KOMPONEN STEROL DALAM EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus L. Merr) DAN HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM REPRODUKSI PUYUH
SRI SUBEKTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul: ”Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh” adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Bogor, April 2007 Sri Subekti NIM D061030161
ABSTRAK SRI SUBEKTI. Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, WASMEN MANALU dan TRI BUDHI MURDIATI. Katuk (Sauropus androgynus L Merr) diketahui mengandung karotenoid, vitamin E, vitamin C, protein, dan komponen sterol. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh fitosterol dari daun katuk pada sistem reproduksi puyuh betina. Seratus lima puluh ekor puyuh betina umur 2 minggu dipelihara sampai berumur 27 minggu, dibagi dalam tiga perlakuan ransum, dengan lima ulangan, dan sepuluh ekor puyuh pada setiap ulangan. Perlakuan ransum terdiri atas 1) ransum kontrol, 2) ransum dengan 9% tepung ekstrak katuk (TEK), 3) ransum dengan 9% tepung daun katuk (TDK). Saluran reproduksi puyuh yang diberi ransum TDK tumbuh lebih cepat (p<0.05) dibandingkan dengan puyuh yang diberi ransum kontrol dan TEK pada umur lima minggu. Bobot badan puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 5 minggu juga lebih berat (p<0.05) dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol dan TEK. Puyuh yang diberi ransum TDK mulai bertelur sekitar 5 – 6 hari lebih awal (p<0.05) dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol dan ransum TEK. Kualitas telur yang meliputi bobot telur, bobot putih telur, indeks HU, dan intensitas warna kuning telur pada puyuh yang diberi ransum TEK dan TDK meningkat (p<0.05) dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol. Kolesterol total pada kuning telur, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum TEK dan TDK lebih rendah (p<0.05) dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol, kecuali kolesterol yang terdapat dalam serum. Vitamin A dalam serum dan kuning telur puyuh yang diberi ransum TDK lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi TEK, dan yang diberi TEK lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol (p<0.05). Konsentrasi tertinggi vitamin E dan vitamin C serum terdapat pada puyuh yang diberi ransum TDK. Vitamin E dan vitamin C serum puyuh yang diberi ransum TEK lebih tinggi dibandingkan dengan serum puyuh yang diberi ransum kontrol. Pemberian ransum TDK dan TEK pada puyuh meningkatkan estradiol serum selama masa pertumbuhan. Fertilitas tertinggi (94.55%) dicapai oleh puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 23 minggu, sedangkan daya tetas tertinggi (93.29%) juga dicapai puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 24 minggu. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sistem reproduksi puyuh betina bukan hanya ditingkatkan oleh fitosterol daun katuk saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan β-karoten, vitamin C, dan α-tokoferol dalam daun katuk.
ABSTRACT SRI SUBEKTI. Sterols Component of Katuk Leaves Extract (Sauropus androgynus) and Its Relation to Japanese Quail Reproduction System. Under the direction of WIRANDA GENTINI PILIANG, WASMEN MANALU and TRI BUDHI MURDIATI. Katuk (Sauropus androgynus L Merr) is known to contain carotenoids, vitamin E, vitamin C, protein, and sterol compounds. This study was aimed to determine whether phytosterol in Sauropus androgynus (SA) leaf affected the reproductive system of female quails. One hundred and fifty female quails were raised from 2-27 weeks old, divided into three treatment diets, with five replicates with 10 quails in each replicate. The treatment diets were: 1) Control group: diet without katuk leaf meal; 2) Diet with 9% SA ethanol extract (SAE); 3) Diet containing 9% SA meal (SAM). The oviduct grew more rapidly (p<0,05) in SAM-fed quails than that of the control group and SAE-fed quails at 5 weeks old. In addition, the body weight of SAM-fed quails were significantly greater (p<0.05) than that of the SAE and the control group at 5 weeks old. The SAM-fed quails laid their first eggs approximately 5-6 days earlier (p<0.05) than that of the SAE and the control-fed quails. The SAE and SAM-fed quails increased the egg weight, albumen weight, haugh unit, and yolk colour intensity significantly (p<0.05). Total cholesterol in the egg yolk, carcass and liver of SAE and SAM fed-quails were lower (p<0.05) than that of the control-fed quails, except the cholesterol content in the serum. Vitamin A in the serum and egg yolk of SAM fed-quails were higher than that of the SAE-fed quails, and the SAE-fed quails were higher than that of the control-fed quails (p<0.05). The highest concentration of serum vitamin E and serum vitamin C were obtained from the SAM-fed quails. Serum vitamin C and serum vitamin E of the SAE-fed quails were higher than that of the control group. The SAE and SAM fed quails increased serum estradiol during the growing phase. The highest fertility (94.55%) and hatchability (93.29%) were obtained from the SAM fed quails at the age of 23 and 24 weeks, respectively. These findings indicated that the reproductive systems of female quails was improved not only by phytosterol in SA leaf, but also by the βcarotene, vitamin C, α-tocopherol in SA leaf.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KOMPONEN STEROL DALAM EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus L. Merr) DAN HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM REPRODUKSI PUYUH
SRI SUBEKTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi Nama NIM
: Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh : Sri Subekti : D061030161
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, MSc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Anggota
Dr. dra. Tri Budhi Murdiati, MSc. Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Nahrowi, MSc.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 9 April 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2005 ini ialah komponen aktif dalam daun katuk, dengan judul ”Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh”. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya. Disertasi ini ditulis berdasarkan serangkaian penelitian yang terdiri atas 3 percobaan yang dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor untuk feeding trial dan ekstraksi daun katuk; Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor untuk analisis hormon steroid dan kolesterol; Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta untuk analisis GCMS ekstrak katuk, Balai Besar Industri Agro untuk analisis vitamin. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir Wiranda G Piliang, MSC., selaku ketua komisi pembimbing atas saran dan bimbingannya, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu dan Dr. Dra. Tri Budhi Murdiati, MSc. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dra. Yvone Matindap dari PT Phytochemindo Reksa yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pak Eman yang telah membantu pemeliharaan puyuh dengan sebaik-baiknya sehingga penelitian ini berhasil. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Peternakan dan Ketua serta seluruh pengelola Program Studi Ilmu Ternak disampaikan terima kasih atas kesempatan studi yang diberikan. Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa untuk menempuh Program Pascasarjana melalui BPPS penulis juga menyampaikan terima kasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suamiku yang paling kukagumi, anakku tersayang dan kedua orang tuaku serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2007 Sri Subekti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 20 Juli 1977 dari ayah Ismail Yahya BcHk. dan Ibu Dra. Siti Soepami. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Pati dan pada tahun yang sama masuk Undip melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2001, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS. Pada bulan Februari tahun 2004 penulis menikah dengan Firman Agus Heriyansyah ST, MSi. dan dikaruniai seorang putri pada bulan November 2004, yaitu Syadia Nabilla Dinayasakti. Penulis bekerja sebagai Dosen di Akademi Pertanian Pragola Pati sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang. Sebuah artikel akan diterbitkan dengan judul PENGGUNAAN TEPUNG DAUN KATUK DAN EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus L.Merr) SEBAGAI SUBSTITUSI RANSUM YANG DAPAT MENGHASILKAN PRODUK TERNAK RENDAH KOLESTEROL pada Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
v
PENDAHULUAN Latar Belakang.................................................................................... Tujuan Penelitian................................................................................ Kerangka Pemikiran............................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Kajian Karakteristik Tanaman Katuk ................................................ Kandungan Nutrisi Daun Katuk ....................................................... Senyawa Aktif dalam Daun Katuk .................................................... Senyawa Steroid ................................................................................ Fitosterol ............................................................................................ Biosintesis Kolesterol ....................................................................... Hormon Steroid ................................................................................. Perkembangan Penelitian Katuk pada Ternak ..................................
5 7 8 9 11 13 15 17
MATERI METODE Waktu dan Tempat .......................................................................... Materi ............................................................................................. Prosedur Penelitian ......................................................................... Analisis Hormon ............................................................................ Analisis Kolesterol ......................................................................... Analisis Kadar Vitamin A .............................................................. Analisis Kadar Vitamin C ............................................................... Analisis Kadar Vitamin E ............................................................... Analisis Bilangan TBA ................................................................... Rancangan Percobaan dan Analisis Data .......................................
19 19 21 24 25 26 27 28 29 29
HASIL DAN PEMBAHASAN Fitosterol dalam Daun Katuk ....................................................... Konsumsi dan Konversi Ransum .................................................. Saluran Reproduksi ....................................................................... Hormon Progesteron dan Estradiol dalam Serum ......................... Umur Dewasa Kelamin dan Produksi Telur ................................. Kualitas Telur ................................................................................ Kolesterol Ransum, Serum, Telur, Karkas, dan Hati .................... Kandungan Vitamin A dalam Ransum, Kuning Telur, dan Serum Kandungan Vitamin E dalam Ransum dan Serum......................... Kandungan Vitamin C dalam Ransum dan Serum ....................... Bilangan Thiobarbituric Acid dalam Ransum ............................... Fertilitas dan Daya Tetas ...............................................................
32 33 34 36 39 40 42 44 45 47 48 49
Bobot Tetas dan Bobot Badan Anak Puyuh .................................. Tingkat Mortalitas Anak Puyuh .....................................................
51 53
PEMBAHASAN UMUM ......................................................................
55
KESIMPULAN ......................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
64
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk ........................... 7 2 Komposisi nutrien daun katuk .................................................................
8
3 Perkembangan penelitian pengaruh daun katuk pada hewan ...................
17
4 Ransum penelitian .....................................................................................
20
5 Komposisi nutrien ransum ........................................................................
20
6 Senyawa-senyawa dalam ekstrak daun katuk dengan etanol 70% ...........
32
7 Konsumsi dan konversi ransum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama penelitian (25 minggu)...............................................................................
33
8 Bobot badan dan saluran reproduksi puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu ...................................................... 36 9 Kandungan progesteron dalam serum puyuh (ng/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)........................... 38 10 Kandungan estradiol dalam serum puyuh (pg/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)...........................
38
11 Umur dewasa kelamin dan produksi telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) 39 12 Kualitas telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)………………………. 41 13 Kandungan kolesterol kuning telur, serum, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)......................................................................................
43
14 Kandungan vitamin A dalam ransum, kuning telur, dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) .........................................................................
45
15 Kandungan vitamin E dalam ransum, kuning telur, dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) .........................................................................
46
16 Kandungan vitamin C dalam ransum, kuning telur, dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan
tepung daun katuk (TDK) .........................................................................
47
17 Kandungan bilangan TBA dalam ransum ................................................
48
18 Fertilitas (%) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ...................................
49
19 Daya tetas (%) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ...................................
49
20 Bobot tetas (g) dan bobot badan (g) anak puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) .......................................................................................
52
21 Tingkat mortalitas (%) anak puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) .......................................................................................
53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan kerangka pemikiran ......................................................................
4
2 Tanaman katuk ........................................................................................
5
3 Kerangka inti steroid ...............................................................................
9
4 Jalur biosintesis fitosterol ........................................................................ 12 5 Biosintesis mevalonat ............................................................................ 14 6 Konversi mevalonat menjadi squalen ....................................................
14
7 Konversi squalen menjadi kolesterol .....................................................
15
8 Biosintesis hormon steroid ....................................................................
16
9 Bagan persiapan tepung ekstrak katuk....................................................
21
10 Prosedur penelitian pada pengujian TEK dan TDK dalam ransum .......
22
11 Saluran reproduksi unggas .....................................................................
23
12 Bobot badan puyuh (A) dan panjang saluran reproduksi (B) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ...............................................................
35
13 Kandungan progesteron dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ............................................................................................. .......
37
14 Kandungan estradiol dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ............................................................................................. .......
37
15 Produksi telur puyuh umur 6 – 27 minggu ............................................
40
16 Warna kuning telur puyuh .....................................................................
42
17 Kandungan kolesterol ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ...................................................
43
18 Fertilitas dan daya tetas puyuh perlakuan pada umur 21 – 24 minggu..
51
19 Bobot tetas dan bobot badan anak puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) .......
52
20 Penggantian kolesterol oleh fitosterol/stanol dalam misel ....................
56
21 Mekanisme penurunan kolesterol, kokristalisasi fitosterol dan kolesterol (A), dan penghambatan aktivitas acyl-coenzyme A cholesterol acyltransferase/ACAT (B)................................................
57
22 Jalur biosintesis kolesterol (Modifikasi dari Mathews et al. 2000) ......
59
21 Biosintesis hormon steroid yang dipengaruhi fitosterol ........................
61
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis proksimat pakan (Kontrol/K, Tepung Ekstrak Katuk/ TEK, Tepung Daun Katuk/TDK) dan Ekstrak Katuk (EK) .....
71
2 Hasil formulasi ransum isonitrogen dan isokalori pakan K, TEK, dan TDK...................................................................................
72
3 Kandungan fitosterol dari bahan pangan terseleksi ...........................
74
4 Senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun katuk (dengan etanol 70%) ..........................................................................
76
5 Analisis ragam untuk konsumsi ransum puyuh .................................
77
6 Analisis ragam untuk konversi ransum puyuh ..................................
77
7 Analisis ragam untuk total bobot telur puyuh ...................................
77
8 Analisis ragam untuk bobot badan puyuh umur 3 minggu ................
77
9 Analisis ragam untuk bobot badan puyuh umur 4 minggu ................
78
10 Analisis ragam untuk bobot badan puyuh umur 5 minggu ................
78
11 Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi umur 3 minggu ...
79
12 Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi umur 4 minggu ...
79
13 Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi umur 5 minggu ...
79
14 Analisis ragam untuk umur dewasa kelamin puyuh ..........................
80
15 Analisis ragam untuk bobot badan pada saat dewasa kelamin ..........
80
16 Analsis ragam untuk bobot telur pertama puyuh ...............................
81
17 Analisis ragam untuk produksi telur puyuh .......................................
81
18 Analisis ragam untuk bobot telur puyuh ............................................
81
19 Analisis ragam untuk bobot cangkang telur puyuh ............................
82
20 Analisis ragam untuk tebal cangkang telur puyuh ............................
82
21 Analisis ragam untuk bobot kuning telur puyuh ……………………
82
22 Analisis ragam untuk bobot putih telur puyuh ………………………
82
23 Analisis ragam untuk warna kuning telur puyuh ................................
83
24 Analisis ragam untuk HU index telur puyuh ......................................
83
25 Analisis ragam untuk kolesterol serum puyuh ...................................
84
26 Analisis ragam untuk kolesterol kuning telur puyuh .........................
84
27 Analisis ragam untuk kolesterol karkas puyuh ..................................
85
28 Analisis ragam untuk kolesterol hati puyuh ......................................
85
29 Analisis ragam untuk vitamin A serum puyuh ..................................
86
30 Analisis ragam untuk vitamin A kuning telur puyuh ........................
86
31 Analisis ragam untuk vitamin E serum puyuh ..................................
87
32 Analisis ragam untuk vitamin C serum puyuh ..................................
87
33 Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 3 minggu .....
88
34 Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 4 minggu .....
88
35 Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 5 minggu .....
88
36 Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 3 minggu ..........
89
37 Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 4 minggu ..........
89
38 Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 5 minggu ..........
90
39 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 21 minggu ...................
90
40 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 22 minggu ...................
91
41 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 23 minggu ...................
91
42 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 24 minggu ...................
91
43 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 21 minggu ..................
92
44 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 22 minggu ..................
92
45 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 23 minggu ..................
92
46 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 24 minggu ..................
92
47 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 0 minggu .........
93
48 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 1 minggu .........
93
49 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 2 minggu .........
94
50 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 3 minggu .........
94
51 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 4 minggu .........
94
52 Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 1 minggu
94
53 Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 2 minggu
95
54 Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 3 minggu
95
55 Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 4 minggu
95
PENDAHULUAN Latar Belakang Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) merupakan tanaman obat yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Kandungan kimia katuk adalah protein, lemak, kalsium, fosfat, besi, vitamin A, B, C, steroid, flavonoid, dan polifenol. Pemanfaatan tanaman ini sebagai obat tradisional sangat bervariasi, seperti untuk pelancar ASI, obat demam, obat bisul, darah kotor, selain itu akarnya berkhasiat sebagai obat frambusia, susah kencing, dan obat panas (Astuti et al. 1997). Katuk, dalam kaitannya sebagai obat tradisional, telah mendorong para peneliti untuk mengungkapkan senyawa-senyawa aktif serta zat-zat fitokimia yang terkandung di dalamnya. Agusta et al. (1997) telah menemukan enam senyawa utama dalam daun katuk, yaitu
monometil suksinat, cis 2-metil
siklopentanol asetat, asam benzoat, asam fenil malonat, 2-pirolidinon, dan metil piroglutamat. Dalam penelusuran ilmiahnya, Malik (1997) menyebutkan tanaman ini mengandung minyak atsiri, sterol, saponin, flavonoid, asam-asam organik, asam-asam amino, alkaloid, dan tanin. Prajonggo et al. (1983) menduga bahwa kandungan sterol dalam tanaman ini kemungkinan mempunyai peranan dalam meningkatkan produksi ASI secara hormonal karena beberapa tanaman yang mengandung sterol diketahui mempunyai sifat estrogenik. Penelitian tentang pengaruh daun katuk pada peningkatan produksi susu telah banyak dilakukan. Prajonggo et al. (1983) mengamati perubahan jumlah asini kelenjar susu mencit betina yang baru melahirkan dan menyusui anaknya. Hasilnya adalah perbedaan yang nyata dalam jumlah asini antara mencit kontrol dan mencit yang diberi daun katuk. Selain itu, Agil (1991) juga menemukan peningkatan produksi air susu mencit yang diberi ekstrak daun katuk. Hasil ini kemungkinan karena adanya peningkatan hormon oksitosin dan prolaktin sebagai konsekuensi mengkonsumsi daun katuk. Pada domba laktasi juga terjadi peningkatan produksi air susu pada domba yang mengkonsumsi tepung daun katuk (Suprayogi 2000). Lebih lanjut dikemukakan keberadaan senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk, yang merupakan prekursor hormon androgen dan estrogen.
Pada unggas juga telah diteliti efek penambahan daun katuk pada ransum ayam kampung. Pada taraf 9% penambahan DK dapat meningkatkan produksi telur, mempercepat umur dewasa kelamin, dan meningkatkan kualitas telur dan karkas (Subekti 2003). Hasil ini diduga karena adanya kandungan karoten yang tinggi pada daun katuk, serta kemungkinan adanya kandungan mineral dalam daun katuk. Hal tersebut di atas merupakan pendorong untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengaruh daun katuk pada tingkat fertilitas, hormon-hormon reproduksi, serta meneliti lebih dalam pada aspek peningkatan fungsi reproduksi pada hewan coba. Hal ini disebabkan adanya fenomena menarik dari komponen yang terdapat dalam daun katuk, yang mengandung senyawa sterol sehingga menimbulkan efek estrogenik yang dapat meningkatkan produksi susu pada mamalia, dan produksi telur pada ayam. Namun, adanya pengaruh daun katuk pada peningkatan hormon oksitosin dan prolaktin (Agil 1991), yang merupakan hormon untuk memacu produksi susu,
diduga mempunyai efek lain, yaitu
oksitosin diperkirakan dapat mengurangi fertilitas sesudah melahirkan dengan cara melakukan rangsangan terhadap otot uterus (Djojosoebagio 1990). Mencermati hal tersebut di atas, dapat diduga adanya pengaruh positif senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk pada fertilitas dan fungsi reproduksi pada hewan jantan dan betina. Pada hewan betina, daun katuk dapat memacu sekresi air susu pada mamalia dan ovulasi pada unggas (peningkatan produksi telur) sedangkan pada hewan jantan dapat memacu peningkatan seksualitas dan fertilitas dengan peningkatan hormon androgen. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji fenomena tersebut.
Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk : 1
Mengkaji pengaruh
komponen sterol dalam daun katuk (Sauropus
androgynus (L.) Merr) pada produksi dan sistem reproduksi puyuh (Coturnix coturnix japonicus)
2
Mempelajari hubungan komponen sterol daun katuk pada metabolisme hormon-hormon steroid (progesteron dan estradiol) dan kaitannya dengan peningkatan produktivitas dan sistem reproduksi pada puyuh. Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam tentang
daun katuk sehubungan dengan efeknya pada sistem reproduksi. Daun katuk telah diketahui sebagai salah satu tanaman obat keluarga yang mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi dan mengandung senyawa-senyawa aktif yang dapat mempengaruhi metabolisme hormon, seperti yang telah banyak diketahui dapat mempengaruhi sekresi air susu. Namun, belum ada informasi mengenai efek daun katuk pada sistem reproduksi, walaupun terdapat banyak senyawa sterol dalam daun katuk yang merupakan prekursor hormon steroid yang berperan dalam fungsi reproduksi. Penelitian ini akan menguji efisiensi dan optimalisasi penggunaan katuk untuk peningkatan sistem reproduksi, yaitu apakah dalam bentuk tepung sehingga selain zat-zat aktif, juga masih terdapat kandungan nutrien yang
tinggi, ataukah dengan ekstraksi katuk dengan etanol sehingga
hanya terdapat senyawa fitosterol (prekursor hormon) saja. Penggunaan ekstrak katuk di sini diharapkan dapat menjawab komponen yang mana dari katuk yang sebenarnya mempengaruhi metabolisme tubuh yang terkait dengan peningkatan produktivitas dan sistem reproduksi. Bagan kerangka pemikiran terdapat dalam Gambar 1 sebagai berikut :
Katuk
Komponen Zat Aktif
Senyawa Sterol
Kandungan Nutrisi
Alkaloid
Tepung Katuk Komponen Zat Aktif +
Protein Karoten Vitamin E
Vitamin C
Ekstrak Katuk Senyawa Fitosterol, Asam Lemak,
Nutrien
Vitamin E yang
Larut dalam
Pengekstrak
??
Sebagai Prekursor Hormon Reproduksi
Meningkatkan Fungsi Reproduksi
Produksi Telur
Kualitas Telur
Daya Tetas
Performans F1 Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran
Profil Darah
SK
TINJAUAN PUSTAKA Kajian Karakteristik Tanaman Katuk Katuk (Sauropus androgynus) merupakan salah satu jenis tanaman semak yang tergolong dalam suku jarak-jarakan (Euphorbiaceae), dengan ketinggian mencapai 2-3 m. Katuk dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1500 m di atas permukaan laut. Taksonomi tanaman katuk menurut Backer dan Brink (1963) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi Anak divisi Kelas Bangsa Suku Anak suku Puak Marga Jenis
Gambar 2
: : : : : : : : :
Spermatophyta Angiospermae Dicotyledoneae Geraniales Euphorbiaceae Phyllathoideae Phyllanth Sauropus Sauropus androgynus
Bagian tanaman katuk
Nama daerah S. androgynus, yaitu Myanmar: Yaung-mapywet, yo-ma-hinyo; Laos: Pahk wan; Thailand: Cha phak wan, kan tong, ma yom pa, phak kan thong, phak wan, phak wan ban; Vietnam: Bu lot, cây bu ngot, cây chum ngot, cây cu de, cây dau ngot, cu ve, dom nghob, ran n’got; Semenanjung Malaysia: Assin-assin, chekop, chekop manis, chekor manis, kasim, kencur manis; Tamil: thavasi murunggai, Sumatera: bait memata utan, daun katu, lakioi, nasi-nasi, simanie, si topu manuk, katu; Jawa: Katuk; babing, katukan, katu; Sunda: katuk, katuk utan, cekop manis; Sabah: Chang kok manis; Philipina: Tawitawi; Maluku: Katuk (Nationaal Herbarium Nederland 2003).
Deskripsi morfologi tanaman katuk yang lebih jelas diberikan oleh Sukendar (1997) sebagai berikut: Daun tunggal walaupun seperti majemuk, duduk daun susun berseling, dengan jumlah daun per cabang umumnya berkisar 11 - 21 helai, bentuk dan ukuran daun bervariasi, daun yang di pangkal cabang berbentuk bulat telur berukuran lebar 1.5 – 2.5 cm, panjang 2.5 – 4.5 cm, sedangkan yang di tengah dan di ujung berbentuk jorong berukuran lebar 2.3 – 3.1 cm, panjang 4.3 – 8.5 cm. Warna daun permukaan atas hijau dengan bercak putih, permukaan bawah daun berwarna hijau muda dengan tampak pertulangan daun yang jelas, tepi daun rata, pangkal daun tumpul, ujung daun lancip. Tangkai daun pendek 0.2 cm dan tiap daun memiliki sepasang daun penumpu kecil dengan panjang sekitar 1 cm. Bunga jantan berbentuk seperti giwang, kelopak dan mahkota serupa, masing-masing berjumlah tiga, saling berlekatan, tebal dan berdaging, berwarna hijau kemerahan, benang sari enam buah dengan serbuk sari berwarna putih kekuningan. Benang sari tersusun dalam satu lingkaran atau dua lingkaran dengan benang sari dalam lingkaran yang luar berhadapan dengan daun mahkota. Pada bunga betina, kelopak dan mahkota serupa, berwarna merah kecokelatan, masing-masing berjumlah tiga, tipis berlepasan, tidak mudah luruh, dan tetap menempel pada buah. Bakal buah tiga menumpang, kepala putik berbentuk cuping, tetap menempel pada buah. Buah termasuk buah berbelah (Schizocarpium). Katuk merupakan tanaman habitus perdu (2 – 3 meter), batang tegak, bulat, dan berwarna hijau. Tangkai bunga silindris dengan panjang 1 – 1.5 cm. Secara mikroskopis daun katuk dipelajari oleh Prajonggo dan Santa (1997), yaitu pada daun, epidermis atas dan kutikula tipis, epidermis bawah dan stomata tipe anisositik, rambut penutup tidak ada, mesofil terdiri atas palisade (1 – 2 lapis sel-sel),
jaringan bunga karang (sponsa) beberapa lapis, mesofil (parenkim)
disertai dengan kristal kalsium oksalat berbentuk roset, tipe daun dorsi ventral, berkas pembuluh kolateral (di bagian tulang daun). Bagian batang dengan irisan melintang dijumpai epidermis satu lapis, parenkim korteks (sel-selnya disertai kristal kalsium oksalat bentuk roset).
Sklerenkim (serabut perisikel), floem,
xilem, dan empulur terdiri atas jaringan parenkim.
Kandungan Nutrisi Daun katuk Komposisi proksimat daun katuk yang diteliti Padmavathi dan Rao (1990) menunjukkan kandungan nutrisi daun katuk yang tinggi dibanding sayur-sayuran lain yang dikonsumsi di India.
Selanjutnya dilaporkan bahwa daun ini
mengandung nutrien (protein, lemak, mineral, dan vitamin) dalam jumlah yang cukup tinggi dan sayuran ini dapat diterima dan cukup disukai masyarakat dalam uji palatabilitas. Yuliani dan Marwati (1997) melaporkan bahwa daun katuk dapat digunakan sebagai food additive untuk ibu-ibu yang menyusui karena tingginya kandungan protein dan vitamin A. Daun katuk mengandung karoten yang sangat tinggi. Hulshoff et al. (1997) melaporkan bahwa di antara sayuran dan buah-buahan yang diteliti di Indonesia, daun katuk mengandung karoten tertinggi. Di samping itu daun katuk juga mengandung alpha-tocopherol yang sangat tinggi, bahkan tertinggi dibanding tanaman tropis lain yang dapat dimakan. Ching dan Mohamed (2001) melaporkan kandungan alpha tocopherol dari Sauropus androgynus sebesar 426 mg/kg. Daun katuk mengandung asam askorbat yang cukup tinggi, yaitu 244 mg/100 g kering (Padmavathi dan Rao 1990). Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk Vitamin dan Provitamin
Jumlah
all-trans-α-carotene (µg/100g) all-trans-β-carotene (µg/100g) cis-β-carotene (µg/100g) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C ((mg/100g) α-tokoferol (mg/kg) Keterangan: 1 Hulshoff et al. (1997) 2 Padmavathi dan Rao (1990) 3 Ching dan Mohamed (2001)
13351 100101 13121 0.502 0.212 2442 4263
Berbagai hasil penelitian tentang komposisi nutrien daun katuk yang dilakukan beberapa peneliti, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi nutrien daun katuk Nutrien
Yasni et al. (1999)*
Subekti (2003)
Lab. INTP Fapet IPB**
5.84
5.84
5.84
Protein (%)
32.09
39.88
27.74
Lemak (%)
7.46
5.84
3.13
Kadar air (%)
Serat kasar (%)
19.19
16.71
18.19
Kalsium (%)
2.29
1.01
Fosfor (%)
0.40
0.35
Abu (%)
18.77
Energi bruto (kal/g)
14.79
-
4939.64
3818
Keterangan : * Hasil Analisis proksimat pada daun katuk muda Yasni et al. (1999) ** Analisis proksimat tepung daun katuk kering (Laboratorium INTP, Fapet IPB) Senyawa Aktif dalam Daun Katuk Salah satu senyawa aktif yang terdapat dalam katuk adalah alkaloid papaverin (Bender dan Ismail 1975) dengan jumlah 5.8 g papaverin/kg daun segar. Akan tetapi, laporan Padmavathi dan Rao (1990), Agusta et al. (1997), dan Suprayogi (2000) tidak menemukan senyawa papaverin dalam daun katuk. Penelitian yang dilakukan Agusta et al. (1997)
dengan menggunakan
GCMS (gas chromatography and mass spectrometers) menemukan beberapa senyawa kimia, yaitu [monometil suksinat dan cis-2-metil siklopentanol asetat (ester), asam benzoat dan
asam fenilmalonat (asam karboksilat), serta
2-pirolidinon dan metal piroglutamat (alkaloid)]. Senyawa monometil suksinat yang merupakan salah satu senyawa utama pada fraksi eter daun katuk, bila dihidrolisis akan menghasilkan asam suksinat yang merupakan bahan dasar untuk mensintesis asam-asam organik, seperti asam fumarat, asam malat, asam oksaloasetat, dan asam piruvat, sedangkan suksinat yang aktif (suksinil-KoA) sangat berperan dalam proses pembentukan energi (Agusta et al. 1997). Selain itu Kanchanapoom et al. (2003) menemukan lignan diglikosida dan megastigman
glikosida (sauroposide) dari daun katuk (Sauropus androgynus) yang diisolasi dari bagian aerial katuk. Suprayogi (2000) menemukan senyawa aktif dalam daun katuk yang mempunyai peran penting dalam metabolisme jaringan. Lima senyawa kelompok dari asam lemak tak jenuh seperti octadecanoic acids; 9-eicosyne; 5,8,11heptadecatrienoic acid methyl ester; 9,12,15-octadecatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester. Satu senyawa steroid, yaitu androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha. Senyawa lain, yaitu 3,4-dimethyl-2oxocyclopent-3-enylacetic acid. Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5
alpha
merepresentasikan
17-
ketosteroid (kelompok keto pada C 17), secara langsung merupakan precursor atau senyawa intermediate dalam biosintesis hormon steroid (Suprayogi 2000). Senyawa Steroid Senyawa steroid berstruktur inti siklopentanoperhidro-penantren, yang terdiri atas cincin A, B, C, dan D (Gambar 3). Cincin A, B, dan C berfusi secara nonlinear seperti susunan fenantren. Cincin Siklopentana (Cincin D) berfusi pada cincin C. (Bahti et al. 1983)
C
A
D
B
Gambar 3 Kerangka inti steroid (Sumber: Bahti et al., 1983) Khusus untuk senyawa steroid sebagai hormon alam atau hasil sintesis yang beraktivitas fisiologis yang mirip, semuanya mempunyai karakteristik tertentu sebagai berikut: substitusi oksigen pada atom C-3 suatu sifat khas dari steroid alam; substitusi gugus metal angular pada atom C-10 dan C-13 yang dikenal dengan atom C-18 dan C-19 berturut-turut kecuali pada senyawa steroid dengan
cincin A berbentuk benzenoid, seperti pada kelompok estrogen; kemungkinan substitusi gugus alifatik (R) pada atom C-17, substitusi ini memberikan dasar pembagian senyawa steroid. Di alam, senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman tingkat tinggi, bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah, seperti pada ragi dan jamur (Harborne, 1973). Biosintesis dan metabolisme sterol telah diteliti pada jamur oomycetous (ordo Saprogleniales, Leptomitales, Lagenidiales, dan Peronosporales) serta peranan fisiologis sterol dan isopentanoid terhadap pertumbuhan dan reproduksi (Ness dan Stafford 1983). Sterol-auxotropic fungi dari Pythiaceae membutuhkan sumber eksogen dari senyawa sterol untuk reproduksi seksual (Kerwin dan Duddles 1989). Senyawa steroid pada hewan dapat dijumpai antara lain sebagai hormon kelamin (contohnya androgen dan estrogen, hormon adrenal korteks (contohnya kortikosteron), dan asam empedu (contohnya asam kolat). Steroid pada tanaman tingkat tinggi yang dikenal dengan fitosterol, antara lain terdiri atas sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Pada tanaman tingkat rendah, misalnya ergosterol (terdapat pada ragi dan jamur). Fukosterol adalah senyawa steroid yang terdapat pada tanaman tingkat rendah (alga cokelat), tetapi berhasil juga dideteksi dalam buah kelapa (Harborne 1973). Tarigan (1980) telah mengisolasi dan mengidentifikasi solasodin, suatu steroid alkaloid dari buah Solanum chasianum. Kanchanapoom et al. (2003) juga telah mengisolasi komponen steroid sauroposide dari Sauropus androgynus. Senyawa-senyawa steroid telah banyak dimanfaatkan sebagai obat. Berdasarkan efek farmakologisnya senyawa steroid antara lain terdiri atas: antiradang dan antirheumatoid, yaitu kortison, kortikosteron, hidrokortison, prednison dan triamsinolon; diuretika, antidiuretika dan anestetika lokal, yaitu aldosteron, natrium hidroksidion, dan spironolakton; kontraseptik, yaitu turunan progesteron dan turunan estron.
Fitosterol Fitosterol mencakup sterol tanaman dan stanol tanaman adalah lemak tanaman yang terdapat pada pangan yang berasal dari tanaman. Sterol tanaman secara alami merupakan substansi yang ada dalam pangan, secara prinsip merupakan komponen minor dari minyak tanaman. Stanol tanaman terdapat di alam pada kadar yang lebih rendah yang merupakan senyawa hidrogenasi dari sterol tanaman (Sahelian 2006). Sterol tanaman berperan sama dengan kolesterol pada mamalia, yaitu membentuk struktur membran sel. The Institute of Food Science and Technology (IFST) (2005) menyatakan bahwa sterol tanaman terdiri atas tiga ketegori, yaitu 4desmetilsterol (bukan kelompok metil), 4-monometil sterol (kelompok satu metil), dan 4,4-dimetilsterol (kelompok 2 metil). Sterol tanaman yang umum adalah βsitosterol, kampesterol, dan stigmasterol.
Stanol tanaman termasuk dalam
kelompok 4-desmetilsterol. Stanol tanaman adalah produk hidrogenasi dari sterol tanaman, misalnya kampestanol dari kampesterol dan sitostanol dari sitosterol . Sebagai satu kelompok, sterol, stanol, dan sterolin merupakan lemak tanaman di dalam semua bahan pangan berbasis tanaman. Stanol merupakan bentuk esterifikasi sterol dan sterolin merupakan sterol yang secara kimiawi berikatan dengan glikosida (molekul gula rantai pendek). Glukosida adalah glukosa tanaman yang merupakan salah satu dari beberapa tipe glikosida. Selain dengan glukosida, sterol tanaman dapat berikatan dengan gula glikonutrien yang lain. Sterol tanaman termasuk klasifikasi famili dari steroid, tetapi tidak mempunyai efek negatif seperti yang sering diasosiasikan dengan steroid. Sintesis sterol, terutama metilasi atom C pada C-24 dari rantai samping sterol, merupakan perbedaan biokimiawi yang penting antara sterol hewan dan tumbuhan. Jika sterol utama hewan adalah ∆5 -sterol kolesterol, tumbuhan dan jamur menghasilkan ∆5-sterol yang mempunyai kerangka sama dengan kolesterol, dan telah dimodifikasi dengan penambahan satu atau dua atom karbon pada C-24 dengan α atau β chirality yang disebut fitosterol (Zhou et al. 2004).
Jalur
isopentenoid pada squalen oksida dapat terbagi dalam dua cabang, yang merupakan tahap awal dari pembentukan sterol tanaman. Pembentukan sterol pada fungi dimulai dengan pembentukan lanosterol dan pada tanaman dimulai
dengan pembentukan sikloartenol. Jalur pembentukan fitosterol disajikan dalam skema Gambar 4.
fungi
Squalena oksida tanaman
SMT1
start
24(28)Methylene lanosterol
sikolartenol
lanosterol SMTI Alga
Zymosterol
Fecosterol Isofucosterol
Cycloladenol
Protothecasterol
SMT1 Tanaman vaskular
24(28)-Methylenecycloartenol
24(28)Methylene phenol
citrostadienol
End
Clianosterol
Ergosterol
Campesterol sitosterol
Gambar 4
Jalur biosintesis fitosterol (Zhou et al. 2004)
Burton dan Wells (2002) menyatakan bahwa fitoestrogen, salah satu dari fitosterol, merupakan fitokimia yang ditemukan dalam tanaman dan produk tanaman yang secara struktural dan fungsional sama dengan 17β-estradiol, yaitu isoflavon, atau estrogen sintetik misalnya dietilstilbestrol, yaitu lignan. Fitoestrogen hadir sebagai glikosida dalam pangan dari legum, biji-bijian, kacangkacangan, dan pangan kaya serat, dan juga ada dalam plasma dan urin hewan dan manusia yang mengkonsumsi pangan kaya fitoestrogen. Selanjutnya dinyatakan bahwa metabolisme fitoestrogen yang berkenaan dengan aktivitas biologinya adalah sebagai berikut: menyerupai aksi estrogen endogen, beraksi sebagai estrogen antagonis, mengubah pola sintesis dan metabolisme hormon endogen, dan memodifikasi kadar reseptor hormon.
