SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM KOMERSIAL TERHADAP KOMPOSISI FISIK TELUR AYAM RAS
SKRIPSI SUGENG SUGANDI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i
RINGKASAN SUGENG SUGANDI. D14102020. 2006. Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial Terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras. Skripsi. Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Hj. Niken Ulupi, MS : Ir. Dwi Margi Suci, MS
Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai fungsi ganda. Selain sebagai bahan pangan bagi manusia yang bergizi tinggi, telur merupakan bahan biologi yakni sebagai calon individu baru bagi unggas. Komposisi telur terdiri dari kerabang, putih telur dan kuning telur. Kandungan nutrisi ransum dapat mengubah komposisi telur. Tepung jangkrik mengandung protein yang cukup tinggi termasuk hormon estrogen sehingga berpotensi untuk bahan ransum, khususnya ransum unggas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum mempengaruhi komposisi telur. Hormon estrogen pada unggas membantu metabolisme kalsium dan sintesis lemak serta albumin telur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap komposisi fisik telur ayam ras. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2005. Sebanyak 90 ekor ayam petelur Strain ISA-brown umur 20 minggu dikelompokkan secara acak ke dalam 5 taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik yaitu 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% dari bobot ransum. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri dari enam ekor ayam. Pengambilan data dilakukan setiap seminggu sekali selama sepuluh minggu penelitian. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varians (ANOVA). Hasil analisis yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial tidak berpengaruh terhadap bobot telur dan komposisi fisik telur ayam (persentase kerabang telur, putih telur dan kuning telur) selama penelitian. Suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% tidak banyak mengubah tingkat protein ransum yang dilaporkan berpengaruh terhadap bobot dan komposisi telur. Sementara itu kandungan protein ransum dalam taraf yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ayam petelur pada periode produksi dan relatif tidak berbeda antar taraf perlakuan, sehingga bobot dan komposisi telur relatif sama pada setiap taraf perlakuan. Kandungan kalsium ransum juga tidak banyak berubah pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik yang menyebabkan persentase kerabang juga tidak berbeda pada setiap taraf perlakuan. Kandungan estrogen dalam ransum dengan suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% juga masih terlalu kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap komposisi telur. Kata-kata kunci
: ISA-brown, tepung jangkrik, ransum komersial, bobot telur, komposisi fisik telur, estrogen
ii
ABSTRACT Cicada Meal Supplementation on Commercial Feed to Effect on Eggs Physical Composition of Laying Hen S. Sugandi, N. Ulupi and D. M. Suci Egg compositions consist of egg shell, albumen and yolk. Egg compositions affected by composition of feed. Cicada meal has high protein value and vertebrate hormone such as estrogenic which is can be used as feed supplement. Some literatures report that the increasing of feed protein affects egg composition. The function of estrogenic in bird is calcium metabolism, albumin and fat synthesis. The aim of this study was to investigate the effect of supplementation cicada meal to egg composition. Nineteen ISA-brown strains (20 week of age) were used in this study. Completely randomize design was used in this experiment with 5 treatments (P1); 0% cicada flour, (P2); 0.25% cicada flour, (P3); 0.5% cicada flour, and (P5) 1% cicada flour, with three replicates were used. Variable measured included eggs weight, percentage of egg shell, albumen and yolk. Data were analyzed using ANOVA. Result in this experiment indicates that there was no significant effect the supplementation of cicada meal to eggs weight, percent eggs shell, percent albumen and percent yolk of ISA-brown layer. Keywords
: Laying hen ISA-Brown Strain, Cricket powder, Eggs component, Commercial feed.
iii
SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM KOMERSIAL TERHADAP KOMPOSISI FISIK TELUR AYAM RAS
SUGENG SUGANDI D14102020
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 iv
SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM KOMERSIAL TERHADAP KOMPOSISI FISIK TELUR AYAM RAS
Oleh SUGENG SUGANDI D14102020
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Agustus 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Hj. Niken Ulupi, MS. NIP. 131 284 604
Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 671 592
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur. Sc NIP. 131 624 188 v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1982 di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Mantorejo dan Ibu Wasiyem. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Cabe, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Taman Dewasa Petir. Pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di kota kelahiran sedangkan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU PGRI 1 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah aktif di Forum Aktifitas Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan (FAMM AL-ANAM). Penulis juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada Departemen Sosial Kemasyarakatan. Penulis juga pernah menjadi Asisten Dosen pada Mata Kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Ternak semester genap tahun akademik 2004/2005. Pada waktu yang bersamaan Penulis juga menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Reproduksi Ternak dan Inseminasi Buatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Penulis menyelesaikan skripsinya dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial Terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras.
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial Terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat beriring salam semoga senatiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman. Jangkrik berpotensi untuk dijadikan tepung sebagai bahan ransum bagi unggas, karena mempunyai kandungan protein yang tinggi. Baru-baru ini juga telah dideteksi adanya hormon estrogen pada tepung jangkrik. Peningkatan protein pada ransum unggas dilaporkan dapat meningkatkan bobot telur sebagai akibat penambahan putih dan kuning telur. Sementara hormon estrogen pada unggas diantaranya berfungsi merangsang pematangan sel telur, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati dan membantu metabolisme kalsium. Selama ini potensi tepung jangkrik tersebut belum dioptimalkan dengan pemanfaatan yang baik, karena penggunaannya masih terbatas pada burung dan ikan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi tentang pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap komposisi fisik telur ayam ras. Komposisi fisik yang dimaksud adalah kerabang telur, putih telur dan kuning telur yang merupakan penyusun utama sebutir telur. Masing-masing komposisi dibahas dalam bentuk persentase. Skripsi ini juga membahas tentang bobot telur. Bobot telur yang dimaksud merupakan bobot telur utuh yang diukur dari telur-telur yang diambil sebagai sampel untuk diamati komposisinya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Agustus 2006
Penulis vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
ii
ABSTRACT ................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xi
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan ............................................................................................. Manfaat ...........................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
Ayam Petelur .................................................................................. Organ Reproduksi Ayam Betina dan Pembentukan Telur............... Bobot Telur ..................................................................................... Komposisi Telur Ayam ................................................................... Jangkrik ........................................................................................... Hormon Estrogen ............................................................................
3 4 5 7 15 16
METODE ....................................................................................................
18
Lokasi dan Waktu ........................................................................... Materi .............................................................................................. Rancangan Percobaan ...................................................................... Prosedur Percobaan..........................................................................
18 18 20 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
24
Bobot Telur .................................................................................... Persentase Kerabang Telur .............................................................. Persentase Putih Telur .................................................................... Persentase Kuning Telur .................................................................
24 26 28 29
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
33
Kesimpulan ..................................................................................... Saran ...............................................................................................
33 33
UCAPAN TERIMAKASIH .......................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
35
LAMPIRAN ................................................................................................
37 viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Proporsi Kerabang Telur, Putih Telur dan Kuning Telur dari berbagai Sumber ...............................................................................
7
2. Komposisi Zat Makanan Putih Telur, Kuning Telur dan Telur Utuh ..................................................................................
14
3. Komposisi Zat Makanan Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)..................................................................................
15
4. Komposisi Zat Makanan dalam Ransum Komersial ........................
18
5. Kandungan Protein Ransum Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik..............................................................................................
19
6. Kandungan Zat Makanan Tepung Jangkrik ......................................
20
7. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Peubah yang Diamati Selama Penelitian .............
24
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Telur ..................................................................................
8
2. Struktur Kerabang Telur .................................................................
9
3. Grafik Rataan Bobot Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu .................................................................
26
4. Grafik Rataan Persentase Kerabang Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu ............................
28
5. Grafik Rataan Persentase Putih Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu ...................................................
29
6. Grafik Rataan Persentase Kuning Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu ............................
31
x
PENDAHULUAN Latar Belakang Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai fungsi ganda. Selain sebagai bahan pangan yang kaya zat gizi, telur juga merupakan bahan biologi yakni sebagai calon individu baru bagi unggas. Telur ayam merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi karena mengandung protein dengan asam amino yang lengkap dan berimbang, lemak, vitamin dan mineral. Telur juga mudah dicerna dan hampir seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Telur dibedakan menjadi dua yaitu telur tetas dan telur konsumsi. Telur tetas tetap dapat dikonsumsi namun telur konsumsi tidak dapat ditetaskan. Hal ini terjadi karena telur konsumsi tidak dibuahi oleh sperma ayam jantan sehingga tidak dapat berkembang seperti telur tetas. Telur disusun dari tiga komponen utama yaitu kerabang telur, putih telur dan kuning telur. Peningkatan protein dan lemak dalam ransum dilaporkan dapat meningkatkan bobot telur dengan penambahan putih dan kuning telur. Jangkrik cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Jangkrik memiliki daya reproduksi yang tinggi, mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan beriklim tropis dan mudah dipelihara. Tepung jangkrik memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan bahan ransum untuk ayam. Zat-zat kimia yang serupa hormon pada vertebrata, yakni androgen, estrogen dan insulin; baru-baru ini juga telah dideteksi pada serangga. Sementara itu, hormon estrogen pada unggas berfungsi merangsang perkembangan sifat seks sekunder, merangsang pematangan sel telur, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati serta membantu metabolisme kalsium. Potensi tersebut belum dioptimalkan dengan pemanfaatan yang baik, karena selama ini jangkrik hanya digunakan sebagai pakan ikan dan burung. Informasi tentang penggunaan tepung jangkrik dalam ransum ayam petelur masih jarang dan bahkan belum ada, sehingga untuk mengetahui hal itu diperlukan suatu penelitian.
