SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR
SKRIPSI MOKHAMAD SAEFULAH
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN MOKHAMAD SAEFULAH. D14102005. 2006. Suplementasi Tepung Jangkrik Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur. Skripsi. Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Hj. Niken Ulupi, MS : Ir. Dwi Margi Suci, MS
Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi dan hampir semua proteinnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh jika dibandingkan dengan protein bahan pangan lain. Kandungan asam amino pada telur lebih baik karena asam amino telur dijadikan sebagai tolak ukur standar asam amino yang diserap oleh tubuh (biological value) untuk menghitung asam amino pembatas. Konsumsi telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Menurut Ditjen Peternakan (2005), konsumsi protein hewani yang berasal dari telur mengalami peningkatan yaitu dari 4,38 kg/kapita/tahun pada tahun 2004 menjadi 4,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Kebutuhan telur tersebut selain dipenuhi oleh telur ayam ras, juga berasal dari telur itik dan ayam buras yaitu sekitar 60 %. Tepung jangkrik dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan berkualitas tinggi dan sumber hormon, terutama estrogen. Hal ini dikarenakan tepung jangkrik mengandung protein yang cukup tinggi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum mempengaruhi performa produksi ayam petelur. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik sebagai sumber estrogen terhadap performa ayam petelur strain ISA-brown. Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 10 minggu yaitu sejak bulan Agustus sampai dengan Oktober 2005. Sebanyak 90 ekor ayam petelur Strain ISA-brown umur 20 minggu ditempatkan ke dalam 23 cage. Ayam dikelompokkan secara acak ke dalam 5 perlakuan suplementasi tepung jangkrik yaitu 0%; 0, 25%; 0,50%; 0,75% dan 1% dalam ransum. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri dari enam ekor ayam. Tepung jangkrik yang digunakan berasal dari Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta dengan kandungan protein kasar sebesar 55,96 % dan hormon estrogen sebesar 259,535 ppm. Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap performa ayam petelur, seperti produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum. Produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum selama penelitian berturut-turut adalah 77,88-87,26 %; 54,03-60,33 g/butir; 103,39-109,57 g/ekor/hari dan 1,89-2,02. Kata-kata kunci: Ayam petelur, tepung jangkrik, performa.
ABSTRACT The Effect Of Supplementation Cicada Flour on Commercial Feed to Layer Performance M. Saefulah, N. Ulupi and D. M. Suci Cicada flour is suspected have estrogenic hormone which can improve the performance of layer. The aim of this study was investigated the effect of supplementation cicada flour on commercial feed to layer performance. Ninety chickens layer ISA-brown strain (20 week of age) were used in this study. Variable measured hen-day production, eggs weight, feed consumption, and feed conversion. Completely randomize design was used in this experiment with 5 treatments (P1); 0% cicada flour, (P2); 0.25% cicada flour, (P3); 0.5% cicada flour, and (P5) 1% cicada flour, with three replicates were used. Data were analyzed using ANOVA. Result in this experiment indicates that no effect the supplementation of cicada flour to performance of chicken layer ISA-brown strain. Keywords: Layer, Cicada flour, performance
SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR
MOKHAMAD SAEFULAH D14102005
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR
Oleh MOKHAMAD SAEFULAH D14102005
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Agustus 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Hj. Niken Ulupi, MS. NIP. 131 284 604
Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 671 592
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur. Sc NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 5 September 1983 di Batang, Kota Madya Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Abu Khaeri dan Ibu Suwarti. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Surjo 01, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pendidikan lanjutan menegah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri 01 Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah sedangkan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri 01 Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Pekalongan Batang (IMAPEKA), DKM Al Hurriyah, Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan IPB, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor. Selama kuliah penulis juga pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, baik yang diadakan oleh Fakultas Peternakan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor dan Goodwill International Leadership Program. Pengalaman kerja yang diperoleh penulis yaitu pada tahun 2004 magang di laboratorium ruminansia besar Fakultas Peternakan IPB, pada tahun 2005 sebagai surveyor PEMDA DKI dan Lembaga Administrasi Negara serta bekerja sebagai staff pengajar di salah satu Sekolah Menengah Umum di Bogor dari tahun 2005 sampai sekarang dan sebagai staff pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar Bintang Pelajar. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Penulis menyelesaikan skripsinya dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat
yang tak terhingga dan hanya
dengan pertolongan-Nya skripsi dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman. Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai bahan pangan dan bahan biologi. Berdasarkan Ditjen Peternakan menunjukkan adanya peningkatan konsumsi telur dari tahun ke tahun, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara meningkatkan performa produksi ayam petelur. Jangkrik merupakan salah satu jenis serangga yang mempunyai kandungan protein tinggi dan hormon estrogen. Berdasarkan hal tersebut, jangkrik cukup berpotensi untuk dijadikan bahan pakan maupun tambahan pakan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ayam petelur strain Isa-brown yang berumur dua puluh minggu sebanyak sembilan puluh ekor. Perlakuannya adalah suplementasi tepung jangkrik pada ransum komersial sebesar 0,25-1 % dengan sebagai sumber estrogen.Tepung jangkrik yang digunakan diproduksi oleh Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas 35 hari. Penyusunan skripsi ini diharapan dapat memberikan informasi tentang pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap performa ayam petelur komersial. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
ii
ABSTRACT ................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xi
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan .............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
2
Jangkrik ........................................................................................... Ayam Petelur .................................................................................. Produksi telur ................................................................................. Bobot Telur ..................................................................................... Konsumsi Ransum .......................................................................... Konversi Ransum ............................................................................ Hormon Estrogen.............................................................................
2 5 6 8 10 11 12
MATERI DAN METODE ..........................................................................
15
Lokasi dan Waktu ............................................................................ Materi .............................................................................................. Rancangan Percobaan ..................................................................... Prosedur Percobaan .........................................................................
15 15 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
20
Hasil ................................................................................................. Produksi Telur ................................................................................. Bobot Telur ...................................................................................... Konsumsi Ransum .......................................................................... Konversi ransum ............................................................................. Abnormalitas Telur ..........................................................................
20 20 22 23 25 26
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
28
Kesimpulan ..................................................................................... Saran ...............................................................................................
28 28
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
30
LAMPIRAN ................................................................................................
34
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)........................................ 4 2. Kandungan Zat Makanan Dalam Ransum Komersial .......................
15
3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Jangkrik........................................
16
4. Rataan Pengamatan Produksi Telur, Bobot Telur, Konsumsi dan Konversi Ransum. .......................................................................
20
5. Abnormalitas Telur Selama Penelitian ...............................................
26
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Grafik Produksi Telur ......................................................................
21
2. Grafik Rataan Bobot Telur ..............................................................
23
3. Grafik Rataan Konsumsi Ransum....................................................
25
4. Grafik Konversi Ransum .................................................................
26
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Contoh Perhitungan Kadar Protein Ransum Perlakuan ..................
32
2. Hasil Analisis Ragam Produksi Telur Selama 10 Minggu ..............
34
3. Hasil Analisis Ragam Rataan Bobot Selama 10 Minggu ................
34
4. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Ransum Selama 10 Minggu .......
34
5. Hasil Analisis Ragam Konversi Ransum Telur 10 Minggu ............
34
6. Abnormalitas Telur ..........................................................................
36
PENDAHULUAN Latar Belakang Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi dan hampir semua proteinnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh jika dibandingkan dengan protein bahan pangan lain. Kandungan asam amino pada telur lebih baik karena asam amino telur dijadikan sebagai ukuran standar asam amino yang diserap oleh tubuh (biological value) untuk menghitung asam amino pembatas. Konsumsi telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Menurut Ditjen Peternakan (2005), konsumsi protein hewani yang berasal dari telur mengalami peningkatan yaitu dari 4,38 kg/kapita/tahun pada tahun 2004 menjadi 4,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Kebutuhan telur tersebut selain dipenuhi oleh telur ayam ras, juga berasal dari telur itik dan ayam buras yaitu sekitar 60 %. Jangkrik merupakan salah satu serangga yang mudah dibudidayakan dan cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan jangkrik memiliki daya reproduksi yang tinggi. Jangkrik dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan, binatang peliharaan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Hal ini dikarenakan kandungan protein yang tinggi pada jangkrik. Penggunaan tepung jangkrik sebagai pakan masih terbatas pada burung dan ikan, sedangkan pada ayam masih jarang. Zat-zat kimia yang serupa hormon pada vertebrata, seperti androgen, estrogen dan insulin baru-baru ini telah terdeteksi pada jangkrik. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm dapat diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur di atas 35 hari (Prayitno, 2000). Hormon estrogen pada unggas berfungsi merangsang perkembangan sifat seks sekunder, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati serta membantu metabolisme kalsium. Informasi tentang penggunaan tepung jangkrik dalam pakan ayam juga masih jarang dan
bahkan belum ada, sehingga untuk
mengetahui hal itu diperlukan suatu penelitian. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik sebagai sumber estrogen terhadap performa ayam petelur.