Beberapa manfaat fitosterol yang telah diteliti adalah sebagai berikut. Fitosterol mempunyai efek estrogenik pada wanita menopouse (Wu et al. 2005), menurunkan kolesterol dan lemak LDL (Low Density Lipoprotein) (Tilvis & Miettinen 1986; Ling & Jones 1995; Nguyen, 1999; Miettinen & Gyllings 1999; Jones, 1999; Jones et al. 2000; Lichtenstein & Deckelbaum 2001; Yang et al. 2004); meningkatkan aktivitas modulasi sistem imun, antiinflamasi dan antipiretik (Gupta et al. 1980; Bouic et al. 1996; Yamada et al. 1997; Bouic et al. 1999; Bouic & Lamprecht 1999; Bouic 2001); sebagai antioksidan (Araghinikham et al. 1996; Maskarinec et al. 1999 dan Wu et al. 2005); digunakan dalam terapi antidiabetes (Undie & Akubue 1986 dan Iwu et al. 1990); sebagai agen preventif kanker (Kenedy 1995), mencegah kanker kolon (Rao & Janezie 1992), menyebabkan apoptosis pada sel kanker (von Holtz et al. 1998 & Moalic et al. 2001). Beberapa teori tentang mekanisme aksi fitosterol sebagai faktor pelindung (protective factor) yang dihimpun IFST (2005) adalah menghambat pembelahan sel, menstimulasi kematian sel tumor, dan memodifikasi beberapa hormon yang esensial bagi pertumbuhan tumor. Biosintesis Kolesterol Kolesterol merupakan sumber untuk sintesis steroid lain, misalnya hormon seks dan asam empedu. Kolesterol yang disintesis dalam tubuh berasal dari dua unit karbon asetil koenzim A yang terbentuk dari asam lemak atau metabolisme karbohidrat melalui piruvat (Bell et al. 1972). Biosintesis kolesterol terdiri atas tiga tahapan (Mathews et al. 2000). 1
Pembentukan mevalonat Tahap ini dimulai dengan kondensasi dua molekul asetil-KoA menjadi asetoasetil-KoA. Asetoasetil-KoA bereaksi dengan ketiga molekul asetilKoA menjadi 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA (HMG-CoA). HMG-KoA reduktase mengkatalisis empat elektron, reduction dari HMG-CoA menjadi mevalonat
Kemudian
NADPH-dependent
Asetoasetil-CoA HMG-CoA sintetase 3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA 2NADPH + 2H+
HMG-CoA reduktase
CoA-SH+ 2 NADP+
Mevalonat
Gambar 5 2
Biosintesis mevalonat
Sintesis squalen dari mevalonat Mevalonat ATP ADP 5-fosfomevalonat ATP ADP 5-pirofosfomevalonat ATP ADP 3-fosfo-5-pirofosfomevalonat CO2 + Pi Isopentenil pirofosfat Dimetilalil pirofosfat
+
Isopentenil pirofoafat PPi
Geranil pirofosfat Isopentenil pirofosfat PPi Farnesil pirofosfat
+
Farnesil pirofosfat FPPS
Presqualen pirofosfat squalen
Gambar 6
Konversi mevalonat menjadi squalen
Mevalonat teraktivasi oleh tiga fosforilasi menjadi isopentenil pirofosfat. Salah satu molekul isopentenil pirofosfat terisomerasi menjadi C5 dimetilalil pirofosfat. Senyawa dimetilalil pirofosfat bereaksi dengan isopentenil pirofosfat membentuk C10 geranil pirofosfat, dan molekul isopentenil pirofosfat yang lain bereaksi dengan C10 geranil pirofosfat membentuk C15 farnesil pirofosfat. Enzim NADPH bergabung dengan dua molekul farnesil pirofosfat membentuk presqualen pirofosfat, kemudian dengan pelepasan pirofosfat dan pengaturan kembali melalui cyclopropyl cation intermediate menghasilkan squalen 3
Siklisasi squalen menjadi lanosterol dan konversi lanosterol menjadi kolesterol Squalen O2 + NADPH+ + H+ H2O + NADP+
Squalen monooksigenase
Squalen 2,3-epoksida
siklase
H+
Lanosterol Banyak reaksi Kolesterol
Gambar 7
Konversi squalen menjadi kolesterol Hormon Steroid
Steroid menyusun sekelompok senyawa organik yang aktif secara biologis, meliputi zat-zat seperti kolesterol, androgen, estrogen, dan progesteron (Turner dan Bagnara, 1976). Hormon steroid disekresikan oleh korteks adrenal, ovarium, dan testis dan disimpan dalam jumlah kecil di tempat produksinya.
Semua
hormon steroid disintesis dari kolesterol. Kolesterol tersedia melalui tiga tapak
jalan, yaitu
1) sintesis asetat secara de novo, 2) mobilisasi tetesan lemak
intraseluler, dan 3) pembebasan low-density lipoprotein (LDL). Kolesterol
Pregnenolon
17OH-Pregnenolon
Dehidroepiandrosteron
Androstendiol
Progesteron
17OH-Progesteron
Androstendion
Testosteron
Dihidrotestosteron
Estron
Estradiol
3α,5α-Androstendiol
Gambar 8 Biosintesis hormon steroid (Sumber: Berne dan Levy 1988)
Selanjutnya, kolesterol bebas ini diubah ke pregnenolon.
Pregnenolon
merupakan prekursor untuk semua hormon steroid. Sekali terbentuk, pregnenolon secara cepat diubah menjadi progesteron oleh kerja enzim yang spesifik yang terdapat di luar membran mitokondria dan retikulum endoplasma dari sel-sel yang mensekresikan hormon setroid. Melalui serangkaian reaksi akhirnya terbentuklah estradiol serta hormon steroid lainnya (Berne dan Levy 1988).
Proses
pembentukan hormon steroid utama terdiri atas tiga bagian, yaitu
sintesis
kolesterol dari asetat, konversi kolesterol menjadi progesteron, dan pembentukan androgen, estrogen, dan kortikoid dari progesteron (Hansel dan McEntee 1977).
Perkembangan Penelitian Katuk pada Ternak Tabel 3
Perkembangan penelitian pengaruh daun katuk pada hewan
No.
Jenis Ternak
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
1
Kucing, anjing, kelinci, marmut, ayam
Daun katuk mengandung senyawa yang dapat mempengaruhi otot polos dan beraksi seperti oksitosin
Djojosoebagio (1965) dalam Suprayogi (2000)
2
Mencit
Ekstrak daun katuk menggunakan aquadest, dan diencerkan 10% diberikan secara intravena, diteteskan, intraperitonial dan secara oral Pemberian ekstrak air daun katuk 10 dan 20% masingmasing sebanyak 0,5 ml
Prajonggo (1983)
3
Tikus
Ekstrak daun katuk dengan aquadest dan diencerkan 10 dan 20% dan diberikan secara oral
4
Kambing
5
Domba
Ekstrak daun katuk dengan air (20%) yang diberikan secara langsung melalui abomasum pada dosis 500 mg/kg BB Pemberian papaverin (0.5% sebanyak 185mg/hari, ekstrak daun katuk dengan alkohol 70% (Sax) sebanyak 1.89 mg/hari, tepung daun katuk (SAp) (diencerkan 18%) sebanyak 7.44 g/hari)
Peningkatan jumlah asini kelenjar susu mencit dewasa yang baru melahirkan pada mencit yang diberi ekstrak katuk dibandingkan dengan kontrol. Daun katuk meningkat- kan produksi susu, dan berasumsi daun katuk mengandung senyawa yang mempengaruhi sintesis susu yang mirip dengan hormon steroid, hormon prolaktin, oksitosin dan prolactin releasing hormone Peningkatan produksi susu 21.03% dan metabolisme glukosa kelenjar mamae 52,66% dibandingkan dengan kontrol.
6
Ayam lokal
Pemberian tepung daun katuk dalam ransum sebanyak 3, 6, dan 9%
7
Ayam broiler
Pemberian tepung daun katuk dalam ransum: 0%, 5%, 10%, dan 15 %
Peningkatan produksi susu pada perlakuan SAp sebanyak 7.75% dan SAx sebanyak 0.89% dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 35, Peningkatan performans pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada perlakuan SAp dibandingkan dengan SAx. Peningkatan produksi telur, kualitas telur, penurunan kolesterol produk unggas dengan pemberian tepung DK dibandingkan dengan kontrol dengan hasil tebaik dicapai perlakuan pemberian tepung daun katuk 9% dalam ransum Pada pemberian tepung daun katuk 15%, kolesterol daging dan hati menurun secara nyata, dan lemak
et
Agil (1991)
Suprayogi (1993)
Suprayogi (2000)
Subekti (2003)
Nasution (2005)
al.
8
Ayam petelur
Pemberian tepung daun katuk dalam ransum 0%, 5%, 10%, dan 15%
daging menurun sampai 28.30% Penambahan tepung DK sebesar 15% dapat meningkatkan kualitas telur, konsentrasi beta karoten dan vitamin A pada telur, karkas dan hati serta meningkatkan estradiol serum, dan mampu menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas
Saragih (2005)
Daun katuk telah menarik minat peneliti untuk mengeksplorasi manfaat dan pengaruhnya pada ternak.
Selain untuk meningkatkan produksi susu pada
mamalia, ternyata daun katuk dapat meningkatkan kualitas karkas dan telur pada unggas.
Rangkuman penelitian-penelitian penggunaan daun katuk dan
pengaruhnya pada hewan/ternak disajikan pada Tabel 3.
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung antara bulan September 2005 sampai dengan bulan September 2006 yang terdiri atas tiga tahapan. •
Tahap pertama adalah persiapan ekstrak dan pengujian ekstrak daun katuk dengan GCMS yang dilakukan pada bulan September – Oktober 2005.
•
Tahap Kedua adalah percobaan ekstrak daun katuk dan tepung daun katuk dalam ransum burung puyuh dilakukan dari bulan November 2005 sampai dengan bulan Mei 2006 di Kandang Percobaan Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
•
Tahap ketiga adalah analisis sampel yang meliputi hormon, kolesterol, dan vitamin pada bulan Juni – September 2006. Materi
Hewan Coba Penelitian ini menggunakan burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) betina umur dua minggu sebanyak 150 ekor dari peternakan Golden Quail Sukabumi. Puyuh-puyuh tersebut ditempatkan dalam kandang baterei dan dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan ransum dengan lima ulangan dan 10 satuan percobaan, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap.
Puyuh betina
dikawinkan dengan puyuh jantan secara alami pada umur 21 – 24 minggu dengan sex ratio 1:1. Ransum Ransum yang diberikan terdiri atas ransum basal, dengan tiga macam ransum, yaitu ransum kontrol (Kontrol), ransum yang ditambahkan tepung ekstrak daun katuk yang setara dengan kandungan senyawa sterol dalam daun katuk 9% (TEK), dan ransum yang diberi suplementasi tepung daun katuk 9% (TDK). Ransum-ransum tersebut adalah isokalori dan isonitrogen.
Tabel 4 Ransum penelitian Bahan Dedak padi Bungkil kedelai Bungkil kelapa Tepung ekstrak daun katuk Tepung daun katuk Tepung ikan CPO Tepung tapioka CaCO3 Premix mineral dan vitamin** Jumlah * **
Komposisi (%) Kontrol TEK
TDK
25 15 15 0 0 17 10 15 2 1
25 15 11 9 0 17 10 10 2 1
25 15 10 0 9 15 10 13 2 1
100
100
100
Kontrol: bungkil kelapa 12%, bungkil kedelai 18%; EDK: bungkil kelapa 8%, bungkil kedelai 13%, ekstrak daun katuk + amilum 9%; TDK: bungkil kelapa 10%, bungkil kedelai 11%, tepung daun katuk 9%. Komposisi vitamin dan mineral setiap kg mengandung: Vitamin A = 4 000 000 IU; D3 = 800 000 IU; E = 4 500 mg; K3 = 450 mg; B1 = 450 mg; B2 = 1 350 mg; B6 = 480 mg; B12 = 6 mg; Ca-d Pantotenat = 2 400 mg; Asam Folat = 270 mg; Asam Nikotinat = 7 200 mg; choline chloride = 28 000 mg; DL-Methionine = 28 000 mg; L-Lysine = 50 000 mg; Mineral : Fe = 8 500 mg; Cu = 700 mg; Mn = 18 500 mg; Zn = 14 000 mg; Co = 50 mg; I = 70 mg; Se = 35 mg. (Seperti tercantum dalam label kemasan)
Tabel 5 Komposisi nutrien ransum Kandungan Nutrisi Kadar air (%)* Protein (%)* Lemak (%)* Serat kasar (%)* Ca (%)* P (%)* EM (kkal/kg)* Kolesterol (%)** Vitamin A(IU/100g)*** Vitamin E(mg/100g)*** Vitamin C (mg/100g)*** * ** ***
Kontrol 13.09 21.89 9.49 5.71 2.09 1.15 2776 65.12 1195 0.26 14.93
Ransum TEK 12.75 21.82 9.09 5.61 2.40 1.20 2757 66.36 1209 0.90 58.32
TDK 13.79 22.14 10.13 5.95 1.93 1.17 2881 65.13 2335 2.36 67.42
Berdasarkan hasil analisis Laboratorim INTP, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Berdasarkan hasil analisis penelitian di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, FKH, IPB Berdasarkan hasil analisis penelitian di Laboratorium Balai Besar Industri Agro, Bogor
Sebelum perlakuan dilakukan, status hormon reproduksi (progesteron dan estradiol) dalam darah hewan percobaan dianalisis sebagai data based line. Prosedur Penelitian Tepung daun katuk diperoleh dari petani katuk di daerah Subang Jawa Barat,
daun katuk segar dikeringkan dengan sinar matahari dan digiling hingga menjadi tepung. Ekstrak katuk dibuat dari tepung katuk yang diekstrak dengan etanol 70% dan pengisi amilum, yang dilakukan di PT Phytochemindo Reksa, Gunung Putri Bogor. Proses pembuatan tepung ekstrak katuk disajikan dalam bagan berikut ini. Katuk kering Penggilingan Ekstraksi dengan etanol 70%
Analisis GCMS
Komponen aktif
Pengeringan (50-60ºC) Granulasi
Amilum
Pengeringan Tepung ekstrak katuk Analisis proksimat tepung ekstrak katuk Gambar 9 Bagan persiapan tepung ekstrak katuk Selanjutnya untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun katuk, dilakukan screening dengan menggunakan alat GCMS (Gas Chromatography-Mass Spectrometric) di Laboratorium Kesehatan Daerah DKI
Jakarta.
Kandungan senyawa-senyawa aktif ekstrak kasar dianalisis dengan
menggunakan GCMS (Agilent technology 6890 Gas Chromatograph with Auto Sampler and 5973 Mass Selective Detector and Chemstation data system; mode ionisasi: electron impact; energi elektron: 70 eV, Kolom: HP Ultra 2. Capilarry coloumn panjang 17 x 0.2 mm I.D x 0.33 (µm) film thickness; gas pembawa: helium; model kolom: aliran konstan, laju kolom: 0.9µl/menit; data metode: BAHALAM; database: Wiley 275. L). Burung puyuh mulai diberi perlakuan pakan pada umur 2 minggu dan ditempatkan pada kandang baterei secara individual. Kemudian, setelah mendapatkan perlakuan, setiap satu minggu diambil sampel sebanyak lima ekor dari masing-masing perlakuan untuk melihat perkembangan organ reproduksinya, yaitu pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu.
Pengukuran berat badan
puyuh dilakukan setiap satu minggu, dan pengukuran kualitas telur dilakukan secara reguler selama penelitian. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk analisis hormon progesteron, hormon estradiol, kadar kolesterol, kadar vitamin A, kadar vitamin E, dan kadar vitamin C. Untuk pengujian daya tetas dan fertilitas puyuh dilakukan perkawinan secara alami dengan sex ratio 1 : 1 pada umur 21 – 24 minggu. Tahapan-tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 10
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Umur puyuh penelitian (Minggu)
Gambar 10 Prosedur penelitian pada pengujian TDK dan EDK dalam ransum Keterangan: Pengukuran panjang saluran reproduksi dan analisis hormon reproduksi serum Pengukuran berat badan (sampai dewasa kelamin) Pengukuran kualitas telur Pencatatan produksi telur dan pengukuran berat telur Perkawinan (pengujian fertilitas dan daya tetas) Pengambilan sampel organ, telur, dan serum untuk analisis kolesterol dan vitamin
Pengamatan yang Dilakukan Pada Induk. Pengamatan yang dilakukan pada induk meliputi bobot badan, konsumsi ransum, produksi telur, kualitas telur, dewasa kelamin, fertilitas, dan daya tetas (hatchability). 1 Pengukuran bobot badan: Pengukuran bobot badan dilakukan pada umur dua, tiga, empat, dan lima minggu, serta bobot puyuh betina pada saat dewasa kelamin. Penimbangan bobot badan dilakukan pada setiap individu. 2 Panjang saluran reproduksi Panjang saluran reproduksi yang diukur adalah saluran reproduksi betina (dari infundibulum sampai vagina).
Pengukuran dilakukan setelah ternak
dimatikan, dan saluran reproduksi dikeluarkan untuk diukur panjangnya. Pengukuran saluran reproduksi dilakukan pada umur dua, tiga, empat, dan lima minggu
Gambar 11. Saluran reproduksi unggas 3 Produksi telur Produksi telur terdiri atas jumlah telur, yang diperoleh dari penjumlahan telur yang dihasilkan tiap individu sampai umur 27 minggu (Hen day), massa telur
diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah telur dengan rataan bobot telur tiap individu sampai umur 27 minggu. 4 Kualitas telur Kualitas telur terdiri atas Haugh Unit, indeks warna kuning telur dengan menggunakan “Roche yolk colour fan”, bobot cangkang telur, bobot putih telur, dan bobot kuning telur. 5 Umur pertama kali bertelur Umur pertama kali bertelur dihitung berdasarkan lama (hari) dari menetas sampai puyuh betina bertelur yang pertama kali. 6 Fertilitas Fertilitas dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang fertil dari jumlah semua telur. F = ∑ telur fertil
x 100%
∑ telur 7 Daya tetas (Hatchability) Daya tetas dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil. H = ∑ telur menetas
x 100%
∑ telur fertil Pada Anak.
Pengamatan yang dilakukan pada anak hasil perkawinan
puyuh penelitian ini terdiri atas pengukuran bobot badan dan tingkat mortalitas atau viabilitas. Bobot badan, bobot tetas diperoleh dari penimbangan bobot puyuh setelah menetas (umur satu hari), kemudian dilanjutkan dengan penimbangan bobot badan seminggu sekali sampai umur 4 minggu. Tingkat mortalitas diperoleh dari persentase dari jumlah anak yang menetas dan mati dibagi anak yang menetas dan hidup selama kurun waktu tertentu (4 minggu).
Analisis Hormon Analisis hormon estradiol dan progesteron dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, sedangkan pembacaan radioaktivitas sampel dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Estradiol Konsentrasi estardiol dalam serum diukur dengan radioimmunoassay (RIA) teknik fase padat dengan menggunakan kit estradiol coat-a-count yang berisi estradiol berlabel
125
I, seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G, berturut-turut
berisi estradiol dengan konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml yang diperoleh dari Diagnostic Products Corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 μl. Untuk melihat adanya variasi hasil dengan pemekatan sampel terhadap konsentrasi hormon, dilakukan pengujian dengan menggunakan volume sampel 100, 200, dan 300 μl. Tabung untuk Nonspecific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi tanda dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 14 tabung diberi tanda masingmasing A (MB), B, C, D, E, F, dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet, dipipet 100 μl larutan standar konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml,
dan dimasukkan hingga ke dasar tabung NSB. Pada tabung NSB
dimasukkan juga 100 μl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 300 μl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml estradiol berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan suhu kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan automatic gamma counter selama 1 menit. Pencacahan dilakukan di Laboratorium bagian radioisotop BPT Ciawi. Persen radioaktivitas yang terikat dihitung dengan membagi Count Per Minute (CPM) sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi liniear dan persen radioaktivitas yang terikat digunakan sebagai Y dan log konsentrasi standar sebagai X. Konsentrasi estradiol sampel dihitung dengan memasukkan nilai persen radioaktivitas terikat sampel ke persamaan kurva standar.
