapat tumbuh sampai ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut dan di tempat yang terkena sinar matahari. Karakteristik tanaman ini adalah tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 0,5–2 meter (Bamroongrugsa 1992; Dalimartha 1999; Achyad dan Rasyidah 2000) atau sampai 5 meter, bercabang banyak dan kuat. Daunnya berseling, bertangkai pendek, berbentuk bundar lonjong sampai bundar telur dengan panjang 2,5-9 cm dan lebar 1-5,5 cm, ujungnya bulat melancip, bagian tepi daun bergerigi, berkelenjar, tertutup rapat oleh bulu, baunya amat wangi, lembut dan berwarna hijau muda. Kedudukan daunnya tegak akibat sinar matahari. Bunganya berbentuk bonggol bergagang atau duduk keluar di ujung cabang dan ketiak daun, warnanya putih kekuning-kuningan sampai ungu (Achyad dan Rasyidah 2000). Kepala bunganya kecil, terdiri atas ruas
25
bunga bertempat sendiri dengan bunga-bunga berkelamin berlainan yaitu 26 bunga jantan berada di tengah dan yang lainnya betina. Tajuk bunga bagian pinggir berbentuk seperti pipa yang amat kecil, terbagi menjadi lima bagian dengan benang sari berwarna ungu. Buahnya berbentuk gangsing, kecil, keras, berwarna coklat dengan sudut-sudut putih, mempunyai sebaris bulu halus yang tipis, berbiji kecil dengan cokelat keputih-putihan. Beluntas baunya sangat khas yaitu sengir dan rasanya getir, biasanya ditanam sebagai pagar dengan perbanyakan stek dari batang yang cukup tua (Dalimartha 1999). Ciri-ciri umum beluntas dapat dilihat seperti pada Gambar 2.
Gambar 2 Beluntas (Pluchea indica Less.) Berdasarkan
klasifikasi
botani,
beluntas
termasuk
devisi
Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Asterales, Suku Asteraceae, Marga Pluchea, Jenis Pluchea indica Less (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991). Beluntas termasuk dalam famili Compositae (Asteraceae) (Heyne 1987) dengan nama sinonim Baccaris indica L. (Soedibyo 1998) atau Pluchea foliosa (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara 2001). Beluntas mempunyai berbagai nama, sesuai daerah tempat tumbuh. Beluntas yang tumbuh di daerah Sumatera diberi nama beluntas (Melayu), di Jawa Barat (Sunda) dikenal dengan nama baluntas atau baruntas, di Jawa namanya Luntas, di Madura dikenal dengan nama baluntas, di Makasar
26
menyebut tumbuhan ini dengan nama lamutasa, sedangkan di Timor disebut lenabou (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991; Dalimartha 1999). 2.3.2 Fitokimia Menurut Dalimartha (1999) daun beluntas mengandung alkaloida, flavonoida, tanin, minyak atsiri (benzil alkohol, benzil asetat, eugenol dan linolol), asam chlorogenik, natrium, alumunium, kalsium, magnesium, dan fosfor, sedangkan akarnya mengandung flavonoida dan tanin. Daun dan bunga mengandung saponin, flavonoida dan polifenol, dan bunganya mengadung alkaloida (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991). Beluntas, selain mengandung lemak, kalsium, fosfor, dan besi, juga mengandung amino (leusin, isoleusin, triftofan, dan treonin), vitamin A, dan C (Achyad dan Rasyidah 2000). Bagian aerial beluntas mengandung flavonoid (quercetin dan quercetin-3-riboside), dan terpenoid seperti, 3-(2,3-diacetoxy-2 methylbutiryl)-cuauhtemone,
9-hydroxylinalyl
glucoside,
linaloyl
apiosyl
glucoside, linaloyl glucoside, terpene glycosides, plucheosides A dan B, 6hydroxydammar-6-en-3-acetate, dan dammadienol (Bamroongrugsa 1992; Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001). Beluntas merupakan tanaman herba yang mengandung senyawa aktif seperti (-)-katekin, stigmasterol, stigmasterol glikosida dan 2-(propunil)-5-(5,6-dihidroksi heksa-1,3-diunil)-thiophene (Biswas et al., 2005). Luger et al. (2000) menyatakan bahwa komposisi kimia yang terdapat dalam Pluchea indica Less adalah sebagai berikut: 9 jenis senyawa lignan, 7 jenis senyawa sesquisterpen, 4 jenis senyawa fenilpropanoid, 3 jenis senyawa benzoid, 3 jenis senyawa 2 jenis senyawa triterpen, 5 senyawa jenis lain, 1 jenis senyawa steroid dan 1 jenis senyawa alkana. Menurut Harborne (1987) dari beberapa bahan polimer (lignin, melanin, dan tanin) penting dalam tumbuhan adalah senyawa folifenol. Beberapa senyawa fenol alam telah diketahui strukturnya dan flavonoid merupakan golongan terbesar. Jenis flavonoid di antaranya flavon, flavonol, isoflavon, flavonone, dan biflavonoid (flavonoid dimmer flavon dan flavonone). Semua senyawa flavonoid merupakan turunan (derived) dari 2fenilbenzopiron atau 3-fenilbenzopiron. Semua flavonoid mempunyai
27
struktur dasar yang sama (Cadenas 2004; Apak et al. 2007), terdiri atas 3 cincin aromatik A, B, dan C (Gambar 3) dengan satu atau lebih penyulih gugus hidroksil (OH). Sebagai bahan pangan, flavonoid biasanya terdapat sebagai glikosida (flavonoid-o-glikosida) yang mempunyai satu atau lebih molekul gula yang terikat pada cincin C. Beberapa struktur komponen fenol yang terdapat pada tumbuhan menurut Cadenas (2004) dapat dilihat seperti pada Gambar 4.
2-fenilbenzopiron
3-fenilbenzopiron
Gambar 3 Struktur dasar flavonoid Flavonoid kelompok flavonol terdiri atas kuersetin, kemperol, mirisetin, dan isorhamnetin. Dari buah-buahan, sayuran, dan minuman seperti teh, mayoritas flavonol terdiri atas kuersetin, mirisetin dan kemperol (Lin et al. 2006). Perbedaan struktur kimia keempat jenis flavonol tersebut dapat dilihat seperti tercantum pada Gambar 4. Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar (Harborne 1987). Alkaloid sering kali beracun bagi manusia, tetapi banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga sering digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Banyak alkaloid bersifat terpenoid. Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol, bersifat seperti sabun dalam kemampuannya menghemolisis sel darah. Tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai kemampuan menyambung silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak (dimakan hewan), maka akan terjadi reaksi penyamakan. Hal ini menyebabkan protein
28
lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisiskan.
Gambar 4 Struktur komponen fenol tumbuhan (Cadenas 2004)
Tanin
terkondensasi
biasanya
terdapat
pada
paku-pakuan,
gimnospermae dan angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu, sedangkan tanin terhidrolisiskan biasanya terdapat pada tumbuhan berkeping dua. Tanin terkondensasi (flavolan) terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) membentuk senyawa dimer dan kemudian
oligomer
yang
lebih
tinggi.
Ikatan
karbon-karbon
menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Hampir semua flavolan mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terhidrolisiskan terutama terdiri atas depsida galoilglukosa (inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima atau lebih gugus ester galoil) dan inti molekul berupa senyawa dimer asam galat (asam heksahidroksidifenat) yang berikatan dengan glukosa. Dalam praktik, sulit sekali mengekstraksi seluruh tanin, terutama tanin terkondensasi. Kadar tanin dalam daun lebih dari 2% bobot kering, dapat menyebabkan ternak menolak makan. Bila daun diremukkan saat dimakan, tanin membentuk senyawa kompleks dengan protein daun. Setelah dicerna protein yang tersamak tersebut mungkin tidak diserap penuh karena enzim proteolitik tidak dapat menguraikannya secara
29
penuh menjadi asam amino (Harbone 1987). Hasil penelitian Sinaga (2006) menunjukkan konsumsi pakan itik lokal fase produksi yang mendapat pakan dengan tepung daun kaliandra sebanyak 9% (kandungan tanin sebesar 0,054%) lebih rendah daripada yang mendapat pakan dengan tepung daun kaliandra 6% (kandungan tanin sebesar 0,036%). Hal ini berarti palatabilitas ransum yang mengadung tanin sebesar 0,054% sudah menurun. Minyak atsiri suatu tumbuhan digolongkan ke dalam terpenoid. Terpenoid terdiri atas monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap (C20) sampai ke triterpenoid dan sterol yang tidak menguap (C30) serta pigmen karetonoid (Harbone 1987). 2.3.3 Aktivitas Komponen Bioaktif Daun Beluntas Daun beluntas berbau khas aromatis dan rasanya getir. Daun tersebut, pada manusia, berkhasiat menghilangkan bau badan dan penyegar (Dalimartha 1999). Flavonoid mempunyai banyak efek biokimia dan farmakologi termasuk antibakteri, antioksidan, juga dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai antikanker (Schewe dan Sies 2003). Penelitian Ardiansyah (2005) menunjukkan bahwa ekstrak polar daun beluntas dapat menghambat bakteri patogen penyebab keracunan makanan (seperti Escherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus dan Baccilus cereus), bakteri penyebab kebusukan makanan (Pseudomonas fluorescens) dan bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan (Escherichia coli) sehingga diakui daun beluntas bermanfaat menyembuhkan berbagai penyakit yang diakibatkan infeksi bakteri. Adanya penghambatan
bakteri
diduga karena daun beluntas
mengandung komponen aktif pluchine, asam kafeoilkunat, saponin, flavonoid
(Syamsuhidayat
dan
Hutapea
1991),
fenol
hidrokuinon
(Ardiansyah 2002). Beluntas (Pluchea indica L. Less) merupakan salah satu tanaman herba, mengandung fenol (Andarwulan et al. 2008), flavonoid (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara 2001; Widyawati 2004) dan vitamin C (Traithip 2005). Kandungan total fenol dan total flavonoid daun beluntas
30
masing-masing sebesar 1 030,03 mg/100 g b.k dan 79,19 mg/100 g b.k. Kandungan fenol dan flavonoid beluntas lebih rendah dari sayuran indigenous lain, yaitu kenikir dan lebih tinggi dari kemangi. Total fenol dan flavonoid kenikir berturut-turut sebesar 1 225,88 mg/100 g b.k dan 420,85 mg/100 g b.k., sedangkan total fenol dan flavonoid kemangi masing-masing sebesar 784,32 mg/100 g b.k dan 69,78 mg/100 g b.k. Ketiga jenis sayuran indigenous tersebut mempunyai kapasitas antioksidan yang diukur dengan metode TBA (penghambatan pembentukan MDA) masing-masing sebesar 95,15%, 98,55% dan 97,04% (Andarwulan et al. 2008). Senyawa fenol asal tanaman mempunyai kemampuan sebagai antioksidan (Kruawan & Kangsadalampai 2006; Apak et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2007; Ribeiro et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2009; Ahmed dan Beigh 2009), melindungi sel dari kerusakan oksidatif (Moskaug et al. 2005) atau menetralkan oksidan reaktif dengan cara mendonorkan hidrogen, menghelat logam, interaksi dengan protein, menghambat kerja beberapa enzim (lipoksigenase, siklooksigenase, xantin oksidase). Hidrogen akan bereaksi dengan reaktif oksigen spesies (ROS) atau reaktif nitrogen spesies (RNS) pada tahap reaksi terminasi yang akan memutus siklus generasi radikal baru (Pereira et al. 2009). Flavonoid menunjukkan kemampuannya sebagai antioksidan (Beecher 2003; Apak et al. 2007) dengan cara : (1) menangkap radikal bebas: ROS (.OH, O2-, 1O)2, dan RNS (RO., ROO.; (2) menghelat ion logam, jadi menutupi aksi prooksidan; (3) menghambat kerja enzim prooksidan (lipoxygenase). Lipoksigenase sebagai katalis enzim lipid peroksidasi yang mempunyai kemampuan mendioksigenasi tidak hanya asam arachidonat dan linoleat, tetapi juga fosfolipid, ester kolesterol dan bahkan struktur biologis kompleks seperti biomembran dan plasma lipoprotein. Daya kerja flavonoid sebagai antioksidan dengan cara menghelat logam dan menangkap oksigen radikal dan radikal bebas (scavenger) seperti pada Gambar 5 (Cadenas 2004). Beluntas mengandung flavonoid jenis flavonol: kuersetin, mirisetin dan kaemperol (Andarwulan et al. 2008). Kuersetin mempunyai aktivitas
31
antioksidan yang tinggi (Kahkonen dan Heinonen 2003; Prior 2003; Cadenas 2004; Simić et al. 2007). Kuersetin dapat menurunkan kolesterol, sehingga flavonoid ini sangat menguntungkan dalam penanggulangan penyakit jantung koroner/atherosclerosis (Ricardo et al. 2001). Flavonoid (kuersetin dan isorhamnetin 3-O-asilglukosida) menekan ledakan oksidatif dan melindungi membran terhadap peroksidasi lipid (Zieliñska et al. 2001). Flavonoid dapat berfungsi sebagai antioksidan (Panovskai et al. 2005) atau antiradikal karena adanya orto hidroksilasi pada cincin B dari molekul flavonoid, sejumlah gugus hidroksil bebas, ikatan rangkap C-C pada cincin C, atau adanya kelompok 3-hidroksil (Burda dan Oleszek β001; Zieli ska et al. 2001), susunan katekol pada cincin B atau A, grup karbonil dengan ikatan rangkap 2,3 pada cincin C (Schewe dan Sies 2003).
Inisiasi
Mengkelat logam Alkil radikal
Antioksidan pemutus rantai
Peroksil radikal
Propagasi Lipid peroksida
Alkoksil radikal
Menangkap radikal bebas
Alkohol
Gambar 5 Penghambatan peroksidasi lemak oleh flavonoid (Cadenas 2004)
Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan elektronnya vitamin C dapat mencegah senyawa lain teroksidasi (Padayatty et al. 2003). Vitamin C tidak hanya dapat menetralkan radikal hidroksil (.OH), alkoksil (.OL) dan peroksil (LOO.) dengan mendonorkan hidrogen, vitamin C juga bisa menetralisir bentuk radikal antioksidan lain, seperti glutation (.GS) dan vitamin E/tokoferol (.Toc) (Best 2010). Vitamin C berfungsi sebagai scavenger, merusak singlet oksigen, aktif pada kondisi oksigen tinggi dan sebagai regenerator vitamin E (Cadi Group
32
1997). Vitamin C berperan sebagai antioksidan hidrofilik, sedangkan vitamin E berperan sebagai antioksidan lifofilik (Niki et al. 1995). Vitamin C melindungi membran terhadap peroksidasi melalui peningkatan aktivitas vitamin E. Vitamin C menurunkan pembentukan radikal tokoperoksil (mempertahankan aktivitas penangkapan radikal oleh vitamin E). Beta-karoten berfungsi sebagai pemutus reaksi berantai, menangkap radikal bebas, menetralisir singlet oksigen dan aktif pada kondisi oksigen rendah. Beta-karoten adalah molekul yang panjang saling berikatan dengan 11 ikatan rangkap konjugasi. Satu molekul beta-karoten dapat menangkap lebih dari 1000 molekul singlet oksigen (Gambar 6). Sifat ini membuat betakaroten sebagai penangkap singlet oksigen yang sangat potensial (Cadi Group 1997).
Radikal Peroksil
Beta Karoten
Radikal Beta Karoten
Gambar 6 Aktivitas beta-karoten sebagai antioksidan Niki et al. (1995) mengemukakan bahwa beta-karoten mempunyai sifat sinergistik dengan vitamin E pada membran sel dan LDL. Vitamin E bekerja pada permukaan sel, sedang beta-karoten bekerja di bagian dalam sel. Mekanisme penghambatan oksidasi oleh vitamin C, beta-karoten, dan vitamin E disajikan pada Gambar 7. Polifenol antioksidan
merupakan
antioksidan
yang
bersama-sama
dengan
lainnya seperti vitamin C, vitamin E, dan karotenoid
melindungi jaringan tubuh dari kerusakan akibat stress oksidatif (Scalbert & Williamson 2000). Polifenol merupakan antioksidan yang paling banyak dalam makanan, dan asupannya dapat mencapai 1 g/hari atau 10 kali lebih tinggi dari asupan vitamin C, 100 kali lebih tinggi dari vitamin E dan
33
karotenoid (Scalbert et al. 2005). Fenolik dan kombinasi vitamin C dengan agen penghelat memberikan proteksi terhadap oksidasi lipid yang terbaik (Caldironi dan Bazan 1982). Lutein (kelompok carotenoid) asal kaliandra mampu bertindak sebagai antioksidan dan mengurangi jumlah vakuola lemak hati. Lutein mampu berikatan dengan lemak sehingga tidak berdiri sendiri sebagai radikal bebas, karotenoid mempunyai sifat antioksidan yang sangat baik, dan perubahan pengaruh pakan baru terlihat paling sedikit setelah dua minggu pemberian (Sinaga 2006).
Gambar 7 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh kombinasi - karoten (B), vitamin C (C), dan vitamin E (E) LH = Lipida; L = radikal lipida; LO2= radikal lipida peroksil; LOOH = lipida hidroperoksida; B = radikal derivasi - karoten; BO2 = radikal karoten ; BOOH = -karoten hidroperoksida’E= radikal vitamin E; C= radikal vitamin C (Niki et al. 1995)
Selain itu, flavonoid juga mempunyai kemampuan menonaktifkan enzim 5-lipoksigenase yang berperan menstimulir pembengkakan sel (Schewe dan Sies 2003). Menurut Li dan Tian (2004) dari 15 flavonoid ada 9 yang mempunyai 2 gugus hidroksil pada cincin B dan 5,7 gugus hidroksil pada cincin A kombinasi dengan ikatan rangkap C-2,3 dapat menghambat aktivitas enzim FAS (Fatty Acid Synthase). Fatty Acid Synthase mensintesis asam lemak terutama palmitat dari substrat asetil CoA (Ac- CoA), malonil CoA (Mal-CoA), dan NADPH melalui keenam sisi aktif enzim tersebut (acetyl/malonyl transferase; -ketoacyl synthase; -ketoacyl reductase; hydroxyacyl dehydratase; enoyl reductase; dan thioesterase). Fatty Acid
34
Synthase merupakan enzim penting yang berperan dalam metabolisme energi di dalam tubuh dan berhubungan dengan berbagai penyakit pada manusia. Hasil penelitian Dragland et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan salah satu tanaman herba Jepang (Sho-Danau Sai) yang biasa digunakan untuk mengobati hepatitis kronis, juga dapat menghambat perkembangan karsinoma hepatoseluler, dan mengurangi peroksidasi lipid dan fibrosis hati pada hewan percobaan. Asupan flavonoid dilaporkan dapat mengurangi risiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim prostaglandin sintase, lipoksigenase, dan siklooksigenase yang terkait dengan pembentukan tumor (Zang dan Hamauzu 2003). 2.3.4 Metabolisme Lemak Asam lemak merupakan suatu rantai hidrokarbon yang mengandung satu gugus metal pada salah satu ujungnya dan salah satu gugus asam atau karboksil pada ujung lainnya. Secara umum, formula kimia suatu asam lemak adalah CH3(CH2)nCOOH, dan n biasanya kelipatan dua. Berdasarkan jumlah atom karbon, asam lemak dibagi menjadi asam lemak rantai pendek (rantai hidrokarbonnya terdiri dari jumlah atom karbon genap 4-6 atom), asam lemak rantai sedang (8-12 atom) dan asam lemak rantai panjang (1426 atom). Lemak asal pakan yang sudah melalui mulut sampai di lumen usus sudah berada dalam bentuk lemak teremulsi. Lemak tersebut dengan bantuan enzim lipase akan diubah ke dalam bentuk yang lebih sederhana (asam lemak bebas/FFA) dan monogliserida. Asam lemak bebas dan monogliserida, kolesterol, dan vitamin larut lemak dengan adanya garam empedu membentuk misel, kemudian masuk ke sel mukosa usus. Di mukosa usus sebagian membentuk asam lemak lebih sederhana (asam lemak rantai pendek). Pada unggas, asam lemak rantai pendek langsung masuk ke vena portal, sedangkan monogliserida, trigliserida dan kolesterol masuk ke vena poral dengan bantuan protein, membentuk partikel besar lipoprotein (disebut khilomikron) terlebih dahulu sebelum keduanya (asam lemak rantai pendek maupun khilomikron) diangkut ke hati (Gambar 8).
35
Lipase pankreas adalah enzim yang berperan dalam pencernaan triasilgliserol pakan. Lipoprotein lipase adalah enzim yang berperan dalam hidrolisis triasilgliserol dari lipoprotein plasma, terutama khilomikron dan veri low densiti lipoprotein (VLDL) dan aktivitasnya diketahui dipengaruhi oleh status nutrisi, hormon dan kondisi lingkungan (Moreno et al. 2003).
Gambar 8. Metabolisme lemak asal pakan modifikasi dari Suttie (1972)
Biosintesa asam lemak (lipogenesis) terjadi di dalam sitoplasma pada banyak jaringan, terutama di dalam hati, jaringan lemak, ginjal, paru-paru dan kelenjar susu (Koolman dan Röhm 2001). Asam lemak terbentuk dari Asetil-KoA. Asetil-KoA merupakan hasil dekarboksilasi oksidatif piruvat yang berasal dari glikolisis glukosa. Langkah pertama lipogenesis adalah karboksilasi asetil-KoA menjadi malonil-KoA yang dikatalis oleh asetilKoA karboksilase. Polimerisasi menjadi asam lemak terjadi di dalam sitoplasma dalam suatu kompleks sintase asam lemak. Kompleks multienzim ini mulai bereaksi dengan asetil-KoA dan memperpanjangnya dengan menggunakan gugus malonil dalam beberapa daur reaksi menjadi palmitat. Pada setiap daur reaksi akan dilepaskan CO2 dari malonil-KoA dan hal ini berarti, pada setiap daur reaksi, asam lemak bertambah panjang sebanyak dua sub unit karbon. Perpanjangan asam lemak oleh sintase asam lemak berhenti pada suatu panjang rantai dengan 16 atom C dan menghasilkan palmitat (C16:0). Melalui proses khusus di dalam retikulum
36
endoplasma, palmitat diaktivasi dengan ATP menjadi palmitoil-KoA yang siap digunakan untuk sintesis asam lemak dengan rantai lebih panjang (C18, C20, dst) dan fosfolipid (Gambar 9). Asal metabolik Acetyl-KoA
Diet -2H
C16:0 Palmitat 2C
Diet
7
C
C 16:1
3, 6 , 9 18:3
Linolenat
Palmitoleat 2C
C18:0 Stearat
C 186:2, 9
7
C 18:1
Vassenat
2C
C20:0 Arakidat
9
-2H
C 18:1
C 189:2,12
Oleat
C22:0 Behenat
2C
Prosta-glandin PGE1 Prosta-glandin PGE2
2C
2C 9 C 20:1
C 186:3, 9,12
Linoleat
-2H
C
C
2C
9 ,12 20:2
6 , 9 ,12 20:3
Homo- -linolenat
C
6 , 9 ,12,15 20:4
Arakidonat
C 209:3,12,15
C24:0 Lignoserat
9
C 22:1
Erusat
9
C 24:1
Nervonat
Gambar 9 Metabolisme lemak (Bell dan Freeman 1971)
2.3.5 Metabolisme Antioksidan Oksidasi adalah transfer elektron dari satu atom ke atom lain dan menggambarkan bagian yang esensial dalam makhluk hidup yang menggunakan oksigen dalam metabolisme, karena oksigen adalah akseptor elektron terakhir dalam sistem aliran elektron yang menghasilkan energi dalam bentuk ATP. Akan tetapi, apabila dalam sistem aliran elektron ada yang tidak dilepaskan (menstransfer satu elektron tidak berpasangan), maka akan terbentuk senyawa-senyawa yang dikenal sebagai ROS (Reactive Oxigen Species) (Pietta 2000) dan RNS (Reactive Nitrogen Species) (Surai 2003).
37
Reactive Oxygen Species dan RNS terbentuk secara reguler sebagai hasil fungsi normal tubuh atau sebagai hasil kelebihan stres oksidatif (Surai 2003). Menurut Halliwell dan Gatteridge (1999), diacu dalam Surai (2003) yang termasuk dalam ROS dan RNS ádalah senyawa radikal seperti alkoksil (RO*), hidroperoksil (HOO*), hidroksil (*OH), peroksil (ROO*), superoksid (O2*), nitrik oksid (NO*) dan nitrogen dioksid (NO2*), dan senyawa non-radikal yang reaktif seperti hidrogen peroksid (H2O2), asam hipoklorus (HOCl), ozon (O3), singlet oksigen (1O2), peroksinitrit (ONOO-), nitroksil anion (NO-) dan asam nitrus (HNO2). Spesies reaktif superoksid (O2-), hidrogen peroksid (H2O2), hidroksil radikal (HO*), nitrogen oksid (NO*), peroksinitrit (ONOO-), dan asam hipoklorus (HOCl) merupakan produk normal dalam jalur (pathways) metabolik organ manusia. Superoksid, sumber paling penting dalam inisiasi radikal in vivo, yang diproduksi di mitokondria selama rantai transfer elektron dan secara reguler bocor keluar dari mitokondria. In vivo, ROS memegang dua peran yang berbeda yaitu positif dan negatif. Peran positifnya, berkaitan dengan produksi energi, phagocytosis, pengaturan pertumbuhan sel, pemberi isyarat di dalam sel, dan sintesis senyawa yang secara biologis penting. Sebaliknya, jika ROS berlebih akan menjadi senyawa yang berbahaya, karena dapat menyerang lipid pada membran sel, protein dalam jaringan atau enzim, karbohidrat dan DNA, yang menyebabkan kerusakan membran, modifikasi protein (termasuk enzim), dan DNA. Kerusakan oksidatif ini dianggap memegang peran dalam proses penuaan dan beberapa penyakit degeneratif yang berhubungan dengan
proses
penuaan,
seperti
penyakit
jantung,
katarak,
tidak
berfungsinya kesadaran/pengertian dan kanker (Pietta 2000). Untuk mempertahankan keseimbangan oksidasi reduksi, organ tubuh melindungi diri sendiri dari toksisitas kelebihan ROS/RNS dengan berbagai cara,
termasuk
menggunakan
antioksidan
endogen
dan
eksogen.
Perlindungan oleh antioksidan berlokasi di organel, bagian subseluler atau ruang ekstraseluler termasuk sel. Pertahanan pertama adalah mencegah terjadinya pembentukan radikal dengan cara memindahkan prekursor
38
radikal bebas atau menginaktifkan katalis oleh enzim superoksida dismutase (SOD), Se-glutation peroksidase (GSH-Px), katalase, sistem glutation dan tioredoksin, dan logam pengikat protein. Pertahanan kedua adalah mencegah dan membatasi pembentukan reaksi berantai atau propagasi oleh antioksidan, misalnya vitamin A, E, C, karotenoid, ubiquinols, glutation dan asam urat. Pertahanan ketiga adalah penghilangan dan perbaikan bagian molekul yang rusak oleh enzim lipase, peptidase, protease, transferase, enzim perbaikan DNA, dan lainnya (Pietta 2000; Surai 2003). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari polifenol yang telah diketahui sebagai
antioksidan (Burda dan Oleszek 2001)
karena
kemampuannya menurunkan pembentukan radikal bebas dan menangkap radikal bebas. Kemampuan sebagai antioksidan memberi efek terapi terhadap penyakit jantung, radang usus, kanker (patologi hati) (GonzálezGallego et al. 2007). Juga berperan penting sebagai anti alergi, anti viral, antiinflamasi, kemampuan memperlebar pembuluh darah (Pietta 2000; González-Gallego et al. 2007 ). Berdasarkan derajat oksidasi pada cincin-C, pola hidroksilasi dari struktur cincin dan substitusi pada posisi-3 cincin C (Gambar 3) polifenol yang banyak terdapat pada pangan dapat dibagi menjadi 6 kelas utama, yaitu flavanol (contoh, epikatekhin), flavonol (contoh,
kuersetin), flavone (contoh,
luteolin), flavanone (contoh,
naringenin), isoflavone (contoh, genistein), dan antosianidin (contoh, sianidin). Sampai saat ini, kemampuan flavonoid sebagai antioksidan dilaporkan berpengaruh pada kesehatan. Akan tetapi, potensi sebagai antioksidan, potensi bioaktivitasnya in vivo bergantung pada penyerapan, metabolisme, distribusi, dan ekskresi senyawa tersebut
di dalam tubuh
setelah pencernaan dan daya guna dari metabolit yang dihasilkannya (Gambar 10).