1
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Proksimat Ransum dan Tepung Jangkrik ................
38
2. Program Vaksin Hejo Farm ............................................................
38
3. Pemberian Antibiotik Hejo Farm ....................................................
39
4. Hasil Analisis Ragam Bobot Telur Selama Penelitian ...................
39
5. Hasil Analisis Ragam Persentase Kerabang Telur Selama Penelitian ........................................................................................
39
6. Hasil Analisis Ragam Persentase Putih Telur Selama Penelitian ........................................................................................
39
7. Hasil Analisis Ragam Persentase Kuning Telur Selama Penelitian ........................................................................................
39
8. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Bobot Telur per Minggu.....................................
40
9. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Persentase Kerabang Telur per Minggu ............
40
10. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Persentase Putih Telur per Minggu ...................
41
11. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Persentase Kuning Telur per Minggu ................
41
12. Rataan Hasil Pengamatan Produksi Telur, Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum dalam Penelitian Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial ...............................................................
42
13. Abnormalitas Telur Selama Penelitian ...........................................
43
xi
Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap komposisi fisik telur ayam ras. Komposisi fisik telur ayam ras meliputi persentase kerabang telur, persentase putih telur dan persentase kuning telur termasuk bobot telur. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan tepung jangkrik dalam ransum komersial ayam petelur dan untuk meningkatkan pemasaran tepung jangkrik serta budidaya jangkrik.
2
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam yang sekarang dipelihara termasuk dalam spesies Gallus domesticus. Tiga tipe ayam yang dikategorikan sebagai tipe ringan yang berasal dari bangsa White Leghorn, tipe medium dari bangsa Rhode Island Reds dan Barred Plymouth Rock serta tipe berat dari bangsa New Hampshire, White Plymouth Rock dan Cornish (Amrullah, 2004). Ayam ras petelur medium mulai bertelur kira-kira pada umur 22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi telur dicapai pada saat ayam berumur sekitar 28–30 minggu. Periode produksi ayam petelur dibagi menjadi dua periode, yaitu fase I dari umur 22–42 minggu dengan rataan produksi telur 78% dan bobot telur 56 gram, fase II umur 42–72 minggu dengan rataan produksi telur 72% dan bobot telur 60 gram (Scott et al., 1982). Ayam ras petelur yang unggul menghasilkan telur 250 butir per tahun dengan bobot telur rata-rata 57,9 gram dan rata-rata produksi telur hen-day 70% (Mc Donald et al., 2002). Menurut Scott et al. (1982), untuk mencapai produksi telur yang maksimum, ayam petelur harus mengkonsumsi 17 gram protein dalam ransum per ekor per hari untuk konsumsi ransum 100 gram per ekor per hari. Kandungan protein 14% di dalam ransum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum. Produksi telur ayam ras petelur dihasilkan pada kisaran suhu 18,3–23,9 oC (North dan Bell, 1990). ISA-brown merupakan bangsa galur murni hasil seleksi lebih dari 36 tahun oleh tim genetik Hubbard ISA yang mempunyai kerabang telur coklat. ISA-brown dapat beradaptasi dalam berbagai kondisi pemeliharaan, seperti dalam cage, floor, atau sistem range. ISA-brown komersial mempunyai daya hidup 98% sampai umur 18 minggu dan 93% sampai masa produksi 76 minggu. Umur mulai berproduksi pada strain ini adalah 18 minggu, mencapai 50% produksi hen day pada umur 20 minggu dan mencapai puncak umur 25 minggu. Puncak produksi mencapai 95% hen day. Rata-rata bobot telur mencapai 62,7 gram sampai umur 76 minggu (Hubbard ISA, 2006). Hasil penelitian Bean dan Leeson (2003) menunjukkan bahwa konsumsi ransum ISA-brown selama 10 periode penelitian dari umur 18 minggu berkisar antara 3
103,3-117,1 g/ekor/hari. Menurut North dan Bell (1990), konsumsi ransum ayam petelur tipe medium berkisar antara 105-116 g/ekor/hari. Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu kandungan energi metabolis, kandungan protein ransum dan temperatur lingkungan. Organ Reproduksi Ayam Betina dan Pembentukan Telur Menurut Campbell et al. (2003), organ reproduksi ayam betina yang normal adalah ovari dan oviduk sebelah kiri. Ovari dan oviduk sebelah kanan pada awal kehidupan ayam ada, tetapi secara lambat menyusut. Turner dan Bagnara (1976) menyatakan bahwa oviduk unggas berukuran cukup besar yang membentang dari ovari sampai kloaka dengan daerah-daerah utama infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Perkembangan telur dimulai dengan pembentukan sel dan kuning telur pada ovari ayam betina. Ayam memiliki jumlah yang besar sekitar 3.000 atau lebih folikel dan mirip setangkai buah anggur (Campbell et al., 2003). Pembentukan kuning telur pada ovari terjadi selama 7-10 hari. Kuning telur kemudian dilepaskan dari ovari dan ditangkap oleh infundibulum. Telur di dalam infundibulum tinggal selama 15 menit (Campbell et al., 2003). Di dalam infundibulum telur memperoleh kalaza, yakni tali seperti per yang merentang melintasi albumen dari kuning telur ke kutub telur (Turner dan Bagnara, 1976). Infundibulum merupakan tempat fertilisasi ovum. Kuning telur kemudian menuju magnum dan tinggal selama tiga jam. Magnum merupakan bagian terpanjang oviduk yang mensekresikan putih telur kental yang merupakan 50% dari total albumen dan sejumlah protein albumen. Daerah berikutnya adalah isthmus. Di dalam isthmus telur tinggal kira-kira 1,25 jam dan memperoleh membran kerabang. Telur ditahan paling lama di dalam uterus (kelenjar kerabang telur) kira-kira selama 20 jam. Di dalam uterus disekresikan putih telur encer sebelah luar, CaCO3 untuk pembentukan kerabang dan pigmentasi kerabang. Setelah kerabang terbentuk, telur memasuki vagina dan tinggal di dalamnya kira-kira 15 menit (Campbell et al., 2003). Di dalam vagina telur mendapatkan selubung tipis mukus yang berguna untuk menutup pori sehingga mencegah evaporasi air yang cepat dan untuk melindungi telur dari infeksi bakteri yang disebut kutikula (Turner dan Bagnara, 1976). Waktu yang diperlukan
4
dari ovulasi sampai oviposisi sekitar 25-26 jam, sedangkan dari oviposisi ke ovulasi dibutuhkan waktu sekitar 30 menit (Campbell et al., 2003). Bobot Telur Bobot telur setiap bangsa ayam berbeda. Ayam Leghorn mempunyai bobot rataan 58,10 gram dan Rhode Island Red 59,30 gram, sedangkan bangsa Plymouth Rock mempunyai rataan bobot telur 63,90 gram (Romanoff dan Romanoff, 1963). Secara normal telur ayam mempunyai bobot antara 40-80 gram (Campbell et al., 2003). Menurut Sirait (1986) bahwa bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar antara 58,0 gram per butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telur biasanya lebih kecil dari 58,0 gram per butir. Bean dan Leeson (2003) melaporkan bahwa bobot telur ISA-brown selama 10 periode penelitian berkisar antara 55,3 gram pada periode pertama sampai 65,9 gram pada periode ke-10 (umur 60 minggu). Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur adalah strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok. Ukuran ovum, intensitas bertelur dan zat makanan dalam ransum juga mempengaruhi ukuran telur (Campbell et al., 2003). Ukuran telur merupakan faktor genetik. Hal ini berhubungan dengan kemampuan ayam untuk menghasilkan telur besar, medium atau kecil (North dan Bell, 1990). Faktor genetik berhubungan dengan kemampuan ayam dalam menghasilkan kuning telur. Kuning telur yang besar, menghasilkan telur yang besar sedangkan kuning telur yang kecil akan menghasilkan telur yang kecil pula (Amrullah, 2004). Albumen relatif rendah dideposisikan pada kuning telur yang kecil (pada pullet), sehingga telur menjadi lebih kecil dibandingkan pada ayam dewasa yang secara normal mempunyai kuning telur yang besar (Campbell et al., 2003). Umur dewasa kelamin juga mempengaruhi bobot telur. Ayam dara (pullet) yang ketika bertelur pertama telurnya besar maka akan besar selama periode produksi telur (North dan Bell, 1990). Ayam yang masak dini melanjutkan bertelur dengan telur yang kecil, seluruhnya pada tahun pertama dan beberapa waktu pada tahun berikutnya. Sementara petelur yang masak lambat bertelur relatif lebih besar saat mulai dan berikutnya (Romanoff dan Romanoff, 1963). Silversides dan Scott (2001) melaporkan bahwa dengan peningkatan umur, ukuran telur akan meningkat yang diakibatkan oleh bobot kuning telur yang meningkat. Bobot albumen juga 5
meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45 minggu, tetapi dalam persentase, kerabang dan albumen menurun dengan umur yang meningkat. Intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi. Selama tahun pertama bertelur, bobot dan produksi telur meningkat secara simultan. Pada tahun ke-2 dan berikutnya bertelur, telur yang besar dicapai pada musim dingin saat produksi telur minimum (Romanoff dan Romanoff, 1963). Telur mempunyai ukuran yang besar pada intensitas bertelur yang rendah (Campbell et al., 2003). Temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun sebagai hasil penurunan konsumsi zat makanan pada sekelompok ayam terutama energi dan protein. Pertumbuhan pullet selama cuaca panas, bobot badan saat mencapai umur 20 minggu 20% lebih rendah dibandingkan pada cuaca dingin, sehingga memproduksi telur dengan bobot yang ringan saat mulai bertelur dan secara umum tidak akan mencapai bobot optimal selama produksi dan melanjutkan bertelur lebih kecil dari normal (North dan Bell, 1990). Ukuran ayam dalam satu kelompok yang besar akan menghasilkan telur dengan rataan yang besar. Ayam dalam satu kelompok cenderung bobotnya selalu saragam, sehingga akan menghasilkan telur yang seragam pula (North dan Bell, 1990). Bobot telur mempunyai korelasi yang tinggi terhadap bobot badan. Bobot badan yang besar akan menghasilkan telur yang besar pula (North dan Bell, 1990; Campbell et al., 2003). Defisiensi zat makanan dalam ransum akan mengurangi bobot telur. Salah satunya defisiensi vitamin D yang mengurangi bobot telur. Vitamin D berhubungan dengan metabolisme kalsium, sehingga penting dalam pembentukan kerabang (Campbell et al., 2003). Peningkatan kandungan protein ransum dari 17-21% atau dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot telur ayam (Nakajima dan Keshaverz, 1995). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa pengaruh penurunan protein ransum dari 21% ke 12% akan mengurangi bobot telur dari 53,8 gram menjadi 52,9 gram. Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa waktu telur dikeluarkan juga berpengaruh terhadap bobot telur. Telur yang dikeluarkan sebelum pukul 9.00
6
pagi lebih besar 2,5% dibandingkan dengan telur yang dikeluarkan lebih dari pukul 2.00 siang. Komposisi Telur Ayam Sebutir telur terdiri atas tiga komponen utama yaitu kuning telur, putih telur (albumen) dan kerabang dengan membran (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Campbell et al. (2003), pada prinsipnya telur terdiri atas lima bagian yaitu kerabang, membran kerabang, albumen, kuning telur dan germinal disc. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), persentase kuning telur, putih telur dan kerabang tidak selalu sama tetapi telur-telur dari suatu spesies yang sama umumnya mempunyai proporsi dan komposisi yang sama. Proporsi kerabang telur, putih telur dan kuning telur dari bebagai sumber disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Proporsi Kerabang Telur, Putih Telur dan Kuning Telur dari berbagai Sumber. Kerabang Telur
Putih Telur
Kuning Telur
Sumber
--------------------------- % -----------------------12,30
55,80
31,90
Romanoff dan Romanoff (1963)
11
58
31
Mountney (1976)
11
58
31
North dan Bell (1990)
9,50
63,40
27,50
Stadelman dan Cotterill (1995)
9-14
52-58
32-35
Etches (1996)
9-12
60
30-33
Robert (2004)
Faktor yang mempengaruhi komposisi telur menurut Romanoff dan Romanoff (1963) meliputi bobot telur, perbedaan bangsa, umur ayam, perubahan musim sepanjang tahun, siklus bertelur dan zat makanan dalam ransum. Bobot telur yang besar umumnya mengandung komponen yang relatif besar dan relatif sedikit kuning telur dan lebih banyak albumen dibandingkan dengan telur yang kecil. Sementara bobot kerabang relatif sama pada berbagai ukuran telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Bangsa ayam yang berbeda juga menyebabkan perbedaan komposisi telur. Ayam Plymouth Rock, misalnya mempunyai persentase kerabang yang kecil dibanding sebagian besar bangsa ayam petelur pada umumnya. Kuning telur pada
7
Rhode Island Reds mempunyai proporsi yang kecil (Romanoff dan Romanoff, 1963). Komponen telur ayam pullet berubah besarnya tergantung kedewasaan ayam. Selama bulan pertama ayam mulai bertelur dengan jumlah relatif kuning telur berangsur-angsur meningkat, sementara kerabang menurun agak cepat dan albumen relatif tetap. Setelah tahun pertama berakhir, proporsi komposisi telur mencapai level tertentu dan konstan (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur telur secara lengkap dapat dilihat seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Telur (Robert, 2004). Selama musim dingin proporsi kuning telur kecil, sementara albumen meningkat. Pada awal musim kawin waktu kuning telur tumbuh besar pada bobotnya, albumen tetap konstan dan kemudian mengalami penurunan proporsi. Untuk semua komponen telur, kerabang menunjukkan penurunan jumlah yang besar pada musim panas. Peningkatan suhu lingkungan dari 19oC ke 39oC menyebabkan penurunan bobot kerabang dari 5,6 gram menjadi 4,2 gram dan persentasenya dari 8,8% menjadi 7,1%. Beberapa faktor ransum mempengaruhi proporsi komposisi telur, seperti proporsi kerabang berkurang ketika kalsium berkurang dalam ransum. Akibat konsumsi ransum yang berkurang pada musim panas menyebabkan bobot kerabang menurun sebagai akibat konsumsi kalsium yang berkurang. Jumlah kerabang juga berkurang oleh terbatasnya vitamin D yang dibutuhkan untuk penyerapan Ca yang baik (Romanoff dan Romanoff, 1963).
8
Kerabang Telur Kerabang tersusun atas beberapa bagian yaitu matriks organik, atau rangka yang terdiri atas tenunan serat protein dan masa berbentuk bola serta substansi didalamnya tersusun dari campuran garam inorganik yaitu kristal kalsium karbionat dengan proporsi 1:50 (Stadelman dan Cotterill, 1995). Matriks organik merupakan ikatan protein dengan kolagen; dengan mineral utama karbonat, fosfat, kalsium dan magnesium. Substansi akhir adalah kalsium karbonat dengan jumlah yang sangat berlimpah (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur kerabang telur secara jelas disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kerabang Telur (Robert, 2004) Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), pada kerabang telur ditemukan dua lapisan utama yaitu lapisan dalam atau lapisan mammillary dan lapisan luar atau lapisan sponge (lapisan polisade). Lapisan mammilary mengandung sebagian kecil porsi kerabang dan tersimpan pada kerabang yang sangat tipis. Lapisan ini menempel pada permukaan luar membran kerabang. Komposisi lapisan mammillary adalah sejumlah kepala kerucut yang kasar atau mammilae, tampak oval atau lingkaran pada penampang melintang kerabang. Ketebalan lapisan mammillary pada telur ayam hanya 0,11 mm. Lapisan sponge mengandung sebagian besar dari kerabang, sangat padat, tetapi seluruhnya dilewati sejumlah lubang mikroskopis dengan lebar jarak yang tidak teratur. Lapisan ini terdeposisi lapisan mammillary yang mudah pecah, yang memberi bentuk telur dan memberikan kekakuan dan kekuatan pada kerabang. Permukaan kerabang dibungkus oleh kutikula, lapisan buih protein (Stadelman dan Cotterill, 1995). Lapisan tipis yang disebut kutikula menutup bagian 9
luar telur yang masih baru. Kutikula kemudian mengering dan cenderung menutup pori-pori kerabang dan berfungsi mengurangi kehilangan air, gas dan bakteri masuk (Campbell et al., 2003). Ketebalan kutikula pada telur ayam sekitar 0,005-0,010 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), komposisi kutikula terdiri atas 90% protein, glisin yang tinggi, asam glutamat, lisin, sistin dan tirosin. Heksamin, galaktosa, manosa, fruktosa, glukosa dan asam sialat yang merupakan unsur pokok polisakarida. Membran kerabang terdiri atas dua lapisan. Lapisan dalam disebut membrana putaminis, yang mengelilingi albumen dan bersentuhan dengan cairan putih telur encer sebelah luar pada semua bagian, namun pada poros telur beberapa serat musin putih telur kental menempel pada membran dalam bentuk ligamenta albuminis. Membran kerabang sebelah luar disebut membrana testae, yang terletak diantara membran dalam dan kerabang. Membran pada telur ayam 0,36 gram setara dengan 6% pada telur dengan bobot 58 gram. Ketebalan membran untuk ayam Leghorn adalah 0,065 mm. Ketebalan membran berkurang dengan ukuran telur yang berkurang (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerabang telur sebagian besar terdiri atas kalsium yakni kurang lebih 98,2% karbonat, sejumlah kecil fosfat dan magnesium 0,9% dan fosfor (asam fosfat) 0,9% (Stadelman dan Cotterill, 1995). Bobot kerabang adalah 9%-11% dari bobot telur. Komposisi penyusun kerabang telur adalah 94% kalsium karbonat, 1% kalsium fosfat, 1% magnesium karbonat dan 4% bahan organik lain (Panda, 1995). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), ditemukan hubungan korelasi positif antara tebal kerabang dengan persentase bobot kerabang. Peningkatan tebal kerabang akan meningkatkan persentase bobot kerabang dan sebaliknya dengan koefisien korelasi sebesar 0,78. Tebal kerabang telur ayam Cochin China dan Bantam masingmasing 0,36 dan 0,26 mm. Hasil penelitian melaporkan dari 95 ekor ayam White Leghorn diperoleh tiga ekor menghasilkan telur dengan tebal kerabang 0,26 mm, dua ekor 0,38 mm dan 31 ekor 0,32 mm. Rataan tebal kerabang yang didapatkan sebesar 0,31 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Bean dan Leeson (2003) melaporkan bahwa bobot kerabang berkisar antara 6,7-7,0 gram. Ketebalan kerabang antara 0,353-0,368 mm.