Progesteron Konsentrasi progesteron dalam serum diukur dengan radioimmunoassay (RIA) teknik fase padat dengan menggunakan kit progesteron coat-a-count yang berisi progesteron berlabel
125
I, seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G,
berturut-turut berisi progesteron dengan konsentrasi 0, 0.1, 0.5, 2, 10, 20, dan 40 ng/ml yang diperoleh dari Diagnostic Products Corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 μl. Supaya konsentrasi sampel dapat masuk dalam kisaran standar yang direkomendasikan pembuat kit, maka sampel diencerkan sampai 10 kali. Tabung untuk Nonspecific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 14 tabung diberi label masing-masing A (MB), B, C, D, E, F, dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 μl, larutan standar konsentrasi 0, 0.1, 0.5, 2, 10, 20, dan 40 ng/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 μl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 10 μl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml progesteron berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan automatic gamma counter selama 1 menit. Prosedur selanjutnya sama seperti yang dijelaskan untuk estradiol. Analisis Kolesterol Analisis
kolesterol
dilakukan
di
Laboratorium
Fisiologi,
Fakultas
Kedokteran Hewan, IPB. Kadar kolesterol yang diukur adalah kadar kolesterol pakan, serum darah, karkas, hati, dan telur. Cara kerjanya adalah sebagai berikut. Pertama-tama mempersiapkan ekstraksi semua sampel kecuali serum darah. Sebanyak ± 0.5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi 15 ml. Kemudian ditambahkan 8 ml dietil eter, diaduk dan didiamkan selama 24 – 48 jam pada suhu kamar.
Setelah itu ditambahkan 2 ml Phosphate Buffer Saline pH 7.0 dan
disentrifus dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit. Supernatan dituang ke dalam eppendorf dan siap untuk diukur kadar kolesterol dengan menggunakan kit
cholesterol liquicolor (CHOD-PAP-Method) dari HUMAN, yaitu dengan memipet sampel/standar sebanyak 10 μl ke dalam kuvet. Selanjutnya ditambahkan reagen enzim sebanyak 1000 μl dan dikocok. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit, setelah itu absorbansi sampel/standar diukur terhadap reagen blanko dengan panjang gelombang 500 nm. Spektrofotometer yang digunakan merk Hitachi model U – 2001 UV/Vis spectrofotometre, lampu: Tungsten iodide, detektor : Silicon photodiode. Analisis Kadar Vitamin A. Analisis kandungan vitamin A, vitamin E, dan vitamin C dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Pascapanen, Cimanggu Bogor. Kandungan vitamin A dalam ransum, telur, dan serum ditentukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan metode modifikasi dari AOAC (1990). Kondisi alat HPLC adalah menggunakan kolom C-18, fase gerak metanol 96%, laju fase gerak 1.0 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 340 nm. Tahap pertama adalah mempersiapkan reagen A dengan menimbang 90 g KOH yang dilarutkan dengan aquabides secukupnya dan didinginkan. Asam askorbat ditimbang sebanyak 7.5 g dan dilarutkan dengan aquabides secukupnya. Kemudian mencampurkan kedua larutan tersebut dan diencerkan sampai 250 ml dengan aquabides dan disimpan dalam tabung gelap. Tahap kedua adalah mempersiapkan larutan standar, yaitu dengan menimbang 25 mg vitamin A dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditambahkan 25 ml etanol dan diultrasonik sampai larut. Selanjutnya aquabides (konsentrasi 500 ppm) ditambahkan hingga batas 50 ml dan dikocok (larutan ini disebut larutan standar induk). Larutan induk ini kemudian dipipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu ukur 25 ml dan dilarutkan dalam asetonitril (larutan ini disebut larutan kerja dengan konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm) dan dikocok dengan ultrasonik selama 40 menit.
Selanjutnya larutan tersebut
ditambahkan dengan asetonitril hingga batas 25 ml dan dilewatkan ke dalam kolom berisi glass wooll dan Al2O3, dan filtrat siap diinjeksikan ke sistem HPLC.
Tahap ketiga adalah mempersiapkan larutan sampel, yaitu dengan menimbang 0.5 g sampel dan ditambahkan dengan 2.5 ml etanol ke dalam tabung 5 ml, diultrasonik sampai larut. Kemudian 1.5 ml reagen A ditambahkan dan diaduk sampai homogen lalu dibilas dengan sedikit aquades kemudian ditutup dengan parafilm dan disimpan dalam ruang gelap selama semalam. Selanjutnya, campuran ini dilarutkan dengan aquabidest dan dikocok, lalu disaring dengan kertas whatman no 41. Selanjutnya sebanyak 0.5 ml filtrat dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung 2.5 ml untuk diencerkan dengan asetonitril. Selanjutnya dilakukan pengocokan dengan ultrasonic bath selama 40 menit. Larutan blanko dipersiapkan seperti larutan sampel di atas. Selanjutnya larutan dilewatkan ke dalam kolom berisi glass wooll dan Al2O3. Filtrat siap diinjeksikan ke dalam HPLC dengan UV detector panjang gelombang 340 nm, kolom C-18, fase gerak metanol 96%, dan laju fase gerak 1 ml/menit. Perhitungan : Kadar vitamin A:
luas area sampel X 0.05 ppm X FP X 100
(ppm)
luas area standar
0.5
Keterangan: 0.05 ppm:
Konsentrasi standar
FP:
faktor pengencer (10 x)
100:
volume akhir (ml)
0.5:
volume sampel yang diinjeksikan (ml) Analisis Kadar Vitamin C. Sampel pakan, kuning telur, dan serum dipersiapkan, yaitu dengan
menimbang 0.5 g sampel dan diekstrak dengan 10 ml aquabidest yang pH-nya dipertahankan 2.2 dengan H2SO4. Campuran tersebut dikocok selama 30 menit dengan suhu 4ºC, disaring dengan kertas saring whatman no. 40, dan disentrifus selama 20 menit dengan kecepatan 4000 rpm dengan suhu 4ºC. Supernatan diambil dan dipekatkan dengan kering beku sampai dengan 1 ml dan disaring dengan saringan milipore ukuran 0.5 μm dan siap diinjeksikan ke HPLC. Larutan standar, yaitu asam askorbat dengan konsentrasi 50 ppm dilarutkan dengan fase
gerak, disaring dan siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC adalah kolom C-18, fase gerak aquabidest dengan pH 2.2 dengan H2SO4, laju fase gerak 1 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm. Perhitungan: Kadar vitamin C:
Luas area sampel X 50 ppm X 10 Luas area contoh
0.5
Keterangan: 50 ppm:
konsentrasi standar
10:
volume akhir (ml)
0.5:
volume sampel yang diinjeksikan (ml) Analisis Kadar Vitamin E. Sampel disiapkan dengan menimbang 0.5 g sampel dan dimasukkan ke
dalam labu ukur 20 ml dan ditambahkan enzim makatase 40 mg dan 2 ml amonia 0.02%. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam ultrasonik selama 20 menit pada suhu 65ºC. Lalu campuran tersebut didinginkan pada suhu ruang dan ditambahkan etanol 10 ml dan dimasukkan kembali dalam ultrasonik selama 10 menit. Kemudian larutan ditambahkan etanol hingga volumenya menjadi 20 ml, dan dikocok kembali. Selanjutnya larutan disentrifus dan 5 ml supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml. Larutan siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC adalah kolom C-18, fase gerak metanol 98%, laju fase gerak 1.2 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm. Perhitungan: Kadar Vitamin E:
Luas area sampel X 25 ppm X 10 Luas area standar
0.5
Keterangan: 25 ppm:
Konsentrasi standar
10:
volume akhir (ml)
0.5:
volume sampel yang diinjeksikan (ml)
Analisis Bilangan Asam Thiobarbiturat Prinsipnya adalah 2-asam thiobarbiturat bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, intensitas warna merah yang terbentuk dapat diukur pada spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm. Malonaldehid merupakan hasil oksidasi lipid. Prosedur kerjanya adalah dengan menimbang sampel sebanyak 10 g dan dimasukkan ke waring blender. Selanjutnya sampel tersebut ditambah dengan 50 ml aquades dan dihancurkan selama dua menit. Sampel tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Selanjutnya campuran tersebut ditambahkan 2.5 ml HCl 4 M untuk dibuat menjadi pH 1.5. Setelah itu menambahkan batu didih dan pencegah buih (antifoaming agent) dan memasang labu destilasi ke dalam alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata dan dipipet 5 ml ke dalam tabung reaksi tertutup, dan ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Selanjutnya membuat blanko, yaitu 5 ml aquadest dan 5 ml pereaksi, dan diperlakukan seperti penetapan sampel. Pendinginan tabung reaksi dengan air dingin selama 10 menit, kemudian mengukur absorbansinya (D) dengan larutan blanko sebagai titik nol. Perhitungan bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA =
7.8 X D
7.8 =
Konstanta
D=
Absorbansi sampel Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) menurut Steel dan Torrie (1991) dengan tiga perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak lima kali dan setiap ulangan terdiri atas dua puluh satuan percobaan. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dengan menggunakan soft ware Minitab. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Tukey. Dalam metode analisis ini digunakan model matematika sebagai berikut:
Yij
= μ + αi + εij
(i = 1, 2, 3; j = 1, 2, 3, 4, dan 5) μ
= rataan umum hasil percobaan
αi
= pengaruh perlakuan ke i
εij
= pengaruh faktor random
HASIL DAN PEMBAHASAN Fitosterol dalam Daun Katuk Dari ekstraksi tepung daun katuk kering (TDK) menggunakan etanol 70% diperoleh ekstrak kasar sebanyak 28.9 g/100 g daun katuk kering. Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak kasar tersebut diuji dengan GCMS dan hampir seluruh senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai asam lemak, vitamin, klorofil, dan fitosterol yang disajikan pada Tabel 6, berdasarkan data hasil GCMS dengan database Wiley 275. L. Tabel 6 Senyawa-senyawa dalam ekstrak daun katuk dengan etanol 70% No.
Golongan
Nama Senyawa
% peak area
Komposisi* (%)
1
Asam lemak
C20H34O2
9,12,15- asam oktadekatrienoat etil ester
32.40
9.36
2
Asam lemak
C16H32O2
heksadekanoat/asam palmitat
18.35
5.30
3
Klorofil
C20H40O
PHYTOL
17.02
4.92
4
Asam lemak
C21H36O2
11,14,17- asam eikosatrienoat metil ester
12.81
3.70
5
Vitamin
C28H48O2
Tokoferol (Vitamin E)
4.16
1.20
6
Stigmasterol
C29H48O
Stigmasta-5,22-dien-3β-ol
3.81
1.10
7
Asam lemak
C16H26O2
Asam tetradekanoat etil ester
2.40
0.69
8
Sitosterol
C29H50O
Stigmasta-5-en-3β-ol
2.38
0.69
9
Fukosterol
C29H48O
Stigmasta-5,24-dien-3β-ol
2.21
0.64
10
Asam lemak
C18H36O2
Asam oktadekanoat
1.34
0.39
27.98 * Keterangan: Komposisi senyawa yang larut dalam ekstrak etanol 70% per 100 g daun katuk kering (% peak area x 28.9%)
Kandungan fitosterol dari daun katuk yang didapat dengan mengekstrak tepung katuk dengan etanol 70% adalah 2.43% (2.43 g/100 g) atau 2433.4 mg/100 gram kering.
Designed for Health (2006) dalam ulasannya memaparkan
kandungan fitosterol dari beberapa bahan pangan terseleksi, yaitu kacangkacangan, sayuran, minyak sayuran, buah-buahan, dan sebagainya (Lampiran 3), berdasarkan data tersebut ternyata kandungan fitosterol tepung daun katuk lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan tersebut. Hal ini kemungkinan karena
dalam penelitian ini digunakan daun katuk kering, sedangkan pada ulasan Designed for Health (2006) digunakan bahan pangan segar. Kandungan fitosterol tersebut di atas bila dikonversikan dalam daun katuk segar dengan asumsi kadar air 78.2% adalah 466 mg/100 g, ternyata juga lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lain (Lampiran 3). Dapat disimpulkan bahwa daun katuk dapat menjadi sumber fitosterol. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu tentang kandungan vitamin E dan beta karoten (vitamin larut dalam lemak) dalam daun katuk paling tinggi dibanding sayuran lain di Indonesia (Hulshoff et al. 1997 & Ching dan Mohamed 2001). Konsumsi dan Konversi Ransum Tabel 7 menunjukkan konsumsi dan konversi ransum selama penelitian (25 minggu) tidak berbeda nyata. Pemberian tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk tidak memberikan pengaruh yang nyata pada konsumsi ransum, konversi ransum, dan pada total berat telur. Tabel 7 Konsumsi dan konversi ransum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama penelitian (25 minggu) Perlakuan Kontrol TEK TDK
Konsumsi Ransum (g) 4689.3±329.1 a 4714.9±276.2 a 4835.3±249.1 a
Berat Telur (g)
Konversi Ransum (g)
815.1±120.6 a 5.87±1.10 a 857.5±120.8 a 5.56±0.61 a 915.8±105.7 a????????±
??????a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Rataan konsumsi ransum selama penelitian berkisar 4689.3-4835.3 g per ekor atau 26.80-27.63 g/ekor/hari. Konsumsi ransum pada tiap perlakuan tidak berbeda secara signifikan karena masing-masing ransum mengandung kadar protein dan energi yang hampir sama (isonitrogen dan isokalori) dan sesuai dengan kebutuhan puyuh petelur, yaitu energi 2800 kkal/kg dan protein 21% (NRC 1994).
Pada penelitian sebelumnya (Subekti 2003) dilaporkan bahwa penggunaan tepung daun katuk
dalam ransum ayam mempengaruhi konsumsi ransum.
Perbedaan ini kemungkinan karena adanya perbedaan warna ransum yang mempengaruhi konsumsi ayam, tetapi ternyata tidak demikian halnya pada puyuh. Tidak adanya perbedaan energi dan protein yang signifikan, serta bentuk ransum yang semuanya berupa butiran (lebih disukai burung) adalah hal yang mempengaruhi konsumsi ransum dalam penelitian ini. Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk tidak mempengaruhi konversi ransum, hal ini karena tidak adanya perbedaan kandungan nutrisi ransum (makronutrien) sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan produksi telur. Namun demikian, konversi ransum pada kelompok puyuh yang diberi tepung daun katuk lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi ekstrak daun katuk dan kontrol. Dengan kata lain, puyuh yang diberi tepung daun katuk lebih efisien, hal ini mendukung penelitian terdahulu (Subekti 2003) bahwa penggunaan TDK 9% dapat meningkatkan efisiensi ransum. Rataan konversi ransum penelitian adalah 5.87-5.36 yang artinya untuk membentuk satu gram telur puyuh diperlukan ransum sebanyak 5.87-5.36 gram ransum. Saluran Reproduksi Berat badan dan panjang saluran reproduksi puyuh selama masa perkembangan disajikan dalam Gambar 12.
Berat badan puyuh yang diberi
tepung daun katuk dan tepung ekstrak daun katuk pada umur 4 minggu berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan berat badan puyuh yang diberi TDK pada umur 5 minggu secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh yang diberi TEK dan kontrol. Saluran reproduksi puyuh yang diberi TDK dan TEK umur 3 minggu tidak berbeda secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Saluran reproduksi puyuh yang diberi tepung daun katuk pada umur 4 minggu (p<0.05) dan 5 minggu (p<0.01) lebih panjang dibandingkan dengan yang diberi tepung ekstrak katuk dan kontrol. Panjang saluran reproduksi puyuh pada umur lima minggu menunjukkan bahwa pertumbuhan organ reproduksi puyuh yang diberi ransum TDK meningkat
dengan cepat, dan gagasan ini dikonfirmasikan dengan data umur dewasa kelamin puyuh yang diberi ransum TDK yang lebih awal dan hormon estradiol yang lebih tinggi.
Saluran reproduksi (oviduct) juga dibawah kontrol hormon.
Sekresi
estrogen dari folikel ovarium bertanggung jawab atas pembesaran oviduct sampai dengan ukuran fungsionalnya (Moreng dan Avens 1985). Gambar 15 secara jelas menunjukkan perbedaan umur pada permulaan bertelur dan produksi telur antara kelompok yang diberi TDK dan kontrol serta yang diberi ransum TEK. Secara lebih jelas data tentang panjang saluran reproduksi dan berat badan puyuh umur 2, 3, 4, dan 5 minggu disajikan dalam Tabel 8.
A
Bobot badan (g/ekor)
120 100
Kontrol
80
TEK
60
TDK
40 20 2
3
4
5
Umur (minggu)
14
B
Panjang SR (cm)
12 10
Kontrol
8
TEK
6
TDK
4 2 0 2
Gambar 12
3 4 Umur (minggu)
5
Bobot badan puyuh (A) dan panjang saluran reproduksi (B) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Tabel 8
Bobot badan dan saluran reproduksi puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu
2
Bobot badan (g) pada umur (minggu) 3 4
43.95 43.95 43.95
72.84±2.82a 80.92±5.56a 102.76±5.38 a 78.20±5.63a 88.26±6.38b 105.62±3.76 a 77.22±2.83a 91.06±3.54b 114.52±3.47 b
Perlakuan Kontrol TEK TDK
5
Panjang saluran reproduksi (cm) pada umur (minggu) 2 3 4 5 3.48 3.48 3.48
3.49±0.66 a 4.13±0.12 a 8.16±1.46 a 3.85±0.67 a 4.26±0.42 a 8.25±3.50 a 4.13±0.10 a 4.71±0.17 b 13.04±0.96 b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Hormon Progesteron dan Estradiol dalam Serum Pada Tabel 6 telah dipaparkan bahwa daun katuk mengandung fitosterol, yaitu senyawa tumbuhan yang mempunyai aktivitas estrogenik dan atau antiestrogenik. Fitosterol dalam daun katuk baik dalam bentuk ekstrak dan tepung juga telah menurunkan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati pada puyuh (Tabel 13). Namun, terjadi juga percepatan masa dewasa kelamin dan peningkatan perkembangan saluran reproduksi pada puyuh yang mengkonsumsi daun katuk (Tabel 8 dan 11). Efek estrogenik daun katuk pada hormon steroid puyuh disajikan pada Tabel 9, Tabel 10, Gambar 13, dan 14. Konsentrasi progesteron serum puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 4 sampai dengan 5 minggu penurunannya sangat nyata dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol (p<0.01).
Konsentrasi progesteron serum puyuh yang
diberi ransum TEK juga menunjukkan penurunan dibandingkan dengan kontrol pada umur 3 sampai dengan 5 minggu meskipun tidak nyata. Pada saat yang sama konsentrasi estradiol serum puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 3 sampai dengan 5 minggu secara nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan serum puyuh kontrol. Estradiol serum puyuh yang diberi ransum TEK pada umur 3 minggu secara nyata (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan serum puyuh kontrol, tetapi pada umur 4 dan 5 minggu tidak terjadi perbedaan yang signifikan walaupun konsentrasinya lebih tinggi.
