Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENGUJIAN EKSTRAK ETANOL, ETIL ASETAT DAN MINYAK ATSIRI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica (L) Lees.) TERHADAP Trichophyton mentagrophytes DAN Cryptococcus neoformans SECARA IN VITRO (In Vitro Test of Ethanol, Ethyl Acetate, Atsiri Oil Extract From Baluntas Leaves (Pluchea indica (L) Lees.) against Trichophyton mentagrophytes and Cryptococcus neoformans) Riza Zainuddin Ahmad, Gholib D Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT Beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.) leaf is known to have effect of therapeutic on fungal infection. This aim of research was to compare the effect of ethanol, ethyl acetate extract and atsiri oil of beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.) on Trichophyton mentagrophytes and Cryptococcus neoformans growth by means of in vitro test by mean difusion and dilution methods. The diffusion method used Sabouraud Dextrose Agar (SDA) was to get diameter of inhibition zone around the extracts, and the dilution method was to get minimal inhibition concentration (MIC) of the extracts. Results showed that the atsiri oil have greater inhibition effect compared to the ethanol and ethyl acetate on T. mentagrophytes with mean of inhibition zone diameter was 18.33 mm at 5% concentration and on C. neoformans was 17.67 mm at 50% concentration. While ketoconazole 2% showed that the diameter of inhibition 3 cm to T. mentagrophytes and 2.5 cm to C. neoformans. Minimal inhibition concentration of atsiri oil was 1.25%, ethanol and ethyl acetate was 25% respectively on T. mentagrophytes. Minimal inhibition concentration of atsiri oil was 12.5% on C. neoformans, while ethanol and ethyl acetate did not have inhibition concentration up to 50%. It was concluded that atsiri oil had greater effect on T. mentagrophytes and C. neoformans than ethanol and ethyl acetate extracts. Minimal inhibition concentration of atsiri oil on T. mentagrophytes was 10 times more than that on C. neoformans. Key Words: Pluchea indica, Atsiri Oil, Ethanol Extract, Ethyl Acetate Extract, mentagrophytes, Cryptococcus neoformans
Trichophyton
ABSTRAK Daun beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.) diketahui mempunyai efek terapeutik pada infeksi cendawan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek ekstrak etanol, etil asetat dan minyak atsiri daun beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.) terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans secara uji in vitro. Terdiri dari metoda difusi dan dilusi. Metode difusi dengan menggunakan Sabouraud Dextrose Agar (SDA) adalah untuk mendapatkan diameter daerah hambat disekitar ekstrak, dan metoda dilusi untuk menentukan konsentrasi hambat minimal (KHM) dari ekstrak. Hasil penelitian menunjukkan minyak atsiri mempunyai efek inhibisi paling besar dibandingkan dengan etanol dan etil asetat terhadap T. mentagrophytes dengan rata-rata diameter daerah hambat 18,33 mm pada konsentrasi 5% dan terhadap C. neoformans 17,67 mm pada konsentrasi 50%. Sedangkan control positif obat ketokonazol 2% menunjukkan diameter 3 cm terhadap T. mentagrophytes dan 2,5 cm terhadap C. neiformans. Konsentrasi hambat minimal (KHM) dari minyak atsiri adalah 1,25%, ekstrak etanol dan etil asetat masing-masing adalah 25% terhadap T. mentagrophytes. Konsentrasi hambat minimal (KHM) minyak atsiri adalah 12,5% terhadap C. neoformans, sedangkan ekstrak etanol dan etil asetat menunjukkan penghambatan sampai konsentrasi 50%. Maka dapat disimpulkan bahwa minyak atsiri mempunyai efek lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak etanol dan etil asetat terhadap T. mentagrophytes dan C. neoformans, dan konsentrasi hambat minimal minyak atsiri terhadap T. mentagrophytes 10 kali lipat dibandingkan terhadap C. neoformans. Kata Kunci: Pluchea indica, minyak atsiri, ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, T. mentagrophytes, C. neoformans
406
