PERFORMA AYAM RAS PETELUR PERIODE PRODUKSI YANG DIBERI RANSUM RENDAH KALSIUM DENGAN PENAMBAHAN ZEOLIT
SKRIPSI PUSPITA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN PUSPITA. D24104054. 2008. Performa Ayam Ras Petelur Periode Produksi yang Diberi Ransum Rendah Kalsium dengan Penambahan Zeolit. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Dwi Margi Suci, MS. : Ir. Widya Hermana, MSi.
Zeolit merupakan sekelompok mineral yang memiliki sifat sebagai penyaring molekul dan penukar ion sehingga dalam penggunaannya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum bagi ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari penambahan 2,5; 5 dan 7,5% zeolit pada ransum rendah kalsium terhadap performa dan kualitas kerabang telur. Penelitian ini menggunakan 32 ekor ayam petelur strain Hisex Brown umur 21 minggu dengan rataan bobot badan 1,463 kg ± 0,197 yang diamati selama 6 minggu. Pada awal pemeliharaan terjadi kematian sebanyak dua ekor, sehingga jumlah ayam yang diamati sebanyak 30 ekor. Kandang yang digunakan adalah kandang individu sebanyak 30 buah. Ransum yang digunakan adalah ransum ayam petelur berbentuk mash dengan energi metabolis sebesar 2.900 kkal/kg, protein kasar 16,5% dan kalsium 2,8 %. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan empat ulangan, tiap ulangan terdiri dari dua ekor ayam petelur, kecuali perlakuan R3 (ransum dengan penambahan 5% zeolit) dan R4 (ransum dengan penambahan 7,5% zeolit) pada ulangan ke-4 terdiri dari satu ekor ayam petelur. Ransum perlakuan terdiri dari: ransum kontrol (R0), ransum dengan penambahan 2,5% zeolit (R1), ransum dengan penambahan 5% zeolit (R2) dan ransum dengan penambahan 7,5% zeolit (R3). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan Duncan’s multiple range test (Steel dan Torrie, 1991). Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, bobot telur, konversi ransum, produksi telur harian (hen day), tebal kerabang telur, berat kerabang dan kandungan Ca dan P dalam kerabang telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan zeolit nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi ransum, produksi telur harian dan kandungan Ca kerabang telur dibandingkan kontrol. Penambahan zeolit dalam ransum tidak memberikan pengaruh terhadap konversi ransum, ketebalan kerabang telur, bobot telur, berat kerabang dan kandungan Ca dalam kerabang telur. Kesimpulan menunjukkan bahwa penambahan 7,5% zeolit dalam ransum ayam petelur dengan kandungan Ca dalam ransum sebesar 2,8% menghasilkan performa ayam petelur yang lebih baik dibandingkan ransum perlakuan kontrol serta ransum dengan penambahan 2,5 dan 7,5% zeolit.
Kata-kata kunci: ayam petelur, performa, zeolit
ABSTRACT The Effect of Zeolit Addition on Low Calcium Diets on Laying Hens Performance Puspita, D. M. Suci, W. Hermana The objective of this experiment was to evaluate the effect of zeolite addition in low Ca diets on performance and eggshell quality of laying hens from 21 to 26 weeks of age. Thirty laying hens were used in this experiment and they were reared for six weeks. The hens were randomly distributed to four dietary treatments with four replicates and two hens of each. The diets used in this experiment were : R0 (control diet) contained 16.5% crude protein and 2,900 kkal/kg Metabolizable Energy, 2.8% Ca, R1 (diet contain 2.5% zeolit), R2 (diet contain 5% zeolit) and R3 (diet contain 7.5% zeolit). This experiment was used diet with low Ca requirement. The data were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) and any significant differences among treatments were determined using Duncan’s multiple range test. The results showed that zeolite level of 2.5 to 7.5 % in the low Ca requirement diets could decrease (P<0.05) feed intake, hen day production, concentration of P eggshell but the treatments did not effect the egg weight, feed conversion, eggshell thickness and concentration of Ca eggshell. This experiment showed that 7.5 % level of zeolite in the Ca deficient diets give better performances than other diets. Key words : laying hens, performance, zeolite
PERFORMA AYAM RAS PETELUR PERIODE PRODUKSI YANG DIBERI RANSUM RENDAH KALSIUM DENGAN PENAMBAHAN ZEOLIT
PUSPITA D24104054
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERFORMA AYAM RAS PETELUR PERIODE PRODUKSI YANG DIBERI RANSUM RENDAH KALSIUM DENGAN PENAMBAHAN ZEOLIT
Oleh PUSPITA D24104054
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 31 Juli 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 671 592
Ir. Widya Hermana, MSi. NIP. 131 999 586
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1986 di Serang, Banten. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Iskandar dan Ibu Neti Sondari. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Batok Bali, Serang. Pendidikan Lanjutan Pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri II Taktakan, Serang dan Pendidikan Menengah Atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMA Negeri 1 Cipocok Jaya, Serang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor program S1 pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa Penulis terdaftar dan aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER), Fakultas Peternakan periode kepengurusan 2005-2007. Penulis mendapatkan bantuan dana penelitian dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2007 yang berjudul Pencegahan Penyebaran Penyakit Melalui Pengurangan Pertumbuhan Lalat Rumah (Musca domestica) pada Ayam Petelur yang Dipelihara dalam Kandang Baterai.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan ridho-Nya,
sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rosulullah SAW, keluarga, sahabat, serta orangorang yang istiqomah di jalan Islam hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul ”Performa Ayam Ras Petelur Periode Produksi yang Diberi Ransum dengan Penambahan Zeolit Pada Ransum Rendah Kalsium”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas (kandang C), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, selama enam minggu dimulai dari bulan Maret sampai dengan Mei 2007. Penelitian dapat terlaksana atas bantuan dana dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Zeolit merupakan mineral yang memiliki sifat sebagai penyaring molekul dan penukar ion sehingga dalam penggunaannya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum bagi ternak. Penambahan zeolit dalam ransum dapat meningkatkan intensitas penyerapan zat nutrisi, sehingga dapat menghasilkan produksi telur dan ketebalan kerabang yang baik pada ayam petelur. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat untuk Penulis maupun pembaca.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
i
ABSTRACT ..................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
v
KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vi vii x
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................ Tujuan ................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
3
Ayam Petelur ..................................................................................... Zeolit .................................................................................................. Tinjauan Umum ....................................................................... Struktur Kristal Mineral Zeolit ................................................. Komposisi Kimia Mineral Zeolit ............................................. Sifat Pertukaran Ion ................................................................... Sifat Adsorpsi Mineral Zeolit .................................................... Penggunaan Zeolit dalam Ransum Ternak ............................... Kalsium dan Fosfor ........................................................................... Kerabang Telur ...................................................................................
3 3 3 5 6 6 7 8 9 11
METODE .......................................................................................................
12
Waktu dan Tempat ............................................................................. Materi ............................................................................................... Ternak ...................................................................................... Kandang ................................................................................... Bahan dan Peralatan .................................................................. Ransum Perlakuan .................................................................... Metode ................................................................................................ Perlakuan .................................................................................. Rancangan Percobaan dan Model Matematika ...................... Analisis Data .............................................................................. Prosedur Penelitian .................................................................. Peubah yang Diamati ...............................................................
12 12 12 12 12 12 12 14 14 14 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
18
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum ............................. Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Telur .................................... Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur ........................................ Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum ............................... Pengaruh Perlakuan terhadap Tebal dan Berat Kerabang ................... Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Ca dan P Kerabang .......... Abnormalitas Telur .............................................................................
18 20 22 23 25 27 28
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
30
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
30 30
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
32
LAMPIRAN ...................................................................................................
35
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Performa Ayam Petelur Strain Hisex Brown ..................................
3
2. Komposisi Unsur Mineral Zeolit .....................................................
4
3. Persentase Kalsium yang Dibutuhkan dalam Ransum Ayam Petelur yang Beragam Menurut Konsumsi Ransum dan Produksi Telur pada Umur 21-40 Minggu ............................................................... 10 4. Komposisi dan Kandungan Zat Nutrisi Ransum Penelitian ............
13
5. Kebutuhan Zat Nutrisi Ayam Petelur Periode Produksi .................
13
6. Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Petelur Umur 21-26 Minggu yang Diamati selama Enam Minggu ..................................
18
7. Konsumsi Zat Nutrisi Ayam Petelur Umur 21-26 Minggu Per Ekor Per Hari ............................................................................................
19
8. Kekurangan Konsumsi Zat Nutrisi Ayam Petelur Umur 21-26 Minggu Per Ekor Dibandingkan Standar Hisex Brown ..................
19
9. Hasil Perhitungan Biaya Pakan, Pendapatan dan Keuntungan selama Pemeliharaan Ayam Petelur ............................................................ 24 10. Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Kerabang Telur (Tebal Kerabang, Kandungan Ca dan P Kerabang, Berat Kerabang) ........
25
11. Pengamatan Abnormalitas Telur dari Setiap Perlakuan selama Enam Minggu Pengamatan ........................................................................ 28
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Pertautan 14 Polihedral yang Menyusun Struktur Kristal Mineral Zeolit ...............................................................................................
5
2. Skematik Pertukaran antara Kation Larutan dengan Kation Zeolit .
7
3. Grafik Konsumsi Ransum selama Enam Minggu Pengamatan ......
19
4. Grafik Produksi Telur selama Enam Minggu Pengamatan..............
21
5. Grafik Bobot Telur selama Enam Minggu Pengamatan ..................
23
6. Grafik Konversi Ransum selama Enam Minggu Pengamatan .........
24
7. Grafik Ketebalan Kerabang Telur selama Enam Minggu Pengamatan ......................................................................................
