PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus(L.)Merr.) DALAM RANSUMNYA
SKRIPSI MAHARENI SEPTYANA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN MAHARENI SEPTYANA. D24104044. 2008. Performa Itik Petelur Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dalam Ransumnya. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Widya Hermana, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. Daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan sayuran yang bergizi dengan kandungan protein, beta karoten, vitamin C dan vitamin E yang penting untuk fungsi reproduksi (Subekti, 2007). Pemberian tepung daun katuk pada ayam petelur sampai dengan 10% dapat meningkatkan konsumsi ransum dan produksi telur. Nilai konversi pada ayam petelur terbaik dicapai pada pemberian tepung daun katuk sebesar 15% (Ibrahim, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun katuk terhadap performa itik petelur lokal. Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik lokal sebanyak 48 ekor yang siap bertelur dengan umur 20 minggu. Itik dipelihara selama 6 minggu. Perlakuan dibedakan berdasarkan level pemberian tepung daun katuk dalam ransum, yakni R1 (ransum tanpa tepung dun katuk), R2 (ransum mengandung 5% tepung daun katuk), R3 (ransum mengandung 10% tepung daun katuk), dan R4 (ransum mengandung 15% tepung daun katuk). Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai Juni 2007, bertempat di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, empat ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari tiga ekor itik. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk sebesar 15% dalam ransum nyata (p<0,05) menurunkan konsumsi ransum dan konversi ransum, dan sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duck day. Pemberian tepung daun katuk 10% dalam ransum nyata (p<0,05) menurunkan konversi pakan dan sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duck day. Ransum perlakuan tidak mempengaruhi bobot telur. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tepung daun katuk dapat diberikan dalam ransum sebesar 5% pada itik petelur lokal tanpa mempengaruhi performa.
Kata-kata kunci : tepung daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr), itik petelur lokal, performa
ABSTRACT Effect of Feeding Katuk Leaf Meal (Sauropus androgynus (L.) Merr.) in the Diet on the Performances of Local Laying Ducks M. Septyana, W. Hermana, Sumiati Sauropus androgynus (L.) Merr. is known to contain protein, beta carotene, vitamin C, and vitamin E that important to improve the reproduction function (Subekti, 2007). Feeding katuk leaf meal increased the feed consumption and egg production of laying hens. The best feed conversion of laying hen was obtained from the diet contained 15% katuk leaf meal (Ibrahim, 2004). This research was carried out from February 2007 until June 2007 in Poultry Nutrition Laboratory, Departemen of Nutrition and Feed Technology, Bogor Agricultural University. This research was aimed to study the effect of using katuk leaf meal in the diet on performances of local ducks. Forty-eight layer local ducks (Anas domesticus) of 21 weeks old were divided into 4 treatment groups with 4 replications and 3 local ducks of each. The ducks were raised during 6 weeks. The treatments were: R1 (diet without katuk leaf meal), R2 (diet contained 5% katuk leaf meal), R3 (diet contained 10% katuk leaf meal) and R4 (diet contained 15% katuk leaf meal). The research used Completely Randomized Design. The data were analyzed using ANOVA and any significant difference was further tested using Duncan’s multiple range test. Feeding 15% katuk leaf meal significantly decreased (p<0.05) feed consumption and feed conversion, and highly significantly decreased (P<0.01) the duckday production. Feeding 10% katuk leaf meal significantly decreased the feed conversion and highly significantly decreased (P<0.01) the duckday production. The treatments did not effect the egg weight. It is concluced that katuk leaf meal can be used 5% in the layer ducks diet without interfere the performances. Key words : katuk leaf meal (Sauropus androgynus L. Merr), local layer duck, performances
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUMNYA
MAHARENI SEPTYANA D24104044
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUMNYA
Oleh : MAHARENI SEPTYANA D24104044
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 Juni 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir.Widya Hermana,MSi. NIP.131 999 586
Dr. Ir. Sumiati,MSc. NIP.131 624 182
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdulah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis
dilahirkan
di
Bantul,
5
September
1985
dari
pasangan
Drs.Suratmaningrum dan Andriyani. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Pendidikan dasar dimulai dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Imogiri 3 yang diselesaikan pada tahun 1998, kemudian dilanjutkan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Imogiri yang diselesaikan pada tahun 2001 dan penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1Bantul pada tahun 2004. Diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2004, dan terdaftar pada program studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis pernah menjadi panitia Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2005, anggota Biro Kreatifitas Ilmiah Himpunan Profesi Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak periode 2006-2007. Penulis mengikuti program magang di PT. Charoen Phokpand yang bekerjasama dengan IPB dan di Koperasi Produksi Susu (KPS), Bogor. Selain itu penulis juga menjadi salah satu pengajar di Lembaga Bimbingan Spectrum.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga studi, penelitian, seminar dan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan dan pemimpin umat akhir jaman, Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini berjudul ” Performa Itik Petelur Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dalam Ransumnya ”. Penelitian dilakukan di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, selama 4 bulan yang dimulai dari tanggal 23 Februari 2007 sampai 15 Juni 2007. Persiapan dimulai dari penulisan proposal, pembuatan tepung daun katuk, perkandangan dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui respon pemberian tepung daun katuk dalam ransum terhadap performa itik petelur lokal. Tak lupa ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan karya ilmiah ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang mampu membalasnya. Kami memahami bahwa dalam penulisan hasil banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu besar harapan kami adanya sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amalan shaleh. Amien.
Bogor, Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iii
LEMBARAN PERNYATAAN........................................................................
iv
LEMBARAN PENGESAHAN ........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Tujuan .................................................................................................. Perumusa Masalah..............................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
Daun Katuk ...................................................................................... Taksonomi ........................................................................... Potensi Katuk......................................................................... Manfaat ................................................................................ Zat Aktif ............................................................................... Tanin .................................................................................... Penggunaan Daun Katuk dalam Ransum .............................. Itik Lokal ........................................................................................ Konsumsi Ransum ........................................................................... Produksi Telur .. ................................................................................ Bobot Telur......................................................................................... Konversi Ransum .. ............................................................................
3 3 4 4 5 6 8 9 10 11 11 12
METODE ......................................................................................................
13
Waktu dan Tempat.............................................................................. Materi ............................................................................................... Ternak .................................................................................... Kandang dan Peralatan ........................................................... Ransum ................................................................................... Metode .............................................................................................. Perlakuan .............................................................................
13 13 13 13 13 15 15
Rancangan Percobaan ........................................................ Pembuatan Tepung Daun Katuk......................................... Pembuatan Ransum Perlakuan ........................................... Peubah yang Diamati ......................................................... Prosedur ......................................................................................... Pemeliharaan .................................................................... Cara Pemberian Pakan .......................................................
15 15 16 17 18 18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
19
Konsumsi Ransum.................................................................... Konsumsi Energi Metabolis ..................................................... Konsumsi Protein ..................................................................... Produksi Telur Duck day .......................................................... Produksi Massa Telur ............................................................... Bobot Telur............................................................................... Konversi Ransum .....................................................................
19 22 23 24 26 27 28
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... Kesimpulan........................................................................................... Saran ....................................................................................................
32 32 32
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
34
LAMPIRAN ...................................................................................................
37
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Senyawa Kimia Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi Fisiologis di Dalam Jaringan ................................
6
2. Komposisi, Harga Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Itik Periode Layer Berdasarkan Perhitungan .................................
14
3. Komposisi Nutrien Tepung Daun Katuk ..........................................
16
4. Kandungan Tanin dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Katuk.......................................................................... 19 5. Rataan Konsumsi Ransum Itik Penelitian dengan Penambahan Tepung Daun Katuk Selama 6 Minggu Penelitian......
20
6. Rataan Konsumsi Tanin Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian
21
7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis Ransum Selama 6 Minggu Penelitian.............................................................
23
8. Rataan Konsumsi Protein Ransum Selama 6 Minggu Penelitian
24
9. Rataan Produksi Telur Duck day Selama 6 Minggu Penelitian........
25
10. Rataan Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian..............
27
11. Rataan Berat Telur pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian
28
12. Rataan Konversi Ransum pada Itik Penelitian terhadap Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian..........................
29
13. Rataan Konversi Ransum pada Itik Penelitian terhadap Jumlah Telur Selama 6 Minggu Penelitian........................................
29
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Daun Katuk.......................................................................................
3
2. Struktur Senyawa Kimia Tanin ........................................................
7
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam Konsumsi Ransum ..........................................................
38
2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Ransum...................................................
38
3. Sidik Ragam Produksi Telur Duck day(%) ..........................................
38
4. Uji Jarak Duncan Produksi Telur Duck day (%) ..................................
38
5. Sidik Ragam Bobot Telur .....................................................................
39
6. Sidik Ragam Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur.........
39
7. Uji Jarak Duncan Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur..
39
8. Sidik Ragam Konversi Ransum terhadap Jumlah Telur.......................
39
9. Konsumsi Ransum Itik Selama Masa Penelitian..................................
40
10. Produksi Telur Duck day Itik Selama Masa Penelitian ........................
40
11. Bobot Telur Itik Selama Masa Penelitian.............................................
40
12. Konversi Ransum Selama Masa penelitian ..........................................
40
13. Produksi Masa Telur Itik Selama Masa Penelitian...............................
40
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan jumlah penduduk. Kemudahan dalam pemeliharan ternak unggas dibandingkan ternak besar menjadi pilihan masyarakat, selain harganya yang relatif murah dibandingkan sumber protein lainnya. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat lebih memilih mengkonsumsi sumber protein hewani dari produk ternak unggas. Itik merupakan hewan monogastrik yang dapat dimanfaatkan daging dan telurnya untuk dikonsumsi manusia. Itik umumnya mengalami masak kelamin pada umur 20-22 minggu dan lama produksi sekitar 15 bulan. Itik merupakan penghasil telur kedua terbesar setelah ayam ras dengan sumbangan sebesar 30-40% total konsumsi telur di Indonesia (Suharno, 2002). Populasi itik pada tahun 2006 di seluruh Indonesia mencapai 34.612.057 ekor dan mengalami kenaikan (6,81%) dibandingkan tahun 2005 dengan jumlah populasi sebanyak 32.405.428 ekor. Produksi telur itik tahun 2007 sebesar 202.481 (angka sementara) butir, mengalami kenaikan sebesar 4,57% bila dibandingkan dengan produksi telur tahun 2006 yaitu sebesar 193.630 butir (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan sayuran yang bergizi dengan kandungan protein, beta karoten, vitamin C dan vitamin E yang penting untuk fungsi reproduksi (Subekti, 2007). Daun katuk umumnya digunakan sebagai sayuran yang dapat memperlancar sekresi air susu ibu, selain itu digunakan sebagi obat bisul dan demam. Penelitian oleh para ahli untuk mengetahui potensi katuk sebagai bahan makanan ternak telah banyak dilakukan, daun katuk diberikan sebagai pakan tambahan untuk sapi perah dengan tujuan meningkatkan produksi susu, pemberian daun katuk pada ternak unggas seperti ayam broiler, ayam petelur serta puyuh telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas produksi karkas dan telur. Pemerintahan Kota Bogor (2008) melaporkan persentase capaian panen terhadap target panen selama satu tahun (sampai dengan Desember 2003). Adapun persentase capaian panen terhadap target panen sampai dengan bulan Desember 2003 adalah sebagai berikut, padi 163,36%, palawija 161,17%, sayuran 95,34%, dengan produksi total katuk sebanyak 13,56% (1.125 ton).