0,35 0.35
Progesteron (ng/ml)
0.30,3 0,25 0.25
0.20,2
Kontrol
0,15 0.15
TDK
TEK
0.10,1 0,05 0.05 0 2
3
4
5
Umur (Minggu)
Gambar 13 Kandungan progesteron dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan
40
Estradiol (pg/ml)
35 30 25
Kontrol
20
TEK
15
TDK
10 5 0 2
3
4
5
Umur (Minggu)
Gambar 14 Kandungan estradiol dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan
Tabel 9
Kandungan progesteron dalam serum puyuh (ng/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)
Perlakuan Kontrol TEK TDK
2** 0.301 ± 0.05 0.301 ± 0.05 0.301 ± 0.05
Umur (minggu) 3 4 0.274 ± 0.17 a 0.258 ± 0.05 A 0.216 ± 0.06 a 0.142 ± 0.02 AB 0.197 ± 0.07 a 0.094 ± 0.09 B
5 0.156 ± 0.02 A 0.138 ± 0.03 A 0.072 ± 0.01 B
*
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%. ** Base line data
Tabel 10 Kandungan estradiol dalam serum puyuh (pg/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu) Perlakuan Kontrol TEK TDK
2** 15.888 ± 5.16 15.888 ± 5.16 15.888 ± 5.16
Umur (Minggu) 3 4 18.800 ± 4.39 a 21.758 ± 2.66 a 27.923 ± 7.02 b 26.830 ± 6.44 ab 28.944 ± 5.83 b 31.053 ± 5.63 b
5 27.193 ± 5.31 a 32.347 ± 4.02 ab 37.153 ± 5.99 b
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. ** Base line data *
Hormon steroid dalam serum ternyata dipengaruhi oleh penggunaan daun katuk dalam ransum baik dalam bentuk tepung maupun ekstrak. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya pengaruh dari kandungan fitosterol dalam daun katuk. Sebelum ini Wu et al. (2005) telah meneliti konsumsi Yam (Dioscorea) yang merupakan sumber fitosterol dan hasilnya meningkatkan konsentrasi hormon estradiol (27%), hormon estron (26%) dan sex hormon binding globulin (9.5%) dan juga meningkatkan status antioksidan pada wanita menopouse, meskipun mekanisme secara pasti belum jelas. Peningkatan status hormon estradiol dan penurunan hormon progesteron dalam serum puyuh yang diberi ransum TDK didukung dengan data hasil pengukuran saluran reproduksi (Tabel 8). Perkembangan saluran reproduksi pada TDK lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan yang lain dan masa dewasa kelamin yang lebih awal (Tabel 11). Perkembangan saluran reproduksi didahului dengan penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan konsentrasi estradiol
dalam serum. Pada saat mulai periode bertelur, konsentrasi progesteron serum meningkat dan konsentrasi estradiol serum konstan (Pageaux et al. 1984). Status estradiol pada perlakuan TEK juga cenderung meningkat walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan TDK. Hal tersebut juga tercermin dalam perkembangan saluran reproduksi dan masa dewasa kelamin yang lebih lambat dibandingkan dengan puyuh yang diberi ransum TDK.
Status hormon dan
perkembangan saluran reproduksi pada puyuh yang diberi ransum TEK cenderung lebih baik dibandingkan dengan kontrol, yang membuktikan bahwa fitosterol dalam daun katuk berpengaruh pada peningkatan status hormon steroid, atau mempunyai efek estrogenik. Umur Dewasa Kelamin dan Produksi Telur Puyuh yang diberi ransum TDK bertelur lebih awal daripada kelompok puyuh yang diberi TEK dan kontrol. Puyuh yang diberi TDK mulai bertelur pada umur 40 hari dan setengah dari seluruh jumlah puyuh tersebut bertelur pertama kali pada umur 46 hari. Setengah dari seluruh jumlah puyuh kontrol dan yang diberi TEK bertelur pertama kali pada umur 53 dan 52. Jika jumlah puyuh yang bertelur pertama kali dibandingkan, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara TDK dan TEK pada umur 46 hari (p<0.01) dan 52 hari (p<0.01) dan antara puyuh yang diberi TDK dan kontrol pada umur 46 hari (p<0.01) dan 53 hari (p<0.01) hari (Gambar 15). Tabel 11 Umur dewasa kelamin dan produksi telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Perlakuan
Pada Saat Pertama Kali Bertelur Umur (hari)** BB (g)*
Bobot Telur(g)* Telur Pertama
Total/ekor***
Produksi Telur Henday (%)
Kontrol 53A 121.8±3.42 a 7.30±0.51 a 815.1±120.6 a 61.03 ± 7.12 a TEK 52A 120.2±1.92 a 7.81±0.45 a 857.5±120.8 a 61.68 ± 5.93 a TDK 46B 121.0±2.55 a 7.92±0.71 a 915.8±105.7 a 63.71 ± 5.25a * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1% ** Umur pada saat setengah dari seluruh jumlah puyuh per perlakuan bertelur. *** Bobot telur total per ekor puyuh selama penelitian (sampai umur 27 minggu)
Produksi telur hen day (%)
90 80 70 60 50 40
Kontrol
30
TEK
20
TDK
10 0 6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 23 24 25 26 27 Umur (Minggu)
Gambar 15
Produksi telur puyuh umur 6-27 minggu
Umur dan rataan bobot badan pada saat pertama kali bertelur dan produksi telur selama periode penelitian disajikan dalam Tabel 11. Umur ketika 50% dari semua puyuh yang diberi TDK bertelur adalah 46 hari dibandingkan dengan kontrol, yaitu 53 hari dan yang diberi TEK adalah 52 hari. Bobot badan puyuh pada saat pertama bertelur berkisar 121-120 g pada semua kelompok perlakuan. Hal tersebut memperkuat hasil penelitian Fu et al. (2000) bahwa bobot badan puyuh ketika bertelur pertama kali sekitar 119-125 g. Rataan bobot badan puyuh antarperlakuan pada saat pertama kali bertelur tidak berbeda nyata. Produksi telur secara henday (%) dan massa telur (bobot telur total) selama penelitian dari ketiga kelompok puyuh tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Kualitas Telur Kualitas telur yang diukur terdiri atas bobot telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot cangkang telur, Haugh Unit (HU), dan warna kuning telur yang tersaji dalam Tabel 12. Puyuh yang diberi tepung daun katuk dalam ransumnya menghasilkan telur yang lebih berat (9.8 g) dibandingkan dengan kontrol (9.2 g) (p<0.01), namun tidak berbeda dengan yang diberi TEK. Puyuh yang diberi ransum TDK juga menghasilkan putih telur yang lebih berat (p<0.01)
dibandingkan dengan kontrol dan yang diberi TEK. Penggunaan TDK dan TEK dalam ransum tidak mempengaruhi bobot kuning telur. Tabel 12 Kualitas telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Perlakuan Kontrol TEK TDK
*
Bobot telur* (g) 9.2±0.94A 9.7±0.75B 9.9±0.53B
Tebal cangkang (mm)
Bobot cangkang* (g)
0.19±0.01 a 0.97±0.20a 0.19±0.02 a 0.98±0.20a 0.20±0.01 a 1.05±0.15a
Bobot putih telur* (g)
Bobot kuning telur* (g)
Haugh Unit*
Warna Kuning telur
5.28±0.58 A 5.58±0.60 AB 5.79±0.67 B
2.97±0.35a 3.08±0.38a 3.05±0.34a
80.85±2.37 a 82.97±4.81 b 83.34±4.14 b
2.43 ±0.55A 3.97 ±0.65B 7.27 ±1.03C
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%.
Pada penelitian Subekti (2003), daun katuk tidak mempengaruhi bobot putih telur, bobot kuning telur, dan bobot cangkang pada ayam lokal. Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk pada puyuh ternyata dapat meningkatkan bobot telur dan HU. Selain itu, penggunaan TDK juga meningkatkan bobot putih telur (p<0.01). Bobot kuning telur secara nyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan ekstrak dan tepung daun katuk.
Hal tersebut
kemungkinan karena ukuran telur puyuh yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan telur ayam sehingga apabila terdapat sedikit perbedaan saja akan menyebabkan perbedaan yang nyata.
Hasil penelitian Kul dan Seker (2004)
tentang kualitas telur puyuh, yaitu bobot telur (11.28±0.06); bobot cangkang (0.84±0.01); bobot putih telur (6.75±0.04); bobot kuning telur (3.69±0.02) dan Haugh Unit (85.73±0.15). Bobot cangkang, bobot kuning telur, dan HU pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian tersebut di atas, kecuali pada bobot telur dan putih telur terdapat perbedaan. Perbedaan hasil antara penelitian ini dan penelitian lain mungkin karena perbedaan struktur genetik, kondisi kesehatan, umur, dan perbedaan manajemen perawatan dan kondisi puyuh. Warna kuning telur diamati dengan menggunakan Roche yolk colour fan. Masing-masing perlakuan memberikan perbedaan yang sangat nyata (p<0.01). Penggunaan TDK membuat warna kuning telur lebih tua (7.27) dibandingkan dengan penggunaan TEK dan kontrol, dan penggunaan TEK juga membuat warna kuning telur lebih tua (3.97) dibandingkan dengan kontrol (2.43). Penggunaan TEK ternyata juga meningkatkan warna kuning telur karena masih adanya phytol
(klorofil) yang terdapat dalam ekstrak. Warna kuning telur unggas ditentukan oleh konsumsi pigmen dalam ransum. Warna kuning telur pada puyuh yang diberi
TDK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain
kemungkinan karena tingginya karotenoid yang terdapat dalam katuk (Hulshoff et al. 1997). Selain berperan sebagai prekursor vitamin A, karoten bersama dengan santofil dalam TDK juga mempunyai peran sebagai sumber pigmen. Namun, penggunaan TDK dengan persentase yang sama (9%), ternyata warna kuning telur pada puyuh lebih rendah dibandingkan pada ayam lokal, yaitu 10.75 (Subekti 2003). Hal ini kemungkinan karena perbedaan spesies unggas yang digunakan dalam penelitian sehingga selain karena ransum yang mengandung pigmen, warna kuning telur juga dipengaruhi oleh jenis unggas.
3
6
8
Gambar 16 Warna kuning telur puyuh (berdasarkan Roche yolk colour fan)
Kolesterol Ransum, Serum, Telur, Karkas, dan Hati Hasil analisis kandungan kolesterol dalam ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh perlakuan disajikan pada Tabel 13 dan diilustrasikan pada Gambar 17.
Tabel 13 Kandungan kolesterol kuning telur, serum, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) Perlakuan
Ransum
Serum (mg/dl)*
Kandungan Kolesterol (mg/g) Kuning Telur* Karkas*
Hati*
Kontrol TEK TDK
2.60 2.65 2.61
69.12±10.51 a 67.66±7.86 a 64.07±16.51 a
13.05±2,67 a 9.97±2.57 b 9.11±1.36 b
25.95±2.43 A 22.73±0.71 B 20.97±1.71 B
*
3.18±0.05 A 2.64±0.07 B 2.63±0.26 B
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%.
Kandungan kolesterol pada serum cenderung menurun dengan penggunaan TDK dan ekstrak DK
tetapi penurunan tersebut tidak nyata. Hal tersebut
kemungkinan karena homeostasis dari kolesterol serum, karena adanya mekanisme kompensasi, yaitu meningkatnya kisaran sintesis kolesterol endogen. Penurunan total kolesterol serum puyuh yang diberi TDK dan TEK dibandingkan dengan kontrol, yaitu 7.22% dan 2.11%.
80 70
Kolesterol (mg/dl)
60
Pakan
50
Serum
40
Kuning Telur Karkas
30
Hati
20 10 0 Kontrol
TEK Perlakuan
TDK
Gambar 17 Kandungan kolesterol ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Penurunan kolesterol serum ini kemungkinan karena adanya fitosterol dari katuk.
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa fitosterol dapat
menurunkan total kolesterol dan kolesterol LDL.
Nguyen et al. (1999)
menyatakan bahwa konsumsi fitostanol (salah satu bentuk fitosterol) sebanyak 2-3 g/hari dapat menurunkan total kolesterol (6.4%) dan LDL (10.1%) pada manusia. Konsumsi fitosterol 1.84 g/hari pada manusia juga
dapat menurunkan total
kolesterol serum (13.4%) dan LDL (12.9%), sedangkan konsentrasi HDL serum tidak berubah secara signifikan (Jones et al. 2000). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Ostlund (2004) bahwa dosis maksimum yang efektif untuk menurunkan LDL-kolesterol sampai 10% adalah 2 g fitosterol ester/hari, dan Moruisi et al. (2006) menegaskan bahwa konsumsi fitosterol/fitostanol 2.3±0.5 g/hari secara signifikan menurunkan kolesterol total sekitar 7-11%. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kandungan fitosterol dari DK adalah 2.14%, atau konsumsi fitosterol pada puyuh yang diberi TEK dan TDK sekitar 0.054 dan 0.055 g/ekor/ hari. Kandungan kolesterol pada kuning telur (p<0.05), karkas (p<0.01), dan hati (p<0.01) puyuh yang diberi TEK dan TDK lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut membuktikan bahwa kandungan fitosterol daun katuk baik dalam bentuk ekstrak maupun tepung berpengaruh pada penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh. Kandungan Vitamin A dalam Ransum, Kuning Telur, dan Serum Penggunaan TDK 9% dalam ransum ayam lokal mampu meningkatkan intensitas warna kuning telur serta kandungan vitamin A dalam serum dan kuning telur (Subekti 2003). Hasil dari intensitas warna kuning telur pada penelitian ini juga menunjukkan peningkatan dengan penggunaan TDK dan TEK (Tabel 12). Kandungan vitamin A dalam ransum, kuning telur, dan serum disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14 Kandungan vitamin A dalam ransum, kuning telur dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) Perlakuan
Ransum (IU/100g)
Kontrol TEK TDK
1195 1209 2335
Kandungan Vitamin A Kuning Telur* (IU/100g) 1094 ± 28.5 A 1204 ± 14.6 B 2335 ± 53.8 C
Serum(mg/100ml)* 266.7± 6.4 A 740.5± 49.3 B 1256.8±177.6 C
* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%.
Kandungan vitamin A kuning telur dan serum menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan (p<0.01). Sementara itu, kandungan vitamin A dalam ransum TDK lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang lain. Kandungan vitamin A dalam ransum mempengaruhi jumlah kandungan vitamin A telur dan serum. Hal ini didukung hasil penelitian Subekti (2003) bahwa penggunaan TDK 9% mampu meningkatkan kandungan vitamin A telur dan serum baik pada ayam lokal dan puyuh. Hal yang menarik di sini adalah adanya peningkatan kandungan vitamin A kuning telur dan vitamin A serum pada puyuh yang diberi TEK dibandingkan dengan kontrol. Walaupun tidak ditemukan beta karoten dalam ekstrak daun katuk dan perbedaan kandungan vitamin A dalam ransum TEK dan Kontrol tersebut relatif kecil, namun kemungkinan karena adanya phytol menyebabkan peningkatan kandungan vitamin A tersebut. Konsumsi phytol menyebabkan perubahan metabolisme asam lemak pada tikus lewat jalur dependent dan independent PPARα (peroxisome proliferator-activated receptorα) (Gloerich et al. 2005). Perubahan metabolisme asam lemak tersebut dapat mempengaruhi absorbsi dan metabolisme vitamin A (vitamin larut dalam lemak) sehingga mampu meningkatkan konsentrasi vitamin A dalam kuning telur dan serum. Kandungan Vitamin E dalam Ransum dan Serum Daun katuk selain mengandung karoten dan vitamin C yang sangat tinggi ternyata juga mengandung vitamin E yang sangat tinggi pula. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi daun katuk dalam ransum baik dalam bentuk tepung dan
ekstrak maka dianalisis kandungan vitamin E dalam ransum, serum dan kuning telur (Tabel 15). Akan tetapi, kandungan vitamin E dalam kuning telur sangat rendah sehingga tidak dapat terdeteksi. Tabel 15
Kandungan vitamin E dalam ransum dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Perlakuan Ransum (mg/100g) Kontrol TEK TDK *
0.26 0.90 2.36
Kandungan Vitamin E Serum (mg/100ml)* 2.55±0.54 A 5.70±0.62 B 7.90±0.38 C
Kuning telur (mg/100g) < 0.2 < 0.2 < 0.2
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%.
Kandungan vitamin E dalam ransum TEK dan TDK meningkat secara berurutan
dibandingkan
dengan
kontrol.
Hal
ini
membuktikan
bahwa
suplementasi daun katuk dalam ransum meningkatkan kandungan vitamin E dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya bahwa Sauropus androgynus (katuk) mengandung α-tokoferol yang sangat tinggi, yaitu 426 mg/kg (Ching dan Mohamed 2001). Ekstrak daun katuk mengandung vitamin E sebanyak 4.16% sehingga kandungan vitamin E dalam ransum TEK lebih tinggi dibanding kontrol. Vitamin E dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, TEK dan TDK berbeda secara nyata. Pada perlakuan TEK dan TDK kandungan vitamin E serum lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, walaupun terdapat fitosterol dalam daun katuk. Traber (2004) menyatakan bahwa intake fitosterol dan fitosterol ester yang tinggi selain menurunkan kolesterol LDL dan kolesterol total ternyata juga menurunkan absorbsi dari α-tokoferol dan β-karoten, yaitu ≈20% dan ≈50%. Konsumsi fitosterol dalam penelitian ini adalah 0.054 dan 0.055 g/hari, jauh lebih rendah dibandingkan dengan dosis optimum yang direkomendasikan Ostlund (2004), yaitu 2 g fitosterol/hari
sehingga kemungkinan tidak mempengaruhi
absorbsi vitamin E, bahkan dalam kelompok puyuh yang diberi TDK meningkatkan kandungan vitamin E serum secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Freese et al. (2002) bahwa
konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi akan meningkatkan
antioksidan plasma. Daun katuk merupakan salah satu jenis sayuran dengan
kandungan vitamin E dan karotenoid yang tinggi. Selanjutnya penelitian ini memperkuat pernyataan Upritchard et al. (2003) bahwa intake vitamin E dan karotenoid akan meningkatkan kandungan antioksidan plasma (α-tokoferol plasma). Kandungan Vitamin C dalam Ransum dan Serum Daun katuk mengandung kadar vitamin C yang cukup tinggi. Padmavathi dan Rao (1990) menemukan bahwa kandungan vitamin C dalam daun katuk sekitar 244 mg/100 g kering. Pengaruh penggunaan TDK dan TEK dalam ransum pada kandungan vitamin C dalam serum dipaparkan dalam Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16 Kandungan vitamin C dalam ransum dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) Perlakuan
Kandungan Vitamin C Ransum (mg/100g) Serum (mg/100 ml)* Kuning telur (mg/100g) Kontrol 14.93 2.76±0.481 A < 0.2 TEK 58.32 11.89±1.739 B < 0.2 TDK 67.42 29.31±2.694 C < 0.2 * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%.
Kandungan vitamin C dalam ransum yang mengandung TEK dan TDK lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol karena penggunaan TDK dan TEK ternyata meningkatkan kandungan vitamin C dalam ransum.
Hal tersebut
menyebabkan peningkatan yang nyata (p<0.01) pada kandungan vitamin C dalam serum puyuh yang diberi ransum TEK dan TDK dibandingkan dengan serum pada puyuh kontrol. Pada puyuh yang diberi TEK, kandungan vitamin C serum lebih tinggi dibandingkan dengan serum perlakuan kontrol. Hal tersebut mungkin disebabkan ekstrak daun katuk masih mengandung vitamin C, dengan penggunaan etanol 70% sebagai pengekstrak sehingga vitamin C yang larut dalam air masih bisa tertarik walaupun konsentrasinya tidak sebanyak pada TDK, yang dibuktikan dengan vitamin C dalam ransum TEK lebih kecil dibandingkan dengan ransum TDK.
Peningkatan kandungan vitamin A, vitamin E, dan vitamin C pada serum, yaitu TDK lebih tinggi (p<0.01) dibandingkan dengan TEK, dan selanjutnya TEK lebih tinggi (p<0.01) dibandingkan dengan kontrol, membuktikan bahwa terdapat interaksi yang sinergis antara vitamin A, vitamin E, dan vitamin C seperti yang dikemukakan Machlin dan Langseth (1988).
Selanjutnya seperti yang
dikemukakan Freese et al. (2002) bahwa konsumsi buah-buahan dan sayursayuran mampu meningkatkan antioksidan plasma, yaitu karotenoid plasma, vitamin C plasma, dan α-tokoferol plasma. Selain itu, Upritchard et al. (2003) juga menemukan bahwa suplementasi vitamin E dan karotenoid akan meningkatkan vitamin C plasma di samping juga meningkatkan α-tokoferol plasma dan karotenoid plasma. Bilangan Thiobarbituric Acid dalam Ransum Thiobarbituric acid (TBA) merupakan senyawa reaktif yang diukur sebagai ekivalen malonaldehid merupakan marker bagi kerusakan oksidatif. Penggunaan TDK dan TEK dalam ransum ternyata juga mempengaruhi bilangan TBA dalam ransum yang disajikan dalam Tabel 17 berikut ini. Tabel 17 Kandungan bilangan TBA dalam ransum Ransum Kontrol TEK TDK * Data menunjukkan rataan ± SD.