TINJAUAN PUSTAKA Jangkrik Taksonomi Jangkrik termasuk dalam ordo Orthoptera, yang berasal dari bahasa Yunani Orthos berarti lurus dan ptera berarti sayap. Sehingga Orthoptera dapat diartikan sebagai serangga yang bersayap lurus. Menurut Borror et al. (1992) bahwa jangkrik secara lengkap taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Mandibulata
Kelas
: Insecta
Subkelas
: Pterygota
Ordo
: Orthoptera
Subordo
: Saltatoria
Famili
: Gryllidae
Subfamili
: Gryllinae
Genus
: Gryllus
Spesies
: Gryllus mitratus (jangkrik kliring) G. testeceus (jangkrik cendawang) G. bimakulatus (jangkrik kalung)
Morfologi Menurut Sribimawati (1984) bahwa tubuh jangkrik terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut. Bagian kepala memiliki sepasang antena, mata tunggal yang tersusun dalam satu segitiga tumpul, satu mulut dan dua pasang kumis. Dada merupakan tempat melekatnya enam tungkai dan empat sayap. Jangkrik jantan dewasa memiliki organ stridulasi dibagian depan sayap luar yang berfungsi untuk mengeluarkan bunyi kerikan sehingga sayap jantan terlihat lebih kasar dari pada sayap jangkrik betina. Baik jantan maupun betina memiliki sepasang organ pendengar (tympanum) yang terletak dekat pangkal tibia tungkai depan (Pallister, 1990). Perut (abdomen) jangkrik terdiri dari sebelas ruas. Alat kelamin luar jangkrik dewasa terdapat pada abdomen ruas kedelapan atau kesembilan, jangkrik betina
2
memiliki ovipositor yang berfungsi untuk mengeluarkan telur-telurnya. Bentuknya seperti jarum dan terdapat pada ujung abdomen (Ross et al., 1982). Tiga spesies jangkrik yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jangkrik cendawang, jangkrik kliring dan jangkrik kalung. Ciri fisik dari masing-masing spesies berbeda. Jangkrik kalung mempunyai kulit tubuh dan sayap luar berwarna hitam legam atau agak kemerahan dan pada bagian punggung terdapat garis tebal kuning yang menyerupai kalung. Kulit tubuhnya lunak dan lembek. Pertumbuhan pada fase instar relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan dua spesies lain. Jangkrik cendawang memiliki kulit tubuh agak kasar, warna tubuh dan sayap coklat tua polos, bagian tepi sayap luar tedapat garis dengan warna lebih muda dan ukuran tubuh relatif lebih besar jika dibandingkan dengan dua spesies lain. Jangkrik kliring cirinya warna tubuh dan sayap coklat muda polos, kulit tubuh sedikit kasar dan kering, pada bagian kepala terdapat garis warna kuning membentuk huruf “V” dan lebih suka bersembunyi (Widyaningrum, 2001). Siklus Hidup Jangkrik dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis tidak sempurna. Kehidupan jangkrik diawali dengan telur kemudian menetas menjadi nimfa (serangga muda) dan selanjutnya menjadi serangga dewasa (Borror et al.,1992). Menurut Hasegawa dan Kubo (1996), waktu yang dibutuhkan oleh nimfa untuk tumbuh dewasa dipengaruhi oleh kondisi cuaca, spesies dan jenis makanannya. Borror et al.(1992), jangkrik muda dengan jangkrik dewasa hampir sama dalam hal bentuk, yang berbeda hanyalah ukuran tubuh. Bila serangga tumbuh atau meningkat ukurannya, rangka luar secara periodik terkelupas dan diganti dengan yang lebih besar. Proses ini disebut dengan pergantian kulit. Sejak menetas sampai tumbuh dewasa, jangkrik akan mengalami pergantian kulit empat kali. Komposisi Tepung Jangkrik Menurut Bodenheimer (1951), jangkrik termasuk salah satu jenis serangga yang biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat dibeberapa negara misalnya India, Filipina, Thailand dan Indonesia. Jangkrik mempunyai potensi untuk menjadi salah satu pakan ikan, binatang peliharaan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Potensi tersebut dikarenakan tingginya kadar protein jangkrik, daya reproduksi yang tinggi dan mudah
3
dalam pemeliharaannya (Linsemaier, 1972). Kandungan nutrisi tepung jangkrik spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket) ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket) Anabrus simplexa
Komponen
Jangkrik Dewasa Jantan
Betina
Acheta domesticus L.b
Instar VII (Jantan dan Betina)
----------------------------%---------------------------Air
6,2
6,3
6,0
5,2
Protein Kasar
60,3
56,0
57,7
62,0
Lemak
12,0
19,9
12,4
7,5
Serat Kasar
6,9
5,4
9,0
4,6
Abu
9,8
8,2
7,6
7,0
Sumber : De Foliart (1982)
Jangkrik dapat diolah menjadi tepung seperti halnya udang, namun harga tepung jangkrik relatif lebih murah jika dibandingkan dengan tepung udang. Hal ini menyebabkan permintaan tepung jangkrik meningkat sehingga pabrik pakan tertarik untuk menggunakan bahan baku jangkrik untuk produksinya (Sukarno, 1999). Menurut De Foliart (1982), bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum ayam broiler sebagai pengganti bungkil kedelai dengan penambahan asam-asam amino memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan ayam broiler dibandingkan dengan penggunaan ransum dengan tanpa suplemen asam amino. Beberapa organ pada seekor serangga dikenal menghasilkan hormon yang fungsi-fungsi utamanya yaitu mengontrol proses reproduksi, pergantian kulit dan metamorfosis. Zat-zat kimiawi yang serupa hormon-hormon vertebrata, temasuk androgen, estrogen dan insulin baru-baru ini telah terdeteksi pada serangga (Borror et al., 1992).
4
Ayam Petelur Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dan diseleksi untuk produksi telur. Ayam yang sekarang dipelihara termasuk dalam spesies Gallus domesticus. Ada tiga tipe ayam yaitu tipe ringan berasal dari bangsa White Leghorn, tipe medium dari bangsa Rhode Island Reds dan Barred Plymouth Rock serta tipe berat dari bangsa New Hampshire, White Plymouth Rock dan Cornish (Amrullah, 2004). Menurut North dan Bell (1990) bahwa White Leghorn mempunyai ciri muka berwarna kuning, kerabang telur berwarna putih. Single Comb White Leghorn merupakan salah satu jenis Leghorn yang hanya digunakan untuk produksi telur secara komersial Single Comb Rhode Island Reds mempunyai ciri jengger tunggal, kerabang telur berwarna coklat, muka kuning dan bulu berwarna merah dengan beberapa warna hitam pada ekor, leher bagian belakang, leher depan dan sayap, produksi telur sangat baik. Barred Plymoth Rock mempunyai ciri jengger tunggal, muka kuning dan kerabang telur coklat. New Hamshire mempunyai ciri warna bulu merah terang muka kuning, jengger tunggal dan produksi telur dengan warna kerabang coklat. Awalnya diketahui untuk produksi telur yang tinggi, tetapi kemudian diakui sebagai ayam dengan kualitas daging yang baik. Ayam betinanya disilangkan dengan jantan jenis tipe daging lain dan menghasilkan bangsa silangan ayam broiler. White Plymouth Rock mempunyai ciri muka kuning dan jengger tunggal. Strain aslinya mempunyai genetik pertumbuhan bulu yang lambat, yang tidak menguntungkan bagi kualitas ayam broiler, tetapi sekarang beberapa strain mempunyai pertumbuhan bulu yang cepat. Cornish mempunyai ciri jengger berbentuk pea, kerabang telur coklat, muka kuning dan mempunyai tipe badan yang berbeda dengan bangsa lainnya. Kaki pendek, badan besar, dada sangat luas dan berotot. ISA-brown merupakan bangsa galur murni hasil seleksi lebih dari 36 tahun oleh tim genetik Hubbard ISA yang mempunyai kerabang telur coklat. ISA-brown dapat beradaptasi dalam berbagai kondisi pemeliharaan, seperti dalam cage, floor, atau sistem range. ISA-brown komersial mempunyai daya hidup 98% sampai umur 18 minggu dan 93% sampai masa produksi 76 minggu. Umur mulai poduksi 18 minggu, mencapai 50% hen-day pada umur 20 minggu dan mencapai puncak umur 25 minggu. Puncak poduksi mencapai 95% hen-day. Rata-rata bobot telur mencapai 62,7 g/butir sampai umur 76 minggu (Lightlink, 2006). Ayam petelur strain ISA-brown memiliki periode bertelur
5