1
Penggunaan tepung daun katuk dalam ransum ternak itik diharapkan karena adanya senyawa androstan-17-one-3-ethyl-3-hidroxy-5-alpha yang terkandung dalam daun katuk dapat meningkatkan fungsi hormon reproduksi sehingga meningkatkan produksi telur. Perumusan Masalah Peningkatan kebutuhan akan protein hewani harus ditunjang dengan produktivitas dari ternaknya. Hal ini harus didukung dengan ketersedian pakan yang mencukupi. Ketersediaan daun katuk yang cukup melimpah serta tersedia sepanjang tahun menjadi salah satu pertimbangan mengapa daun katuk dipergunakan sebagai bahan campuran dalam pakan. Daun katuk mengandung senyawa aktif androstan-17one-3-ethyl-3-hidroxy-5-alpha (Saragih, 2005) yang mampu memacu sintesis hormon reproduksi sehingga dapat meningkatkan produksi telur. Diharapkan dengan pemberian tepung daun katuk dalam ransum dapat memperbaiki produktivitas itik. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon pemberian tepung daun katuk dengan taraf 0%, 5%, 10% dan 15% dalam ransum terhadap performa itik petelur lokal.
2
TINJAUAN PUSTAKA Daun Katuk Taksonomi Katuk atau Sauropus androgynus (L.) Merr., merupakan tanaman yang dapat tumbuh
tinggi
hingga
mencapai
2-3
m,
termasuk
famili
Euphorbiceae
(Puspaningtyas et al. 1997). Daun katuk berbentuk lonjong hingga bulat. Bagian daun dan pucuk batang termasuk salah satu sayuran yang digemari dan dianjurkan untuk dikonsumsi para ibu yang sedang menyusui. Taksonomi tanaman katuk menurut Hsuan (1989), dapat diklasifikasikan sebagai berikut Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Klass
: Dictyledoneae
Ordo
: Geraniles
Famili
: Euphorbiceae
Sub famili
: Phyllonthoideae
Genus
: Phyllanth
Spesies
: Sauropus
Varietas
: Sauropus androgynus L. Merr
Gambar 1. Daun Katuk Menurut Muhlisah (2007), nama daerah untuk tanaman katuk adalah memata, mata-mata, cekop, simasi (Sumatera); katu, babing, katukan (Jawa) dan kerakur (Madura). Ciri fisik tanaman katuk yaitu tanaman dengan batang tumbuh tegak, warna kehijauan saat muda, setelah tua berwarna kelabu keputihan, daunnya
3
merupakan daun majemuk yang berjumlah genap, bunganya berwarna putih semu kemerahan dengan kelopak yang keras dan tumbuh di dataran rendah hingga 1.200 m dpl. Tanaman ini banyak ditanam di kebun, ladang atau pekarangan dan digunakan sebagai tanaman pagar. Potensi Katuk Katuk merupakan jenis tanaman tahunan yang setiap saat dapat dipetik, tidak tergantung pada musim dan dapat dipanen lebih dari sepuluh kali selama bertahuntahun. Tanaman ini mudah ditanam, tahan gulma dan menghasilkan daun yang banyak dalam waktu yang relatif singkat (Yuliani dan Mawarti, 1997). Setyowati (1997) melaporkan bahwa hasil pencatatan distribusi geografi pada material herbarium yang ada di Balitbang, penyebaran katuk di Indonesia dijumpai di Jawa (Banyuwangi, Pekalongan, Rembang, Semarang, Prwokerto, Kediri, Pasuruan, Surakarta, Bogor, Situbondo, Malang, Jepara, Tulungagung, Madiun, Pulau Bawean, Madura); Sumatera (Jambi, Palembang, Sibolangit, Padang, Lampung, Bangka, Pulau Enggano); Kalimantan (Aramba, Natuna, Pulau Bunguran); Kepulauan Sumba (Sumbawa, Timor) dan Moluccas (Maluku, Ternate, Ambon). Manfaat Daun katuk berkhasiat dapat meningkatkan produksi dan kualitas air susu ibu (ASI). Selain itu daun katuk juga bermanfaat sebagai pewarna makanan, sedangkan akarnya dapat dipergunakan untuk obat demam, memperlancar air seni dan obat luar frambusia (Sa’roni et al., 1997). Daun katuk berkhasiat memperbanyak air susu, untuk demam, bisul, borok dan darah kotor. Selain itu infus daun katuk dapat meningkatkan produksi air susu pada mencit. Infus daun katuk dapat meningkatkan jumlah asi tiap lobulus kelenjar susu mencit. Infus akar katuk mempunyai efek diuretik dengan dosis 72 mg/100 g bb. Konsumsi sayur katuk oleh ibu menyusui dapat memperlama waktu menyusui bayi. Proses perebusan daun katuk dapat menghilangkan sifat anti protozoa. Pemberian infus daun katuk kadar 20%, 40%, dan 80% pada mencit selama periode organogenesis
tidak
menyebabkan
cacat
bawaan
(teratogenik)
dan
tidak
menyebabkan resorbsi. Jus daun katuk mentah digunakan sebagai pelangsing di Taiwan (Aziz dan Muktningsih, 2006).
4
Zat Aktif Katuk merupakan sayuran yang bergizi dengan kandungan protein sekitar 33,68% per 100 gram katuk kering (Aziz dan Muktningsih, 2006). Penapisan fitokimia daun katuk mengandung sterol, alkaloid, flavonoid dan tanin. Analisis dengan kromatografi gas dan spektrometri massa, ekstrak daun katuk mengandung monometil suksinat, siklopentonal asetat, asam benzoat, asam fenil malonat, 2pirolidinon dan metil piroglutamat (Sa’roni et al., 1997). Menurut hasil analisis yang dilakukan oleh Aziz dan Muktiningsih, (2006) dalam 100 g daun katuk terkandung: energi 59 kal, protein 6,4 g, lemak 1,0 g, hidrat arang 9,9 g, serat 1,5 g, abu 1,7 g, kalsium 233 mg, fosfor 98 mg, besi 3,5 mg, karoten 10.020 mcg (vitamin A), B, dan C 164 mg, serta air 81 g. Tanaman katuk dapat meningkatkan produksi ASI diduga berdasarkan efek hormonal dari kandungan kimia sterol yang bersifat estrogenik. Penelitian yang pernah dilakukan di Instansi dan Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain mencakup penelitian daun katuk untuk memperlancar air susu dan pengaruh daun katuk terhadap gambaran histologi kelenjar susu pada mencit; penelitian efek antipiretik akar katuk pada burung merpati; penelitian terhadap senyawa kimia daun katuk serta keamanan infus daun katuk (Sa’roni et al., 1997). Daun katuk mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Juana, 2008). Suprayogi (2000a) melaporkan bahwa terdapat tujuh senyawa aktif utama di dalam daun katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis, senyawa-senyawa tersebut bekerja secara langsung maupun tidak langsung yaitu di dalam jaringan dan secara bersamaan berkhasiat sebagai, pemacu produksi air susu, meningkatkan fungsi pencernaan, meningkatkan pertumbuhan badan, pemicu jumlah darah, mengatasi kelelahan, mengatasi penyakit pembuluh darah dan jantung serta mengatasi gangguan reproduksi pada pria dan wanita. Senyawa aktif daun katuk tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.Suprayogi (2000b) menyatakan bahwa keracunan yang terjadi di Taiwan sebagai akibat konsumsi daun katuk yang berlebih dalam bentuk jus pada penggunaan jangka waktu yang lama. Hal ini terjadi karena adanya senyawa kimia papaverine-like compound yang dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih.
5
Tabel 1. Senyawa Kimia Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi Fisiologis di Dalam Jaringan No
Senyawa Aktif
Pengaruhnya pada Fungsi Fisiologis
1*.
octadecanoic acid
Sebagai prekursor dan terlibat dalam
2*.
9-eicosine
biosintesis
3*.
5,8,11-heptadecatrienoic acid (prostaglandin, prostacyclin, tromboxane,
senyawa
eicosanoids
methyl ester 4*.
9,12,15- octadecatrienoic acid ethyl ethyl ester
5*.
11,14,17-eicosatrienoic
acid
methyl ester 6*.
androstan-17-one,
3-ethyl-3 Sebagai senyawa prekursor atau lipoxin
hydroxy-5-alpha
dan leukatrines).Intermediate-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, oestradiol, testosteron dan glucocorticoid).
7.
3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-
Sebagai eksogenus asam asetat dari
3-enylacetatic acid
saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme sellar melalui siklus krebs.
