SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK DAN BILANGAN TBA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA
SKRIPSI ANINDITA KUSPRIANTI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ANINDITA KUSPRIANTI. D14204040. 2008. Sifat Fisik, Organoleptik dan Bilangan TBA Tepung Daging Sapi yang Dibuat dengan Metode Pengeringan dan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP, M.Si. Pembuatan daging sapi menjadi tepung daging merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perbedaan sifat fisik (nilai rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air), bilangan thiobarbituric acid (TBA) dan sifat organoleptik (warna, tekstur, bau daging matang dan bau tengik) tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan dan lama penyimpanan yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2007 sampai Pebruari 2008 di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Laboratorium Pilot-Plant Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB serta Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Perlakuan yang diberikan adalah metode pengeringan yang berbeda, yaitu pengeringan beku (metode I), pengeringan dengan oven suhu 50 oC selama 24 jam (metode II), pengeringan dengan oven suhu 60 oC selama 12 jam (metode III) dan pengeringan dengan oven suhu 70 oC selama 6 jam (metode IV). Peubah yang diukur antara lain: nilai rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air, indeks kelarutan air, bilangan TBA serta warna, tekstur, bau daging matang dan bau tengik. Tepung daging dengan setiap perlakuan disimpan selama 42 hari dan dilakukan penilaian organoleptik pada hari ke 0, 14, 28 dan 42. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok untuk peubah rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air, rancangan non-parametrik Kruskal-Wallis untuk penilaian organoleptik. Bilangan TBA menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial 4 x 4 dengan tiga kelompok periode pembuatan. Faktor pertama merupakan empat metode pengeringan (pengeringan beku selama 48 jam, pengeringan oven suhu 50 oC selama 24 jam, pengeringan oven suhu 60 oC selama 12 jam dan pengeringan oven suhu 70 oC selama 6 jam) dan faktor kedua adalah empat waktu penyimpanan (0, 14, 28 dan 42 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengeringan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap rendemen tepung daging dan densitas kamba. Rataan dan simpangan baku rendemen masing-masing perlakuan adalah P1 (17,44% + 1,13), P2(12,19% + 3,66), P3(16,93% + 4,29) dan P4 (16,51% ± 1,12). Rataan dan simpangan baku densitas kamba masing-masing perlakuan adalah P1 (0,364 g/cm3 ± 0,033), P2 (0,363 g/cm3 ± 0,053), P3 (0,331 g/cm3 ± 0,028) dan P4 (0,363 g/cm3 ± 0,037). Perlakuan juga tidak berpengaruh terhadap bilangan TBA, indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) tepung daging sapi. Warna tepung daging dipengaruhi oleh suhu pengeringan, reaksi Maillard dan nilai aw. Semakin tinggi suhu yang digunakan akan menghasilkan warna tepung daging yang lebih gelap. Bau tengik selama penyimpanan relatif tidak berbeda. Bau ii
daging matang dipengaruhi oleh perbedaan pengeringan yang dilakukan. Semakin tinggi suhu yang digunakan akan menghasilkan tepung daging sapi yang berbau daging matang. Tekstur tepung daging pada penyimpanan hari ke-42 berbeda sedangkan hari ke-0, 14 dan 28 tidak berbeda. Kata-kata kunci : tepung daging sapi, pengeringan, sifat fisik, organoleptik, bilangan TBA
iii
ABSTRACT
The Physical, Sensory Assessment and TBA Value Properties of Beef Meal Made by Different Drying Method and Storing Time Kusprianti, A., T. Suryati, Z. Wulandari Different drying method were conducted as treatments, to study physical, sensory assessment and TBA value properties of beef meal. Beef meal which made by different drying method and storing time, included freeze drying ; 48 hours (P1), oven drying 50 oC ; 24 hours (P2), oven drying 60 oC ; 12 hours (P3) and oven drying 70 oC ; 6 hours (P4). Measured observations were rendemen, bulk density, water absorption index, water solubility index, TBA value and sensory properties. The observations was analyzed using randomized block design with three block of period for rendemen, bulk density, water absorption index, and water solubility index. Randomized block design factorial 4 x 4 with three block of period for TBA value and Kruskal-Wallis design for sensory assessment. The result showed that the treatments did not influence beef meal rendemen and bulk density. Its rendemen average and standard were P1 (17,44% + 1,13), P2(12,19% + 3,66), P3(16,93% + 4,29) and P4 (16,51% ± 1,12) while its bulk density were P1 (0,364 g/cm3 ± 0,033), P2 (0,363 g/cm3 ± 0,053), P3 (0,331 g/cm3 ± 0,028) and P4 (0,363 g/cm3 ± 0,037). Statistical analysis did not show any differences on water absorption index. Average and standard deviation of water absoption index were P1(2.346 + 0.246 ml/g), P2(2.377 + 0.503 ml/g), P3(2.206 + 0.226 ml/g) and P4 (2,326 + 0,223 ml/g). Different drying method also did not influence water solubility index. Its average and standard deviation were P1(0.024 + 0.004 g/ml), P2(0.0157 + 0.006 g/ml), P3(0.3505 + 0.574 g/ml) and P4 (0,0121 + 0.004 g/ml). Treatments did not influence TBA value. Different drying method influence colour and flavor beef meal but did not influenced texture and rancidity. Keywords : beef meal, drying, physical properties, sensory assessment, TBA value
SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK DAN BILANGAN TBA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA
ANINDITA KUSPRIANTI D14204040 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK DAN BILANGAN TBA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA
Oleh : ANINDITA KUSPRIANTI D14204040
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 19 Mei 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 132 159 706
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP. 132 206 246
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1986 di Jakarta. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Margani Ismail dan Ibu Kustianah, S.Pd. Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak di TK Ananda pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan dasar di SDN Kunciran VII Cipondoh, Tangerang. Tahun 1996 penulis pindah sekolah ke SDN Kebon Jeruk 12 Pagi Jakarta Barat dan tamat pada tahun 1998. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN 229 Jakarta. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 2004 di SMAN 112 Jakarta sebagai siswi teladan. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis mengikuti berbagai acara kegiatan sebagai panitia, diantaranya adalah panitia pada acara Olympiade IPB 2004, Dekan Cup 2005 dan 2006, Bakti Fakultas Peternakan 2006 dan Aptech 41 Road Trip 2008 Jawa-Bali. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Peternakan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Sifat Fisik, Organoleptik dan Bilangan TBA Tepung Daging Sapi yang Dibuat dengan Metode Pengeringan dan Lama Penyimpanan yang Berbeda.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Hanya karena Ridha-Nya lah penulis dapat melakukan penelitian sampai dengan penyelesaian Skripsi ini. Tidak lupa Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya yang telah memberikan pelajaran hidup berharga kepada kita semua. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengambil judul “Sifat Fisik, Organoleptik dan Bilangan TBA Tepung Daging Sapi yang Dibuat dengan Metode Pengeringan dan Lama Penyimpanan yang Berbeda”. Penelitian ini brtujuan untuk mempelajari sifat fisik yaitu nilai rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA), sifat organoleptik serta bilangan TBA tepung daging sapi yang dihasilkan menggunakan empat metode dan lama penyimpanan yang berbeda. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan pada skripsi ini dalam hal penyajian maupun isi. Penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi salah satu karya terbaik yang bisa penulis persembahkan untuk seluruh keluarga tercinta.
Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
ii
ABSTRACT.....................................................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
v
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ..................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Daging Sapi.......................................................................................... Pengeringan ......................................................................................... Pengeringan Beku (Freeze drying) ...................................................... Pengeringan Oven ................................................................................ Tepung Daging .................................................................................... Bilangan Thiobarbituric acid (TBA) .................................................. Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) ......... Penilaian Organoleptik ........................................................................ Perubahan Karakteristik selama Penyimpanan ................................... Warna ....................................................................................... Bau Tengik .............................................................................. Aroma ..................................................................................... Aktivitas Air (aw) ....................................................................