antara 18-80 minggu, liveability sebesar 93,2%, puncak produksi sebesar 95% pada umur 26 minggu. Rata-rata bobot telur ayam petelur strain ISA-brown sebesar 63,19 g (Hendrix-genetics, 2006). Ciri-ciri Pullet untuk produksi telur adalah memiliki ukuran tubuh relatif kecil, bertelur dengan jumlah banyak dengan kerabang keras, hidup baik dan produksi telurnya ekonomis. Ayam untuk produksi daging diutamakan untuk produksi daging dari pada telur yang dapat memberikan keuntungan ketika bobotnya besar (North dan Bell, 1990). Produksi Telur North dan Bell (1990) menyatakan bahwa pengukuran produksi telur biasanya dinyatakan dengan hen-day. Masa produksi telur dihitung sejak ayam mencapai produksi telur 5% hen-day. Hen-day merupakan ukuran produksi telur ayam yang hidup pada periode tertentu, yaitu membandingkan jumlah telur total yang dihasilkan pada periode tertentu dengan jumlah ayam yang hidup pada periode tertentu. Ayam mulai berproduksi pada saat ayam berumur 22 minggu, selanjutnya akan naik dengan tajam dan mencapai puncaknya pada kisaran umur antara 32 sampai 36 minggu, kemudian produksi telur menurun secara perlahan sampai 55% sesudah masa produksi 15 bulan yaitu pada saat ayam berumur 82 minggu. Periode produksi yang masih dianggap menguntungkan hanya sampai mencapai 15 bulan. (Wahyu, 1985). Scott et al. (1982) menyatakan bahwa ayam ras petelur medium mulai bertelur kira-kira pada umur 22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi telur dicapai pada saat ayam berumur sekitar 28–30 minggu. Romanoff dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara umur ayam dengan produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin bertambahnya umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap. Hal ini erat hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada organorgan tubuh dan jaringan. Scott et al. (1982) membagi periode produksi ayam petelur menjadi dua periode, yaitu fase I dari umur 22–42 minggu dengan rataan produksi telur 78% dan bobot telur 56 gram, fase II umur 42–72 minggu dengan rataan produksi telur 72% dan bobot telur 60 gram. Ayam ras petelur yang unggul menghasilkan telur 250 butir/tahun dengan
6
bobot telur rata-rata 57,9 g/butir dan rata-rata produksi telur sebesar 70% (Mc Donald et al., 2002). Produksi telur ayam ras petelur dihasilkan pada kisaran suhu 18,3–23,9 oC (North dan Bell, 1990) dan 21–26
o
C (Carr dan Carter, 1985). Ayam petelur
berkerabang coklat masih menampilkan performa yang baik walaupun pada temperatur yang berfluktuasi antara 22,7–30,9 oC, ransum dengan kandungan protein 16% dan tingkat energi metabolis 2.650 kkal/kg ransum (Gurnadi, 1986). Hal ini menunjukkan bahwa ayam petelur berkerabang coklat dapat dikembangkan di daerah tropis seperti Indonesia. Siregar (2003) melaporkan bahwa produksi telur (% hen-day) pada ayam strain ISA-brown selama 14 minggu produksi adalah 67,10% dengan pemberian ransum yang mengandung energi metabolis 2.665,20 kkal/kg dan protein kasar 17% pada fase pertama. Berdasarkan penelitian Priono (2003) diperoleh rataan produksi telur (% henday) sebesar 76,90% pada ayam petelur strain ISA-brown dengan pemberian ransum yang ditambahkan metionin 0,34% dan mengandung energi metabolis 2.685,8 kkal/kg dan protein kasar 17%. Menurut Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan produksi telur dipengaruhi oleh tingkat konsumsi ransum, protein dan energi. Menurut Scott et al. (1982), untuk mencapai produksi telur yang maksimum, ayam petelur harus mengkonsumsi 17 gram protein dengan jumlah konsumsi ransum 100 g/ekor/hari. Adapun kandungan protein 14% di dalam ramsum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum. Produksi telur pada ayam dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kondisi awal ayam pada saat mulai bertelur dan potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak produksi (Isapoultry, 2006). Tercukupinya kebutuhan protein ayam dapat mengindikasikan tercukupinya kebutuhan asam-asam amino di dalamnya. Ketersediaan berbagai asam amino dalam jumlah yang cukup di dalam ransum ayam mampu mengoptimalkan produksi telur yang dihasilkan (Zimmerman dan Snetsinger, 1976). Produksi telur sangat tergantung pada jumlah konsumsi protein dan asam amino perhari. Kira-kira 80-85% konsumsi asam amino langsung digunakan untuk produksi telur. Defisiensi asam amino akan mempengaruhi produksi telur (% hen-day), ukuran telur, dan peningkatan konversi ransum (Charoen Pokphand, 2000). Produksi telur dipengaruhi oleh kandungan protein dan fosfor dalam
7
ransum. Perbedaan kandungan protein ransum yang lebih tinggi menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino yang lebih lengkap daripada yang terdapat dalam ransum yang proteinnya lebih rendah (Onwudike dan Oke, 1986). Summers (1995) menyatakan bahwa kandungan fosfor sebesar 0,2% nyata mempengaruhi produksi telur yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan fosfor sebesar 0,4%. Bobot Telur Ukuran telur dapat diartikan sebagai besar kecilnya telur yang dinyatakan dalam bobot. Standar Nasional Indonesia (1995) menyatakan bahwa kriteria dan bobot telur ayam ras untuk telur konsumsi adalah ekstra besar (lebih dari 60 gram), besar (55–60 gram), sedang (51–55 gram), kecil (46–50 gram) dan ekstra kecil (kurang dari 46 gram). Menurut Rose (1997), telur ayam umumnya terdiri atas 64% albumen, 27% kuning telur dan 9% kerabang. Kandungan masing-masing komponen tersebut mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan ayam petelur, ukuran kuning yang besar akan menghasilkan ukuran telur yang besar. Menurut Nort dan Bell (1990), bobot telur berkaitan erat dengan komponen penyusunnya yang terdiri atas putih telur (58%), kuning telur (31%) dan kerabang (11%). Ukuran telur sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain variasi individu, spesies, umur dan variasi hereditas (Sirait, 1986). Bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar sekitar 58,0 g/butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telurnya biasanya lebih kecil (Sirait, 1986). Setiap strain ayam petelur akan mengalami peningkatan bobot telur per butir pada umur 26–50 minggu, akan tetapi setelah ayam berumur lebih dari 50 minggu, bobot telur tidak akan berubah lagi (Togatorop et al., 1977). Bobot telur setiap bangsa ayam berbeda. Ayam Leghorn mempunyai bobot rataan 58,10 g/butir dan Rhode Island Red 59,30 g/butir, sedangkan bangsa Plymouth Rock mempunyai rataan bobot telur 63,90 g/butir (Romanoff dan Romanoff, 1963). Secara normal telur ayam mempunyai bobot antara 40-80 g/butir (Campbell et al., 2003). Menurut Sirait (1986) bahwa bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar antara 58,0 g/butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telur biasanya lebih kecil dari 58,0 g/butir.
8
Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur adalah strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok. Ukuran ovum, intensitas bertelur dan nutrisi dalam ransum juga mempengaruhi ukuran telur (Campbell et al., 2003). Ukuran telur merupakan faktor genetik, hal ini berhubungan dengan kemampuan ayam untuk menghasilkan telur besar, medium atau kecil (North dan Bell, 1990). Bobot telur tidak dipengaruhi oleh peningkatan energi metabolis, tetapi peningkatan kandungan protein 12-18% di dalam ransum dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan Young, 1972). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shafer et al. (1992), pemberian metionin ransum pada taraf 0,38; 0,46 dan 0,53% menunjukkan bahwa peningkatan bobot telur terjadi pada taraf pemberian metionin yang lebih tinggi. Umur dewasa kelamin juga mempengaruhi bobot telur. Ayam dara (pullet) yang ketika bertelur pertama telurnya besar maka akan besar selama periode produksi telur (North dan Bell, 1990). Ayam petelur yang mengalami masak kelamin dini memiliki ukuran telur yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ayam petelur yang mencapai masak kelamin lebih lambat (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Amrullah (2004) bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah sejalan dengan makin tuanya umur ayam, tetapi kenaikan ini tidak seragam. Awalnya meningkat sangat jelas ukurannya untuk kemudian hanya sedikit berubah dan konstan. Intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi. Selama tahun pertama bertelur, bobot dan produksi telur meningkat secara simultan. (Romanoff dan Romanoff, 1963). Telur mempunyai ukuran yang besar pada intensitas bertelur yang rendah (Campbell et al., 2003). Temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun sebagai hasil menurunnya konsumsi nutrien pada kelompok ayam, terutama energi dan protein. (North dan Bell, 1990). Ukuran ayam dalam satu kelompok yang besar akan menghasilkan telur dengan rataan yang besar. Bagaimanapun juga ayam dalam satu kelompok bobotnya selalu seragam sehingga akan menghasilkan telur yang seragam pula (North dan Bell, 1990).