39
Gambar 10 Pembentukan metabolit dan konjugasi flavonoid pada manusia Pemecahan prosianidin mungkin terjadi di lambung pada lingkungan pH rendah. Semua kelas flavonoid selanjutnya dimetabolis di jejunum dan ileum usus kecil dan metabolit yang dihasilkannya akan masuk ke vena vortal dan selanjutnya dimetabolis di hati. Mikroflora kolon mendegradasi flavonoid menjadi asam fenolik yang lebih kecil, yang mungkin diserap. Hampir semua metabolit diekskresikan di ginjal. Adanya senyawa ini masuk ke dalam sel dan jaringan tidak diketahui (Spencer 2003)
Struktur kimia dan biokimia polifenol akan berpengaruh pada fungsi biologisnya, seperti ketersediannya (bioavailabity), aktivitasnya sebagai antioksidan, interaksi spesifik dengan sel reseptor dan enzim serta fungsi lainnya. Fungsí biologis polifenol bergantung pada bioavailability (Manach et al. 2004). Potensinya sebagai antioksidan in vivo bergantung pada metabolismenya, absorpsi dan ekskresi senyawa ini di dalam tubuh setelah dicerna dan peran metabolitnya (Spencer et al. 1999). Struktur kimia polifenol menentukan laju dan penyerapan di usus dan sirkulasi metabolit alami yang ada dalam plasma. Struktur kimia polifenol juga mempengaruhi reaksi konjugasi dengan metil, sulfat atau kelompok glukoronik dan sejumlah metabolit alam atau yang terbentuk oleh mikroflora saluran pencernaan yang diserap di kolon. Kelompok tertentu dari polifenol seperti flavonols, isoflavones, flavones, dan antosianin biasanya terglikosilasi. Gula yang terikat umumnya glukosa atau rhamnosa, tetapi dapat juga galaktosa,
40
arabinosa, xilosa, asam glukoronik, atau gula-gula lain (Scalbert dan Williamson 2000). Banyaknya gula umumnya satu, tapi dapat dua atau tiga dan ada beberapa posisi yang memungkinkan untuk digantikan, misalnya oleh gugus asam malonik. Glikosilasi mempengaruhi fungsí secara kimia, fisik dan biologis polifenol. Polifenol yang terglikosilasi, untuk dapat berdifusi
secara
pasif
melalui
sisir
dinding
usus
diduga
harus
menghilangkan gugus hidrofiliknya. Oleh karena itu, tahap pertama metabolisme polifenol adalah glikosilasi, yaitu menghilangkan gula dengan enzim (glikosidase). Aktivitas enzim glikosidase dapat terjadi di dalam bahan makanan tersebut (endogenus atau ditambahkan selama pemrosesan) atau pada sel mukosa saluran pencernaan atau disekresikan oleh mikroflora yang ada di kolon. Pada flavonoid seringkali diasilasi, khususnya dengan asam galik, tetapi pengaruhnya pada bioavailaility polifenol tidak sedramatis glikosilasi. Flavanols tampak dapat melewati membran secara biologis dan diserap tanpa dikonjugasi atau hidrolisis (Scalbert dan Williamson 2000). Flavones dan flavonols glikosida dan aglikonnya diglukoronidasi (peningkatan gugus OH pada posisi γ’ dan 4’ cincin B) selama transfer melintasi jejunum dan ileum tanpa memerlukan miroflora saluran pencernaan, karena adanya enzim glikosidase seperti halnya enzim UDP-glukoronil transferase di jejunum. Sebaliknya, kuersetin-3-glukosida dan rutin umumnya diserap tanpa dimetabolis (Spencer et al. 1999). Ester asam fenolik dimetabolis oleh enzim yang dihasilkan mikroflora kolon. Penyerapan polifenol bergantung pada bobot molekul. Proantosianidin merupakan biopolimer berbobot melekul besar, sehingga sulit diserap di usus halus. Setelah turunan polifenol dihidrolisis menjadi aglikon (polifenol bebas/tidak terikat dengan senyawa gula), polifenol bebas dikonjugasi/diikat dengan cara metilasi, sulfasi, glukoronidasi, atau kombinasinya. Tahapan ini dikontrol oleh enzim spesifik yang mengkatalis reaksi tersebut. Polifenol tidak diserap di lambung. Polifenol diserap, dimetabolis di hati dan diekskresi di empedu atau secara langsung dari enterosit kembali ke usus halus juga akan mencapai kolon, tetapi dalam bentuk kimia yang berbeda, seperti glukoronida. Mikroflora kolon mengkatalisis pemecahan polifenol
41
menjadi senyawa lebih sederhana, seperti asam fenolik. Diduga metabolit yang terbentuk di dalam jaringan tubuh atau mikroflora kolon sangat berkontribusi terhadap kapasitas antioksidan. 2.3.6 Antinutrisi Ozturk (2008) mengemukakan bahwa tanaman mengandung beberapa zat kimia yang bersifat sebagai pelindung bagi tanaman tersebut terhadap predator, tetapi dapat membahayakan kesehatan atau merugikan bagi yang mengkonsumsinya. Zat tersebut di antaranya alkaloid, asam amino, peptida dan protein, glikosida, mineral, asam, oksalat, terpen, fenolik dan tanin, fitotoksin, senyawa fotosensitising, resin, dan minyak esensial. Namun, pengaruh toksisitas sangat bergantung pada spesies (Kaiser PermanenteNorthwest 2003, diacu dalam Ozturk (2008). Selain berpengaruh positif seperti dikemukakan di atas, daun beluntas juga mengandung beberapa zat antinutrien seperti tanin dan saponin. Pada unggas, tanin yang tinggi dapat menurunkan daya cerna dan penggunaan protein, yang tercermin dengan meningkatnya ekskresi protein pada feses (Cheeke 1998, diacu dalam Patterson 2002). Secara spesifik, tanin terkondensasi yang terdapat pada sorghum bereaksi dengan protein dalam pakan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna, mengikat enzim pencernaan sehingga menurunkan daya cerna semua nutrisi pakan. Tanin terkondensasi menyebabkan iritasi dan erosi mukosa usus, sebagai akibat peningkatan sekresi mukus untuk melindungi kerusakan sel. Pemberian asam tanin pada ayam petelur umur 1-15 hari sebanyak 25 g/kg pakan menyebabkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan protein sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dari kontrol (tanpa penambahan asam tanin) (Marzo et al. 2002). Tanin dengan level 0,5% atau lebih dalam pakan menyebabkan penurunan pertumbuhan, ketersediaan energi pakan dan protein, kematian lebih tinggi dari 4%, juga menghambat aktivitas enzim (tripsin, amilase dan lipase) (Johri 2005). Beberapa hasil penelitian yang dikutip Leeson dan Zubair (2006) menunjukkan bahwa tanin yang tinggi (lebih dari 5% berasal dari gandum) menyebabkan pengikatan dan pengendapan protein pakan dan
42
enzim pencernaan, menurunkan bahan kering, daya cerna protein dan asam amino pada anak ayam sehingga pertumbuhannya tertekan. Namun, pada kalkun umur lebih dari 8 minggu (alat pencernaannya sudah lebih berkembang), efek merugikan dari tanin dapat ditolerir. Selain itu, saponin dari alfalfa (yang normal sebanyak 1%) diperkirakan menghambat fungsi enzim percernaan pada ayam sehingga daya cerna protein, penyerapan asam amino, gula dan nutrien lain rendah. Hasil penelitian Cherian et al. (2002) memperlihatkan bahwa bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan ayam broiler yang diberi pakan mengandung gandum (ruby red dan valvo red 10%; kinsman dan mason 5%) menggantikan jagung sampai umur 42 hari tidak berbeda nyata dengan kontrol.
43
3. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan IPB, mulai bulan Mei 2004 sampai Oktober 2010. 3.1
Pengadaan Tepung Daun Beluntas, Analisis Gizi, dan Fitokimia 3.1.1
Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah beluntas
yang berasal dari daerah Bogor, alat pengering (oven), dan alat penggiling. 3.1.2 Metode Pembuatan Tepung Daun Beluntas Penelitian pada tahap ini diawali dari pembuatan tepung daun beluntas. Pembuatan tepung daun beluntas dimulai dari pemanenan daun beluntas, pengeringan sampai penggilingan daun beluntas yang sudah kering. Tepung daun beluntas tersebut dimanfaatkan untuk analisis kandungan nutrisi, fitokimia dan campuran pakan perlakuan pada ternak itik yang diteliti. Beluntas yang digunakan berasal dari daerah Bogor. Beluntas diambil sekitar 30-50 cm dari pucuk tanaman, daunnya dipetik, lalu dianginanginkan pada suhu kamar selama satu-dua hari. Daun yang telah dianginanginkan kemudian dijemur sekitar 30 menit dan dioven dalam kantung semen pada suhu sekitar 65oC selama 2-3 jam. Setelah daun menjadi kering/renyah, daun digiling dengan alat penghalus menjadi tepung dan melewati saringan yang berukuran mesh 100. Hasil penggilingan dimasukkan dalam kantung semen, kemudian dimasukkan dalam kantung plastik dan disimpan pada suhu kamar sebelum digunakan. Sampel tepung daun beluntas untuk analisis komposisi gizi dan fitokimia diambil dari setiap hasil penggilingan. 3.1.3 Pengumpulan Data Rendemen tepung daun beluntas diambil dari 19 batch mengeringkan. Sampel untuk analisis kandungan gizi dan fitokimia tepung daun beluntas diambil 300 gram secara acak dari setiap pengeringan. Kandungan gizi tepung daun beluntas dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi
44
Pakan, Fakultas Peternakan IPB, sedangkan kandungan fitokimianya dianalisis di Lab. Pascapanen Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian-Bogor dan Lab. Kimia Makanan, Depkes, Badan Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor. 3.2 Respon Biologi Itik Jantan Muda (4-10 minggu) 3.2.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah itik lokal jantan umur satu hari (DOD) sampai 10 minggu, tepung daun beluntas, dan pakan ayam broiler komersial. Tempat pemeliharaan itik digunakan boks berukuran panjang 100 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 60 cm yang dilengkapi dengan pemanas, tempat pakan, dan tempat air minum. 3.2.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian tepung daun beluntas terhadap penampilan ternak itik lokal jantan yang dipelihara mulai dari umur satu hari (DOD) sampai 10 minggu. Itik tersebut ditempatkan pada kandang boks berukuran 100 x 100 x 75 cm sebanyak 18 buah masing-masing diisi 5 ekor itik secara acak. Kandang dilengkapi tempat pakan dan air minum serta lampu 60 Watt. Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) yang terdiri atas 3 perlakuan pemberian pakan, yaitu pakan Bo (pakan kontrol/tanpa tepung daun beluntas), B1 (pakan kontrol dengan 1% tepung daun beluntas), dan B1 (pakan kontrol dengan 2% tepung daun beluntas). Masing-masing perlakuan terdiri atas 6 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 5 ekor itik, sehingga jumlah itik jantan lokal umur sehari (DOD) yang digunakan sebanyak 90 ekor. Dari umur 0-3 minggu itik diberi pakan jenis BP 11 produksi PT Charoen Pokphand Indonesia ad libitum. Pergantian pakan BP 11 dengan pakan perlakuan dilakukan secara bertahap antara umur 3-4 minggu. Dari umur 4-10 minggu itik diberi pakan sesuai perlakuan. Pakan perlakuan berasal dari PT Indofeed yang disusun sesuai dengan kebutuhan itik.
45
Sebelum disajikan, pakan sedikit dibasahi untuk mempermudah itik menelan pakan yang bersangkutan. Pemotongan itik dilakukan pada saat itik berumur 10 minggu. Sebelum dipotong, itik dipuasakan selama 12 jam, tetapi tetap diberi air minum. Pemotongan dilakukan dengan cara Islam. Pencabutan bulu dilakukan secara basah. Peubah yang diamati ialah penampilan itik yang terdiri atas konsumsi pakan, bobot badan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan persentase karkas dan bagian karkas yang berdaging (dada dan paha). 1.
Konsumsi pakan, diperoleh dengan cara mengurangi jumlah pakan yang disediakan dengan sisa pakan pada hari yang bersangkutan (setelah dikeringkan).
2.
Bobot badan diperoleh dengan cara menimbang itik/ekor/minggu
3.
Pertambahan bobot badan, diperoleh dengan cara mengurangi bobot badan pada minggu yang bersangkutan dengan bobot badan minggu sebelumnya.
4.
Konversi pakan, diperoleh dengan cara konsumsi pakan dibagi dengan pertambahan bobot badan.
5.
Persentase karkas, diperoleh dengan cara membagi bobot karkas dibagi dengan bobot hidup x 100%.
6.
Persentase dada atau paha, diperoleh dengan cara membagi bobot dada atau paha dengan bobot karkas x 100%.
3.2.3 Analisis Data Pada penelitian tahap ini, data performa (konsumsi pakan, bobot badan, dan pertambahan bobot badan), karkas dan bagian-bagian karkas dianalisis menggunakan prosedur ANOVA pola dua arah dan General Linear Model (GLM). Sebelum dilakukan analisis ragam, data yang didapat terlebih dahulu diuji homogenitas (Uji Barllet), kenormalan (uji Lilifoes), aditivitas dan kebebasan galatnya. Data yang tidak memenuhi syarat untuk dianalisis ragam, ditransformasi terlebih dahulu sesuai dengan sebaran datanya. Kemudian hasil ANOVA yang menunjukkan berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan (Sarwono 2006) dengan menggunakan
46
software SPSS versi 18. Data performa itik (konversi pakan) dianalisis secara deskriptif. 3.3
Efektivitas Tepung Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua (Umur 12 bulan) 3.3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Pada penelitian ini digunakan itik betina tua umur 12 bulan sebanyak 46 ekor, tepung daun beluntas, pakan ayam petelur komersial dan panelis (tidak terlatih dan terlatih). Tempat pempeliharaan digunakan sangkar (cage) individual berukuran lebar 30 cm, panjang 60 cm, dan tinggi bagian belakang/tinggi bagian depan 50/55 cm yang dilengkapi tempat pakan dan tempat air minum. 3.3.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi secara cepat ada atau tidaknya perubahan intensitas bau daging itik dan tingkat kesukaan konsumen akibat pemberian tepung daun beluntas dalam pakan. Itik diberi pakan komersial ayam petelur (Par-L1). Beluntas yang dicobakan sebanyak 0%, 1%, dan 2%, dengan lama waktu pemberian 5 dan 7 hari. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola searah yang terdiri atas 5 perlakuan yaitu: 1. Itik diberi pakan komersial ayam petelur (Par-L1) tanpa penambahan tepung daun beluntas (Bo), sebanyak 7 ekor 2. Itik diberi pakan komersial ayam petelur (Par-L1) yang dicampur tepung daun beluntas 1% selama 5 hari (B.5.1.), sebanyak 8 ekor 3. Itik diberi pakan komersial ayam petelur (Par-L1) yang dicampur tepung daun beluntas 2% selama 5 hari (B.5.2.), sebanyak 8 ekor 4. Itik diberi pakan komersial ayam petelur (Par-L1) yang dicampur tepung daun beluntas 1% selama 7 hari (B.7.1.), sebanyak 8 ekor 5. Itik diberi pakan komersial ayam petelur (Par-L1) yang dicampur tepung daun beluntas 2% selama 7 hari (B.7.2.), sebanyak 8 ekor
47
Jumlah itik yang digunakan sebanyak 46 ekor. Sebanyak 7 ekor langsung dipotong untuk mengetahui kondisi awal sebelum perlakuan terutama dari baunya. Sisanya dipelihara dalam sangkar individual berukuran lebar x panjang x tinggi belakang/depan: 30 cm x 60 cm x 50/55 cm untuk mendapat perlakuan. Sebanyak 7 ekor digunakan sebagai kontrol yaitu mendapat pakan tanpa penambahan beluntas dan masing-masing 8 ekor untuk setiap perlakuan pemberian tepung daun beluntas. Semua itik yang mendapat perlakuan diberi kesempatan beradaptasi dengan pakan ayam petelur komersial selama 2 minggu. Pakan sebanyak 150 gram diberikan sehari 2 kali, yaitu pagi pukul 7.00-8.00 WIB dan sore pukul 16.00-17.00 WIB. Air minum diberikan ad libitum. Sebelum dipotong, itik dipuasakan dari pakan sekitar 12 jam, sedangkan air minum tetap diberikan ad libitum. Sebelum dipotong, itik digantung pada corong dengan kepala menghadap ke bawah selama sekitar dua menit supaya pada saat dipotong darah cepat mengalir keluar tubuh. Pemotongan dilakukan secara Islam, yaitu menghadap kiblat, membaca basmalah, memotong vena yugularis, arteri karotidea dan trakhea dengan pisau tajam. Setelah darah tidak menetes lagi, itik dicelupkan ke dalam air panas, kemudian dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan bagian dada dan paha (Gambar 11), direndam dalam pecahan es dan segera dibekukan (disimpan dalam freezer, suhu -20oC). Pemisahan daging dan kulit dari tulang dilakukan dalam keadaan beku dan segera disimpan dalam freezer kembali sampai siap dianalisis.
Gambar 11 Hasil pemotongan bagian paha dan dada
48
Peubah yang diamati ialah tingkat bau (off-odor) daging dan kulit itik serta tingkat kesukaan konsumen terhadap daging dan kulit itik. 1.
Tingkat bau (off-odor) daging dan kulit itik. Tingkat bau (off-odor) daging dan kulit itik dilakukan dengan uji perbandingan pasangan oleh panelis terlatih (Meilgaard et al. 1999). Panelis terlatih didapat melalui perekrutan, seleksi, dan pelatihan. a. Perekrutan dan seleksi panelis Perekrutan panelis dimulai dengan pengisian formulir yang berisi latar belakang panelis yang akan mempengaruhi validasi dan keakuratan penilaian, seperti kesehatan yang berkaitan dengan indera penciuman, kesediaannya untuk menjadi panelis, dan motivasi. Selanjutnya, dilakukan uji pembedaan segitiga yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan panelis membedakan sampel yang satu dengan sampel lainnya berdasarkan kepekaan indera penciuman. Setiap pengujian, panelis menilai satu set bahan uji. Setiap set bahan uji terdiri atas tiga sampel, yaitu dua sampel memiliki karakteristik sama dan satu sampel lain memiliki karakteristik berbeda. Pada penelitian ini digunakan sampel uji kaldu ayam (A) dan kaldu itik (I). Kaldu berasal dari satu bagian paha ayam petelur afkir dan paha itik betina afkir yang direbus dalam 5 bagian air selama 30 menit. Kaldu sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam botol kapasitas 5 ml dan ditutup rapat. Bagian dinding botol dilapisi selotip berwarna hitam supaya panelis membedakan sampel uji hanya berdasarkan indra penciuman bukan karena yang lain. Setiap sampel uji diberi kode tiga digit secara acak. Setiap pengujian, panelis menilai dua sampel kaldu itik dengan satu sampel kaldu ayam atau dua sampel kaldu ayam dengan satu sampel kaldu itik. Kombinasi sampel adalah I-I-A, I-A-I, A-I-I (Gambar 12) atau A-A-I, A-I-A, I-A-A. Setiap panelis diminta melakukan pengujian terhadap 8 set sampel yang dilakukan dalam dua hari yang berbeda. Setiap hari pengujian, panelis menguji 4 set sampel dengan kombinasi sampel diambil secara acak dari keenam kombinasi
49
sampel di atas. Panelis diminta untuk mengidentifikasi satu sampel yang berbeda dari setiap set sampel yang disajikan dan hasilnya dicatat pada form yang disediakan.
(1)
(4)
(2)
(5)
(3)
(6)
Gambar 12 Contoh cara penyajian uji segi tiga : Kaldu Itik; : Kaldu ayam Menurut Meilgaard et al. (1999), dengan uji pembedaan segi tiga, calon panelis yang dipilih adalah yang dapat membedakan dengan benar sebanyak 60% pada tingkat kesulitan rendah dan 40% pada tingkat kesulitan tinggi. Berdasarkan pernyataan tersebut, calon panelis yang dipilih untuk mengikuti pengujian tahap berikutnya dari 8 kali pengujian yang dilakukan adalah yang dapat membedakan dengan benar minimal 5 kali. Hasil seleksi tahap pertama, dari 86 calon panelis terpilih sebanyak 40 orang. Selanjutnya ke-40 orang tersebut diminta untuk mengikuti pengujian tahap berikutnya. Pengujian tahap kedua dilakukan untuk menguji kemampuan panelis dalam membedakan bau amis berdasarkan intensitasnya. Untuk mengetahui kepekaan dan kekonsistenan panelis, pada tahap ini juga dilakukan dengan uji pembedaan segitiga. Sampel uji yang digunakan pada tahap ini adalah kaldu tunggir atau kaldu daging paha. Tunggir digunakan karena pada bagian ini terdapat kelenjar minyak yang memiliki bau yang paling tajam dan daging paha digunakan karena daging paha kandungan lemaknya tinggi. Pengujian dilakukan
50
sebanyak 6 kali selama 3 hari yang berbeda. Pada hari pertama, kaldu diperoleh dengan cara merebus tunggir itik dengan perbandingan satu bagian tunggir itik dengan 10 bagian air perebus (kaldu A) dan satu bagian tunggir itik dengan 30 bagian air perebus (kaldu B) selama 30 menit. Pada hari kedua, kaldu diperoleh dengan cara merebus tunggir ayam dengan perbandingan satu bagian tunggir ayam dengan 10 bagian air perebus (kaldu C) dan satu bagian tunggir ayam dengan 30 bagian air perebus (kaldu D) selama 30 menit. Pada hari ketiga, kaldu diperoleh dengan cara merebus daging paha itik dengan perbandingan satu bagian daging paha itik dengan 10 bagian air perebus (kaldu G) dan satu bagian daging paha itik dengan 30 bagian air perebus (kaldu H) selama 30 menit. Kaldu sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam botol kapasitas 5 ml dan ditutup rapat. Bagian dinding botol dilapisi selotip berwarna hitam. Setiap sampel uji diberi kode 3 digit secara acak. Kombinasi sampel uji pada hari pertama adalah A-A-B, A-B-A, B-AA atau B-B-A, B-A-B, A-B-B. Kombinasi sampel uji pada hari kedua, yaitu C-C-D, C-D-C, D-C-C atau D-D-C, D-C-D, C-D-D dan kombinasi sampel uji pada hari ketiga adalah G-G-H, G-H-G, H-G-G atau H-H-G, H-G-H, G-H-H. Panelis diminta untuk mengidentifikasi satu sampel yang berbeda dari setiap set sampel uji dan hasilnya dicatat pada form yang disediakan. Setiap hari panelis menguji dua set sampel yang diambil secara acak dari keenam kombinasi sampel di atas. Mengacu pada Meilgaard et al. (1999), maka jumlah panelis yang dipilih adalah panelis yang menjawab dengan benar minimal 4 dari 6 kali pengujian yang diberikan. Hasil seleksi tahap kedua, dari 40 calon panelis terpilih sebanyak 23 orang. Selanjutnya ke-23 orang tersebut diminta untuk mengikuti pelatihan dan pengujian sampel penelitian. b. Pelatihan panelis Panelis yang lolos seleksi, selanjutnya dilatih untuk mengenal sifat-sifat sensori flavor daging itik. Pada tahap ini, panelis yang dijadikan panelis terlatih untuk pengujian-pengujian tahap selanjutnya
51
adalah panelis yang dapat membedakan, mendeskripsikan dengan baik dan konsisten dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Pada awal pelatihan, panelis
diperkenalkan dengan daging ayam dan itik
mentah. Daging berasal dari bagian paha. Daging paha ayam dan itik dipotong berbentuk kubus berukuran 1-1,5 cm3. Kemudian, potongan daging tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik berklip berukuran 3 x 5 cm. Masing-masing kantong plastik berisi satu potong daging, yaitu daging ayam atau daging itik. Panelis diminta untuk mengenali dan membedakan bau kedua jenis daging tersebut pada saat mencium materi yang bersangkutan. Setelah itu, masing-masing panelis diminta untuk mendeskripsikan jenis-jenis bau yang terdapat pada kedua jenis daging tersebut dengan bahasa masing-masing panelis. Pengenalan dan pendeskripsian bau daging itik dilakukan dengan mendeskripsikan kaldu tunggir itik, dengan anggapan bahwa tunggir itik merupakan bagian tubuh itik yang memiliki bau paling tinggi. Sebagai pembanding digunakan kaldu yang berasal dari tunggir ayam. Hasil deskripsi sensori tersebut kemudian didiskusikan yang dipandu oleh salah seorang panelis (panelis leader). Diskusi dilakukan untuk menentukan kata sepakat deskripsi bau daging itik. Setelah semua panelis sepakat tentang bau pada daging itik yang dimaksud, panelis dilatih untuk meningkatkan kepekaan dan kekonsistenannya dalam penilaian. Pelatihan dimaksudkan untuk memperoleh hasil penilaian yang lebih objektif. Pelatihan yang dilakukan difokuskan pada pelatihan uji perbandingan pasangan dan uji skalar. Uji-uji ini dilatihkan dengan tujuan untuk memperkenalkan dan membiasakan dengan uji tersebut, dengan bahan uji kaldu tunggir itik, kaldu tunggir ayam, daging (dada, paha) itik mentah, dan daging (dada, paha) ayam mentah. c. Penyiapan sampel Sampel daging yang diambil adalah daging (dada dan paha) dan kulit (dada dan paha). Sampel dipotong dan diusahakan mendekati
52
bentuk kubus berukuran 1,5 cm3. Setiap sampel pada setiap perlakuan diberi kode 3 digit yang berbeda. d. Pengujian sampel oleh panelis Penilaian bau sampel oleh panelis terlatih dengan uji perbandingan pasangan. Panelis diminta untuk menilai sampel percobaan dengan jadwal pengujian yang disepakati oleh panelis. Namun, karena kesibukan panelis, yang hadir saat pengujian sampel penelitian berkisar dari 9-15 orang. 2.
Tingkat kesukaan konsumen terhadap daging dan kulit itik. Untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap bau
daging itik dan kulit dilakukan uji hedonik dengan menggunakan panelis tidak terlatih sebanyak 103 orang. Panelis diminta untuk menyatakan kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap bau (off-flavor) daging dan kulit itik akibat perlakuan dengan 7 skala hedonik yaitu 1= sangat tidak suka; 2= tidak suka; 3= agak tidak suka; 4= netral; 5= agak suka; 6= suka; 7= sangat suka. 3.3.3 Analisis Data Tingkat bau daging dan kulit dilakukan dengan uji perbandingan pasangan oleh panelis terlatih (Meilgaard et al. 1999), sedangkan tingkat kesukaan konsumen digunakan uji Variasi nonparametrik Kruskal Wallis dengan uji lanjut uji beda rataan ranking (Mattjik dan Sumertajaya 2002). 3.4
Respons Biologi Itik Betina Tua (Umur 12 bulan) 3.4.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Pada penelitian ini digunakan itik betina tua afkir umur 12 bulan sebanyak 108 ekor, tepung daun beluntas, tepung daun beluntas, dan pakan ayam petelur komersial. Tempat pemeliharaan itik digunakan boks berukuran panjang 100 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 60 cm yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum.
53
3.4.2 Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama waktu dan dosis pemberian daun beluntas dalam mengurangi bau amis (off-odor) daging itik dan dampaknya pada penampilan itik betina tua. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lama waktu dan dosis pemberian daun beluntas dalam mengurangi bau amis (off-odor) daging itik dan dampaknya pada penampilan itik. Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 3 x 3, dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian beluntas dalam pakan yang terdiri atas 3 level, yaitu Bo (pakan kontrol/tanpa tepung daun beluntas), B1 (pakan kontrol dengan 1% tepung daun beluntas), dan B2 (pakan kontrol dengan 2% tepung daun beluntas). Faktor kedua adalah lama pemberian beluntas dalam pakan yang terdiri atas 3 tingkat, yaitu 3, 5, dan 7 minggu. Setiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri atas 4 ekor, sehingga jumlah itik yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 108 ekor. Pakan yang diberikan (kontrol) adalah pakan ayam petelur komersial Par-L. Pakan perlakuan diberikan secara bertahap selama satu minggu periode adaptasi. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Dua belas jam sebelum dipotong, itik dipuasakan dari pakan, tetapi tetap diberi air minum. Pemotongan dilakukan dengan cara Islam. Pencabutan bulu dilakukan secara basah. Bagian dada dan paha segera didinginkan dengan menggunakan es batu, kemudian dibekukan (disimpan dalam freezer). Pemisahan daging dari tulang dada dan paha per ulangan dilakukan dalam keadaan beku, langsung digiling menggunakan gilingan daging elektrik (food grinder), lalu dihaluskan di dalam alat pemroses (food processor). Hasil penggilingan, setiap 50 g dimasukkan ke dalam plastik, ditutup rapat lalu disimpan kembali dalam freezer sampai siap dianalisis. Untuk mengetahui histopatologi organ dalam (hati, pankreas, dan ginjal) dan usus halus, dari setiap perlakuan diambil 10 ekor. Organ dalam dan usus halus dari setiap ekor itik difiksasi dengan buffer normal formalin 10% selama 4-7 hari, kemudian masing-masing organ dipotong setebal 2-3
54
mm dan dimasukkan ke dalam cassette tissue. Selanjutnya organ-organ tersebut didehidrasi dengan alkohol 70, 75, 80, 85, 90, 95 dan 100% selama 2 jam dengan alat autotechnicon, didehidrasi dengan Xylol selama 2 jam, dibuat dalam blok parafin dan dipotong dengan mikrotome. Hasil pemotongan direkat pada gelas objek dengan perekat Ewit (campuran albumin dan gliserin 1:1), dikeringkan dalam inkubator 54-60oC selama 2 jam, dideparafinasi, diwarnai dengan Haemotoxylin-Eosin, dan ditutup coverglass dengan perekat Permount. Preparat tersebut siap untuk diamati dengan menggunakan mikroskop. Peubah yang diamati ialah penampilan itik, karkas dan bagianbagiannya, komposisi gizi daging, komposisi asam lemak, nilai TBARS, sensori, histopatologi organ dalam. 1.