3 6 7 10 11 13 15 17 17 18 19 20 20
METODE .........................................................................................................
22
Lokasi dan Waktu ................................................................................ Materi ................................................................................................... Rancangan Percobaan .......................................................................... Rancangan Percobaan dan Analisis Data Sifat Fisik ............... Rancangan Percobaan dan Analisis Data Sifat Organoleptik .. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Bilangan TBA ........ Prosedur ............................................................................................... Penelitian Pendahuluan ............................................................ Penelitian Utama ......................................................................
22 22 22 23 23 23 24 24 25
ix
Pengukuran Peubah.............................................................................. Rendemen (AOAC, 1995) ....................................................... Densitas Kamba ...................................................................... Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Indeks Kelarutan Air (IKA) ................................................................................ Sifat Organoleptik .................................................................... Analisis Bilangan TBA (Apriyantono et al., 1989) .................
26 27 27
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
30
Karakteristik Umum Tepung Daging Sapi .......................................... Rendemen Tepung Saging Sapi ........................................................... Densitas Kamba Tepung Daging Sapi ................................................. Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air ............................... Indeks Penyerapan Air (IPA) ................................................... Indeks Kelarutan Air (IKA) .................................................... Bilangan TBA ...................................................................................... Penilaian Organoleptik ....................................................................... Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi sebelum Penyimpanan (Hari ke-0) ......................................................... Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Hari ke-14 ....... Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Hari ke-28 ........ Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Hari ke-42 ....... Perubahan Sifat Organoleptik selama Penyimpanan ..............
30 31 32 34 34 36 37 40
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
48
Kesimpulan ......................................................................................... Saran ...................................................................................................
48 48
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
49
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
50
LAMPIRAN ....................................................................................................
55
27 28 29
40 41 42 43 44
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Kandungan Gizi Daging Sapi per 100 gram* .................................
4
2.
Jenis Lemak yang Terdapat dalam Daging Sapi Per 100 gram ........
5
3.
Jenis Asam Amino yang Terdapat dalam Daging Sapi Per 100 gram ..................................................................................................
6
Perbedaan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dengan Pengeringan Konvensional .............................................................
9
4. 5.
Standar Mutu Tepung Ikan Berdasarkan Badan Standardisasi Nasional dan FAO ............................................................................ 12
6.
Nilai Rendemen Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda ................................................................................... 32
7.
Nilai Rendemen Tepung Daging Sapi Metode Rekomendasi .......... 32
8.
Nilai Densitas Kamba Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda .............................................................. 33
9.
Nilai Densitas Kamba Tepung Daging Sapi Metode Rekomendasi . 34
10.
Nilai Indeks Penyerapan Air (IPA) Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda ................................................. 35
11.
Nilai Indeks Kelarutan Air (IKA) Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda ................................................. 36
12.
Nilai TBA (mg malonaldehida/kg) Tepung Daging Sapi Metode Rekomendasi Hari ke-0 ................................................................... 39
13.
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-0........... 41
14.
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-14......... 42
15.
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-28......... 43
16.
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-42......... 44
17.
Rataan Aktivitas Air (aw) Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda selama Penyimpanan ........................... 45
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Hubungan antara Tekanan dan Suhu (Fellow, 1990) ……….……...
8
2.
Perpindahan Panas dan Massa selama Proses Pengeringan Beku (Fellow, 1990) ……………………………………………………...
10
3.
Reaksi Oksidasi Lipida (Ketaren, 1986) .........................................
15
4.
Reaksi Perubahan Warna pada Pigmen Otot (Boldwell dan Mc. Clain, 1971) ......................................................................................
18
5.
Skema Reaksi Maillard (Muchtadi et al., 1992) ..............................
19
6.
Hubungan Aktivitas Air dengan Kecepatan Reaksi dalam Bahan Pangan (Winarno, 1994) ...................................................................
21
Tepung Daging Sapi yang Dihasilkan dengan Metode Pengeringan yang Berbeda ...................................................................................
30
Bilangan TBA Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda selama Penyimapanan 42 hari ..................................
38
7. 8.
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan akan daging sapi sekarang ini terus meningkat. Kenyataan ini didorong oleh kesadaran konsumen akan nilai nutrisi yang terkandung di dalam daging sapi. Daging sapi merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, terutama protein. Nilai nutrisi daging yang tinggi ini dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk kelangsungan hidupnya sehingga daging mudah rusak. Kondisi daging sapi yang mudah rusak, baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologis dan umur simpan yang rendah, mendorong berbagai teknologi pengolahan yang dapat memperpanjang umur simpan daging sapi. Teknik pengawetan yang dimaksudkan adalah untuk memperlambat laju kerusakan pada daging seperti perubahan warna, bau dan tekstur. Teknik pengawetan yang digunakan adalah pengeringan atau dehidrasi. Pengeringan daging sapi dapat menjadi solusi untuk memperlambat laju kerusakan daging karena rendahnya kadar air. Produk daging kering mempunyai masa simpan yang relatif lama tanpa harus disimpan dalam kondisi dingin atau beku, sehingga memudahkan distribusi dan penyimpanan daging karena tidak membutuhkan pendingin ruangan. Pengeringan yang dilanjutkan dengan penepungan juga akan menambah umur simpan tepung daging. Selain itu tepung daging praktis dalam penggunaannya dan dapat digunakan sebagai bahan baku produk olahan. Penggunaan jenis pengeringan merupakan suatu masalah yang akan dihadapi sekarang ini terutama yang berkaitan dengan sifat fisik maupun organoleptik yang akan dinilai oleh konsumen. Pengeringan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengeringan beku (freeze drying) dan pengeringan oven. Penggunaan metode pengeringan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan hasil pada daging yang dikeringkan. Metode freeze drying merupakan metode pengeringan yang baik karena menggunakan proses sublimasi, keadaan vakum dan suhu pembekuan yang mencapai -50o C. Daging kering hasil metode ini hanya sedikit kehilangan nilai nutrisinya dibandingkan dengan pengeringan dengan suhu tinggi. Pengeringan dengan oven merupakan proses pengeringan menggunakan suhu tinggi secara konveksi. Pengeringan metode ini paling banyak digunakan oleh masyarakat karena lebih murah dan umum digunakan dibandingkan dengan
pengeringan beku. Kekurangan pengeringan menggunakan oven adalah daging akan mengalami kerusakan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan dengan pengeringan beku karena menggunakan suhu yang tinggi sehingga terjadi denaturasi protein dan warna daging menjadi lebih gelap. Proses pengeringan dan penepungan akan mempengaruhi atribut pada tepung daging sapi yang dihasilkan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan sifat fisik, organoleptik maupun ketengikan selama penyimpanan tepung daging. Suhu pemanasan dan pembekuan serta lamanya penyimpanan tepung akan mengubah warna, bau, dan tekstur pada tepung daging. Hal ini berkaitan dengan sifat organoleptik juga bilangan TBA yang berhubungan dengan ketengikan. Sifat fisik tepung daging yang berubah adalah nilai rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA). Oleh karena itu analisis sifat fisik, organoleptik serta bilangan TBA pada tepung daging sapi ini selama penyimpanan penting dilakukan. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sifat fisik yaitu rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA), sifat organoleptik serta bilangan TBA tepung daging sapi yang dihasilkan dengan menggunakan empat metode dan lama penyimpanan yang berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging sapi adalah urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging dari bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat waktu di potong (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Beberapa organ misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot juga digolongkan sebagai sebagai daging. Daging merupakan bahan pangan bernutrisi tinggi yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai nutrisi untuk hidupnya dan dapat dengan mudah mengalami kontaminasi oleh mikroorganisme tersebut (Soeparno, 1994). Kualitas daging dapat diartikan sebagai sejumlah sifat yang menentukan daging tersebut yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen (Dalgleish, 1990). Beberapa atribut pada daging adalah warna, flavor, daya mengikat air, tekstur, juiceness dan keempukan (Lawrie, 1998). Produk olahan daging yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang tinggi apabila berasal dari daging yang berkualitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah prapemotongan, pemotongan dan pasca pemotongan. Selain itu, sanitasi dan higiene harus diperhatikan dalam setiap pekerjaan yang dilakukan untuk menghindari kontaminasai oleh mikroorganisme (Soeparno, 1994). Daging terbagi menjadi tiga komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue). Struktur otot terdiri atas banyak ikatan serabut yang disebut berkas otot atau muscle bundle. Berkas otot ini berisi serabut otot atau muscle fiber yang berupa sel otot panjang berbentuk benang panjang, tidak bercabang dan tidak meruncing pada ujung keduanya. Serabut otot berisi benang otot (miofibril) dan
miofibril terdiri atas
beberapa sarkomer yang di dalamnya terdapat filamen-filamen halus (miofilamen). Filamen yang tebal disebut miosin dan filamen tipis disebut aktin (Soeparno, 1994). Komposisi daging terdiri atas air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan non-protein nitrogen seperti kreatin, karnosin dan beberapa hormon. Air pada daging terdapat dalam bentuk air bebas, air terikat dan air terimobilisasi. Lemak daging ditemukan dalam bentuk lipoprotein, glikolipida dan sebagai droplet lemak dalam sitoplasma. Fungsi lemak adalah komponen struktur dari membran, sumber energi, pelindung tubuh dan jaringan kekebalan (Lawrie, 1998).