26
8. Grafik Berat Kerabang Telur selama Enam Minggu Pengamatan ..
27
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ..........................................................................................
33
2. Analisis Ragam Konsumsi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ............................................................................
33
3. Uji Duncan Konsumsi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ........................................................................................
33
4. Rataan Bobot Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan .........................................................................................
33
5. Analisis Ragam Bobot Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ........................................................................................
33
6. Rataan Konversi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan .........................................................................................
34
7. Analisis Ragam Konversi Ransum Ayam Petelur Selama Enam Minggu Pengamatan ...........................................................................
34
8. Rataan Produksi Telur Harian (hen day) Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ..........................................................................
34
9. Analisis Ragam Produksi Telur Harian (hen day) Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ....................................................
34
10. Uji Duncan Produksi Telur Harian (hen day) Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ................................................................
34
11. Rataan Ketebalan Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ...........................................................................
35
12. Analisis Ragam Ketebalan Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ..................................................................
35
13. Rataan Kandungan Ca Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ...........................................................................
35
14. Analisis Ragam Kandungan Ca Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ..................................................................
35
15. Rataan Kandungan P Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ..........................................................................
35
16. Analisis Ragam Kandungan P Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan .................................................................
36
17. Uji Duncan Kandungan P Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pengamatan ............................................................................ 36
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan ayam ras dewasa ini semakin berkembang, hal ini antara lain disebabkan oleh siklus hidup ayam ras yang relatif pendek sehingga dalam waktu yang singkat sudah dapat berproduksi. Selain menghasilkan telur, ayam petelur juga dapat menghasilkan daging pada saat diafkir. Telur ayam merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi karena telur ayam mengandung kalori, protein, asam amino esensial, vitamin dan mineral. Disamping itu telur merupakan bahan makanan yang paling mudah dicerna dan 94 % protein telur dapat diserap dan digunakan oleh tubuh. Sebagaimana ternak lainnya, ternak ayam juga memerlukan manajemen pemeliharaan, pemuliaan serta pemberian ransum yang baik dan terkontrol untuk menghasilkan produktifitas yang tinggi. Ransum merupakan faktor penting ditinjau dari segi pemeliharaan ternak karena biaya untuk penyediaan ransum merupakan biaya terbesar dari ongkos produksi. Peningkatan efisiensi ransum selalu diusahakan dengan berbagai cara, antara lain melalui penambahan bahan makanan yang digunakan dalam ransum. Mineral merupakan salah satu zat nutrisi yang dibutuhkan dalam ransum ayam petelur untuk meningkatkan produktifitas ayam petelur. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi ketersediaan mineral dalam ransum yaitu dengan menambahkan zeolit dalam ransum ayam petelur. Penelitian penggunaan zeolit dalam ransum ternak telah banyak dilakukan karena keberadaannya melimpah, harganya relatif murah dan dapat meningkatkan performa produksi. Zeolit merupakan salah satu komoditas tambang yang sangat potensial dan dapat digunakan sebagai sumber mineral dalam ransum. Kelompok mineral ini merupakan kelompok aluminosilikat terhidrasi dari logam-logam alkali dan alkali tanah (terutama Ca dan Na). Zeolit memiliki sifat sebagai penyaring molekul dan penukar ion sehingga dalam penggunaannya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum bagi ternak. Zeolit mempunyai struktur berpori dengan cairan di dalamnya yang mudah lepas, membuat zeolit memiliki sifat mampu menyerap senyawa yang bersifat cairan, menyaring yang berukuran halus,
menukar ion serta sebagai katalisator (bahan untuk mempercepat metabolisme) (Harjanto, 1983). Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penambahan zeolit terhadap ransum dengan kebutuhan Ca yang rendah, sehingga dapat terlihat efektifitas zeolit terhadap performa dan kualitas kerabang telur. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki produktifitas ayam petelur serta menghasilkan telur sesuai dengan selera konsumen yaitu telur yang tidak mudah pecah. Perumusan Masalah Pemeliharaan ayam petelur umumnya dihadapkan pada masalah yang disebabkan oleh berbagai sumber antara lain manajemen pemeliharaan, salah satunya adalah manajemen dalam pemberian ransum. Produktivitas ayam petelur sangat ditentukan oleh kandungan zat nutrisi yang terdapat dalam ransum. Mineral merupakan salah satu zat nutrisi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas ayam petelur, terutama untuk pembentukkan telur. Rendahnya kecukupan mineral terutama kalsium bagi ayam petelur, akan menurunkan produktivitas ayam petelur serta kualitas kerabang telur. Pada saat ini zeolit banyak digunakan sebagai campuran makanan ternak karena sifatnya sebagai penukar ion dan penyaring molekul. Berdasarkan sifatnya tersebut, penambahan zeolit dalam ransum rendah kalsium diharapkan dapat meningkatkan penyerapan kalsium sehingga kebutuhan kalsium untuk ayam petelur terpenuhi. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari penambahan 2,5; 5 dan 7,5% zeolit pada ransum dengan kebutuhan Ca yang rendah terhadap performa dan kualitas kerabang telur.
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dan diseleksi khususnya untuk menghasilkan telur. Galur atau strain ayam yang ada saat ini dapat berasal lebih dari satu bangsa. Umumnya tipe ringan berasal dari bangsa White leghorn, tipe medium dari bangsa Rhode Island Red dan Barred Plymouth Rock serta tipe berat dari bangsa New Hompshire, White Plymouth Rock dan Cornish (Amrullah, 2004). Salah satu strain ayam petelur tipe medium adalah Hisex Brown. Performa ayam petelur Hisex Brown dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Performa Ayam Petelur Strain Hisex Brown Umur (minggu)
Berat Telur (g/butir)
21 22 23 24 25 26
50,8 53,8 56,0 58,2 59,2 59,6
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 100 104 106 108 110 112
Konversi
Hen-day (%)
2,98 2,20 2,04 1,96 1,96 1,98
66,0 88,0 93,0 94,5 95,0 95,0
Sumber : Hendrix_genetics (2006)
Hasil penelitian Suksombat et al. (2006) menunjukkan bahwa ayam petelur Hisex Brown yang dipelihara pada umur 27 minggu menghasilkan produksi telur sebesar 86,73% dan bobot telur 60,88 g/butir. Menurut Siregar (2003), pemeliharaan ayam petelur selama 12 minggu periode produksi yang diberi ransum dalam bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15 dan 18% serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg menghasilkan konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33.
Ukuran telur terbagi
menjadi tiga kriteria, yaitu ukuran kecil (< 47 g/butir), ukuran medium (47-54 g/butir) dan ukuran jumbo (> 61 g/butir) sedangkan tebal kerabang optimal untuk ayam petelur sebesar 0,33 mm (North dan Bell, 1990).
Zeolit Tinjauan Umum Nama zeolit berasal dari bahasa Yunani yang dibagi dalam dua kata, yaitu zeo (mendidih) dan lithos (batu). Nama tersebut menunjukkan sifat dari mineral
zeolit yang akan membuih bila dipanaskan dalam tabung terbuka pada temperatur 100-300ºC (Harjanto, 1983). Umumnya zeolit berwarna putih keabu-abuan, putih kemerah-merahan atau putih kehijau-hijauan. Perbedaan jenis dan warna disebabkan oleh perbedaan lokasi dan umur pembentukannya. Potensi pemakaian zeolit terutama disebabkan oleh sifat fisika dan kimia yang dimilikinya (Mumpton dan Fishman, 1977). Berdasarkan sifat kimianya mineral zeolit mempunyai ion alkali dan air kristal. Apabila dipanaskan air kristalnya mudah menguap, sehingga bekas gugus air dalam zeolit merupakan lubang-lubang ke segala arah. Struktur yang berpori ini menyebabkan zeolit mempunyai kemampuan menyerap dan menyaring molekul. Mineral-mineral yang terkandung dalam zeolit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Unsur Mineral dalam Zeolit Unsur SiO2 Al2O3 LiO Na2O K2O CaO MgO Fe2O3 TiO2
Komposisi (%) 76,95 8,90 7,38 2,02 1,88 1,50 1,21 0,12 0,04
Sumber : PT. Sembada Tani Graha (2002) dalam Panda (2007)
Indonesia berada dalam wilayah rangkaian gunung api mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku sampai Sulawesi. Beragam jenis batuan gunung api yang dihasilkan, diantaranya berupa batuan pikroelastika tuf berbutir halus yang bersifat asam dan bersusunan dasit-riolit atau bermasa kaca gunung api. Tuf halus ini tersebar mengikuti luas jalur gunung api tersebut yang sebagian atau seluruhnya telah mengalami proses ubahan atau diagenesis menjadi zeolit. Karenanya, secara geologi Indonesia berpotensi besar menghasilkan zeolit seperti yang terdapat di Sumatera (Lampung), Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Zeolit yang telah dieksploitasi dan digunakan untuk keperluan berbagai industri diantaranya dijumpai di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur (Kartawa dan Kusumah, 2006).
Struktur Kristal Mineral Zeolit Zeolit merupakan mineral alumina silika hidrat yang tergolong kedalam kelompok tektosilikat. Unit dasar pembentukan kerangka bangun tiga dimensi zeolit terdiri dari unit-unit tetrahedral. Tetrahedral tersebut merupakan kelompok persenyawaan alumina (AlO4)-5 dan kelompok persenyawaan silikat (SiO4)-4 dengan perbandingan tertentu. Unit dasar tetrahedra tersebut saling berikatan, dimana ion oksigen pada setiap ujung tetrahedra dipakai bersama dengan tetrahedra yang berada disampingnya. Susunan dari kelompok tetrahedra yang sama atau berbeda tersebut selanjutnya akan membentuk satuan unit bangun sekunder dalam bentuk cincin tunggal, ganda ataupun komplek yang menghasilkan tipe kerangka kristal zeolit tertentu (Meier dan Olson, 1971; Meier, 1978). Cincin-cincin tersebut dapat saling menggabungkan diri membentuk suatu bangun kristal polihedral yang simetris. Pertautan dari rangkaian unit bangun sekunder dengan polihedra-polihedra ini menghasilkan rongga-rongga ataupun saluran yang kontinyu dalam kerangka zeolit yang berhubungan satu sama lain (Gambar 1). Struktur bangun di atas menyebabkan zeolit mempunyai struktur terbuka atau porous dengan banyak rongga-rongga serta saluran yang teratur dengan ukuran tertentu dalam tiga dimensi (Meier dan Olson, 1978).