Performa itik terdiri atas bobot badan, pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan.
2.
Komposisi gizi daging (dada dan paha dengan kulit) yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu (AOAC 1984).
3.
Komposisi asam lemak Analisis komposisi asam lemak dilakukan dengan cara mengekstraksi lemak dengan metode Folch (Folch et al. 1956) dan metilasi untuk memperoleh ester metil dari asam lemak menggunakan metode IUPAC (1988), yang kemudian dianalisis lebih lanjut dengan Gas Chromatography dengan kondisi fase bergerak gas Helium, aliran bertekanan 1 kg/cm2, gas pembakar hidrogen dan oksigen dengan aliran 0,5 kg/cm2, kolom kapiler DB 23, panjang 30 m, diameter 0,32 mm, tebal lapisan film 0.25 m. Sampel yang digunakan pada uji ini adalah daging (dada dan paha) dengan kulit itik sesuai perlakuan.
4.
Nilai TBARS Penentuan produk peroksidasi lipid dengan TBARS yaitu mengukur kandungan malondialdehid dalam daging yang dinyatakan dalam mg malondialdehid per kg jaringan.
55
5.
Uji sensori Uji sensori daging (dada dan paha) itik dengan kulit (Soekarto dan Hubeis 1993; Meilgaard et al. 1999). Dari sampel daging dengan kulit yang sudah digiling halus, diambil sebanyak 1 g, lalu dimasukkan ke dalam botol kapasitas 5 ml, ditambah air sebanyak 2 g lalu direbus dalam 150 cc air selama 5 menit, ditutup dan disimpan dalam freezer untuk diuji intensitas bau dan tingkat kesukaan panelis pada keesokan harinya. Uji intensitas bau sampel tersebut dilakukan oleh panelis terlatih menggunakan uji skalar garis. Skala garis mulai dari 0 (bau amis terendah) sampai 15 (bau amis paling tajam), sedangkan tingkat kesukaan terhadap bau sampel dilakukan dengan uji hedonik oleh 111 panelis tidak terlatih.
Skala hedonik yang
digunakan berkisar dari satu sampai enam (1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak tidak suka; 4 = agak suka; 5 = suka; 6 = sangat suka). 6.
Histopatologi organ dalam itik. Organ dalam yang diamati adalah tingkat kerusakan jaringan hati, ginjal, pankreas, usus halus.
3.4.3 Analisis Data Data performa, karkas dan bagian karkas, daging dada dan paha, dianalisis menggunakan prosedur ANOVA pola dua arah dan General Linear Model (GLM). Sebelum dilakukan analisis ragam, data yang didapat terlebih dahulu diuji homogenitas (Uji Barllet), kenormalan (uji Lilifoes), aditivitas dan kebebasan galatnya. Data yang tidak memenuhi syarat untuk dianalisis ragam, ditansformasi terlebih dahulu sesuai dengan sebaran datanya. Kemudian hasil ANOVA yang menunjukkan berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji Tukey’s (Mattjik dan Sumertajaya 2002) dengan menggunakan software MINITAB 14. Data kandungan gizi, kandungan asam lemak, nilai TBARS, nilai skalar intensitas bau amis, dan tingkat kesukaan daging dengan kulit itik betina tua digunakan software SPSS versi 18 dengan uji lanjut Duncan (Sarwono 2006), data histopatologi organ dalam itik dianalisis secara deskriptif.
56
3.5
Uji Masking Daun Beluntas 3.5.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging itik betina afkir dengan kulit berumur 12 bulan, tepung daun beluntas, daun kenikir, dan daun kemangi. 3.5.2 Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui salah satu mekanisme pengurangan bau amis (off-odor) pada daging itik. Pada penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 4 perlakuan perendaman daging paha itik dengan kulit pada larutan tepung daun beluntas 0%, 1%, 2%, dan 3%. Itik yang digunakan adalah itik lokal afkir berumur 12 langsung dari peternak. Peubah yang diamati adalah intensitas bau amis (off-odor) dan intensitas bau beluntas pada daging paha itik dengan kulit. Pembuatan ekstrak tepung daun beluntas dilakukan dengan cara menimbang tepung daun beluntas masing-masing sebanyak 0, 10 g, 20 g, dan 30 g, lalu dimasukkan ke dalam gelas piala. Setelah itu, tepung daun beluntas diseduh dengan satu liter air mendidih, diaduk sampai homogen kemudian ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam. Berikutnya, larutan disaring dengan kain kasa. Potongan daging paha itik dengan kulit sebesar 1,5 cm x 1,5 cm x 1,5 cm direndam dalam larutan tepung daun beluntas yang sudah disaring selama 2 jam, lalu diangkat, ditiriskan menggunakan kertas saring, dimasukkan ke dalam plastik klip dan ditutup rapat. Setiap sampel diberi kode 3 digit secara acak. Pertama kali, panelis diminta untuk mengenali bau amis (off-odor) yang terdapat pada daging paha itik dengan kulit. Setelah itu, panelis diminta untuk mengenali bau khas yang terdapat dalam tepung daun beluntas. Setelah panelis mengenali bau khas masing-masing kedua bahan uji tersebut (daging itik dengan kulit dan tepung daun beluntas), panelis istirahat selama 1-2 jam. Berikutnya, panelis diminta mencium sampel daging itik dengan kulit dari setiap perlakuan perendaman daging dalam ekstrak tepung daun beluntas dan memberikan respons besarnya intensitas bau amis sampel daging itik
57
tersebut pada form uji yang diberikan. Respons panelis dinyatakan dengan cara memberi tanda (x) pada skala garis yang ada pada form uji. Skala garis bernilai 0 sampai 15 mm, dengan ketentuan: paling kiri (0) adalah intensitas bau amis paling rendah dan paling kanan (15) adalah intensitas bau amis paling kuat. Setelah selesai dan istirahat 1 jam,
panelis diminta untuk
mencium 4 sampel daging daging paha itik dengan kulit dan memberi respons besarnya intensitas bau beluntas pada masing-masing sampel tersebut dengan memberi tanda (x) pada skala garis pada form uji yang diberikan. Skala garis sama yaitu dari 0 sampai 15 mm, paling kiri (0) adalah intensitas bau beluntas paling rendah dan paling kanan (15) adalah intensitas bau beluntas paling kuat. Pengujian dilakukan oleh 73 orang panelis tidak terlatih. Sebagai pembanding, dilakukan uji masking ekstrak tepung daun kenikir dan ekstrak tepung daun kemangi dengan prosedur yang sama seperti di atas. Prosedur pembuatan ekstrak tepung daun kenikir dan tepung daun kemangi dilakukan sama seperti prosedur pembuatan ekstrak tepung daun beluntas. Waktu pengujian dilakukan sesuai dengan kesediaan panelis. Uji masking tepung daun kenikir dilakukan 2 minggu sesudah uji masking tepung daun beluntas dengan jumlah panelis sebanyak 67 orang. Uji masking tepung daun kemangi dilakukan 1 minggu setelah uji masking tepung daun kenikir dengan jumlah panelis sebanyak 70 orang. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih. 3.5.3 Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian tahap ini dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi 18, kemudian hasil ANOVA yang menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Sarwono 2006).
58 4. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Gizi dan Fitokimia Daun Beluntas Untuk mengetahui kandungan nutrien dan zat fitokimia dalam daun beluntas, telah dilakukan analisis proksimat dan analisis zat fitokimia terhadap daun beluntas kering. Dari 19 batch mengeringkan daun beluntas segar dalam suhu ruang didapat rendemen berbentuk daun beluntas kering sebesar 14,56 + 1,37%. Kandungan nutrien daun beluntas disajikan dalam Tabel 2, sedangkan kandungan zat fitokimia disajikan dalam Tabel 3. Tabel 2 Kandungan nutrien daun beluntas kering Zat gizi a. Proksimat* Air (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar %) BETN (%) b. Energi Energi bruto (Kkal/kg) c. Mineral* Abu (%) Ca (%) Ptotal (%) K (%) Mg (%) Fe (%) d. Vitamin ** Vitamin C (mg/100g) Beta karoten (mg/100g)
Kandungan zat gizi 14,17-14,70 17,78-19,02 14,77-15,80 1,96-3,70 31,62-38,14 3448-4073 12,65-15,69 1,97 0,07 0,99 0,11 0,01 98,25 2552
*) Hasil analisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet-IPB (2005-2006) **) Hasil analisis di Lab. Pascapanen Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen PertanianBogor (2004)
Kandungan protein daun beluntas (17,78-19,02%) dan serat kasar yang tinggi (14,77-15,80%) pada Tabel 4 dapat dikategorikan tinggi bila dibandingkan dengan bahan pakan nabati lain, seperti jagung (protein 9,7%; serat kasar 4,3%) dan dedak (protein 11,9%; serat kasar 10%) (Hartadi et al. 1997), namun keberadaan tanin (1,88%) seperti pada Tabel 3 dapat menurunkan nilai biologis daun beluntas sebagai bahan pakan.
59 Dari Tabel 3 terlihat bahwa daun beluntas kering mengandung tanin sebesar 1,88%. Tanin merupakan polimer polifenol dengan bobot molekul relatif tinggi yang mempunyai kapasitas membentuk kompleks dengan karbohidrat dan protein. Jenis tanin yang terdapat dalam daun umumnya terdiri atas tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi konsentrasinya lebih besar dari tanin yang terhidrolisis. Menurut Harborne (1987), tanin terkondensasi tersebar luas pada tanaman, sedangkan tanin terhidrolisis relatif jarang. Dari tanin yang terkondensasi, konsentrasi tanin yang larut lebih tinggi daripada yang tidak larut. Tabel 3 Kandungan zat fitokimia daun beluntas kering (kadar air 14,17-14,70%) * Zat fitokimia Total tanin (%) Tanin terkondensasi: Larut Tidak larut Tanin terhidrolisis: Larut Tidak larut Total fenol (%) Total flavonoid (%) Kuersetin Mirisetin Kaemperol
Kandungan fitokimia 1,88 1,17 0,83 0,57 0,31 9,85 4,47 1,45 1,58 0,80
* Hasil analisis di Lab. Kimia Makanan, Kemkes, Badan Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor (2006)
Secara spesifik, tanin terkondensasi bereaksi dengan protein dalam pakan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna dan mengikat enzim pencernaan sehingga menurunkan daya cerna semua nutrisi pakan. Tanin terkondensasi juga dapat menyebabkan iritasi dan erosi mukosa usus, sebagai akibat peningkatan sekresi mukus untuk melindungi kerusakan sel (Marzo et al. 2002). Tanin dengan level 0,5% atau lebih dalam pakan menyebabkan penurunan pertumbuhan, ketersediaan energi pakan dan protein, kematian lebih dari 4%, juga menghambat aktivitas enzim (tripsin, amylase, dan lipase) (Johri 2005). Beberapa hasil penelitian yang dikutip Leeson dan
60 Zubair (2006) menunjukkan bahwa tanin yang tinggi (lebih dari 5%) menyebabkan pengikatan dan pengendapan protein pakan dan enzim pencernaan, menurunkan bahan kering, daya cerna protein dan asam amino pada anak ayam sehingga pertumbuhannya tertekan. Berdasarkan hasil analisis, daun beluntas kering mengandung fenol sebesar 9,85%. Menurut Young et al. (2003) beberapa polifenol asal tanaman mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, yaitu melindungi sel dari kerusakan oksidatif dengan cara menetralkan oksidan reaktif (Moskaug et al. 2005; Kruawan dan Kangsadalampai 2006; Savatovic et al. 2008; Ahmed dan Beigh 2009). Beberapa senyawa fenol alam telah diketahui strukturnya dan flavonoid merupakan golongan terbesar. Daun beluntas dalam penelitian ini mengandung flavonoid sebesar 4,47%. Flavonoid mempunyai kemampuan sebagai antioksidan (Beecher 2003; Zhang dan Hamauzu 2003; Kondakova et al. 2009). Senyawa flavonoid kelompok flavonol terutama terdiri atas kuersetin, mirisetin dan kaemperol (Lin et al. 2006). Kuersetin mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi (Kahkonen dan Heinonen 2003; Moskaug et al. 2005) dengan cara mengchelate ion besi, menghambat peroksidasi lemak, menangkap radikal bebas dan oksigen aktif (Cadenas 2004). Selain flavonoid, beluntas juga mengandung vitamin C dan beta karoten (Tabel 4). Dari ketiga jenis antioksidan tersebut (flavonoid, vitamin C dan beta karoten), kandungan flavonoid yang tertinggi. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan (Kondakova et al. 2009) karena kemampuannya mendonorkan elektron (Padayatty et al. 2003) yang dapat mencegah kerusakan sel dari oksidasi lemak (Evans 2000). Beta karoten mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Kiokias dan Gordon 2003), dan melindungi sel dari stres oksidatif yang diinduksi oleh Fe (Matos et al. 2006). Tanaman yang kaya dengan flavonoid dan asam fenolik dapat menjadi sumber antioksidan alami yang baik (Demiray et al. 2009). Berdasarkan analisis fitokimia tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa beluntas dapat dijadikan sebagai sumber antioksidan.
61 4.2 Respons Biologis Itik Jantan Muda (4-10 Minggu) terhadap Pemberian Tepung Daun Beluntas dalam Pakan Untuk mengetahui apakah penambahan tepung daun beluntas dalam pakan berpengaruh pada konsumsi pakan yang akan berdampak pada performa itik, dilakukan uji biologis dengan menggunakan itik jantan muda berumur 4-10 minggu. Penelitian dilakukan pada kurun waktu umur tersebut, karena daya hidupnya lebih baik dibandingkan dengan itik umur kurang dari 4 minggu dan masih dalam fase pertumbuhan. 4.2.1. Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan Kandungan nutrien pakan perlakuan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan nutrien pakan itik jantan umur 4-10 minggu Nutrien Pakan Bahan Kering (%) Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Lemak (%) BET-N (%) Abu (%) Ca (%) P (%) Energi Bruto (Kkal/kg)
K*) 85,52 20,18 2,85 3,25 53,07 6,17 0,97 0,94 4108
Kandungan nutrien B*) KB1**) 85,83 85,52 19,02 20,17 2,98 15,80 3,70 3,25 31,62 52,86 6,27 15,69 0,98 2,40 0,29 0,93 3448 4101
KB2**) 85,53 20,16 3,11 3,26 52,64 6,36 1,00 0,93 4095
Keterangan: * Hasil analisis proksimat di Lab. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2005) ** Hasil perhitungan. K= pakan komersial tanpa beluntas; B = beluntas kering; KB1= pakan komersial+beluntas 1%; KB2 = pakan komersial+beluntas 2%
Dilihat dari Tabel 4, kandungan serat kasar, abu dan Ca pakan terlihat meningkat sejalan dengan meningkatnya level daun beluntas. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan serat kasar, abu dan Ca pada daun beluntas. Penambahan 1% (KB1) dan 2% (KB2) tepung daun beluntas dalam pakan (K) tidak menyebabkan perbedaan dalam kandungan protein, lemak kasar, BET-N, P dan energi bruto.
62 4.2.2 Konsumsi Pakan Pengaruh pemberian beluntas dalam pakan terhadap konsumsi pakan/ekor/ minggu pada itik jantan umur 4-10 minggu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Rataan konsumsi pakan itik jantan selama penelitian (umur 4-10 minggu) Umur itik (minggu): 4-5 5-6 6-7 7-8 8-9 9-10 Total
Konsumsi pakan (g/ekor/minggu), pada level teung daun beluntas 0% 1% 2% 591±14 566±52 581±41 618±10 559±81 626±4 704±57 735±4 735±5 830±12 834±7 837±4 895±8 896±6 895±5 887±6 884±6 884±6 4525±94 4473±88 4559±54
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsumsi pakan itik jantan yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan tidak menurunkan palatabilitas pakan.
Tidak
berbedanya konsumsi pakan atau tidak menurunnya palatabilitas pakan tersebut diduga karena kandungan tanin dalam pakan masih rendah bila dibandingkan dengan pakan penelitian Sinaga (2006). Berdasarkan perhitungan kandungan tanin pakan perlakuan ini adalah sebesar 0,0180,036%. Konsumsi pakan nyata (P<0,05) menurun pada saat pakan mengandung tanin lebih dari 0,036% (Sinaga 2006). 4.2.3 Rataan Bobot Badan Pengaruh pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap bobot badan itik jantan umur 4-10 minggu tertera pada Tabel 6. Tabel 6 memperlihatkan bahwa pemberian beluntas dalam pakan sebesar 1% dan 2% tidak berpengaruh pada bobot badan yang dicapai. Hal ini karena konsumsi pakan itik/ekor/minggu tidak berbeda, sehingga nutrien yang masuk ke dalam tubuh itik juga tidak berbeda.
63 Tabel 6 Rataan bobot badan itik jantan umur 4-10 minggu Umur itik (minggu): 4 5 6 7 8 9 10
Bobot badan, pada level tepung daun beluntas 0% 1% 2% ..................g/ekor................ 526±79 528±61 529±49 659±64 649±56 668±34 813±59 809±49 797±35 986±79 967±49 970±36 1083±78 1082±46 1071±45 1152±82 1153±49 1142±45 1305±110 1270±42 1253±47
4.2.4 Konversi Pakan Untuk mendapatkan nilai konversi pakan diperlukan data performa seperti bobot badan awal, bobot badan akhir, konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan selama penelitian. Data-data tersebut ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap performa itik jantan muda Peubah yang diamati
Performa itik pada level beluntas 0% 1% 2%
Bobot badan awal penelitian, umur 4 minggu (g/ekor)
526±79
528±61
529±49
Bobot badan akhir penelitian, umur 10 minggu (g/ekor)
1305±110
1270±42
1253±47
Konsumsi pakan selama penelitian dari 4-10 minggu (g/ekor)
4525±94
4473±88
4559±55
Pertambahan bobot badan dari umur 4-10 minggu (g/ekor)
776±105
742±39
725±68
Konversi pakan
5,8±0,9
6,0±0,4
6,3±0,7
Pengaruh perlakuan tidak terlihat pada bobot badan akhir dan konsumsi pakan (Tabel 7). Namun pada konversi pakan, secara deskriptif itik yang mendapat tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% dan 2% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Untuk mendapatkan 1 kg bobot badan, itik yang mendapat pakan kontrol menghabiskan pakan sebanyak 5,8 kg, sedangkan itik yang mendapat beluntas 1% menghabiskan pakan sebanyak 6,0 kg atau 3,4% lebih tinggi dari kontrol, dan yang mendapat beluntas 2% menghabiskan pakan sebanyak 6,3 kg atau 8,6% lebih tinggi
64 dari kontrol. Penyebabnya adalah adanya tanin yang menyebabkan protein pakan tidak secara maksimal dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan. 4.2.5 Persentase Karkas dan Bagian-bagian Karkas Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap karkas, dada dan paha (paha atas dan bawah) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap persentase karkas, dada dan paha itik jantan umur 10 minggu Peubah Karkas (%) Dada (% dari karkas) Paha (% dari karkas)
Karkas, dada dan paha pada level beluntas 0% 1% 2% 59,6±1,1 59,7±1,9 60,9±2,0 25,0±1,4 24,5±1,0 24,2±2,1 25,4±0,9 24,6±1,2 25,6±1,4
Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas tidak berpengaruh pada persentase karkas, bagian dada dan paha. Hal ini karena bobot badan itik sebelum dipotong sama. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan tidak berpengaruh pada bobot badan, pertambahan bobot badan, persentase karkas, persentase dada dan paha. 4.3 Efektivitas Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua (Umur 12 bulan) Uji sensori yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi secara cepat ada atau tidaknya perubahan intensitas bau (off-odor) daging itik dan tingkat kesukaan konsumen akibat pemberian tepung daun beluntas dalam pakan. Pada penelitian ini digunakan itik betina tua (umur 12 bulan). Itik diberi pakan komersial ayam petelur iso protein iso kalori. Kandungan nutrien pakan perlakuan tertera pada Tabel 9. Uji sensori dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah untuk mendapatkan deskripsi bau daging itik menurut istilah panelis (tanpa standar). Dengan membaui daging itik dan daging ayam mentah, panelis menyatakan bahwa daging itik mentah memiliki karakteristik tengik, apek, amis menyengat, bau logam/darah dan memualkan, sedangkan daging ayam
65 mentah memiliki karakteristik gurih, bau kentang rebus, kaldu, bau telur rebus, dan bau amis kurang menyengat. Tabel 9 Kandungan nutrien pakan penelitian itik betina tua (umur 12 bulan) Nutrien Pakan Bahan Kering (%) Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Lemak (%) Beta-N (%) Abu (%) Ca (%) P (%) Energi Bruto (Kkal/kg)
K* 86,50 17,15 3,55 4,02 50,10 11,68 4,54 0,54 3984
Kandungan nutrien Beluntas* KB1* 85,30 85,33 17,78 17,46 14,77 3,62 1,96 4,03 38,14 50,35 12,65 9,87 1,97 4,82 0,07 0,55 4073 3983
KB2* 86,62 17,86 3,72 3,90 50,01 11,13 4,56 0,48 3777
Keterangan: * Hasil analisis Lab. INTP (2005); K = Kontrol (pakan komersial ayam petelur Par-L; B = tepung daun beluntas; KB1 = Pakan komersial 99% + tepung daun beluntas 1%; KB2 = Pakan komersial 98% + tepung daun beluntas 2%
Tahap kedua adalah untuk mengetahui intensitas bau (off-odor) daging dan kulit itik hasil perlakuan pemberian tepung daun beluntas. Pada penelitian ini digunakan uji pembedaan perbandingan pasangan. Menurut Meilgaard et al. (1999), pada uji perbandingan pasangan, suatu perlakuan dinyatakan berbeda nyata ( = 0,05) apabila 9 dari 10 panelis atau 10 dari 11-12 panelis menyatakan berbeda. Hasil uji perbandingan pasangan terhadap bau amis daging dan kulit itik oleh panelis terlatih disajikan pada Tabel 10. Hasil uji perbandingan pasangan (Tabel 10) dapat dilihat bahwa pada perlakuan lama pemberian 5 hari, panelis tidak dapat membedakan bau amis daging dan kulit yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dibandingkan dengan kontrol. Panelis dapat membedakan bau amis daging dan kulit itik pada perlakuan pemberian beluntas selama 7 hari. Daging paha, kulit paha dan kulit dada itik yang mendapat tepung daun beluntas 1% dalam pakan selama 7 hari nyata (P<0,05) kurang amis dibandingkan dengan kontrol (tanpa tepung daun beluntas), sedangkan pada daging dada, bau amis daging dada nyata (P<0,05) lebih rendah dari kontrol pada pemberian tepung daun beluntas 2%. Hal ini menunjukkan ada indikasi bahwa tepung daun beluntas dapat menurunkan bau amis.
66 Tabel 10 Hasil uji perbandingan pasangan bau amis daging dan kulit itik betina tua Perbandingan keamisan antar perlakuan B0 >B.5.1 B0 >B.5.2 B0 >B.7.1 B0 >B.7.2 B.5.1 >B.5.2 B.5.1 >B.7.1 B.5.1 >B.7.2 B.5.2 >B.7.1 B.5.2 >B.7.2 B.7.1>B.7.2
Jumlah panelis yang menyatakan lebih amis (>) pada bahan uji Bagian paha Bagian dada Daging mentah Kulit mentah Daging mentah Kulit mentah (n = 10) (n = 12) (n = 12) (n = 12) 7 8 9 9 4 8 6 9 9* 11* 4 11* 5 8 10* 3 7 6 7 6 6 3 7 8 6 4 9 4 7 9 7 6 7 8 5 3 3 9 5 1
Keterangan: B0 = Pemberian pakan tanpa tepung daun beluntas (Kontrol) B.5.1= Pemberian pakan dengan tepung daun beluntas selama 5 hari sebanyak 1%. B.5.2= Pemberian pakan dengan tepung daun beluntas selama 5 hari sebanyak 2%. B.7.1= Pemberian pakan dengan tepung daun beluntas selama 7 hari sebanyak 1%. B.7.2= Pemberian pakan dengan tepung daun beluntas selama 7 hari sebanyak 2%. * pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05); n= jumlah panelis
Daging paha itik mengandung lemak lebih tinggi daripada daging dada (Hustiany 2001; Damayanti 2003) dan kulit merupakan salah satu tempat deposit lemak. Akan tetapi, kandungan asam lemak tidak jenuh dan asam lemak linoleat (C18:2) daging dada lebih tinggi dibandingkan dengan daging paha. Kandungan asam lemak tidak jenuh pada daging dada dengan kulit pada itik Jawa betina afkir sebesar 5058,8 mg/100 g daging, sedangkan pada daging paha dengan kulit sebesar 4830,9 mg/100 g daging. Asam lemak linoleat (C18:2) daging dada itik Jawa betina afkir dengan kulit lebih tinggi (159,6 mg/g lemak) dibandingkan daging paha dengan kulit (133,1 mg/g lemak) (Hustiany 2001). Menurut Cortinas et al. (2005) laju dan intensitas oksidasi lemak pada daging dipengaruhi banyak faktor, tetapi faktor yang paling penting adalah kandungan asam lemak tidak jenuh terutama asam lemak tidak jenuh ganda yang ada dalam jaringan urat daging tersebut. Hasil penelitian Russell et al. (2003) menunjukkan bahwa laju oksidasi daging dada pada itik lebih tinggi daripada daging paha. Flavonoid larut dalam lemak. Oleh karena daging paha, kulit dada dan kulit paha mengandung lemak tinggi, maka flavonoid yang terlarut pada ketiga organ tersebut juga tinggi, sehingga tepung daun beluntas 1% cukup untuk melindungi asam lemak dari oksidasi, sedangkan laju dan intensitas oksidasi
67 lemak yang tinggi pada daging dada memungkinkan kebutuhan flavonoid untuk melindungi asam lemak dari oksidasi pada daging dada tersebut lebih besar, sehingga bau amis daging dada terdeteksi berkurang pada penggunaan tepung daun beluntas 2%. Berdasarkan indikasi di atas, selanjutnya dilakukan uji hedonik pada daging dan kulit paha yang diberi tepung daun beluntas selama 7 hari. Hasil uji hedonik terhadap bau daging dan kulit itik mentah yang dilakukan oleh 103 orang panelis tidak terlatih, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil uji hedonik terhadap bau daging dan kulit mentah itik betina tua Nilai uji hedonik
Bahan Uji
Langsung dari peternak
B0
B7.1
B7.2
Daging paha itik mentah tanpa kulit Kulit paha itik mentah
3,87±1,54a
4,11±1,62a
4,26±1,57a
3,83±1,52a
3,59±1,58a
3,75±1,50a
4,17±1,53b
4,10±1,46b
Keterangan : B0 = pemberian pakan tanpa tepung daun beluntas (Kontrol) B7.1= Pemberian pakan dengan tepung daun beluntas selama 7 hari sebanyak 1%. B7.2= Pemberian pakan dengan tepung daun beluntas selama 7 hari sebanyak 2%. pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05); Skala Hedonik 1= sangat tidak suka; 2= tidak suka; 3= agak tidak suka; 4= netral; 5= agak suka; 6= suka; 7= sangat suka
Berdasarkan Tabel 11, kesukaan konsumen pada daging itik yang mendapat perlakuan 1% dan 2% tepung daun beluntas selama 7 hari tidak berbeda dengan kontrol (tanpa mendapat tepung daun beluntas). Sebaliknya pada kulit, pemberian tepung daun beluntas 1% dan 2% nyata (P<0,05) meningkatkan kesukaan konsumen. Kulit daging paha itik yang mendapat tepung daun beluntas dalam pakannya lebih disukai dibandingkan dengan kontrol, sedangkan tingkat kesukaan panelis terhadap kulit paha itik antara yang diberi pakan mengandung tepung daun beluntas 1% dan 2% tidak berbeda. Pada tahap penelitian ini masih sulit dijelaskan mengenai alasan lebih disukainya kulit itik yang mendapat perlakuan tepung daun beluntas dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini disebabkan karena kurun waktu perlakuan masih pendek, yaitu 7 hari. Perubahan pengaruh pakan baru terlihat paling sedikit setelah dua minggu pemberian perlakuan (Sinaga
68 2006). Ada dua hal yang dapat diduga sebagai penyebabnya yaitu pengaruh aroma daun beluntas atau terjadi perubahan kimiawi di dalam kulit. Oleh karena itu, pada penelitian tahap berikutnya dicoba pemberian tepung daun beluntas pada dosis yang sama dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui lama waktu dan level pemberian tepung daun beluntas yang efektif yang dapat mengurangi bau amis serta meningkatkan tingkat kesukaan konsumen tanpa mempengaruhi performanya. 4.4 Lama Waktu dan Level Tepung Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua dan Dampaknya terhadap Performa 4.4.1 Performa Itik Betina Tua Pada penelitian ini, rataan konsumsi pakan per ekor per hari pada itik betina tua berkisar antara 156-160 g dengan bobot badan awal berkisar antara 1305-1311 g/ekor. Antara level tepung daun beluntas dengan lama pemberian pakan perlakuan terhadap semua peubah performa itik tidak terdapat interaksi. Rataan konsumsi pakan itik selama penelitian pada pemberian tepung daun beluntas yang berbeda seperti tertera pada Tabel 12 dan diilustrasikan seperti pada Gambar 13. Tabel
12
Lama pemberian pakan (minggu)
3 5 7
Konsumsi pakan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Konsumsi pakan itik pada level tepung daun beluntas Rataan 0% 1% 2% …………………..(g/ekor)……………………….. 3 304± 4 5 483± 3 7 775± 2
3 283± 3 5 553± 6 7 807± 1
3 304± 2 5 460± 1 7 660± 3
3 297±12 5 499±49 7 747±77
Pengaruh pemberian pakan mengandung tepung daun beluntas 0%, 1%, dan 2% terhadap bobot badan akhir serta pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 13. Pada Tabel 13 terlihat bahwa level pemberian tepung daun beluntas 0%, 1%, dan 2% tidak berpengaruh pada bobot badan dan pertambahan bobot badan, baik pada lama pemberian 3 minggu, 5 minggu maupun 7 minggu. Selain itu, dari Tabel 13 terlihat bahwa bobot badan akhir itik pada
69 lama pemberian tepung daun beluntas 7 minggu nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada lama pemberian 3 minggu dan 5 minggu. Bobot badan akhir itik pada lama pemberian pakan perlakuan 3 dan 5 minggu tidak berbeda. Hal ini berarti setelah 4 minggu dari awal bobot badan itik meningkat jadi lebih tinggi.