Karbohidrat terdapat dalam glukosa, fruktosa, ribosa, galaktosa, glikogen dan glikoprotein. Protein merupakan komponen bahan kering terbesar yang ada dalam daging. Protein dalam daging terdapat tiga jenis, yaitu : protein sarkoplasmik, protein miofibrilar dan protein jaringan ikat. Mineral yang terkandung dalam daging antara lain adalah Ca, Mg, natrium dan kalium yang diketahui berperan langsung dalam kontraksi otot dan konversi otot menjadi daging (Pearson dan Young, 1989). Nilai nutrisi daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daging Sapi per 100 gram* Kandungan Nutrisi
Nilai per 100 gram
Standar Eror
Air (g)
60
0,292
Energi (kkal)
332
Energi (Kj)
1389
Protein (g)
14,35
0,271
Lemak Total (g)
24,4
0,187
Abu (g)
0,70
0,034
Karbohidrat (g)
0,00
0,00
Serat Total (g)
0,00
Mineral (mcg)
460,286
0,507
Vitamin (mcg)
60,075
1,657
Sumber : www.nutritiondata.com Keterangan : *) Komposisi daging sapi 70% lean dan 30% fat Warna daging sangat ditentukan oleh jumlah dan tipe mioglobin, status kimia dan kondisi fisik serta kimiawi komponen lain dalam daging (Lawrie, 1998). Konsumen pada umumnya lebih menyukai daging yang berwarna merah cerah karena adanya oksimioglobin yaitu mioglobin yang bereaksi dengan oksigen pada permukaan daging (Buckle et al., 1987). Water holding capacity (WHC) atau yang lebih dikenal dengan daya mengikat air merupakan kemampuan daging untuk mengikat air yang banyak dipengaruhi oleh protein. Nilai WHC akan rendah pada daging yang mengalami PSE (pale, soft, exudative) yang akan mengakibatkan daging mengeluarkan banyak air (Soeparno, 1994).
Keempukan daging termasuk salah satu atribut kualitas daging yang sudah dimasak yang ditandai dengan karakteristik kemudahan dikunyah tanpa pengurangan tekstur yang diinginkan (Bernholdt, 1975). Keempukan tekstur daging merupakan penentu kualitas daging yang utama (Soeparno, 1994). Tabel 2. Jenis Lemak yang Terdapat dalam Daging Sapi per 100 gram* Jenis Lemak Nilai per 100 gram (g) Total Asam Lemak Jenuh 11,289 4:0 0,000 6:0 0,000 8:0 0,000 10 : 0 0,000 12 : 0 0,020 14 : 0 0,918 16 : 0 6,463 18 : 0 3,448 20 : 0 0,022 22 : 0 0,000 Total Asam Lemak Tidak Jenuh 13,161 14 : 1 0,255 15 : 1 0,000 16 : 1 1,105 17 : 1 0,200 18 : 1 11,514 20 :1 0,010 22 : 1 0,000 18 : 2 0,577 18 : 3 0,081 20 : 4 0,031 Kolesterol (mg) 78 Sumber : www.nutritiondata.com Keterangan : *) Komposisi daging sapi 70% lean dan 30% fat
Tabel 3. Jenis Asam Amino yang Terdapat dalam Daging Sapi per 100 gram* Jenis Asam Amino Nilai per 100 gram (g) Triptofan 0,049 Threonin 0,533 Isoleusin 0,645 Leusin 1,119 Lisin 1,174 Metionin 0,351 Sistin 0,140 Fenilalanin 0,577 Tirosin 0,422 Valin 0,709 Arginin 0,985 Histidin 0,442 Alanin 0,958 Asam aspartat 1,286 Asam glutamat 2,110 Glisin 1,187 Prolin 0,858 Serin 0,600 Sumber : www.nutritiondata.com Keterangan : *) Komposisi daging sapi 70% lean dan 30% fat Pengeringan Pengeringan adalah metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan dengan menggunakan energi panas sampai tingkat kadar air tertentu. Tingkat kadar air pengeringan ini setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis atau kimiawi (Heldman dan Sing, 1981). Prinsip utama pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan pangan dengan penguapan sampai batas kadar air tertentu yang mengakibatkan bakteri, jamur serta mikroorganisme lainnya tidak dapat berkembang biak serta mengurangi aktivitas enzim yang dapat merusak bahan. Selain itu, pengeringan juga dapat mempermudah proses selanjutnya (Mujumdar, 1995). Proses penguapan yang terjadi karena perbedaan kandungan air antara udara dengan bahan yang akan dikeringkan. Kandungan uap air udara lebih kecil, atau udara mempunyai
kelembaban nisbi yang relatif rendah daripada bahan sehingga terjadi penguapan (Muchtadi, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan di antaranya adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, volume udara yang mengalir, tekanan uap di udara dan lama pengeringan (King, 1991). Selain hal di atas, Loesecke (1995) menambahkan bahwa model dan metode mesin yang digunakan, laju input produk basah dan sifat bahan yang akan dikeringkan juga mempengaruhi proses pengeringan. Suhu pengeringan merupakan faktor yang sangat penting, karena jika suhu terlalu rendah maka proses pengeringan memakan waktu yang lama dan dapat menurunkan mutu bahan yang akan dikeringkan, serta memberikan bau yang tidak normal. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya case hardening dan reaksi pencoklatan (King, 1991). Lawrie (1998) menyatakan lebih lanjut bahwa perbedaan antara daging hasil pengeringan dengan daging segar terdapat pada kemampuan daging yang telah mengalami pengeringan dalam mengembalikan kandungan air dalam proses rehidrasi. Daging yang diproses dengan panas, seperti daging kering akan menurunkan kadar tiamin sekitar 30% selama penyimpanan (Eskin dan Robinson, 2001). Proses pengeringan bahan dapat menggunakan berbagai metode antara lain spray drying, roller drying, oven, freeze drying dan kabinet drying. Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditi yang akan dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi dan kondisi operasinya (Desrosier, 1988). Pengeringan Beku (Freeze Drying) Pengeringan beku dikenal dengan istilah pengeringan sublimasi yaitu suatu metode pengeringan dengan terlebih dahulu membekukan bahan pangan dan kemudian dalam keadaan vakum, air langsung dikeluarkan dari bahan pangan secara sublimasi. Sublimasi dilakukan pada suhu dan tekanan di bawah titik triple air yaitu pada suhu di bawah 0 oC dan tekanan vakum di bawah 4,7 mmHg (Fellow, 1990). Tujuan proses sublimasi adalah untuk menurunkan kandungan air bahan pangan hingga mencapai 5-10%. Setelah mencapai kadar air tersebut, suhu bahan akan dinaikkan lebih tinggi untuk desorpsi air terikat, sehingga akan diperoleh bahan pangan dengan kadar air di bawah 5%. Peningkatan kecepatan pembekuan
menyebabkan penurunan diameter kristal es. Diameter kristal yang lebih kecil akan meningkatkan ketahanan bahan baku terhadap perpindahan panas dan massa. Pada pembekuan lambat akan menghasilkan diameter es yang lebih besar, sehingga daya tahan bahan baku terhadap perpindahan panas dan massa akan menurun. Jumlah air bahan yang terbekukan pada pembekuan daging sapi akan mendekati 100% pada suhu bahan -19,5 oC (Desrosier, 1988). Tekanan (mmHg)
Padat
Cair
Gas
4,7
Titik triple