Keterangan : (*) Senyawa 1-6 secara bersamaan memodulasi hormon-hormon laktogenesis dan laktasi dan aktivitas fisiologis yang baik
Tanin Tanin merupakan senyawa dengan bobot molekul tinggi yang mengandung hidroksil dan beberapa komponen seperti karboksil yang mampu berikatan komplek dengan protein dan beberapa makromineral lainnya pada kondisi lingkungan. Tanin mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan komplek dengan protein, pati, selulosa dan mineral. Tanin dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang dikandung makanan dan pakan yang dikonsumsi hewan terdapat pada tanaman legum, rumput dan buah yang belum masak. Tanin menyebabkan rasa mengkerut pada lidah karena mampu berikatan dengan cairan saliva dalam mulut (Cannas, 2008). Struktur senyawa kimia tanin dapat dilihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2. Struktur Senyawa Kimia Tanin (Cannas, 2008) Tanin terdiri atas katekin, leukoantosianin,dan asam hidroksi yang masingmasing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Tanin terdiri atas dua kelompok, yaitu condensed tannin (tanin padat) dan hydrolizable tannin (tanin yang dapat dihidrolisis). Kelompok condensed tannin merupakan tanin yang dapat terkondensasi, tahan terhadap degradasi enzim pencernaan, tahan terhadap hidrolisis asam, dimetilasi dengan penambahan methionin, selain itu tanin mempunyai struktur senyawa kompleks dan banyak terkandung dalam biji shorgum. Jenis tanin ini diperoleh dari kondensasi flavanol-flavanol seperti katekin dan epikatekin, tidak mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat. Tanin yang dapat dihidrolisis oleh asam alkali dan enzim, menghasilkan glukosa dan asam aromatik yaitu galat dan asam ellagat, yang terdiri atas residu gula-gula (Widodo, 2002). Harborne (1987), tanin terkondensasi tersebar luas dalam paku-pakuan, gimnospermae dan angiospermae. Tanaman katuk termasuk kedalam Sub divisi Angiospermae, sehingga jenis tanin yang terkandung dalam daun katuk adalah tanin terkondensasi. Efek negatif tanin dengan kadar dibawah 5% pada hewan monogastrik menyebabkan penekanan pertumbuhan, penurunan penggunaan protein, merusak
7
dinding mukosa saluran pencernaan, mengurangi ekskresi beberapa kation dan meningkatkan ekskresi protein dan beberapa asam amino essensial. Kandungan tanin 0,5-2% pada pakan unggas menyebabkan efek merugikan yaitu menekan pertumbuhan dan produksi telur, sedangkan pada level 3-7% dapat menyebabkan kematian (Cannas, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ambula et al. (2001) penurunan konsumsi terjadi pada ransum yang mengandung tanin sebesar 2,71-3,54%. Tanin sebesar 2,76% menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 19,4%. Menurut Widodo (2002), pemberian pakan yang mengandung tanin sebesar 0,33% tidak membahayakan untuk unggas khususnya ayam. Apabila pemberian kadar tanin mencapai 0,5% atau lebih menyebabkan penekanan pertumbuhan ayam, karena tanin menekan retensi nitrogen dan penurunan daya cerna asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh vili-vili usus yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan bila mengkonsumsi tanin adalah pertumbuhan yang lambat, nafsu makan yang berkurang karena rasa pahit pada tanin, kaki tidak normal (pengkor) dan kemampuan memproduksi telur berkurang. Penggunaan Daun Katuk dalam Ransum Ternak Penelitian Subekti (2003) pada ayam lokal menunjukan bahwa daun katuk hingga 9% dalam ransum mampu meningkatkan kualitas telur dan karkas dengan terjadinya penurunan kolesterol dan peningkatan vitamin A didalamnya. Saragih (2005) melaporkan bahwa penambahan tepung daun katuk sebesar 15% pada ransum ayam petelur dapat meningkatkan kualitas telur, konsentrasi karoten dan vitamin A dalam telur, dan mampu menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas. Penggunaan tepung daun katuk diatas 10% pada ayam petelur yang dipelihara menyebabkan penurunan ketebalan kerabang telur, hal ini karena daun katuk dapat mengganggu penyerapan kalsium. Pemberian daun katuk hingga 10% dapat meningkatkan konsumsi ransum dan produksi telur pada ayam petelur. Nilai konversi terbaik dicapai pada pemberian tepung daun katuk sebesar 15% (Ibrahim, 2004). Santoso et al. (2001) melaporkan bahwa menggunakan ekstrak daun katuk 4,5 gram/liter pada air minum ayam broiler menghasilkan performa terbaik yang diindikasikan dengan rendahnya konversi ransum dan tidak ditemukannya keabnormalitasan pada kaki ayam yang dipelihara.
8
Penelitian tersebut tidak ditemukan adanya kasus keracunan pada ayam, pengamatan hati yang dilakukan terlihat bahwa warna hati kecoklatan dengan ukuran normal. Wiradimaja (2007), menyatakan bahwa penggunaan tepung daun katuk 15% dalam ransum puyuh menurunkan konsumsi ransum, bobot telur dan produksi telur hen day, namun terjadi peningkatan pada pertambahan bobot badan puyuh. Selain itu puyuh yang diberi ransum yang mengandung daun katuk menghasilkan konversi ransum yang tidak efisien. Itik Lokal Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa itik lokal adalah keturunan dari tetua pendatang yang telah mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun masuk tetua tersebut ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pengamatan di Jawa Barat, itik lokal tersebut dikelompokkan menurut habitatnya, yaitu itik dataran rendah (Cirebon, Karawang, Serang), itik gunung atau dataran tinggi (Cihateup) dan itik rawa (Alabio) Itik yang dipelihara saat ini disebut Anas domesticus. Itik ini berasal dari domestikasi itik liar (Anas moscha) atau Wild mallard (Suharno dan Setiawan, 1999). Taksonomi itik dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Scanes et al., 2004) : Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Klas
: Aves
Super ordo
: Carinatae
Ordo
: Anseriformes
Spesies
: Anas platryhynchos (mallard dan domestik)
Itik bersifat omnivorus (pemakan segala) yaitu memakan bahan dari tumbuhan dan hewan seperti biji-bijian, rumput-rumputan, ikan, bekicot dan keong. Itik merupakan unggas yang mempunyai ciri-ciri kaki relatif lebih pendek dibandingkan tubuhnya; jarinya mempunyai selaput renang; paruhnya ditutupi oleh selaput halus yang sensitif; bulu berbentuk cekung, tebal dan berminyak; itik memiliki lapisan lemak di bawah kulit; dagingnya tergolong gelap (dark meat); tulang dada itik datar seperti sampan (Suharno dan Setiawan, 1999). Rasyaf (1993) menyatakan bahwa itik merupakan unggas air yang dipelihara untuk diambil telurnya
9
yang mempunyai ciri-ciri umum; tubuh ramping, berjalan horizontal, berdiri hampir tegak seperti botol dan lincah sebagai ciri unggas petelur. Itik merupakan hewan monogamus atau hidup berpasangan yang biasa diternakkan untuk diambil daging dan telurnya untuk dikonsumsi manusia. Itik lokal yang terdapat di Indonesia umumnya merupakan itik tipe petelur, mengalami masak kelamin pada umur 20-22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan (Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999). Menurut Windhyarti (1999), itik dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe pedaging, tipe petelur dan tipe hias (ornamental). Itik tipe pedaging misalnya itik Muscovy (Anas moscata, itik manila), itik Peking dan itik Rouen. Itik ornamental contohnya itik Blue Swedis. Itik tipe petelur antara lain Indian Runner (Anas javanica) yang terdiri dari itik Karawang, itik Mojosari, itik Tegal, itik Magelang, itik Bali (Anas sp.), itik Alabio (Anas platurynchos borneo), itik khaki Campbell, itik CV 2000-INA serta itik unggul lain yang merupakan hasil persilangan oleh pakar BPT CiawiBogor. Konsumsi Ransum Amrullah (2004), menyatakan bahwa untuk menduga besarnya konsumsi ransum
ternak
unggas
dengan
mempergunakan
data
sebelumnya
dan
memperhitungkan perubahan suhu lingkungan serta adanya faktor lain yang mempengaruhi pada minggu berikutnya. Konsumsi minggu ini diketahui dari jumlah ransum yang dikonsumsi selama minggu sekarang atau dengan cara menimbang jumlah ransum yang diberikan dengan dikurangi sisa ransum. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum itik adalah kesehatan itik, kandungan energi dalam ransum, macam bahan makanan dan kondisi ransum yang diberikan, kebutuhan produksi dan hidup itik berdasarkan tingkat pertumbuhannya serta selera dan metode pemberian pakan yang dipergunakan peternak (Rasyaf, 1993). Amrullah (2004) menyatakan bahwa terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap konsumsi harian ransum yaitu kandungan kalori ransum dan suhu lingkungan. Pemberian ransum dibagi menjadi tiga tingkatan usia, yaitu anak itik, itik remaja dan itik yang sedang bertelur. Selama masa anak, itik mengkonsumsi ransum
10
sebesar 58,3 gram/ekor/hari, dimasa remaja menjadi 80 dan pada masa petelur sebanyak 180 gram/ekor/hari (Rasyaf, 1993). Produksi Telur Produktivitas itik meliputi umur dewasa kelamin, kecepatan pertumbuhan badan, produksi telur, ketahanan itik untuk terus bertelur dan kualitas telur (Muslim, 1992). Ransum dengan kualitas baik akan menghasilkan produksi yang tinggi dan dapat dipertahankan sampai akhir masa produksi. Keadaan ini dapat dicapai bila terjadi keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan lainnya seperti lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Itik umumnya mengalami usia masak kelamin pada umur 20-22 minggu dan lama produksi selama 15
bulan. Itik
mengalami puncak produksi tertinggi pada umur 27-32 minggu (Muslim, 1992). Produksi telur dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur masak kelamin, sedangkan faktor lingkungan adalah pakan, pemeliharaan, suhu lingkungan dan kesehatan (Muslim, 1992). Penilaian produktivitas telur dari sekelompok itik adalah dengan menghitung produksi harian atau PTH (Produksi Telur Harian). Produktivitas telur baik bila nilai PTH tersebut lebih dari 60%. Itik mempunyai nilai PTH tinggi bila dipelihara tidak lebih dari umur 18 bulan (Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999). Bobot Telur Bobot telur biasanya digunakan sebagai ukuran telur. Ada beberapa variasi perbedaan ukuran telur, variasi ini disebabkan faktor genetik dan perbedaan lingkungan. Menurut Siagian (1996), rataan bobot telur pertama dari itik Cirebon dan Tegal masing-masing 51,01 gram/butir dan 51,07 gram/butir. Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, bangsa, umur dewasa kelamin, obat-obatan, zat nurisi, tingkat protein dalam ransum, cara pemeliharaan dan suhu lingkungan (Anggorodi, 1985; Romanoff dan Romanoff, 1963). Selanjutnya Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa berat telur akan bertambah sampai pada batas tertentu dan selanjutnya berat telur relatif konstan.