Gambar 1. Pertautan 14 Polihedral yang Menyusun Struktur Kristal Mineral Zeolit (Barrer, 1982)
Komposisi Kimia Mineral Zeolit Secara umum formulasi kimia mineral zeolit yang dikemukakan oleh Gottardi (1978) adalah : Mx Dy (Alx+2y Sin-(x+2y) O2n)m H2O dimana : M = Na+, K+ atau kation monovalen lainnya ; D = Mg2+, Ca2+, Sr2+, Ba2+, Fe2+ atau kation divalen lain. M dan D umumnya adalah kation logam alkali atau alkali tanah, akan tetapi dimungkinkan pula adanya ion-ion yang lain masuk kedalamnya pada saat terjadinya pertukaran ion atau selama terjadinya proses pembentukan mineral tersebut di alam. Fe3+ atau Ba2+ umumnya sebagai kation pengganti didalam struktur tetrahedra (Sheppard dan Gude, 1969). Sebagian besar Fe terdapat dalam bentuk Fe2O3, yang akan segera dilepaskan melalui pencucian dengan asam (Gottardi dan Alberti, 1988). Pada proses pembentukannya, didalam struktur kristal mineral zeolit dapat terjadi penggantian kation-kation secara isomorfik yang menghasilkan tipe zeolit tertentu seperti :
Si4+
Al+3, Na+
Si4+ Na+
Al+3, Ca2+
Terjadinya pergantian isomorfik pada struktur mineral tersebut dimana beberapa kation bervalensi empat yaitu Si digantikan oleh alumunium yang bervalensi tiga, akan menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan muatan dengan terbentuknya muatan negatif yang harus dinetralkan (Barrer, 1982). Muatan ini dinetralisasi secara elektrokimia oleh kation-kation golongan alkali atau alkali tanah baik mono ataupun divalen yang terletak di luar tetrahedra yakni di dalam rongga ataupun saluran. Kation-kation tersebut tidak secara keseluruhan mengisi pada posisi yang tetap, akan tetapi bebas bergerak didalam struktur rongga atau saluran. Ion-ion ini disamping mempunyai peranan sebagai kounter ion, dapat dipindahkan atau dipertukarkan dengan kation-kation lain secara kontinyu (Barrer dan Klinowski, 1972). Sifat Pertukaran Ion Kation-kation yang dapat dipertukarkan dari zeolit tidak terikat secara kuat di dalam kerangka tetrahedral zeolit, sehingga dengan mudah akan dilepaskan ataupun dipertukarkan melalui pencucian dengan larutan kation-kation yang lain. Kemampuan pertukaran ataupun kapasitasnya merupakan fungsi dari substitusi Al terhadap Si pada struktur bangun zeolit. Semakin banyak penggantian akan semakin besar pula kekurangan muatan positif yang mengakibatkan semakin banyak pula jumlah kation-kation alkali atau alkali tanah yang diperlukan untuk menetralkannya (Barrer dan Klinowski, 1972). Pertukaran ion didalam struktur zeolit terjadi melalui mekanisme “dua arah”, dimana setiap kounter ion yang meninggalkan kompleks pertukaran akan digantikan oleh sejumlah kounter ion yang lain (Gambar 2).
Gambar 2. Skematik Pertukaran Antara Kation Larutan dengan Kation Zeolit (Semmens, 1984) Kation dari larutan menembus lapisan air dari butiran zeolit, kemudian masuk ke dalam saluran melalui diffusi molekuler. Terjadi pertukaran pada permukaan kompleks permukaan zeolit, kation selanjutnya dibebaskan ke dalam larutan. kecepatan molekul-molekul melalui rongga zeolit bergantung pada besar ukuran molekul yang bersangkutan. Molekul yang lebih besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai pada permukaan pertukaran (Semmens, 1984). Ukuran selektivitas terhadap kation secara umum adalah : Cs > Rb > K > NH4 > Ba > Sr > Na > Ca > Fe > Al > Mg >Li (Ames, 1967; Barrer, 1982). Sifat Adsorpsi Mineral Zeolit Gejala adsorpsi dapat diartikan sebagai suatu proses melekatnya molekulmolekul atau zat pada permukaan zat yang lain. Zeolit mempunyai kemampuan dalam mengikat sejumlah molekul dan ion yang terdapat dalam larutan maupun gas. Umumnya rongga yang besar dan saluran di dalam kristal zeolit diisi oleh molekul air yang membentuk selimut air mengelilingi kation-kation yang dapat dipertukarkan. Apabila molekul air yang terdapat didalam rongga-rongga dan saluran masuk kristal zeolit dikeluarkan melalui pemanasan pada suhu 100 sampai 400ºC untuk beberapa lama, maka molekul-molekul yang mempunyai garis tengah lebih kecil dari saluran masuk akan dapat dijerap ke bagian permukaan dalam rongga kristal (Gottardi, 1978; Vaughan, 1978). Molekul-molekul yang mempunyai ukuran lebih besar dari saluran masuk tidak akan dapat masuk ke
dalamnya, dan ini memberikan sifat penyaringan molekul yang selektif. Selain itu zeolit mampu menyerap bermacam-macam gas seperti amoniak, gas yodium maupun air raksa. Penjerapan yang terjadi pada mineral zeolit menurut Ma dan Yueh Lee (1978), mengikuti tipe isotherm I dengan asumsi bahwa lapisan penjerapan pada dinding rongga kristalin merupakan suatu lapisan yang terdiri dari satu molekul. Setiap permukaan jerapan dapat menjerap satu molekul. Kedudukan molekul yang teradsorpsi terlokalisasi, yang artinya tak ada interaksi antara sesama molekul dan molekul yang lain. Penggunaan Zeolit dalam Ransum Ternak Zeolit dalam ransum ternak dapat digunakan sebagai bahan penyusun ransum, suplementasi dan substitusi (Mumpton dan Fishman, 1977). Pemakaian zeolit dalam ransum ternak banyak dicoba oleh para peneliti, seperti yang dilaporkan Ermayeni (1993) bahwa pemberian zeolit dalam ransum ayam petelur tipe medium fase produksi II pada tingkat 0, 2, 4, 6, dan 8% tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi telur harian tetapi berpengaruh sangat nyata dalam menurunkan tingkat konsumsi ransum dan angka konversi ransum. Handriani (1992) memberikan zeolit dengan kadar 0, 2, 4, 6 dan 8% dalam ransum ayam petelur tipe medium fase produksi II menunjukkan zeolit tidak berpengaruh terhadap bobot telur dan warna kuning telur. Pemakaian 4% zeolit dalam ransum dapat meningkatkan nilai rataan Haugh Unit telur dari perlakuan kontrol, sedangkan pemakaian zeolit lebih dari 4% menyebabkan penurunan nilai Haugh Unit. Taraf zeolit 2, 4, 6 dan 8% dalam ransum menghasilkan kerabang yang lebih tebal dibandingkan dengan kontrol. Nilai ketebalan kerabang pada penambahan zeolit 0, 2, 4, 6 dan 8 % masing-masing sebesar 0,3083; 0,3283; 0,3442; 0,3541 dan 0,3690 mm. Hasil penelitian Sibarani (1994) menunjukkan bahwa penambahan zeolit pada taraf 0, 2, 6, dan 8% dalam ransum ayam broiler tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum. Penambahan zeolit dalam ransum ayam broiler dilakukan oleh Yenita (1993) dengan taraf 0, 3 dan 6%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf penambahan zeolit dalam ransum berpengaruh nyata memperbaiki pertambahan bobot badan dan konversi ransum,
namun tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan penambahan zeolit dalam ransum pada taraf 0, 3 dan 6% masing-masing sebesar 1.276,20; 1.322,58 dan 1.305,31 g/ekor, sedangkan nilai konversi ransum masing-masing sebesar 2,05; 1,95 dan 1,97. Azhari (1995) melaporkan bahwa penaburan zeolit 15 dan 30% pada litter menyebabkan konsentrasi gas amoniak yang terbentuk dari manur ayam nyata lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Panda (2007) menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum dengan penambahan zeolit 0, 3, 6 dan 9% pada mencit lepas sapih hasil litter size pertama mengalami kecenderungan peningkatan seiring dengan semakin tinggi penambahan zeolit dalam ransum. Penggunaan zeolit sampai dengan taraf 10% dalam ransum belum memperlihatkan keracunan (Cool dan Willard, 1982). Kalsium dan Fosfor Kalsium dan fosfor adalah mineral esensial dan keduanya berhubungan erat dengan proses biologis ayam. Sebagian besar dari kedua jenis mineral ini dipergunakan dalam pembentukan tulang dan kulit telur. Perbandingan Ca/P berdasarkan berat dalam tulang adalah kurang lebih 2:1. Kebutuhan Ca dan P pada saat bertelur dialokasikan terutama untuk pembentukan telur dan kulit telur, disamping untuk hidup pokok. Hidup pokok ayam petelur membutuhkan 0,07 g Ca per ekor per hari, sedangkan untuk pembentukan kerabang dari sebutir telur dibutuhkan sekitar 2,20 g Ca (Yasin, 1988). Kalsium memiliki peranan penting dalam tubuh, diantaranya adalah keikutsertaannya dalam pembentukkan tulang dan gigi, memegang peranan dalam proses pembekuan darah, memegang peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam fase kehamilan, memegang peranan dalam proses terselenggaranya ritme jantung yang normal, mempertahankan mekanisme tubuli ginjal dalam proses mempertahankan kadar zat-zat agar tetap normal, memegang peranan dalam proses kontraksi otot dan ransangan syaraf, memegang peranan agar enzim-enzim tertentu dapat bekerja dengan baik, dan memegang peranan dalam mempertahankan permeabilitas dinding sel (membran plasma) sedangkan fosfor memegang peranan dalam proses kontraksi otot, pembentukan tulang (osifikasi) dan aktifitas sekretoris. Disamping itu fosfor juga berperan dalam
pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalan transformasi energi (Piliang dan Djojosoebagjo, 2006). Kebutuhan kalsium ayam petelur pada awal periode produksi meningkat empat kali lipat dan hampir seluruh kalsium diperlukan untuk membentuk kerabang telur (Amrullah, 2004). Kebutuhan kalsium untuk ayam petelur kerabang coklat dengan konsumsi ransum 110 g/hari yaitu 3,6%, sedangkan kebutuhan fosfor tersedia yaitu 0,275% (NRC,1994). Persentase kalsium yang dibutuhkan dalam ransum ayam petelur yang beragam menurut konsumsi ransum dan produksi telur pada umur 21-40 minggu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Konsumsi ransum per hari (g/ekor) 80 90 100 110 120 130
Persentase Kalsium yang Dibutuhkan dalam Ransum Ayam Petelur yang Beragam Menurut Konsumsi Ransum dan Produksi Telur pada Umur 21-40 Minggu % Produksi telur 90
80
70
60
4,7 4,2 3,8 3,5 3,2 3,0
4,2 3,8 3,4 3,1 2,9 2,7
3,7 3,3 3,0 2,7 2,5 2,3
3,2 2,9 2,6 2,3 2,1 1,9
Sumber : Amrullah (2004)
Ternak yang mengalami defisiensi kalsium akan mengakibatkan gangguan-gangguan diantaranya pertumbuhan terhambat, konsumsi ransum menurun, laju metabolik basal tinggi, kepekaan dan aktifitas menurun, osteoporosis, sikap dan cara berjalan abnormal, peka terhadap perdarahan di dalam, kenaikan dalam jumlah urin, daya hidup berkurang, kulit telur tipis dan produksi telur menurun, tetanus dan nafsu makan buruk (Anggorodi, 1985). Defisiensi fosfor menyebabkan rachitis, kehilangan nafsu makan, lemah bahkan kematian (Yasin, 1988). Suatu keadaan yang bersifat asam sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap usus. Karenanya absorpsi kalsium terjadi dibagian atas dari usus halus, karena di tempat ini keadaannya lebih bersifat asam. Keasaman pada lambung akan mempengaruhi penyerapan kalsium oleh usus, maka asam klorida (HCl) di dalam lambung memegang peranan yang penting. Makanan yang bersifat asam akan meningkatkan penyerapan kalsium oleh usus. Sebaliknya makanan
yang bersifat basa, akan menghambat penyerapan kalsium oleh usus. Absorpsi kalsium oleh usus akan terhambat bila dalam ransum mengandung banyak asam fitat. Berbeda halnya dengan absorpsi fosfor, dimana asam fitat tidak mempunyai pengaruh sama sekali. Fosfor dengan senyawa fitat yang terdapat di dalam pakan akan mengalami hidrolisa saat terjadinya proses memasak dan selama proses pencernaan (Piliang dan Djojosoebagjo, 2006). Kebutuhan ayam petelur akan fosfor umumnya rendah, terutama karena hanya sedikit ditemukan dalam kerabang. Terlalu sedikit akan menyebabkan pembentukan kerabang terhambat, begitu juga jika terlalu banyak. Salah satu kasus yang sering terjadi dalam jeleknya kualitas kerabang dan kekuatannya adalah karena kelebihan fosfor dalam ransum, tetapi ransum yang rendah kandungan fosfornya akan meningkatkan mortalitas ayam petelur (Bell dan Weaver, 2002). Produksi telur meningkat dengan meningkatnya level kalsium dalam ransum. Hasil penelitian Chowdhury dan Smith (2002) menunjukkan bahwa penambahan level kalsium dari 2,5; 3; 3,5 dan 4% menghasilkan peningkatan produksi telur dari 90 hingga 96%. Sama halnya dengan konsumsi ransum yang meningkat dari 99 sampai dengan 103 g/ekor/hari, namun untuk bobot telur relatif stabil yang nilainya berkisar 58 g/butir. Kerabang Telur Kerabang telur merupakan bagian yang paling keras. Bagian ini tersusun dari 95,1% garam-garam anorganik, 3,3% bahan organik (terutama protein) dan 1,6% air.Bahan-bahan anorganik yang membentuk kerabang telur terdiri dari kalsium (Ca), magnesium (Mg), fosfor (P), besi (Fe) dan belerang (S) (Yasin, 1988). Pembentukan kerabang telur terjadi di uterus selama 18-20 jam. Pembentukan kerabang telur memerlukan pemasukan ion-ion kalsium yang cukup dalam uterus dan adanya ion-ion karbonat dalam uterus dalam jumlah cukup yang diperlukan untuk membentuk kalsium karbonat (Wahju, 1985). Kalsium karbonat dibentuk ketika ion-ion kalsium dicukupi lewat aliran darah, sedangkan ion-ion karbonat datang dari darah dan kelenjar kerabang. Apa saja yang mengurangi
pasokan dari darah menyebabkan deposit CaCO3 tidak maksimum, dan kualitas kerabang menjadi jelek (Bell dan Weaver, 2002).
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam minggu mulai bulan Maret sampai dengan Mei 2007. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Unggas. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak Penelitian ini menggunakan 32 ekor ayam petelur umur 21 minggu strain Hisex Brown dengan rataan bobot badan 1,463 kg ± 0,197. Pada awal pemeliharaan terjadi kematian sebanyak dua ekor, sehingga jumlah ayam yang diamati menjadi 30 ekor. Kandang Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang terbuat dari kawat berukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 m sebanyak 30 buah yang telah dikapur dan didesinfektan. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain zeolit, ransum ayam petelur, air minum, sekam, vaksin ND dan vitamin berupa Vita Stress. Kandang yang digunakan terdiri dari dua ruangan dan masing-masing ruangan kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum dan lampu pijar 40 watt. Peralatan lain yang digunakan adalah oven 105oC, kandang individu, timbangan digital dan analitik, termometer, mortar, kertas label, plastik dan lain-lain yang menunjang kegiatan penelitian. Ransum Perlakuan Ransum yang digunakan adalah ransum ayam petelur berbentuk mash. Ransum ayam petelur dalam penelitian ini terdiri atas beberapa bahan makanan yaitu jagung kuning, dedak padi, tepung ikan, bungkil kedele, bungkil kelapa, minyak kelapa, CaCO3, premix serta zeolit. Zeolit yang digunakan berukuran 30 mesh dan tidak diaktivasi terlebih dahulu. Ransum disusun berdasarkan kebutuhan
ayam petelur periode produksi menurut NRC (1994) dengan kandungan Ca dalam ransum lebih rendah 0,29% dari kebutuhan. Komposisi ransum penelitian, kandungan nutrisi serta kebutuhan zat nutrisi ayam petelur periode produksi terdapat pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Zat Nutrisi Ransum Penelitian Bahan makanan Jagung kuning Dedak padi Tepung ikan Bungkil kedele Bungkil Kelapa CaCO3 Minyak Kelapa Premix Zeolit Total Bahan Kering (%)1) Energi Bruto (kkal/kg) 1) Energi Metabolis (kkal/kg)2) Protein Kasar (%)1) Serat Kasar (%)1) Lemak Kasar (%)1) Beta-N1) Abu (%)1) Calsium (%)1) Fosfor Total (%)1) Fosfor tersedia (%)2) Lysin (%)2) Methionin (%)2)
0 57 10 7,5 12 5 6,2 2 0,3 0 100 86,00 3.880 2.934,85 15,56 5,16 4,30 53,39 7,59 2,87 0,61 0,33 0,89 0,34
Pemberian Zeolit (%) 2,5 5 52 47 10 10 7,5 7,5 13 14 5 5 6,2 6,2 3,5 5 0,3 0,3 2,5 5 100 100 86,52 3.884 2.918,65 16,98 5,21 5,25 49,93 9,15 2,82 0,60 0,32 0,90 0,34
86,88 3.921 2.902,45 16,24 4,58 5,97 47,14 12,95 2,81 0,57 0,32 0,92 0,33
7,5 45,6 10 7,5 16 1 6,2 5,9 0,3 7,5 100 86,68 3.889 2.916,55 15,23 4,23 6,38 47,25 13,59 2,80 0,55 0,32 0,95 0,33
Keterangan : 1) Hasil analisis di Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, INTP, Fapet, IPB (2007) 2) Hasil perhitungan 3)
Tabel 5. Kebutuhan Zat Nutrisi Ayam Petelur Periode Produksi Zat Makanan Energi Metabolis (kkal/kg) Protein Kasar (%) Kalsium (%) Fosfor Total (%)1) Non Phytat Fosfor (%) Metionin (%) Lysin (%) Sumber : NRC (1994) 1) Bell dan Weaver (2002)
Kebutuhan Zat Makanan 2.900 16,5 3,6 0,5 0,275 0,33 0,76
Metode Perlakuan Ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: R0
: Ransum kontrol
R1
: Ransum kontrol + 2,5% zeolit
R2
: Ransum kontrol + 5 % zeolit