Suhu 0 oC Gambar 1. Hubungan antara Tekanan dan Suhu (Fellow, 1990) Pengeringan beku merupakan bentuk pengeringan pangan yang mahal karena dilakukan pada suhu yang sangat rendah, dalam keadaan vakum dan membutuhkan waktu yang lama (Mujumdar, 1995). Pengeringan beku dikembangkan untuk mengurangi hilangnya senyawa yang berperan pada flavor dan aroma dalam makanan yang dapat hilang bila dikeringkan secara konvensional (Canavas dan Mercado, 1996). Pengeringan yang dilakukan akan menghilangkan aktivitas ATPase sebesar 50% (Soeparno, 1994). Pengeringan beku tidak mengubah nilai biologis protein daging tetapi kira-kira 30% dari kadar vitamin daging hilang selama pengeringan beku. Kehilangan vitamin ini juga dapat terjadi pada saat pemasakan. Temperatur plat pengeringan beku di bawah -60 oC akan membentuk histologis dari urat daging yang direhidarsi serupa dengan urat daging segar (Lawrie, 1998). Pengeringan menggunakan pengeringan beku menghasilkan mutu produk yang terbaik, jika dibandingkan dengan cara pengeringan yang lain. Selama proses pengeringan beku, struktur segar pada bahan dapat dipertahankan, yang mengakibatkan bahan berporus dan tidak berkerut dalam keadaan kering. Hal ini
menyebabkan proses rehidrasi yang cepat dan cukup sempurna bila produk ditambahkan air. Penggunaan suhu pengolahan yang rendah akan membantu meminimumkan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis dan mempertahankan mutu produk. Tidak adanya fase air dalam proses dan peralihan menjadi keadaan kering akan mengurangi masalah pencoklatan, denaturasi protein dan reaksi enzimatis pada produk kering beku (King, 1991). Penggunaan suhu yang rendah dalam freeze drying dapat menghasilkan daging yang tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Daging hasil pengeringan beku mempunyai warna putih yang sangat berbeda dengan pengeringan lainnya (Rahman et al., 2005). Keunggulan lain pengeringan beku dibandingkan pengeringan konvensional ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dengan Pengeringan Konvensional Pengeringan Beku
Pengeringan Konvensional
Suhu proses
Cukup rendah untuk men- 100-200 oC cegah terjadinya pencairan
Tekanan
Vakum (di bawah titik Atmosfer (760 mmHg) tripel air yaitu 4,7 mmHg)
Penguapan air
Sublimasi
Dari permukaan bahan
Produk
Kering dan berongga
Kering, padat dan mengkerut
Bau
Tetap
Berubah
Warna
Tetap
Lebih gelap
Citarasa
Tetap
Berubah
Rehidrasi
Cepat dan lebih sempurna
Lama dan tidak sempurna
Stabilitas penyimpanan
Sangat baik
Baik
Biaya
Tinggi
Rendah
Sumber : Fellow (1990)
Pengeringan beku merupakan salah satu media pengawetan pangan yang melibatkan proses pindah panas dan massa. Pindah panas merupakan proses perpindahan energi atau proses dari suatu bagian bahan ke bagian bahan lain karena adanya perbedaan suhu antara kedua bagian bahan tersebut. Perpindahan panas meliputi tiga mekanisme yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas
yang paling dominan terjadi pada pengeringan beku adalah radiasi dan konduksi sedangkan perpindahan panas secara konveksi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Pindah panas secara radiasi berlangsung dari plat pemanas ke permukaan bahan yang dikeringkan sedangkan pindah panas secara konduksi berlangsung dari permukaan lapisan kering ke permukaan sublimasi (Heldman dan Sing, 1981). Pengeringan beku secara umum dilakukan dalam dua tahap, yaitu pembekuan dan sublimasi. Proses pengeringannya sendiri terdiri dari dua tingkat yaitu pengeringan primer dan sekunder. Pengeringan primer merupakan sublimasi dari air bebas (tidak terikat) yang membeku. Pada saat pengeringan primer, proses sublimasi memegang peranan penting bagi penguapan air. Pengeringan tahap dua yaitu tahap sekunder, air yang diuapkan adalah air terikat yang tidak semuanya membeku. Air ini sangat sukar diuapkan (disublimasikan) bila tidak dibantu dengan pemberian energi, terutama untuk keperluan panas laten sublimasinya (Canavas dan Mercado, 1996; Mujumdar, 1995; Hall, 1979). Oleh karena itu, pada teknik pengeringan yang maju, dilakukan pemberian panas secara hati-hati untuk mempercepat proses pengeringannya. Panas ini bisa ditransmisikan melalui konduksi ataupun radiasi, atau kombinasi keduanya.
Gambar 2. Perpindahan Panas dan Massa selama Proses Pengeringan Beku (Fellow, 1990) Pengeringan Oven Oven merupakan alat pengering yang paling mudah pemeliharaannya dan penggunaannya serta rendah biaya operasionalnya. Komoditas yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam oven dan diatur pada suhu dan waktu tertentu. Prinsip kerja pengeringan dengan oven secara umum adalah memanaskan bahan dengan menggunakan prinsip pindah panas secara konveksi (Brennan et al., 1984).
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Fellow (1990) yang mengatakan bahwa udara, gas lain, dan air menguap akibat transfer panas secara konveksi pada pengeringan oven. Elemen pemanas akan memanaskan udara kemudian partikel-partikel udara mengenai bahan secara bergantian (Brennan et al., 1984). Ayanwale et al. (2007) menyebutkan bahwa daging kering memiliki kandungan protein dan bahan kering yang lebih tinggi dari pada daging segar, namun untuk kandungan lemak, karbohidrat dan energi akan lebih sedikit dari pada daging segar. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging kering oven antara lain suhu, ukuran partikel, dan gerakan udara panas. Pengeringan pada suhu yang lebih tinggi dari 60 oC menyebabkan kolagen membengkak dan menjadi lunak, akhirnya mengalami disintegrasi membentuk gelatin, terutama setelah suhu pengeringan mendekati 100 oC. Daging yang dikeringkan dengan oven mempunyai kadar air berkisar antara 5-6% dengan kadar lemak 24% (Soeparno, 1994). Ketika bahan pangan diletakkan di dalam sebuah oven, air pada permukaan bahan menguap akibat udara panas. Rendahnya kelembaban udara dalam oven menciptakan gradien tekanan uap, yang menyebabkan perpindahan air dari bagian dalam bahan menuju permukaan bahan. Perluasan hilangnya air bahan ditentukan oleh sifat alami bahan dan laju pemanasan. Saat laju hilangnya air melebihi laju perpindahan air dari bagian dalam bahan, daerah evaporasi berpindah pada bagian dalam bahan, permukaan menjadi kering, suhunya meningkat menjadi suhu udara panas (110 – 240 oC) dan akan berbentuk kras/crust (pengerasan kulit). Perubahan ini serupa dengan pengeringan dengan udara panas lainnya, akan tetapi semakin cepat pemanasan dan semakin tinggi suhu yang digunakan mengakibatkan perubahan yang kompleks pada komponen permukaan bahan pangan (Fellow, 1990). Tepung Daging Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung pemakaiannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari jagung atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan (Wikipedia, 2008). Satuan tepung yang digunakan adalah mesh.