9
Bobot badan mempunyai korelasi yang tinggi terhadap bobot telur. Bobot yang besar akan menghasilkan telur yang besar pula (North dan Bell, 1990; Campbell et al., 2003). Defisiensi nutrisi dalam ransum akan mengurangi bobot telur. Salah satunya defisiensi vitamin D. Vitamin D berhubungan dengan metabolisme kalsium, sehingga penting dalam pembentukan kerabang (Campbell et al., 2003). Ukuran telur dapat meningkat dengan meningkatnya protein ransum. Peningkatan kandungan protein ransum dari 17-21% atau dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot telur ayam (Nakajima dan Keshaverz, 1995). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa pengaruh penurunan protein ransum dari 2112% akan mengurangi bobot telur dari 53,8 menjadi 52,9 gram. Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa waktu telur dikeluarkan juga berpengaruh terhadap bobot telur. Telur yang dikeluarkan sebelum jam 9 pagi lebih besar 2,5% dibandingkan dengan telur yang dikeluarkan lebih dari jam 2 siang. Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genetik, umur saat dewasa kelamin, suhu lingkungan, tipe kandang, pakan, air dan penyakit (Ensminger, 1992). Menurut Anggorodi (1995), faktor yang mempengaruhi besar telur adalah tingkat dewasa kelamin, protein dan asam amino yang cukup dalam ransum. Faktor lain yang mempengaruhi besar telur adalah kandungan kalsium dan fosfor dalam ransum. Konsumsi Ransum Ransum adalah pakan yang diberikan kepada ternak tertentu selama 24 jam, dengan waktu pemberian sekali atau beberapa kali (Parakkasi, 1985). Ransum dikatakan seimbang bila mengandung zat-zat nutrisi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang cukup untuk pertumbuhan, produksi, dan kesehatan ternak (Anggorodi, 1995) Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu besar dan umur ayam, temperatur lingkungan, periode produksi serta kandungan energi ransum (Wahyu, 1985). Ayam petelur tipe berat akan mengkonsumsi ransum lebih banyak jika dibandingkan dengan ayam petelur tipe ringan. Hal ini dikarenakan ayam yang lebih besar membutuhkan energi yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksinya (Scott et al., 1982). Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kandungan energi ransum dan temperatur lingkungan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah strain ayam, bobot badan, bobot telur, penutupan bulu, derajat cekaman
10
serta aktivitas ayam (Amrullah, 2003). Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konsumsi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 118,10 g/ekor/hari. Menurut North dan Bell (1990), konsumsi ransum ayam petelur tipe medium berkisar antara 105-116 g/ekor/hari Menurut Scott et al. (1982), energi yang tinggi menyebabkan konsumsi ransum cenderung menurun. Menurut Mc Donald et al. (2002), konsumsi ransum akan mengalami penurunan 1–2% untuk setiap kenaikan temperatur 1 oC dalam kisaran temperatur 10–30 oC. Kisaran temperatur 26-32 oC sudah melebihi kisaran temperatur ideal untuk ayam petelur, pada kisaran temperatur tersebut ayam sudah mengalami sedikit penurunan konsumsi ransum masih cukup untuk efisiensi produksi dan kebutuhan zat makanan. Penurunan konsumsi ransum yang nyata pada ayam petelur akan mengakibatkan defisiensi zat-zat makanan seperti asam amino, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga performa yang dihasilkan kurang maksimal. Apabila terjadi penurunan konsumsi ransum akibat naiknya temperatur lingkungan maka dilakukan upaya peningkatan kualitas ransum yang diberikan, caranya yaitu dengan suplementasi beberapa asam amino kritis dan zat makanan lainnya untuk mengatasi defisiensi zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh (NRC, 1994). Konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot badan ayam (Bish et al., 1985), Menurut Sterling et al. (2003), kandungan energi yang tinggi dalam ransum menyebabkan konsumsi ransum rendah. Konversi Ransum North dan Bell (1990) menyatakan, bahwa adanya peningkatan mutu genetik ternak mampu meningkatkan efisiensi ransum, karena adanya peningkatan terhadap pertumbuhan dan produksi ternak terhadap ransum yang dikonsumsinya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi konversi ransum adalah kecepatan pertumbuhan atau produksi telur, kandungan energi dalam ransum, besar ayam, terpenuhinya zat nutrisi dalam ransum, temperatur lingkunan dan kesehatan ayam (Card dan Neisheim, 1979). Konversi ransum juga dipengaruhi oleh bentuk ransum. Ransum yang berbentuk mash memiliki konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum yang berbentuk butiran. Menurut Anggorodi (1995), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur lingkungan, daya cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi ransum. Menurut Siregar (2003), konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33 pada ayam
11
petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15% dan 18%, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Berdasarkan Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 2,13. Menurut Sterling et al.,(2003), konversi ransum ayam petelur tipe medium sebesar 2,08. Hormon Estrogen Hormon adalah zat kimia yang disintesis oleh bagian tubuh yang jelas batasbatasnya, umumnya kelenjar buntu khusus yang dibawa oleh pembuluh darah ke bagian tubuh lain tempat zat-zat itu menimbulkan penyetelan-penyetelan sistemik dengan aksinya terhadap jaringan-jaringan dan organ-organ khusus. Aksi-aksi hormon seluruhnya tergantung kepada kemampuan sel-sel sasaran untuk menanggapinya. Hormon tidak menciptakan kemampuan baru di dalam sel sasaran tetapi hanya memicu mesin-mesin metabolisme yang sudah dimilikinya. Apabila lokasi reseptor (protein atau lipoprotein) pada sel-sel sasaran tidak ada atau sudah diduduki hormon tidak menghasilkan pengaruh. (Turner dan Bagnara, 1976). Estrogen adalah hormon tipe steroid yang dihasilkan oleh ovari (Ensminger, 1992). Seluruh estrogen mengandung atom 18 karbon. Estrogen yang biasa dikenal adalah estradiol, estron dan estriol. Estrogen terdapat diberbagai jaringan hewan seperti testis, adrenal dan plesenta serta dalam jumlah kecil ditemukan juga dalam spermatozoa. Estrogen dapat merangsang pertumbuhan dan diferensiasi saluran reproduksi betina serta struktur-struktur yang terkait yang menimbulkan berbagai macam pengaruh sistemik (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut perkembangan
McDonald
dan
Pineda
(1989)
bahwa
estrogen
merangsang
dan perubahan siklus saluran genital tubular pada hewan betina,
perkembangan kelenjar mamae dan uterus, karakteristik seks sekunder serta meningkatkan metabolisme kalsium dan lemak pada burung atau unggas. Penyuntikan estrogen dengan dosis rendah dapat merangsang ovulasi pada sapi, domba, kelinci dan tikus. Hormon estrogen pada unggas berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel dan penting untuk sintesis albumin telur (Ensminger, 1992). Menurut Turner dan Bagnara (1976) bahwa banyak hormon-hormon
12
steroid diperlukan untuk perkembangan fungsional aves. Setijanto (1998) menyatakan bahwa pada saat mendekati dewasa kelamin, ovarium akan mengeluarkan lebih banyak hormon estrogen. Hal ini menyebabkan perkembangan oviduct yang cepat menjadi suatu alat yang panjangnya 50-60 cm dan siap mengeluarkan albumin, selaput-selaput telur dan kerabang untuk melengkapi telur. Perkembangan penuh magnum, yakni daerah yang mensekresikan albumin dapat dihasilkan dengan memberikan estrogen yang diikuti dengan androgen atau progesteron. Estrogen berfungsi menginduksi diferensiasi sel yang mensintesis protein putih telur, seperti ovalbumin dam lisozim. Untuk dapat menghasilkan 365 butir telur per tahun, diperlukan metabolisme kalsium yang hebat. Kelenjar cangkang berbeda dari bagian lain oviduct karena estrogen saja cukup untuk memacu perkembangannya. Tulang medula burung-burung yang bertelur mengalami rentetan deposisi dan destruksi yang berkorelasi dengan penyimpanan dan pengeluaran kalsium. Tidak diketahui bagaimana estrogen bereaksi menggiatkan deposisi kalsium pada tulang dan pengambilannya dari tulang, namun ini merupakan bukti bahwa estrogen berfungsi dalam membantu metabolisme kalsium (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut Setijanto (1998), bahwa sistem genitalia embrio betina terdiri atas sepasang ovarium dan oviduct. Segera setelah menetas ovarium dan oviduct kanan mengalami degenerasi (rudimenter). Sehingga pada sebagian besar unggas hanya oviduct kiri saja yang berkembang dan berfungsi dalam produksi telur. Turner dan Bagnara (1976) menyatakan bahwa oviduct unggas berukuran cukup besar membentang dari ovari sampai kloaka. Daerah-daerah utamanya adalah infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Telur yang diovulasikan jatuh ke rongga tubuh dan dibuahi di daerah infundibulum yang berbentuk corong. Telur ayam tetap bertahan dalam infundibulum selama kira-kira 15 menit, disana telur memperoleh kalaza, yakni tali seperti per yang merentang melintasi albumin dari kuning telur ke kutub telur. Magnum merupakan bagian terpanjang dari oviduct dan banyak mengandung kelenjar-kelenjar besar yang mensekresikan albumin. Daerah berikutnya adalah isthmus, di dalam isthmus telur tinggal kira-kira satu jam dan memperoleh membran cangkang. Telur tertahan paling lama di dalam uterus (kelenjar cangkang) kira-kira 20 jam dan di dalam saluran tersebut terjadi pembentukan cangkang berpori dengan deposisi kalsium karbonat. Setelah cangkang terbentuk telur memasuki vagina
13
dan tinggal di dalamnya kira-kira satu menit. Di dalam vagina, telur mendapatkan selubung tipis mukus yang mungkin berguna untuk menutup pori sehingga mencegah evaporasi air yang cepat dan untuk melindungi telur dari infeksi bakteri. Interval normal antara ovulasi dan keluarnya telur berkisar antara 25-26 jam.