Gambar 13 Konsumsi pakan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda selama penelitian Tabel 13 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir itik betina tua Peubah BB Awal (g/ekor) Rataan BB Akhir (g/ekor) Rataan PBB (g/ekor) Rataan
Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 3 5 7 3 5 7
Bobot badan itik pada level daun beluntas Rataan 0% 1% 2% 1 311± 4 1 305± 5 1 307± 4 1 308±3 1 312± 7 1 310± 6 1 310± 7 1 311±1 1 306±4 1 303± 10 1 307± 4 1 306±2 1 310±3 1 306±3 1 308±2 1 392 ± 24 1 370± 21 1 370± 20 1 377±13a 1 445± 40 1 386± 142 1 435± 41 1 422±32a 1 529 ± 74 1 493± 72 1 483± 52 1 502±24b 1 455±69 1 416±67 1 429±57 80±25 65±17 62±20 69±10a 133±39 119±78 125±36 126±7a 223±70 189±80 176±53 196±24b 146±72 124±62 121±57
Keterangan : BB= bobot badan; PBB=Pertambahan bobot badan; *Superskrip yang berbeda (a, b) dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Pertambahan bobot badan itik pada lama pemberian pakan perlakuan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada lama pemberian pakan
70 perlakuan 3 minggu dan 5 minggu. Pertambahan bobot badan pada lama pemberian pakan perlakuan 3 minggu dan 5 minggu tidak berbeda. Itik yang mendapat perlakuan selama 3 minggu, 5 minggu, dan 7 minggu berturutturut mencapai umur sekitar 56 minggu, 58 minggu, dan 60 minggu dan itik-itik tersebut tidak lagi menghasilkan telur. Pemeliharaan dalam boks (4 ekor per boks berukuran satu meter persegi) membatasi aktivitas gerak itikitik tersebut, sehingga nutrisi dan energi yang didapat dari pakan tidak lagi digunakan untuk memproduksi telur maupun aktivitas gerak. Kombinasi umur tua, ruang gerak terbatas, dan tidak lagi bertelur memacu peningkatan perlemakan terutama lemak abdominal (Tabel 14).
Hal ini yang
menyebabkan peningkatan bobot badan dan bobot badan akhir pada itik yang mendapat pakan perlakuan selama 7 minggu. Pada itik yang mendapat pakan perlakuan selama 3 minggu dan 5 minggu kemungkinan terjadi juga peningkatan perlemakan tetapi tidak menunjukkan perbedaan bobot badan dan pertambahan bobot badan yang nyata (Gambar 14). Tabel 14 Persentase lemak abdomen itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 Rataan
Persentase lemak abdomen pada level beluntas 0% 1% 2% 1,49±0,11 2,16±0,26 1,72±0,11 2,30±0,36 2,73±1,55 2,60±1,06 2,35±1,21 3,40±0,88 3,14±0,30 2,05±0,48 2,76±0,62 2,49±0,72
Rataan 1,79±0,34a 2,54±0,22ab 2,96±0,55b
Dari Tabel 14 terlihat bahwa makin lama waktu pemberian pakan perlakuan, persentase lemak abdomen makin tinggi. Persentase lemak abdomen pada lama pemberian pakan perlakuan 3 minggu dan 5 minggu tidak berbeda nyata. Demikian juga antara lama pemberian pakan 5 minggu dan 7 minggu tidak berbeda nyata. Akan tetapi, persentase lemak abdomen pada lama pemberian pakan perlakuan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada lama pemberian perlakuan 3 minggu.
71
Gambar 14 Pertambahan bobot badan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda selama penelitian 4.4.2 Persentase Karkas, Dada dan Paha Itik Betina Tua Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase karkas, dada, dan paha disajikan pada Tabel 15. Antara lama dengan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase karkas, dada, dan paha tidak terdapat interaksi. Level pemberian tepung daun beluntas terhadap persentase karkas, dada, dan paha tidak berbeda nyata, karena bobot badan itik akibat pemberian tepung daun beluntas juga tidak berbeda nyata. Lama pemberian pakan perlakuan terhadap persentase karkas, dada dan paha itik tidak berbeda nyata, meskipun pertambahan bobot badannya nyata meningkat dengan bertambahnya umur itik (Tabel 13). Hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan lemak abdomen dengan makin tuanya umur itik (Tabel 14). Antara lama dengan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase daging dada dan paha tidak terdapat interaksi (Tabel 16). Level pemberian tepung daun beluntas terhadap persentase daging bagian dada dan paha tidak berbeda nyata, karena bobot dada dan paha itik akibat pemberian tepung daun beluntas juga tidak berbeda nyata. Lama pemberian tepung daun beluntas terhadap persentase daging dada dan paha itik tidak berbeda nyata, meskipun pertambahan bobot badannya nyata meningkat dengan bertambahnya umur itik (Tabel 13). Hal ini karena
72 adanya peningkatan lemak abdomen dengan makin tuanya umur itik (Tabel 14). Tabel 15 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase karkas, dada dan paha itik betina tua Peubah Karkas (% terhadap bobot hidup) Rataan Dada (% terhadap bobot hidup) Rataan Paha (% terhadap bobot hidup) Rataan
Tabel 16
Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7
Persentase karkas, dada dan paha pada level tepung daun beluntas
3 5 7 3 5 7
0%
1%
2%
59,19±1,04 60,31±2,64 62,20±3,06 60,57±1,52 16,70±0,22 16,87±0,70 17,85±1,09 17,14±0,62 15,85±0,76 16,08±0,11 15,90±0,66 15,94±0,12
59,49±0,71 58,80±2,30 60,05±1,47 59,45±0,63 16,69±0,21 16,59±1,75 17,50±1,33 16,93±0,50 16,21±0,61 15,48±0,45 15,58±0,53 15,76±0,40
58,92±2,57 58,89±2,91 61,78±3,12 59,86±1,66 16,43±1,34 16,55±1,27 17,03±0,98 16,67±0,32 16,54±0,75 15,77±0,58 15,52±0,49 15,94±0,53
Rataan 59,20±0,29 59,33±0,85 61,34±1,14 16,61±0,15 16,67±0,17 17,46±0,41 16,20±0,35 15,78±0,30 15,67±0,20
Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap persentase daging dada dan paha itik betina tua
Peubah Daging dada dengan kulit (% terhadap bobot dada) Rataan Daging paha dengan kulit (% terhadap bobot paha) Rataan
Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 3 5 7
Persentase daging dada dan paha pada level tepung daun beluntas 0%
1%
2%
86,52±0,68 87,18±1,02 88,23±1,02 87,31±0,86 84,23±0,37 85,18±0,71 85,70±0,42 85,04±0,75
87,25±1,24 86,96±1,67 87,68±1,40 87,30±0,36 84,55±1,13 84,90±1,69 85,30±1,35 84,92±0,38
85,70±0,65 86,87±2,15 86,87±0,32 86,48±0,68 85,52±0,53 84,32±0,58 85,95±1,16 85,26±0,84
Rataan 86,49±0,78 87,00±0,16 87,59±0,68 84,77±0,67 84,80±0,44 85,65±0,33
4.4.3 Komposisi Gizi Daging Itik Daging terdiri atas air, protein, lemak, sedikit vitamin, serta komponen organik dan anorganik. Pengaruh pemberian tepung daun beluntas dalam pakan pada kandungan nutrisi daging itik dengan kulit dapat dilihat seperti pada Tabel 17.
73 Tabel 17 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan terhadap nilai gizi daging dengan kulit segar itik betina tua berdasarkan bahan kering
Peubah
Kadar Air (%) Rataan Kadar Protein (% per 100%BK) Rataan Kadar Lemak (% per 100%BK) Rataan Kadar Abu (% per 100%BK)
Lama pemberia n beluntas (minggu) 3 5 7 3 5 7 3 5 7 3 5 7
Nilai gizi daging itik dengan kulit pada level tepung daun beluntas
Rataan
0%
1%
2%
62,00±0,46 59,13±2,36 54,37±4,41 58,48+4,23
61,18±1,26 58,95±3,42 53,13±3,74 57,75+4,50
59,48±3,43 58,37±2,36 55,34±1,02 57,73+2,94
60,88+2,27a 58,82+2,61a 54,28+3,32b
35,51 ± 6,10 40,52 ±2,97 27,70±4,77 34,58±6,46 38,92 ±3,33 46,05 ±11,42 57,53±11,85 47,50±9,39 1,81±0,15 1,70 ±0,20 1,66±0,26
37,44 ±2,28 39,64 ±3,64 27,88±4,65
37,73 ±8,15 38,62 ±3,20 31,01 ±3,92 35,79±4,16 42,20 ±9,65 54,03±3,45 65,50 ±8,54 53,91±11,65 1,83±0,21 1,49±0,21 1,66±0,09
36,89±5,75A 39,59±3,19A 28,86±4,47B
34,99±6,25 44,84±10,08 47,41 ±21,54 63,16±9,31 51,80±9,92 1,81±0,09 1,59 ±0,30 1,49±0,24
41,99±8,17B 49,16±13,83B 62,06±10,00A 1,83±0,15a 1,59±0,24b 1,60±0,21b
Rataan
1,72±0,08 1,63±0,16 1,66±0,17 Keterangan : superskrip a, b, c pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); A, B berbeda sangat nyata (P<0,01)
Interaksi antara lama dengan level pemberian tepung daun beluntas terhadap kandungan gizi daging itik dengan kulit tidak berbeda. Tabel 17 menunjukkan bahwa level pemberian tepung daun beluntas sebanyak 1% dan 2% tidak berpengaruh pada kandungan gizi (air, protein, dan lemak) daging itik dengan kulit. Kandungan air dan protein daging itik dengan kulit pada lama pemberian pakan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih rendah daripada lama pemberian pakan 3 dan 5 minggu, sedangkan antara lama pemberian pakan 3 dan 5 minggu tidak berbeda. Sebaliknya, kandungan lemak daging itik dengan kulit pada lama pemberian pakan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada lama pemberian pakan 3 dan 5 minggu, sedangkan kandungan lemak antara 3 minggu dengan 5 minggu tidak berbeda. Hal ini karena makin tuanya umur itik. Makin lama waktu pemberian pakan perlakuan, berarti makin tua umur ternak dan makin cepat terjadi lipogenesis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Guo-Bin (2010) pada ayam lokal Cina umur lebih dari 8 minggu, kandungan lemak
74 intramuskulernya makin tinggi dengan makin tuanya umur ternak. Rendahnya kandungan protein daging itik dengan kulit pada lama pemberian pakan perlakuan 7 minggu dapat terjadi karena kandungan lemaknya lebih tinggi. Kandungan nilai gizi di atas sangat penting karena akan menentukan flavor daging, sebagaimana dikemukakan Heath dan Reineccius (1986) bahwa sumber flavor daging dapat berasal dari protein, karbohidrat dan lemak. Lemak merupakan komponen yang paling penting dalam menentukan flavor daging (Wu dan Liou 1992). Daging yang mengandung lemak tinggi mempunyai kecenderungan menghasilkan off-odor yang tinggi karena daging tersebut mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi dan oksidasi lemak meningkat secara linear dengan makin tingginya asam lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005). 4.4.4 Komposisi Lemak Daging dengan Kulit dan Pengaruhnya terhadap Intensitas Bau Daging 4.4.4.1 Akibat Perubahan Pakan Perubahan pakan dari yang diberikan peternak (pra perlakuan) ke pakan komersial (Bo) yang diberikan selama 3, 5, dan 7 minggu penelitian terhadap intensitas bau, tingkat kesukaan konsumen dan komposisi asam lemak dapat dilihat seperti tertera pada Tabel 18. Tabel 18 Perubahan intensitas bau amis dan tingkat kesukaan konsumen terhadap daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan Pakan penelitian Asal peternak Bo*-3 minggu Bo -5 minggu Bo -7 minggu
Intensitas bau amis hasil uji skalar (n=45) 9,58 ± 1,45 8,67 ± 1,73 8,63 ± 1,83 8,26 ± 2,19
Tingkat kesukaan hasil uji hedonik (n=111) 3,34 ±1,54 3,64 ±1,37 3,65 ±1,51 3,38 ±1,52
Keterangan : B0 = pakan komersial ayam petelur fase produksi. Nilai skalar 0-15 (bau amis paling rendah - paling tajam). Skala hedonik 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak tidak suka; 4 = netral; 5 = agak suka; 6 = suka; 7 = sangat suka
Data dalam Tabel 18 menunjukkan bahwa intensitas bau amis daging dengan kulit itik asal peternak dibandingkan dengan daging
75 dengan kulit itik yang telah dipelihara secara intensif dan diberi pakan komersial selama 3, 5, dan 7 minggu, tidak dipengaruhi oleh perubahan pakan asal peternak maupun komersial. Artinya bau itik tidak dipengaruhi oleh perubahan pakan asal peternak maupun pakan komersial. Gambaran besarnya intensitas bau amis daging dengan kulit itik dengan makin lamanya waktu pemberian pakan komersial disajikan pada Gambar 15. Intensitas bau amis 12 9,58
10
8,67
8,63
8,26
8 6 4 2
0
Periode penelitian (minggu)
0
3 Asal peternak
5
7
Gambar 15 Perubahan bau amis daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan Uji hedonik terhadap intensitas bau amis daging dengan kulit itik akibat perubahan pemberian pakan dari asal peternak ke pakan yang digunakan selama penelitian oleh 111 orang panelis (Tabel 18) menunjukkan hasil yang sama. Nilai tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging dengan kulit itik asal peternak dan pemberian pakan penelitian selama 3, 5, dan 7 minggu diilustrasikan pada Gambar 16.
tingkat kesukaan
4
3.34
3.64
3.65
3.38
3 2 1
Periode penelitian (minggu)
0 0
3 Asal peternak
5
7
Gambar 16 Tingkat kesukaan konsumen terhadap intensitas bau amis daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan
76 Hasil penelitian perubahan komposisi asam lemak akibat perubahan pakan, dari pakan asal peternak ke pakan yang digunakan selama penelitian disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Perubahan komposisi asam lemak akibat perubahan pakan Pakan penelitian
Asal peternak Pakan penelitian 3 minggu Pakan penelitian 5 minggu Pakan penelitian 7 minggu
Komposisi asam lemak ALJ
ALTJ Total .................%.................. 2,95 6,77 9,72
ALTJ/ALJ 2,29
6,25
14,74
20,99
2,36
6,55
17,50
24,05
2,67
9,50
22,51
32,01
2,37
Keterangan: pakan penelitian= pakan komersial yang digunakan selama penelitian
Perubahan ALJ (Asam Lemak Jenuh) daging dengan kulit itik dari asal peternak ke pakan yang digunakan selama penelitian 3, 5, dan 7 minggu berturut-turut sebesar 2,12; 2,22; dan 3,22, sedangkan perubahan ALTJ (Asam Lemak Tidak Jenuh) pada kurun waktu yang sama berturut-turut sebesar 2,18; 2,58; dan 3,32. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa perubahan pada ALTJ lebih besar daripada ALJ. Hal ini wajar karena pada unggas, deposit asam lemak pada umumnya adalah ALTJ lebih besar daripada ALJ. Demikian pula yang diperoleh Hustiany (2001) pada itik betina lokal jawa afkir dan Witak (2007) pada itik pekin A44. Dari Tabel 19 terlihat bahwa perbandingan ALTJ/ALJ dari daging dengan kulit itik yang mendapat pakan perlakuan selama 3, 5, dan 7 minggu lebih besar daripada yang asal peternak. 4.4.4.2 Kandungan Asam Lemak Akibat Perlakuan Jenis asam lemak yang terdeteksi pada daging itik dengan kulit hasil penelitian ini terdiri atas 3 jenis asam lemak jenuh (ALJ), 3 jenis asam lemak tidak jenuh tunggal (ALTJT) dan 2 jenis asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG). Asam lemak jenuh yang terdeteksi ialah asam miristat (C14:0), asam palmitat (C16:0), dan asam stearat
77 (C18:0). Asam lemak tidak jenuh tunggal yang terdeteksi terdiri atas asam palmitoleat (C16:1), asam oleat (C18:1), dan asam arakhidat (C20:1). Asam lemak tidak jenuh ganda yang terdeteksi adalah asam lemak esensial asam linoleat (C18:2) dan asam linolenat (C18:3). Interaksi antara lama dan level pemberian tepung daun beluntas terhadap semua jenis asam lemak yang terdeteksi tidak berbeda nyata. Untuk selanjutnya, data asam lemak disajikan dalam bentuk pengaruh utama masing-masing perlakuan, yaitu kandungan setiap jenis asam lemak daging itik dengan kulit akibat pemberian level tepung daun beluntas yang berbeda disajikan pada Tabel 20, sedangkan akibat lama pemberian tepung daun beluntas disajikan pada Tabel 21. Tabel 20 Rataan kandungan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua pada level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda Jenis asam lemak
C14:0 (asam miristat) C16:0 (asam
palmitat) C18:0 (asam stearat) Total ALJ
Kandungan asam lemak daging itik dengan kulit pada level beluntas 0% 1% 2% (%) 0,17±0,03 0,19±0,06 0,19±0,05 5,97±1,45 6,57±2,41 6,48±1,53 1,29±0,34 2,10±0,84 1,80±0,45 7,43±1,80a 8,86±2,22b 8,47±1,54b
C16:1(asam
0,61±0,16
0,69±0,18
palmitoleat) C18:1(asam oleat) C20:1(asam arakhidat)
11,93±2,60 0,17±0,00
12,79±4,01 0,19±0,01
Total ALTJT
12,71±2,75
13,62±4,13
0,19±0,05 12,55±3,75
C18:2(asam linoleat) C18:3(asam linolenat) Total ALTJG
5,28±1,17a 0,26±0,06 5,54±1,22a
6,61±1,33b 0,29±0,07 6,90±1,39b
6,09±1,68ab 0,29±0,09 6,38±1,77ab
Total ALTJ ALTJ/ALJ
18,25±3,94 2,46
20,51±5,52 2,31
18,93±5,42 2,23
0,62±0,19 11,77±3,56
Keterangan : superskrip berbeda nyata pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)
78 Data Tabel 20 menunjukkan bahwa asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh ganda daging itik dengan kulit yang mendapat tepung daun beluntas lebih tinggi dari kontrol. Asam lemak tidak jenuh ganda linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh ganda (C18:2+C18:3) yang merupakan asam lemak esensial daging itik dengan kulit yang mendapat tepung daun beluntas 1% lebih tinggi (P<0,05) dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif yang terdapat pada daun beluntas dapat melindungi asam lemak tidak jenuh dari oksidasi (Zieli ska et al. 2001). Mekanisme zat aktif dalam tepung daun beluntas melindungi asam lemak dari oksidasi diduga dengan cara menangkap radikal bebas, menghelat ion logam transisi, atau dengan menghambat kerja enzim prooksidan sebagaimana dikemukakan Schewe dan Sies (2003). Dengan demikian berarti bahwa asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada daging itik dengan kulit yang mendapat pakan kontrol terdegradasi menjadi senyawasenyawa yang menimbulkan bau khas yang kurang disukai konsumen. Menurut Farmer (1999) asam linoleat (C18:2) merupakan salah satu pembeda off-odor. Senyawa utama yang sering ditemukan pada profil volatil produk daging yang kaya asam lemak linoleat (C18:2) dan linolenat (C18:3) berturut-turut heksanal dan nonanal (Shahidi 1994). Tabel 21 menunjukkan bahwa daging itik dengan kulit mengandung asam lemak jenuh (C14:0 dan C16:0), asam lemak tidak jenuh tunggal (C16:1, C:18:1) dan asam lemak tidak jenuh ganda (C18:2 dan C18:3) makin tinggi dengan makin lamanya pemberian pakan perlakuan. Hal ini mencerminkan bahwa makin lama pemberian pakan perlakuan, makin tua umur itik, penimbunan lemak dan asam lemak makin tinggi. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Witak (2007), Erisir et al. ( 2009) dan Guo-Bin et al. (2010).
79 Tabel 21 Rataan kandungan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua pada lama pemberian pakan perlakuan yang berbeda Jenis asam lemak
C14:0 (asam miristat) C16:0 (asam palmitat) C18:0 (asam stearat) Total ALJ
Kandungan asam lemak daging itik dengan kulit pada lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 (%) 0,16±0,01a 0,16±0,01a 0,24±0,03b A A 5,05±0,41 5,59±0,20 8,38±0,84B 2,16±0,94a 1,28±0,22b 1,75±0,09a A A 7,37±0,97 7,03±0,42 10,37±0,96B 0,51±0,07a
0,58±0,06a
0,83±0,08b
9,65±0,32A
10,87±0,83A
15,97±1,37B
0,18±0,01 10,33±0,39A
0,16±0,02 11,61±0,90A
0,20±0,04 16,94±1,39B
Total ALTJG
5,29±0,74A 0,23±0,03a 5,52±0,76A
5,15±0,79A 0,25±0,03a 5,40±0,81A
7,55±0,81B 0,35±0,04b 7,90±0,85B
Total ALTJ ALTJ/ALJ
15,84±0,99A 2,15
17,01±1,35A 2,42
24,84±2,18B 2,40
C16:1(asam
palmitoleat) C18:1(asam oleat) C20:1(asam arakhidat) Total ALTJT
* Superskrip yang berbeda (a, b) dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); A,B dalam baris yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)
4.4.5 TBARS Pengaruh perlakuan terhadap produk oksidasi lipid yang dinyatakan melalui nilai thiobarbituric acid reactive substances (TBARS) dalam satuan miligram malondialdehid per kg daging, disajikan pada Tabel 22. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara lama dengan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan pada nilai TBARS tidak terdapat interaksi. Tabel 22 Nilai TBARS daging itik betina tua dengan kulit akibat perlakuan Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 Rataan
Nilai TBARS pada level tepung daun beluntas 0% 1% 2% (mg malondialdehid/kg daging dengan kulit) 1,30±0,27 1,00±0,18 0,66±0,36 1,63±0,09 1,44±0,23 1,24±0,24 1,82±0,03 1,67±0,19 1,54±0,17 a b 1,58±0,26 1,37±0,34 1,15±0,45c
Rataan 0,99±0,32a 1,44±0,20b 1,68±0,14c
* Superskrip yang berbeda (a, b) dalam baris/kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
80 Dari Tabel 22 terlihat bahwa level pemberian tepung daun beluntas berpengaruh pada nilai TBARS. Makin tinggi tepung daun beluntas yang diberikan, nilai TBARS nyata (P<0,05) makin rendah. Hal ini berarti dengan pemberian tepung daun beluntas, produk oksidasi lemak makin rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rababah et al. (2006) yang menyatakan bahwa antioksidan pada ekstrak teh hijau (mengandung flavonoid: kuersetin dan rutin) nyata (P<0,05) menurunkan nilai TBARS dan senyawa volatil, baik pada daging mentah maupun yang dimasak setelah melalui penyimpanan. Nilai heksanal daging dada ayam mentah yang ditambah ekstrak teh hijau dibandingkan kontrol sebesar 1.816,3 vs 2.879,7 ppb, sedangkan pada daging dada ayam yang dimasak 5.097,5 vs 5.782,7 ppb. Nilai heptanal daging ayam mentah yang ditambah ektrak teh hijau dibanding kontrol sebesar 496,9 vs 605,1 ppb, sedangkan pada daging dada ayam yang dimasak 1.790,0 vs 1.965,0 ppb. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai TBARS daging dengan kulit itik pada lama pemberian pakan 5 dan 7 minggu nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada lama pemberian pakan 3 minggu. Nilai TBARS daging dengan kulit itik pada lama pemberian pakan 7 minggu nyata (P<0,05) lebih tinggi dari nilai TBARS 5 minggu. Hal ini terlihat bahwa makin tingginya nilai TBARS daging dengan kulit itik sejalan dengan makin tingginya kadar lemak dan asam lemaknya (Tabel 17 dan 21). Kondisi ini menunjukkan bahwa laju oksidasi dipengaruhi oleh kandungan lemak dan asam lemaknya, sejalan dengan hasil penelitian Young et al. (2003) dan Juntachote et al. (2007). 4.4.6 Bau Hasil pengujian panelis terhadap intensitas bau daging itik dengan kulit, dicantumkan pada Tabel 23, sedangkan tingkat kesukaan panelis disajikan pada Tabel 24.