Hasil penelitian tepung daging terdahulu oleh Anggoro (2007) menggunakan metode pengeringan beku selama 48 jam, pengeringan oven suhu 60 oC selama 24 jam dan perendaman dalam larutan sukrosa sebelum pengeringan beku. Tepung daging hasil penelitian tersebut memiliki karakteristik berwarna coklat sampai coklat tua, kering, berserat, dan beraroma daging matang, rendemen 16,34 %, kadar protein 75,42% sampai dengan 78,31%, kandungan lemak berkisar antara 6,07% - 7,24%, kadar Fe 78,32 ppm (78,32 mg mineral Fe dalam tiap 1 kg tepung daging sapi), nilai aw 0,42 - 0,48, nilai indeks kelarutan air (IKA) berkisar antara 0,016 sampai 0,02 g/ml, nilai IPA berkisar antara 1,91-2,74 ml/g bahan. Belum terdapatnya standar mutu tepung daging pada SNI, maka pendekatan dilakukan menggunakan tepung ikan. Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar air, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging ikan atau bagian ikan yang biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut, dan lainnya). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering (Ilyas, 1982). Mutu tepung ikan meliputi kandungan kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Standar Nasional Indonesia membagi tepung ikan menjadi tiga tingkatan mutu dan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Standar Mutu Tepung Ikan Berdasarkan Badan Standardisasi Nasional dan FAO Komposisi Kimia : Air (%) maks Protein kasar (%) min Serat kasar (%) maks Abu (%) maks Lemak (%) maks Ca (%) P (%) NaCl (%) maks Mikrobiologi : Salmonella (25 g sampel) Organoleptik : Nilai minimum 1)
Mutu I 1)
Mutu II 1)
Mutu III 1)
10 65 1,5 20 8 1,5 - 5,0 1,6 – 3,2 2
12 55 2,5 25 10 2,5 - 6,0 1,6 – 4,0 3
12 45 3 30 12 2,5 - 7,0 1,6 – 4,7 4
Negatif
Negatif
Negatif
6-9 66-72 14-18 6-10 Negatif
7
6
6
-
Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 1996. Sumber : 2) Standar FAO (Ilyas et al., 1985 ; Indriyati et al., 1990)
FAO 2)
Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) Bahan makanan berlemak merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri. Kerusakan lemak di dalam bahan pangan dapat terjadi selama pengolahan, misalnya proses pemanggangan, penggorengan dan selama penyimpanan. Kerusakan lemak ini menyebabkan bahan pangan mempunyai bau dan rasa yang tidak enak, sehingga dapat menurunkan mutu dan nilai gizi bahan pangan. Kerusakan lemak dapat berbagai jenis, diantaranya adalah absorbs bau oleh lemak, aksi enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aksi mikroba serta reaksi oksidasi oleh oksigen atau udara. Reaksi oksidasi utama yang terjadi pada produk daging kering umumnya akibat reaksi peroksida lipida (Ketaren, 1986). Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh oksidasi radikal asam lemak tidak jenuh. Molekul-molekul lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut dapat disebabkan oleh pembentukan senyawa hasil pemecahan hidroperoksida (Winarno, 1994). Uji ketengikan dilakukan untuk menentukan derajat ketengikan dengan mengukur senyawa hasil oksidasi. Pengujian yang dilakukan meliputi bilangan peroksida, jumlah karbonal, oksigen aktif, uji TBA dan uji oven Schaal (Winarno, 1994). Uji peroksida digunakan hanya sebagai indikator dan peringatan bahwa lemak sebentar lagi akan berbau tengik. Hal ini dikarenakan ketengikan disebabkan oleh aldehida bukan peroksida. Pengujian lemak dengan bilangan iod juga dapat digunakan sebagai indikator kerusakan lemak. Prinsip kerja bilangan iod adalah ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh akan bereaksi dengan senyawa iod, semakin tinggi iod yang diikat maka jumlah asam lemak tidak jenuh juga banyak. Semakin banyak asam lemak tidak jenuh akan meningkatkan reaksi oksidasi lipida (Ketaren, 1986). Uji TBA merupakan uji spesifik yang dipakai untuk menentukan ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah. Pengujian yang dilakukan berdasarkan atas terbentuknya pigmen berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara 2 molekul TBA dengan 1 molekul malonaldehida. Persenyawaan malonaldehida secara teoritis dihasilkan oleh
pembentukan diperoksida pada gugus pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara oksidase lebih lanjut dari 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida. Uji TBA ini juga merupakan uji spesifik untuk hasil oksidasi asam lemak tidak jenuh (PUFA), dan baik diterapkan untuk uji terhadap
lemak
pangan
yang
mengandung
asam
lemak
dengan
derajat
ketidakjenuhan yang tinggi (Ketaren, 1986). Uji TBA digunakan untuk mengetahui kehadiran hasil proses sekunder pengoksidaan lipida seperti aldehida dan keton dalam daging dan produk daging. Malonaldehida merupakan hasil pengoksidaan sekunder pada asam lemak tidak bebas yang mempunyai tiga atau lebih ikatan ganda dua (Jo dan Ahn, 2000). Beberapa produk makanan menggunakan pengukuran nilai TBA yang dilakukan pada panjang gelombang 450 nm dan 530 nm (Jamora dan Rhee, 2002). Menurut Gray (1978) reaksi reagen TBA dengan malonaldehida menghasilkan satu kromagen merah jambu yang mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 538 nm telah digunakan secara luas untuk menentukan oksidasi lipida pada daging. Ketaren (1986) menyatakan bahwa reaksi oksidasi lipida terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah oksidasi spontan lemak tidak jenuh dengan penyerangan oksigen pada ikatan rangkap sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh yang reaktif. Pada suhu kamar sampai dengan suhu 100 oC, setiap satu ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi dua atom oksigen, sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang labil. Tahap oksidasi yang kedua adalah degradasi hidroperoksida hasil produk primer. Hasil reaksi ini adalah persenyawaan alkohol, aldehida serta persenyawaan tidak jenuh dengan molekul yang lebih rendah. Aldehida bersifat tidak labil dan mudah mengalami reaksi polimerisasi kondensasi. Aldehida merupakan masalah, salah satunya adalah 2,4-dekadienal pada konsentrasi kurang dari 1 ppm dalam lemak mengakibatkan bau tengik (Ketaren, 1986). Gambar reaksi oksidasi lipida dapat dilihat pada Gambar 3. Komponen yang penting yang menyebabkan oksidasi lipida pada daging merah adalah antara lain : vascular system, haemoglobin, myoglobin, mitokondria, lipida, tokoferol, enzim lipolitik, Fe, Cu, asam askorbat dan histidin. Daging merah mempunyai dua kemampuan yaitu : prooksidasi dan sangat sedikit antioksidasi.
Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak dan hidroperoksida, logam-logam berat seperti : Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksidase (Chen et al., 1996). Reaksi oksidasi pada produk kering dapat diatasi dengan cara : 1) meminimalkan konsentrasi oksigen; 2) memperkecil oksidasi awal atau kontaminasi dan komponen penyebab oksidasi; 3) meminimalkan pro-oksidan (logam); 4) mengoptimalkan aw bahan dan 5) memilih antioksidan terbaik, (Karel,1986).
CH = CH
+ O2
CH
CH O
Asam lemak tidak jenuh
CH CH O
+
O
CH
CH
CH
CH
O
O
peroksida labil
2
CH
O
O
Peroksida labil CH
CH
O
O
CH
Persenyawaan oksida CH
CH
CH(OH).CO
OH OH
Peroksida labil
Persenyawaan oksida
CH2 CH.CHO O Persenyawaan aldehida
Gambar 3. Reaksi Oksidasi Lipida (Ketaren, 1986) Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) Soeparno (1994) menyatakan bahwa protein daging segar sekitar 16% sampai 22% dan merupakan komponen bahan kering terbesar dari daging. Nilai penyerapan air dan kelarutan air sering kali dikaitkan dengan sifat fungsional protein. Nilai ini juga dapat mengindikasikan kerusakan protein.