10
Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan masing-masing bangsa ayam adalah berbeda-beda. Ketebalan kerabang telur setiap individu ayam merupakan manifestasi metabolisme kalsium. Ayam betina relatif efisien dalam membentuk dan mensekresikan kalsium dan mineral lain yang diperlukan pada pembentukan kerabang berada di bawah kontrol hereditas (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerabang telur pada musim dingin besar dengan ketebalan yang sangat seragam dan tipis selama musim panas. Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi ransum, pada suhu 32,5 oC konsumsi ransum lebih rendah 27% dibanding dengan pada suhu 20 oC. Kemungkinan juga karena kemampuan aliran darah membawa Ca pada suhu yang tinggi berkurang (Romanoff dan Romanoff, 1963). Ketebalan kerabang juga dipengaruhi oleh zat makanan pada ransum, khususnya Ca, P, vitamin D dan Mg. Vitamin D berfungsi penting untuk metabolisme Ca dan P (Romanoff dan Romanoff, 1963; Etches, 1996; North dan Bell, 1990). Putih Telur Kuning telur ditutupi dan dikelilingi oleh penutup eksternal telur yang merupakan materi yang jernih kekuningan dengan jumlah 60% dari total bobot telur yang disebut albumen (albus yang artinya putih) atau putih telur. Disebut putih telur karena tampilan setelah terjadi koagulasi. Warna kekuningan disebabkan oleh pigmen ovoflavin. Jumlah albumen, 40% merupakan cairan kental yang terdiri atas gelatinous dan bahan semi padat (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Campbell et al. (2003), albumen bersifat elastis, penahan goncangan, penyekat dan mempunyai kandungan air yang tinggi. Kandungan air putih telur sebesar 88% (Montney, 1976). Albumen terdiri dari empat lapisan yaitu putih telur encer sebelah luar (outer thin white), putih telur kental (thick white), putih telur encer sebelah dalam (inner thin white) dan putih telur kental di sekeliling kuning telur atau lapisan chalaziferous (Campbell et al., 2003). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) persentase albumen telur ayam sebesar 55,80% dari bobot telur. Putih telur encer sebelah luar mengelilingi putih telur kental kecuali pada bagian ligamen yang terletak pada lapisan luar albumen. Proporsi lapisan ini adalah
11
23,20% dari total albumen. Cairan kentalnya mengandung serat musin seperti pada lapisan putih telur encer sebelah dalam (Romanoff dan Romanoff, 1963). Putih telur kental sering disebut albuminous sac, yang mengelilingi lapisan putih telur encer sebelah dalam. Lapisan ini mempunyai proporsi 57,30% dari total albumen. Banyak serat musin semi padat ditemukan pada lapisan ini yang berfungsi sebagai bantalan untuk melindungi kuning telur dan cukup sebagai tambatan khalaza yang menempel padanya. Lapisan putih telur kental sampai ke membran kerabang sebelah dalam ditemukan ligamentum albuminis, yang pertama kali digambarkan oleh Trendern pada tahun 1808. Dua ligamentum terbentuk oleh sejumlah musin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kuning telur dan lapisan chalaziferous yang tetap berada di tengah telur oleh khalaza; mengapung pada cairan, pada putih telur kental. Cairan ini disebut putih telur encer sebelah dalam. Lapisan ini mempunyai proporsi 16,80% dari total albumen (Romanoff dan Romanoff, 1963). Khalaza mempunyai struktur seperti tali spiral yang keruh dari kuning telur sampai albumen, terletak di sekitar poros telur. Khalaza ada dua macam yaitu cloakal, yang letaknya ke arah ujung telur yang lancip yang tersusun dari dua untaian besar yang saling membelit searah jarum jam. Khalaza infundibular, terletak di bagian tumpul telur yang terdiri atas satu untaian serat yang membelit searah jarum jam. Rataan ukuran khalaza cloakal 2,54 cm dan 10,20 cm khalaza infundibular. Fungsi utama kalaza adalah mempertahankan stabilitas posisi kuning telur agar tetap berada di tengah atau pusat geometrik telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Serat khalaza diteruskan oleh pilinan tipis di sekeliling permukaan kuning telur yang terdiri atas bahan kapsul fibrosa. Kapsul fibrosa dan pembungkus putih telur kental disebut lapisan khalaziferous atau membrana chalazifera yang mempunyai proporsi 2,7% dari total albumen (Romanoff dan Romanoff, 1963). Persentase bobot putih telur menurut Panda (1995) adalah 58-60%. Hal ini tidak berbeda dengan yang dinyatakan oleh Stadelman dan Cotterill (1995), bahwa putih telur mencapai kisaran antara 63,40%. Albumen terdiri atas 87-89% air dan 1113% bahan kering. Menurut Mountney (1976), albumen mengandung 88% air atau 12% bahan kering. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa protein merupakan kandungan utama dari bobot kering albumen. Kandungan protein albumen
12
meningkat 0,09% pada setiap gram peningkatan bobot telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Albumen telur mengandung 12% protein yang terdiri atas ovalbumin 54%, ovotransferrin 13%, ovomucoid 11%, α dan β ovomusin 1,5-3,0% dan lysozim 3,5% (Roberts, 2004). Karbohidrat dalam albumen berbentuk bebas dan berkombinasi dengan protein. Karbohidrat bebas biasanya dalam bentuk glukosa yang terdiri atas 0,4% protein dan 0,5% dalam bentuk glikoprotein yang mengandung manosa dan galaktosa (Stadelman dan Cotterill, 1995). Proporsi putih telur encer sebelah luar secara umum berkisar antara 10-60%, putih telur kental antara 30-80% dan putih telur encer sebelah dalam 1-40%. Setiap strain ayam mempunyai proporsi yang berbeda. Setiap individu ayam juga mempunyai proporsi yang berbeda (Romanoff dan Romanoff, 1963). Temperatur lingkungan juga berpengaruh terhadap jumlah albumen. Temperatur yang panas menyebabkan jumlah albumen berkurang dengan segera setelah telur dikeluarkan (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kuning Telur Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), kuning telur merupakan bagian yang sangat penting pada telur. Kuning telur merupakan tempat blastoderm, yakni tempat embrio akan tumbuh dan juga mengandung masa nutrisi sebagai makanan perkembangan embrio. Kuning telur mempunyai inti yang seperti bola dengan diameter enam mm yang disebut lutebra. Lutebra terdiri dari 0,6% dari total seluruh kuning telur. Kuning telur terdiri atas enam lapisan, yaitu lapisan berwarna putih dan lapisan berwarna kuning. Lapisan kuning, kuning telur dalam bentuk speroid menutupi lutebra. Setelah lapisan kuning adalah lapisan putih yang sangat tipis. Seluruh masa ke arah luar lutebra selanjutnya disusun demikian secara bergantian antara lapisan putih dan lapisan kuning. Lapisan dalam kuning telur ditembus dan dilewati oleh lajur lutebra dan di lapisan luar terdapat inti pander dan blastodisc. Lapisan putih, kuning telur sangat tipis dengan ketebalan 0,25-0,4 mm namun ketebalannya tidak sama untuk setiap lapisan. Lapisan putih kuning telur hanya lutebra, lajur lutebra dan inti pander yang terdiri atas 3-4% dari komposisi bahan kuning telur. Stratifikasi kuning telur tidak terlihat pada kuning telur ketika kandungan pigmen dan lemak tidak cukup dalam ransum untuk kebutuhan ayam setiap hari. Secara mikroskopis pada lapisan 13
kuning pada kuning telur terdapat globula dengan diameter 0,025-0,15 mm. Lapisan putih pada kuning telur, mengandung sperula kecil dengan diameter antara 0,0040,075 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kuning telur yang baru dikeluarkan; dibungkus oleh kantong yang lentur dan tipis yang disebut membrana vitellina atau membran kuning telur. Ketebalan membran ini adalah 0,024 mm. Membran vitelin terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan luar (outer), tengah (midle) dan dalam (inner). Lapisan tengah mengandung keratin, sedangkan yang lainnya berupa musin. Laporan lain menyebutkan bahwa dengan teknik yang berbeda, membran vitelin terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan tipis kolagen dengan lapisan musin yang tebal dengan total ketebalan 0,048 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), membran vitelin disusun atas dua lapisan utama yaitu lapisan dalam yang dibentuk di ovari dan lapisan luar yang dideposisikan pada oviduk. Komposisi zat makanan dalam putih telur, kuning telur dan telur utuh dicantumkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Putih Telur, Kuning Telur dan Telur Utuh Komponen Telur
Protein Lemak Karbohidrat Abu ----------------------------- % -----------------------------
Putih Telur
9,7-10,6
0,03
0,4-0,6
0,5-0,6
Kuning Telur
15,7-16,6
31,8-35,5
0,2-1,0
1,1
Telur Utuh
12,8-13,4
10,5-11,8
0,3-1,0
0,8-1,0
Sumber : Stadelman dan Cotterill (1995)
Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), kuning telur mempunyai rataan persentase 27,50% dari bobot telur utuh. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), persentase kuning telur tidak selalu sama tetapi untuk spesies yang sama umumnya sama. Hal ini disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor seperti bobot telur, perbedaan bangsa, umur ayam dan perbedaan cuaca. Menurut North dan Bell (1990), kuning telur disusun atas protein dan lemak (lipid). Komposisi lemak dalam kuning telur terdiri atas 65% trigliserida, 18,30% phospholipid dan 5,20% kolesterol (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), komponen terbesar kuning telur adalah lemak. Komposisi lemak kuning telur meliputi 65,5% trigliserida, 28,3% phospholipid dan 5,2% kolesterol.