14
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas (kandang C), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada pertengahan bulan Juli sampai dengan Oktober 2005. Materi Penelitian menggunakan 90 ekor ayam ras petelur coklat komersial tipe medium strain ISA-brown umur 20 minggu yang diperoleh dari Hejo Farm, Sukabumi. Bobot badan awal berkisar antara 1400-2150 gram dengan rataan 1790±143,2, rataan produksi telur awal sebesar (Hen day) 26,94 %. Kandang yang digunakan berupa kandang baterai kelompok (coloni cage) dengan ukuran 40x91x45 cm. Masing-masing cage dilengkapi dengan penyekat dan setiap sekat diisi dua ekor. Jumlah cage yang digunakan adalah 23 buah dengan kapasitas 90 ekor ayam. Peralatan yang digunakan adalah tempat ransum memanjang (bentuk trough), tempat air minum dari bambu, timbangan ransum merek Berkell (kapasitas 10 kg), timbangan digital O-hauss dengan kapasitas 100 g dan kepekaan 0,1 g. Ransum yang digunakan adalah ransum komersial untuk ayam petelur, bentuk mash yang mengandung zat makanan seperti ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komersial Komposisi
Jumlah
Kadar Air (%)
12,47
Protein kasar (%)
16,72
Serat kasar (%)
4,84
Lemak (%)
3,53
Beta-N (%)
52,61
Abu (%)
9,73
Phosphor (%)
0,46
Kalsium (%)
4,04
Gross Energi (kkal/kg)
4054
Keterangan : Hasil Analisis Laboratoruim Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Januari 2005.
15
Tepung jangkrik yang digunakan diproduksi oleh Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas 35 hari (Prayitno, 2000). Tepung jangkrik mengandung zat makanan seperti ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Jangkrik Kandungan
Jumlah
Bahan kering (%)
86,00
Protein kasar (%)
55,96
Lemak kasar (%)
12,45
Beta-N (%)
5,26
Serat kasar (%)
7,94
Abu (%)
4,39
Keterangan : Hasil Analisis Laboratoruim Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Januari 2006.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan penelitian yaitu suplementasi tepung jangkrik yang terdiri atas lima taraf perlakuan yaitu 0 (P1); 0,25 (P2); 0,5 (P3); 0,75 (P4) dan 1 % (P5). Setiap perlakuan diulang tiga kali. Model matematis sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) : Yij = μ + τi + εij Keterangan: Yij
= Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata sesungguhnya.
τ
= Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)
εij
= Pengaruh galat dari ransum percobaan ke-i pada ulangan ke-j (j = 1, 2, 3)
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan ragam. (Matjik dan Sumertajaya, 2002). Sebelum dianalisis data penelitian ditransformasi dengan Johnson transformation (Minitab 14). Peubah yang diamati ialah produksi telur, bobot telur, konsumsi ransum dan konversi ransum.
16
Prosedur Pembuatan Tepung Jangkrik Tepung jangkrik yang digunakan dalam penelitian dibuat oleh Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK) Yogyakarta. Persiapan Kandang Selama kurang lebih dua minggu sebelum ayam datang dilakukan persiapan kandang. Persiapan kandang meliputi pembersihan bangunan kandang dan lingkungan sekitar kandang, penyusunan cage, pengadaan dan pembersihan tempat ransum dan tempat air minum, dan pengadaan alat-alat penunjang yang digunakan dalam penelitian. Pembersihan bangunan kandang dilakukan dengan cara disapu, kemudian dipel dan untuk memastikan kandang bebas dari bibit penyakit perlu dilakukan desinfeksi (disemprot desinfektan). Pembersihan bangunan kandang berguna untuk mengurangi resiko serangan bibit penyakit pada ayam yang dipelihara. Alat-alat yang digunakan untuk pembersihan kandang dan sanitasi kandang antara lain alat penyemprot (sprayer), ember, sapu lidi dan sekop. Bahan yang digunakan adalah kapur, rodalon (desinfektan) dan air bersih. Pembersihan lingkungan sekitar kandang yang dilakukan adalah pemotongan rumput dengan menggunakan golok. Sistem pemeliharaan ayam dalam kandang cage berkelompok (coloni cage) setiap cage berisi 2 ekor pullet. Cage disusun dengan dua tingkat. Lantai kandang diberi sekam padi yang diganti secara insidental jika sudah terlihat basah dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh negatif amoniak terhadap kesehatan dan produksi telur ayam. Pencampuran Ransum Ransum dicampur dengan tepung jangkrik hingga homogen dengan taraf yang telah ditentukan sebelumnya. Taraf penambahan tepung jangkrik dalam ransum adalah 0; 0,25; 0,5; 0,75 dan 1%. Pencampuran ransum dilakukan sedikit demi sedikit agar tepung jangkrik dapat tercampur dengan baik. Ransum kemudian diberikan kepada ayam sesuai dengan level perlakuan. Pencampuran ransum dilakukan setiap minggu . hal ini bertujuan untuk mencegah agar ransum yang sudah dicampur tidak berjamur.
17
Pemeliharaan Ketika ayam datang terlebih dahulu diberikan air gula. Pemberian air gula bertujuan untuk mengganti energi yang telah hilang waktu dalam perjalanan. Setelah pemberian air gula diharapkan ayam akan lebih segar. Cara pemberian air gula dengan dicampurkan pada air minum, demikian pula dengan pemberian vitastress. Selama tiga hari sejak kedatangan ayam, dilakukan penyesuaian. Ransum yang diberikan adalah ransum komersial (tanpa perlakuan). Sebelum diberikan ransum perlakuan, sisa ransum standar yang diberikan ditimbang. Tujuan dilakukannya hal ini adalah untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ayam, sehingga saat perlakuan pemberian ransum akan lebih efisien atau tidak banyak terbuang. Sebelum diberikan ransum perlakuan, ayam ditimbang terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bobot badan awal ayam. Penimbangan ayam dilakukan pada malam hari dengan tujuan untuk menghindari stress. Sebelum penelitian, dilakukan pengacakan ayam dan perlakuan pada setiap kandang. Ransum yang diberikan sebanyak 90 g/ekor/hari dengan intensitas pemberian dua kali sehari (pagi dan sore hari pada jam yang sama) dan setiap kali pemberian sebanyak 45 g/ekor/hari. Jumlah ransum kemudian ditingkatkan menjadi 100 g/ekor/hari hingga maksimum 120 g/ekor/hari. Hal ini terjadi karena meningkatnya konsumsi ransum pada ayam, yang ditandai dengan sisa ransum yang semakin sedikit, bahkan tidak bersisa. Air minum diberikan ad libitum. Ayam dari kelima level perlakuan mendapat pencahayaan selama 12 jam per hari (12-L dan 12-D) yaitu antara pukul 06.00-18.00 WIB (12 jam) dengan cahaya matahari. Selama penelitian dilakukan pembersihan kandang untuk mencegah adanya bibit penyakit yang dapat menyerang ayam. Pembersihan alas kandang meliputi penggantian sekam yang dilakukan secara insidental berdasarkan kebasahan sekam. Pembasmian ektoparasit seperti lalat juga dilakukan yakni dengan cara menyemprotkan obat lalat. Tempat air minum dibersihkan secara insidental. Pengumpulan Data Koleksi telur dilakukan mulai satu minggu setelah ayam mendapatkan perlakuan sampai penelitian berakhir (10 minggu). Koleksi telur dan penimbangan dilakukan secara rutin setiap hari. Koleksi telur digunakan untuk menghitung produksi telur
18
perhari, sedangkan data penimbangan telur digunakan untuk menghitung rataan bobot telur. Setiap seminggu sekali dilakukan penimbangan sisa pakan sehingga dapat diketahui jumlah yang dikonsumsi oleh ayam. Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung angka konversi ransum. Berikut ini merupakan cara perhitungannya : 1. Produksi telur (%) Produksi telur masing-masing kelompok perlakuan dihitung menurut sistem hen-day yaitu persentase rataan produksi telur dalam jangka waktu tertentu (10 minggu) Total produksi telur (butir) x100% Jumlah ayam pada minggu tersebut (ekor) 2. Bobot telur per butir Hen-day =
Perhitungan rataan bobot telur per periode atau dalam jangka waktu tertentu (10 minggu) didasarkan pada penimbangan bobot telur pada setiap kelompok perlakuan yang dilakukan setiap hari, dalam gram per butir. 3. Konsumsi ransum Rataan konsumsi ransum (gram per ekor). Pengukuran konsumsi ransum dilakukan tiap minggu, dengan cara mengurangi pakan yang diberikan pada awal minggu dengan sisa pakan pada akhir minggu. Konsumsi pakan dijumlahkan selama 10 minggu produksi dan dinyatakan dengan gram per ekor. 4. Konversi ransum Konversi ransum pada tiap kelompok perlakuan diperoleh berdasarkan jumlah rataan ransum yang dikonsumsi (gram) dibandingkan dengan rataan bobot telur perekor (gram) pada periode perhitungan (10 minggu). Konversi ransum =
Jumlah ransum yang dikonsumsi (gram) Jumlah bobot telur yang dihasilkan (gram)
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Data rataan hasil analisis ragam terhadap produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Pengamatan Produksi Telur, Bobot Telur, Konsumsi dan Konversi Ransum
Produksi telur (%)
P1 77,88±12,22
P2 83,49 ±1,155
Perlakuan P3 79,38±12,03
Bobot telur (g/butir)
56,50± 2,14
60,33 ±7,652
54,68± 2,03
54,03±0,26
54,91±0,74
103,39± 5,98
109,15±1,05
108,31±3,12
1,89± 0,06
2,02±0,03
1,97±0,06
Peubah
Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Konversi ransum
107,01± 1,51 109,57±1,27 1,89± 0,09
1,95±0,08
P4 87,26±1,015
P5 85,82±2,82