Rupnow (1992) menyebutkan bahwa kelarutan protein ditetapkan berdasarkan kemampuannya berasosiasi dengan air. Sifat kelarutan pada berbagai macam kondisi berguna dalam penetapan fungsi protein dan dalam optimasi ekstraksi, isolasi dan prosedur pengolahan protein. Tingkat ketidaklarutan protein merupakan indikasi dari denaturasi dan agregasi protein yang dapat mempengaruhi daya buih, emulsifikasi, hidrasi, dan sifat pembentukan gel dari protein. Sifat kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan pelarut yang digunakan. Tingkat kelarutan air yang berkurang akibat denaturasi protein disebabkan oleh lapisan protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik ke luar, sedangkan yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembalikan terjadi khususnya bila protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan mengendap (Winarno, 1994). Denaturasi adalah perubahan konformasi pada tiap bagian molekul baik pada struktur sekunder maupun tersier yang menyebabkan hilangnya aktivitas biologis dan sifat fungsional alami (Davidek et al., 1990). Struktur alami protein dapat berubah oleh : (1) pH yang ekstrim; (2) agen pengikat hidrogen atau energi pemanasan yang dapat menyebabkan luruhnya ikatan hidrogen rantai intra dan inter; atau (3) agen perusak ikatan hidrofobik (misalnya deterjen); perlakuan seperti tersebut dapat menyebabkan terbukanya rantai polipeptida (Price dan Schweigert, 1971). Damodaran (1996) menyebutkan bahwa protein berubah bervariasi tergantung pada derajat denaturasi selama pengolahan. Mekanisme perubahan protein yang dipicu oleh suhu sangat rumit dan melibatkan destabilisasi ikatan non kovalen. Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya karena membukanya gugus hidrofobik dan terjadi agregasi dari membukanya molekul-molekul protein dan meningktanya daya serap air. Denaturasi umumnya dapat balik (reversibel) ketika rantai peptida distabilkan dalam keadaan terbentang oleh agen denaturan dan konformasi alami dapat dibangun kembali setelah pemindahan agen. Denaturasi tidak dapat balik (ireversibel) terjadi ketika peptida yang terbentang distabilkan oleh rantai lainnya (seperti yang terjadi pada protein telur saat perebusan) (Belitz dan Grosch, 1999).
Penilaian Organoleptik Penilaian organoleptik merupakan pengujian terhadap produk pangan dengan menggunakan panca indra yaitu penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan dan pendengaran. Indra pendengaran jarang digunakan dalam pengujian produk pangan. Tujuan penilaian sifat organoleptik pangan adalah mengenal jenis-jenis rangsangan. Uji organoleptik antara lain berfungsi untuk mengetahui penerimaan jenis produk pangan (Desrosier, 1988). Salah satu uji yang digunakan dalam penilaian organoleptik adalah uji skalar. Uji skalar dibandingkan dengan uji yang lain lebih informatif dan lebih berguna untuk merekam intensitas persepsi. Panelis memberikan penilaian atribut terhadap produk yang diujikan dengan memberi tanda pada garis horizontal. Ujung sebelah kiri dari skala garis adalah bernilai nol dan ujung sebelah kanan merepresentasikan angka yang paling besar atau stimulus yang sangat kuat. Tanda dari skala garis dikonversi ke dalam angka dengan penilaian manual berdasarkan posisi tanda tersebut menggunakan penggaris atau alat pengukur digital (Mailgaard et al., 1999). Perubahan Karakteristik selama Penyimpanan Produk pangan akan mengalami kerusakan setelah diproduksi dan disimpan. Reaksi kerusakan ini dimulai dengan persentuhan produk dengan oksigen, uap air, cahaya dan suhu. Tingkat kerusakan juga dipengaruhi oleh lingkungan penyimpanan. Reaksi kerusakan pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ektrinsik yang selanjutnya memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, enzimatis. Kerusakan proses fisik disebabkan oleh penyerapan uap air atau gas dari sekelilingnya. Perubahan di atas akan menyebabkan perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi dan mikrobiologis (Arpah, 2001). Pembatasan oksigen selama penyimpanan akan mempertahankan flavor atau citarasa daging kering selama 12 bulan (atau lebih lama) pada temperatur 15 oC (Sharp dan Rolfe, 1958).
Warna Warna daging sangat ditentukan oleh adanya pigmen daging yang terdiri dari dua macam protein yaitu hemoglobin dan mioglobin. Lawrie (1998) menyatakan bahwa hemoglobin adalah pigmen dari darah dan mioglobin pigmen dari otot. Mioglobin ini merupakan suatu protein sarkoplasmik terbentuk dari rantai polipeptida tunggal terikat di sekeliling grup heme yang membawa oksigen, dan grup heme tersebut tersusun dari atom Fe dan cincin porfirin (Soeparno, 1994).
Mioglobin
Oksigenisasi
Oksimioglobin
(Merah keunguan, Fe2+)
Deoksigenisasi
(Merah cerah, Fe2+) Oksidasi - O2
Oksidasi - O2 Reduksi + O2
Metmioglobin
Reduksi + O2
(Coklat, Fe3+) Gambar 4. Reaksi Perubahan Warna pada Pigmen Otot (Boldwell dan Mc. Clain, 1971) Perubahan daging kering yang disimpan tanpa oksigen disebabkan oleh reaksi Maillard (non-enzimatis). Reaksi Maillard merupakan reaksi antara grup karbonil dari gula pereduksi dengan grup asam amino dari protein daging secara nonenzimatik. Gugus gula pereduksinya dapat berupa aldosa maupun ketosa, sedangkan gugus asam aminonya adalah lisin dan grup alfa-amino dari asam amino N-terminal (Muchtadi et al., 1992). Hasil reaksi menimbulkan warna coklat gelap (melanoidin) dan perkembangan flavor daging matang. Tingkat pencoklatan non-enzimatis meningkat bersama dengan pH dan tidak terhambat di atas temperatur 37 oC kecuali kadar air daging 2% atau kurang (Soeparno, 1994). Reaksi Maillard yang terjadi pada daging kering dapat menyebabkan produk menjadi tidak palatable atau tidak enak dalam waktu 6 bulan penyimpanan pada temperatur tinggi (Desrosier, 1988). Perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan juga disebabkan oleh denaturasi mioglobin menjadi metmioglobin (Lawrie, 1998).