81 Tabel 23 Hasil uji skalar tingkat bau amis (off-odor) daging dengan kulit itik betina tua Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 Rataan ± sd
Nilai uji skalar bau amis daging itik dengan kulit, pada level tepung daun beluntas 0% 1% 2% 8,67± 1,73 7,14±1,79 6,22±1,96 8,63±1,83 6,62±2,30 5,98±2,04 8,26±2,19 6,95±1,98 5,51±2,28 A B 8,52±0.23 6,90±0,27 5,90±0,36C
Rataan 7,35±1,24 7,07±1,38 6,91±1,38
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01). Nilai skalar 0-15 cm (0: bau amis terendah-15: bau paling tajam)
Pada penelitian tidak terdapat interaksi antara lama dengan level tepung daun beluntas yang diberikan terhadap tingkat bau amis (off-odor) daging itik dengan kulit. Level pemberian tepung daun beluntas sangat berpengaruh terhadap bau daging itik. Daging itik yang diberi tepung daun beluntas 1% dan 2% sangat nyata (P<0,01) kurang amis daripada kontrol, dan daging itik yang diberi tepung daun beluntas 2% sangat nyata (P<0,01) kurang amis daripada yang diberi tepung daun beluntas 1%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan dengan level 1% dan 2% mampu mengurangi bau amis daging itik. Bau amis (offodor) merupakan komponen volatil yang dapat terbentuk karena perubahan komponen lemak melalui oksidasi lemak (Farmer 1999; Hoac et al. 2006) atau melalui penyerapan dengan bahan lain (Shahidi 1998; Pegg dan Shahidi 2007). Hustiany et al. (2001) menyatakan bahwa bau amis daging itik betina afkir, sebagian besar adalah hasil proses oksidasi lipid yang termasuk golongan aldehid, alkohol, keton, asam karboksilat dan hidrokarbon. Hasil analisis menggunakan GC-MS, senyawa volatil yang terdeteksi dari daging itik betina afkir adalah pentanol, hexanol, 1-hexanol, (E)-Okten-3-ol, nonanal dan 1-hexadecanol dan 2 komponen off-odor yang paling mendekati off-odor daging itik tetapi yang tidak terdeteksi pada GCMS yaitu yang memiliki LRI (Linear Retension Index) 1104 dan 1123 (Hustiany 2001). Penelitian ini mengindikasikan bahwa zat aktif yang terdapat dalam tepung daun beluntas mempunyai efektivitas sebagai antioksidan sebagaimana dikemukakan Pietta (2000), Burda dan Oleszek (2001), Zieliñska et al. (2001), Beecher (2003), Zhang dan Hamauzu
82 (2003), Widyawati (2004), Moskaug et al. (2005) dan Ahmed dan Beigh (2009). Senyawa fenol, flavonoid, kuersetin dan mirisetin yang terdapat dalam tepung daun beluntas mempunyai kemampuan menurunkan pembentukan radikal bebas dan menangkap radikal bebas yang dapat menyebabkan terdegradasinya asam lemak. Dengan terlindunginya asam lemak dari oksidasi maka senyawa volatil penyebab bau (off-odor) (Pazos et al. 2005; Juntachote et al. 2007) yang tidak disukai dari daging itik dengan kulit seperti pentanol, heksanol, 1-heksanol, (E)-Okten-3-ol, nonanal dan 1heksadekanol dan 2 komponen off-odor yang paling mendekati off-odor daging itik (Hustiany 2001) menjadi tidak terbentuk. Hal ini diduga yang menyebabkan daging itik dengan kulit yang mendapat tepung daun beluntas, bau amisnya lebih rendah daripada kontrol (yang tidak mendapat tepung daun beluntas dalam pakannya). Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis asam lemak yang lebih tinggi dengan adanya pemberian tepung daun beluntas, seperti tercantum pada Tabel 20. Dengan terlindunginya asam lemak dari oksidasi maka nilai TBARS daging itik dengan kulit pada perlakuan pemberian tepung daun beluntas lebih rendah dari perlakuan tanpa tepung daun beluntas (kontrol) sebagaimana disajikan pada Tabel 22. Tabel 23 menunjukkan bahwa lama pemberian pakan perlakuan tidak berpengaruh terhadap bau amis daging itik dengan kulit, artinya tingkat bau amis daging itik dengan kulit dari perlakuan lama pemberian pakan 3 minggu, 5 minggu dan 7 minggu sama. Ini berarti antara kadar lemak, asam lemak dan nilai TBARS tidak sesuai dengan hasil uji sensori. Kadar lemak, asam lemak dan nilai TBARS daging dengan kulit itik yang rendah pada lama pemberian pakan 3 minggu, tingkat bau amisnya sama dengan daging itik dengan kulit yang mempunyai kadar lemak, asam lemak dan nilai TBARS yang tinggi pada lama pemberian pakan 7 minggu. Menurut Enser (2003) sangat sulit untuk mengkaitkan antara pengukuran sensori, nilai TBARS dan hasil pengukuran ketengikan secara kimia pada daging masak meskipun keduanya menggunakan metode yang sama. Enser (2003) memberi contoh sebagai berikut: panelis memberikan skor off-odor yang berbeda pada daging babi yang mempunyai nilai
83 TBARS antara 0,5-1,0 mg/kg sampel, namun disisi lain, panelis memberi skor off-odor yang sama pada daging yang mempunyai nilai TBARS antara 5,9-11,3. Tabel 24 Hasil uji hedonik daging dengan kulit itik betina tua Lama pemberian pakan (minggu) 3 5 7 Rataan ± sd
Nilai uji hedonik daging itik dengan kulit, pada level tepung daun beluntas 0% 1% 2% 3,64±1,37 3,75±1,36 3,86±1,29 3,65±1,51 3,92±1,25 3,87±1,35 3,38±1,52 3,65±1,48 3,87±1,29 a b 3,56±0,15 3,77±0,14 3,87±0,01b
Rataan ±sd 3,75±0,11 3,81±0,40 3,63±0,25
Keterangan : Skala hedonik 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak tidak suka; 4 = netral; 5 = agak suka; 6 = suka; 7 = sangat suka Superskrips yang berbeda dalam satu baris menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Antara lama dengan level pemberian tepung daun beluntas yang diberikan terhadap tingkat kesukaan konsumen tidak terdapat interaksi. Tingkat kesukaan konsumen terhadap bau amis daging itik dengan kulit yang diberi pakan tanpa tepung daun beluntas nyata (P<0,05) lebih rendah daripada bau amis daging itik dengan kulit yang diberi pakan mengadung tepung daun beluntas 1% dan 2%. Tingkat kesukaan konsumen terhadap bau daging itik dengan kulit yang diberi pakan mengandung tepung daun beluntas 1% dan 2% tidak berbeda (Tabel 24). Hal ini berarti tepung daun beluntas dapat meningkatkan penerimaan konsumen. Daging itik dengan kulit yang mendapat pakan mengandung tepung daun beluntas 1% dan 2% lebih disukai daripada yang diberi pakan tanpa tepung daun beluntas. Hal ini dapat disebabkan karena bau amis daging itik yang diberi pakan mengandung tepung daun beluntas sudah berkurang (Tabel 23). Lama pemberian pakan perlakuan 3, 5, dan 7 minggu terhadap tingkat kesukaan konsumen akan daging itik dengan kulit tidak berbeda. Pada penelitian ini tingkat kesukaan konsumen berkisar antara 3,63–3,81 (netral). Hal ini berarti perbedaan lama pemberian pakan antara 2-4 minggu tidak mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen.
84 4.4.7 Histopatologi Organ Dalam Itik Oleh karena daun beluntas mengandung zat-zat yang bersifat antinutrien seperti tanin, maka perlu dilakukan uji pengaruhnya pada organorgan dalam yaitu hati, ginjal, pankreas, dan usus halus. 4.4.7.1 Hati Hasil pemeriksaan histopatologi itik percobaan ditemukan adanya kerusakan jaringan pada hati yang meliputi degenerasi lemak dan sirosis hati dengan tingkat kerusakan dari ringan sampai parah tercantum pada Tabel 25 dan Tabel 26. Tabel 25 Persentase itik yang mengalami degenerasi lemak pada jaringan hati itik penelitian Level pemberian beluntas
0% 1% 2%
Persentase itik yang mengalami degenerasi lemak pada lama pemberian pakan 3 minggu 7 minggu (-) sd (+) (++) sd (+++) (-) sd (+) (++) sd (+++) (%) (%) 83,33 16,67 83,33 16,67 100 0 83,33 16,67 100 0 83,33 16,67
Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah
Tingkat degenerasi lemak hati (sel hati dalam sitoplasma berisi vakuola lemak) pada penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) normal sampai kerusakan ringan (Gambar 17); dan (2) kerusakan sedang sampai berat (Gambar 18). Kerusakan ringan dimasukkan ke dalam kelompok normal karena hal tersebut merupakan hal yang biasa terjadi
pada
ternak
itik,
terlebih
dengan
pemeliharaan
digembala/diangon. Dari Tabel 25 terlihat bahwa itik yang mengalami degenerasi lemak, pada perlakuan 3 dan 7 minggu, tidak hanya terjadi pada yang mendapat perlakuan pemberian tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% dan 2%, tetapi juga terjadi pada itik kontrol yang tidak mendapat tepung daun beluntas.
85
Gambar 17 Degenerasi lemak ringan hepatosit organ hati. Perbesaran objektif 40x HE
Gambar 18 Degenerasi lemak hati parah dengan vakuola lemak yang besar-besar di dalam hepatosit (panah). Itik sampel yang mendapat perlakuan level pemberian tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan selama 3 minggu tidak mengalami degenerasi lemak di hati tingkat sedang sampai parah, sedangkan perlakuan dengan level yang sama selama 7 minggu tingkat degenerasi lemak di hati tidak berbeda dengan kontrol yaitu yang tidak mendapat tepung daun beluntas. Hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa tepung daun beluntas tidak menyebabkan terjadinya degenerasi lemak di hati. Tidak adanya itik yang mengalami degenerasi lemak pada pemberian tepung daun beluntas selama 3 minggu dapat dijadikan indikasi bahwa tepung daun beluntas dapat memperbaiki degenerasi hati. Hal ini perlu pembuktian lebih
86 lanjut melalui penelitian karena pada perlakuan pemberian tepung daun beluntas selama 7 minggu, persentase itik yang mengalami degenerasi hati tidak berbeda dengan yang tidak mendapat tepung daun beluntas. Degenerasi lemak merupakan kerusakan sementara yang dapat diperbaiki dengan pemberian pakan berkualitas baik. Dengan demikian sangat memungkinkan antioksidan dalam beluntas berikatan dengan lemak, sehingga jumlah vakuola lemak dalam hati menurun dan jaringan hati normal kembali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sinaga (2006) yang menggunakan sumber antioksidan dalam daun kaliandra. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah vakuola lemak hati itik yang mendapat kaliandra lebih rendah daripada perlakuan yang tanpa mendapat kaliandra. Sel hati dalam sitoplasma berisi vakuola lemak pada penelitian ini kemungkinan akibat aflatoxin. Aflatoksin adalah jenis racun yang dapat memicu sel-sel epitel buluh empedu di hati untuk proliferatif sehingga daerah porta dari lobulus hati akan membengkak dan menggertak peradangan. Kontaminasi aflatoksin pada pakan yang didapat berulang-ulang, menyebabkan peradangan menjadi kronis. Keracunan aflatoksin berlangsung kronis, umumnya berlanjut dengan aktivasi sel jaringan ikat dengan mitosis dan membentuk akumulasi kolagen dan dapat menimbulkan sirosis hati (pengerasan hati oleh meningkatnya jaringan ikat). Saat menderita sirosis (Gambar 19), jumlah hepatosit aktif amat berkurang dari normal, sehingga fungsi hati menjadi berkurang. Dari Tabel 26 terlihat bahwa itik yang mengalami sirosis hati perlakuan 3 dan 7 minggu, tidak hanya terjadi pada yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2%, tetapi juga terjadi pada itik kontrol (tanpa mendapat tepung daun beluntas).
87
Gambar 19 Sirosis hati dengan pembentukan jaringan ikat diantara hepatosit. Perbesaran objective 40x HE. Tabel 26 Persentase itik yang mengalami sirosis pada jaringan hati itik penelitian Level pemberian tepung daun beluntas
Persentase itik yang mengalami sirosis jaringan hati pada lama pemberian pakan 3 minggu 7 minggu (-) sd (+)
(++) sd (+++)
(-) sd (+)
(%)
(++) sd (+++)
(%)
50 50 66,66 33,34 66,66 33,33 100 0 33,34 66,66 83,33 16,67 Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah.
0% 1% 2%
Pada perlakuan pemberian tepung daun beluntas selama 3 minggu, sirosis hati itik yang mengalami tingkat kerusakan sedang sampai parah pada itik yang mendapat tepung daun beluntas 2% lebih banyak dari kontrol, tetapi pada itik yang mendapat tepung daun beluntas selama 7 minggu terlihat ada perbaikan. Pada kontrol jumlah hati itik yang mengalami kerusakan hati sedang-parah menurun sebesar 33,32% (dari 50% menjadi 33,34%), sedangkan yang mendapat tepung daun beluntas 1% menurun sebesar 100% (dari 33,33% menjadi 0%) dan yang mendapat tepung daun beluntas 2% menurun sebesar 75% (dari 66,66% menjadi 16,66%). Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dalam pakan dapat mempercepat
perbaikan
jaringan
hati
yang
rusak.
Beluntas
mengandung fenol dan flavonoid yang telah diketahui mempunyai
88 kapasitas sebagai antioksidan (Andarwulan et al. 2008) karena kemampuannya
menurunkan
pembentukan
radikal
bebas
dan
menangkap radikal bebas (Burda dan Oleszek 2001). Kemampuan sebagai antioksidan memberi efek terapi terhadap penyakit kanker (patologi hati) (González-Gallego et al. 2007). Asupan flavonoid dilaporkan dapat mengurangi resiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim prostaglandin sintase, lipoksigenase dan siklooksigenase yang terkait dengan pembentukan tumor (Zang dan Hamauzu 2003). Hasil penelitian Dragland et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan salah satu tanaman herba Jepang (Sho-Danau Sai) dapat digunakan
untuk
mengobati
hepatitis
kronis,
menghambat
perkembangan karsinoma hepatoseluler, mengurangi peroksidasi lipid dan fibrosis hati pada hewan percobaan. 4.4.7.2 Ginjal dan Pankreas Kerusakan jaringan pada pankreas (amiloidosis pankreas) dan ginjal (fibrosis dan gangguan fungsi ginjal) disajikan pada Tabel 27. Amiloid terbentuk dari amiloid serum hasil peradangan kronis di hati. Amiloid sering terakumulasi di tepi pembuluh darah di interstitium pankreas. Akumulasi amiloid yang terbentuk akan menekan kelenjar pankreas dan menimbulkan atrophy (pengecilan) kelenjar pankreas. Tabel 27 menunjukkan bahwa pankreas dan ginjal itik ditemukan normal sampai kerusakan ringan. Kerusakan tersebut terjadi di semua perlakuan, termasuk pada kontrol. Demikian juga pada ginjal. Ginjal itik yang diberi tepung daun beluntas sebanyak 1% dan 2%, selama 3 dan 7 minggu tidak mengalami fibrosis (terbentuknya akumulasi jaringan ikat di daerah interstitium/antara tubuli ginjal) dan gangguan fungsi ginjal (terjadi mineralisasi dalam tubuli ginjal yang menghambat sekresi asam urat). Hal ini berarti tepung daun beluntas tidak berpengaruh negatif pada ginjal itik.
89 Tabel 27 Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan pankreas dan ginjal
Kerusakan jaringan
Amiloidosis pancreas Ginjal 1. Fibrosis
2.Gangguan fungsi
Level pemberian beluntas
0% 1% 2%
Persentase itik yang mengalami kerusakan ginjal pada lama pemberian pakan 3 minggu 7 minggu (++) sd (++) sd (-) sd (+) (-) sd (+) (+++) (+++) (%) (%) 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0
0% 1% 2%
100 100 100
0 0 0
100 100 100
0 0 0
0% 1% 2%
100 100 100
0 0 0
100 100 100
0 0 0
Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah.
4.4.7.3 Usus Halus Kerusakan jaringan pada usus halus yang teramati adalah enteritis (radang usus halus). Hasil yang terdeteksi ialah terjadinya penebalan lokal dinding usus dengan adanya akumulasi sel-sel limfoid di propria mukosa usus dan adanya potongan cacing pita di antara vili usus (Gambar 20). Persentase itik dengan tingkat kerusakan usus yang dialami pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 28.
Gambar 20 Enteritis parasit cacing pita (panah hitam). Sel-sel radang meningkat di dalam lapisan propria usus sebagai indikator radang usus (panah biru). Pembesaran objektif 20x HE.
90 Tabel 28 Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan usus halus itik penelitian Kerusakan Jaringan
Level Pemberian Beluntas
Persentase itik yang mengalami kerusakan usus halus pada lama pemberian pakan 3 minggu 7 minggu (-)sd(+)
(++) sd(+++)
(-)sd(+)
(%)
(++)sd(+++)
(%)
Duodenum
0% 1% 2%
100 100 100
0 0 0
100 100 100
0 0 0
Jejunum
0% 1% 2%
100 100 100
0 0 0
100 100 100
0 0 0
Ileum
0% 1% 2%
100 100 100
0 0 0
100 100 100
0 0 0
Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah.
Tabel 28 memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum) yang terjadi dari semua itik yang diamati, berkisar dari normal sampai ringan. Pada tingkat kerusakan tersebut, ditemukan tidak hanya terjadi pada perlakuan, tetapi terjadi juga pada kontrol. Kerusakan yang terjadi, enteritis pada usus halus, kemungkinan besar disebabkan oleh cacing pita. 4.5 Uji Masking Daun Beluntas Uji masking tepung daun beluntas, tepung daun kenikir dan tepung daun kemangi terhadap bau amis daging itik mentah dengan kulit dilihat berturut-turut pada Tabel 29, 30 dan 31. Tabel 29 Intensitas bau amis dan bau beluntas pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun beluntas konsentrasi yang berbeda Konsentrasi ekstrak daun beluntas 0% 1% (10g/liter air) 2% (20g/liter air) 3% (30g/liter air)
Nilai skalar Bau amis daging (n=73) 10,01 ±2,77 C 6,23±2,57 B 4,78±2,79 A 4,29±3,25 A
Bau beluntas (n=73) 2,59± 1,96 A 5,56±2,32 B 8,04±2,99 C 9,71±2,92 D
Keterangan: Superskrip yang berbeda A,B,C,D pada kolom yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)
91 Tabel 29 menunjukkan bahwa bau amis daging itik makin berkurang dengan makin tingginya konsentrasi tepung daun beluntas dan makin tercium aroma daun beluntas. Bau amis daging itik sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dengan perendaman dalam ekstrak beluntas 1% dan aroma daun beluntasnya sangat nyata tercium. Makin tinggi konsentrasi ekstrak tepung daun beluntas yang digunakan, bau amis daging itik makin tidak terdeteksi dan aroma daun beluntas makin dominan. Hal ini membuktikan bahwa aroma beluntas mampu menutupi bau amis daging itik. Tabel 30 Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kenikir konsentrasi yang berbeda Konsentrasi ekstrak daun kenikir 0% 1% (10g/liter air) 2% (20g/liter air) 3% (30g/liter air)
Nilai skalar Bau amis daging Bau kenikir (n=67) (n=66) 10,27±2,53 C 3,88±2,58 A 7,19±3,02 B 5,90±3.00 A 5,19±2,86 A 8,30±3,25 B A 4,98±2,63 8,17±3,11 B
Keterangan: Superskrip yang berbeda A,B,C pada kolom yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)
Tabel 30 memperlihatkan bahwa bau amis daging itik makin menurun dengan makin tingginya konsentrasi kenikir yang digunakan dan pada level 1% sudah nyata menurun, tetapi aroma kenikir baru tercium pada level penggunaan 2% dan 3%. Hal ini menunjukkan bahwa aroma kenikir mampu menutupi bau amis daging itik, meskipun tidak setajam tepung daun beluntas. Tabel 31 Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kemangi konsentrasi yang berbeda Konsentrasi ekstrak daun kemangi 0% 1% (10g/liter air) 2% (20g/liter air) 3% (30g/liter air)
Nilai skalar Bau amis daging Bau kemangi (n=70) (n=70) 10,51±2,67 C 3,01±1,91 A 6,86±2,90 B 5,89±2,62 B A 4,38±2,42 8,46±2,90 C 4,47±2,14 A 9,31±2,77 C
Keterangan: Superskrip yang berbeda A,B,C pada kolom yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)
92 Tabel 31 memperlihatkan bahwa bau amis daging itik dengan perendaman dalam ekstrak daun kemangi 1%-3% sangat nyata lebih rendah dari kontrol, sedang antara 2% dan 3% tidak berbeda. Hal ini sejalan dengan makin meningkatnya aroma kemangi pada daging itik yang bersangkutan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa daun kemangi juga mampu menutupi bau amis daging itik dengan kulit. Penelitian Andarwulan dkk (2008) menunjukkan bahwa daun kemangi mengandung fenol (784,32 mg/100g) lebih rendah daripada daun beluntas (1030,03 mg/100gBK) dan kenikir (1225,88 mg/100gBK). Kandungan flavonoid daun kemangi (69,78 mg/100gBK) dan daun beluntas (79,19 mg/100 gBK) lebih rendah daripada daun kenikir (420,85 mg/100gBK). Berdasarkan hasil uji di atas, meskipun daun beluntas mengandung fenol dan flavonoid lebih rendah dari daun kenikir tetapi mempunyai kemampuan menutupi bau amis daging itik yang sama dengan
daun
kenikir. Demikian juga yang terjadi dengan penggunaan daun kemangi. Daun kemangi yang mengandung fenol dan flavonoid yang lebih rendah dari beluntas dan kenikir, mampu menutupi bau amis daging itik yang sama seperti yang terjadi pada penggunaan daun beluntas dan kenikir. Hal ini berarti, ketiga jenis sayuran indigenous tersebut mempunyai efek masking. Namun demikian, daging itik dengan kulit yang direndam dengan ekstrak daun beluntas terlihat kurang menarik yaitu berwarna kehijauan sehingga pemanfaatannya terbatas untuk jenis-jenis olahan tertentu (seperti untuk olahan gulai cabe hijau). Ditinjau dari segi ketersediaan dan persaingan dengan kebutuhan manusia, dari ketiga jenis sayuran indigenous tersebut, penggunaan dimanfaatkan.
tepung
daun
beluntas
yang
paling
ekonomis
untuk
93
5.
PEMBAHASAN UMUM
Sampai saat ini, konsumsi daging masyarakat didominasi dari unggas ras, sementara yang berasal dari unggas lokal masih relatif rendah. Hal ini akan membuat Indonesia selalu bergantung pada luar negeri untuk suplai bibit (jenjang GPS dan PS) penghasil daging dan telur. Untuk menunjang program ketahanan pangan, secara bertahap ketergantungan pada luar negeri harus dikurangi. Di antara unggas lokal yang sudah lazim dimanfaatkan sebagai sumber pangan adalah ayam buras dan itik lokal. Dibandingkan dengan daging ayam, pangsa pasar daging itik lebih sempit. Warna yang lebih gelap dari ayam, tekstur yang alot dan terutama bau amis (offodor) daging itik lokal merupakan penyebab penolakan konsumen, terutama konsumen yang belum terbiasa mengkonsumsi daging itik lokal. Untuk mengurangi ketajaman bau amis daging itik lokal, cara-cara yang lazim dilakukan adalah dengan cara mencekok itik lokal dengan cuka sebelum dipotong (dari segi kesejahteraan ternak, tidak dianjurkan) atau membuat olahan yang sarat dengan bumbu. Umpama, di Sumatera Barat dikenal gulai itik hijau, di Aceh dikenal gulai itik, di Bali dikenal itik betutu. Olahan-olahan tersebut sarat dengan bumbu untuk menutupi bau khas dari daging itik tersebut. Untuk memperkaya jenis olahan daging itik lokal perlu diupayakan caracara menghasilkan daging itik segar yang tidak terlalu berbau amis. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan yang diketahui mempunyai kemampuan mengurangi bau, diantaranya beluntas. Berdasarkan para pakar obat tradisional, beluntas terbukti dapat mengurangi bau badan pada manusia. Bau amis daging itik menurut Apriyantono (1992) sudah ada sejak hewan hidup. Bau tersebut dapat berasal dari protein, karbohidrat, dan lemak (Heath dan Reineccius 1986), tetapi lemak merupakan penentu/yang paling utama (Wu dan Liou 1992) dan menurut Hustiany et al. (2001) bau amis daging itik sebagian besar merupakan hasil proses oksidasi lemak. Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Tebalnya kulit itik disebabkan oleh penyebaran lemak di bawah kulit dan lemak unggas sebagian besar terdiri atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005). Oksidasi lemak
94 meningkat secara linier dengan makin tingginya asam lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005). Pada saat ini, sumber daging itik dapat berasal dari itik jantan muda (jumlah relatif banyak), itik jantan dewasa (tetapi jumlahnya sedikit), dan itik betina afkir yang sudah tidak bertelur lagi (jumlah relatif banyak). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan itik jantan muda dan betina afkir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% dan 2% pada itik jantan muda (umur 4 minggu sampai umur 10 minggu) dan itik betina tua tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot badan akhir, persentase karkas, dada dan paha serta daging dada dan paha. Akan tetapi konversi pakan itik jantan muda yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% masing-masing 3,4% dan 8,6% lebih tinggi dari kontrol. Hal ini berarti, pada itik yang mendapat tepung daun beluntas, nutrien pakan yang masuk tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Diduga, antinutrien tanin yang terdapat dalam tepung daun beluntas menghambat aktivitas enzim pencernaan (tripsin, amylase, dan lipase), sebagaimana dikemukakan Johri (2005), sehingga pertumbuhannya tertekan. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan 1% dan 2% pada itik betina tua, dapat mengurangi bau (off-odor) daging itik dengan kulit. Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif dalam beluntas (fenol, flavonoid) mampu melindungi asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh ganda (C18:2+C18:3) dari oksidasi sehingga kandungan asam lemak tersebut lebih tinggi dari kontrol. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa antioksidan efektif mencegah reaksi oksidasi lemak yang berlebihan pada daging (Surai dan Sparks 2000; Grau et al. 2001; Zieli ska et al. 2001; Bou et al. 2004; Hernandez et al. 2004; Apak et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2007; Ribeiro et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2009; Ahmed dan Beigh 2009). Terlindunginya asam lemak dari oksidasi menyebabkan senyawa volatil penyebab bau (off-odor) (Pazos et al. 2005; Juntachote et al. 2007) yang tidak disukai dari daging itik dengan kulit seperti pentanol, heksanol, 1-heksanol, (E)-Okten-3-ol, nonanal dan 1-heksadekanol dan 2 komponen off-odor yang paling mendekati off-odor daging
95 itik (Hustiany 2001), yang terbentuk lebih rendah dan nilai TBARS yang menunjukkan banyaknya produk peroksidasi lemak yang dihasilkan juga lebih rendah. Selain itu, nilai intensitas bau amis yang terdeteksi oleh panelis juga nyata lebih rendah. Hal ini menyebabkan tingkat penerimaan konsumen terhadap daging itik meningkat, terbukti dari hasil uji hedonik daging itik dengan kulit yang mendapat beluntas dalam pakannya lebih disukai daripada kontrol/tanpa mendapat beluntas. Bila konsumsi daging itik dapat ditingkatkan yang berarti ada peningkatan permintaan, diharapkan dapat memacu minat peternak itik untuk meningkatkan usahanya sebagai penghasil daging itik lokal. Saat ini ternak itik tersebar di pedesaan dan mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang tinggi bagi masyarakat pedesaan. Berkembangnya usaha ternak itik diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup peternak. Penyediaan ternak itik yang bau amisnya rendah diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk (daging itik) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk olahan /diversifikasi olahan pangan asal daging itik yang praktis dan dapat membantu mengatasi penyediaan daging asal dalam negeri. Mekanisme berkurangnya bau amis daging itik, diduga selain karena pada beluntas terdapat antioksidan yang mampu melindungi asam lemak dari oksidasi berlebihan, dapat juga disebabkan karena beluntas mengandung aroma yang mampu menutupi bau amis (masking) daging itik. Penelitian Andarwulan dkk (2008) menunjukkan bahwa daun kemangi mengandung fenol (784,32 mg/100g) lebih rendah daripada daun beluntas (1030,03 mg/100gBK) dan kenikir (1225,88 mg/100gBK). Kandungan flavonoid daun kemangi (69,78 mg/100g BK) dan daun beluntas (79,19 mg/100g BK) lebih rendah daripada daun kenikir (420,85 mg/100gBK). Dari data tersebut terlihat bahwa beluntas dan kemangi mengandung antioksidan yang lebih rendah dari kenikir. Namun demikian, perendaman daging itik dengan kulit pada ekstrak tepung daun beluntas dan kemangi menghasilkan respons yang sama dengan kenikir, yaitu bau amisnya berkurang dengan makin tingginya konsentrasi ekstrak ketiga jenis sayuran indigenous tersebut dan aroma masing-masing sayuran indigenous tersebut makin tercium. Hal ini berarti aroma daun beluntas dapat menutupi (masking) bau amis
96 daging itik. Namun demikian, penurunan bau amis dengan metode ini, menghasilkan daging itik yang warnanya kurang menarik (kehijauan) sehingga pemanfaatannya terbatas untuk olahan-olahan tertentu yang tidak memerlukan penampilan warna daging seperti daging segar, seperti untuk olahan gulai cabe hijau. Beluntas merupakan tanaman pagar yang dapat tumbuh subur di seluruh wilayah Indonesia dan perbanyakannya mudah, dengan stek dari batang yang cukup tua dapat tumbuh dengan baik sehingga peternak dapat memanfaatkannya sebagai pagar halaman rumah. Mudahnya pengadaan dan penyediaan tepung daun beluntas dapat membantu peternak menghasilkan daging itik yang bau amisnya rendah. Pakan yang mengandung tepung daun beluntas 1% selama 3 minggu dapat diaplikasikan oleh peternak sehingga daging itik yang dihasilkan siap untuk digunakan berbagai jenis olahan. Hasil penelitian ini ada indikasi bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan dapat memperbaiki jaringan hati itik betina tua yang mengalami kerusakan (degenerasi lemak dan serosis hati). Adanya indikasi perbaikan pada jaringan hati dapat disebabkan karena flavonoid dan fenol yang terdapat dalam tepung daun beluntas bekerja sebagai antioksidan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa antioksidan dalam tepung daun beluntas dapat memperbaiki kerusakan hati. Kemampuan sebagai antioksidan memberi efek terapi terhadap penyakit kanker (patologi hati) (González-Gallego et al. 2007).