R3
: Ransum kontrol + 7,5% zeolit
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan, tiap ulangan terdiri dari dua ekor ayam petelur, kecuali perlakuan R3 dan R4 pada ulangan ke-4 terdiri dari satu ekor ayam petelur. Model matematika dari rancangan tersebut sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991): Yij = µ + βi + €ij Keterangan: Yij
: Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
: Rataan umum
βi
: Efek perlakuan ke-i
€ij
: Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Prosedur Penelitian Ruangan kandang dan kandang individu dipersiapkan, dibersihkan, didesinfektan serta dilakukan pengapuran satu minggu sebelum ayam datang. Selain itu, tempat pakan, tempat air minum dan semua peralatan yang digunakan juga disterilkan. Alat penerangan kandang yang digunakan adalah lampu pijar 40 watt yang ditempatkan pada masing-masing ruangan kandang. Penentuan letak pada kandang individu dilakukan secara acak untuk memudahkan pencatatan,
masing-masing kandang individu diberi tanda sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Pengamatan ayam dilakukan selama 6 minggu. Pemberian ransum dan air minum ad libitum. Pada saat ayam datang dilakukan penimbangan untuk memperoleh bobot badan awal. Pencegahan stres dilakukan saat ayam datang serta setelah penimbangan dengan pemberian Vita Stress yang dilarutkan dalam air minum. Selain itu, selama pemeliharaan dilakukan juga pencegahan penyakit ND menggunakan vaksin ND. Pengambilan data produksi telur dan bobot telur dilakukan setiap hari selama pemeliharaan, sedangkan untuk konsumsi ransum dan pengukuran ketebalan kerabang telur dilakukan setiap minggu selama pemeliharaan. Telur yang dihasilkan pada minggu ke-5 dan ke-6 dikumpulkan untuk dilakukan analisis kerabang telur, sehingga dapat diketahui kandungan kalsium dan fosfornya. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi : 1. Konsumsi Ransum (gram/ekor/hari) Konsumsi ransum diukur setiap minggu berdasarkan jumlah ransum yang dikonsumsi selama enam minggu pemeliharaan kemudian dihitung konsumsi ransum per hari. 2. Bobot Telur (gram/butir) Bobot telur dihitung berdasarkan hasil penimbangan telur setiap hari selama enam minggu pemeliharaan. 3. Konversi Ransum Konversi ransum dihitung dari pembagian antara jumlah ransum yang dikonsumsi (gram) dengan bobot telur (gram) yang diperoleh selama penelitian (gram/ekor). 4. Produksi Telur /Hen Day (%) Produksi telur dihitung setiap minggu selama penelitian setelah mencapai 5% produksi telur. Rumus yang digunakan untuk menghitung produksi telur hen day sebagai berikut : Hen Day (%) =
Jumlah produksi telur x 100% Jumlah ayam yang ada
(Perbandingan antara jumlah telur yang diproduksi dengan jumlah ayam yang ada selama penelitian dikalikan 100%). 5. Ketebalan Kerabang Telur Telur dipecah, diambil bagian kerabangnya, kemudian selaput yang menempel pada kerabang telur dilepas. Setelah itu, sampel kerabang telur diambil dari bagian ujung tumpul, ujung lancip dan bagian tengah untuk diukur ketebalannya menggunakan mikrometer. 6. Kandungan Ca dan P dalam Kerabang Telur Telur dipecah, diambil kerabangya, dilepas selaputnya, kemudian dimasukkan oven sampai kerabang kering. Setelah itu, kerabang dihancurkan sampai halus menggunakan mortar, kemudian dilakukan analisis Ca dan P pada kerabang telur. Kandungan Ca dan P kerabang telur dianalisis dengan metode sebagai berikut: 1. Pengabuan Basah (Wet Ashing) Kerabang telur yang telah dihaluskan dipreparasi dengan metode pengabuan basah sebelum dianalisis kandungan Ca dan P. Pengabuan basah dilakukan dengan cara: Satu gram sampel kerabang telur ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer berukuran 125 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 dan didiamkan selama 1 jam dalam suhu ruang di ruang asam. Sampel kemudian dipanaskan di atas hot plate pada suhu 80oC selama 1 jam kemudian suhu dinaikkan menjadi 105 oC dan sampel dipanaskan kembali selama 4 jam. Sampel didinginkan semalam. Kemudian ditambahkan 0,4 ml H2SO4, lalu dipanaskan di atas hot plate selama 1 jam sampai larutan berkurang (lebih pekat). Pada larutan pekat tersebut ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1). Pemanasan terus dilanjutkan sampai terjadi perubahan warna dari coklat, kuning tua dan kuning muda (biasanya ± 1 jam). Setelah terjadi perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Sampel didinginkan, kemudian ditambahkan 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl. Sampel dipanaskan kembali sampai larut (± 15 menit), kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Apabila ada endapan sampel disaring dengan glass wool. Hasil pengabuan basah ini kemudian dianalisis menggunakan AAS untuk analisis kalsium dan spektrofotometer untuk analisis fosfor.
2. Analisa Kalsium Sampel yang telah dipreparasi dengan pengabuan basah dipipet sebanyak 0,5 ml dan ditambahkan 0,05 ml Cl3La.7H2O. Kemudian sampel tersebut dilarutkan dengan 5 ml aquadest. Larutan sampel diaduk dengan menggunakan alat pengaduk vortex selama beberapa detik. Sampel kemudian dianalisis kadar kalsiumnya dengan menggunakan AAS. 3. Analisa Fosfor Larutan B dan larutan C dibuat sesaat sebelum dilakukan analisis fosfor. Larutan B dibuat dengan melarutkan 10 g Amonium molibdat dengan 60 ml aquadest. Kemudian ditambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap. Aquadest ditambahkan ke dalam larutan sampai terbentuk 100 ml larutan B. Larutan C adalah 10 ml Larutan B ditambahkan dengan 60 ml aquadest dan 5 g FeSO4.7H2O. Kemudian ditambahkan aquadest sampai terbentuk 100 ml larutan C. Sampel yang telah dipreparasi dengan pengabuan basah dipipet sebanyak 0,5 ml dan dilarutkan dengan 3 ml aquades. Kemudian, ditambahkan 2 ml larutan C ke dalam sampel. Larutan tersebut kemudian didinginkan dalam suhu kamar. Sampel
diaduk
sampai
homogen.
Kemudian
spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
dianalisis
menggunakan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh penggunaan zeolit pada taraf 2,5; 5 dan 7,5% dibandingkan kontrol terhadap performa ayam petelur (produksi telur, konsumsi ransum, bobot telur dan konversi ransum) periode produksi umur 21–26 minggu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Peubah yang diamati Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Bobot telur (g/butir) Konversi ransum Produksi telur (hen-day) (%)
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Petelur Umur 210% 84,41 ± 8,48a
Pemberian Zeolit 2,5% 5% 96,69 ± 8,07ab 96,89 ± 13,43ab
7,5% 109,60 ± 5,56b
47,94 ± 9,94
53,93 ± 2,71
52,99 ± 0,63
53,23 ± 1,96
3,90 ± 1,83
3,12 ± 0,41
3,06 ± 0,55
2,90 ± 0,71
57,41 ± 10,37a
58,08 ± 3,13a
60,27 ± 11,74a
78,97 ± 3,83b
26 Minggu yang Diamati selama Enam Minggu Keterangan : Superskrip hurup kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05)
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap konsumsi ransum. Ransum perlakuan dengan penambahan zeolit 7,5 % nyata (p<0,05) meningkatkan konsumsi ransum sebesar 29,84% dibandingkan kontrol tetapi pada penambahan zeolit 2,5–5% tidak nyata meningkatkan konsumsi ransum dibandingkan kontrol. Meningkatnya konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum dengan penambahan 7,5% zeolit menyebabkan meningkatnya konsumsi zat nutrisi (Tabel 7). Meskipun demikian, konsumsi zat nutrisi lebih rendah jika dibandingkan dengan standar Hisex Brown, sehingga terlihat kekurangan konsumsi zat nutrisi pada setiap perlakuan (Tabel 8). Berdasarkan Tabel 8 dapat terlihat bahwa kekurangan konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum dengan penambahan 7,5% zeolit lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol dan perlakuan dengan penambahan 2,5 dan 5% zeolit. Rendahnya kekurangan konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum dengan penambahan 7,5% zeolit menyebabkan rendahnya kekurangan konsumsi
zat nutrisi, sehingga kebutuhan zat nutrisi lebih terpenuhi dibandingkan perlakuan kontrol dan perlakuan dengan penambahan 2,5 dan 5% zeolit. Tabel 7.