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENDAHULUAN Diantara penyakit cendawan (mikosis) yang menyerang manusia atau hewan, adalah dermatofitosis yang disebabkan oleh cendawan dermatofit yaitu genus Trichophyton, Microsporum serta Epidermophyton dan Kriptokokosis yang disebabkan oleh genus Cryptococcus. Di dunia veteriner penyakit dermatofitosis dikenal dengan nama ringworm, karena pertama kali diduga penyebabnya adalah cacing (worm), dan gejala klinis menunjukkan gambaran seperti cincin (ring) pada permukaan tubuh (kulit). Reaksi peradangan terjadi pada bagian dermis dan stratum malphigi epidermis, namun jamurnya sendiri dijumpai hanya di dalam stratum corneum, di sekitar batang rambut dan di dalam rambut. Penyakit pada manusia dikenal dengan nama tinea (Jungerman and Schwartzman, 1972). Kriptokokosis adalah penyakit mikosis yang menyerang secara sistemik, menyebar kedalam sistim organ tubuh seperti paru dan otak, baik pada manusia atau hewan. Penyebabnya terutama adalah sejenis ragi, yaitu Cryptococcus neoformans (Sukandar et al. 2006; Harahap 2000). Pengobatan penyakit mikotik dengan obat– obat sintesis relatif masih sedikit jumlahnya, dibandingkan dengan obat untuk penyakit lainnya seperti penyakit bakteri. Selain itu kebanyakan obat kimia mempunyai efek samping yang toksik bagi organ terutama hati dan ginjal. Maka itu perlu dikembangkan obatobat antifungi (anti cendawan) lain yang efek toksiknya rendah, termasuk dalam hal ini obat yang berasal dari tanaman (Anonim 2004; Pelczar dan Chan 1986). Pengembangan obatobat antifungi tersebut umumnya mengacu pada kecenderungan sistem pengobatan di seluruh dunia saat ini yaitu kembali ke obat tradisional asal tanaman obat. Di Indonesia penggunaan tanaman obat, sudah dilakukan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun, sehingga tanaman obat dikenal sebagai obat nenek moyang bangsa Indonesia. Berdasarkan kenyataan ini, maka penggunaan tanaman obat sudah merupakan bagian dari tradisi masyarakat tradisional kita di bidang pengobatan (Katzung, 1998). Salah satu tanaman obat tradisional yang diketahui mempunyai daya antifungi adalah beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.). Tanaman
dikenal dengan nama lokal: beluntas (Sunda), baluntas (Madura), luntas (Jawa Tengah), lamutasa (Makasar). Umumnya tumbuh liar di daerah kering, tanah keras dan berbatu, atau ditanam sebagai tanaman pagar. Tanaman ini memerlukan cukup cahaya matahari.atau sedikit naungan. Tanaman hidup pada ketinggian 0-1000 m dpl (Winarto, 2007). Dalam pengobatan secara tradisional, daun beluntas yang telah direbus sangat baik untuk mengobati sakit kulit seperti panu dan kudis. Selain itu daun beluntas juga dapat digunakan sebagai obat turun panas (antipiretik), analgesik, menambah napsu makan (stomakik), melancarkan pencernaan, obat batuk, diare, dan dapat mengobati tuberkulosis, serta dapat menghilangkan bau badan. Daun beluntas juga sering dikonsumsi sebagai lalapan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sebuah tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor didapatkan hasil bahwa beluntas termasuk satu dari 11 sayuran berantioksidan tinggi. Senyawa aktif yang tergolong antioksidan alami itu berupa senyawa fenolik (tokoferol, flavonoid, asam fenolat), selain itu juga mengandung amirin, - amirin, kampestrol, asam klorogenat, steroid, tanin, triterpenoid, alkaloid, quercetine, saponin, polifenol dan timohidrokuinondimetileter. Sebagai antimikroba termasuk bakteri, daun beluntas dapat menghambat Streptococcus pyogenes, menyebabkan radang tenggorokan, infeksi amandel dan faring, serta Escheria coli, penyebab diare. Seluruh bagian tanaman dapat digunakan, terutama daunnya. Khasiat daun beluntas sebagai antifungi juga telah dibuktikan secara ilmiah seperti penelitian yang dilakukan oleh Malik (1994) yang menunjukkan bahwa daun beluntas dapat berfungsi sebagai antifungi untuk Microsporum gypseum dan Candida albicans (Purwanti dan Djoko 2003; Winarto 2007). Tujuan dari percobaan ini untuk membandingkan efek ekstrak etanol, etil asetat dan minyak atsiri dari daun beluntas (Pluchea indica (L.) Lees) terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans dengan metoda in vitro. MATERI DAN METODE Bahan penelitian terdiri dari minyak atsiri, ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat daun