Asupan flavonoid
dilaporkan dapat mengurangi risiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim yang terkait dengan pembentukan tumor (Zang dan Hamauzu
2003). Hasil
penelitian Dragland et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan salah satu tanaman herba Jepang (Sho-Danau Sai) dapat digunakan untuk mengobati hepatitis
kronis,
menghambat
perkembangan
karsinoma
hepatoseluler,
mengurangi peroksidasi lipid dan fibrosis hati pada hewan percobaan.
97
6. SIMPULAN Simpulan 1. Tepung daun beluntas dapat digunakan sebagai sumber antioksidan karena mengandung total fenol
(9,85%), total flavonoid (4,47%) dan kuersetin
(1,45%). 2. Pemberian tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% dan 2% tidak berpengaruh negatif pada performa itik, kecuali pada itik muda konversi pakan itik yang mendapat tepung daun beluntas lebih tinggi dari kontrol. 3. Kandungan asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh ganda (C18:2+C18:3) daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas 1% nyata lebih tinggi dari kontrol (tanpa tepung daun beluntas). Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif dalam tepung daun beluntas dapat melindungi asam lemak dari oksidasi. 4. Nilai TBARS daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% nyata lebih rendah dari kontrol (tanpa tepung daun beluntas). Hal ini menunjukkan bahwa komponen senyawa volatil penyebab bau yang terbentuk pada daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% lebih rendah. 5. Nilai skalar intensitas bau amis (off-odor) daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% nyata lebih rendah dari kontrol (tanpa tepung daun beluntas), yang menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dapat mengurangi bau amis daging dengan kulit itik betina tua. 6. Penerimaan konsumen pada daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% lebih tinggi dari kontrol (tanpa tepung daun beluntas). Hal ini karena bau amis daging dengan kulit itik betina tua lebih rendah dari kontrol. 7. Pemberian tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% selama 3 minggu efektif dalam mengurangi bau amis daging dengan kulit itik betina tua. 8. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan ada indikasi memperbaiki kerusakan jaringan (degenerasi lemak dan serosis) hati itik betina tua.
98
Saran 1.
Tepung daun beluntas sebanyak 1% (total fenol 0,1%; total flavonoid 0,05%; total tanin 0,02%) telah berhasil mengurangi bau amis (off-odor) daging dengan kulit itik, tetapi mempunyai efek negatif terhadap konversi pakan. Oleh karena itu, perlu dicari dosis tepung daun beluntas yang tidak berdampak negatif terhadap konversi pakan.
2.
Kandungan antioksidan dalam tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya asal daerah tempat tanaman tersebut dihasilkan. Oleh karena itu, dosis penggunaan beluntas dalam pakan tidak berdasarkan persentasenya, tetapi berdasarkan persentase kandungan antioksidannya, terutama kandungan fenol dan flavonoidnya. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut dosis fenol dan flavonoid yang dapat mengurangi off-odor.
3.
Beberapa vitamin lain seperti vitamin E dan riboflavin serta beberapa mineral seperti Se, Mn, Zn dan Cu juga berperan sebagai antioksidan. Oleh karena itu perlu dianalisis kandungan mikronutrien tersebut dalam daun beluntas untuk mengetahui komponen yang lebih berperan dalam menurunkan off-odor daging itik.
4.
Perlu diteliti lebih lanjut kemampuan daun beluntas dalam mencegah kerusakan hati akibat degenerasi lemak dan serosis.
99 DAFTAR PUSTAKA
Achyad DE, Rasyidah R. 2000. Beluntas (Pluchea Indica Less.) PT. Asiamaya Dotcom.Indonesia. http://www.asiamaya.com/jamu/isi/beluntas_plucheaindica -less. htm. 27 April 2004. Ahmed S, Beigh SH. 2009. Ascorbic acid, carotenoids, total phenolic content and antioxidant activity of various genotypes of Brassica Oleracea encephala. J. Med. and Biol. Sci. 3: 1-8 AkibaY et al. 2001. Meat color modification in broiler chickens by feeding yeast Phaffia rhodozyma containing high concentrations of astaxanthin. J. Appl. Poult. Res. 10:154–161 Altan O, Pabuccuoglu A, Altan A, Konyalioglu S, Bayraktar H. 2003. Effect of heat stress on oxidative stress, lipid peroxidation and some sress parameters in broilers. Brit. Poult. Sci. 44: 545 – 550. Alvarado CZ, Richards MP, O’Keefe SF, Wang H. 2007. The effect of blood removal on oxidation and shelf life of broiler breast meat . Poult Sci. 86:156161 Andarwulan N, Batari R, Sandrasari DA, Wijaya H. 2008. Identifikasi senyawa flavonoid dan kapasitas antioksidannya pada ekstrak sayuran indigenous Jawa Barat. Makalah Seminar pada “Half Day Seminar on Natural Antioxidants: Chemistry, Biochemistry and Technology”, Biopharmaca Research CenterSEAFAST Center IPB, Bogor, 16 September 2008. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 14thEd. Association of Official Analytical Chemists, Inc, Arlington, Virginia. Apak R et al. 2007. Review. Comparative evaluation of various total antioxidant capacity assays applied to phenolic compounds with the CUPRAC assay. Molecules 12: 1496-1547 Apriyantono A, Lingganingrum FS. 2001. Off-flavour pada daging unggas. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB - Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Apriyantono A. 1992. Effect of processing and storage on flavour formation and retension. Symposium on Flavour Technology and Its Apllication In The Food Industry. Dept. of Food Technology and Human Nutrition, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, IPB and Inter University Center For Food and Nutrition, IPB in cooperation with Indonesian Association of Foof Technologists (PATPI) and Quest International.
100 Ardiansyah. 2002. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ardiansyah. 2005. Daun beluntas sebagai bahan antibakteri dan antioksidan. Artikel Iptek, 31 Mei 2005. http://www.beritaiptek.com/pilihberita.php?id=60. 20 Januari 2006. Baeza et al. 2006. Effects of genotype, age and nutrition on intra muscular lipids and meat quality. Symposium COA/INRA Scientific Cooperation in Agriculture, Taiwan. Bamroongrugsa N. 1992. Bioactive Substances from Mangrove Resource. Medical Plant Information Center. Faculty of Science. Prince of Songkla University. Thailand. http://ratree.psu.ac.th/~bnoparat/MANGROVE.html. 27 April 2004. Barciela J, Herrero C, García-Martín S, Peña RM. 2008. A brief study of the role of selenium as antioxidant. EJEAFChe, 7: 3151-3155 Beecher GR. 2003. Overview of dietary flavonoids: Nomenclature, occurrence and intake. J. Nutr. 133: 3248S–3254S Bell DJ, Freeman BM. 1971.Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Volume 1. New York: Academic Press (Inc). Best, B. 2010. General antioxidant actions. [Terhubung berkala]. http://www.benbest.com/nutrceut/AntiOxidants.html (10 April 2010) Biswas R, Dasgupta A, Mitra A, Roy SK, Dutta PK, Achari B, Dastidar SG, Chatterjee TK. 2005. Isolation, purification and characterization of four pure compounds from the root extract of Pluchea indica (l.) Less. and the potentiality of the root extract and the pure compounds for antimicrobial activity. Phytochemical evaluation & antimicrobial potentiality of Pluchea indica. European Bulletin of Drug Research 13 : 63-70 Bou R, Guardiola F, Tres A, Barroeta AC, Codony R. 2004. Effect of dietary fish oil, and -tocopheryl acetate and zinc supplementation on the composition and consumer acceptability of chicken meat. Poult. Sci. 83:282-292. Burda S, Oleszek W. 2001. Antioxidant and antiradical activities of flavonoids. J. Agric.Food Chem. 49:2774-2779. Cadenas E. 2004. Flavonoid. Review article. http://www.antioxidantes.com.ar/ 12/Ref 00019.htm. 6 Mei 2004. Cadi Group. 1997. Medical Information. infoe. html. 17 April 2004.
http://www.itnw.roma.it/cadigroup/
101 Caldironi HA, Bazan NG. 1982. Effect of antioxidants on malonaldehyde production and fatty acid composition in pieces of bovine muscle and adipose tissue stored fresh and fozen. J. Food Sci. 47: 1329-1337. Chaijan M. 2008. Review: Lipid and myoglobin oxidations in muscle foods. Songklanakarin J. Sci. Technol.30 (1), 47-53. http://rdo.psu.ac.th/sjst/journal /30-1_online/0125-3395-30-1-47-53.pdf. 25 April 2010. Chartrin P et al. 2005. Effect of genotype and overfeeding on lipid deposition in myofibres and intramuscular adipocytes of breast and thigh muscles of ducks. Reprod. Nutr. Dev. 45: 87–99. doi: 10.1051/rnd:2005006 Chartrin P et al. 2006. Effect of intramuscular fat levels on sensory characteristics of duck breast meat. Poult. Sci. 85: 914-922. Cheeke PR. 1998. Natural Toxicants in Feeds, Forages, and Poisonous Plants. 2nd Ed. Interstate Publishers, Inc. Danville, IL. Cherian G, Selvaraj RK, Geoger MP, Stitt PA. 2002. Muscle fatty acid composition and thiobarbituric acid-reactive substances of broiler fed different cultivars of sorghum. Poult. Sci. 81:1415-1420. Clemen E, Arthaud V, Mandigo R, Woods W. 1973. Fatty acid composition of bulls and steers as influnced by age and dietary energy level. J. Anim.Sci. 37: 1326-1331. Cobos A, Veiga A, Diaz O. 2000. Chemical and fatty acid composition of meat and liver of wild ducks (Anas platyrhynchos). Food Chem. 68: 77-79. Cortinas L et al. 2004. Fatty acid content in chicken thigh and breast as affected by dietary polyunsaturation level. Poult. Sci. 83:1155–1164 Cortinas L et al. 2005. Influence of the dietary polyunsaturation level on chicken meat quality: Lipid oxidation. Poult. Sci. 84:48–55 Crawford RD. 1993. Origin and History of Poultry Species. Part I. Poultry Biology. In: Poultry Breeding and genetics. RD Crawford (Editor). Elsevier. Develop. in Anim. and Vet. Sci. 22. Dalimartha S. 1999. Beluntas (Pluchea Indica L. Less). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 1. Trubus Agriwidiya. Jakarta. Beluntas/Pusat data & Informasi Persi News. htm. pdpersi.co.id. 14 Oktober 2002. Damayanti AP. 2003. Kinerja Biologis Komparatif antara itik, entog dan mandalung [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Demiray S, Pintado ME, Castro PML. 2009. Evaluation of phenolic profiles and antioxidant activities of Turkish medicinal plants: Tilia argentea, Crataegi folium leaves and Polygonum bistorta roots. World Academy of Science, Engineering and Technology 54 : 312-317.
102 Dirjenak. 2009. Statistik Peternakan. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Dragland S, Senoo H, Wake K, Holte K, Blomhoff R. 2003. Several Culinary and Medicinal Herbs Are Important Sources of Dietary Antioxidants. J. Nutr. 133: 1286–1290. Enser M. 2003. Nutritional effects on meat flavor and stability. Di dalam: Richardson RI, Mead GC, editors. Poultry Meat Science. Poultry Science Symposium Series Volume 25. England: CABI Publishings. Hlm 197-215. Erisir Z, Poyraz O, Onbasilar EE, Erdem E, Oksuztepe GA. 2009. Effects of housing system, swimming pool and slaughter age on duck performance, carcass and meat characteristics. J. Anim. and Vet. Adv. 8: 1864-1869. Evans,W.J. 2000. Vitamin E, vitamin C, and exercise. Am. J. Clin. Nutr. 72, 647S-652S. Farmer LJ. 1999. Poultry meat flavour. Di dalam: Richardson RI, Mead GC, editors. Poultry Meat Science. Poultry Science Symposium Series Volume 25. England: CABI Publishings. Hlm 127-158. Ferrini G, Baucells MD, Esteve-García E, Barroeta AC. 2008. Dietary polyunsaturated fat reduces skin fat as well as abdominal fat in broiler chickens. Poult. Sci. 87:528-535. Fletcher DL. 2003. Poultry meat colour. Di dalam: Richardson RI, Mead GC, editors. Poultry Meat Science. Poultry Science Symposium Series Volume 25. England: CABI Publishings. Hlm 159-175. Folch J, Lees M, Stanley GHS. 1956. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissues. The Journal of Biological Chemistry. http://www.jbc.org.at OSAKA UNIVERSITY. 20 Nopember 2007. Georgieva L, Tsvetkov T. 2008. Biochemical changes in lipids of lyophilized meat foods during storage. Bulgarian J. Agric. Sci. 14: 357-360. González-Gallego J, Sánchez-Campos S, Tuñón MJ. 2007. Anti-inflammatory properties of dietary flavonoids. Nutricion Hospitalaria 22: 287-93. Grau A, Guardiola F, Grimpa S, Barroeta AC, Codony R. 2001. Oxidative stability of dark chicken meat through frozen storage: influence of dietary fat and alpha-tocopherol and ascorbic acid supplementation. Poult. Sci. 80:16301642. Guo-Bin C, L. Li-Li, Z. Xue-Yu, W. Ke-Hua, C. Rong, L. De-Qin, & C. GuoHong. 2010. Development rule of intramuscular fat content in chicken. J. Anim. and Vet. Adv. 9: 297-298.
103 Halliwell B, Gatteridge J. 1999. Free Radical in Biology and Medicine. Claredon Press. London. Hamilton RJ. 1983. The chemistry of rancidity in foods. Di dalam: Allen JC, Hamilton RJ, editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terbitan kedua. ITB, Bandung. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Heath HB, Reineccius,G. 1986. Flavor Chemistry and Technology. New York: An Avi Book Van Nostrand Reinhold Company. Hernandez F, Madrid J, Garcia V, Orengo J, Megias MD. 2004. Influence of two plant extracts on broiler performance, digestibility and degestive organ size. Poult. Sci. 2:169-174. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Hoac T, Daun C, Trafikowska U, Zackrisson J, Åkesson B. 2006. Influence of heat treatment on lipid oxidation and glutathione peroxidase activity in chicken and duck meat. Innovative Food Science and Emerging Technologies 7: 88– 93. Hogan B. 2002. Putting punch in meat flavor profiles. Food Product Design: Design Elemen. http://www.foodproductdesign.com/archive/2002/0702DE .html. Huda-Faujan N, Noriham A, Norrakiah AS, Babji AS. 2007. Antioxidative activities of water extracts ofs Malaysian herbs. ASEAN Food Journal 14: 6168. Huda-Faujan N, Noriham A, Norrakiah AS, Babji AS. 2009. Antioxidant activity of plants methanolic extracts containing phenolic compounds. Afric. J. Biotech. 8: 484-489. Hustiany R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off-odor pada daging itik. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hustiany R, Apriyantono A, Hermanianto J, Hardjosworo PS. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik lokal Jawa. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Kerjasama Fakutas Peternakan IPB dengan Balai Penelitian Ternak, Psat penelitian dan pengembangan Peternakan,
104 IUPAC. 1988. Standard Methods for the Analysis of Oils, Fats and Derivatives. Oxford: Blackweil Scientific. Johri TS. 2005. Poultry nutrition research in india and its perspective. http://www.fao.org/DOCREP/ARTICLE/AGRIPPA/659_en00.htm Juntachote T, Berghofer E, Siebenhandl S, Bauer F. 2007. Antioxidative Effects of Added Dried Holy Basil and Its Ethanolic Extracts on Susceptibility Grounds Pork to Lipid Oxidation. Food Chem. 100:129-135. Kahkonen MP, Heinonen, M. 2003. Antioxidant activity of anthocyanins and their aglycons. J. Agric. Food Chem 51: 628-633. Kaiser Permanente-Northwest. 2003. Common Poisonous Plants and NonPoisonous Plants. University of California, Healthcare Web site. Kilcast D. 1996. Sensory evaluation of taints and off-flavors. Di dalam: Saxby MJ, editor. Food Taints and Off-flavours. London: Blackie Academic & Professional. Hlm 1-40. Kim YS, Suh MH, Yang CB, Lee HG. 2003 Effect of -Oryzanol on the Flavor and Oxidative Stability of Refrigerated Cooked Beef. JFS 68:2423-2429. Kiokias S, Gordon MH. 2003. Dietary supplementation with a natural carotenoid
mixture decreases oxidative stress. Europe. J. Clin. Nutr. 57 : 1135–1140. Kochhar SP. 1996. Oxidative pathways to the formation of off-flavours. In: Food Taints and Off-Flavours. Saxby MJ, Editor. Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall. London. Hal 168-225. Kondakova V et al. 2009. Review. Phenol compounds - qualitative index in small fruits. Biotechnol. & Biotechnol. Eq. 23: 1444-1448. doi: 10.2478/V10133-009-0024-4. 13 Mei 2010 1 0OI: 10. Koolman J, Röhm KH. 2001. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Wanandi SI, penerjemah; Sadikin M, editor. Germany: Georg Thieme Verlag. Terjemahan dari: Color Atlas of Biochemistry. Kruawan K, Kangsadalampai K. 2006. Antioxidant activity, phenolic compound contents and antimutagenic activity of some water extract of herbs. Thai J. Pharm. Sci. 30 : 28-35. Lawrie RA. 1991. Ilmu Daging. Edisi Kelima. Parakkasi A, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari : Meat Science. Leeson S, Zubair AK. 2006. Digestion in Poultry I: Protein and Fats. Department of Animal and Poultry Science, University of Guelph, Ontario, Canada. http://www.novusint.com/Public/Library/DocViewer.asp?ID=361. 6 Januari 2006.
105 Li BH, Tian WX. 2004. Inhibitory effects of flavonoids on Animal Fatty Acid Synthase. J. Biochem 135 : 85-91. Lin J, Zhang SM , Wu K, Willett WC, Fuchs CS, Giovannucci E. 2006. Flavonoid Intake and Colorectal Cancer Risk in Men and Women. Am J Epidemiol 164: 644-651. Luger P et al. 2000, The Crystal Structure of Hop-17(21)-en-3 -yl Acetate of Pluchea pteropoda Hemsl. From Vietnam, Cryst. Res. Technol., 35:355-362. Macleod C. 1994. The flavour of beef. Di dalam: Shahidi F, editor. Flavor of Meat and Meat Products. London: Blackie Academic & Professional. Manach C, Scalbert A, Morand C, Remesy C, Jimenez L. 2004. Review article. Polyphenols: food sources and bioavailability. Am. J. Clin. Nutr. 79 : 727-747. Mariutti LRB, Nogueira GC, Bragagnolo N. 2009. Solid phase microextraction gas chromatography for the evaluation of secondary lipid oxidation products in chicken patties during long-term storage. J. Braz. Chem. Soc., 20 : 1849-1855. Marusich WL et al. 1975. Effect of supplemental vitamin E in control of rancidity in poultry meat. Poult. Sci. 54: 831-844. Marzo F, Urdaneta E, Santidrian S. 2002. Liver proteolytic activity in tannic acidfed birds. Poult. Sci. 81: 92-94. Mattjik AS, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. IPB Press. Bogor. Matos HR et al. 2006. Lycopene and ß-carotene protect in vivo iron-induced oxidative stress damage in rat prostate. Braz. J. Med. and Biol. Res. 39: 203210. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press LLC. USA. Melton SL. 1990. Effect of feeds on flavor of red meat: A Review. J. Anim. Sci. 68: 4421-4435. Min B, Cordray JC, Ahn DU. 2010. Effect of NaCl, myoglobin, Fe(II), and Fe(III) on lipid oxidation of raw and cooked chicken breast and beef loin. J. Agric. Food Chem. 58: 600–605. Moreno DA et al. 2003. Basic nutritional investigation. Inhibitory effects of grape seed extract on Lipases. Nutrition 19:876–879. doi:10.1016/S0899-9007 (03) 00167-9. Moskaug JØ, Carlsen H, Myhrstad MCW, Blomhoff R. 2005. Polyphenols and glutathione synthesis regulation. Am. J. Clin. Nutr. Supl. 81:277– 283.
106 Mottram DS. 1998. Flavour formation in meat and meat: a review. Food Chemistry 62 : 415-424. Mountney GJ, Parkhurs CR. 1995. Poultry Products Technology. 3rd Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York. Nawar WW. 1996. Lipids. In Food Chemistry. 3rd Ed. Fennema OR (Editor). Marcel Dekker, Inc. New York. Niki E, Noguchi N, Tsuchhashi H, Gotoh N. 1995. Interaction among vitamin C, vitamin E and beta-Caroten. Am J Clin Nutr 62 Supl 6 : 1322 – 1326. Ockerman HW. 1999. Chemistry of Meat Tissue. Departement of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center. Ozturk M. 2008. Ethnoecology of poisonous plants of turkey and northern Cyprus. Padayatty SJ et al. 2003. Review Vitamin C as an Antioxidant: Evaluation of Its Role in Disease Prevention. Journal of the American College of Nutrition, 22 : 18–35. Pak. J. Bot., 40 : 1359-1386. Panovskai TK, Kulevanova S, Stefova M. 2005. In vitro antioxidant activity of some Teucrium species Lamiaceae). Acta Pharm. 55: 207–214. Patterson PH. 2002. Hen house ammonia: environmental consequences and dietary strategies. Multi-State Poultry Meeting. Department of Poultry Science, Penn State University. 30 Desember 2005. Pazos M, Gallardo JM, Torres Jl, Medina I, 2005, Activity of grafe polyphenols as inhibitor of the oxidation of fish lipids and frozen fish muscle. Food Chem., 92:547-557. Pegg RB, Shahidi F. 2007. Off flavors and rancidity in foods. In Handbook of Meat, Poultry and Seafood Quality. Nollet LML (Editor). Blackwell Publishing. Iowa. Pereira, D.M., et al. 2009. Phenolics: from chemistry to biology. Moleculs. ISSN 1420-3049. Editorial. www.mdpi.com/journal/moleculs. Published: 17 Juni 2009. Pietta PG. 2000. Flavonoids as antioxidant. Reviews. Journal of Natural Products 63 : 1035-1042. Pisulewski PM. 2005. Nutritional potential for improving meat quality in poultry. Anim. Sci. Pap. and Rep. 23 : 303-315. Prior RL. 2003. Fruits and vegetables in the prevention of cellular oxidative damage. Am. J. Clin. Nutr. Supl. 78: 570–578.
107 Rababah T et al. 2006. Thiobarbituric acid reactive substances and volatile compounds in chicken breast meat infused with plant extracts and subjected to electron beam irradiation. Poult. Sci. 85: 1107-1113. Randa SY. 2007. Bau daging dan perporma itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam pakan. Sekolah Pascasarjana. IPB. Disertasi. Retailleau B. 1999. Comparison of the growth and body composition of 3 types of ducks: Pekin, Muscovy and Mule. Proceedings of 1st Worlds Waterfowl Conference. Taiwan-China. pp 597-602. Ribeiro B, Valenta˜o P, Baptista P, Seabra RM, Andrade PB. 2007. Phenolic compounds, organic acids profiles and antioxidative properties of beefsteak fungus (Fistulina hepatica). Food and Chem. Tox. 45: 1805–1813. Ricardo KFS et al. 2001. Effect of Flavonoids Morin; Quercetin and Nicotinic Acid on Lipid Metabolism of Rats Experimentally Fed with Triton. Braz. Arch. Biol. and Tech. 44 : 263 – 267. Russell EA, Lynch A, Galvin K, Lynch PB, Kerry JP. 2003. Quality of raw, frozen and cooked duck meat as affected by dietary fat and tocopheryl acetate supplementation. Int J. Poult. Sci. 2 : 324-334. Sarwono J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggukan SPSS. CV Andi Offset, Yogyakarta. Savatović SM et al. 2008. Antioxidant and antiproliferative activity of granny smith apple pomace. BIBLID: 1450-7188 : 201-212. APTEFF, 39, 1-212 (2008) DOI: 0.2298/APT0839201S. Scalbert A, Johnson IT, Saltmarsh M. 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond. Am. J. Clin. Nutr. Supl. 81: 215–217. Scalbert A, Williamson G. 2000. Dietary intake and bioavailability of polyphenols. J. Nutr. 130 : 2073S-2085S. Schewe T, Sies H. 2003. Flavonoids as protectants against prooxidant enzyme. http://www.uni-duesseldorf.de/WWW/MedFak/PhysiolChem/index.html. 18 September 2008. Shahidi F, Pegg RB. 1994. Hexanal as an Indicator of the Flavor Deterioration of Meat and Meat Product in Lipids in Food Flavors. C.T. Ho and T.G. Hartman (Eds). American Chemical Society, Washington, D.C. Shahidi F. 1994. Flavor of meat and meat products-an overview. In: Flavor of Meat and Meat Products. Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall. Great Britain.
108 Shahidi F. 1998. Assessment of lipid oxidation and off-flavoor development in meat, meat products and seafoods. In: Flavor of Meat, Meat Products and Seafoods. Shahidi, F. (Editor). 2nd Ed. Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall. London. Simić A, Manojlović D, Šegan D, Todorović M. 2007. Electrochemical Behavior and Antioxidant and Prooxidant Activity of Natural Phenolics. Molecules 12: 2327-2340. Sinaga K. 2006. Efektifitas tepung daun kalinadra (calliandra calothyrsus) atau daun singkong (manihot utilissima) dalam meningkatkan kepekatan warna kuning telur itik cirebon. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Soedibyo BRAM. 1998. Beluntas (Pluchea indica L). Di dalam : Alam Sumber Kesehatan, Balai Pustaka. Jakarta. Soekarto ST, Hubeis, M. 1993. Metodologi Penelitian Organoleptik. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Spanier AM, Boylston TD. 1994. Effect of temperature on the analysis of beef flavor volatiles: Focus of carbonyl and sulfur-containing compounds. Food Chem. 50: 251-259. Spencer JPE et al. 1999. The small intestine can absorb and glucoronidate luminal flavonoids. FEBS Letters 458: 224-230. Spencer JPE. 2003. Metabolism of tea in the gastrointestinal tract. J. Nutr. 133: 3255S-3261S. Stadelman WJ, Olson VN, Shemwell GA, Pasch S. 1988. Egg and Poultry Meat Processing. Ellis Horwood Ltd. VCH, Chichester, England. Surai PF, Sparks NHC. 2000. Tissue-specific fatty acid and -tocopherol profiles in male chickens depending on dietary tuna oil and vitamin E provision. Poult. Sci. 79:1132-1142. Surai PF. 2003. Natural Antioxidants in Avian Nutrition and Reproduction. Nottingham University Press. England. Suttie JW. 1972. Introduction to Biochemstry. Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York. Syamsuhidayat SS, Hutapea JR, 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian da Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
109 Tang L, Zhang Y, Qian Z, Shen X. 2000. The mechanism of Fe2+-initiated lipid peroxidation in liposomes : the dual function of ferrous ions, the roles of the pre-existing lipid peroxides and the lipid peroxyl radical. Biochem. J. 352: 2736. Tokur B, Korkmaz K, Ayas D. 2006. Comparison of Two Thiobarbituric Acid (TBA) Method for Monitoring Lipid Oxidtion in Fish, EU J. Fish. and Aqu. Sci. 23:331-334. Traithip, A. 2005. Phytochemistry and antioxidant activity of Pluchea indica. Thesis. Mahidol University. Van Valkenburg JLCH, Bunyapraphatsara N. 2001. Plant Resources of SouthEast Asia No. 12(2). Medical & Poisonous Plant 2. Backhuys Publisher, Leiden. Wang DY, Zhu YZ, Xu WM. 2009. Composition of intramuscular phospholipids and free fatty acids in three kinds of traditional Chinese duck meat products. Poult. Sci. 88:221–226. doi:10.3382/ps.2008-00205. Widyawati PS. 2004, Aktivitas Antioksidan Tanaman Herba Kemangi (Ocimum Basicillum Linn) dan Beluntas (Pluchea Indica Less) dalam Sistem Model Asam Linoleat- -Karoten, Laporan Penelitian Wima Grant, Unika Widya Mandala Surabaya. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Witak B. 2007. Tissue composition of carcass, meat quality and fatty acid content of ducks of a commercial breeding line at different age. Arch. Tierz., Dummerstorf 51 : 266-275. Wood JD et al. 2004. Effects of fatty acids on meat quality: a review. Meat Sci. 66: 21-32. Wu CM, Liou SE. 1992. Volatile component of water-boiled duck meat and Cantonese style roasted duck. J. Agric. Food Chem. 40 : 838-841. Yoon JH, Lee MS, Kang JH. 2010. Reaction of ferritin with hydrogen peroxide induces lipid peroxidation. BMB reports : 219-224. Young KH, Kim O-H, Sung M-K. 2003. Effects of phenol-depleted and phenolrich diets on blood markers of oxidative stress, and urinary excretion of quercetin and kaempferol in healthy volunteers. J. Am. Col. Nutr. 22 : 217– 223. Zhang D, Hamauzu Y. 2003. Phenolic compounds, ascorbic acid, carotenoids and antioxidant properties of green, red and yellow bell peppers. http://www.aseanfood.info/Articles/11019980.pdf. 13 April 2010.