+
Gula Pereduksi
Senyawa Amino
Senyawa Deoksiketosil Degradasi Stecker CH3
Senyawa Antara
C=O
(Metil dikarbonil)
HC=O C=O
C=O
CH2
CHOH
CHOH
Pemecahan
Dehidrasi
Senyawa Antara AsamAmino
(3-Deoksiheksoson)
5-Hidroksimetil-2-Puraldehid Karbonil dan Dikarbonil rantai pendek
+ Dikarbonil Aldehid Stecker + + SenyawaAmino
Pembentukan Melanoidin, Melalui Polimerisasi Senyawa-Senyawa Antara dan Produksi N-Heterosiklis Gambar 5. Skema Reaksi Maillard (Muchtadi et al., 1992) Bau Tengik Kandungan lemak daging akan menyebabkan reaksi oksidasi pada tepung daging. Hal ini disebabkan oleh oksidasi radikal asam lemak tidak jenuh. Molekulmolekul lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut dapat disebabkan oleh pembentukan senyawa hasil pemecahan hidroperoksida (Winarno, 1994). Aktivitas lipolitik akan semakin tinggi dengan meningkatnya temperatur penyimpanan dan kadar air yang tertinggal. Ketengikan tidak terjadi apabila kadar air diturunkan menjadi 1,5%, tetapi dengan kadar air ini citarasa dan flavor akan terpengaruh. Daging kering yang diproses sangat sensitif terhadap ketengikan akibat oksidatif karena terbentuknya suatu prooksidan selama proses. Pengeringan daging
menggunakan pengeringan beku, temperatur proses yang rendah dan kecepatan proses, menghindari translokasi garam-garam selama pengeringan dan tekstur sarang tawon yang disebabkan oleh sublimasi es yang menyebabkan sedikit kerusakan pada protein daging (Lawrie, 1998). Aroma Flavor atau citarasa adalah sensasi yang kompleks, melibatkan bau dan rasa, tekstur dan suhu. Bau daging matang diperoleh dari pemanasan asam amino yang berasal dari glikoprotein dan glukosa. Komponen volatil dari aroma daging sapi yang dimasak diantaranya adalah alifatik hidrokarbon, benzenoid compound, S-compound, alifatik aldehida, alifatik alkohol, alifatik keton, dan furan serta turunannya. Karbohidrat juga penting dalam produksi flavor yang dihasilkan pada proses pemanasan suhu kurang dari 300 oC. Flavor terbentuk melalui pembentukan banyak zat yang berbau wangi, termasuk furan, alkohol dan hidrokarbon aromatik. Pentingnya fosfilipida (bukan trigliserida) dapat ditunjukkan dengan menghilangkan fosfolipida yang selanjutnya akan menyebabkan hilangnya hidrokarbon alifatik (Lawrie, 1998). Asam lemak bebas yang terdapat pada daging akan mempercepat terbentuknya ketengikan oksidatif. Fosfolipida dari lemak daging merupakan komponen yang tidak stabil dan merupakan faktor utama dalam mempercepat penurunan flavor (Eskin dan Robinson, 2001). Aktivitas Air (aw) Aktivitas air adalah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya seperti yang dijelaskan oleh Gibbs (1986) bahwa aktivitas air memiliki peran penting dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Kandungan air dalam bahan pangan terutama kandungan air bebas sangat mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dengan aw (Winarno, 1994). Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan. Penguapan air baik secara pengeringan atau penambahan bahan penguap air bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan (Purnomo, 1995). Mikroorganisme menurut Winarno (1994) mempunyai nilai aw minimum agar dapat tumbuh lebih baik. Bahan yang mempunyai aw sebesar 0,7 sudah cukup baik dan tahan selama penyimpanan (Winarno dan Jenie., 1980). Nilai aw dapat
menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan akibat adanya jamur dan bakteri yang tumbuh. Aktivitas air merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama penyimpanan (Winarno, 1994). Nilai aktivitas air ini sangat erat kaitannya dengan kecepatan reaksi yang terjadi seperti reaksi oksidasi lipida dan browning. Lebih lanjut tentang hubungan aktivitas air dan kecepatan reaksi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan Aktivitas Air dengan Kecepatan Reaksi dalam Bahan Pangan (Winarno, 1994)
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Bagian Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pilot Plant Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB serta Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Nopember 2007 sampai Pebruari 2008. Materi Pembuatan tepung daging menggunakan bahan daging yang berasal dari sapi bangsa Brahman Cross dengan jenis kelamin dan umur yang sama. Total daging yang diperlukan adalah 11 kg. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah freeze drier, oven, blender, wadah, ayakan 80 mesh dan timbangan. Peralatan yang digunakan untuk uji fisik dan organoleptik di antaranya timbangan, gelas piala, wadah plastik, wadah kertas kecil, lembar kuisioner dan alat tulis. Bahan yang digunakan untuk mengetahui bilangan TBA adalah tepung daging, akuades, HCl 4M, antifoam, pereaksi TBA dan larutan blanko. Peralatan yang digunakan untuk uji ini adalah labu destilat, bunsen, tabung reaksi dan tutup tabung reaksi. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan ini dilakukan pada pembuatan tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan yang berbeda dan disimpan pada waktu yang berbeda. Metode pengeringan yang digunakan adalah pengeringan beku (freeze drying) selama 48 jam (metode I), pengeringan oven suhu 50 oC selama 24 jam (metode II), pengeringan oven suhu 60 oC selama 12 jam (metode III) dan pengeringan oven suhu 70 oC selama 6 jam (metode IV). Lama penyimpanan yang digunakan adalah 0, 14, 28 dan 42 hari. Rancangan percobaan untuk sifat fisik, organoleptik dan bilangan TBA berbeda. Sifat fisik tepung daging sapi (rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air) menggunakan rancangan acak kelompok, sifat organoleptik menggunakan metode non-parametrik Kruskall-Wallis dan bilangan TBA menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Sifat Fisik Rancangan percobaan uji analisis fisik menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan metode pengeringan yang berbeda, yaitu freeze drying selama 48 jam (metode I), pengeringan oven suhu 50 oC selama 24 jam (metode II), pengeringan oven suhu 60 oC selama 12 jam (metode III) dan pengeringan oven suhu 70 oC selama 6 jam (metode IV), serta 3 kelompok periode pembuatan tepung daging. Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995): Yijk = µ + αi + ρj + εij Keterangan : Yijk
= Hasil pengukuran
µ
= Rata-rata umum
αi
= Pengaruh perlakuan metode pengeringan ke-i (i = metode I, II, III dan IV)
ρk
= Kelompok periode pembuatan tepung daging ke j (j = periode ke-1, 2 dan 3)
εij
= Galat percobaan Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Jika perlakuan
menunjukkan pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1995). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Sifat Organoleptik Rancangan percobaan untuk uji mutu hedonik menggunakan model non parametrik. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis (Steel dan Torrie, 1995). Uji lanjut dilakukan dengan uji banding rataan rangking dengan program Statistik 8. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Bilangan TBA Pengukuran bilangan TBA menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial 4 x 4 dengan 3 kelompok periode pembuatan tepung daging. Faktor pertama merupakan empat metode pengeringan, yaitu : yaitu pengeringan beku selama 48 jam (metode I), pengeringan oven suhu 50 oC selama 24 jam (metode II), pengeringan oven suhu 60 oC selama 12 jam (metode III) dan pengeringan oven suhu
70 oC selama 6 jam (metode IV), sedangkan faktor kedua merupakan empat waktu penyimpanan, yaitu: 0, 14, 28 dan 42 hari. Model matematika yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002): Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk Keterangan : Yijk
= Hasil analisis bilangan TBA
µ
= Rata-rata umum
αi
= Pengaruh perlakuan metode pengeringan ke-i (i = metode I, II, III dan IV)
βj
= Pengaruh lama penyimpanan ke-j (j = 0, 14, 28 dan 42 hari)
(αβ)ij = Pengaruh interaksi metode pengeringan pada taraf ke-i dengan lama penyimpanan pada taraf ke-j ρk
= Kelompok periode pembuatan tepung daging
εij
= Galat percobaan Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Jika perlakuan