11
Konversi Ransum Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam ukuran yang sama. Konversi ransum tergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsi, jumlah dan bobot telur yang dihasilkan. Bila jumlah telur yang dihasilkan banyak akan menyebabkan konversi pakan yang kecil bila dibandingkan dengan itik yang berproduksi sedikit walaupun konsumsi dan bobot telur sama (Zubaidah, 1991). Konversi ransum merupakan cara untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum yaitu perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum untuk itik Alabio, CV 2000 dan silangannya yaitu Alabio dengan CV 2000 serta CV 2000 dengan Alabio, masing-masing adalah 8,24; 7,08; 6,91 dan 5,79 pada umur 19 sampai 28 minggu, untuk itik yang sama pada umur 21 sampai 28 minggu mempunyai nilai konversi sebesar 6,7; 5,7; 5,55; dan 4,64 (Zubaidah, 1991). Konversi ransum dapat digunakan sebagai gambaran untuk mengetahui tingkat efisiensi produksi. Angka konversi ransum menunjukan tingkat efisiensi pakan, artinya jika angka konversi ransum semakin tinggi maka penggunaan ransum kurang ekonomis dan sebaliknya. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa konversi ransum merupakan indikator teknis yang dapat menggambarkan penggunaan ransum. Angka konversi ransum akan membaik bila hubungan antara energi dan protein dalam ransum telah disesuaikan. Faktor-faktor yang berpengaruh pada konversi pakan adalah produksi telur, kandungan energi dalam ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara.
12
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai Juni 2007. Materi Ternak Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik lokal umur 20 minggu, yang berasal dari peternak di daerah Parung, Bogor, sebanyak 48 ekor yang siap bertelur dengan bobot badan 1.144-1.538 g. Itik tersebut dibagi secara acak ke dalam 4 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 3 ekor itik. Itik dipelihara selama 6 minggu. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang cage sebanyak 16 petak. Setiap cage diberi satu tempat air minum dan tempat pakan bambu serta kandang dilengkapi dengan sebuah lampu pijar 100 watt. Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah timbangan, tempat pakan dan minum yang terbuat dari bambu, egg tray, oven, ember, gayung, label, termometer, gunting, kantong plastik, dan selang air. Ransum Ransum yang digunakan terdiri dari jagung, dedak, MBM, tepung ikan, bungkil kedelai, minyak, CaCO3, L-lysin, Dl-methionin dan premiks. Komposisi ransum yang digunakan disusun berdasarkan standar kebutuhan itik periode layer menurut Leesons dan Summers (2005), yaitu dengan kandungan energi metabolis 2.850 kkal/kg dan protein 16%. Susunan dan kandungan nutrisi ransum disajikan pada Tabel 2.
13
Tabel 2. Komposisi, Harga Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Itik Periode Layer Berdasarkan Perhitungan Bahan Makanan
Harga (Rp/kg)*
R1
R2
R3
R4
------------------------(%)---------------------56 56 56 56
Jagung
3.000
Dedak Padi
1.900
13
10,02
7,75
6
Bungkil kedelai
8.800
11,03
8,66
5
2,26
Tepung Ikan
7.000
7
7
7
7
MBM
6.800
1,85
1,85
1,85
1,85
TDK**
16.600
0
5
10
15
Minyak
5.000
4,2
4,7
5,63
5,7
CaCO3
1.200
6,32
6,16
6,01
5,60
L-lysin
58.000
0
0
0,09
0,14
Dl-methionin
58.000
0,10
0,11
0,17
0,21
Premiks
28.000
0,5
0,5
0,5
0,24
100
100
100
100
Total Harga Ransum (Rp/kg)
3.997,28 4.590,98 Kandungan nutrien ransum berdasarkan perhitungan :
5.187,47 5.721,08
R1
R2
R3
R4
2.851,84
2.852,12
2.862,28
2.852,52
Bahan kering (%)
87,03
86,74
86,53
86,17
Serat kasar (%)
3,59
3,86
4,11
4,50
Protein kasar (%)
16,07
16,30
16,05
16,28
P tersedia (%)
0,40
0,39
0,38
0,38
Lemak kasar (%)
8,95
9,22
10
10
3
3
3
2,9
As. Linoleat (%)***
1,76
1,64
1,54
1,47
Lysin (%) Methionin (%)***
0,88 0,43
0,80 0,42
0,78 0,45
0,75 0,46
Meth + Sistin (%)***
0,69
0,66
0,66
0,65
EM (kkal/kg)
Ca (%)
Keterangan : (*) Harga bahan makanan bulan Mei 2008 (**) Tepung Daun Katuk (**) Hasil pergitungan tanpa kandungan nutrisi daun katuk
14
Metode Perlakuan Penelitian ini menggunakan empat macam ransum dengan tiga ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari tiga ekor itik. Perlakuan dibedakan berdasarkan level pemberian tepung daun katuk yang berbeda dalam ransum, yakni : R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk) R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk R4 = Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) empat perlakuan, 3 ulangan dengan tiga ekor itik untuk setiap ulangan. Model matematika dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993) : Yij = µ + βi + εij Keterangan : Yij =Respon percoban dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai rataan umum dari perlakuan βi = Efek perlakuan ke-i
εij = Pengaruh error (galat) ke-i dan ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisis secara stastitik dengan menggunakan ANOVA dan jika menunjukan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Pembuatan Tepung Daun Katuk Pembuatan tepung daun katuk dilakukan dengan cara pelayuan daun katuk selama kurang lebih 24 jam di dalam ruangan (kering udara). Kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 60˚C selama 24 jam. Daun katuk yang cukup kering kemudian digiling hingga halus. Tepung daun dianalisis kandungan nutriennya dengan analisis proksimat, Ca, P dan energi bruto. Hasil analisis tepung daun katuk dapat dilihat pada Tabel 3.
15
Tabel 3. Komposisi Nutrien Tepung Daun Katuk*(As fed) Nutrien
Jumlah (%)
Bahan Kering
82,41
Abu
7,76
Protein Kasar
33,11
Serat Kasar
15,52
Lemak Kasar
3,51
Beta-N
22,51
Ca
1,38
P total
0,44
P non phytat**
0,132
Energi Bruto (kkal/kg)
4.028
Energi Metabolis (kkal/kg)***
1.610
Keterangan :
(*) Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2007). (**) P non phytat = 0,3 x P total (***) Hasil estimasi Energi Metabolis Berdasarkan NRC (1994), dengan rumus : EM = 39,15DM-39,15ash-9,72CP-63,81CF
Pembuatan Ransum Perlakuan Setiap bahan yang memiliki komposisi dalam jumlah besar yaitu jagung, bungkil kedelai, dedak padi dan tepung ikan dimasukan ke dalam hopper. Kemudian bahan tersebut diangkut melalui bucket elevator ke dalm mesin mixer, sedangkan bahanbahan dengan komposisi dalam jumlah kecil seperti CaCO3, minyak, MBM, premiks, L-lysin dan Dl-methionin dimasukan langsung ke dalam mesin mixer. Selanjutnya bahan-bahan tersebut mengalami proses pencampuran (mixing) selama 10 menit. Bahan-bahan yang telah melalui mixing dikeluarkan ke dalam surge bin dan diangkut oleh screw convenyor kemudian dimasukan ke dalam mesin pellet (pelleter). Bahan-bahan yang telah masuk ke dalam mesin pellet mengalami proses pemanfaatan melalui suatu lubang disebut die dan proses penekanan sampai akhirnya terbentuk pellet. Pellet yang terbentuk kemudian dialirkan melalui bucket elevator ke dalam mesin cooler ditempatkan ke dalam karung plastik yang kuat untuk menjaga mutu pellet.
16
Peubah yang diamati 1. Konsumsi Ransum (gram/ekor/hari) Konsumsi ransum dihitung dari selisih ransum yang diberikan setiap awal minggu dengan sisa ransum pada akhir minggu. 2. Konsumsi Energi Metabolis (EM) (kkal/ekor/hari) Konsumsi Energi Metabolis dihitung dari konsumsi pakan (gram/ekor/hari) dikalikan dengan kandungan energi metabolis ransum penelitian. 3. Konsumsi Protein (gram/ekor/hari) Konsumsi protein dihitung dari konsumsi pakan (gram/ekor/hari) dikalikan dengan kandungan protein ransum penelitian. 4. Produksi Telur Duck Day (%) Produksi Duck day dihitung dari jumlah telur yang diproduksi selama satu minggu dengan jumlah itik yang ada pada minggu tersebut. 5. Produksi Massa Telur (gram/ekor/hari) Produksi massa telur itik dihitung dengan cara mengalikan produksi telur Duck day (%) dengan bobot telur harian (gram/ekor/hari). 6. Bobot telur (gram/butir) Bobot telur dihitung dari produksi telur itik/hari. 7. a. Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur konsumsi ransum (gram/ekor/hari) = produksi massa telur (gram/ekor/hari) Konversi ransum dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat total telur selama penelitian. b. Konversi Ransum terhadap Jumlah Butir Telur =
jumlah konsumsi ransum jumlah butir telur
Konversi ransum dihitung berdasarkan dari jumlah ransum yang dikonsumsi dengan jumlah telur yang diproduksi selama penelitian.