110 Zieli ska M, Kostrzewa A, Ignatowicz E, Budzianowski J. 2001. The flavonoids, quercetin and isorhamnetin 3-0-acylglucosides diminish neutrophil oxidative metabolism and lipid peroxidation. Acta Biochimica Polonica 48 : 183-189.
111 Lampiran 1 Prosedur pembuatan tepung daun beluntas
Bagian beluntas yang digunakan
Daun beluntas yang digunakan
Pelayuan daun beluntas
Pengemasan tepung daun beluntas selama penyimpanan
Tepung daun beluntas siap digunakan
Beluntas hasil pengeringan dengan oven
112 Lampiran 2 Contoh kuisioner seleksi panelis KUISIONER SELEKSI PANELIS UNTUK PANEL FLAVOR (ODOR) I. IDENTITAS: Nama : …………………………………………………………………. Jenis kelamin : ………………………………………………………………… Umur : …………………………………………………………………. Alamat di Bogor : ………………………………………………………………… Telp, / HP : ………………………………………………………………… .………………………………………………………………… E-mail : ………………………………………………………………… Berilah tanda silang (x) pada pernyataan-pernataan berikut: 1. Apakah anda pernah menjadi panelis dalam suatu penelitian organoleptik? a. Belum pernah b. Pernah satu kali c. Pernah dua kali d. Pernah …,, kali 2. Bagaimana menurut anda menjadi seorang panelis? a. Biasa-biasa saja b. Menyenangkan c. Membosankan 3. Pernahkan pada satu tahun terakhir ini anda mengalami gangguan kesehatan (sakit asma, paru-paru) ? a. Pernah satu kali b. Pernah dua kali c. Pernah … kali 4. Gangguan kesehatan ringan apa yang sering anda alami? a. tidak ada b. sakit kepala c. mudah terserang flu d. sinusitis e. alergi makanan f. ……………………, 5. Apakah dalam sebulan terakhir ini Anda sedang memakai/minum obat yang dapat mempengaruhi sensori anda, seperti rasa dan membaui? a. ya b. tidak 6. Apakah saat ini anda sedang menjalankan program diet? a. ya b. tidak 7. Apakah ada makanan (halal) yang tidak boleh Anda makan? a. ya , sebutkan ................................................................................................... b tidak 8. Makanan seperti apa yang anda paling tidak sukai? ……………………………………………………,, 9. Adakah jenis bau yang dapat menyebabkan perasaan anda sangat tidak menyenangkan, sebutkan! ………………………………………………………………………………..
113 Lanjutan 10. Apakah anda memiliki kemampuan membedakan rasa dan bau, yang: RASA BAU * Lebih baik dari rata-rata orang …….. …….. * Rata-rata (sedang) …….. …….. * Lebih buruk dari rata-rata …….. …….. 11. Jenis makanan apa saja yang anda kenal mempunyai rasa,bau anyir (amis)? …………………………………...........................................................................… 12. Apakah berbeda antara bau amis dan tengik? ……….................................... ............................................................................................................................. 13. Apakah ada perbedaan antara bau dan rasa daging ayam dan itik (bebek)? ………........................................................................................................................ 14. Bau seperti apa saja yang memberi kesan bersih dan segar? …………........... .............................................................................................................................. 15. Seperti apa bau daging mentah dapat disamakan? …………………………. II, KESEDIAAN MENJADI PANELIS: 1, Apakah anda bersedia menjadi panelis? a. ya b. tidak 2, Bila ya, a, Pada hari kerja mana saja (Senin – Jumat) anda memiliki waktu untuk bertugas sebagai panelis?.........................................................................................…………… b, Anda lebih memilih bekerja pada pagi (09.00–11.00) atau siang hari (13.00– 15.00) ………………………………………… Terima kasih atas jawaban pernyataan-pernyataan anda
114 Lampiran 3 Format uji segitiga N U UJI SEGITIGA T
No. Panelis Nama Panelis Jenis Contoh
P
Petunjuk: 1. Bukalah salah satu tutup botol bahan contoh yang akan diuji 2. Tempatkan pemukaan botol pada jarak 0,5 1 cm dari hidung; kemudian bauilah. 3. Pengujian dimulai dari botol yang paling kiri ke kanan. 4. Nyatakanlah salah satu dari tiga botol yang berisi bahan uji yang paling X Apabila perbedaan tidak dapat diketahui dengan jelas, nyatakanlah dengan cara menduga/menebak. 5. Istirahat satu-dua menit 6. Dengan prosedur yang sama, lakukan pengujian bahan uji berikutnya. No. Pengujian 653
Kode Sampel 425
674
1 988
431
788
499
984
585
191
393
698
2
3 4
Komentar/ Catatan:
Terima Kasih!
115 Lampiran 4 Contoh format uji perbandingan pasangan UJI PERBANDINGAN PASANGAN Nama : ………………………………………………… Tlp/HP :………………………………………………… Tanggal pengujian : …………………………… Jenis sampel : Kulit paha itik mentah Instruksi : Pada setiap nomor dibawah ini tertera kode sampel yang disusun berpasangan, Baui setiap sampel dari kiri ke kanan, sesuai yang tertera pada setiap nomor, kemudian beri tanda : “>” jika sampel di sebelah kiri pada setiap nomor lebih amis daripada sampel di sebelah kanan, dan “<” jika sampel di sebelah kiri kurang amis daripada sampel di sebelah kanan, Istirahatlah 15 detik setiap anda selesai membaui setiap pasangan
1
2
3
4
128
133
226
759
355
488
833
854
116 Lampiran 5 Format uji hedonik UJI HEDONIK* Nama
: …………………………………………,
Tanggal uji : …………………………………………, Intruksi
:
1. Ambil satu sampel yang telah disediakan, lalu baui dan beri tanda ( √ ) pada kolom yang telah disediakan sesuai penilaian anda, 2. Istirahat satu menit 3. Ambil sampel berikutnya, lakukan seperti pada petunjuk 1, lalu petunjuk 2 sampai semua sampel habis (diuji), Kode sampel
Sangat tidak suka
Tidak suka
Kurang suka
102 121 143 125 166 174 * Untuk panelis terlatih dan umum
Netral
Agak suka
Suka
Sangat suka
117 Lampiran 6 Contoh format uji skalar
UJI SKALAR Nama :…………………………………………………………………… Tlp/HP :………………………………………………… Tanggal pengujian : ........................................................... Jenis sampel : Daging itik dengan kulit Instruksi : Catat kode sampel yang ada dihadapan anda pada kotak kode contoh, Buka tutup plastik/botol sampel, Bauilah sampel dengan jarak sekitar 1 cm dari hidung anda, Kemudian berilah tanda “x” pada garis dibawah ini sesuai respon yang diberikan setelah anda membaui sampel yang disajikan, Kode contoh:
tidak amis
sangat amis
tidak amis
sangat amis
tidak amis
sangat amis
tidak amis
sangat amis
118 Lampiran 7 Bahan kimia, alat, dan prosedur yang digunakan untuk analisis asam lemak A.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis asam lemak yaitu: No 1 2 3
4 5 6 7
8
9
B.
Bahan Kimia Kloroform-Metanol
Fungsi Pelarut/pereaksi untuk mengekstrak lemak dari sampel NaCl 0,88% dalam Memisahkan lemak dengan komponen aquades lain, seperti protein Gas N2 Menguapkan pelarut dan membuat kondisi kedap udara/menghilangkan oksigen yang ada dalam sampel pada tabung reaksi Na2SO4 anhidrous Membantu menyerap air yang mungkin masih ada bersama fase pelarut n-Heksana Pelarut sebagai fase volatile/fase diam pada analisis menggunakan GC NaOH-Metanol Memutuskan asam lemak dari ikatan ester gliserida Standar Internal Asam Standar yang digunakan untuk Margarat (C17:0) menghitung RF (retention factor) dalam mengidentifikasi dan menghitung jumlah asam lemak menggunakan gas chromatography BF3-Metanol Katalis untuk mempercepat proses transmetilasi (penggantian gugus hidrogen dari asam lemak dengan gugus metil dari metanol) NaCl Jenuh memecah emulsi menjadi fase volatil (heksana) dan fase cair
Alat yang digunakan untuk analisis asam lemak yaitu: No 1 2
Alat Waring Blender Magnetic Stirer
3
Vorteks
4 5
Pemanas/Water Bath Peralatan gelas: Tabung reaksi, Erlenmeyer, Pipet Kertas saring Gas Chromatograhy Mengidentifikasi jenis dan jumlah asam lemak pada suatu bahan/sample
6 7
Fungsi Menghancurkan sampel Mengekstrak lemak dengan metode shaker atau maserasi Mengaduk/menghomogenkan suatu larutan atau campuran
119 Lanjutan C.
Ekstraksi Lemak Metode Folch (Folch et al., 1956) Sampel dihaluskan dengan blender
Ditimbang 3-4 g Dimasukan ke dalam erlenmeyer + (8-10 g) Standar Internal C17 + 30 ml klorofom methanol Diekstrak dengan magnetic stirrer/shaker 1-2 jam Disaring Filtrat (dalam tabung reaksi) + 20 ml klorofom methanol Diekstrak ulang 1 jam Disaring Filtrat (dalam tabung reaksi) + 4 ml NaCl 0.88% Dikocok, biarkan sampai terbentuk 2 lapisan
Lapisan bawah (Larutan A= lemak) Disaring
Lapisan atas Larutan B, pipet
Dibuang
Na2SO4 anhidrous pada kertas saring
Uapkan pelarut lemak dengan gas N2 sampai bobotnya tetap
Ekstrak Lemak
120 Lanjutan D.
Metilasi (IUPAC, 1987) Lemak diekstrak dalam tabung reaksi + 1 ml n-heksana + 1.5 ml larutan NaOH 0.5 N dalam metanol Divorteks, dihembus headspace tabung reaksi dengan N2 Dipanaskan dalam air panas 80oC, 5 menit
Dinginkan dalam air + 2 ml campuran BF3 dalam metanol Divorteks, dihembus headspace tabung reaksi dengan N2
Dipanaskan dalam air panas 80oC, 25 menit
Didinginkan + 1,5 ml n-heksana Divorteks + 3 ml NaCl jenuh Divorkteks
Didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan Lapisan atas dipipet
Dimasukkan ke dalam vial yang telah diberi Na2SO4 anhidrous Dipekatkan dengan ditiup gas N2 Siap disuntikan ke GC
121 Lanjutan E.
Prosedur identifikasi komposisi asam lemak Sampel
Diinjeksi dengan teknik splitless, volume 1 µl Suhu awal 120oC, dipertahankan selama 6 menit Suhu dinaikan dengan laju kenaikan suhu 3oC/menit Suhu akhir 230oC, dipertahankan selama 20 menit Disuntikkan standar ester metil asam lemak pada kondisi yang sama
122 Lampiran 8 Prosedur analisis nilai TBARS 10 g sampel + 50 ml aquades Dihancurkan selama 2 menit Dipindahkan ke labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml akuades + 2,5 ml HCl sampai pH 1,5 Batu didih dimasukkan, dipasang ke destilator, menggunakan electric mantle heater
Didestilasi 10 menit dengan kecepatan tinggi, sampai didapat destilat 50 ml.
Destilat diaduk rata, diambil 5 ml Dimasukkan ke tabung reaksi berpenutup + 5 ml perekasi TBA
Dibuat larutan blanko: 5ml aquades + 5 ml pereaksi TBA
Tabung ditutup, dicampur rata, dipanaskan dalam air menididih 35 menit Didinginkan selama 10 menit Absorbansi (D) dibaca dengan spektrofotometer, Z 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol
TBA=7,2D (mg/100 Kg sampel)
123 Lampiran 9 Sidik ragam konsumsi pakan itik jantan muda (4-10 minggu) Dependent Variable:Kons.Pakan Source Model Perlakuan Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 4,084E8 25943,975 25787,659 82879,415 4,085E8
df 9 2 6 11 20
Mean Square 4,538E7 12971,988 4297,943 7534,492
a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
Perlakuan
Subset 1 a,b,c Duncan B1 7 4473,0843 B0 6 4525,1283 B2 7 4558,9900 Sig. ,113 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7534,492. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,632. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c. Alpha = 0,05. N
F 6023,212 1,722 ,570
Sig. ,000 ,224 ,746
124 Lampiran 10 Sidik ragam PBB itik jantan muda akibat level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:PBB Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 1,115E7 9 1239294,612 Perlakuan 6538,420 2 3269,210 Ulangan 13193,866 6 2198,978 Error 78039,280 11 7094,480 Total 1,123E7 20 a. R Squared = ,993 (Adjusted R Squared = ,987) PBB Perlakuan
Subset 1 a,b,c Duncan B2 7 724,714 B1 7 742,157 B0 6 775,500 Sig. ,318 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7094,480. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,632. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c. Alpha = 0,05. N
F 174,684 ,461 ,310
Sig. ,000 ,642 ,919
125 Lampiran 11 Sidik ragam karkas, dada, paha itik jantan muda akibat level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Karkas Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Pkarkas Source Type III Sum of Mean Squares Df Square F a Model 64815,943 8 8101,993 4328,874 Ulangan 29,895 5 5,979 3,195 Perlakuan 4,047 2 2,024 1,081 Error 18,716 10 1,872 Total 64834,659 18 a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
Sig. ,000 ,056 ,376
Pkarkas Perlakuan
Subset 1 a,b Duncan B0 6 59,6100 B1 6 59,7050 B2 6 60,6600 Sig. ,233 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,872. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = 0,05. N
Dada Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:P.dada Source Type III Sum of Mean Squares df Square F a Model 10872,940 8 1359,118 478,253 Perlakuan 2,262 2 1,131 ,398 Ulangan 12,702 5 2,540 ,894 Error 28,418 10 2,842 Total 10901,359 18 a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,995) P.dada Perlakuan N a,b
Duncan
B2 6 B1 6 B0 6 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2,842. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = 0,05.
Subset 1 24,0933 24,6367 24,9517 ,420
Sig. ,000 ,682 ,520
126 Lanjutan Paha Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Ppaha Source Type III Sum of Mean Squares df Square F a Model 11431,204 8 1428,900 1211,920 Perlakuan 5,289 2 2,644 2,243 Ulangan 12,325 5 2,465 2,091 Error 11,790 10 1,179 Total 11442,994 18 a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998) Ppaha Perlakuan N a,b
Duncan
B1 6 B0 6 B2 6 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,179. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = 0,05.
Subset 1 24,4367 25,3950 25,7117 ,080
Sig. ,000 ,157 ,150
127 Lampiran 12 Analisis Kruskal Wallis dan uji banding rataan ranking tingkat kesukaan konsumen terhadap bau daging dan kulit paha mentah itik betina tua 1.
Hedonik daging paha mentah tanpa kulit vs base line, Kontrol, K7-1, K7-2 Base Line (1) 3.87
Rataan
Kontrol (2) 4.11
K.7.1 (3) 4.26
K7.2. (4) 3.83
Sd
1.54
1.62
1.57
1.52
%KV
39.71
39.46
36.73
39.84
1
5
4
3
3
2
22
19
17
27
3
12
17
12
15
4
24
12
20
13
5
24
28
23
30
6
14
19
25
15
7
2
4
3
0
Median 4.000 4.000 4.000 4.000 412
Ave Rank 194.8 213.6 224.9 192.7
MODUS
PERLAKUAN_1 1 2 3 4 Overall
N 103 103 103 103
Z -1.15 0.70 1.81 -1.36 206.5
H = 5.20 DF = 3 P = 0.158 H = 5.41 DF = 3 P = 0.144 (adjusted for ties)
2. Hedonik kulit paha mentah vs Base Line, Kontrol, K7-1, K7-2 Base Line (1)
Kontrol (2)
K.7.1 (3)
K7.2. (4)
Rataan
3.59
3.75
4.17
4.10
Sd
1.58
1.50
1.53
1.46
%KV
44.00
40.02
36.66
35.60
1
9
4
3
2
2
24
21
13
14
3
13
22
20
22
4
27
26
24
24
5
16
12
19
19
6
12
16
20
19
7
2
2
5
3
Modus
128 Lanjutan PERLAKUAN_2 1 2 3 4 Overall
N 103 103 103 103 412
Median 4.000 4.000 4.000 4.000
Ave Rank 184.4 194.0 226.6 221.0 206.5
Z -2.18 -1.23 1.98 1.43
H = 9.15 DF = 3 P = 0.027 H = 9.48 DF = 3 P = 0.024 (adjusted for ties) 2 H > X 0.05 = 9.48 > 9.488 = berbeda
Uji Multiple Comparison of Means Ranks : Hi – Hj > Z [K(N+1)/6]0.5 = [4(103+1)/6] 0.5 =20.40 1 – 2 < 20.40= 184.4–194.0 < 20.40 = 9.6 < 20.40 1 – 3 > 20.40= 184.4–226.6 > 20.40 = 42.2 > 20.40 1 – 4 > 20.40= 184.4–221.0 > 20.40 = 36.6 > 20.40 2 – 3 > 20.40= 194.0–226.6 > 20.40 = 32.6 > 20.40 2 – 4 > 20.40= 194.0–221.0 > 20.40 = 27 > 20.40 3 – 4 < 20.40= 226.6–221.0 < 20.40 = 5.6 < 20.40 a
BASE LINE
KONTROLa
K7-1b
K7-2b
129 Lampiran 13 Sidik ragam pertambahan bobot badan itik akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Sumber Keragaman
db
JK
Lama pemberian Level beluntas Interaksi Eror Total
2 2 4 18 26
73038 3187 1250 48766 126241
KT
F
36519 1594 313 2709
UJI ASUMSI Test for Equal Variances Response PBB Factors UMUR %BELUNTAS ConfLvl 95.0000 Bonferroni confidence intervals for standard deviations Lower 10.5006 7.0232 8.3284 15.9770 32.0544 14.6422 29.0985 32.9352 22.0203
Sigma 25.4759 17.0392 20.2057 38.7624 77.7682 35.5238 70.5968 79.9050 53.4242
Upper 483.04 323.07 383.11 734.95 1474.52 673.55 1338.55 1515.04 1012.95
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Factor 3 3 3 5 5 5 7 7 7
Levels 0 1 2 0 1 2 0 1 2
Bartlett's Test (normal distribution) Test Statistic: 7.739 P-Value : 0.459 Levene's Test (any continuous distribution) Test Statistic: 0.433 P-Value : 0.886 Test for Equal Variances: PBB vs UMUR-%BELUNTAS Two-way ANOVA: PBB versus UMUR, %BELUNTAS Analysis of Variance for PBB Source DF SS UMUR 2 73038 %BELUNTA 2 3187 Interaction 4 1250 Error 18 48766 Total 26 126241 Normplot of Residuals for PBB Residuals vs Fits for PBB
MS 36519 1594 313 2709
F 13.48 0.59 0.12
P 0.000 0.566 0.975
P 13,48 0,59 0,12
0,000 0,566 0,975
130 Lanjutan General Linear Model: PBB versus UMUR, %BELUNTAS Factor UMUR %BELUNTA
Type Levels Values fixed 3 3 5 7 fixed 3 0 1 2
Analysis of Variance for PBB, using Adjusted SS for Tests Source UMUR %BELUNTA UMUR*%BELUNTA Error Total
DF 2 2 4 18 26
Seq SS 73038 3187 1250 48766 126241
Adj SS 73038 3187 1250 48766
Adj MS 36519 1594 313 2709
F 13.48 0.59 0.12
P 0.000 0.566 0.975
Unusual Observations for PBB Obs 15 17
PBB 206.000 281.340
Fit 119.417 189.197
SE Fit 30.051 30.051
Residual 86.583 92.143
St Resid 2.04R 2.17R
R denotes an observation with a large standardized residual. General Linear Model: PBB versus UMUR Factor UMUR
Type Levels Values fixed 3 3 5 7
Analysis of Variance for PBB, using Adjusted SS for Tests Source UMUR Error Total
DF 2 24 26
Seq SS 73038 53203 126241
Adj SS 73038 53203
Adj MS 36519 2217
F 16.47
P 0.000
Unusual Observations for PBB Obs 9
PBB 297.340
Fit 196.187
SE Fit 15.694
Residual 101.153
St Resid 2.28R
R denotes an observation with a large standardized residual. Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable PBB All Pairwise Comparisons among Levels of UMUR UMUR = 3 subtracted from: UMUR 5 7 )
Lower 1.405 71.758
Center 56.81 127.16
Upper 112.2 182.6
----------+---------+---------+-----(----------*----------) (----------*--------------------+---------+---------+-----50 100 150
UMUR = 5 subtracted from: UMUR 7
Lower 14.95
Center 70.35
Upper 125.8
----------+---------+---------+-----(----------*----------) ----------+---------+---------+-----50 100 150
131 Lanjutan Tukey Simultaneous Tests Response Variable PBB All Pairwise Comparisons among Levels of UMUR UMUR = 3 subtracted from: Level UMUR 5 7
Difference of Means 56.81 127.16
SE of Difference 22.20 22.20
T-Value 2.559 5.729
Adjusted P-Value 0.0438 0.0000
T-Value 3.170
Adjusted P-Value 0.0111
UMUR = 5 subtracted from: Level UMUR 7
Difference of Means 70.35
SE of Difference 22.20
Tabulated Statistics: %BELUNTAS, UMUR Rows: %BELUNTA Columns: UMUR 3 5 7 All 0
80.42 241.25 25.48 3
133.08 399.25 38.76 3
223.28 669.84 70.60 3
145.59 1310.34 75.49 9
1
64.58 193.75 17.04 3 62.08 186.25 20.21 3
119.42 358.25 77.77 3 125.00 375.00 35.52 3
189.20 567.59 79.91 3 176.08 528.25 53.42 3
124.40 1119.59 78.14 9 121.06 1089.50 59.80 9
69.03 621.25 20.27 9
125.83 1132.50 47.31 9
196.19 1765.68 63.25 9
130.35 3519.43 69.68 27
2
All
132 Lampiran 14 Sidik ragam lemak abdomen itik betina tua akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Sumber Keragaman
Db
JK
Lama pemberian Level beluntas Interaksi Eror Total
2 2 4 18 26
0,95979 0,07782 0,03851 1,04510 2,12123
KT
F
0,47990 0,03891 0,00963 0,05806
P 8,27 0,67 0,17
UJI ASUMSI Test for Equal Variances Response LA Factors UMUR %BELUNTAS ConfLvl 95.0000 Bonferroni confidence intervals for standard deviations Lower 0.045215 0.106078 0.046875 0.148060 0.639555 0.435664 0.496900 0.361881 0.124134
Sigma
Upper
N
0.10970 0.25736 0.11372 0.35921 1.55164 1.05698 1.20554 0.87797 0.30116
2.0799 4.8796 2.1563 6.8108 29.4199 20.0408 22.8577 16.6468 5.7102
3 3 3 3 3 3 3 3 3
Factor Levels 3 3 3 5 5 5 7 7 7
0 1 2 0 1 2 0 1 2
Bartlett's Test (normal distribution) Test Statistic: 19.014 P-Value : 0.015 Levene's Test (any continuous distribution) Test Statistic: 1.137 P-Value : 0.386 Test for Equal Variances: LA vs UMUR-%BELUNTAS
General Linear Model: TRANSFORM versus UMUR, %BELUNTAS Factor Type Levels Values UMUR fixed 3 3 5 7 %BELUNTA fixed 3 0 1 2 Analysis of Variance for TRANSFOR, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P UMUR 2 0.95979 0.95979 0.47990 8.27 0.003 %BELUNTA 2 0.07782 0.07782 0.03891 0.67 0.524 UMUR*%BELUNTA 4 0.03851 0.03851 0.00963 0.17 0.953 Error 18 1.04510 1.04510 0.05806 Total 26 2.12123 Unusual Observations for TRANSFOR Obs 15
TRANSFOR 2.11424
Fit 1.60940
SE Fit 0.13912
Residual 0.50483
St Resid 2.57R
R denotes an observation with a large standardized residual.