14
Pada umumnya konsumen lebih menyukai telur dengan warna kuning berkisar antara kuning emas sampai jingga tua. Dinyatakan pula bahwa kandungan karotenoid kuning telur tergantung pada karotenoid ransum yang dikonsumsi ayam (Anggorodi, 1995). Jangkrik Taksonomi jangkrik dimasukan ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, subfilum Mandibulata, kelas Insecta, subkelas Pterygota, ordo Orthoptera, subordo Saltatoria, famili Gryllidae, subfamili Gryllinae, genus Gryllus. Beberapa spesies jangkrik diantaranya adalah Gryllus mitratus (jangkrik kliring), G. testeceus (jangkrik cendawang) dan G. bimakulatus (jangkrik kalung) (Borror et al.,1992) Menurut Bodenheimer (1951), jangkrik termasuk salah satu jenis serangga yang biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di beberapa negara seperti India, Filipina, Thailand dan Indonesia. Jangkrik mempunyai potensi untuk menjadi salah satu pakan ikan, binatang kesayangan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Potensi tersebut karena daya reproduksi yang tinggi dan mudah dipemelihara dan mengandung kadar protein yang tinggi (Linsemaier, 1972). Kandungan zat makanan tepung jangkrik spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket) Anabrus simplex (Mormon Cricket) Zat Makanan
Jangkrik Dewasa Jantan
Betina
Instar VII (Jantan dan Betina)
Acheta domesticus L. (House Cricket)
--------------------------------- % ---------------------------------Air
6,2
6,3
6,0
5,2
Protein Kasar
60,3
56,0
57,7
62,0
Lemak
12,0
19,9
12,4
7,5
Serat Kasar
6,9
5,4
9,0
4,6
Abu
9,8
8,2
7,6
7,0
Sumber : De foliart (1982)
15
Jangkrik dapat diolah menjadi tepung seperti halnya udang, namun harga tepung jangkrik relatif lebih murah jika dibandingkan dengan tepung udang. Hal ini menyebabkan permintaan tepung jangkrik meningkat sehingga pabrik pakan tertarik untuk menggunakan bahan baku jangkrik untuk produksinya (Sukarno, 1999). Menurut De Foliart et al. (1982), bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum ayam broiler sebagai pengganti bungkil kedelai dengan penambahan asam-asam amino memberikan hasil yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan ayam broiler dibandingkan dengan penggunaan ransum dengan tanpa suplemen asam amino. Beberapa organ pada seekor serangga dikenal menghasilkan hormon dengan fungsi utama mengontrol proses reproduksi, pergantian kulit dan metamorfosis. Zat kimia yang serupa hormon-hormon vertebrata seperti androgen, estrogen dan insulin barubaru ini telah dideteksi pada serangga (Borror et al., 1992). Hormon Estrogen Estrogen adalah hormon tipe steroid yang dihasilkan oleh ovari (Ensminger, 1992). Seluruh estrogen mengandung atom 18 karbon. Estrogen yang biasa dikenal adalah estradiol, estron dan estriol. Estrogen ditemukan pada berbagai jaringan hewan seperti testis, adrenal dan plasenta serta dalam jumlah kecil ditemukan juga dalam spermatozoa. Estrogen dapat merangsang pertumbuhan dan deferensiasi saluran reproduksi betina serta struktur-struktur yang terkait yang menimbulkan berbagai macam pengaruh sistemik (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut McDonald dan Pineda (1985) estrogen merangsang perkembangan dan perubahan siklus saluran genital tubular pada hewan betina, perkembangan kelenjar mammae dan uterus, karakteristik seks sekunder dan meningkatkan metabolisme kalsium dan lemak pada burung atau unggas. Penyuntikan estrogen pada dosis rendah dapat merangsang ovulasi pada sapi, domba, kelinci dan tikus. Hormon estrogen pada unggas berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel dan penting untuk sintesis albumin telur (Ensminger, 1992). Estrogen berfungsi menginduksi deferensiasi sel yang mensintesis protein putih telur, seperti ovalbumin dan lisozim. Tulang meduler burung-burung yang bertelur mengalami rentetan deposisi dan destruksi yang berkorelasi dengan penyimpanan dan pengeluaran kalsium, tetapi tidak diketahui 16
bagaimana estrogen bereaksi menggiatkan deposisi kalsium pada tulang dan pengambilannya dari tulang, namun ini merupakan bukti bahwa estrogen berfungsi dalam membantu metabolisme kalsium (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut Etches (1996) hormon estrogen membantu membentuk 1,25 dihidroxicholecalsiferol (1,25 (OH)2D3) yang berfungsi untuk merangsang pelepasan Ca2+ dari tulang dan meningkatkan absorbsi Ca2+ dari usus. Menurut North dan Bell (1990), level estrogen yang tinggi pada plasma darah merangsang perkembangan tulang meduler, menstimulasi protein kuning telur dan formulasi lipid oleh hati, penambahan ukuran oviduk, memungkinkan untuk produksi protein albumin, kerabang, kalsium karbonat untuk kerabang dan cuticle. Metode pemberian estrogen dilakukan melalui penyuntikan, implantasi kapsul, secara oral dalam bentuk kapsul atau dicampur dengan pakan (Lien dan Cain, 1987). Dianisylhexene (estrogen sintesis) yang dicampur pakan menyebabkan produksi telur berhenti pada Single Comb White Leghorn dara dan Rhode Island Red dari 0,25-1 g/kg ransum (Turner, 1948). Hasil penelitian Lien dan Cain (1987) menyatakan bahwa dosis estriol sampai taraf 10 µg/ekor/hari tidak berpengaruh terhadap produksi telur pada puyuh Bobwhite. Sementara pada dosis 100 µg/ekor/hari menyebabkan produksi telur menurun. Adams et al. (1950) melaporkan pakan dengan konsentrasi 0,04 dan 0,02% estrogen sintetis menurunkan produksi telur pada Single Comb White Leghorn dara.