17
Prosedur Pemeliharaan Sebelum digunakan, kandang terlebih dahulu dibersihkan dan dilakukan pengapuran. Itik ditimbang bobot badannya terlebih dahulu agar diketahui bobot badan awal sebelum diberi perlakuan. Penimbangan bobot badan dilakukan untuk digunakan dalam pengacakan perlakuan. Untuk mengurangi cekaman stres dan panas diberi larutan Vita Stres baik sebelum dan sesudah penimbangan. Setiap hari dilakukan kegiatan pembersihan yaitu pada kandang, tempat pakan dan tempat air minum, serta pemberian pakan dan air minum. Penelitian dilakukan selama 6 minggu. Di akhir penelitian, penimbangan bobot badan kembali dilakukan untuk mengetahui bobot badan akhir itik setelah diberi perlakuan. Cara Pemberian Pakan Pakan yang diberikan sesuai kebutuhan hidup itik yaitu 150 gram/ekor/hari, diberikan 2 kali yaitu pada jam 07.00 pagi dan jam 17.00 sore yang masing-masing 75 gram/ekor. Pakan diberikan dalam bentuk pellet pada tempat pakan yang tersedia. Air minum diberikan ad libitum. Seminggu sekali dilakukan penimbangan sisa pakan.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas itik terhadap ransum yang diberikan. Salah satu faktor yang dipengaruhi palatabilitas adalah adanya anti nutrisi yang terkandung dalam ransum. Daun katuk mengandung anti nutrisi yang bila diberikan berlebih dapat menurunkan palatabilitas dan konsumsi ransum. Menurut Arifin (2005), daun katuk mengandung zat-zat antinutrisi seperti tanin, saponin, alkaloid dan flavonoid. Serbuk daun katuk muda mengandung tanin sebanyak 3,45% dan 2,85% pada daun yang lebih tua. Jumlah tanin pada ransum yang mengandung tepung daun katuk disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Tanin dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Katuk* Perlakuan
Kandungan Tanin (%)
Tepung Daun Katuk 5% (R2)
0,17
Tepung Daun Katuk 10% (R3)
0,35
Tepung Daun Katuk 15% (R4)
0,52
Keterangan : (*) Tanin yang Dihitung Hanya Berasal dari Tepung Daun Katuk
Pengaruh tanin tepung daun katuk terhadap palatabilitas itik dapat dilihat dari penurunan konsumsi perlakuan pemberian tepung daun katuk 10% dan 15% disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 5 rataan konsumsi pakan itik lokal selama penelitian berkisar 113,64 sampai dengan 146,12 gram/ekor/hari. Konsumsi pakan itik pada masa bertelur dengan kandungan protein 18% untuk itik Bali, Tegal dan Mojosari berturut-turut adalah 147,5; 139,11 dan 136,43 gram/ekor/ hari. Ransum dengan kandungan protein 16% untuk itik tersebut di atas, konsumsi ransum menjadi 147,10; 133,53 dan 134,33 gram/ekor/hari (Windhyarti, 1999). Itik penelitian mendekati konsumsi ransum itik Tegal yang berkisar 133,53-139,11 gram/ekor/hari. Pemberian tepung daun katuk 5% (R2) tidak mempengaruhi rataan konsumsi ransum bila dibandingkan dengan kontrol (R1). Hal ini menunjukkan bahwa level pemberian tepung daun katuk 5% tidak menurunkan palatabilitas ransum.
19
Tabel 5. Rataan Konsumsi Ransum Itik Penelitian dengan Penambahan Tepung Daun Katuk Selama 6 Minggu Penelitian Ulangan
Perlakuan R1
R2
R3
R4
---------------------------------(gram/ekor/hari)------------------------1
134,87
135,07
129,56
92,63
2
134,93
130,58
140,98
129,88
3
144,84
139,71
128,79
113,21
4
145,76
146,98
107,97
118,85
Rataan
140,10a±6,02
138,09a±7,01
126,83ab±13,75
113,64b±15,63
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Pemberian 15% tepung daun katuk nyata (p<0,05) menurunkan konsumsi bila dibandingkan dengan ransum kontrol (R1). Hal ini karena adanya kandungan antinutrisi dari daun katuk yaitu tanin, ransum R4 mengandung tanin 0,52%. Tanin merupakan faktor pembatas pada unggas (Santoso et al., 2001). Rataan konsumsi tanin dalam ransum berkisar 22,82-58,81 gram/ekor/hari. Perlakuan R2 (pemberian tepung daun katuk 5%) mengandung kadar tanin sebesar 0,17%. Kandungan tanin tersebut masih dalam batasan normal, bila dibandingkan dengan perlakuan R3 dan R4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ambula et al. (2001) penurunan konsumsi terjadi pada ransum yang mengandung tanin sebesar 2,71-3,54%. Menurut Widodo (2002) pemberian pakan pada ayam yang mengandung tanin sebesar 0,33% tidak menyebabkan pengaruh negatif, tetapi apabila kadar tanin dalam pakan mencapai 0,5% atau lebih akan mulai berpengaruh. Pengaruh dari tanin tersebut antara lain penekanan pertumbuhan ayam dan penurunan daya cerna asam amino. Besarnya konsumsi tanin dari masing-masing perlakuan dengan pemberian tepung daun katuk disajikan dalam Tabel 6. Efek negatif tanin dengan kadar dibawah 5% pada hewan monogastrik menyebabkan penekanan pertumbuhan, penurunan penggunaan protein, merusak dinding mukosa saluran pencernaan, mengurangi ekskresi beberapa kation dan meningkatkan ekskresi protein dan beberapa asam amino essensial. Kandungan tanin sebesar 0,5-2% pada pakan unggas menyebabkan efek merugikan yaitu menekan
20
pertumbuhan dan produksi telur sedangkan pada level 3-7% dapat menyebabkan kematian (Cannas, 2008). Penyebab tidak disukainya ransum diduga akibat adanya tanin pada tepung daun katuk yang berinteraksi dengan protein dalam ludah dan glikoprotein yang menyebabkan rasa mengkerut pada mulut, tanin mempunyai ikatan yang mampu mengendapkan protein sehingga menurunkan daya cerna dan palatabilitas pakan (Widodo, 2002). Menurut Appleby et al. (2004), perkembangan indra perasa pada unggas cukup bagus, sehingga dapat merespon rasa yang berbeda pada ransum terutama rasa asam dan pahit. Kedua rasa tersebut tidak disukai oleh unggas. Tabel 6. Rataan Konsumsi Tanin Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian Ulangan
Perlakuan R2
R3
R4
------------------(gram/ekor/hari)---------------------1
23,30
44,70
47,93
2
22,52
48,64
67,21
3
24,10
44,43
58,58
4
25,35
37,25
61,50
Rataan
23,82a±1,21
43,75b±4,74
58,81c±8,09
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05), R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Tabel 6 memperlihatkan bahwa konsumsi tanin meningkat seiring dengan bertambahnya level pemberian tepung daun katuk dalam ransum perlakuan. Hal ini menyebabkan tanin terakumulasi dalam tubuh itik. Efek negatif dari tanin yang terakumulasi tersebut adalah menurunnya palatabilitas dan daya cerna ransum. Tanin mempunyai kemampuan untuk mengendapkan protein, karena mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul protein dan menghasilkan ikatan silang yang komplek yaitu protein-tanin. Mekanisme reaksi antara tanin dan protein mampu membentuk ikatan yang kuat, yaitu (1) ikatan hidrogen dengan gugus NH pada tanin dan gugus reseptornya. Misalnya antara NH dari tanin dengan gugus OH pada protein; (2) ikatan ionik antara gugus anion dari tanin dengan gugus kation pada protein; dan (3) ikatan cabang kovalen antara quinon pada tanin dengan gugusan reaktif pada protein. Ikatan kovalen tersebut menyebabkan protein ransum
21
lebih cepat terikat dengan tanin saat mencapai saluran pencernaan dan menyebabkan ransum sulit untuk dicerna oleh enzim-enzim pencernaan (Widodo, 2002). Konsumsi Energi Metabolis Kebutuhan energi, protein dan nutrien pada unggas sangat penting terutama, karena digunakan untuk pembentukan telur. Menurut Rasyaf (1993), ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum itik yaitu kesehatan itik, kandungan energi dalam ransum, kebutuhan produksi dan hidup itik berdasarkan tingkat pertumbuhannya. Konsumsi energi metabolis itik perlakuan disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan perhitungan, konsumsi energi metabolis itik berkisar 324,96 sampai dengan 399,54 kkal/ekor/hari. Menurut Lesson dan Summer (2001), standar kebutuhan energi metabolisme itik penelitian berkisar 365,08 kkal/ekor/hari. Dengan demikian konsumsi energi metabolis ransum penelitian dapat mencukupi kebutuhan hidup pokok seekor itik, dan produksi telur. Akan tetapi konsumsi energi metabolis pada perlakuan R4 lebih rendah bila dibandingkan dengan standar kebutuhan sehingga berpengaruh terhadap produktivitas itik yaitu dengan menurunkan produksi telurnya. Hasil analasis ragam konsumsi energi perlakuan R4 (pemberian tepung daun katuk 15%) nyata lebih kecil (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontrol (R1). Hal ini disebabkan oleh rendahnya rataan konsumsi ransum pada perlakuan pemberian tepung daun katuk 15%, hanya sebesar 113,64 gram/ekor/hari. Penyebab menurunnya konsumsi ransum pada perlakuan R4 tersebut karena adanya tanin yang mampu berinteraksi dan membentuk ikatan komplek dengan protein, pati, selulosa dan mineral ransum. Tanin tersebut dapat mempengaruhi nilai nutrisi ransum yang dikonsumsi ternak (Cannas, 2008). Cannas (2008) juga menyatakan bahwa tanin dapat mengurangi konsumsi ransum yang menurunkan palatabilitas dan merusak dinding mukosa saluran pencernaan. Penurunan palatabilitas ransum tersebut disebabkan tanin berasa astrigent (berasa mengkerut pada mulut). Konsumsi energi metabolis itik perlakuan R4 lebih rendah bila dibandingkan dengan standar kebutuhan Lesson dan Summer (2001) disajikan di Tabel 7. Energi dan protein yang dikonsumsi dipergunakan itik untuk hidup pokok, aktivitas dan pembentukkan sebutir telur. Penurunan konsumsi energi metabolis akan berakibat pada rendahnya produksi telur duck day yang dihasilkan.