0,003 0,524 0,953
133 Lanjutan General Linear Model: TRANSFORM versus UMUR Factor UMUR
Type Levels Values fixed 3 3 5 7
Analysis of Variance for TRANSFOR, using Adjusted SS for Tests Source UMUR Error Total
DF 2 24 26
Seq SS 0.95979 1.16144 2.12123
Adj SS 0.95979 1.16144
Adj MS 0.47990 0.04839
F 9.92
P 0.001
Unusual Observations for TRANSFOR Obs 15
TRANSFOR 2.11424
Fit 1.57100
SE Fit 0.07333
Residual 0.54324
St Resid 2.62R
R denotes an observation with a large standardized residual. Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable TRANSFOR All Pairwise Comparisons among Levels of UMUR UMUR = 3 subtracted from: UMUR 5 7
Lower -0.02215 0.20293
Center 0.2367 0.4618
Upper 0.4955 0.7206
--+---------+---------+---------+---(---------*----------) (---------*----------) --+---------+---------+---------+---0.00 0.25 0.50 0.75
Upper 0.4839
--+---------+---------+---------+---(---------*---------) --+---------+---------+---------+---0.00 0.25 0.50 0.75
UMUR = 5 subtracted from: UMUR 7
Lower -0.03377
Center 0.2251
Tukey Simultaneous Tests Response Variable TRANSFOR All Pairwise Comparisons among Levels of UMUR UMUR = 3 subtracted from: Level UMUR 5 7
Difference of Means 0.2367 0.4618
SE of Difference 0.1037 0.1037
T-Value 2.283 4.453
Adjusted P-Value 0.0778 0.0005
T-Value 2.170
Adjusted P-Value 0.0970
UMUR = 5 subtracted from: Level UMUR 7
Difference of Means 0.2251
SE of Difference 0.1037
134 Lanjutan Tabulated Statistics: %BELUNTAS, UMUR Rows: %BELUNTA 3
Columns: UMUR 5 7
All
0
1.4933 4.4800 0.1097 3
2.2967 6.8900 0.3592 3
3.2667 9.8000 1.2055 3
2.3522 21.1700 0.9950 9
1
2.1633 6.4900 0.2574 3
2.7300 8.1900 1.5516 3
3.3967 10.1900 0.8780 3
2.7633 24.8700 1.0474 9
2
1.7233 5.1700 0.1137 3
2.6000 7.8000 1.0570 3
3.1400 9.4200 0.3012 3
2.4878 22.3900 0.8298 9
1.7933 16.1400 0.3312 9
2.5422 22.8800 0.9750 9
3.2678 29.4100 0.7688 9
2.5344 68.4300 0.9404 27
All
135 Lampiran 15 Sidik ragam karkas, dada dan paha itik betina tua akibat lama dan level pemberian beluntas dalam pakan yang berbeda Karkas Sumber Keragaman
db
Lama pemberian Level beluntas Interaksi Eror Total
2 2 4 18 26
JK
KT
25,97 5,78 6,84 100,46 139,04
12,99 2,89 1,71 5,58
F 2,33 0,52 0,31
UJI ASUMSI Test for Equal Variances Response Factors ConfLvl
KARKAS UMUR %BELUNTAS 95.0000
Bonferroni confidence intervals for standard deviations Lower 0.42985 0.29323 1.06104 1.08845 0.94727 1.19951 1.26198 0.60385 1.28785
Sigma 1.04288 0.71141 2.57422 2.64073 2.29820 2.91017 3.06174 1.46503 3.12449
Upper 19.7735 13.4886 48.8085 50.0694 43.5750 55.1783 58.0520 27.7776 59.2418
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Factor 3 3 3 5 5 5 7 7 7
Levels 0 1 2 0 1 2 0 1 2
Bartlett's Test (normal distribution) Test Statistic: 5.327 P-Value : 0.722 Levene's Test (any continuous distribution) Test Statistic: 0.237 P-Value : 0.978 Test for Equal Variances: KARKAS vs UMUR-%BELUNTAS Two-way ANOVA: KARKAS versus UMUR, %BELUNTAS Analysis of Variance for KARKAS Source DF SS MS UMUR 2 25.97 12.99 %BELUNTA 2 5.78 2.89 Interaction 4 6.84 1.71 Error 18 100.46 5.58 Total 26 139.04 Normplot of Residuals for KARKAS Residuals vs Fits for KARKAS
F 2.33 0.52 0.31
P 0.126 0.605 0.870
P 0,126 0,605 0,870
136 Lanjutan General Linear Model: KARKAS versus UMUR, %BELUNTAS Factor UMUR %BELUNTA
Type Levels Values fixed 3 3 5 7 fixed 3 0 1 2
Analysis of Variance for KARKAS, using Adjusted SS for Tests Source DF UMUR 2 %BELUNTA 2 UMUR*%BELUNTA 4 Error 18 Total 26
Seq SS 25.970 5.778 6.835 100.455 139.039
Adj SS 25.970 5.778 6.835 100.455
Adj MS 12.985 2.889 1.709 5.581
F 2.33 0.52 0.31
P 0.126 0.605 0.870
Tabulated Statistics: %BELUNTAS, UMUR Rows: %BELUNTA 3
Columns: UMUR 5 7
All
0
59.190 177.570 1.043 3
60.313 180.940 2.641 3
62.203 186.610 3.062 3
60.569 545.120 2.469 9
1
59.490 178.470 0.711 3
58.803 176.410 2.298 3
60.050 180.150 1.465 3
59.448 535.030 1.509 9
2
58.923 176.770 2.574 3
58.890 176.670 2.910 3
61.783 185.350 3.124 3
59.866 538.790 2.878 9
All
59.201 532.810 1.454 9
59.336 534.020 2.392 9
61.346 59.961 552.110 1618.940 2.510 2.312 9 27
Dada Sumber Keragaman
db
Lama pemberian Level beluntas Interaksi Eror Total
2 2 4 18 26
JK 4,08 0,99 0,34 21,94 27,34
KT
F 2,04 0,50 0,08 1,22
P 1,67 0,41 0,07
0,215 0,672 0,991
137 Lanjutan UJI ASUMSI Test for Equal Variances Response Factors ConfLvl
DADA UMUR %BELUNTAS 95.0000
Bonferroni confidence intervals for standard deviations Lower 0.091457 0.087469 0.554147 0.290374 0.721506 0.521408 0.449842 0.546885 0.402616
Sigma 0.22189 0.21221 1.34443 0.70449 1.75047 1.26500 1.09138 1.32681 0.97680
Upper 4.2071 4.0236 25.4911 13.3574 33.1897 23.9851 20.6930 25.1570 18.5205
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Factor 3 3 3 5 5 5 7 7 7
Levels 0 1 2 0 1 2 0 1 2
Bartlett's Test (normal distribution) Test Statistic: P-Value :
9.647 0.291
Levene's Test (any continuous distribution)
Test Statistic: 0.604 P-Value : 0.762 Test for Equal Variances: DADA vs UMUR-%BELUNTAS Two-way ANOVA: DADA versus UMUR, %BELUNTAS Analysis of Variance for DADA Source DF SS MS F P UMUR 2 4.08 2.04 1.67 0.215 %BELUNTA 2 0.99 0.50 0.41 0.672 Interaction 4 0.34 0.08 0.07 0.991 Error 18 21.94 1.22 Total 26 27.34 General Linear Model: DADA versus UMUR, %BELUNTAS Factor UMUR %BELUNTA
Type Levels Values fixed 3 3 5 7 fixed 3 0 1 2
Analysis of Variance for DADA, using Adjusted SS for Tests Source UMUR %BELUNTA UMUR*%BELUNTA Error Total
DF 2 2 4 18 26
Seq SS 4.081 0.992 0.335 21.936 27.345
Adj SS 4.081 0.992 0.335 21.936
Adj MS 2.041 0.496 0.084 1.219
F 1.67 0.41 0.07
P 0.215 0.672 0.991
138 Lanjutan Tabulated Statistics: %BELUNTAS, UMUR Rows: %BELUNTA Columns: UMUR 3
5
7
All
0
16.703 50.110 0.222 3
16.870 50.610 0.704 3
17.850 53.550 1.091 3
17.141 154.270 0.850 9
1
16.687 50.060 0.212 3
16.593 49.780 1.750 3
17.503 52.510 1.327 3
16.928 152.350 1.185 9
2
16.430 49.290 1.344 3
16.553 49.660 1.265 3
17.033 51.100 0.977 3
16.672 150.050 1.080 9
16.607 149.460 0.702 9
16.672 150.050 1.146 9
17.462 157.160 1.050 9
16.914 456.670 1.026 27
All
Paha Sumber Keragaman
db
Lama pemberian Level beluntas Interaksi Eror Total
2 2 4 18 26
JK
KT
1,406 0,222 1,336 6,017 8,981
F
0,703 0,111 0,334 0,334
UJI ASUMSI Test for Equal Variances Response Factors ConfLvl
PAHA UMUR %BELUNTAS 95.0000
Bonferroni confidence intervals for standard deviations Lower 0.312722 0.251542 0.308346 0.045402 0.185816 0.237006 0.272485 0.218533 0.200504
Sigma 0.758705 0.610273 0.748086 0.110151 0.450814 0.575007 0.661085 0.530189 0.486450
Upper 14.3854 11.5711 14.1841 2.0885 8.5477 10.9024 12.5345 10.0526 9.2233
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Factor 3 3 3 5 5 5 7 7 7
Levels 0 1 2 0 1 2 0 1 2
P 2,10 0,33 1,00
0,151 0,722 0,434
139 Lanjutan Bartlett's Test (normal distribution) Test Statistic: 4.908 P-Value : 0.767 Levene's Test (any continuous distribution) Test Statistic: 0.331 P-Value : 0.943 Test for Equal Variances: PAHA vs UMUR-%BELUNTAS Two-way ANOVA: PAHA versus UMUR, %BELUNTAS Analysis of Variance for PAHA Source DF SS MS F P UMUR 2 1.406 0.703 2.10 0.151 %BELUNTA 2 0.222 0.111 0.33 0.722 Interaction 4 1.336 0.334 1.00 0.434 Error 18 6.017 0.334 Total 26 8.981 General Linear Model: PAHA versus UMUR, %BELUNTAS Factor Type Levels Values UMUR fixed 3 3 5 7 %BELUNTA fixed 3 0 1 2 Analysis of Variance for PAHA, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F UMUR 2 1.4061 1.4061 0.7031 2.10 %BELUNTA 2 0.2218 0.2218 0.1109 0.33 UMUR*%BELUNTA 4 1.3361 1.3361 0.3340 1.00 Error 18 6.0169 6.0169 0.3343 Total 26 8.9809
Tabulated Statistics: %BELUNTAS, UMUR Rows: %BELUNTA 3
Columns: UMUR 5 7
All
0
15.847 47.540 0.759 3
16.097 48.290 0.110 3
15.903 47.710 0.661 3
15.949 143.540 0.519 9
1
16.207 48.620 0.610 3
15.477 46.430 0.451 3
15.580 46.740 0.530 3
15.754 141.790 0.576 9
2
16.543 49.630 0.748 3
15.767 47.300 0.575 3
15.523 46.570 0.486 3
15.944 143.500 0.703 9
16.199 145.790 0.684 9
15.780 142.020 0.457 9
15.669 141.020 0.520 9
15.883 428.830 0.588 27
All
P 0.151 0.722 0.434
140 Lampiran 16 Sidik ragam nilai gizi daging itik dengan kulit segar berdasarkan bahan kering akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda Proksimat Kadar Air Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:K.Air Source Type III Sum of Squares df Mean Square F a Model 91019,498 5 18203,900 2433,528 Lama 205,460 2 102,730 13,733 Level 3,437 2 1,718 ,230 Error 164,570 22 7,480 d i m e n s i o n 1
Total
91184,068
27
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,998)
Lama Pemberian Pakan Perlakuan K.Air Lama
Subset N
a,b
Duncan
d i m e n s i o n 1
1 54,2800
2
7M
9
5M
9
58,8189
3M
9
60,8844
Sig.
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7,480. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = 0,05.
Level Pemberian Beluntas K.Air Level
Subset N
a,b
Duncan
2% 1% 0% Sig.
9 9 9
1 57,7333 57,7511 58,4989 ,582
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7,480. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = 0,05.
,123
Sig. ,000 ,000 ,797
141 Lanjutan Proksimat Kadar Protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Protein Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. a Model 33866.842 5 6773.368 300.312 .000 Lama 560.676 2 280.338 12.429 .000 Level 6.787 2 3.394 .150 .861 Error 496.197 22 22.554 Total 34363.039 27 a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .982)
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Protein Subset a,,b
Duncan
Lama 7M
N 9
1 28.8656
2
3M
9
36.8944
5M
9
39.5956
Sig.
1.000 .240
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 22.554. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = .01.
Level Pemberian Beluntas Protein Subset a,,b
Duncan
Level 0% 1% 2% Sig.
N 9 9 9
1 34.5789 34.9900 35.7867 .616
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 22.554. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = .01.
142 Lanjutan Proksimat Kadar Lemak Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Lemak Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 72480,041 5 14496,008 Lama 1863,114 2 931,557 Level 191,907 2 95,954 Error 2746,069 22 124,821 d i m e n s i o n 1
Total
75226,110
F 116,134 7,463 ,769
27
a. R Squared = ,963 (Adjusted R Squared = ,955)
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Lemak Lama
Subset N
a,b
Duncan
d i m e n s i o n 1
3M
9
1 41,9889
5M
9
49,1611
7M
9
Sig.
2
62,0656 ,187
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 124,821. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = ,05.
Level Pemberian Beluntas Lemak Level
Subset N
a,b
Duncan
0% 1% 2% Sig.
9 9 9
1 47,5022 51,8056 53,9078 ,263
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 124,821. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = ,05.
1,000
Sig. ,000 ,003 ,476
143 Lanjutan Proksimat Kadar Abu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Abu Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 76,073 5 15,215 Lama ,298 2 ,149 Level ,039 2 ,020 Error ,711 22 ,032 d i m e n s i o n 1
Total
76,784
F 470,560 4,615 ,611
27
a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,989)
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Abu Lama
Subset N
a,b
Duncan
d i m e n s i o n 1
5M
9
1 1,5944
7M
9
1,6067
3M
9
2
1,8233
Sig.
,887
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,032. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = 0,05.
Level Pemberian Beluntas Abu Level
Subset N
a,b
Duncan
1% 2% 0% Sig.
9 9 9
1 1,6356 1,6622 1,7267 ,321
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,032. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b. Alpha = 0,05.
1,000
Sig. ,000 ,021 ,552
144 Lampiran 17 Sidik ragam intensitas bau amis dan tingkat kesukaan konsumen terhadap daging itik dengan kulit akibat perubahan pakan Intensitas Bau Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skalar Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 465,578 5 93,116 Lama ,291 2 ,145 Beluntas 10,461 2 5,230 Error ,211 4 ,053 Total 465,789 9 a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
F 1766,527 2,757 99,225
Sig. ,000 ,177 ,000
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Skalar Lama
Subset 1
N a,b
Duncan
7 5 3 Sig.
3 3 3
6,9067 7,0767 7,3433 ,084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,053. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
Level Pemberian Beluntas Skalar Beluntas N a,b
Duncan
1 5,9033
Subset 2
2 3 1 3 6,9033 0 3 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,053. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
3
8,5200 1,000
Tingkat Kesukaan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Hedonik Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 125,567 5 25,113 Lama ,050 2 ,025 Beluntas ,152 2 ,076 Error ,034 4 ,009 Total 125,601 9 a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
F 2939,152 2,927 8,880
Sig. ,000 ,165 ,034
145 Lanjutan Lama Pemberian Pakan Perlakuan a,b
Hedonik
Duncan Lama
Subset 1 7 3 3,6333 3 3 3,7500 5 3 3,8133 Sig. ,080 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,009. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05. N
Level Pemberian Beluntas a,b
Hedonik
Duncan Beluntas
Subset 1 2 0 3 3,5567 1 3 3,7733 1 2 3 3,8667 Sig. 1,000 ,284 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,009. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05. N
146 Lampiran 18 Sidik ragam kandungan asam lemak daging itik dengan kulit pada level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda C14:0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C14.0 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model ,316 5 ,063 Level ,001 2 ,000 Lama ,013 2 ,006 Error ,001 4 ,000
F 180,629 1,143 18,286
d i m e n s i o n 1
Total
,318
9
a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,990)
Level Pemberian Beluntas C14.0 a,b
Duncan Level
Subset N
1
0%
3
,1700
1%
3
,1900
2%
3
,1900
Sig.
,267
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C14.0
a,b
Duncan Lama
N 3M
3
5M
3
7M
3
Sig.
Subset 1 ,1567
2
,1567 ,2367 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Sig. ,000 ,405 ,010
147 Lanjutan C16:0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C16.0 Source Type III Sum of Squares a Model 381,725 Level ,633 Lama 19,205 Error 1,214
df
d i m e n s i o n 1
Total
Mean Square 76,345 ,316 9,603 ,303
5 2 2 4
382,939
9
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,993)
Level Pemberian Beluntas C16.0
a,b
Duncan Level
Subset N
1
0% 2% 1% Sig.
3 3 3
5,9700 6,4800 6,5733 ,257
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,303. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C16.0
a,b
Duncan Lama
N 3M
3
5M
3
7M
3
Sig.
Subset 1 5,0500
2
5,5900 8,3833 ,296
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,303. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
F 251,581 1,043 31,644
Sig. ,000 ,432 ,004
148 Lanjutan C18:0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C18.0 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 29,173 5 5,835 Level 1,005 2 ,502 Lama 1,163 2 ,582 Error ,876 4 ,219 d i m e n s i o n 1
Total
30,050
9
a. R Squared = ,971 (Adjusted R Squared = ,934)
Level Pemberian Beluntas C18.0 a,b
Duncan Level
Subset N
1
0%
3
1,2933
2%
3
1,8000
1%
3
2,1033
Sig.
,106
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,219. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C18.0
a,b
Duncan Lama
Subset 1
N 5M 7M 3M Sig.
3 3 3
1,2833 1,7500 2,1633 ,087
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,219. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
F 26,633 2,293 2,654
Sig. ,004 ,217 ,185
149 Lanjutan Total ALT Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tot.ALJ Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 636,812 5 127,362 Level 3,283 2 1,641 Lama 20,307 2 10,153 Error ,800 4 ,200 d i m e n s i o n 1
Total
637,613
9
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,997)
Level Pemberian Beluntas Tot.ALJ a,b
Duncan Level
Subset N
1
2
0%
3
2%
3
8,4733
1%
3
8,8600
Sig.
7,4300
1,000
,349
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,200. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Tot.ALJ
a,b
Duncan Lama
Subset N
5M
3
1 7,0300
3M
3
7,3633
7M
3
Sig.
2
10,3700 ,413
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,200. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
1,000
F 636,565 8,204 50,747
Sig. ,000 ,038 ,001
150 Lanjutan C16:1 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C16.1 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 3,868 5 ,774 Level ,010 2 ,005 Lama ,171 2 ,086 Error ,017 4 ,004 d i m e n s i o n 1
Total
3,885
9
a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,990)
Level Pemberian Beluntas C16.1 a,b
Duncan Level
Subset N
1
0%
3
,6100
2%
3
,6233
1%
3
,6867
Sig.
,232
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C16.1
a,b
Duncan Lama
Subset
3M
N 3
1 ,5067
5M
3
,5833
7M
3
Sig.
2
,8300 ,226
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
F 179,200 1,166 19,838
Sig. ,000 ,399 ,008
151 Lanjutan C18:1 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C18.1 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 1401,074 5 280,215 Level 1,818 2 ,909 Lama 67,493 2 33,746 Error 3,504 4 ,876 d i m e n s i o n 1
Total
1404,578
9
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,994)
Level Pemberian Beluntas C18.1 a,b
Duncan Level
Subset N
1
2%
3
11,7700
0%
3
11,9300
1%
3
12,7933
Sig.
,258
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,876. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C18.1
a,b
Duncan Lama
Subset
3M
N 3
1 9,6533
5M
3
10,8667
7M
3
Sig.
2
15,9733 ,188
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,876. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
F 319,876 1,038 38,523
Sig. ,000 ,433 ,002
152 Lanjutan C20:1 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C20.1 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model ,302 5 ,060 Level ,001 2 ,000 Lama ,002 2 ,001 Error ,003 4 ,001 d i m e n s i o n 1
Total
,305
9
a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,979)
Level Pemberian Beluntas a,b
C20.1
Duncan Level
Subset 1 ,1700 ,1867 ,1900 ,416
N 0% 1% 2% Sig.
3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C20.1
a,b
Duncan Lama
Subset 1
N 5M 3M 7M Sig.
3 3 3
,1633 ,1800 ,2033 ,145
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
F 84,925 ,484 1,703
Sig. ,000 ,648 ,292
153 Lanjutan Total ALTJT Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tot.ALTJT Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 1586,835 5 317,367 Level 2,012 2 1,006 Lama 73,687 2 36,843 Error 3,766 4 ,942 d i m e n s i o n 1
Total
1590,601
9
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,995)
Level Pemberian Beluntas a,b
Tot.ALTJT
Duncan Level
N 2% 0% 1% Sig.
3 3 3
Subset 1 12,5467 12,7067 13,6200 ,253
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,942. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Tot.ALTJT
a,b
Duncan Lama 3M
3
Subset 1 2 10,3300
5M
3
11,6067
7M
3
N
Sig.
16,9367 ,182
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,942. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
F 337,059 1,068 39,129
Sig. ,000 ,425 ,002
154 Lanjutan C18:2 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C18.2 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 336,989 5 67,398 Level 2,671 2 1,335 Lama 10,918 2 5,459 Error ,973 4 ,243 d i m e n s i o n 1
Total
337,963
9
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,994)
Level Pemberian Beluntas C18.2 a,b
Duncan Level
Subset N
1
2
0%
3
5,2833
2%
3
6,0933
1%
3
6,0933 6,6067
Sig.
,115
,271
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,243. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C18.2
a,b
Duncan Lama 5M
3
Subset 1 2 5,1467
3M
3
5,2867
7M
3
N
Sig.
7,5500 ,746
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,243. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
F 277,041 5,489 22,440
Sig. ,000 ,071 ,007
155 Lanjutan C18:3 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:C18.3 Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model ,723 5 ,145 Level ,002 2 ,001 Lama ,027 2 ,013 Error ,004 4 ,001 d i m e n s i o n 1
Total
,728
9
a. R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,986)
Level Pemberian Beluntas a,b
C18.3
Duncan Level
N 0% 2% 1% Sig.
3 3 3
Subset 1 ,2567 ,2867 ,2900 ,291
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan C18.3
a,b
Duncan Lama 3M
3
Subset 1 2 ,2267
5M
3
,2533
7M
3
N
Sig.
,3533 ,379
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
F 132,162 ,924 12,223
Sig. ,000 ,468 ,020
156 Lanjutan Total ALTJG Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tot.ALTJG Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 368,984 5 73,797 Level 2,815 2 1,408 Lama 11,976 2 5,988 Error 1,110 4 ,277 d i m e n s i o n 1
Total
370,094
9
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,993)
Level Pemberian Beluntas Tot.ALTJG
a,b
Duncan Level
N 0%
3
2% 1%
3 3
Sig.
Subset 1 2 5,5400 6,3833
6,3833 6,8967
,121
,299
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,277. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Tot.ALTJG
a,b
Duncan Lama 5M
3
Subset 1 2 5,4000
3M
3
5,5167
7M
3
N
Sig.
7,9033 ,800
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,277. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
F 265,966 5,073 21,582
Sig. ,000 ,080 ,007
157 Lanjutan Total ALTJ Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tot.ALTJ Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Model 3479,294 5 695,859 Level 8,137 2 4,069 Lama 143,790 2 71,895 Error 7,026 4 1,756 d i m e n s i o n 1
Total
3486,320
9
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,995)
Level Pemberian Beluntas a,b
Tot.ALTJ
Duncan Level
N 0% 2% 1% Sig.
3 3 3
Subset 1 18,2433 18,9267 20,5133 ,109
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,756. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
$ Lama Pemberian Pakan Perlakuan Tot.ALTJ
a,b
Duncan Lama 3M
3
Subset 1 2 15,8367
5M
3
17,0067
7M
3
N
Sig.
24,8400 ,340
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,756. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
F 396,186 2,316 40,933
Sig. ,000 ,215 ,002
158 Lampiran 19 Nilai TBARS daging itik dengan kulit akibat perlakuan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:TBARS Type III Sum of Squares
Source
Df a
Model Beluntas Lama Ulangan Error Total
53.335 .861 2.201 .009 .926 54.261
Mean Square 7 2 2 2 20 27
F
7.619 .431 1.101 .004 .046
164.549 9.299 23.772 .094
a. R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .977)
Level Pemberian Beluntas TBARS Subset Beluntas a,,b
Duncan
N
1
B2
9
B1
9
B0
9
Sig.
2
3
1.14467 1.36644 1.58211 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .046. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
Lama Pemberian Pakan Perlakuan TBARS Subset Lama a,,b
Duncan
N
1
3
9
5
9
7
9
Sig.
2
3
.98478 1.43500 1.67344 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .046. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
1.000
1.000
Sig. .000 .001 .000 .910
159 Lampiran 20 Uji skalar tingkat bau amis (off-odor) daging itik dengan kulit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skalar Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 465,578 5 93,116 Lama ,291 2 ,145 Beluntas 10,461 2 5,230 Error ,211 4 ,053 Total 465,789 9 a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
F 1766,527 2,757 99,225
Sig. ,000 ,177 ,000
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Skalar Lama
Subset 1
N a,b
Duncan
7 5 3 Sig.
3 3 3
6,9067 7,0767 7,3433 ,084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,053. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
Level Pemberian Beluntas Skalar Beluntas N a,b
Duncan
1 5,9033
Subset 2
2 3 1 3 6,9033 0 3 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,053. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,01.
3
8,5200 1,000
160 Lampiran 21 Uji hedonik daging itik dengan kulit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Hedonik Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 125,567 5 25,113 Lama ,050 2 ,025 Beluntas ,152 2 ,076 Error ,034 4 ,009 Total 125,601 9 a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
Lama Pemberian Pakan Perlakuan Hedonik
a,b
Duncan Lama
Subset 1
N
7 3 3 3 5 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,009. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
3,6333 3,7500 3,8133 ,080
Level Pemberian Beluntas Hedonik
a,b
Duncan Beluntas
N
Subset 1 3,5567
2 0 3 1 3 3,7733 2 3 3,8667 Sig. 1,000 ,284 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,009. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
F 2939,152 2,927 8,880
Sig. ,000 ,165 ,034
161 Lampiran 22 Intensitas bau amis dan bau beluntas pada daging itik dengan kulit yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun beluntas konsentrasi yang berbeda Bau Amis Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:B.Daging Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 13730,652 76 180,666 Panelis 568,448 72 7,895 Perlakuan 1470,439 3 490,146 Error 1780,478 216 8,243 Total 15511,130 292 a. R Squared = ,885 (Adjusted R Squared = ,845)
F 21,918 ,958 59,462
Bau Amis Daging ( =o,o5) Perlakuan Subset N 1 2 a,b Duncan 3% 73 4,2877 2% 73 4,7836 1% 73 6,2260 0% 73 Sig. ,298 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8,243. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 73,000. b. Alpha = 0,05. Bau Amis Daging ( =o,o1) Perlakuan Subset N 1 2 a,b Duncan 3% 73 4,2877 2% 73 4,7836 1% 73 6,2260 0% 73 Sig. ,298 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8,243. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 73,000. b. Alpha = ,01.
Sig. ,000 ,576 ,000
3
10,0137 1,000
3
10,0137 1,000
Bau Beluntas Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:B.Beluntas Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 14901,963 76 196,078 Panelis 554,452 72 7,701 Perlakuan 2106,523 3 702,174 Error 1366,977 216 6,329 Total 16268,940 292 a. R Squared = ,916 (Adjusted R Squared = ,886)
F 30,983 1,217 110,953
Sig. ,000 ,143 ,000
162 Lanjutan Bau Beluntas ( =o,o5) Perlakuan
Subset N
a,b
Duncan
1 2,5877
2
3
0% 73 1% 73 5,5616 2% 73 3% 73 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 6,329. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 73,000. b. Alpha = 0,05.
4
8,0397 1,000
9,7096 1,000
3
4
Bau Beluntas ( =o,o1) Perlakuan
Subset N
a,b
Duncan
1 2,5877
2
0% 73 1% 73 5,5616 2% 73 3% 73 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 6,329. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 73,000. b. Alpha = ,01.
8,0397 1,000
9,7096 1,000
163 Lampiran 23 Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging itik dengan kulit yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kenikir konsentrasi yang berbeda Bau Daging Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:B.Daging Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 14302,725 70 204,325 Panelis 303,277 66 4,595 Perlakuan 1209,590 3 403,197 Error 1720,055 198 8,687 Total 16022,780 268 a. R Squared = ,893 (Adjusted R Squared = ,855)
F 23,520 ,529 46,413
Sig. ,000 ,998 ,000
Bau Amis Daging ( =o,o5) Perlakuan N a,b
Duncan
1 4,9791 5,1910
Subset 2
3% 67 2% 67 1% 67 7,1925 0% 67 Sig. ,678 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8,687. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 67,000. b. Alpha = 0,05.
3
10,2701 1,000
Bau Amis Daging ( =o,o1) Perlakuan N a,b
Duncan
1 4,9791 5,1910
Subset 2
3% 67 2% 67 1% 67 7,1925 0% 67 Sig. ,678 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8,687. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 67,000. b. Alpha = ,01.
3
10,2701 1,000
Bau Kenikir Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:B.Kenikir Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 12760,199 69 184,930 Perlakuan 874,476 3 291,492 Panelis 526,689 65 8,103 Error 1803,831 195 9,250 Total 14564,030 264 a. R Squared = ,876 (Adjusted R Squared = ,832)
F 19,992 31,511 ,876
Sig. ,000 ,000 ,730
164 Lanjutan Bau Kenikir ( =o,o5) Perlakuan N a,b
Duncan
1 3,8773
Subset 2
0% 66 1% 66 5,8939 3% 66 2% 66 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 9,250. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 66,000. b. Alpha = ,05.
3
8,1667 8,3000 ,801
Bau Kenikir ( =o,o1) Perlakuan N a,b
Duncan
1 3,8773
Subset 2
0% 66 1% 66 5,8939 3% 66 2% 66 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 9,250. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 66,000. b. Alpha = ,01.
3
8,1667 8,3000 ,801
165 Lampiran 24 Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging itik dengan kulit yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kemangi konsentrasi yang berbeda Bau Daging Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:B.Daging Source Type III Sum of Mean Squares df Square F a Model 14094,839 73 193,080 27,305 Panelis 331,773 69 4,808 ,680 Perlakuan 1735,952 3 578,651 81,832 Error 1463,746 207 7,071 Total 15558,585 280 a. R Squared = ,906 (Adjusted R Squared = ,873)
Sig. ,000 ,969 ,000
Bau Amis Daging ( =o,o5) Perlakuan N a,b
Duncan
1 4,3821 4,4657
Subset 2
2% 70 3% 70 1% 70 6,8607 0% 70 Sig. ,853 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7,071. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = 0,05.
3
10,5071 1,000
Bau Amis Daging ( =o,o1) Perlakuan N a,b
Duncan
1 4,3821 4,4657
Subset 2
2% 70 dim 3% 70 ens 1% 70 6,8607 ion 0% 70 1 Sig. ,853 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7,071. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = ,01.
3
10,5071 1,000
Bau Kemangi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:B.Kemangi Source Type III Sum of Mean Squares df Square a Model 14513,566 73 198,816 Panelis 363,918 69 5,274 Perlakuan 1696,090 3 565,363 Error 1468,847 207 7,096 Total 15982,413 280 a. R Squared = ,908 (Adjusted R Squared = ,876)
F 28,019 ,743 79,675
Sig. ,000 ,924 ,000
166 Lanjutan Bau Kemangi ( =o,o5) Perlakuan N a,b
Duncan
1 3,0064
Subset 2
0% 70 1% 70 5,8929 2% 70 3% 70 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7,096. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = 0,05.
3
8,4643 9,3129 ,061
Bau Kemangi ( =o,o1) Perlakuan N a,b
Duncan
1 3,0064
Subset 2
0% 70 1% 70 5,8929 2% 70 3% 70 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7,096. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = ,01.
3
8,4643 9,3129 ,061