Bilangan TBA* 1.30 ± 0.03 1.17 ± 0.05 0.91 ± 0.03
Bilangan TBA pada ransum TEK dan TDK menunjukkan penurunan dibandingkan dengan ransum kontrol yang berarti bahwa penggunaan daun katuk dalam bentuk tepung dan ekstrak mampu mencegah kerusakan oksidatif dalam ransum karena semakin kecil bilangan TBA merupakan indikator semakin kecilnya kerusakan peroksidasi dalam ransum. Namun, penggunaan daun katuk dalam bentuk tepung ternyata masih lebih baik dibandingkan dengan ekstrak dalam mencegah kerusakan oksidatif tersebut karena masih tingginya antioksidan dalam bentuk tepung yang ditandai dengan tingginya kandungan vitamin A, vitamin E, dan vitamin C dalam ransum dan tingginya kandungan vitamin A,
vitamin E, dan vitamin C dalam serum puyuh yang diberi ransum TDK dibandingkan dengan yang diberi ransum TEK. Eksplorasi dari kemungkinan dan efek yang terjadi pada konsumsi sayuran dan buah-buahan terhadap penurunan bilangan TBA dalam diet yang mengakibatkan peningkatan karotenoid dalam plasma telah dilakukan oleh Maskarinec et al. (1999). Suplementasi sayuran (tepung daun katuk) pada ransum puyuh akan menurunkan kerusakan oksidatif ransum dan meningkatkan antioksidan dalam serum puyuh perlakuan tersebut. Fertilitas dan Daya Tetas Penelitian terhadap daya tetas dan fertilitas dilakukan pada saat puyuh berumur 21-24 minggu. Hal ini didasarkan pada penelitian Seker et al. (2004) yang menyatakan bahwa daya tetas puyuh meningkat pada saat puyuh berumur 20 minggu ke atas. Data tentang fertilitas dan daya tetas pada penelitian ini disajikan pada Tabel 18, Tabel 19, dan Gambar 18. Tabel 18
Fertilitas (%) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Perlakuan Kontrol TEK TDK
Tabel 19
21 81.03± 3.78 a 81.54±13.97 a 78.33±11.22 a
23 80.00±11.85 a 87.27±10.37 a 94.55± 8.13 a
24 90.77±10.03 a 84.62±15.38 a 89.23± 6.88 a
Daya tetas** (%) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Perlakuan Kontrol TEK TDK
Umur (Minggu) 22 73.85± 8.5 A 75.39±12.38 A 81.54± 6.88 B
21 86.55±10.47 a 87.15± 2.97 a 90.05± 6.60 a
Umur (Minggu) 22 78.97±13.71 a 91.79± 4.87 a 88.67±10.43 a
23 81.98± 9.32 a 83.36±11.95 a 86.51± 2.28 a
24 76.87±9.04 a 87.17±9.16 b 93.29±9.25 b
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%. ** Daya tetas dari telur yang fertil *
Fertilitas tertinggi dalam penelitian ini dicapai oleh puyuh yang diberi ransum TDK pada umur puyuh 23 minggu, yaitu 94.55% dan secara keseluruhan dari keempat kali penetasan, puyuh yang diberi ransum TDK memiliki fertilitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lain meskipun secara sangat nyata (p<0.01) pada umur 22 minggu .
Fertilitas puyuh yang diberi
ransum TEK secara keseluruhan tidak berbeda dengan puyuh kontrol meskipun cenderung lebih tinggi. Daya tetas dalam penelitian ini merupakan persentase dari jumlah telur yang menetas dari telur yang fertil. Daya tetas tertinggi dalam penelitian ini dicapai puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 24 minggu, yaitu 93.29% (p<0.05). Puyuh yang diberi ransum TEK dan TDK pada umur 24 minggu secara nyata (p<0.05) mempunyai daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh kontrol. Pada puyuh umur 21, 22, dan 23 minggu meskipun tidak berbeda, daya tetas puyuh yang diberi ransum TDK dan TEK masih lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Fertilitas dan daya tetas pada puyuh yang diberi TEK dan TDK memiliki kecenderungan lebih baik daripada puyuh kontrol. Penggunaan daun katuk dalam ransum TEK dan TDK mempengaruhi fertilitas dan daya tetas.
Selain
mengandung nutrisi yang tinggi, yaitu karotenoid, vitamin C, dan E, kandungan fitosterol dalam daun katuk ternyata mempengaruhi daya tetas dan fertilitas. Hal ini kemungkinan karena fitosterol tersebut merupakan prekursor hormon steroid yang berperan dalam fungsi reproduksi unggas. Hal tersebut dibuktikan dengan perkembangan organ reproduksi yang lebih cepat (Tabel 8) dan konsentrasi hormon progesteron dan estradiol yang lebih tinggi (Tabel 9 dan 10) pada puyuh yang diberi ransum TDK dan TEK. Di samping itu, berat telur dan kualitas telur yang lain dipengaruhi oleh penggunaan daun katuk dalam ransum (Tabel 12), juga kandungan vitamin A dalam telur (Tabel 14) yang meningkat dengan penggunaan daun katuk. Squaires dan Naber (1993) dalam studinya menyebutkan bahwa kandungan vitamin A yang tinggi dalam ransum ayam petelur akan meningkatkan kandungan vitamin A kuning telur dan daya tetas anak ayam. Fasenko et al. (1992) menyatakan bahwa fertilitas pada ayam akan meningkat seiring dengan peningkatan berat telur dan perkembangan embrio pada ayam berkaitan dengan berat cangkang. Beberapa faktor di atas menyebabkan peningkatan fertilitas dan daya tetas pada puyuh yang mengkonsumsi daun katuk terutama pada perlakuan TDK.
Fertilitas (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kontrol TEK TDK
21
22
23
24
Daya Tetas (%)
Umur (Minggu)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kontrol TEK TDK
21
22
23
24
Umur (Minggu)
Gambar 18 Fertilitas dan daya tetas puyuh perlakuan pada umur 21-24 minggu Bobot Tetas dan Bobot Badan Anak Puyuh Pengukuran bobot tetas dilakukan setelah anak puyuh menetas dan pengukuran bobot badan dilakukan seminggu sekali mulai umur 1 minggu sampai 4 minggu. Hasil pengukuran bobot tetas dan bobot badan anak puyuh yang diberi
ransum kontrol, TEK dan TDK disajikan dalam Tabel 20 dan Gambar 19 berikut ini. Tabel 20 Bobot tetas (g) dan bobot badan anak puyuh (g) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama empat minggu Perlakuan Kontrol TEK TDK *
Bobot Tetas (g)*
Bobot pada Umur Minggu ke2 3 49.3±3.09 a 74.5±2.59 a 50.1±3.84 a 74.1±4.75 a 51.1±3.00 a 76.1±6.17 a
1 18.4±2.07 a 18.5±1.96 a 19.8±1.13 a
7.02±0.57 a 7.26±0.72 ab 7.56±0.56 b
4 86.4±4.35 a 86.6±5.82 a 87.8±3.97 a
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
100 90
Bobot Badat (g)
80 70 60
Kontrol
50
TEK
40
TDK
30 20 10 0 0
1
2
3
4
Umur (minggu)
Gambar 19 Bobot tetas dan bobot badan anak puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Bobot tetas anak puyuh antarperlakuan berbeda nyata (p<0.05) dengan bobot tetas tertinggi dicapai anak puyuh dari puyuh yang diberi ransum TDK. Selanjutnya bobot badan umur 1, 2, 3, dan 4 minggu bobot badan anak puyuh semua perlakuan tidak berbeda secara nyata (p>0.05).
Dalam penelitian ini bobot tetas anak puyuh dari induk yang diberi ransum kontrol, TEK dan TDK dengan rataan 7.02, 7.26, dan 7.56 g, sesuai dengan hasil rataan bobot telur, yaitu TDK lebih berat dari TEK, dan TEK lebih berat dari kontrol (Tabel 12). Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Seker et al. (2004) bahwa peningkatan yang terjadi pada bobot tetas anak puyuh disebabkan karena peningkatan bobot telur. Bobot telur mengindikasikan korelasi positif pada bobot tetas dan bobot telur dalam kisaran menengah (9 – 10 g) dapat juga menyebabkan keberhasilan penetasan. Penelitian ini juga mendukung pernyataan tersebut, yaitu dengan rataan bobot telur 9.2-9.9 g menghasilkan persentase penetasan 76.87-93.29%. Bobot tetas anak puyuh kemungkinan masih dipengaruhi oleh perlakuan ransum pada induknya karena terdapat perbedaan yang nyata antara anak puyuh dari induk yang diberi ransum
TDK dan kontrol.
Pada minggu-minggu
berikutnya tidak terdapat perbedaan bobot badan karena semua puyuh mendapat perlakuan ransum yang sama (ransum komersil). Tingkat Mortalitas pada Anak Puyuh Tingkat mortalitas mencerminkan viabilitas atau kelangsungan hidup/ ketahanan hidup pada anak puyuh. Dalam penelitian ini pengamatan tentang tingkat mortalitas dilakukan selama 4 minggu, yang disajikan dalam Tabel 21 berikut ini. Tabel 21
Tingkat mortalitas (%) pada anak puyuh dari induk yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)
Perlakuan C TEK TDK *
1 22.75± 1.99 a 17.89± 6.88 ab 14.54± 5.58 b
Umur (Minggu) 2 3 12.74±6.77 a 2.42±1.20 a 11.53±5.59 a 2.48±1.08 a 6.79±3.01 a 1.30±0.58 a
4 0.85±0.41 a 0.94±0.65 a 0.74±0.14 a
Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Dari hasil pengamatan selama empat minggu, tingkat mortalitas pada anak puyuh dari puyuh perlakuan selama penelitian menunjukkan bahwa pada umur satu minggu masih terpengaruh oleh perlakuan pemberian TDK dalam ransum. Pemberian tepung daun katuk dalam ransum induk ternyata meningkatkan
viabilitas pada anak puyuh (p<0.05) pada minggu pertama. Setelah dua minggu viabilitas anak puyuh tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena kandungan beta karoten, vitamin C, dan vitamin E dalam daun katuk yang sangat tinggi sehingga menyebabkan kandungan vitamin A dalam telur juga tinggi (Tabel 14) sehingga meningkatkan daya tetas (Tabel 19) dan bobot tetas (Tabel 20) yang pada akhirnya akan meningkatkan viabilitas anak puyuh yang menetas tersebut. Walaupun kandungan vitamin E dalam telur tidak terdeteksi, terjadi peningkatan konsentrasi vitamin E dalam serum pada puyuh yang diberi TDK sehingga kemungkinan terjadi peningkatan kandungan vitamin E telur.
Vitamin E merupakan antioksidan yang akan
meningkatkan ketahanan tubuh sehingga akan meningkatkan daya hidup dari anak puyuh.
Defisiensi vitamin E berkaitan dengan penurunan daya tetas,
perkembangan embrio, dan viabilitas anak ayam yang baru menetas (Surai 2003). Pemberian pakan yang kaya karotenoid pada induk ayam mempengaruhi status karotenoid pada anak setidaknya sampai tujuh hari setelah menetas (Karadas et al. 2005). Hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan anak ayam karena setelah menetas metabolic rate dan konsumsi oksigen akan meningkat, yang menyebabkan stress oksidatif
sehingga membutuhkan antioksidan.
Suplementasi karotenoid sebelum penetasan (pada pakan induk) dan setelah penetasan (pada pakan anak) sangat bermanfaat bagi fungsi imun. Daun katuk mengandung karotenoid yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi viabilitas anak puyuh pada minggu pertama.
PEMBAHASAN UMUM Kandungan nutrisi dalam daun katuk ternyata lebih tinggi dibanding sayursayuran lain di Indonesia, yaitu selain mengandung protein yang tinggi (di atas 25%) juga mengandung beta karoten, vitamin C, dan vitamin E yang sangat tinggi (Tabel 1) yang diperlukan untuk meningkatkan fungsi reproduksi.
Dalam
penelitian ini juga ditemukan senyawa-senyawa sterol (Tabel 6) yang diduga ada oleh peneliti sebelumnya yang merupakan alasan atau justifikasi bagi peningkatan status dan aktivitas hormon steroid dan peningkatan laktasi, yaitu stigmasterol, sitosterol, dan fukosterol. Penggunaan tepung daun katuk dalam ransum mampu menurunkan kolesterol pada telur, karkas, dan hati pada ayam kampung (Subekti 2003) dan ayam petelur (Saragih 2005), serta karkas dan hati ayam broiler (Nasution 2005). Penelitian ini menggunakan satu macam ransum tanpa membedakan ransum grower dan layer untuk efisiensi dalam penyusunan ransum sehingga lebih praktis dan untuk memudahkan adaptasi ransum perlakuan. Pada skala industri pembedaan ransum grower dan layer perlu untuk peningkatan produktifitas dan keuntungan. Wiradimadja (2007) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa penggunaan tepung daun katuk sebanyak 15% mampu menurunkan kolesterol serum, hati, karkas, dan kuning telur, serta meningkatkan kolesterol pada eskretanya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa daun katuk dalam bentuk tepung dan ekstrak dapat menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas puyuh perlakuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya fitosterol terutama stigmasterol dalam daun katuk yang cukup tinggi. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa fitosterol mampu menurunkan kolesterol pada manusia. Jones et al. (2000) menyatakan bahwa penurunan kolesterol terjadi karena kemampuan fitosterol dan fitostanol untuk menekan absorbsi kolesterol sementara itu secara parsial terjadi de-suppressing biosintesis kolesterol.
Kemungkinan
mekanisme penurunan biosintesis kolesterol pada penelitian ini disajikan pada skema Gambar 18 dan 19. Mekanisme penurunan biosintesis kolesterol karena konsumsi fitosterol tersebut dilaporkan oleh von Bonsdorff-Nikander (2005) dan Yang et al. (2004).
Mekanisme aktivitas penurunan kolesterol oleh fitosterol belum dipahami secara lengkap, namun beberapa teori yang diajukan (von Bonsdorff-Nikander 2005) meliputi: Fitosterol diyakini menghambat absorpsi kolesterol ransum dan reabsorpsi kolesterol endogen dalam saluran pencernaan. Fitosterol meningkatkan pengeluaran kelebihan kolesterol yang diabsorpsi. Akibatnya ekskresi kolesterol dalam feses menyebabkan penurunan kadar kolesterol serum. Kompetisi antara kolesterol dan fitosterol dalam misel. Kolesterol harus larut dalam campuran misel yang mengandung asam empedu dan fosfolipid agar dapat diabsorbsi dan masuk ke dalam sirkulasi.
Campuran misel mempunyai kapasitas yang terbatas untuk
melarutkan molekul hidrofobik. Fitosterol mempunyai hidrofobisitas yang lebih tinggi dan solubilitas yang lebih rendah, namun fitosterol mempunyai afinitas yang lebih tinggi dalam mengikat misel dibandingkan dengan kolesterol. Oleh karena itu, fitosterol mampu menggantikan kolesterol dari misel intraluminal intestinal, dan mengakibatkan kolesterol dibuang melalui feses (Gambar 20).
Kolesterol ransum
Kolesterol ransum
+
Fitosterol/stanol (
)
Feses
misel
Lumen usus halus Gambar 20
Penggantian kolesterol oleh fitosterol/stanol dalam misel
Kokristalisasi fitosterol dan kolesterol Salah satu mekanisme potensial penurunan absorpsi kolesterol usus adalah kokristalisasi kolesterol dan fitosterol dalam saluran gastrointestinal, kristal yang terbentuk sangat sulit diabsorpsi. Kokristalisasi fitosterol dan kolesterol dalam saluran gastrointestinal menyebabkan penurunan uptake kolesterol intestinal karena solubilitas kristal yang terbentuk tersebut lebih rendah daripada solubilitas kolesterol (Gambar 21 A).
Fitosterol/FS Kolesterol/K
Lumen
Kristalisasi FS + K +
A Feses
NPC1L1
Difusi
Abcg 5
Abca 1 Abcg 8
B
ACAT
Enterosit Fitosterol ester
Kolesterol ester
Kilomikron
Limfe Gambar 21
Mekanisme penurunan kolesterol, kokristalisasi fitosterol dan kolesterol (A), dan penghambatan aktivitas acyl-coenzyme A cholesterol acyltransferase/ACAT (B).
5
Penghambatan aktivitas ACAT Fitosterol dapat menurunkan esterifikasi kolesterol dalam enterocyte melalui
penghambatan
aktivitas
acyl-coenzyme
A
cholesterol
acyltransferase/ACAT (Gambar 21 B). ACAT menurunkan konsentrasi kolesterol bebas intraseluler dengan mengubah kolesterol bebas menjadi kolesteril ester.
Penghambatan aktivitas ACAT oleh fitosterol
menyebabkan kenaikan konsentrasi kolesterol bebas dalam intraseluler. Kolesterol harus diinkorporasi ke dalam kilomikron sebelum disekresikan ke dalam limfe. Lebih dari 80% kolesterol yang diinkorporasi dalam kilomikron adalah bentuk ester. NPC1L1 (Nieman-Pick C1 Like 1: protein dalam jejunal enterocytes yang memfasilitasi absorpsi sterol dari lumen ke enterocyte); Abcg 5 dan Abcg 8 (ATP-binding cassette G5 dan ATPbinding cassette G8: protein transporter yang mengeluarkan kelebihan fitosterol dari enterocyte ke lumen); Abca 1 (protein transporter yang mengeluarkan kelebihan kolesterol dari enterocyte ke lumen) Mekanisme penurunan kolesterol tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian Wiradimadja (2007), yaitu adanya peningkatan kolesterol ekskreta akibat konsumsi daun katuk.
Selanjutnya mekanisme penghambatan sintesis
kolesterol karena adanya fitosterol (Yang et al. 2004) disajikan pada Gambar 22. Yang et al. (2004) menyebutkan bahwa terjadi penurunan kadar enzim hidroksi metilglutaril-CoA reduktase dengan adanya pengaruh dari stigmasterol. Penggunaan daun katuk dalam ransum juga menyebabkan peningkatan kualitas telur yang ditandai dengan peningkatan berat telur, berat putih telur, HU, dan intensitas warna kuning telur terutama dalam bentuk tepung lebih baik dibandingkan dengan bentuk ekstrak.
Hal ini membuktikan bahwa untuk
meningkatkan kualitas telur bukan fitosterol saja yang diperlukan namun kandungan nutrisi yang lain seperti vitamin A, vitamin E, dan vitamin C dalam daun katuk
mempengaruhi peningkatan kualitas telur. Konsumsi TDK juga
meningkatkan status antioksidan dalam serum yang ditandai dengan peningkatan vitamin A, vitamin E, dan vitamin C dalam serum puyuh perlakuan TDK.