17
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan sejak tanggal 12 Agustus 2005 sampai dengan 24 Oktober 2005. Materi Ternak Penelitian menggunakan 90 ekor ayam betina ras petelur coklat komersial tipe medium strain ISA-brown umur 20 minggu yang telah memasuki periode bertelur. Ayam pullet yang digunakan diperoleh dari Hejo Farm Cicurug, Sukabumi. Bobot badan awal berkisar antara 1.400-2.150 gram dengan rataan 1.790±143,2 gram, sedangkan rataan produksi awal 26,94 % hen day. Ransum Ransum yang digunakan adalah ransum komersial standar untuk ayam petelur bentuk mash (105M) yang diproduksi oleh PT. Gold Coin Indonesia, Bekasi. Komposisi ransum yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Zat Makanan Dalam Ransum Komersial Zat Makanan Kadar Air (%)
Hasil Analisis (1)
(2)
13
12,47
16-18
16,72
Serat kasar (%)
6
4,84
Lemak (%)
3
3,53
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (Beta-N)
-
52,61
14
9,73
Phosphor (%)
0,6-1,0
0,46
Kalsium (%)
3,0-4,2
4,04
-
4.054
Protein kasar (%)
Abu (%)
Energi Bruto (kal/gram)
Sumber : (1) PT. Gold Coin (2005) (2) Hasil Uji Lab. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2005)
18
Hasil perhitungan kandungan protein ransum dengan suplementasi tepung jangkrik disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Protein Ransum Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik. Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik (%)
Kandungan Protein Ransum (%)
0
16,72
0,25
16,82
0,50
16,91
0,75
17,01
1
17,12
Kandang Kandang yang digunakan berupa kandang baterai (cage). Ukuran cage 40x45 cm (1800 cm2) kapasitas dua ekor pullet. Cage disusun bertingkat (double deck) dalam ruangan kandang. Jumlah cage seluruhnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah 45 buah, yang terdiri dari 15 ulangan perlakuan dan setiap ulangan terdiri atas tiga cage dengan kapasitas enam ekor ayam. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah tempat ransum dan tempat air minum, timbangan ransum, timbangan telur, kertas tisu dan ember. Tempat ransum dan tempat air minum yang digunakan dalam penelitian adalah tempat ransum dan tempat minum memanjang (bentuk trough) yang terbuat dari bahan bambu. Selain harganya relatif murah juga efektif untuk mencegah ransum tercecer dan kekurangan air minum. Timbangan yang digunakan untuk menimbang ransum adalah timbangan dengan merek Berkell dengan kapasitas dua kg. Timbangan yang digunakan untuk menimbang telur adalah Dial-0-Gram dengan merek O-Haus. Alat ini mempunyai kapasitas 100 g dengan skala terkecil 0,01 g. Alat tulis, gunting dan label yang digunakan untuk identifikasi level perlakuan. Label ditempelkan pada kandang (cage) sesuai dengan perlakuan. Pemberian label juga dilakukan untuk mengidentifikasi telur sesuai dengan perlakuan
19
dan ulangan. Koleksi telur dilakukan dengan menggunakan alat berupa ember plastik atau keranjang telur. Tepung Jangkrik Tepung jangkrik yang ditambahkan sebagai perlakuan penelitian adalah berupa serbuk halus berwarna coklat kehitaman yang diproduksi oleh Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK) Indonesia, Yogyakarta. Kandungan zat makanan tepung jangkrik disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan Zat Makanan Tepung Jangkrik. Zat Makanan
Hasil Analisis (%)
Bahan Kering
86,00%
Protein Kasar
55,96%
Lemak Kasar
12,45%
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (Beta-N)
5,26%
Serat Kasar
7,94%
Abu
4,39%
Sumber : Hasil Uji Lab. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2005)
Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas 35 hari (Prayitno, 2000). Rancangan Percobaan Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial. Suplementasi tepung jangkrik dalam ransum dibagi ke dalam lima taraf perlakuan yaitu 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% tepung jangkrik dari jumlah bobot ransum komersial yang diberikan pada ayam. Setiap perlakuan di ulang sebanyak tiga kali dan setiap ulangan terdiri dari enam ekor ayam.
\ 20
Model Model yang digunakan dalam rancangan ini menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:
Yij = μ + τi + εij Keterangan: Yij
: nilai pengamatan yang akan dianalisis
μ
: nilai rataan umum
τi
: pengaruh perlakuan penggunaan tepung jangkrik ke-i
εij
: galat perlakuan
i
: banyaknya taraf perlakuan tepung jangkrik = 1, 2, 3, 4, 5
j
: banyaknya ulangan = 1, 2, 3
Peubah 1. Bobot telur Perhitungan bobot telur per periode atau dalam jangka waktu tertentu (satu minggu) didasarkan pada penimbangan bobot telur pada setiap kelompok perlakuan yang dilakukan seminggu sekali, satuannya dalam gram per butir. 2. Persentase kerabang telur Persentase bobot kerabang telur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase kerabang telur =
Bobot kerabang telur (g) Bobot telur utuh (g)
X 100%
Bobot kerabang diukur dengan cara menimbang kerabang telur yang sebelumnya telah dibersihkan lapisan membran telurnya menggunakan alkohol 70%. Timbangan yang digunakan adalah Dial-0-Gram dengan merek O-Haus dengan ketelitian 0,1 gram. 3. Persentase putih telur Langkah awal untuk menghitung persentase bobot putih telur adalah mengukur bobot putih telur. Bobot putih telur merupakan hasil pengurangan bobot telur dengan bobot kuning telur, kerabang dan membran kerabang.
21
Persentase bobot putih telur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase putih telur =
Bobot putih telur (g) Bobot telur utuh (g)
X 100%
4. Persentase kuning telur Langkah awal untuk mengetahui persentase bobot kuning telur adalah dengan menghitung bobot kuning telur dan bobot telur. Persentase bobot kuning telur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase kuning telur =
Bobot kuning telur (g) Bobot telur utuh (g)
X 100%
Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap peubah yang diamati. Hasil analisis yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Prosedur Percobaan Sembilan puluh ekor ayam pullet dibagi ke dalam 15 grup untuk diberikan 5 taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik. Taraf tersebut masing-masing 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% tepung jangkrik dari total ransum yang diberikan pada ayam. Berdasarkan data hasil analisis prosimat maka ransum dengan 0% tepung jangkrik mengandung protein kasar 16,72%. Ransum diberikan dua kali sehari pagi dan sore dan air minum diberikan adlibitum. Ayam dari kelima taraf perlakuan mendapat pencahayaan selama 12 jam per hari (12 jam terang dan 12 jam gelap) yaitu antara pukul 06.00-18.00 WIB (12 jam) dengan cahaya matahari. Kontrol penyakit dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang, peralatan dan lingkungan disekitar kandang. Usaha yang dilakukan antara lain disinfeksi dengan desinfektan pada persiapan kandang, penggantian sekam, pembersihan tempat minum secara insidental dan pembersihan tempat ransum seminggu sekali. Penimbangan bobot badan ayam dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Pengumpulan telur dilakukan setiap hari pada pukul 16.00 WIB. Penimbangan sisa ransum dilakukan seminggu sekali untuk mengetahui konsumsi ransum.
22
Pengamatan komposisi telur dilakukan seminggu sekali. Telur yang diamati, diambil secara acak pada setiap ulangan sebanyak tiga butir dari enam ekor ayam. Telur-telur tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk diukur bobot dan komposisinya.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan dari hasil analisis ragam terhadap bobot telur, persentase kerabang telur, persentase putih telur dan persentase kuning telur selama penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Peubah yang Diamati Selama Penelitian Peubah
Suplementasi Tepung Jangkrik (%) 0
0,25
0,50
0,75
1
Bobot Telur (g)
57,36±1,54
57,25±3,23
55,48±2,67
54,68±0,60
55,97±0,42
PKT (%)
10,47±0,09
10,35±0,22
10,41± 0,38
10,56±0,18
10,63±0,34
PKuT (%)
22,33±0,28
21,84±0,40
22,04±0,84
22,88±0,35
22,35±0,59
PPT (%)
67,50±0,93
67,58±0,60
66,81±1,06
66,27±0,44
66,84±0,55
Keterangan: PKT = Persentase kerabang telur PKuT = Persentase kuning telur PPT = Persentase putih telur
Bobot Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini karena penambahan tepung jangkrik sampai pada taraf 1% dalam ransum tidak banyak mengubah tingkat protein maupun zat makanan lain dalam ransum perlakuan yang berpotensi mempengaruhi bobot telur. Berdasarkan hasil perhitungan kandungan protein ransum dengan taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum sebesar 0-1% menyebabkan kenaikan protein ransum dari 16,72% menjadi 17,12%. Hal ini didukung Zou dan Wu (2005), bahwa peningkatan protein ransum dari 15% sampai 17% dan suplementasi lemak tidak berpengaruh terhadap bobot telur ayam Hy-Line W-36. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian lain yang melaporkan bahwa peningkatan protein dan lemak dalam ransum dapat meningkatkan bobot telur. Hal ini dapat diterima karena pada penelitian lain, kisaran kandungan protein lebih besar sehingga berpengaruh terhadap bobot telur. Menurut Nakajima dan Keshavarz (1995) bahwa peningkatan kandungan protein ransum dari 17% sampai 21% atau dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot telur ayam. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum dari 16-26% cenderung meningkatkan bobot telur Puyuh Jepang (Coturnix 24
coturnic japonica) dan mencapai bobot optimal pada tingkat protein 22-24% (Ri et al.,2005). Rataan konsumsi ransum untuk setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dengan taraf 0-1% pada penelitian ini berkisar antara 103,39±5,98-109,15±1,05 gram/ekor/hari yang tidak bebeda antar taraf perlakuan (Saefulah, belum dipublikasikan). Hal ini menunjukkan bahwa zat makanan dalam ransum yang dimanfaatkan oleh ayam pada masing-masing taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum relatif sama. Menurut North dan Bell (1990), bahwa temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun sebagai akibat konsumsi zat makanan terutama energi dan protein yang menurun. Lingkungan pemeliharaan yang sama pada penelitian ini dipastikan mempunyai temperatur yang sama, sehingga menyebabkan konsumsi ransum yang sama. Hasil penelitian Zou dan Wu (2005) melaporkan bahwa perbedaan kandungan protein ransum antara 15-17% dan suplementasi lemak dengan konsumsi yang tidak berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bobot telur ayam strain Hy-line W-36. Suplementasi tepung jangkrik dalam ransum juga tidak berpengaruh terhadap produksi telur hen day ayam ras petelur pada penelitian ini. Rataan produksi telur hen day ayam dengan taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum dari 0-1% berkisar antara 77,88-87,26% (Saefulah, belum dipublikasikan). Hal ini juga diduga juga menyebabkan bobot telur yang tidak berbeda. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi. Bobot telur merupakan akumulasi dari bobot kerabang, putih telur dan kuning telur (Stadelman dan Cotteril, 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap persentase kerabang telur, putih telur dan kuning telur telur selama penelitian, sehingga dengan demikian tidak berpengaruh terhadap bobot telur. Umur yang semakin meningkat, ukuran telur meningkat sebagai akibat bobot kuning telur yang meningkat. Bobot albumen juga meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45 minggu (Silversides dan Scott, 2001).