Produksi Telur Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung jangkrik pada ransum komersial dengan taraf 0,25-1 % tidak berpengaruh terhadap produksi ayam petelur periode pertama selama 10 minggu penelitian. Suplementasi tepung jangkrik pada ransum diharapkan dapat meningkatkan produksi telur secara nyata. Hal ini dikarenakan tepung jangkrik diduga mengandung hormon estrogen (Borror et al., 1992) yang berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, pertumbuhan dan perkembangan folikel serta penting untuk sintesis albumin telur (Ensminger, 1992), Kenyataannya suplementasi tepung jangkrik dengan taraf 0,25–1 % belum bisa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi telur. Hal ini diduga disebabkan kurangnya kadar estrogen yang diberikan. Kandungan estrogen tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm. Konsumsi estrogen pada penelitian ini pada P1, P2, P3, P4, dan P5 bertutur-turut sebesar 0,00064; 0,0013; 0,0019; 0,0027 mg/kg ransum dianggap masih rendah. Berdasarkan penelitian Lien dan Cain (1985), konsumsi estrogen sebesar 1 mg/ekor/hari memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi telur pada bangsa ayam Rhode Island Red. Peranan estrogen pada penelitian tidak terlihat. Hal ini dikarenakan ayam yang digunakan memiliki potensi produksi yang baik, terlihat dari data awal produksi telur
20
pada saat ayam berumur 20 minggu sebesar 26,94 % yang pada umumnya produksi awal sekitar 10 % (North dan Bell, 1990). Suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah kandungan zat nutrisi ransum seperti protein, yaitu berkisar antara 16,82-17,11 %, demikian pula halnya dengan kandungan energinya, sehingga produksi telur yang diperoleh juga tidak berbeda jauh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan produksi telur dipengaruhi oleh tingkat konsumsi, protein dan energi ransum Rataan produksi telur pada ayam dipengaruhi oleh kondisi hidup awal ayam pada saat mulai bertelur, dan potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak produksi (Isapoultry, 2006). Akan tetapi berbeda dengan penelitian Wu et al., (2005) yang menyatakan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh kandungan energi ransum. Kondisi hidup awal ayam dan potensi tumbuh ayam untuk berproduksi diasumsikan sama karena ayam yang digunakan merupakan ayam komersial yang telah diseleksi oleh breeder sehingga memiliki potensi genetik yang relatif sama. Produksi telur selama penelitian berkisar antara 77,88–87,26 %, data tersebut diperoleh dari ayam pada umur 20 sampai 30 minggu. Menurut Scott et al. (1982) produksi telur pada umur 22–42 minggu sebesar 78 %. Hal ini tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh selama penelitian. Menurut North and Bell (1990), kisaran produksi telur pada ayam komersial tipe medium umur 21–30 minggu sebesar 10-92,5 %. Kisaran produksi selama penelitian tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan standar kisaran produksi telur ayam petelur tipe medium yaitu antara 13,89-97,62 % pada kisaran umur yang sama. Hal ini membuktikan manajemen pemeliharaan yang baik pada saat periode pullet sampai bertelur. Grafik produksi telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Produksi Telur (%))
120 100 80 60 40 20 0 21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Umur Produksi (minggu) P1
P2
P3
P4
P5
Gambar 1. Grafik Produksi Telur
21
Grafik produksi telur menunjukkan adanya peningkatan produksi telur seiring dengan bertambahnya umur ayam. Puncak produksi pada penelitian dicapai pada saat ayam berumur anatara 26-28 minggu sebesar 97,62 %. Hal ini sesuai dengan Romanoff dan Romanoff (1963) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur ayam dan produksi telur. Produksi telur akan mencapai puncak seiring dengan bertambahnya umur ayam dan akan mengalami penurunan produksi setelah mengalami puncak produksi. Puncak produksi pada ayam petelur strain ISA-brown dicapai pada kisaran umur 26-28 minggu (Hendrix-genetics, 2006), sedangkan menurut Scott et al. (1982) puncak produksi pada ayam petelur dicapai pada kisaran umur 28-30 minggu. Bobot Telur Analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi bobot telur selama penelitian. Hal ini dikarenakan konsumsi protein, strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok relatif sama. Kandungan nutrien pada ransum pada masing-masing perlakuan juga tidak berbeda. Hal ini dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah pola produksi telur. Ayam yang mencapai dewasa kelamin cepat (masak dini), maka produksi telurnya rendah. Bobot telur tidak dipengaruhi oleh peningkatan energi metabolis, tetapi lebih dipengaruhi oleh kandungan protein ransum. Hal ini juga didukung oleh penelitian Wu et al. (2005), yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan strain ayam dan kandungan energi ransum dengan bobot telur. Peningkatan kandungan protein sebesar 12–18 % dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan Young, 1972) akan tetapi berdasarkan penelitian Zou dan Wu (2005), Peningkatan protein ransum dari 15,9-17 % yang dikombinasikan dengan peningkatan energi tidak mempengaruhi bobot telur. Rataan bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. yaitu berkisar antara 54,03–60,33 g/butir. Rataan bobot tersebut sesuai dengan Togatorop et al. (1977), bobot telur ayam ras adalah 58,0 g/butir, sedangkan menurut Scott et al.(1982), bobot telur pada ayam ras sebesar 56 g/butir pada umur 22–42 minggu. Berdasarkan penelitian Shatiti (2003), rataan bobot telur pada ayam petelur strain ISA-brown berkisar antara 51,48–53,44 g/butir dengan penambahan 0,34% metionin dengan kandungan energi metabolis ransum sebesar 2.685,8 kkal/kg, protein kasar 17 %. Bobot telur total yang diperolah selama penelitian berturut-turut P1, P2, P3, P4 dan P5 adalah 18.461,
22
18.519, 17.660, 19.575 dan 19.346 gram. Secara ekonomis apabila dilihat dari bobot total perlakuan P4 memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Telur yang dihasilkan selama penelitian tergolong dalam kategori besar yaitu berkisar antara 54,03–60,33 g/butir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fernandez (1998). Peningkatan protein ransum dapat mempengaruhi rataan bobot telur. (Wu et al., 2005; Gardner dan Young, 1972). Grafik bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. 65
Bobot Telur (g/butir)
60
55
50
45
40 21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Umur Produksi (minggu) P1
P2
P3
P4
P5
Gambar 2. Grafik Bobot Telur Grafik rataan bobot telur (Gambar 2.) menunjukkan adanya peningkatan bobot telur seiring dengan bertambahnya umur ayam (Shalev dan Pasternak, 1993). Rataan bobot telur ayam pada umur 26-30 minggu sudah mencapai 59,34-61,67 g/butir. Hal ini sesuai dengan Hendrix-genetics (2006), bobot telur ayam petelur strain ISA-brown pada umur 26-30 minggu berkisar antara 59,6-61,5 g/butir. Hal ini sesuai dengan Amrullah (2004) yang menyatakan bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah sejalan dengan makin bertambahnya umur ayam. Menurut Scott et al. (1982) pada saat ayam memasuki fase bertelur pertama yaitu dari umur 22–42 minggu bobot telur yang dihasilkan sebesar 56 gram. Konsumsi Ransum Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum selama penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan
23
standar konsumsi ransum ayam petelur tipe medium. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain terpenuhi kebutuhan energi dan protein oleh ayam dan tingginya suhu lingkungan sehingga akan mengurangi konsumsi ransum dan meningkatkan konsumsi air minum. Suhu optimum untuk pemeliharaan ayam petelur adalah 18,3-23,9 oC (North and Bell, 1990). Suplementasi tepung jangkrik pada ransum tidak mempengaruhi konsumsi ransum ayam. Hal ini mungkin dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah kandungan protein dan energi serta tingkat palatabilitas ransum. Rataan konsumsi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 3. yaitu berkisar antara 103,39–109,57 g/ekor/hari. Hasil penelitian Bean dan Leeson (2003) menunjukkan bahwa konsumsi pakan ISA-brown selama 10 periode penelitian dari umur 18 minggu berkisar antara 103,3-117,1 g/ekor/hari. Konsumsi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 118,10 g/ekor/hari (Isapoultry, 2006) dan berkisar antara 105-116 g/ekor/hari (North and Bell, 1990). konsumsi ransum ayam petelur tipe medium Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan energi metabolis, kandungan protein ransum, dan temperatur lingkungan. Faktor lainnya yaitu strain ayam, bobot badan, bobot telur, penutupan bulu, derajat cekaman serta aktivitas ayam. Kandungan energi energi metabolis ransum sebesar 2.939 kkal/kg, nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan standar energi metabolis ayam petelur strain ISA-brown yaitu 2.685,8 kkal/kg (Priono, 2003). Peningkatan energi metabolis ransum tersebut mampu menurunkan rataan konsumsi ransum pada saat penelitian. Grafik konsumsi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.