Peningkatan konsumsi vitamin A akan meningkatkan kebutuhan vitamin E dan vitamin C, sedangkan vitamin E akan meningkatkan absorbsi vitamin A, meningkatkan utilisasi vitamin A dan meningkatkan penyimpanan vitamin A. Vitamin C dapat meningkatkan konversi karoten menjadi vitamin A. Hal ini juga dibuktikan dengan peningkatan kandungan vitamin A dalam telur puyuh perlakuan yang mengkonsumsi TDK. Asetoasetil-CoA 2NADPH + 2H+
3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA
CoA-SH+ 2 NADP+
HMG-CoA * reduktase ↓↓
Stigmasterol
Mevalonat
ATP ADP 5-fosfomevalonat ATP ADP 5-pirofosfomevalonat ATP ADP 3-fosfo-5-pirofosfomevalonat CO2 + Pi Isopentenil pirofosfat Dimetilalil pirofosfat
+
Isopentenil pirofoafat PPi
Geranil pirofosfat Isopentenil pirofosfat PPi Farnesil pirofosfat
+
Farnesil pirofosfat FPPS
Presqualen pirofosfat Squalen Squalen monooksigenase
O2 + NADPH+ + H+ H2O + NADP+ Squalen 2,3-epoksida H+ siklase Lanosterol Kolesterol
Gambar 22
Jalur biosintesis kolesterol (Modifikasi dari Mathews et al. 2000)
Pengukuran
konsentrasi
progesteron
dan
estradiol
selama
masa
perkembangan dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsumsi TDK dan TEK terhadap perkembangan fungsi reproduksi dari puyuh perlakuan. Selain itu untuk pendukungnya juga dilakukan pengukuran perkembangan organ reproduksi, yaitu panjang saluran reproduksi dan masa dewasa kelamin.
Dari hasil penelitian
diperoleh bahwa konsentrasi estradiol dalam serum meningkat seiring penggunaan daun katuk (ekstrak dan tepung) dalam ransum. Meskipun konsentrasi kolesterol menurun, ternyata terjadi peningkatan konsentrasi
estradiol serum.
Hal ini
mungkin karena adanya penggantian posisi kolesterol oleh fitosterol dari daun katuk dalam proses biosintesis hormon, selain itu fitosterol juga berperan sebagai prekursor hormon steroid. Yang et al. (2004) menyebutkan bahwa meskipun terjadi penurunan sintesis kolesterol, kemampuan kelenjar untuk merespon ACTH tidak terganggu. Selanjutnya dinyatakan bahwa sitosterol merupakan substrat untuk sintesis steroid di kelenjar adrenal. Wu et al. (2005) menyebutkan konsumsi fitosterol meningkatkan konsentrasi estradiol, estron dan SHBG pada serum. Al Zyood dan Shawakfa (2006) melaporkan bahwa sitosterol mampu dimetabolis menjadi pregnenolon dan dehidroepiandrosteron yang merupakan prekursor hormon-hormon steroid. Selanjutnya yang menarik lagi adalah peningkatan konsentrasi hormon estradiol yang cukup signifikan dari puyuh yang diberi ransum TDK dibandingkan dengan yang diberi TEK, hal ini membuktikan bahwa adanya peranan nutrien lain dari daun katuk yang mempengaruhi konsentrasi hormon tersebut. Seperti yang telah disebutkan bahwa daun katuk mengandung vitamin C yang sangat tinggi. Murray et al. (2001) menyebutkan bahwa asam askorbat mempunyai tiga fungsi penting, yaitu untuk sintesis kolagen, meningkatkan steroidogenesis dan berperan sebagai antioksidan.
Kolesterol Sitosterol *
Pregnenolon
Progesteron
17-OH-Pregnenolon
Sitosterol *
Dehidroepiandrosteron
Androstendiol
17-OH-Progesteron
Androstendion
Testosteron
Dihidrotestosteron
Gambar 23
Sitosterol **
Estron
Sitosterol **
Estradiol
3α,5α-Androstandiol
Biosintesis hormon steroid yang dipengaruhi fitosterol
Keterangan : * Sitosterol dimetabolis menjadi pregnenolon dan DHEA (Al Zyood dan Shawakfa 2006) ** Konsumsi sitosterol akan menaikkan hormon estron dan estradiol (Wu et al. 2005)
Di samping itu, dari hasil pengukuran panjang saluran reproduksi juga mendukung hasil penelitian status hormon di atas. Perlakuan pemberian TDK dalam ransum menunjukkan peningkatan perkembangan organ reproduksi yang ditandai peningkatan panjang saluran reproduksi. Murray et al. (2001) dalam studinya pada tikus menyebutkan bahwa konsentrasi asam askorbat yang tinggi mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan folikel. Selanjutnya dari hasil umur dewasa kelamin juga mendukung hasil penelitian tentang status hormon reproduksi dan perkembangan organ reproduksi yang ditandai dengan semakin awal masa bertelur puyuh yang diberi ransum TDK dibandingkan dengan puyuh yang lain. Fertilitas dan daya tetas pada penelitian ini menunjukkan peningkatan pada puyuh yang menggunakan TDK dalam ransum dibandingkan dengan yang menggunakan TEK. Peningkatan fungsi reproduksi (status hormon reproduksi, perkembangan organ reproduksi, dan umur dewasa kelamin) dan juga peningkatan kualitas telur (bobot telur, bobot putih telur, HU, intensitas warna kuning telur, kandungan vitamin A dalam kuning telur) serta status antioksidan dalam serum puyuh (vitamin A, E, dan C serum) pada puyuh yang diberi ransum TDK dalam ransum ternyata berdampak pada peningkatan fertilitas dan daya tetas. Selain itu juga berdampak bagi peningkatan bobot tetas dan bobot badan anak puyuh serta viabilitas anak puyuh dari induk yang diberi ransum TDK. Meskipun terjadi peningkatan konsentrasi hormon reproduksi akibat konsumsi fitosterol daun katuk, ternyata belum cukup untuk meningkatkan fungsi reproduksi. Sinergitas antarnutrien yang lain (vitamin A, vitamin E, dan vitamin C) dalam daun katuk mempengaruhi
peningkatan
fungsi
reproduksi
yang
dibuktikan
dengan
peningkatan kualitas telur, fertilitas, daya tetas, dan status antioksidan serta hormon reproduksi serum pada puyuh yang diberi ransum TDK. Hal tersebut terjadi karena adanya interaksi dari nutrien dan senyawa fitosterol dalam daun katuk.
KESIMPULAN Kandungan fitosterol dalam daun katuk sangat tinggi, yaitu 2.43 g/100 g kering atau 466 mg/100 g segar. Konsumsi fitosterol yang berasal dari katuk pada puyuh yang diberi ransum dengan tepung ekstrak katuk, yaitu 0.054 g/hari dan puyuh yang diberi ransum dengan tepung daun katuk, yaitu 0.055 g/hari, ternyata mampu menghasilkan kolesterol serum, telur, karkas, dan hati yang lebih rendah dibandingkan dengan puyuh yang diberi ransum tanpa tepung ekstrak katuk dan tepung daun katuk. Penggunaan tepung daun katuk dan tepung ekstrak katuk dalam ransum menunjukkan pengaruh positif bagi peningkatan sistem reproduksi yang ditandai dengan peningkatan perkembangan organ reproduksi, peningkatan status hormon reproduksi, percepatan umur dewasa kelamin, peningkatan fertilitas, dan daya tetas dibandingkan dengan yang diberi ransum tanpa tepung daun katuk dan tanpa tepung ekstrak katuk. Penggunaan tepung daun katuk dalam ransum memberikan pengaruh yang lebih baik secara nyata dibandingkan penggunaan tepung ekstrak katuk dalam ransum baik dalam peningkatan sistem reproduksi, status antioksidan dan kualitas telur, juga meningkatkan daya tahan hidup bagi turunannya.
DAFTAR PUSTAKA Agil M. 1991. Pengaruh Pemberian Infus Daun Katuk (Sauropus androgynus) terhadap Aktifitas Enzim SGPT, SGOT dan SGGT Tikus Putih Betina. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Agusta A, Harapini M, Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat 3 (3) : 31-34. Araghinikam M, Chung S, Nelson-White T, Eskelson C, Watson RR. 1996. Antioxidant activity of dioscorea and dehydroepiandrosterone (DHEA) in older humans. Life Sci 59: PLI47 – PLI57. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Ed ke-15. Washington DC: AOAC International. Astuti Y, Wahjoedi B, Winarno MW. 1997. Efek diuretik infus akar katuk terhadap tikus putih. Warta Tumbuhan Obat 3: 42-43. Backer CA, Brink RCB van de Jr. 1963. Flora of Java. Volume ke-1, NVP Noordhoff. Groningen: The Netherlands Bahti HH, Tjokronegoro R, Dimyati YA. 1983. Isolasi dan identifikasi senyawasenyawa steroid dan senyawa-senyawa yang bertalian dengannya serta senyawa-senyawa alkaloid dari daun kamboja (Plumeira acutifolia Poir) [laporan penelitian]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjajaran. Bell GH, Davidson JN, Emslie-Smith D. 1972. Textbook of Physiology and Biochemistry. Ed ke-8. Baltimore: The Williams and Wilkins Company. Bender AE, Ismail KS. 1975. Nutritive value and toxicity of Malaysian food, sauropus albicans. Plant Food Man 1 : 139 -143 Berne RM, Levy MN. 1990. Principles of Physiology. USA : C.V. Mosby Co. Bonsdorff-Nikander A von. 2005. Studies on a cholesterol-lowering microcrystalline phytosterol suspension oil [disertation]. Helsinki: Division of Pharmaceutical Technology, Faculty of Pharmacy, University of Helsinki. Bouic PJD, Etsebeth S, Liebenberg RW, Albrecht CF, Pegel K, Jaarsveld PP van. 1996. Beta-sitosterol and beta-sitosterol glucoside stimulate human peripheral blood lymphocyte proliferation: Implications for their use as an immunomodulatory vitamin combination. Int J Immunopharmacol 18: 693-700.
Bouic PJ, Clark A, Lamprecht J, Freestone M, Pool EJ, Liebenberg RW, Kotze D, Jaarsveld PP van. 1999. The effects of B-sitosterol an B-sitosterol glucoside mixture on selected immune parameters of marathon runners: inhibition of post marathon immune suppression and inflammation. Int J Sports Med 20: 258-262. Bouic PJ, Lamprecht JH. 1999. Plant sterols and sterolins: a review of their immune-modulating properties. Altern med Rev 4: 170-177 Bouic PJ. 2001. The role of phytosterols and phytosterolins in immune modulation: a review of the past 10 years [ulasan]. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 4: 471-475. Burton JL, Wells M. 2002. The effect of phytoestrogens on the female genital tract [ulasan]. J Clin Pathology 55: 401-407. Ching LS, Mohamed S. 2001. Alpha-tocopherol content in 62 edible tropical plants. J Agric Food Chem 49: 3101 – 3105. Designed for Health. 2006. Gift of health from plants [ulasan]. Phyto Facts. [terhubung berkala]. http://home.gci.net/~designed/plant_sterol_review.htm [29 Agustus 2006]. Djojosoebagio S. 1965. Pengaruh Sauropus androgynus (L.)Merr terhadap fungsi fisiologis dan produksi air susu. Makalah dalam Seminar Nasional Penggalian Sumber Alam Indonesia untuk Farmasi. Jogjakarta. Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Volume ke-1. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Fasenko GM, Hardin RT, Robinson FE. 1992. Relationship of hen age and egg sequence position with fertility, hatchability, viability and preincubation embryonic development in broiler breeders. Poultry Sci 71: 1374-1383. Freese R, Alfthan G, Jauhiainen, Basu S, Erlund I, Salminen I, Aro A, Mutanen M. 2002. High intakes of vegetables, berries, and apples combined with a high intake of linoleic or oleic acid only slightly affect markers of lipid peroxidation and lipoprotein metabolism in healthy subjects [komunikasi penelitian]. Am J Clin Nutr 76: 950-960. Fu Z, Kato H, Sugahara K, Kubo. 2000. Retinoic acid accelerates the development of reproductive organs and egg production in Japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Biol Reprod 63: 1795-1800. Gloerich, Vlies N van, Jansen GA, Denis S, Ruiter JPN, Werkhoven MA van, Duran M, Vaz FM, Wanders RJA, Ferdinandusse S. 2005. A phytol-enriched diet induces changes in fatty acid metabolism in mice
both via PPRα-dependent and –independent pathways. J Lipid Res 46: 716-726. Gupta MB, Nath R, Srivastava N, Shanker K, Kishor K, Bhargava KP. 1980. Anti-inflammatory and antipyretic activates of B-sitosterol. Planta medica 39: 157-163. Hansel W, McEntee K. 1977. Female reproductive processes Di dalam: Swenson MJ, editor. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Ed ke-9. Ithaca: Cornell University Press. Harborne JB. 1973. Phytochemical Method. London: Chapman and Hall. Hasanah M, Yuliani S, Risfaheri Anggraeni. 1999. Prospect of katuk plant (Sauropus androgynus) to be developed as a medicinal product. Indonesian Agric Research and Development Journal 4 : 59-6 Holtz
RL von, Fink CS, Awad AB. 1998. Beta-sitosterol activates the sphingomyelin cycle and induces apoptosis in LNCaP human prostate cancer cells. Nutr Cancer 32(1): 8-12.
Hulshof, P.J.M., C.Xu, P. van de Bovenkamp, Muhilal, and C.E. West.1997. Application of a validated methode for the determination of provitamin A carotenoids in Indonesian foods of different maturity and origin. J Agric Food Chem 45 : 1174 – 1179 Iwu MM, Okunji CO, Ohiaeri GO, Akah P, Corley D, Tempesta MS. 1990 Hypoglycaemic activity of dioscoretine from tubers of Dioscorea dumetorum in normal and alloxan diabetic rabbits. Planta Med 56: 264267. Jones PJ. 1999. Cholesterol-lowering action of plant sterols. Curr Atheroscler 1: 230-235. Jones PJ, Raeini-Sarjaz M, Ntanios FY, Vanstone CA, Feng JY, Parsons WE. 2000. Modulation of plasma lipid levels and cholesterol kinetics by phytosterol versus phytostanol esters. J Lipid Res 41: 297-705 Kanchanapoom T, Chumsri P, Kasai R, Otsuka H, Yamasaki K. 2003. Lignan and megastigmane glycosides from sauropus androgynus. Phytochemistry 63: 985 – 988 Karadas F, Pappas AC, Surai, PF, Speake BK. 2005. Embryonic development within carotenoid-enriched eggs influences the post-hatching carotenoid status of the chicken. Comparative Biochem and Physiol. Part B 141: 244251.
Kenedy AR. 1995. The evidence for soybean products as cancer preventive agents. J Nutr 125 (3 Suppl): 735S – 743S. Kerwin Jl, Duddles ND. 1989. Reassesment of the role of phospholipids in sexual reproduction by sterol-auxotropic fungi. J Bacteriol 171: 3831-3839. Kul S, Seker I. 2004. Phenotypic correlations between some external and internal egg quality traits in the Japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Int J Poultry Sci 3: 400-405. Lichtenstein AH, Deckelbaum RJ. 2001. Stanol/sterol ester-containing foods and blood cholesterol levels [ulasan]. Circulation 103:1177. Ling WH, Jones PJ. 1995. Dietary phytosterols: a review of metabolism, benefits and side effects. Life Sci 57: 195-206. Machlin LJ, Langseth L. 1988. Vitamin-vitamin interactions. Di dalam: Bodwell CE, Erdman JW Jr, editor. Nutrien Interactions. New York: Marcel Dekker, Inc. Malik A. 1997. Tinjauan fitokimia, indikasi penggunaan dan bioaktivitas daun katuk dan buah trengguli. Warta Tumbuhan Obat 3: 39 – 41 Maskarinec G, Chan CLY, Meng L, Franke AA, Cooney RV. 1999. Exploring in the feasibility and effects if a high-fruit and –vegetable diet in healthy women. Cancer Epidemio Biomarkers and Prev 8: 919-924. Matthews CK, Holde KE van, Ahern KG. 2000. Biochemistry. Ed ke-3. San Fransisco: An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Miettinen TA, Gyllings H. 1999. Regulation of cholesterol metabolism by dietary plant sterols. Curr Opin Lipidol 10: 9-14. Moalic S, Liagre B, Corbiere C, Bianchi A, Dauca M, Bordji K, Beneytout JL. 2001. A plant steroid, diosgenin, iduces apoptosis, cell cycle arrest and COX activity in osteosarcoma cells. FEBS Lett 506: 225-230. Moreng RE, Avens JS. 1985. Poultry Science and Production. Reston Publishing Company, Inc.
Virginia:
Moruisi KG, Oosthuizen W, Opperman AM. 2006. Phytosterols/stanols lower cholesterol concentrations in familial hypercholesterolemic subjects: a systematic review with meta-analysis. J Am Coll Nutr 25: 41 – 48 Murray AA, Molinek MD, Baker SJ, Kojima FN, Smith MF, Hillier SG, Spears N. 2001. Role of ascorbic acid in promoting follicle integrity and survival in intact mouse ovarian follicles in vitro. Reproduction 121: 89-96.
Nasution WR. 2005. Kandungan vitamin A, kolesterol, lemak, dan profil asam lemak karkas broiler yang diberi tepung daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nationaal Herbarium Nederland. 2003. Sauropus androgynus (L.) Merr. [ulasan]. Sauropus. [terhubung berkala]. http://www. nationaalherbarium.nl/euphorbs /specS/Sauropus. [4 September 2004] Ness WD, Stafford AE. 1983. Evidence for metabolic and functional discrimination of sterols by Phytopthora cactorum. Biochemistry 80: 32273231. Nguyen TT. 1999. The cholesterol-lowering action of plant stanols esters. J Nutr 129: 2109 – 2112 [NRC] THE NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1994. Nutrient Requirement of Poultry : Ed rev ke-9. Washington DC : NRC, USA Ostlund RE Jr. 2004. Phytosterols and cholesterol metabolism. Lipidol 15: 37-41
Curr Opin
Padmavathi P, Rao MP. 1990. Nutritive value of Sauropus androgynus leaves. Plant Foods for Human Nutr 40 : 107 – 113 Pageaux JF, Laugier C, Pal D, Pacheco H. 1984. Development of the oviduct in quail during sexual maturation in relation to plasma concentration of oestradiol and progesterone. J Endocrin 100: 167-173 Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya Prajogo B, Santa IGP. 1997. Studi taksonomi Sauropus androgynus (L.) Merr. (katuk). Warta Tumbuhan Obat 3: 34 - 35. Prajonggo TS, Djatmiko W, Soemarno T, Lunardi JL. 1983. Pengaruh Sauropus androgynus L. Merr terhadap gambaran histologi kelenjar susu mencit betina yang menyusui. Prosiding Kongres Nasional XI ISFI. Jakarta. Hlm 735-739. Rao AV, Janezie SA. 1992. The role of dietary phytosterols in colon carcinogenesis. Nutr Cancer 18: 43-52. Sahelian R. 2006. Phytosterols [ulasan]. Index of natural herbal medicine. [terhubung berkala]. http://www.raysahelian.com/phytosterols.html. [16 Mei 2006]. Saragih DTR. 2005 Daun katuk dalam ransum ayam petelur dan pengaruhnya terhadap kandungan vitamin A, kolesterol pada telur dan karkas serta
estradiol darah [tesis]. Bogor: Bogor.