Konsumsi Zat Nutrisi Ayam Petelur Umur 21-26 Minggu Per Ekor Per Hari
Penambahan zeolit (%) 0 2,5 5 7,5
Ransum 84,41 96,69 96,89 109,60
Konsumsi standar1)
110
Konsumsi (g/ekor/hari) Lemak Protein kasar kasar 13,13 3,63 16,42 5,08 15,73 5,78 16,69 6,99 19,47
5,5-6,6
Ca 2,42 2,73 2,72 3,07
P tersedia 0,15 0,17 0,17 0,18
4,18
0,43
Tabel 8. Kekurangan Konsumsi Zat Nutrisi Ayam Petelur Umur 21-26 Minggu Per Ekor Dibandingkan Standar Hisex Brown Penambahan zeolit (%) 0 2,5 5 7,5
Kekurangan konsumsi zat nutrisi (g/ekor/hari) Ca Ransum Protein kasar P tersedia -25,59 -6,34 -0,28 -1,76 -13,31 -3,06 -0,26 -1,46 -13,10 -3,74 -0,27 -1,46 -0,39 -2,78 -1,12 -0,25
Keterangan : 1) Hendrix_genetics (2006)
Penyebab meningkatnya konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum pada taraf zeolit 7,5% yaitu penggunaan minyak dalam ransum yang semakin tinggi dengan meningkatnya taraf zeolit mengakibatkan ransum lebih lengket, rupa ransum menjadi lebih menarik, mempertinggi palatabilitas dan tidak banyak zat nutrisi yang tercecer akibat debu. Konsumsi ransum setiap minggu dari setiap
konsumsi ransum(g/ekor/hr)
perlakuan terlihat pada Gambar 3. 140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
minggu R0
R1
R2
R3
standar hisex brown
Keterangan : R0 (ransum kontrol) R1 (ransum mengandung 2,5% zeolit) R2 (ransum mengandung 5% zeolit ) R3 (Ransum mengandung 7,5% zeolit)
Gambar 3. Grafik Konsumsi Ransum selama Enam Minggu Pengamatan
Gambar 3 menunjukkan tidak terdapat fluktuasi konsumsi ransum yang signifikan dan cenderung terjadi peningkatan. Konsumsi ransum pada ayam yang diberi perlakuan dengan penambahan zeolit 2,5; 5 dan 7,5% lebih tinggi dibandingkan kontrol tetapi lebih rendah dibandingkan dengan standar dari Hisex Brown karena adanya perbedaan suhu. Suhu lingkungan pada pemeliharaan ayam strain Hisex Brown menurut Hendrix_genetics (2006) yaitu 18-24ºC, sedangkan suhu saat penelitian berkisar antara 24-30ºC. Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap produksi telur. Ransum perlakuan dengan penambahan zeolit 7,5% nyata (p<0,05) meningkatkan produksi telur sebesar 37,55%; 35,97% dan 31,03% dibandingkan ransum kontrol, ransum dengan penambahan zeolit 2,5 dan 7,5% zeolit. Meningkatnya produksi telur pada ayam yang diberi penambahan zeolit 7,5% dalam ransum disebabkan oleh sifat zeolit yang dapat mengikat amonia yang dihasilkan dalam proses pencernaan protein maupun non protein dalam saluran pencernaan. Kemampuan zeolit dalam mengikat amonia dapat mempertahankan dan meningkatkan suasana asam pada lambung. Keasaman pada lambung ini akan meningkatkan penyerapan kalsium oleh usus yang berguna untuk proses pembentukan telur melalui proses pembentukan kerabang telur. Keasaman pada lambung juga dapat meningkatkan pengikatan amonia oleh zeolit. Pengikatan amonia oleh zeolit disebabkan adanya aktivasi oleh asam lambung, sehingga rasio Si/Al menjadi lebih tinggi yang disebabkan oleh hilangnya Al dari struktur kristal zeolit. Perbandingan Si dan Al dari struktur bangun zeolit menentukan sifat selektivitasnya, dimana zeolit dengan rasio Si/Al yang tinggi akan cenderung mengikat kation monovalen dari pada divalen. Salah satu kation monovalen yaitu NH3 (Barrer dan Langley, 1958; Boles, 1972). Meningkatnya produksi telur pada ayam yang diberi ransum dengan penambahan 7,5% zeolit juga disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi ransum yang menyebabkan peningkatan konsumsi zat nutrisi (Tabel 7). Meningkatnya konsumsi zat nutrisi menyebabkan meningkatnya konsumsi protein (Tabel 7) yang dapat meningkatkan penyerapan kalsium. Survei literatur
menunjukkan bahwa protein juga ikut memegang peranan dalam penyerapan kalsium dalam penyerapan oleh usus. Ternak yang mengkonsumsi protein dalam konsentrasi yang cukup tinggi akan mempermudah penyerapan kalsium (Piliang dan Djojosoebagjo, 2006). Kalsium tersebut berpengaruh terhadap proses pembentukan kerabang telur dan produksi telur karena dalam proses tersebut melibatkan kalsium untuk pembentukan kalsium karbonat pada kerabang telur. Meskipun demikian, zat nutrisi yang dikonsumsi masih kurang jika dibandingkan dengan standar Hisex Brown (Tabel 7). Hal ini dikarenakan untuk menghasilkan produksi telur sebesar 70-80% dengan konsumsi ransum 110 g/ekor/hari membutuhkan kadar kalsium dalam ransum sebesar 3,1% (Tabel 3). Penambahan zeolit dalam ransum pada taraf 2,5 dan 5% tidak dapat meningkatkan produksi telur harian, karena zat nutrisi yang diserap untuk membentuk telur relatif sama dengan zat nutrisi yang diserap oleh ayam petelur tanpa perlakuan zeolit. Hal ini terlihat dari rataan produksi telur harian ayam petelur dengan penambahan zeolit 2,5 dan 5% tidak terpaut jauh dengan ayam petelur yang diberi ransum kontrol, dengan demikian tidak terlihat peran dari penambahan zeolit dalam ransum. Rendahnya konsumsi zat nutrisi menyebabkan produksi telur harian yang dihasilkan hanya sebesar 57-60%, sedangkan produksi telur harian standar untuk ayam petelur umur 21-26 minggu berkisar antara 6695% (Hendrix_genetics, 2006). Produksi telur setiap minggu dari setiap perlakuan
henday(%)
terlihat pada Gambar 4. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
minggu R0
R1
Keterangan
R2
R3
standar hisex brown
: R0 (ransum kontrol) R1 (ransum mengandung 2,5% zeolit) R2 (ransum mengandung 5% zeolit ) R3 (Ransum mengandung 7,5% zeolit)
Gambar 4. Grafik Produksi Telur Harian selama Enam Minggu Pengamatan
Berdasarkan Gambar 4, produksi telur selama penelitian ini berkisar antara 50,5-63,8%. Kisaran produksi telur selama penelitian lebih rendah dibandingkan dengan standar produksi telur ayam petelur strain Hisex brown yaitu antara 6695% pada kisaran umur 21-26 minggu. Produksi telur yang rendah disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat nutrisi yang dibutuhkan dalam proses pembentukkan telur. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap bobot telur (Tabel 6). Hal ini dikarenakan konsumsi protein, strain, serta temperatur lingkungan relatif sama setiap perlakuan. Rataan bobot telur standar pada ayam petelur Hisex Brown umur 21-26 minggu yaitu 54,3 g/butir (Hendrix_genetics, 2006), sedangkan bobot telur pada ransum perlakuan lebih rendah (Tabel 6). Penambahan zeolit pada taraf 2,5; 5 dan 7,5 % dalam ransum tidak berpengaruh terhadap besar telur yang dihasilkan, hal tersebut dikarenakan kurangnya zat nutrisi yang dikonsumsi, terutama protein untuk membentuk sebutir telur. Amrullah (2004) menyatakan bahwa protein yang akan digunakan pada proses pembentukan telur sebesar 5560% dari protein yang dikonsumsi. Berdasarkan Tabel 7, protein yang dikonsumsi untuk membentuk sebutir telur pada ayam yang diberi ransum dengan penambahan zeolit 0; 2,5; 5 dan 7,5% masing-masing yaitu 7,22-7,88%; 9,039,85%; 8,65-9,44% dan 9,18-10,01%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi protein standar untuk membentuk sebutir telur yaitu 9,98-10,89%. Bobot telur setiap minggu dari setiap perlakuan terlihat (Gambar 5). bo bottelur(g /bu tir)
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
minggu R0
R1
Keterangan :
R2
R3
standar hisex brown
R0 (ransum kontrol) R1 (ransum mengandung 2,5% zeolit) R2 (ransum mengandung 5% zeolit ) R3 (Ransum mengandung 7,5% zeolit)
Gambar 5. Grafik Bobot Telur selama Enam Minggu Pengamatan
Gambar 5 menunjukkan adanya peningkatan bobot telur dari minggu pertama ke minggu ke-2, tetapi pada minggu ke-3 hingga ke-6 tidak terjadi peningkatan bobot telur kecuali pada perlakuan kontrol yang cenderung menurun. Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah besar sejalan dengan bertambahnya umur ayam dan perkembangan saluran reproduksi. Rataan bobot telur ayam selama enam minggu pengamatan lebih rendah dibandingkan standar bobot telur ayam petelur strain Hisex Brown umur 21-26 minggu yang berkisar antara 47,8-59,6 g/butir (Hendrix_genetics, 2006). Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap konversi ransum (Tabel 6). Konversi ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum dan produksi telur selama penelitian. Semakin rendah nilai konversi ransum yang diperoleh, maka semakin efisien ternak tersebut dalam menggunakan ransum untuk menghasilkan produksi. Rataan konversi ransum ayam petelur umur 21-26 minggu berkisar antara 2,9-3,9 (Tabel 6) dan grafik setiap minggunya terlihat
konversi ransum
pada Gambar 6. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
minggu R0
R1
Keterangan :
R2
R3
standar hisex brown
R0 (ransum kontrol) R1 (ransum mengandung 2,5% zeolit) R2 (ransum mengandung 5% zeolit ) R3 (ransum mengandung 7,5% zeolit)
Gambar 6. Grafik Konversi Ransum selama Enam Minggu Pengamatan
Grafik rataan konversi ransum menunjukkan nilai konversi pada ransum perlakuan lebih tinggi dibandingkan standar Hisex Brown, namun jika dilihat dari segi ekonomis, ransum dengan penambahan 7,5% zeolit menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan ransum kontrol dan ransum yang mengandung 2,5 dan 5% zeolit. Hasil perhitungan biaya ransum, pendapatan dan keuntungan selama pemeliharaan ayam petelur terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Perhitungan Biaya Pakan, Pendapatan dan Keuntungan Pemeliharaan Ayam Petelur selama Enam Minggu Keterangan Harga ransum (Rp/kg) Biaya ransom (Rp/hari) Pendapatan (Rp/hari) Keuntungan (Rp/hari)
0% 2.879,80 7.291,65
Penambahan zeolit 2,5% 5% 2.932,30 2.984,80 8.504,84 8.675,92
7,5% 3.063,80 10.073,77
8.255,27 963,6144
9.395,02 890,18
12.606,75 2.532,98
9.579,53 903,614
Pengamatan Keterangan : Harga telur Rp. 10.000/kg.
Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Kerabang Telur ( Tebal Kerabang, Kandungan Ca dan P Kerabang) Pengaruh penggunaan zeolit pada taraf 2,5; 5 dan 7,5% dibandingkan kontrol terhadap ketebalan kerabang, kandungan Ca dan P kerabang dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10.
Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Kerabang Telur (Tebal Kerabang, Kandungan Ca dan P Kerabang, Berat Kerabang) 0% 5,09 ± 0,21
Penambahan zeolit 2,5% 5% 5,39 ± 0,18 5,26 ± 1,11
7,5% 5,53 ± 0,40
0,30 ± 0,06
0,35 ± 0,03
0,34 ± 0,02
0,35 ± 0,04
Kandungan Ca kerabang (g)
2,05
2,17
1,87 ± 0,15
2,02
Kandungan Ca kerabang (%)
40,26 ± 7,62
40,25 ± 1,31
35,62
36,55 ± 0,98
27,49
34,50
37,87
39,82
0,54 ± 0,02a
0,64 ± 0,06ab
0,72 ± 0,07b
0,72 ± 0,14b
Peubah Berat kerabang tanpa selaput (g) Tebal kerabang (mm)
Kandungan P kerabang (mg) Kandungan P kerabang (%)
Keterangan : Superskrip hurup kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05)
Pengaruh Perlakuan terhadap Ketebalan dan Berat Kerabang Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap ketebalan kerabang (Tabel 9). Hal tersebut dikarenakan terpenuhinya ion-ion kalsium dan ion-ion karbonat dalam uterus untuk proses pembentukan kerabang telur. Pengambilan kalsium pada proses pembentukan kerabang telur diperoleh dari ransum dan sebagian lagi berasal dari cadangan kalsium pada tubuh ternak. Amrullah (2004) menyatakan bahwa hanya ada dua sumber kalsium untuk menghasilkan kerabang yaitu berasal dari makanan dan dari cadangan kalsium yaitu medulla bone-tulang sumsum. Ketebalan kerabang setiap minggu dari setiap perlakuan terlihat pada
tebal kerabang (mm)
Gambar 7. 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1
2
3
4
5
6
minggu R0
Keterangan :
R1
R2
R3
R0 (ransum kontrol) R1 (ransum mengandung 2,5% zeolit) R2 (ransum mengandung 5% zeolit ) R3 (Ransum mengandung 7,5% zeolit)
Gambar 7. Grafik Tebal Kerabang Telur selama Enam Minggu Pengamatan Grafik rataan tebal kerabang telur (Gambar 7) menunjukkan terjadinya sedikit perubahan pada ransum perlakuan dengan penambahan zeolit 0; 2,5; 5 dan 7,5% selama enam minggu pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa ayam merespon rendahnya konsumsi zat nutrisi hanya dengan mengurangi produksi telur, namun ketebalan kerabang tetap dipertahankan. Rataan ketebalan kerabang telur yang diperoleh selama enam minggu pemeliharaan yaitu 0,33 mm. Hasil
tersebut sesuai dengan standar tebal kerabang ayam petelur tipe medium yaitu 0,33 mm (North dan Bell, 1990). Ketebalan kerabang akan mempengaruhi berat kerabang yang dihasilkan. Tebal kerabang yang hampir sama dari setiap perlakuan menyebabkan berat kerabang yang dihasilkan juga relatif sama setiap perlakuan (Tabel 9), dengan demikian tidak terdapat pengaruh dari penambahan zeolit terhadap ketebalan kerabang telur dan berat kerabang telur. Berat kerabang setiap minggu dari setiap perlakuan terlihat pada Gambar 8. 7 berat kerabang (g)
6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
minggu R0
Keterangan :
R1
R2
R3
R0 (ransum kontrol) R1 (ransum mengandung 2,5% zeolit) R2 (ransum mengandung 5% zeolit ) R3 (Ransum mengandung 7,5% zeolit)
Gambar 8. Grafik Berat Kerabang Telur selama Enam Minggu Pengamatan Grafik rataan berat kerabang (Gambar 8) menunjukkan tidak terdapat perubahan yang signifikan selama enam minggu pengamatan. Hal tersebut sesuai dengan tebal kerabang yang dihasilkan, karena berat kerabang dipengaruhi oleh ketebalan kerabang. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Ca dan P Kerabang Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap kandungan kalsium kerabang telur. Kandungan kalsium kerabang telur relatif sama untuk setiap perlakuan, hal ini dikarenakan kebutuhan kalsium untuk pembentukan kerabang
telur dari setiap perlakuan terpenuhi. Hasil ini sesuai dengan hasil ketebalan kerabang telur yang hampir sama untuk setiap perlakuan. Kandungan kalsium kerabang telur (Tabel 9) hasil penelitian ini sesuai dengan standar kebutuhan kalsium untuk pembentukan kerabang dari sebutir telur yaitu 2-2,2 g (Yasin, 1988). Hal tersebut membuktikan bahwa pengambilan kalsium untuk proses pembentukan kerabang telur juga berasal dari cadangan dalam tubuh ayam. Pengaruh zeolit dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kandungan fosfor kerabang telur. Kandungan fosfor kerabang telur pada ransum perlakuan dengan penambahan zeolit 2,5; 5 dan 7,5% lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol. Hal tersebut disebabkan karena adanya pengaruh zeolit yang dapat memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini akan meningkatkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi ke dalam tubuh yang juga berdampak pada tingginya kandungan fosfor kerabang telur. Abnormalitas Telur Data hasil pengamatan abnormalitas telur selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11. Pengamatan Abnormalitas Telur dari Setiap Perlakuan selama Enam Minggu Pengamatan Abnormalitas Telur tanpa kerabang Telur double yolk
Perlakuan R0 R1 R2 R3 …………………………Butir..…………………….. 3 1 3 1 1 1
Tabel 11 menunjukkan bahwa selama penelitian diperoleh beberapa telur yang abnormal, diantaranya adalah telur tanpa kerabang dan telur double yolk. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa ayam yang diberi ransum kontrol menghasilkan telur tanpa kerabang. Hal ini disebabkan saat proses pembentukan kerabang telur mengalami kekurangan kalsium, sehingga telur yang dihasilkan menjadi abnormal (tanpa kerabang). Ayam yang diberi ransum dengan penambahan zeolit juga menghasilkan telur tanpa kerabang. Hal tersebut diduga karena tidak sempurnanya proses
pertukaran kation yang terjadi pada struktur zeolit. Kapasitas tukar kation zeolit umumnya tinggi, akan tetapi dalam kenyataannya kemampuan pertukaran kation tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahwa kation-kation tersebut dapat terperangkap atau tidak dapat dilepaskan dengan mudah pada posisi struktural yang menjadikannya relatif kurang tersedia dan mengurangi kemampuan pertukarannya (Ames, 1960). Proses pertukaran kation yang tidak sempurna tersebut menyebabkan rendahnya penyerapan kalsium oleh usus, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan kalsium dalam proses pembentukan kerabang telur dan menyebabkan telur menjadi abnormal (tanpa kerabang). Abnormalitas lainnya yaitu telur double yolk dimana terdapat dua buah kuning telur dalam satu telur. Telur double yolk ini tidak dipengaruhi oleh pemberian zeolit, namun dipengaruhi oleh faktor genetis karena memang ada ayam-ayam yang banyak menghasilkan telur dengan kuning telur ganda (Amrullah, 2004). Telur double yolk ini terjadi karena pada waktu pelepasan oleh ovarium, secara bersama-sama jatuh dua atau lebih kuning telur ke dalam infundibulum.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan 7,5% zeolit dalam ransum ayam petelur rendah Ca menghasilkan performa ayam petelur yang lebih baik dibandingkan ransum perlakuan kontrol serta ransum dengan penambahan 2,5 dan 5% zeolit. Saran Perlu dilakukan penambahan zeolit yang telah diaktivasi dengan pemanasan dalam ransum rendah kalsium.