22
Tabel 7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian Perlakuan
Ulangan
R1
R2
R3
R4
----------------------------(kkal/ekor/hari)------------------------1
384,61
385,29
369,53
265,12
2
384,80
372,48
402,08
371,76
3
413,06
398,54
367,31
324,03
4
415,69
419,18
307,91
338,94
Rataan
399,54a±17,17
393,87a±19,94
361,71ab±39,23
324,96b±44,60
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Konsumsi Protein Kebutuhan protein unggas untuk mencapai performa yang optimum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu lingkungan, jenis kelamin, spesies, umur, kandungan energi metabolis dan keseimbangan asam amino ransum (Bell dan Weaver, 2002). Menurut Daghir (1998), performa terbaik ayam dalam produksi telur, produksi massa telur dan efisiensi ransum tercapai bila ayam diberi ransum tinggi kandungan protein dan energi bila dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan rendah kandungan protein dan energi. Konsumsi protein itik penelitian disajikan pada Tabel 8. Menurut Lesson dan Summer (2001), standar kebutuhan protein itik penelitian berkisar 20,7 gram/ekor/hari. Konsumsi protein penelitian berkisar 18,26-22,51 gram/ekor/hari. Konsumsi protein harian sangat diperlukan untuk seekor unggas untuk mencukupi kebutuhan dalam pembentukan sebutir telur, kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan bobot badan dan bulu (Lesson dan Summer, 2001). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsumsi protein perlakuan R4 nyata lebih rendah bila dibandingkan standar kebutuhan protein. Rendanya konsumsi protein ini diduga karena adanya interaksi tanin dengan protein ransum. Interaksi tanin dengan protein membentuk ikatan yang tahan terhadap degradasi enzim protease, sehingga daya cerna protein ransum menjadi berkurang (Cannas, 2008). Menurut Widodo (2002) ikatan hidrogen yang terbentuk antara hidroksi fenol dan
23
kelompok peptida membentuk ikatan silang antara rantai protein yang saling berdekatan. Kemampuan oksidasi fenol dalam tanin menjadi quinon memberikan kenaikan ikatan kovalen dengan epsilon asam-asam amino seperti lisin dan arginin yang dapat meningkatkan daya tahan terhadap aksi bakteri, panas dan abrasi. Hal ini menyebabkan ransum yang mengandung tanin memiliki daya cerna dan palatalitas rendah. Tabel 8. Rataan Konsumsi Protein pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian Ulangan
Perlakuan R1
R2
R3
R4
------------------------------(gram/ekor/hari)-----------------1
21,67
21,71
20,82
14,89
2
21,68
20,98
22,65
20,87
3
23,28
22,45
20,70
18,19
4
23,42
23,62
17,35
19,10
Rataan
22,51a±0,10
22,19a±0,11
20,38ab±0,22
18,26b±0,25
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Produksi Telur Duck day Kemampuan produksi telur itik dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada produktivitas itik adalah ransum. Konsumsi kandungan energi dan protein ransum juga berperan dalam produksi telur, karena pembentukkan telur dihasilkan dari besarnya konsumsi energi dan protein ransum (Brand et al., 2003). Rataan produksi telur itik penelitian disajikan pada Tabel 9. Itik Mojosari pertama kali bertelur pada umur 6 bulan, dengan produksi telur 70-80% per hari dari seluruh populasi saat mencapai umur 7 bulan. Itik Tegal bertelur pertama kali pada umur 5,5-6 bulan, itik CV 2000-INA pada umur 21 minggu (5 bulan) dengan produksi sekitar 10% akan meningkat menjadi 70-80% pada umur 24 minggu (Windhyarti, 1999).
24
Tabel 9. Rataan Produksi Telur Duck day pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian Perlakuan Ulangan
R1
R2
R3
R4
--------------------------------------------(%)-----------------------------1
37,30
20,95
9,52
7,62
2
20,00
34,13
4,76
11,90
3
36,51
47,62
15,87
6,35
4
25,71
22,22
4,76
4,76
Rataan
29,88A±8,45
31,23A±12,43
8,73B±5,26
7,66B±3,06
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian tepung daun katuk 10% dan 15% sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duckday. Pemberian tepung daun katuk sebesar 5% (R2) menghasilkan produksi telur yang sama dengan itik kontrol (R1). Produksi telur duck day pada perlakuan R3 dan R4 nyata menurun bila dibandingkan perlakuan R1 dan R2. Hal ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein yang dibutuhkan untuk pembentukkan telur pada kedua perlakuan tersebut. Padahal asupan energi dan protein sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, aktivitas harian dan produksi telur seekor itik. Brand et al. (2003), menyatakan bahwa pembentukan telur dipengaruhi oleh besarnya konsumsi energi dan protein ransum. Bila ransum mengandung energi dan protein dalam jumlah terbatas maka unggas berkompensasi mengurangi ukuran telur dan jumlah telur dihasilkan, atau memperpanjang interval bertelur. Konsumsi energi dan protein perlakuan R4 (pemberian 15% tepung daun katuk) nyata lebih rendah (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontol (R1). Penurunan konsumsi energi dan protein tersebut diduga karena adanya tanin dalam ransum yang berinteraksi dengan protein, pati, selulosa, dan mineral yang dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang dikonsumsi oleh ternak (Cannas, 2008). Cannas (2008) juga berpendapat bahwa tanin sebesar 0,5-2% pada ransum menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan menurunnya produksi telur.
25
Pengamatan penelitian pada minggu pertama hingga minggu keempat terlihat bahwa, produksi telur duck day itik perlakuan pemberian tepung daun katuk 10% (R3) dan perlakuan pemberian tepung daun katuk 15% (R4) masih belum stabil, sedangkan pada minggu kelima sampai minggu keenam mengalami peningkatan produksi telur duck day. Ketidakstabilan produksi telur ini diduga karena itik belum beradaptasi dengan ransum perlakuan yang diberikan, sehingga itik menurunkan konsumsi ransumnya. Rendahnya konsumsi ransum berakibat pada menurunnya konsumsi energi dan protein ransum yang penting dipergunakan untuk mensintesis sebutir telur. Dilaporkan oleh Prasetyo et al. (2003) tingkat produksi pada itik persilangan Mojosari dan Alabio mengalami puncak produksi telur duck day pada minggu ke-16 yang mencapai 93,7%. Prasetyo et al. (2003), melaporkan rataan produksi telur duck day pertama dari minggu 1-4 untuk itik persilangan antara Mojosari dengan Alabio (MA), persilangan antara Mojosari dengan Mojosari (MM) berurutan 15,0% dan 5,1% dan untuk minggu 5-8 berurutan 52,1% dan 24,8%. Rataan produksi telur duck day dari minggu 1-4 penelitian berkisar 7,14-29,17% lebih tinggi dari itik hasil persilangan MA dan MM yang dipelihara oleh Prasetyo et al. (2003). Peningkatan rataan produksi telur duck day itik penelitian terjadi pada minggu terakhir perlakuan menjadi 9,62-32,44%. Produksi Massa Telur Produksi massa telur dipengaruhi oleh bobot telur itik dan jumlah produksi telur duck day. Produksi massa telur merupakan cara menyatakan produksi telur dalam bentuk bobot yang didapat dari mengalikan jumlah butir telur dengan bobotnya setiap periode (Hidayati, 1994). Menurut Bell dan Weaver (2002), perhitungan output massa telur harian pada ayam petelur adalah mengalikan produksi telur Hen day dengan rataan bobot telur dalam gram. Penelitian Prasetyo et al. (2001) pada itik hasil persilangan Mojosari dan Alabio dengan tingkat produksi telur sebesar 20,2% dan rataan bobot telur sebesar 58,5 gram/butir menghasilkan produkis massa telur sebesar 11,82 gram/ekor/hari. Berdasarkan Tabel 10 rataan produksi massa telur itik selama penelitian sebesar 4,47 hingga 17,52 gram/ekor/hari. Rendahnya produksi massa telur itik, karena konsumsi energi dan protein juga rendah (Tabel 7 dan 8). Menurut Brand et al. (2003),
26
produksi massa telur dan kandungan kuning telur pada broiler breeder meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi energi dan protein ransum. Produksi massa telur pada pemberian tepung daun katuk sebesar 15% (R4) nyata lebih rendah (p<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol (R1) dan (R2), yaitu hanya sebesar 4,47 gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi energi metabolis dan protein yang hanya sebesar 324,96 kkal/gram/hari dan 18,26 gram/ekor/hari. Tabel 10. Rataan Produksi Massa Telur pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian Perlakuan Ulangan
R1
R2
R3
R4
-----------------------------------(gram/ekor/hari)-----------------------------1
22,74
13,53
6,51
4,80
2
11,53
17,64
5,98
7,41
3
20,71
27,72
7,46
4,20
4
12,43
11,18
18,18
1,48
Rataan
16,85a±5,70
17,52a±7,31
9,53ab±5,80
4,47b±2,43
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Bobot Telur Bobot badan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran telur baik saat dewasa kelamin dan periode bertelur, bobot pertama bertelur yang ideal merupakan salah satu kriteria untuk awal masa produksi (Leeson dan Summers, 2000). Rataan bobot telur dari itik penelitian yaitu 58,22-64,05 gram/butir. Menurut Siagian (1996), rataan bobot telur pertama dari itik Cirebon dan Tegal masingmasing 51,01 gram/butir dan 51,07 gram/butir. Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa bobot telur pertama itik Alabio, Mojosari dan persilangannya berurutan 56,39g; 53,69g; dan 56,66g/butir. Analisa statistik mempelihatkan bahwa berat telur antar perlakuan tidak beda nyata walaupun bobot telur R4 memiliki rataan sebesar 64,05 g/butir. Menurut Leeson dan Summer (2000), methionin adalah salah satu
27
asam amino yang mempengaruhi ukuran telur. Kandungan methionin pada susunan ransum penelitian hampir sama yaitu berkisar antara 0,42-0,46 %, sehingga bobot telur antar penelitian tidak berbeda. Rataan bobot telur itik penelitian selama enam minggu penelitian ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Rataan Bobot Telur pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian Perlakuan Ulangan
R1
R2
R3
R4
-------------------------------(gram/butir)-----------------------------1
60,00
62,84
67,64
63,75
2
58,44
52,20
62,76
63,33
3
62,72
59,43
60,55
65,97
4
56,63
64,04
41,92
63,14
Rataan
59,45±2,85
59,63±5,32
58,22±11,26
64,05±1,31
Keterangan : R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk) R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk
Konversi Ransum Konversi ransum merupakan ukuran efisiensi dalam penggunaan ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum semakin efisien penggunaan dari ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam jangka waktu tertentu (Subekti, 2003). Menurut Prasetyo et al. (2003) rataan nilai konversi ransum itik hasil persilangan Mojosari dengan Alabio sebesar 4,10. Nilai tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan rataan konversi ransum itik penelitian yaitu 8,88-36,06. Saragih (2005) melaporkan bahwa pemberian tepung daun katuk pada ayam petelur sebesar 15% menghasilkan nilai konversi yang lebih rendah yaitu 3,55 dan nilai konversi ransum yang lebih tinggi, pada perlakuan pemberian tepung daun katuk 5%, 10% yaitu sebesar 3,78 dan 3,99. Rataan konversi ransum itik penelitian terhadap produksi massa telur dapat dilihat Tabel 12 dan terhadap jumlah telur yang dihasilkan disajikan pada Tabel 13.