130
Konsumsi (g/ekor/hari)
120 110 100 90 80 70 21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Umur Produksi (minggu) P1
P2
P3
P4
P5
Gambar 3. Grafik Konsumsi Ransum
24
Grafik rataan konsumsi ransum (Gambar 3.) menunjukkan adanya peningkatan konsumsi ransum seiring dengan bertambahnya umur ayam. Peningkatan konsumsi ransum sebesar 30 gram dari awal produksi sampai umur 30 minggu. Hal ini dikarenakan pada saat fase pertama produksi telur, masih dimungkinkan terjadinya Peningkatan konsumsi ransum. Semakin bertambahnya umur ayam maka produksi telurnya juga akan meningkat. Peningkatan produksi telur akan menyebabkan meningkatnya pula kebutuhan energi dan protein untuk produksi telur. Konversi Ransum Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap rataan konversi. Hal ini dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi konsumsi ransum selama penelitian. Angka konversi ransum pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan standar konversi ransum ayam petelur strain ISAbrown yaitu sebesar 2,13. Konversi ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum dan produksi telur. Konsumsi ransum yang rendah disertai dengan produksi telur yang tinggi akan menghasilkan nilai konversi ransum yang baik. Nilai konversi ransum yang rendah menandakan bahwa penambahan tepung jangkrik dapat memperbaiki nilai konversi ransum. Hal ini sesuai dengan penelitian Zou dan Wou (2005) yang menyatakan bahwa dengan adanya peningkatan jumlah protein dan energi ransum dapat memperbaiki nilai konversi ransum. Konversi ransum selama penelitian berkisar antara 1,89–2,02 (Gambar 4.). Data tersebut menunjukkan bahwa konversi ransum pada penelitian lebih baik jika dibandingkan pada penelitian
Priono (2003), yang menyebutkan bahwa konversi
ransum sebesar 2,99 pada ayam petelur selama 14 minggu produksi dengan ransum berbentuk mash, dengan kandungan protein kasar 17 % dan energi metabolis 2.685,8 kkal/kg. Menurut Siregar (2003), konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33 pada ayam petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15 % dan 18 %, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Berdasarkan penelitian Singh et al. dalam Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 2,13. Grafik konversi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
25
2,20
Konversi Ransum
2,10 2,00 1,90 1,80 1,70 1,60 1,50 21
22
23
24 25 26 27 Umur Produksi (Minggu)
P1
P2
P3
28
P4
29
30
P5
Gambar 4. Grafik Konversi Ransum Grafik rataan konversi ransum (Gambar 4.) menunjukkan adanya penurunan konversi ransum perlakuan P2 ketika ayam berumur 30 minggu. Hal ini dikarenakan konsumsi ransum pada perlakuan P2 menurun, akan tetapi penurunan konsumsi ransum tidak diikuti dengan penurunan produksi telur. Hal ini mungkin dikarenakan suplementasi tepung pada ransum dapat memenuhi kebutuhan protein untuk produksi telur, meskipun jumlah ransum yang dikonsumsi lebih sedikit. Abnormalitas Telur Data hasil pengamatan abnormalitas telur selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Abnormalitas Telur Selama Penelitian Perlakuan Abnormalitas P1 P2 P3
P4
P5
......................................................Butir.............................................. Telur Pecah
8 (0,82)
9 (0,91)
5 (0,52)
6 (0,55)
5 (0,47)
Telur Jumbo
12 (1,24)
7 (0,71)
6 (0,62)
4 (0,37)
5 (0,47)
Keterangan : Angka di dalam kurung menyatakan persen (%)
Tabel 5. (Abnormalitas Telur) menunjukkan bahwa selama penelitian diperoleh beberapa telur yang abnormal. Diantaranya adalah telur pecah. Telur pecah ini dikarenakan cangkang yang tidak mengeras setelah keluar dari kloaka sehingga telur tersebut tidak dapat bertahan lama di lingkungan luar. Telur yang pecah selama
26
penelitian berkisar antara 0,47-0,91 %. Sedangkan abnormalitas yang lainnya adalah telur jumbo (ekstra besar). Telur jumbo ini memiliki bobot lebih dari 70 g/butir. Telur jumbo yang diperoleh selama penelitian memiliki kuning telur lebih dari satu sehingga telur tersebut memiliki bobot diatas rata-rata bobot telur pada umumnya yaitu 58,063,90 g/butir. Telur jumbo yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,37-1,24 % dari total telur yang dihasilkan.
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Suplemetasi tepung jangkrik sebesar 0,25%-1% pada ransum tidak berpengaruh terhadap produksi telur (% Hen-day), bobot telur, konsumsi dan konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown pada umur 21-30 minggu. Saran Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suplementasi tepung jangkrik pada ransum yang mengalami defisiensi protein dan pada ayam petelur yang mulai mengalami penurunan produksi sehingga suplementasi tepung jangkrik pada ransum dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap performa ayam petelur strain ISA-brown.
28
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir.Hj. Niken Ulupi, MS selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik dan Ir. Dwi Margi Suci, MS yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan proposal hingga akhir penulisan skripsi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Supraptini Mansyur selaku dosen penguji seminar, Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu, H.S., MS dan Ir. Dwi Joko Setyono, MS selaku dosen penguji sidang yang telah menguji, memberikan kritik, dan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Abu Khaeri, Ibu Suwarti, Adik Toha Mahfudi, Mbak Nur Khofiyah dan seluruh keluarga besar Bani Ya’qub yang telah banyak membantu baik materi, motivasi, doa maupun kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Kepada seluruh staf Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen INTP IPB atas segala fasilitas penelitian dan bantuannya hingga akhir penelitian. Kepada Sugeng Sugandi (rekan sepenelitian) atas segala semangat dan pengorbanannya. Kepada Trisono (Ison) sebagai mahasiswa pembahas seminar, kepada rekan-rekan seperjuangan HMI atas pengertian dan toleransi waktunya, kepada sahabat sekaligus keluarga di Bogor (Joe, Funkyz, Ison, Aqim, Syahid, Suhe, Ifan, dan wardi) atas segala bantuannya dan semangatnya serta temanteman seperjuangan Program Studi Teknologi Produksi Ternak (TPT ‘39), atas dukungan semangat dan persahabatan yang indah ini semoga kekal untuk selamanya. Kepada Civitas Akademika SMA Darussalam dan Keluarga Besar Goodwill International Leadership Program (Mr Hara, Mrs. Mizue Hara, Mr. Eddi Tan, Bu Sri dan Mbak Rossa) atas segala bantuan dan beasiswanya serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Civitas Akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Agustus 2006 Penulis
29
DAFTAR PUSTAKA Adams, J. L., W. H. Mcgibbon and L. E. Casida. 1950. The effect of oraly administered synthetic estrogens on single comb white leghorn pullets. Poultry science 24 : 666-671 Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan 1. Satu Gunungbudi. Bogor. Anggorodi, R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia. Jakarta. Bish, C. L., W. L. Beane, P. L. Ruszler and J. A. Cherry. 1985. Body Weight influence on egg production. Poultry Science 64: 2259-2262 Bodenheimer, F. S.1951. Insect as Human Food: A Chapter of the Ecology of Man. Dr. W. Junk Publisher the Haguf. Netherland. Borror, D. J., C. A.. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan. S. P. Soedjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Carr, L. E. and T. A. Carter. 1985. Housing and Management of Poultry in Hot and Cold Climates. In : Yousef, M. K. (Editor). Stress Physiology in Livestock. Vol. III-Poultry. CRC Press INC. Florida. Campbell, J. R., M. D Kenealy and K. L. Campbell. 2003. Animal Science, The Biology, Care and Production of Domestic Animals. 4th Ed. Mc. Graw Hill. New York. Charoen Pokphand. 2000. Petunjuk Pemeliharaan Petelur 909. PT. Charoen Pokphan Jaya Farm Indonesia, Tangerang. Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Buku Statistika Peternakan. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Publisher Inc. Dan Ville, USA. Gardner, F. A. and L. L. Young. 1972. The influence of dietary protein and energy levels on the protein and lipid content of hen’s egg. Poultry Science. 51 : 994997. Genetic, H. 2006. www.hendrix-genetics.com/layerbreeding. [01 Agustus 2006] Gurnadi, K. 1986. Pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum terhadap performans dua galur ayam petelur tipe medium. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasegawa, Y. dan H. Kubo. 1996. Seri Misteri Alam : Jangkrik. Terjemahan. S. Handoko. PT Elex Media Computindo, Gramedia. Jakarta. Ivy, R. E. and E. W. Gleaves. 1976. Effect of production level, dietary protein and energy on feed consumption and nutrient requirement of laying hens. Poultry Science 55 : 2166-2171. Isapoultry. 2005. Layer Management guide. http:// www.isapoultry.com. [15 Maret 2006].