Sekolah Pascasarjana, Institut Petanian
Seker I, Kul S, Bayraktar M. 2004. Effects of parental age and hatching egg weight of Japanese quails on hatchability and chick weight. Int J Poultry Sci 3: 259-265. Squaires MW, Nabel EC. 1993. Vitamin profiles of eggs as indicators of nutritional status in the laying hen: vitamin A study. Poultry Sci 72: 154164. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan. PT Gramedia, Jakarta. Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukendar. 1997. Pengenalan morfologi katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Warta Tumbuhan Obat 3: 53. Suprayogi A. 1993. Meningkatkan produksi susu kambing melalui daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.). Agrotek 1: 61-62. Suprayogi A. 2000. Studies on the Biological Effect of Sauropus androgynus (L.) Merr. : Effect on Milk Production and the Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. Gottingen: George-August, Universitat Gottingen Institut fur Tierphysiologie und Tierernahrung. Surai PF. 2003. Natural Antioksidants in Avian Nutrition and Reproduction. Nottingham: Nottingham University Press. Tarigan P. 1980. Beberapa aspek kimia sapogenin steroid pada tumbuhan di Indonesia [disertasi]. Bandung: Universitas Padjajaran [IFST] The Institute of Food Science and Technology 2005. Information statement on phytosterol esters [laporan inovasi]. Plant Sterol and Plant Stanol. [terhubung berkala]. http://www.innovations-report.com/html. [28 Agustus 2006] Tilvis RS, Miettinen TA. 1986. Serum plant sterols and their relation to cholesterol absorption. Am J Clin Nutr 43: 92-97. Traber MG. 2004. The ABCs of vitamin E and β-carotene absorption [editorial]. Am J Clin Nutr 80 (1): 3-4. Turner CD, Bagnara JD. 1976. Endokrinologi Umum. Harsojo, penerjemah. Surabaya: Unair Pr. Terjemahan dari: General Endocrinology.
Undie AS, Akubue PI. 1986. Pharmacological evaluation of Dioscorea dumoterum tuber used in traditional antidiabetic therapy. J Ethnopharmacol 15: 133-144. Upritchard JE et al. (2003). Spread supplemented with moderate doses of vitamin E and carotenoids reduces lipid peroxidation in healthy, nonsmoking adults [komunikasi penelitian]. Am J Clin Nutr 78: 985-992. Wiradimadja R. (2007). Dinamika status kolesterol pada puyuh jepang (Coturnix coturnix japonicus) yang diberi daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Petanian Bogor. Wu WH, Liu LY, Chung CJ, Jou HJ, Wang TA. 2005. Estrogenic efffect of yam ingestion in healthy post menopousal women. J Am Coll Nutr 24: 235 243. Yamada T, Hoshino M, Hayakawa T, Ohhara R, Yamada H, Nakazawa T, Inagaki T, Iida M, Ogasawara T, Uchida A, Hasegawa C, Murasaki G, Miyaji M, Hirata A, Takeuchi T. 1997. Dietary diosgenin attenuates subacute intestinal inflammation associated with indomethacin in rats. Am J Physiol 273: G355 – G364. Yang C, Yu L, Li W, Xu F, Cohen JC, Hoobs HH. 2004. Disruption of cholesterol homeostasis by plant sterol. J Clin Invest 114: 813-822. Yasni S, Kusnandar F, Hartini. 1999. Mempelajari cara ekstraksi dan fraksinasi komponen aktif alkaloid daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Bul Teknol dan Industri Pangan 10: 43-48 Yuliani S, Tri Mawarti. 1997. Tinjauan daun katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. Warta Tumbuhan Obat 3: 55. Zhou W, Song Z, Kanagasabai R, Liu J, Jayasimha P, Sinha A, Veeramachanemi P, Miller MB, Nes WD. 2004. Mechanism-based enzyme inactivators of phytosterol biosynthesis [ulasan]. Molecules 9: 185-203 Zyood T al, Shawakfa K. 2006. Phytosterols. Jordan: Jordan University of Science of Technology.
Lampiran 1. Analisis proksimat pakan* (Kontrol/K, Tepung Ekstrak Katuk/TEK, Tepung Daun Katuk/TDK) dan Ekstrak Katuk (EK)
Kode
BK
Abu
PK
SK
LK
Beta-N
Ca
P
NaCl
EB
Code
DM
Ash
CP
CF
EE
NFE
Ca
P
NaCl
GE
K
86.91
10.24
21.89
5.71
9.49
43.61
2.09
1.15
-
3702
TEK
87.25
9.73
21.82
5.61
9.09
41.00
2.40
1.20
-
3676
TDK
86.21
10.32
22.14
5.95
10.13
38.67
1.93
1.17
-
3842
EK**
92.47
5.82
4.12
0.01
1.45
75.07
-
-
-
4286
* **
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. EK adalah ekstrak katuk yang diberi pengisi amilum
Lampiran 2.
Hasil formulasi ransum isonitrogen dan isokalori pakan K, TEK, dan TDK
Bahan
Energi metabolis
Protein Kasar
Dedak Bungkil kedelai Bungkil kelapa Tepung Ikan CPO Tapioka Ekstrak katuk Tepung Katuk
2100 2470 1810 2890 6600 3780 3214 2863
11 43 20 60 2.58 4.12 27
Pakan K Bahan
%
Dedak Bungkil kedelai Bungkil kelapa Tepung Ikan CPO Tapioka Ekstrak katuk Tepung Katuk Premix dan CaCO3
25 15 15 17 10 15 0 0 3
Energi Metabolis
Protein Kasar
525.0 370.5 271.5 491.3 660.0 567.0 0 0
2.75 6.45 3 10.2 0 0.387 0 0
2885.3
22.79
Energi Metabolis
Protein Kasar
Pakan TEK Bahan
%
Dedak Bungkil kedelai Bungkil kelapa Tepung Ikan CPO Tapioka Ekstrak katuk Tepung Katuk Premix dan CaCO3
25 15 11 17 10 10 9 0 3
525.0 370.5 199.1 491.3 660.0 378.0 289.31 0 2913.2
2.75 6.45 2.2 10.2 0 0.258 0.371 0 22.23
Pakan TDK Bahan
%
Dedak Bungkil kedelai Bungkil kelapa Tepung Ikan CPO Tapioka Ekstrak katuk Tepung Katuk Premix dan CaCO3
25 15 10 15 10 13 0 9 3
Energi Metabolis 525.0 370.5 181.0 433.5 660.0 491.4 0 257.67 2913.2
Protein Kasar 2.75 6.45 2 9 0 0.33 0 2.43 22.96
Lampiran 3
Kandungan fitosterol dari bahan pangan terseleksi (http://hom.gci.net/`designed/plant_sterols_review.htm
Pangan
Kombinasi fitosterol
Kacang dan biji-bijian Almon Kacang mete Chestnuts Biji coklat Pecan Pine nuts Pistachios Sesame seeds Biji bunga matahari Walnuts
(mg/100 g dari porsi yang dapat dimakan) 122 130 18 27 88 84 90 443 349 87
Sayuran Asparagus Barley Beetroot Brussels sprout Kobis Wortel Cauliflower Ketimun Gingerroot Squash, white Letuce, romaine Melons Okra Bawang bombay Buncis Peppers, red Kentang, manis Kentang putih Labu Radish green Kedelai Taro Turnip green Yams
(mg/100 g dari porsi yang dapat dimakan) 14 98 13 17 7 7 12 14 10 89 21 16 15 15 108 7 8 40 12 22 30 11 9 7
Minyak sayuran Cocoa butter Flaxseed Olive (France) Olive (Italy) Safflower Soybean Sunflower Wheat germ
(mg/100 g dari porsi yang dapat dimakan) 59 46 91 84 52 53 60 67
Buah-buahan Apel Apricot
(mg/100 g dari porsi yang dapat dimakan) 11 16
Pisang Cherry Figs Anggur Lemon Jeruk, navel Peaches Pear Pomegranates Strawberry
11 12 27 13 8 17 6 7 16 10
Polong-polongan dan legume Azuki Broad Kidney Mung Peanuts
(mg/100 g dari porsi yang dapat dimakan) 37 95 91 13 142
Bumbu kering Jahe Oregano Paprika Cengkih Fenugreek Thyme
(mg/100 g dari porsi yang dapat dimakan) 56 177 119 242 100 152
Lampiran 4
No
1
RT
7.24
Senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun katuk (dengan etanol 70%) Area %
Library/ID
Quality
- 0.17
Dodecanoic acid
81 7
2
11.06
2.40
Tetradecanoic acid
3
13.53
1.03
Hexadecanoic acid methyl ester2
99
4
14.95
7.15
Hexadecanoic acid ethyl ester2
99
5
15.68
8.28
Hexadecanoic acid2
99
6
16.48
0.47
9,12-Octadecadienoic acid10
7 8
16.64 17.24
1.44 17.02
96
99
9,12,15-Octadecatrienoic acid
1
3
99 90
PHYTOL
1
9
18.06
11.85
9,12,15- Octadecatrienoic acid
99
10
18.41
7.42
9,12,15-Octadecatrienoic acid1
86
11
18.82
11.69
9,12,15- Octadecatrienoic acid1
91
12
18.90
0.87
Octadecanoic acid10
99
13
22.53
1.45
Ethanamine
59
14
23.46
1.89
Hexadecanoic acid
2
93 4
Methyl 11,14,17-eicosatetrae
91
1.82
2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene
56
5
15
26.47
12.81
16
27.67
17
29.18
1.04
delta-tocopherol
98
18
30.28
0.49
beta-tocopherol5
99
19
30.47
0.53
gama tocopherol5
95
20
31.51
2.10
Vitamin E $$ 2H-Benzopyran5
95
21
32.57
0.74
Stigmasta-5,22-dien-3β-ol6
93
22 23
33.25 33.48
0.68 0.57
Stigmast-5-en-3-ol
8
Stigmasta-5,24(28)-dien-3-ol
99 9
95
8
99
24
33.89
0.68
Stigmast-5-en-3-ol
25
34.28
1.02
Stigmast-5-en-3-ol8
81
26
35.67
3.07
Stigmasta-5,22-dien-3β-ol6
99
27
36.82
1.05
Stigmasta-5,24(28)-dien-3-ol9
95
28
37.27
0.61
Stigmasta-5,24(28)-dien-3-ol9
83
Keterangan: superskrip nomor pada Library/ID menunjukkan nomor pada Tabel 6 (Hasil akumulasi senyawa yang sama)
Lampiran 5. Analisis ragam untuk konsumsi ransum puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Perlakuan Galat
2 12
60756 986444
Total
14
1047200
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
30378 82204
0.37
0.699tn
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
0.328 0.816
0.40
0.677 tn
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
12779 0.816
0.95
0.414tn
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 6. Analisis ragam untuk konversi ransum puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Perlakuan Galat
2 12
0.656 9.788
Total
14
10.445
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 7. Analisis ragam untuk total berat telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Perlakuan Galat
2 12
25559 9.788
Total
14
10.445
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 8. Analisis ragam untuk berat badan puyuh umur 3 minggu Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
2.56
0.119tn
2
81.5
40.7
Galat
12
190.9
15.9
Total
14
272.4
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 9. Analisis ragam untuk berat badan puyuh umur 4 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
274.2 336.6
137.1 28.1
4.89
0.028*
Total
14
610.8
Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-19,070 -1,210
TEK
-16,270 1,590
TDK
-6,130 11,730
Lampiran 10. Analisis ragam untuk berat badan puyuh umur 5 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
400.3 439.6
200.2 36.6
5.46
0.021*
Total
14
839.9
Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-22,445 -2,035
TEK
-13,545 6,865
TDK
-1,305 19,105
Lampiran 11. Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi puyuh umur 3 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
1.037 3.558
0.518 0.297
1.75
0.216tn
Total
14
4.595
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 12. Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi puyuh umur 4 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
0.9030 0.8772
0.4515 0.0731
6.18
0.014*
Total
14
1.7802
Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-1,0258 -0,1142
TEK
-0,5758 0,3358
TDK
-0,0058 0,9058
Lampiran 13. Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi puyuh umur 5 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Perlakuan Galat
2 12
77.9 61.7
Total
14
139.11
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01)
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
38.97 5.10
7.64
0.007**
Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-8,685 -1,071
TEK
-3,893 3,721
TDK
0,985 8,599
Lampiran 14. Analisis ragam untuk umur dewasa kelamin puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
160.53 107.20
80.27 8.93
8.99
0.004**
Total
14
267.73
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
2,593 11,407
TEK
-3,407 5,407
TDK
-10,407 -1,593
Lampiran 15. Analisis ragam untuk berat badan puyuh pada saat dewasa kelamin Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
6.40 87.60
3.20 7.30
0.44
0.655 tn
Total
14
94.00
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 16 Analisis ragam untuk berat telur pertama puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
1.097 3.876
0.548 0.323
1.70
0.224tn
Total 14 4.973 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 17. Analisis ragam untuk produksi telur (henday) puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
56.3 1142.8
28.1 95.2
0.30
0.749tn
Total
14
1199.1
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 18. Analisis ragam untuk berat telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
11.84 84.20
5.92 0.57
10.34
0.00**
Total 149 96.04 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji Lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0191 Critical value = 3,35 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-1,0329 -0,3159
TEK
-0,8147 -0,0977
TDK
-0,1403 0,5767
Lampiran 19. Analisis ragam untuk berat cangkang telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
0.144 4.381
0.072 0.030
2.42
0.093tn
Total 149 4.525 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 20. Analisis ragam untuk tebal cangkang telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
0.0015 0.0381
0.00075 0.00026
2.90
0.058tn
Total 149 0.0396 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 21. Analisis ragam untuk berat kuning telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
0.315 18.955
0.157 0.129
1.22
0.298tn
Total
149
19.270
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 22. Analisis ragam untuk berat putih telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
6.494 55.949
3.247 0.381
8.53
0.000**
Total 149 62.443 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01)
Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0191 Critical value = 3,35 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-0,7987 -0,2141
TEK
-0,5953 -0,0107
TDK
-0,0889 0,4957
Lampiran 23. Analisis ragam untuk warna kuning telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
613.88 87.30
306.94 0.59
516
0.000**
Total 149 61.7820 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0191 Critical value = 3,35 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-5,2183 -4,4881
TEK
-1,9249 -1,1947
TDK
2,9283 3,6585
Lampiran 24. Analisis ragam untuk HU Index telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 147
181.3 3966.5
90.6 2.67
3.36
0.037*
Total 149 4147.8 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05)
Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0191 Critical value = 3,35 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-4,959 -0,037
TEK
-4,581 0,341
TDK
-2,084 2,838
Lampiran 25. Analisis ragam untuk kolesterol serum puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
68 1779
34 148
0.23
0.799tn
Total 14 1847 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 26. Analisis ragam untuk kolesterol telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
26921 39108
13461 3259
4.13
0.043*
Total 14 66029 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
0,096 7,796
TEK
-0,762 6,938
TDK
-4,708 2,992
Lampiran 27. Analisis ragam untuk kolesterol karkas puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
631.2 192.8
315.6 16.1
19.95
0.000**
Total 14 824.0 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
0,2875 0,8280
TEK
0,2726 0,8131
TDK
-0,2851 0,2554
Lampiran 28. Analisis ragam untuk kolesterol hati puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
39941 23327
19971 1944
10.27
0.003**
Total 14 63268 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
2,012 7,959
TEK
0,247 6,194
TDK
-4,738 1,208
Lampiran 29. Analisis ragam untuk vitamin A serum puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Perlakuan Galat
2 12
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
980968 34015
490484 11338
43.26
0.006**
Total 14 1014983 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-1930,0 -1776,0
TEK
-187,0 -33,0
TDK
1666,0 1820,0
Lampiran 30. Analisis ragam untuk vitamin A kuning telur puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
1278767 2960
639383 247
2591.74
0.000**
Total 14 1281727 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-1914,0 -1792,0
TEK
-171,0 -49,0
TDK
1682,0 1804,0
Lampiran 31. Analisis ragam untuk vitamin E serum puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
28.925 0.820
14.463 1944
52.92
0.005**
Total 14 29.745 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) k tdk
-7,5353 -3,1648
tek
-5,3356 -0,9651
tdk
0,0144 4,3850
Lampiran 32. Analisis ragam untuk vitamin C serum puyuh Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
728.10 10.52
364.05 3.51
103.87
0.002**
Total 14 738.62 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01)
Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) k tdk
-34,379 -18,731
tek
-16,954 -1,306
tdk
9,601 25,249
Lampiran 33. Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 3 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
0.0161 0.0561
0.0081 0.0047
1.73
0.219tn
Total 14 0.0723 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 34. Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 4 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
0.070 0.022
0.035 0.131
18.85
0.000**
Total 14 0.093 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
0,09036 0,23604
TEK
0,04236 0,18804
TDK
-0,12084 0,02484
Lampiran 35. Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 5 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
0.0195 0.0049
0.0098 0.0004
24.11
0.000**
Total 14 1.3379 Keterangan: * = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey
Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
0,04985 0,11775
TEK
-0,01655 0,05135
TDK
-0,10035 -0,03245
Lampiran 36. Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 3 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
312.0 410.5
156.0 34.2
4.56
0.034*
Total 14 722.4 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-2,0231 -0,0432
TEK
-1,9152 0,0647
TDK
-0,8821 1,0978
Lampiran 37. Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 4 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Perlakuan Galat
2 12
Jumlah Kuadrat 216.6 320.9
Total 14 537.5 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
108.3 26.7
4.05
0.045*
Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-18,014 -0,576
TEK
-13,792 3,647
TDK
-4,497 12,942
Lampiran 38. Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 5 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Perlakuan Galat
2 12
Jumlah Kuadrat 248.1 320.9
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
124.1 26.7
4.64
0.032*
Total 14 569 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-2,0990 0,2602
TEK
-1,6950 0,6642
TDK
-0,7756 1,5836
Lampiran 39. Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 21 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
30 1342
15 112
0.13
0.877tn
Total 14 1371 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 40. Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 22 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
1657 14898
828 101
8.17
0.000**
Total 14 16554 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata (p<0.01) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0191 Critical value = 3,35 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-12,46 -2,92
TEK
-6,31 3,23
TDK
1,38 10,92
Lampiran 41. Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 23 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
529 1256
264 105
2.53
0.121tn
Total 14 1785 Keterangan: tn= tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 42. Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 24 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
103 1538
51 128
0.40
0.679tn
Total 14 1641 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 43. Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 21 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
35.0 647.8
17.5 54.0
0.32
0.729tn
Total 14 682.9 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 44. Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 22 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
447 1282
223 107
2.09
0.166tn
Total 14 1729 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 45. Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 23 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
53.8 1192.9
26.9 99.4
0.27
0.767tn
Total 14 1246.8 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 46. Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 24 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
687.9 1004.6
344.0 83.7
4.11
0.04*
Total 14 1692.5 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206
Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-31,84 -0,99
TEK
-25,72 5,13
TDK
-9,31 21,55
Lampiran 47. Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 0 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
3.660 27.960
1.830 0.388
4.71
0.012*
Total 14 31.620 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206 Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
-0,9613 -0,1187
TEK
-0,6613 0,1813
TDK
-0,1213 0,7213
Lampiran 48. Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 1 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
12.20 84.50
6.10 3.13
1.95
0.162tn
Total 14 96.70 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 49. Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 2 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
16.3 299.9
8.1 11.1
0.73
0.490tn
Total 14 316.2 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 50. Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 3 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
22.4 606.3
11.2 22.5
0.50
0.613tn
Total 14 628.7 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 51. Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 4 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
11.5 616.4
5.7 22.8
0.25
0.780tn
Total 14 627.9 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 52. Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 1 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Perlakuan Galat
2 12
Jumlah Kuadrat 170.2 218.2
Total 14 388.4 Keterangan: * = berbeda nyata (p<0.05) Uji lanjut Tukey Family error rate = 0,0500 Individual error rate = 0,0206
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
85.1 18.2
4.68
0.031*
Critical value = 3,77 Intervals for (column level mean) - (row level mean) K TDK
1,014 15,394
TEK
-2,334 12,046
TDK
-10,538 3,842
Lampiran 53. Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 2 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
98.7 606.9
49.3 50.6
0.98
0.405tn
Total 14 705.6 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 54. Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 3 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
21.7 192.4
10.8 16.0
0.68
0.527tn
Total 14 214.1 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)
Lampiran 55. Analisis ragam untuk tingkat mortalitas anak puyuh umur 4 minggu Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
P
Perlakuan Galat
2 12
5.03 54.00
2.51 4.50
0.56
0.586tn
Total 14 59.03 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (p>0.05)