25
Rataan bobot telur pada penelitian ini berkisar antara 54,68-57,36 gram. Rataan tersebut hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Bean dan Leeson (2003) bahwa bobot telur ISA-brown selama 10 periode penelitian berkisar antara 55,30 gram pada periode pertama (umur 18 minggu) sampai 65,9 gram pada periode ke-10 (umur 60 minggu). 65.00
Bobot Telur (gram)
60.00
55.00
50.00
45.00
40.00 1
2
0%
3
4
5 6 Minggu
0,25%
0,50%
7
8
0,75%
9
10
1%
Gambar 3. Grafik Rataan Bobot Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu Rataan bobot telur dari minggu ke minggu pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini jelas terlihat pada Gambar 3, yang ditunjukkan dengan pola grafik bobot telur yang cenderung meningkat dari minggu ke minggu pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum. Menurut North dan Bell (1990) telur pada awal periode produksi relatif lebih kecil. Silversides dan Scott (2001), melaporkan bahwa dengan umur yang semakin meningkat, ukuran telur meningkat sebagai akibat bobot kuning telur yang meningkat. Bobot albumen juga meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45 minggu. Persentase Kerabang Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap persentase kerabang telur selama 10 26
minggu penelitian. Hal ini diduga dengan penambahan tepung jangkrik dalam ransum tidak banyak mempengaruhi kandungan kalsium ransum. Ransum komersial mengandung kalsium 4,4%. Susunan utama dari kerabang telur adalah kalsium karbonat sebesar 94% (Panda, 1995), sehingga kalsium yang berperan penting dalam pembentukan kerabang. Pembentukan kerabang telur merupakan mekanisme yang kompleks. Peran hormon estrogen juga sangat penting. Menurut Etches (1996) bahwa hormon estrogen membantu membentuk 1,25 dihidroxicholecalsiferol (1,25 (OH)2D3) yang berfungsi untuk merangsang pelepasan Ca2+ dari tulang dan meningkatkan absorbsi Ca2+ dari usus. Tidak adanya pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap persentase kerabang telur diduga karena kadar estrogen dalam ransum perlakuan yang kecil dan tidak banyak berbeda antar taraf suplementasi dalam ransum. Kandungan estrogen untuk setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% berturut-turut setara dengan 0; 648,837x10-6; 129,767x10-5; 194,651x10-5 dan 259,535x10-5 g/kg ransum. Taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Konsumsi ransum yang juga tidak berbeda dimungkinkan menyebabkan jumlah konsumsi estrogen pada ayam juga tidak berbeda. Dianisylhexilene (estrogen sintesis) yang dicampur ransum menyebabkan produksi telur berhenti pada Single Comb White Leghorn dara dan Rhode Island Red dari 0,25-1 g/kg pakan (Turner, 1948). Rataan persentase kerabang telur selama penelitian berkisar antara 10,35±0,22-10,63±0,34%. Rataan ini hampir sama dengan hasil penelitian Mube et al. (2003) melaporkan bahwa persentase bobot kerabang telur untuk strain ISAbrown adalah 9,40-10,30%. Grafik pada Gambar 4 menunjukkan pola yang relatif konstan dari minggu ke minggu pada setiap taraf perlakuan, sedangkan bobot telur mempunyai kecendrungan meningkat yang ditunjukkan pada Gambar 3. Hal ini sesuai dengan North dan Bell (1990), bahwa jumlah kerabang relatif sama pada berbagai ukuran telur. Oleh sebab itu, bobot telur yang sama pada penelitian ini mengakibatkan persentase kerabang yang sama pula.
27
Persentase Kerabang (%)
12.00 11.50 11.00 10.50 10.00 9.50 9.00 8.50 8.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minggu 0%
0,25%
0,50%
0,75%
1%
Gambar 4. Grafik Rataan Persentase Kerabang Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu Persentase Putih Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik tidak berpengaruh tehadap persentase putih telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini diduga karena protein ransum yang tidak banyak meningkat dengan peningkatan suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1%. Kandungan protein ransum yang relatif sama ditambah dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda pula, sehingga protein yang dimanfaatkan oleh ayam untuk membentuk putih telur pun diduga sama. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa putih telur 9,7-10,6% disusun oleh protein dan 0,03% lemak. Menurut Marion (1966) bahwa persentase bobot putih akan menurun dengan meningkatnya bobot kuning. Dengan demikian tidak adanya perbedaan yang nyata pada rataan persentase kuning telur menyebabkan rataan persentase putih telur juga relatif sama. Menurut Suk dan Park (2001) bahwa tingginya persentase putih telur karena menurunnya persentase kuning telur. Rataan persentase bobot putih telur selama 10 minggu penelitian berkisar antara 64,33-68,70%. Hal ini didukung oleh penelitian Suk dan Park (2001) yang melaporkan bahwa rataan persentase bobot putih telur untuk ayam strain ISA-brown pada awal produksi sebesar 65,27%. Stadelman dan Cotetteril (1995) melaporkan bahwa rata-rata persentase bobot putih telur adalah sebesar 63,40% 28
Persentase Albumen (%)
70.00 68.00 66.00 64.00 62.00 60.00 1
2
0%
3
4
5 6 Minggu
0,25%
0,50%
7
8
0,75%
9
10
1%
Gambar 5. Grafik Rataan Persentase Putih Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu Grafik pada Gambar 5 menunjukkan pola rataan persentase bobot putih telur yang cenderung menurun dengan semakin bertambahnya umur ayam (minggu) untuk setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Izat et al. (1986) bahwa persentase bobot putih telur akan menurun dengan bertambahnya umur dan pada akhir satu tahun produksi bobot putih relatif konstan. Albumen relatif rendah dideposisikan pada kuning telur yang kecil (pada pullet), sehingga telur menjadi lebih kecil dibandingkan pada ayam dewasa yang secara normal mempunyai kuning telur yang besar (Campbell et al., 2003). Persentase Kuning Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap rataan persentase kuning telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini diduga karena protein, lemak dan zat makanan lain dalam ransum yang tidak banyak meningkat dengan peningkatan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum sampai taraf 1%. Kandungan protein, lemak dan zat makanan lain dalam ransum yang relatif sama ditambah dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda pula, sehingga protein, lemak dan zat makanan lain yang dikonsumsi oleh ayam pun diduga sama. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa kuning telur disusun oleh 15,7-16,6% protein dan 31,8-35,5% lemak. Hal ini didukung oleh penelitian Zau dan Wu (2005) yang melaporkan bahwa peningkatan protein ransum
dari 15% sampai 17% dengan 29
suplementasi lemak tidak berpengaruh terhadap bobot telur. Berbeda dengan yang dilaporkan Antoni (2003), bahwa taraf protein berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kuning. Peningkatan taraf protein dari 12% sampai 18% dapat meningkatkan bobot kuning. Walaupun demikian hal ini masih dapat diterima karena kandungan protein yang dilaporkan dapat meningkatkan bobot kuning telur pada kisaran yang lebih besar. Sementara hasil penelitian Ri et al. (2005) melaporkan bahwa peningkatan protein dalam ransum dari 16-26% tidak berpengaruh terhadap persentase kuning telur burung puyuh. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa pada tingkat protein yang cukup, persentase kuning telur akan relatif sama untuk telur ayam pada strain yang sama. Ketika protein dalam ransum kurang maka persentase kuning telur cenderung lebih kecil dibanding pada tingkat protein yang cukup. Kandungan protein 14% di dalam ransum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum (Scott et al., 1982). Bobot telur lebih berhubungan dengan bobot kuning telur. Kuning telur yang besar, menghasilkan telur yang besar sedangkan kuning telur yang kecil akan menghasilkan telur yang kecil pula (Amrullah, 2004). Bobot telur yang tidak berbeda pada penelitian ini, menyebabkan proporsi komposisi telur pun tidak berbeda pula. Sementara hasil penelitian lain melaporkan bahwa proporsi komposisi telur akan berubah pada saat umur ayam bertambah dengan ukuran telur yang meningkat, yang diikuti oleh ukuran kuning telur yang meningkat. Peningkatan ukuran kuning telur ketika umur ayam bertambah menyebabkan persentase kerabang dan albumen menurun (Silversides dan Scott, 2001). Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya ukuran kuning telur. Ukuran kuning telur sangat dipengaruhi oleh perkembangan ovarium yang menghasilkan ovum. Selain itu bobot badan ayam, umur saat mancapai dewasa kelamin, kualitas dan kuantitas pakan, penyakit dan keadaan lingkungan antara lain sistem perkandangan, temperatur maupun kelembaban berpengaruh terhadap bobot kuning telur
(Romanoff dan Romanoff, 1963). Strain ayam yang sama dimungkinkan
mempunyai kemampuan fisiologis yang sama dalam pembentukan kuning telur. Umur, kualitas dan konsumsi ransum yang tidak berbeda, kesehatan serta lingkungan pemeliharaan yang sama diduga menyebabkan ukuran kuning telur tidak berbeda
30
pada penelitian ini. Hormon estrogen cukup berperan dalam pembentukan kuning telur. Beberapa komponen dalam kuning telur hanya diproduksi dibawah stimulasi hormon estrogen. Pengaruh yang tidak nyata pada penelitian ini diduga karena jumlah hormon terlalu kecil pada suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% dan cenderung tidak berbeda antar taraf perlakuan. Berdasarkan hasil perhitungan kandungan dalam setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% berturut-turut adalah 0; 648,837x10-7; 129,767x10-6; 194,651x10-6; dan 259,535x10-6%. Adams et al. (1950) melaporkan bahwa ransum dengan konsentrasi 0,04 dan 0,02% estrogen sintesis menurunkan produksi telur pada Single Comb White Leghorn dara. Rataan persentase bobot kuning telur selama penelitian berkisar antara 20,7324,72%. Rataan ini sesuai dengan penelitian Oktafanedi (2005) yang melaporkan kisaran persentase kuning telur berkisar antara 21,57-23,27%. Namun demikian kisaran tersebut lebih rendah menurut Etches (1996) yang menyatakan bahwa telur ayam terdiri dari 32-35% kuning telur. Rataan persentase bobot kuning telur yang rendah karena ayam pada awal periode produksi. Amrullah (2004) melaporkan bahwa telur-telur yang dihasilkan pada awal periode produksi memiliki kisaran persentase bobot kuning telur antara 22-25% dari bobot total sebutir telur yang kemudian menjadi 30-35% pada ayam yang meningkat produksinya. 26.00 Persentase Kuning (%)
25.00 24.00 23.00 22.00 21.00 20.00 19.00 18.00 1
2
0%
3
4
0,25%
5 6 minggu 0,50%
7
8
9
0,75%
10
1%
Gambar 6. Grafik Rataan Persentase Kuning Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu 31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial sampai taraf 1% tidak berpengaruh terhadap bobot telur dan komposisi fisik telur ayam ras yang meliputi persentase kerabang telur, persentase putih telur dan persentase kuning telur. Saran Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum terhadap komposisi fisik telur ayam ras, namun ransum yang digunakan sebaiknya mempunyai kandungan protein yang terbatas atau lebih rendah dari kebutuhan ayam petelur periode produksi dan taraf tepung jangkrik yang lebih tinggi.