28
Tabel 12. Rataan Konversi Ransum pada Itik Penelitian terhadap Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian Perlakuan Ulangan
R1
R2
R3
R4
1
5,93
9,95
19,91
19,30
2
11,70
7,40
23,59
17,53
3
6,99
5,04
17,26
26,94
4
11,73
13,14
5,94
80,48
Rataan
9,09a±3,06
8,88a±3,48
16,67b±7,61
36,06c±29,89
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Rataan konversi ransum selama penelitian yaitu 8,88-36,06. Penggunaan tepung daun katuk 10% dan 15% dalam ransum nyata (p<0,05) meningkatkan angka konversi ransum dibandingkan ransum kontrol, tetapi pemberian 5% tepung daun katuk (R2) tidak berbeda dengan kontrol. Konversi ransum yang tinggi pada perlakuan R3 dan R4 disebabkan produksi telur yang rendah bila dibandingkan dengan kontrol (R1). Rendahnya produksi telur perlakuan R3 dan R4 karena kurangnya asupan nutrisi seperti energi dan protein yang penting untuk mensintesis sebutir telur. Penurunan asupan kedua nutrisi tersebut disebabkan adanya tanin yang mampu menurunkan daya cerna dan palatabilitas. Widodo (2002) menyatakan bahwa pemberian tanin yang mencapai 0,5% dalam ransum akan menekan retensi nitrogen dan penurunan daya cerna asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh vili-vili usus untuk dimanfaatkan oleh ternak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi tanin adalah pertumbuhan menjadi terhambat, nafsu makan menjadi berkurang karena rasa pahit dari tanin, kaki tidak normal (pengkor) dan berkurangnya kemampuan memproduksi telur. Rataan konversi penelitian terhadap produksi massa telur perlakuan R1, R2, R3 dan R4 sangat tinggi yaitu berturut-turut 9,09; 8,88; 16,67 dan 36,06. Tingginya nilai konversi ransum tersebut karena produktivitas itik masih rendah. Nilai konversi ransum pada perlakuan kontrol dan R2 lebih rendah bila dibandingkan perlakuan R3
29
dan R4 yaitu sebesar 8,88 dan 9,09, sedangkan pada perlakuan R3 dan R4 rataan konversi ransum mencapai 16,67 dan 36,06. Artinya untuk menghasilkan 1 kg telur itik pada perlakuan kontrol, R2, R3 dan R4 diperlukan ransum masing-masing sebesar 9,09; 8,88; 16,67 dan 36,06 kg. Tabel 13. Rataan Konversi Ransum pada Itik Penelitian terhadap Jumlah Telur Selama 6 Minggu Penelitian Perlakuan Ulangan
R1
R2
R3
R4
1
17,22
36,72
129,56
69,47
2
38,55
18,65
422,93
51,95
3
18,89
14,45
77,27
169,81
4
33,64
32,66
647,81
356,55
Rataan
27,07a
25,62a
319,39b
161,94ab
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Nilai konversi ransum pada Tabel 13, dihitung berdasarkan satuan butir telur yang dihasilkan, sehingga dapat dihitung jumlah ransum yang dibutuhkan oleh itik untuk menghasilkan satu butir telur. Alasan dilakukan perhitungan dengan model seperti ini erat kaitannya dengan alasan ekonomi karena penjualan telur itik di masyarakat pada umumnya dilakukan per butir bukan per kilogram seperti pada telur ayam. Rataan konversi ransum per butir telur selama penelitian berkisar antara 25,62-3,19,39. Penggunaan tepung daun katuk 15% dalam ransum nyata (p<0,05) meningkatkan angka konversi ransum dibandingkan ransum kontrol, tetapi pemberian 5% tepung daun katuk. Konversi ransum yang tinggi R3 disebabkan produksi telur yang rendah bila dibandingkan dengan kontrol (R1). Rendahnya produksi telur R3 karena kurangnya asupan nutrisi seperti energi dan protein yang penting untuk mensintesis sebutir telur. Penurunan asupan kedua nutrisi tersebut disebabkan adanya tanin yang mampu menurunkan daya cerna dan palatabilitas. Rataan konversi penelitian perlakuan R1, R2, R3 dan R4 sangat tinggi yaitu berturut-turut 27,07; 25,62; 319,39 dan 161,94. Nilai konversi ransum pada perlakuan kontrol dan R2 lebih rendah bila dibandingkan perlakuan R3 dan R4 yaitu
30
sebesar 27,07 dan 25,62 sedangkan pada perlakuan R3 dan R4 rataan konversi ransum mencapai 319,39 dan 161,94. Artinya untuk menghasilkan 1 butir telur itik pada perlakuan kontrol, R2, R3 dan R4 diperlukan ransum masing-masing sebesar 27,07; 25,62; 319,39 dan 161,94 gram. Rataan konversi ransum perlakuan R3 dan R4 sangat tinggi. Berdasarkan kedua perhitungan konversi ransum tersebut diatas dapat dilihat bahwa nilai konversi ransum penelitian masih sangat tinggi. Hal ini terjadi karena produktivitas itik masih rendah. Tingginya nilai konversi ransum ini menyebabkan penggunaan ransum kurang efisien karena besarnya konsumsi ransum tidak disertai dengan tingginya produktivitas produksi telur itik.
31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tepung daun katuk dapat digunakan sebanyak 5% dalam ransum itik petelur lokal, karena tidak mengganggu performa itik petelur. Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan pemberian tepung daun katuk dengan taraf yang lebih rendah dari 5%. Diharapkan pada level tersebut masih terdapat potensi dari tepung daun katuk dalam memperbaiki performa itik.
32
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan segala limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta nikmat lainya yang takkan pernah bisa dihitung hingga selesainya skripsi dan seterusnya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Widya Hermana, M.Si. dan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. yang telah membimbing penulis dengan penuh perhatian serta kasih sayang. Dr. Ir. Jajat Jachja FA, M.Agr. sebagai dosen pembimbing akademik terima kasih banyak atas dorongan dan bimbinganya kepada penulis selama menempuh kuliah. Kepada Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. sebagai dosen penguji seminar, dan Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M. Sc. Agr. serta Ir. Rukmiasih, M.S. sebagai dosen penguji tugas akhir yang telah memberikan saran dan bimbingan. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamya penulis sampaikan kepada Ibunda Andriyani dan Ayahanda Suratman tercinta, adikku-adikku Luluk, Dhita, Fitra, Mbah Bok, Kakung serta keluarga besar di Imogiri atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian dan dukungannya hingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sahabat nutrisi angkatan 41 (Neli, Hani, Eva, Kiki, Yuli, Puspita, Panda, Iis, Ulya, Ucup, Arif, Tefi, Riko) serta semuanya yang tidak dapat sebutkan namanya satu per satu, yang telah menerima apa adanya dan dukungan yang membangun, Pak Albert dan Bu Lanjarsih terima kasih atas bantuannya di lapangan. Teman satu tim penelitian (Aan dan Lili) terima kasih atas kerjasama, pengertian dan kebersamaannya. Sahabat-sahabat penulis di SMUN 1 Bantul (Mea, Aan, Gori) terima kasih atas doa-doanya. Saudara penulis yang tinggal di Pochan Mbak Reni, Mbak Isna, Mbak Lina, Mbak Katree, Mbak Maida, Fijria, Putri K. dan semua penghuni pochan lainnya. Tak lupa pula Mada atas perjalanan kita selama ini. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan dengan pahala serta kebaikan yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Amien. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Juni 2008 Penulis
33
DAFTAR PUSTAKA Ambula, M. K., G. W. Oduho and J. K. Tuitoek. 2001. Effect of sorghum tannins, a tannin binder (polyvinylpyrrolidone) and sorghum inclusion level on the performence of broiler chicks. Asian-Aus. J. Anim Sci. (14) 9: 1276-1281. Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke 3. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Unversitas Indonesia Press, Jakarta. Appleby, M. C., J. A. Mench and B. O. Hughes. 2004. Poultry Behavior and Wealfare. CABI Publishing, Wallingford. Arifin, M. B. 2005. Kandungan lemak, kolesterol daging serta penampilan ayam broiler umur 3 minggu sampai 8 minggu yang diberi daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas Perternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aziz, S. dan S. R. Muktingsih. 2006. Studi manfaat daun katuk (Sauropus androgynus). Cermin Dunia Kedokteran 151 (50) : 48-50. Brand, Z., T. S. Brand and C. R. Brown. 2003. The effect of dietary and protein levels on production in breeding female ostrich. British Poultry Sci. 44 (4) : 589-606. Bell, D. D. and W. D. Weaver, Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production . 5th Edition. Springer Science and Bussines Media Inc, New York. Cannas, A. 2008. Tannins. www.cornelluniversity.edu/Cornellpoisonplant /ToxicAgents /Tannin/. html [2 April 2008]. Daghir, N. J. 1998. Replacement pullet and layer feeding and management. In : N. J. Daghir (Ed). Poultry Production in Hot Climate. Cab International, Wallingford. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Populasi itik dan produksi telur itik menurut propinsi 2003-2007. http://www.deptan.go.id/servlet/page. [29 Oktober 2007]. Hidayati, I. M. 1994. Pengaruh pembatasan pemberian pakan terhadap kualitas dan komposisi fisik telur itik tegal. Media Peternakan 17 (2) :13-21. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Moderen Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hardjosworo, P. dan Rukmiasih. 1999. Itik Permasalahan dan Pemecahan. Penebar Swadaya, Jakarta. Hsuan, K. 1989. Orders and Families of Malayan Seed Plants. University of Malayan Press, Kualalumpur.