407
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.). Simplisia daun diperoleh dari BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik), Bogor. Kapang dermatofit, Trichophyton mentagrophytes (BCC F 0217) dan khamir Cryptococcus neoformans (BCC F0083), berasal dari isolat Balitvet Culture Collection (BCC). Pengujian antifungi Pengujian dilakukan secara uji in vitro, yaitu dengan uji difusi dan dilusi (pengenceran). Uji difusi Uji ini bertujuan untuk mengukur diameter daerah hambat (DDH) disekitar ekstrak yang diuji pada agar yang ditanami dengan jamur uji. Media Agar Sabouraud dalam cawan petri ditanami suspensi cendawan uji secara merata dipermukaannya, lalu dibuat lubang sumuran dengan menggunakan pipet pasteur. Lubang tersebut lalu diisi dengan ekstrak yang encerannya berbeda untuk tiap lubang. Enceran masing-masing ekstrak etanol dan etil asetat adalah 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% untuk uji terhadap T.mentagrophytes dan C. neoformans. Sedangkan minyak atsiri diencerkan menjadi 5; 4; 3; 2; 1% terhadap T. mentagrophytes, dan 50; 40; 30; 20; dan 10% terhadap C. neoformans. Sebagai kontrol positif digunakan salep krim ketokonazol 2%. Percobaan dilakukan dengan 3 kali ulangan. Biakan diinkubasi pada suhu 37oC. Uji dilusi Uji ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi hambat minimal (KHM) dari ekstrak, yaitu dengan metode dilusi penipisan agar lempeng. Cendawan uji diencerkan menjadi 10-3 . Ekstrak etanol dan etil asetat masing-masing diencerkan dengan air suling steril dan ditambah Tween 80 sebagai emulgator menjadi 50; 25; 12,5; 6,25; 3,125% untuk uji terhadap T. mentagrophytes dan C. neoformans. Sedangkan minyak atsiri 5; 2,5; 1,25; 0,625; 0,3125% untuk uji terhadap T. mentagrophytes dan 50; 25; 12,5; 6,25; 3,125%
408
terhadap C. neoformans. Sedangkan enceran kontrol positif krim ketokonazol adalah 2; 1; 0,5; 0,25; 0,125% untuk pengujian terhadap T. mentagrophytes. Tiap dosis enceran ekstrak dan cendawan diisi masing-masing 1 ml ke dalam cawan Petri kosong steril. Inkubasi pada suhu 37oC. Percobaan dilakukan dengan 3 kali ulangan. Pertumbuhan koloni cendawan diperiksa untuk tiap enceran. Dosis enceran yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan koloni ditentukan sebagai nilai KHM dari ekstrak. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji aktivitas antifungi ekstrak etanol dan etil asetat daun beluntas terhadap pertumbuhan T. mentagrophytes dengan metoda difusi agar, hasilnya menunjukkan masing-masing diameter hambat rata-rata pada konsentrasi 10% adalah 8,67 mm, 9,33 mm, dan pada konsentrasi 50% adalah 20,33 mm dan 20,67 mm. Sedangkan minyak atsiri, pada konsentrasi 1% diameter hambat rata-rata adalah 7,66 mm dan pada konsentrasi 5%, 18,33 mm. Sedangkan kontrol positif krim ketokonazol 2% diameter daya hambatnya 3 cm (Gambar 1). Pada uji dengan metoda dilusi, hasilnya menunjukkan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) ekstrak etanol dan etil asetat terhadap T. mentagrophytes, masing-masing adalah 25%, sedangkan minyak atsiri 1,25%. Uji ekstrak etanol, etil asetat dan minyak atsiri terhadap pertumbuhan Cryptococcus neoformans dengan metoda difusi agar (Gambar 2) hasilnya menunjukkan pada konsentrasi 10% masing-masing adalah 6,67 mm, 7 mm dan 7,33 mm, Uji efek daya hambat ekstrak etanol, etil asetat dan minyak atsiri dengan metoda dilusi hasilnya menunjukkan ekstrak etanol dan etil asetat sampai enceran 50% tidak menghambat pertumbuhan koloni cendawan, sehingga tidak dapat memungkinkan untuk digunakan karena tidak efektif, sedangkan minyak atsiri terjadi penghambatan pada enceran 12,5%. Dengan demikian nilai KHM minyak atsiri terhadap C. neoformans adalah 12,5%. Sedangkan kontrol positif krim ketokonazol menunjukkan nilai KHM kurang dari 0,125%.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