33
Grafik rataan persentase kuning telur setiap taraf suplementasi
tepung
jangkrik terhadap waktu pada Gambar 6 menunjukkan pola persentase bobot kuning telur yang cenderung meningkat pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum selama 10 minggu penelitian, yakni berbanding terbalik dengan persentase bobot putih telur. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Silversides dan Scott (2001), bahwa albumen dan kerabang meningkat dalam jumlah dengan umur yang bertambah, tetapi dalam persentase menurun dengan persentase kuning telur yang meningkat.
32
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua tercinta sekeluarga dan Bapak Hadi Juana sekeluarga yang banyak membantu baik materi, motivasi, doa maupun kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Juga kepada Ir. Hj. Niken Ulupi, MS dan Ir. Dwi Margi Suci, MS yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Kepada Ir. Salundik MSi sebagai dosen penguji seminar, Ir. Rini H. Mulyono, MSi dan Ir. Widya Hermana, MSi sebagai dosen penguji sidang yang telah menguji, mengkritik dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan
terimakasih
juga
Penulis
sampaikan
kepada
seluruh
staf
Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan IPB atas segala fasilitas penelitian dan bantuannya hingga akhir penelitian. Kepada Mokhamad Saefulah, teman sepenelitian atas segala semangat dan pengorbanannya. Kepada Dr. Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer sebagai pembimbing akademik. Kepada Rohmah Kusuma Dewi sebagai pembahas seminar dan temanteman seperjuangan Program Studi Teknologi Produksi Ternak (TPT 39) Lidia, Nia, Tri, Arifah dan semuanya atas dukungan semangat dan persahabatan yang indah ini semoga kekal untuk selamanya. Kepada keluarga besar Mbah Iro dan seluruh warga Dusun Cabe yang telah memberikan dukungan, doa dan kasih sayang. Kepada Yogi Swaraswati atas kasih sayang, dukungan semangat dan doanya. Kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Agustus 2006 Penulis 34
DAFTAR PUSTAKA Adams, J. L., W. H. McGibbon and L. E. Casida. 1950. The effect orally administered synthetic estrogen on single comb White Leghorn pullet. Poultry Sci. 29:666-671. Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke-3. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Anggorodi, H. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Antoni, R. 2003. Tampilan kualitas telur ayam medium dengan waktu pemberian dan level Protein pakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bean, L. D. and S. Leeson. 2003. Long term effect of feeding flaxseed on performance and eggs fatty acid composition of Brown and White hens. Poultry Sci. 82:388-394. Bodenheimer, F. S.1951. Insect as Human Food: A Chapter of the Ecology of Man. Dr. W. Junk Publisher the Haguf, Netherland. Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan: S. P. Soedjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Campbell, J. R., M. D. Kenealy and K. L. Campbell. 2003. Animal Science, The Biology, Care and Production of Domestic Animals. 4th Ed. Mc. Graw Hill, New York. De Foliart, G. R., M. O. Finke and M. L. Sunde. 1982. Potential value of the optaining Mormon Cricket (Orthoptera tetigonidae) harvested as high protein feed for poultry. J. Economic Entamology. 75:848-852. Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Inc.,Dan Ville. Etches, R. J.1996. Reproduction in Poultry. CAB International, Ontario, Canada. Hubbard ISA. 2006. ISA-brown, Brown Egg layer. http://www.lightlink.com/ babcock/prod04.htm. [22 Juni 2006]. Izat, A. L., F. A. Gardner and D. B. Meller. 1986. The effect of egg of bird and season of the year on egg quality. II. Haugh Unit and compositional attributes. Poultry Sci. 65:726-728. Linsemaier, W. 1972. Insect of the Word. Mc. GrawHill Book Company, New York. Lien, R. J. and J. R. Cain. 1987. Effect of dietary and parental estrogens on Bobwhite reproduction. Poultry Sci. 66: 154-164. Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan Jilid I. Edisi kedua. IPB Press, Bogor. McDonald, L. E. and M. H. Pineda. 1985. Veterinery Endocrinology and Production. 4th Ed. Lea and Febriger. Philadelphia, USA. McDonald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutritions. 5th Ed., Longman Scientific and Technical, New York. Mountney, G. J. 1976. Poultry Product Technologi. 2nd Ed. The AVI publishing Company Inc, Westport, Connecticut.
35
Mube, I., C. Rapp, M. M. Bain and Y. Nyss. 2003. Supplementation of corn-soybean meal diet with manganese, copper and zinc from organic or inorganic sources improves eggshell quality in age laying hens. Poultry Science. 82:1903-1913. Nakajima, S. and K. Kesavarz. 1995. The effect of dietary manipulations of energy, protein, and fat during the growing and laying periods on early eggs weight and eggs components. Poultry Science. 74(1):50-60. Naulia, U. and K. S. Sigh. 2002. Effect of substitution of groundnut with soybean meal at verying fish meal and protein levels on performance and eggs quality of layer chickens. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15(11):1617-1521. North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. Chapman and Hall. London. Oktafanedi. 2005. Kualitas dan komposisi fisik telur ayam Stain ISA-brown akibat pemberian jenis pakan dan dosis quixalud yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Panda, P. C. 1995. Text Book on Egg and Poultry Technology. Vikas Publishing House PVT Ltd., New Delhi. Ri, E., K. Sato, T. Oikawa, T. Kunieda and H. Uchida. 2005. Effect dietary protein on production and characteristics of Japanese Quail eggs. J. Poulty Sci. 42: 130-139. Robert, J. R. 2004. Factor affecting eggs internal quality and eggshell quality in laying hens. Journal Poultry Science. 41: 161-177. Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons Inc., New York. Scott, M. L., M. C. Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutritions of The Chicken. 3rd Ed. M. L. Scott and Assosiates, Ithaca, New York. Silversides, F. G and T. A. Scott. 2001. Effect of storage and layer age on quality of eggs from two line of hens. Poultry Sci. 80: 1240-1245. Sirait, C. S. 1986. Telur dan Pengolahannya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Stadelman, W. J. dan O. J. Cotterill. 1995. Eggs Science and Technology. 4th Ed. The Avy Publishing Company, Inc.,Westport, Connecticut. Suk, Y. O. and C. Park. 2001. Effect of breed and age of hen on the yolk to albumen ratio in two different genetics stok. J. Poultry Sci. 80:855-858. Sukarno, H. 1999. Budidaya Jangkrik. Cetakan I. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Turner, C. W. 1948. Feeding estrogen (dianisylhexene) to laying hen. Poultry Sci. 27:593-600. Turner, C. D. dan J. T. Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Edisi ke-6. Erlangga University Press. Surabaya. Zou, S. G. and Y. Z. Wu. 2005. Effects of protein and supplemental fat on performance of laying hens. International Journal of Poultry Sci. 4(12): 986989.
36