34
Ibrahim, M. A. 2004. Evaluasi pemberian tepung daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap kadar kolesterol kuning telur dan karkas ayam petelur. Skripsi. Fakultas Perternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juana,
S. Manusia dan tumbuhan : Daun dalam Kehidupan. http://www.geocities.com/Hearthland/Oaks/8964. [14 Januari 2008].
Lesson, S. and J. D. Summers. 2000. Commercial Poultry Nutrition. 3th Edition . University Book, Ontario. Lesson, S. and J. D. Summers. 2001. Nutrition of The Chicken. 4th Edition . University Book, Ontario. Lesson, S. and J. D. Summers. 2005. Feeding systems for poultry. In : M. K. Theodore , and J. France (Ed). Feeding Systems and Feed Evaluation Models. CABI Publishing, Wallingford. Muhlisah, F. 2007. Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Penebar Swadaya, Jakarta. Muslim, D. A. 1992. Budidaya Mina Itik. Cetakan Pertama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. National Research Council. 1994. Nutrient Requierments of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press, Washington DC. Pemerintahan Kota Bogor. 2008. Target dan realisasi panen tanaman padi, palawija dan hortikultura (sayuran) Tahun 2003. www. kotabogor. go.id/index.php?option [10 Juni 2008]. Prasetyo, L. H., B. Brahmantiyo dan B. Wibowo. 2003. Produksi telur persilangan itik mojosari dan alabio sebagai bibit niaga unggulan itik petelur. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Hal : 360-364. Prasetyo, L. H., P. P.Kateren dan P. S. Hardjosworo. 2006. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Unggas Air II. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal : 145-161. Puspaningtyas, D. M. Sutrisno dan S. B. Suseto. 1997. Usaha tani katuk di desa Cilebut Barat Kabupaten Bogor. The Journal on Indonesia Medicine Plants. 3 (3) : 9-10. Rasyaf, M. 1993. Beternak Itik Komersial. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Romanoff, A. L. dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Willey and Sons Inc, New York. Santoso, U., E. Handayani and Suharyono. 2001. Effect of Sauropus androgynus (katuk) leaf extract on growth, fat accumulation and fecal microorganisms in broiler chickens. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 6 (4): 220-226. Saragih, D. T. R. 2005. Daun katuk dalam ransum ayam petelur dan pengaruhnya terhadap kandungan vitamin A, kolesterol pada telur dan karkas serta estrandiol darah. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
35
Sa’roni, Adjirni dan Y. Astuti. 1997. Tinjauan penelitian katuk yang telah dilakukan di Indonesia. The Journal on Indonesia Medicine Plants. 3 (3) : 44-45. Scanes, C. G., G. Brat and M. E. Ensminger. 2004. Poultry Science. 4th Edition. Prentince Hall, New Jersey. Setyowati, F. M. 1997. Arti katuk bagi masyarakat Dayak Kenyah, Kalimantan Timur. The Journal on Indonesian Medicine Plants 3 (3) : 54. Siagian, B. 1996. Performans produksi dan reproduksi beberapa itik lokal dan itik CV 2000 serta persilangan pada sisitem pemeliharaan intensif. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : M. Syah. PT. Gramedia, Jakarta. Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suharno, B. dan Setiawan. 1999. Beternak Itik di Kandang Baterai. Penebar Swadaya, Jakarta. Suharno, B. 2002. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya, Jakarta. Suprayogi, A. 2000a. Studies on The Biological Effect of Sauropus androgynus (L) Merr: Effect on Milk Production and The Possibilities of Induced Pulmonary Disorder In Lactating Sheep. Cuviller Verlag Gottingen. Suprayogi, A. 2000b. Manfaat dan konsekuensi mengkonsumsi daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr). Makalah Seminar. Laboratorium Nutrisi dan Biologi, Radiasi, Studi Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Windhyarti, S. 1999. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya, Jakarta. Wiradimaja, R. 2007. Dinamika status kolesterol pada puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) yang diberi daun katuk (Sauropus androgynus (L). Merr.) dalam ransum. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yuliani, S. dan T.Mawarti. 1997. Tinjauan katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. The Journal on Indonesia Medicine Plants. 3 (3) : 55. Zubaidah. 1991. Performans produksi telur hasil persilangan itik Alabio dengan itik bibit induk CV 2000 pada generasi pertama. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
36
LAMPIRAN
37
Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Ransum Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
F hitung
F 0,05
F 0,01
Perlakuan
3
1771,17
590,39
4,55*
3,49
5,95
Error
12
1558,60
129,88
Total
15
3329,76
221,98
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan berbeda nyata
Lampiran 2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Ransum Perlakuan
N
4 3 2 1 Sig.
4 4 4 4
Subset for alpha 0,05 1 2 113,64** 126,82* 126,82 138,09* 140,10* 0,128 0,142
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan tidak nyata (**) pengaruh perlakuan berbeda nyata
Lampiran 3. Sidik Ragam Produksi Telur Duck day (%) Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
F hitung
F 0,05
F 0,01
Perlakuan
3
4518,14
1506,05
36,85
3,49
5,95
Error
12
963,72
80,31
Total
15
5481,86
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan sangat berbeda nyata
Lampiran 4. Uji Jarak Duncan Produksi Telur Duck day (%) Perlakuan
N
4 3 2 1 Sig.
4 4 4 4
Subset for alpha 0,05 1 2 7,66** 8,73** 29,88* 31,23* 0,86 0,82
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan tidak nyata (**) pengaruh perlakuan sangat berbeda nyata
38
Lampiran 5. Sidik Ragam Bobot Telur Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
F hitung
F 0,05
F 0,01
0,64*
3,49
5,95
Perlakuan
3
78,20
26,07
Error
12
490,47
40,87
Total
15
568,68
37,91
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata
Lampiran 6. Sidik Ragam Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
F hitung
F 0,05
F 0,01
Perlakuan
3
1418,63
472,88
4,64*
3,49
5,95
Error
12
1222,95
101,91
Total
15
2641,58
176,10
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan berbeda nyata
Lampiran 7. Uji Jarak Duncan Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur Perlakuan
N
4 3 2 1 Sig.
4 4 4 4
Subset for alpha 0,05 1 2 8,43* 8,67* 25,83** 28,71** 0,974 0,69
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan tidak nyata (**) pengaruh perlakuan berbeda nyata
Lampiran 8. Sidik Ragam Konversi Ransum terhadap Jumlah Telur Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
F hitung
F 0,05
F 0,01
Perlakuan
3
505824,3
35940,69
1,08*
3,49
5,95
Error
12
107822,1
33166,85
Total
15
398002,2
Keterangan : (*) pengaruh perlakuan tidak nyata
39
Lampiran 9. Konsumsi Ransum Itik Selama Masa Penelitian Perlakuan R1 R2 R3 R4
Minggu 1 147,54 140,84 133,55 120,32
Minggu 2 132,24 131,24 102,42 88,70
Minggu 3 138,79 135,02 124,05 112,95
Minggu 4 139,92 132,81 122,08 100,478
Minggu 5 137,40 143,57 137,89 125,36
Minggu 6 144,71 144,37 140,95 134,04
Lampiran 10. Produksi Telur Duck day Itik Selama Masa Penelitian Perlakuan R1 R2 R3 R4
Minggu 1 23,81 19,05 0 6,35
Minggu 2 30,95 38,10 7,14 6,35
Minggu 3 40,48 34,52 9,52 7,14
Minggu 4 17,86 25,00 4,76 9,52
Minggu 5 28,27 29,17 7,14 7,34
Minggu 6 27,38 35,71 19,05 11,90
Minggu 5 57,73 53,44 57,61 63,76
Minggu 6 56,72 58,16 48,38 59,19
Minggu 5 8,69 8,10 25,39 19,20
Minggu 6 13,34 9,41 35,29 30,72
Lampiran 11. Bobot Telur Itik Selama Masa Penelitian Perlakuan R1 R2 R3 R4
Minggu 1 64,47 65,30 0 63,77
Minggu 2 64,86 63,80 66,55 67,95
Minggu 3 59,41 58,44 65,11 66,74
Minggu 4 56,97 56,27 64,25 65,00
Lampiran 12. Konversi Ransum Itik Selama Masa Penelitian Perlakuan R1 R2 R3 R4
Minggu 1 9,82 26,03 0 33,31
Minggu 2 7,86 8,99 21,47 19,72
Minggu 3 6,04 7,39 29,07 30,77
Minggu 4 20,73 19,49 41,51 16,15
Lampiran 13. Produksi Masa Telur Itik Selama Masa Penelitian Perlakuan R1 R2 R3 R4
Minggu 1 15,43 8,74 0 4,10
Minggu 2 20,12 24,87 5,30 4,21
Minggu 3 24,06 20,53 6,36 4,88
Minggu 4 6,94 12,59 3,06 6,19
Minggu 5 22,44 18,55 5,49 6,07
Minggu 6 16,46 21,26 10,09 6,96
40