(a)
(b)
1. Konsentrasi 10%; 2. Konsentrasi 20%; 3. Konsentrasi 30%; 4. Konsentrasi 40%; 5. Konsentrasi 50% Gambar 1. Hasil uji in vitro Trichophyton mentagrophytes dengan metode difusi ekstrak etil asetat (a), etanol (b) dan minyak atsiri
Minyak atsiri 1. Konsentrasi 1% 2. Konsentrasi 2% 3. Konsentrasi 3% 4. Konsentrasi 4% 5. Konsentrasi 5%
Kontrol: 1. Tween 80, 2. Air suling steril, 3. Ketokonazole 2%
(a)
1. Konsentrasi 10%; 2. Konsentrasi 20%;
(b)
3. Konsentrasi 30%; 4. Konsentrasi 40%
5. Konsentrasi 50%
Gambar 2. Hasil uji in vitro Cryptococcus neoformans dengan metode difusi ekstrak etil asetat (a), etanol, (b) dan minyak atsiri
409
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Minyak atsiri 1. Konsentrasi 1% 2. Konsentrasi 2% 3. Konsentrasi 3% 4. Konsentrasi 4% 5. Konsentrasi 5%
Pada pembuatan ekstrak digunakan daun pucuk tanaman, dilakukan saat tanaman tepat akan berbunga, hal ini dikarenakan pada saat ini penumpukkan senyawa aktif dalam kondisi tinggi. Daun untuk simplisia dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, terlindung dari cahaya matahari langsung, tujuannya adalah agar senyawa aktif tidak rusak. Dalam proses ekstraksi digunakan simplisia dalam bentuk serbuk, agar luas permukaan yang kontak dengan pelarut lebih besar sehingga proses ekstraksi lebih sempurna. Dalam proses penyerbukan digunakan pengayak nomor 40 dengan ukuran lubang 425 µm dengan kategori serbuk setengah kasar, karena serbuk yang terlalu halus akan mempersulit penyaringan yang disebabkan oleh butir-butir halus akan membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dengan hasil penyarian. Sedangkan untuk penyulingan minyak atsiri digunakan daun utuh yang tidak digiling untuk mencegah penguapan minyak atsiri sebelum digiling. Proses ekstraksi pada penelitian ini menggunakan metoda ekstraksi bertingkat dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya, sehingga diharapkan senyawa kimia yang terkandung dalam daun terekstraksi sempurna dalam masing-masing sifat pelarutnya, dimana senyawa polar larut dalam pelarut polar, senyawa semi polar larut dalam pelarut semi polar dan senyawa non polar larut dalam pelarut non polar. Ekstraksi dimulai
410
Kontrol 1. Tween 80 2. Air suling steril 3. Ketokonazol 2%
dengan pelarut non polar yaitu n-heksan kemudian semi polar yaitu etil asetat dan terakhir dengan pelarut polar yaitu etanol. Sedangkan untuk penyulingan minyak atsiri dilakukan dengan destilasi air dan uap. Ekstrak dengan pelarut heksan dalam penelitian ini tidak digunakan, karena kandungan senyawa non polar sedikit, untuk itu maka digantikan dengan senyawa non polar pada minyak atsiri. Dari hasil ekstraksi 500 gram serbuk beluntas, rendemen tiap ekstrak berbeda, hal ini karena ada perbedaan sipat kepolaran pelarut dan perbedaan kelarutan komponen senyawa kimia dalam daun beluntas. Pada pengujian secara uji in vitro, ekstrak diencerkan dengan tween 80, yang efeknya sebagai emulgator, sehingga memudahkan pelarutan ekstrak, dan juga tidak mempunyai aktifitas antifungi. Pada uji difusi terhadap T. mentagrophytes, hasilnya menunjukkan diameter daerah hambat masing-masing ekstrak 50% etanol dan etil asetat adalah 20,33 mm dan 20,67 mm. Minyak atsiri dengan konsentrasi 1/10 kali, yaitu 5%, diameter daerah hambat 18,33 mm. Dengan demikian tampak bahwa minyak atsiri lebih kuat daya antifunginya dari pada kedua ekstrak tersebut. Sedangkan uji difusi terhadap C. neoformans menunjukkan diameter daerah hambat kedua ekstrak dan minyak atsiri pada konsentrasi sama yaitu 50%, hasilnya tidak jauh berbeda diantara ketiga bahan uji yaitu masing-masing adalah 17,33 mm, 16,33 mm
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