30
Lien R. J. and J. R. Chain. 1985. Effect of dietary and parenteral estrogens on bobwhite reproduction. Poultry Science 66 : 154-161 Lightlink. 2006. http://www.lightlink.com/babcock/prod04.htm. [22 Juni 2006]. Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. McDonald, L. E. and M. H. Pineda. 1989. Veterinery Endocrinology and Production. 4th Ed. Lea and Febriger. Philadelphia, USA. Mc Donald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutritions. 5th Ed, Longman Scientific and Technical. New York. Nakajima, S. and Keshavarz, K. 1995. The effect of dietary manipulations of energy, protein, and fat during the growing and laying periods on early eggs weight and eggs components. Poultry Science. 74(1):50-60. Napitupulu, D. I. 2003. Komposisi asam amino tepung jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus) pada berbagai tingkat umur. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed. National Academy Press. Washington. Neishem, M. C., R. C. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. Chapman and Hall. London. Onwudike, O. C. and O. L. Oke. 1986. Total subtitution of leaf protein in the ration of laying hens. Poultry Science 65: 1201-1204 Pallister, J. C. 1990. Seri Ilmu Pengetahuan Populer : Serangga. Jilid 6. PT Widyadara Groler Internation Inc. Jakarta. Parakkasi, A. 1985. Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak. Diktat. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Perez,
R. A, Maldonado, and K. M. Barram. Layer Hen http://www.vetsci.usyd.edu.au/apss/Documents/MaldonadoEvaluation%20of%20australian%20canola.doc [15 Maret 2006].
Experiment.
Priono, D. 2003. Performans ayam ras petelur tipe medium periode tiga bulan pertama bertelur yang diberi ransum dengan kandungan metionin pada berbagai level. Skripsi. Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Ri, Eishu, K. Sato, T. Oikawa, T. Kunieda, and H. Uchida. 2005. Effect of dietary protein levels on production and characteristics of japanese quail egg. Poultry Science 42 : 130-139 Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons Inc. New York. Rose, S. P. 1997. Principles of Poultry Science. CAB International Publishing, London.
31
Ross, H. H., C. A. Ross and R. P. Ross. 1982. A Textbook of Entomology. 4th Ed. John Willey and Sons Inc. New York. Setijanto, H. 1998. Bahan pengajaran anatomi Veteriner II-Anatomi Unggas. Laboratorium Anatomi Bagian Anatomi Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Scott, M. L., M. C. Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutritions of The Chicken. 3rd Ed. M. L. Scott and Assosiates. Ithaca. New York. Shalev, B. A and H. Pasternak. 1993. Increment of egg weight with hen age in various commercial avian species. British Poultry science 34 : 915-924 Shatiti, W. 2002. Manfaat penambahan Spirulina dalam ransum ayam petelur terhadap kualitas telur. Skripsi. Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Sirait, C. S. 1986. Telur dan Pengolahannya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Siregar, R. T. 2003. Pengaruh perubahan waktu pemberian ransum dengan berbagai level protein terhadap performans produksi ayam ras petelur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sribimawati, T. 1984. Serangga dan Lingkungan Hidup. CV Akadama. Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 1995. Standar Pertanian Indonesia. Standar Telur Ayam Untuk Konsumsi (SNI 01-3926-1995). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Sterling, K. G., D. D. Bell, G. M. Pesti and S. E. Aggrey. 2003. Relationship among strain, performance, and environmental temperature in commercial laying hens. Journal of Applied Poultry Research 12: 85-91 Summer J.D. 1995. Reduced dietary phophorus levels for layers. Poultry Science 74: 1977-1983 Togatorop, M. H., H. Resnawati dan A. Gozali. 1977. Hasil random sampel tes dari empat strain ayam petelur final stock di Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Laporan Khusus. No. 5. LPP. Bogor. Turner, C. W. 1948. Feeding estrogen (Dianisylhexene) to laying hens. Poultry Science 27 : 593-600 Turner, C. W. dan J. T. Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Edisi ke-6. Erlangga University Press. Surabaya. Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Widyaningrum, P. 2001. Pengaruh padat penebaran dan jenis pakan terhadap produktivitas tiga spesies jangkrik lokal yang dibudidayakan. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wu, G; M. M. Bryant, R. A. Voitle, and D. A. Roland, Sr. 2005. Effect of dietary energy on performance and egg composition of bovans white hens during phase 1. Poultry Science 84: 1610-1615 Zimmerman, R. A. and D. C. Snetsinger. 1976. Perfomance and physiological response of laying chicken housed in controlled climatic environments. Proc. 12th Annu.
32
Meet. South Regional Avian Environment Phisiology and Biology. Study Group. Atlanta. Zou, Shi Geng and Y. Z. Wu. 2005. Effect of protein and supplemental fat on performance of laying hens. Poultry Science 4 (12) : 986-989
33
Lampiran 1. Contoh perhitungan kadar protein ransum perlakuan Diketahui : kadar protein ransum 16,72% kadar protein tepung jangkrik 55,96% Asumsi : Jumlah ransum yang diberikan 100 g, jika; suplementasi tepung jangkrik (TJ) 0,25% dari bobot ransum, maka jumlah tepung jangkrik yang ditambahkan 0,25 g. Perhitungan; 100 g ransum x 16,72% protein kasar (PK) = 16,72 g PK 0,25 g TJ x 55,96% PK
= 0,1399 g PK
100,25 g ransum + TJ
= 16,8599 g PK
(+)
% PK = (jumlah PK ÷ (jumlah ransum + TJ)) x 100% = (16,8599 g PK ÷ 100,25 g) x 100% = 16,8178 % ≈ 16,82% PK I. suplementasi tepung jangkrik 0,50% dari bobot ransum, maka jumlah tepung jangkrik yang ditambahkan 0,50 g. Perhitungan : 100 g ransum x 16,72% protein kasar (PK) = 16,72 g PK 0,50 g TJ x 55,96% PK
= 0,2798 g PK
100,50 g ransum + TJ
= 16,9998 g PK
(+)
% PK = (jumlah PK ÷ (jumlah ransum + TJ)) x 100% = (16,9998 g PK ÷ 100,50 g) x 100% = 16,9152 % ≈ 16,91% PK
Lampiran 2. Hasil analisis ragam produksi telur selama 10 minggu SK
Db
JK
KT
F-hitung
P
Perlakuan
4
195.9
49.0
0.80
0.550
Galat
10
609.7
Total
14
805.6
61.0
34
Lampiran 3. Hasil analisis ragam rataan bobot selama 10 minggu SK
Db
JK
KT
F-hitung
P
Perlakuan
4
77.4
19.3
1.43
0.295
Galat
10
135.7
13.6
Total
14
213.1
Lampiran 4. Hasil analisis ragam konsumsi ransum selama 10 minggu SK
Db
JK
KT
F-hitung
P
Perlakuan
4
74.4
18.6
1.84
0.197
Galat
10
100.8
10.1
Total
14
175.2
Lampiran 5. Hasil analisis ragam konversi ransum telur 10 minggu SK
Db
JK
Perlakuan
4
Galat
10
0.04347
Total
14
0.07893
0.03547
KT
F-hitung
P
0.00887
2.04
0.164
0.00435
35
Lampiran 6. Abnormalitas telur Perl/mgg
1
2
3
4
5
6
84.79
83.49
7
8
9
10
pecah P1U1
pecah
84.43
pecah 80.38
pecah
pecah
pecah pecah
pecah
P1U2
71.92
74.77
72.48
71.37
72.49
80.31 88.62 P1U3
79.15 pecah
pecah
pecah
79.87 P2U1
pecah 80.11
pecah
81.55
pecah pecah
73.78
P2U2
82.63
pecah
pecah
89.68 88.24 P2U3 83.32
pecah
P3U1 74.44
pecah
P3U2
pecah pecah 74.49
pecah
89.61
P3U3
92.82
86.75 74.32
P4U1
75.47 81.87 pecah
pecah
pecah
P4U2
89 pecah
pecah
P4U3
pecah pecah
74.45
pecah pecah
P5U1
79.63
82.98
91.53
P5U2 78.28
36
pecah
pecah
P5U3
37