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillahirobil`alamin. Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Dwi Margi Suci, MS. sebagai Dosen Pembimbing Utama, dan Ir. Widya Hermana, MSi. sebagai Dosen Pembimbing Anggota yang telah membimbing penelitian atas segala kemudahan, kesabaran untuk memberikan tuntunan, dan pengorbanan waktu serta pikirannya dari mulai penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini. Kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc. sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas segala arahan, dukungan dan nasehatnya. Kepada Ir. Lidy Herawati, MS selaku dosen penguji seminar terimakasih banyak masukan ilmunya. Kepada Dosen penguji sidang Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. dan Prof. Dr. Hj. Iman Rahayu H.S., MS. terimakasih atas saran dan masukan ilmu selama ujian sidang berlangsung. Ucapan terimakasih yang teramat besar kepada mamah, papah, adik Penulis, Gita dan Isman atas doa, dukungan moral ataupun materi, serta kasih sayang selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff dan karyawan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, atas bantuannya kepada Penulis. Kepada saudara Heru terima kasih atas bantuan dan semangatnya. Kepada Nuri, Iis dan Panda terima kasih atas dukungan kepada penulis, dan rekan-rekan sepenelitian, Susi dan adik kelas Penulis, Ira yang senantiasa saling membantu. Kepada rekan-rekan INTP yang saat itu sedang menjalankan penelitian di kandang bersama Penulis (Riko, Suhel, Tefi, Ucup, Lili, Reni, Aan, Hani, Zee dan yang lainnya), terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis maupun Pembaca.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Ames, L. L., JR. 1960. Cation sieve properties of clinoptilolite. Amer. Mineral. 45 : 689-700. Ames, L. L., JR. 1967. Zeolite removal of ammonium ions from agriculture and other waste waters. Proc. Pac. North West Ind. Waste. Conf., 13th. Washington State University, Pullman. Amrullah. I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor. Azhari. 1995. Pengaruh penaburan zeolit dan klorin terhadap pengurangan dampak negatif manur ayam. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Barrer, R. M., and D. A. Langley. 1958. Reaction and stability of chabazites. J. Chem. Soc. p : 3804-3811. Barrer, R. M., and J. Klinowski. 1972. Influence of framework charge density on ion exchange properties of zeolites. J. Chem. Soc. Faraday Trans. 168 : 1956-1963. Barrer, R. M., 1982. Hydrothermal Chemistry of Zeolites. Academic Press Ltd., New York. Bell, D. D and W. D. Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Edition. Springer Science + Business Media,inc, New York. Boles, J. R. 1972. Composition, optical properties, cell dimensions, and thermal stability of some heulandite group zeolites. Amer. Mineral. 57 : 14631493. Chowdhury, S. R and T. K. Smith. 2002. Dietary interaction of 1,4-diaminobutane (putrescine) and calcium on eggshell quality and performance in laying hens. Poultry Science. 81:84-91. Cool, W. M. and J. M. Willard. 1982. Effect of clinoptilolite on swine nutrition. Nutr. Rep. Inc. 26(2): 759. Ermayeni. 1993. Studi substitusi ransum komersial dengan zeolit terhadap penampilan produksi ayam petelur tipe medium fase produksi II. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gottardi, G. 1978. Mineralogy and crystal chemistry of zeolite. In L. B. Sand and F. A. Mumpton (editor). Natural Zeolites: Occurrence, Properties, Use. Pergamon Press Inc., Elmsford, New York. Gottardi, G and A. Alberti. 1988. The tetrahedral framework of natural zeolites: silicon-alumunium distribution: In D. Kallo and H. S. Sherry. Occurrance, Properties and Utilization of Natural Zeolites. Akademiai Kiado, Budapest.
Harjanto, S. 1983. Bahan Galian Zeolit , Penggunaan dan Penyebarannya di Indonesia. Direktorat Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi. Bandung. Handriani, H. 1992. Studi pemakaian zeolit dalam ransum ayam petelur tipe medium fase produksi II terhadap bobot telur dan kualitas telur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hendrix_genetics. 2006. Product http://www.hendrix_genetics.com. [24 Pebruari 2008]
Performances.
Kartawa, W dan K. D. Kusumah. 2006. Potensi zeolit di daerah SangkaropiMendila, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. http://www.grdc.esdm.go.id/index.php?option=com_content&task=view& id=41&Itemid=30. [24 Pebruari 2008] Ma, Y. H., and T. Y. Lee. 1978. Sorption and Diffusion Properties of Natural Zeolites. In L. B. Sand and F. A. Mumpton (editor). Natural Zeolite. Pergamon Press, Elmsford., New York. Meier, W. M., and D. H. Olson. 1971. Zeolite frameworks. Adv. Chem. Series 101:155-170. Meier, W. M. 1978. Constituent sheets in the zeolites framework of the modernit group. p 99-103. In L. B. Sand and F. A. Mumpton (edition). Natural Zeolites. Occurrence, Properties, Use. Pergamon Press. Inc., Elmsford, New York. Mumpton, F. A and P. H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and agriculrure. J. Anim. Sci. 45(5): 1188-1203. National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press, Washington, D. C. North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. Van Nonstand. Rienhold. New York. Panda, R. 2007. Pengaruh taraf penambahan zeolit dalam ransum terhadap performa produksi mencit (Mus musculus) lepas sapih hasil litter size pertama. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Piliang, W. G dan Djojosoebagjo, S. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. IPB Press. Bogor. Semmens, M. J. 1984. Cation exchange properties of natural zeolites. In. W. G. Pond and F. A. Mumpton (Edition) Zeo-Agriculture. Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture. Westview Press, Boulder, Colorado. Sheppard, R. A., and A. J. Gude. 1969. Diagenesis of tuffs in the Barstow Formation, Mud Hills, San Bernardino Country, California. USGS. Prof. U. S. Gov. Print. Office, Washington, D. C. Sibarani, M. M. 1994. Pengaruh substitusi ransum komersial dengan zeolit pada kepadatan kandang yang berbeda terhadap performans broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Siregar, R. I. 2003. Pengaruh perubahan waktu pemberian ransum dengan berbagai level protein terhadap performans produksi ayam ras petelur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Steel, R. G. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrika. Edisi ke-2. Terjemahan: B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suksombat, S. Samitayotin, and P. Lounglawan. 2006. Effects of conjugated linoleic acid supplementation in layer diet on fatty acid compositions of egg yolk and layer performances. Poultry Sci. 85:1603-1609. Vaughan, D. E. W. 1978. Properties of natural zeolites. In L. B. Sand and F. A. Mumpton (edition). Natural Zeolites. Occurrence Properties, Use Peragmon Press, Elmsford, New York. 353-373. Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Yasin, S. 1988. Fungsi dan Peranan Zat - Zat Gizi dalam Ransum Ayam Petelur. Universitas Mataram Press. Mataram. Yenita. 1993. Studi subtitusi ransum komersial dengan zeolit dan penaburan zeolit dalam litter terhadap performans ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Rataan Konsumsi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
84,41 ± 8,48
96,69 ± 8,07
96,89 ± 13,43
109,60 ± 5,56
Lampiran 2. Analisis Ragam Konsumsi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Sumber Keragaman
JK
db
KT
Fhit
F0,05 F0,01
Total
15
2314,79
Perlakuan
3
1269,69
423,23
4,86
4,07
Eror
12
1045,10
87,09
7,59
Lampiran 3. Uji Duncan Konsumsi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Perlakuan R0 a
R1 ab
R2 ab
R3 b
Lampiran 4. Rataan Bobot Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
47,94 ± 9,94
53,93 ± 2,71
52,99 ± 0,63
53,23 ± 1,96
Lampiran 5. Analisis Ragam Bobot Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan F0,0 Sumber Keragaman
JK
Total
15
Perlakuan
3
Eror
12
db
KT
Fhit
5
F0,01
421,8 1 90,63 331,1 8
30,21
1,09
4,07
7,59
27,60
Lampiran 6.
Rataan Konversi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
3,90 ± 1,83
3,12 ± 0,41
3,06 ± 0,55
2,90 ± 0,71
Lampiran 7. Analisis Ragam Konversi Ransum Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan KT
Fhit
F0,05
F0,01
2,38
0,79
0,74
3,49
5,95
12,94
1,08
Sumber Keragaman
JK
db
Total
15
15,32
Perlakuan
3
Eror
12
Lampiran 8. Rataan Produksi telur harian (hen day) Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Ayam
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
57,41 ± 10,37
58,08 ± 3,13
60,27 ± 11,74
78,97 ± 3,83
Lampiran 9. Analisis Ragam Produksi telur harian (hen day) Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Sumber Keragaman
JK
db
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Total
1672,65
13
Perlakuan
985,25
3
328,42
4,78
3,71
6,55
Eror
687,40
10
68,74
Lampiran 10. Uji Duncan Produksi telur harian (hen day) Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Perlakuan R0 a
R1 a
R2 a
R3 b
Lampiran 11. Rataan Ketebalan Kerabang Telur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Ayam
Petelur
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
0,30 ± 0,06
0,35 ± 0,03
0,34 ± 0,02
0,35 ± 0,04
Lampiran 12. Analisis Ragam Ketebalan Kerabang Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Telur Ayam
Sumber Keragaman
JK
db
KT
Total
15
0,025
0,002
Perlakuan
3
0,007
0,002
Eror
12
0,018
0,002
Fhit
F0,05
F0,01
1,45
3,49
5,95
Lampiran 13. Rataan Kandungan Ca Kerabang Telur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Ayam
Petelur
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
40,26 ± 7,62
40,25 ± 1,31
35,62 ± 1,11
36,55 ± 0,98
Lampiran 14. Analisis Ragam Kandungan Ca Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Sumber Keragaman
JK
db
KT
Total
15
257,15
17,14
Perlakuan
3
71,35
23,78
Eror
12
185,80
15,48
Fhit
F0,05 F0,01
1,54
3,49
Lampiran 15. Rataan Kandungan P Kerabang Telur selama Enam Minggu Pemeliharaan
Ayam
5,95
Petelur
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Rata-rata
0,54 ± 0,02
0,64 ± 0,06
0,72 ± 0,07
0,72 ± 0,14
Lampiran 16. Analisis Ragam Kandungan P Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Sumber Keragaman
JK
db
KT
Total
15
0,18
0,01
Perlakuan
3
0,08
0,03
Eror
12
0,09
0,01
Fhit
F0,05
F0,01
3,60
3,49
5,95
Lampiran 17. Uji Duncan Kandungan P Kerabang Telur Ayam Petelur selama Enam Minggu Pemeliharaan Perlakuan R0 a
R1 ab
R2 b
R3 b