dan 17,67 mm. Pada uji dilusi terhadap T. mentagrophytes, nilai KHM kedua ekstrak, etanol dan etil asetat sama yaitu 25%, sedangkan minyak atsiri 1,25%, dan terhadap C.neoformans kedua ekstrak tidak menunjukkan penghambatan sampai konsentrasi 50%. Sehingga dapat disimpulkan senyawa aktif sebagai antifungi pada minyak atsiri lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak etanol dan etil asetat, dan T. mentagrophytes lebih peka terhadap efek antifungi dari kedua ekstrak dan minyak atsiri dari pada C. neoformans. Minyak atsiri mempunyai daya antifungi (anti cendawan) yang paling kuat diantara bahan yang diuji yang ada di daun beluntas. Menurut penelitian sebelumnya aktivitas antifungi diduga berasal dari kandungan minyak atsiri daun beluntas yaitu golongan terpenoid seperti kariofilen, isokariofilen dan azulen (Winarto 2007). Berdasarkan hasil penapisan fitokimia, kandungan minyak atsiri ini ditemukan pada ekstrak etil asetat dalam konsentrasi kecil. Selain itu, senyawa triterpenoid dan steroid juga berkhasiat sebagai antifungi, hal ini dikarenakan bahwa triterpenoid dan steroid merupakan senyawa golongan terpenoid, yang juga diduga sebagai antifungi. Mekanisme kerja terpenoid sebagai antifungi yaitu karena senyawa terpenoid ini larut dalam lemak sehingga dapat menembus membran sel fungi dan mempengaruhi permiabilitasnya dan menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi membran sel. Dari penelitian ini ternyata C. neoformans lebih resisten dibandingkan dengan T. mentagrophytes terhadap ekstrak atau minyak atsiri daun beluntas, hal ini kemungkinan bahwa morfologi sel C. neoformans mempunyai kapsul sehingga dinding selnya sulit ditembus. Obat sintesis ketokonazol digunakan sebagai kontrol positif, merupakan obat paten komersil, menunjukkan efek antifungi yang kuat terhadap kedua jenis cendawan yang diuji. Penelitian ini memungkinkan dapat dilanjutkan untuk dilakukan secara in vivo karena cukup berpotensi lebih jauh lagi dapat diisolasi zat aktifnya yang berkhasiat sebagai antifungi.
mentagrophytes terhadap ekstrak atau minyak atsiri daun beluntas. Minyak atsiri daun beluntas menunjukkan efek antifungi paling kuat terhadap T. mentagrophytes (1,25%) tetapi dibawah obat ketokonazol (dibawah 0,125%). Konsentrasi hambat minimal minyak atsiri terhadap T. mentagrophytes 10 kali lipat dibandingkan terhadap C. neoformans dan efek daya hambat obat paten ketokonazol 100 x lebih kuat dari minyak atsiri daun beluntas terhadap T. mentagrophytes. Penelitian ini memungkinkan dapat dilanjutkan untuk dilakukan secara in vivo. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Kebun tanaman obat karyasari. Penyakit dan pengobatannya. Buku I. Jakarta. :12. Harahap M. 2000. Ilmu penyakit kulit. Hipokrates, Jakarta.73. Jungerman PF, Schwartzman RM. 1972. Veterinary medical mycology. Lea and Febiger. Philadelphia. Katzung BG. 1998. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC: 699, 753. Malik A. 1994. Perbandingan aktivitas antijamur dan fitokimia minyak atsiri dan ekstrak daun beluntas. Skripsi. Jurusan Farmasi FMIPA UI. Jakarta. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar mikrobiologi dan klinik. Edisi IV. Diterjemahkan oleh Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. UI Press Jakarta. 189-198. 206, 522. Purwanti I, Djoko S. 2003. Aktivitas anti jamur herba beluntas (Pluchea indica L.) terhadap Candida albicans. Majalah Obat Tradisional.. 8:5-9. Sukandar EY, Suganda AG, Pertiwi GU. 2006. Uji aktivitas anti jamur salep dan krim ekstrak daun ketapang Terminalia cattapa L. pada kulit kelinci. Majalah Farmasi Indonesia. 17:23. Winarto WP. 2007. Tanaman obat Indonesia untuk pengobatan herbal. Jilid I. Jakarta. Karyasari Herba Medika: 45-47.
KESIMPULAN Pada penelitian ini C. neoformans lebih resisten dibandingkan dengan T.
411
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
DISKUSI Pertanyaan: Apakah level atsiri 1,25% sudah dikatakan mampu membasmi T. Mentagrophytes. Jawaban: Sudah mampu, dengan efektivitas sama dengan kontrol yang menggunakan ketokonazole 0,125%).
412