menunjukan pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torie, 1995). Prosedur Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penelitian pendahuluan untuk mencari waktu pengeringan oven yang terbaik pada tiap suhu pengeringan. Penelitian tahap dua adalah penelitian utama untuk mempelajari sifat fisik, sifat organoleptik dan bilangan TBA dari tepung daging yang dibuat dengan metode pengeringan dan lama simpan yang berbeda. Penelitian Pendahuluan Penelitian tahap pertama atau penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari waktu pengeringan terbaik pada pengeringan oven suhu 50 oC, 60 oC dan 70 oC, sehingga dihasilkan daging pengeringan oven yang sifat fisiknya (warna) hampir sama dengan daging hasil freeze drying. Hal ini dilakukan karena daging hasil freeze drying tidak mengalami perubahan yang signifikan (Rahman et al., 2005). Oleh karena itu daging dengan pengeringan freeze drying dapat dijadikan standar untuk menentukan kekeringan yang terbaik pada pengeringan oven. Hasil
penelitian pendahuluan ini adalah pengeringan oven 50
o
C selama 24 jam,
o
pengeringan oven 60 C selama 12 jam dan pengeringan oven 70 oC selama 6 jam. Hasil yang didapat pada penelitian pendahuluan ini selanjutnya dijadikan metode pembuatan tepung daging sapi yang dilakukan pada penelitian utama. Penelitian Utama Penelitian utama adalah pembuatan tepung daging berdasarkan metode yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan. Pembuatan tepung daging dilakukan menggunakan empat metode yang berbeda yang terdiri atas pengeringan beku selama 48 jam (metode I), pengeringan dengan oven suhu 50 oC selama 24 jam (metode II), pengeringan dengan oven suhu 60 oC selama 12 jam (metode III) dan pengeringan oven suhu 70 oC selama 6 jam (metode IV). Sebelum daging dikeringkan, terlebih dahulu daging diiris tipis setebal 3 mm kemudian lemak yang menempel pada irisan daging tersebut dibuang. Daging yang dikeringkan dengan pengeringan oven digiling halus menggunakan food processor dan diletakkan diloyang dengan ketebalan 3 mm, sedangkan daging untuk metode pengeringan beku tidak digiling. Daging hasil pengeringan digiling menjadi tepung dengan ukuran 80 mesh. 80 mesh artinya terdapat 80 lubang dalam luas 1 inchi (2,54 x 2,54 cm). Tepung daging kemudian dikemas menggunakan plastik polyprophylene (PP), dirapatkan dan disimpan pada suhu kamar dengan lama penyimpanan 0, 14, 28 dan 42 hari. Tepung daging dianalisis sifat fisik pada hari ke-0, penilaian organoleptik pada hari ke-0, 14, 28 dan 42, serta bilangan TBA pada hari ke-0, 14, 28 dan 42. Diagram alir proses pembuatan tepung daging dapat dilihat pada Gambar 4. Selain metode pengeringan di atas, digunakan juga metode pengeringan yang dilakukan oleh Anggoro (2007) sebagai pembanding, yaitu :pengeringan oven suhu 50 oC selama 36 jam, pengeringan oven suhu 60 oC selama 24 jam dan pengeringan oven suhu 70 oC selama 12 jam. Metode ini selanjutnya disebut sebagai metode pengeringan rekomendasi. Tepung daging rekomendasi dilakukan analisis rendemen, densitas kamba dan bilangan TBA.
Pengirisan daging 3mm
Pembuangan lemak
Daging tidak digiling
Daging digiling
Metode I
Metode II
Metode III
Penggilingan
Penggilingan
Penggilingan
Penggilingan
Tepung Daging
Tepung Daging
Tepung Daging
Tepung Daging
Metode IV
Gambar 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Daging Pengukuran Peubah Pengujian tepung daging meliputi sifat fisik, bilangan TBA serta sifat organoleptik. Sifat fisik meliputi rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air. Sifat organoleptik tepung daging meliputi intensitas warna, intensitas bau amis, intensitas bau daging matang, intensitas bau tengik dan tekstur serta bilangan TBA.
Rendemen (AOAC, 1995) Nilai rendemen dianalisa untuk melihat efisiensi proses pembuatan tepung daging. Persentase rendemen dihitung dengan menggunakan rumus : Rendemen (%) =
Berat tepung daging yang dihasilkan Berat daging segar
x100%
Densitas Kamba Sebanyak 50 gram tepung daging sapi dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume tepung daging sapi dilihat pada skala gelas ukur. Densitas kamba dihitung dengan membagi berat tepung daging sapi dengan volumenya.
Densitas Kamba (g/cm3) =
Berat tepung daging sapi (g) Volume tepung daging sapi (cm3)
Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Indeks Kelarutan Air (IKA) Metode yang digunakan adalah metode sentrifugasi (Anderson et al., 1984 yang dikutip oleh Muchtadi et al., 1988). Sampel tepung daging sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge yang telah diketahui beratnya. Sebanyak 10 ml aquades kemudian ditambahkan ke dalam tabung dan diaduk dengan vibrator sampai semua bahan terdispersi secara merata. Tabung selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain, sedangkan tabung sentrifuge beserta residunya dipanaskan dalam oven. Tabung diletakkan dengan posisi miring (25o) dan oven diatur pada suhu 50oC selama 25 menit. Tabung berisi residu ditimbang untuk menentukan berat air terserap. Supernatan yang diperoleh diambil sebagai contoh sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan timbang yang telah diketahui beratnya. Cawan lalu dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 110oC sampai semua air menguap. Cawan didinginkan dan ditimbang untuk mengetahui berat bahan kering yang terdapat dalam supernatan. Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan dalam air ditentukan dengan persamaan berikut : Berat tabung dan residu setelah dioven – berat tabung dan sampel awal IPA(ml/g) = Berat contoh
Berat cawan setelah dioven – berat cawan IKA(g/ml) = 2 ml Sifat Organoleptik Panelis diminta mengungkapkan tanggapan terhadap tepung daging sapi pada hari ke-0, 14, 28 dan 42. Penilaian organoleptik ini tidak membandingkan karakteristik tepung daging pada tiap hari pengamatan karena dilakukan pada hari yang berbeda. Sampel tepung daging sapi yang diuji organoleptik adalah tepung daging sapi hasil metode perlakuan sedangkan tepung daging sapi hasil metode pengeringan rekomendasi tidak dilakukan penilaian organoleptik. Hal ini dikarenakan warna tepung daging rekomendasi lebih gelap daripada tepung daging hasil pengeringan beku yang dijadikan standar. Pengujian sifat organoleptik dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Metode uji adalah uji mutu hedonik yang meliputi : intensitas warna, intensitas bau daging matang, tekstur, dan intensitas bau tengik. Teknik pengujian menggunakan uji skalar. Keterangan nilai pada uji skalar : Warna
: 1 = sangat coklat muda (pembanding yang digunakan adalah tepung panir) 10 = sangat coklat tua (pembanding yang digunakan adalah kopi)
Tekstur
: 1 = sangat halus (pembanding yang digunakan adalah tepung sagu) 10 = sangat kasar (pembanding yang digunakan adalah gula palem)
Bau daging matang : 1 = sangat tidak bau daging 10 = sangat bau daging matang (pembanding yang digunakan adalah daging yang dioven pada suhu 85 oC selama 20 menit) Bau tengik
: 1 = sangat tidak bau tengik 10 = sangat bau tengik (pembanding yang digunakan adalah tepung tulang rawan yang sudah tengik)
Analisis Bilangan TBA (Apriyantono et al., 1989) Pengukuran bilangan TBA dilakukan untuk mengetahui terjadinya ketengikan melalui pengukuran kadar malonaldehida yang terbentuk. Sampel tepung daging sebanyak 10 g ditambahkan 97,5 ml akuades dalam labu destilat, kemudian ditambah HCl 4 M sebanyak 2,5 ml hingga pH 1,5 lalu ditambahkan antifoam. Labu destilat dipasang pada alat destilasi kemudian dipanaskan pada suhu tinggi hingga volume larutan dalam labu mencapai 50 ml, kemudian diaduk. Sebanyak 5ml larutan dari labu destilat diambil dan dimasukan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambah 5 ml pereaksi TBA. Tabung ditutup dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih, selanjutnya didinginkan. Absorbansi destilat diukur pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Larutan blanko dibuat dari campuran 5 ml air suling ditambah 5 ml pereaksi TBA. Bilangan TBA dihitung dengan rumus sebagai berikut: Bilangan TBA (mg malonaldehida/kg) = 7,8 x absorbansi
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Tepung Daging Sapi Secara umum tepung daging sapi berwarna coklat muda, bertekstur halus, berbau daging matang dan tidak bau tengik. Perubahan warna daging sapi menjadi warna coklat disebabkan oleh reaksi Maillard (Winarno, 1994). Reaksi ini merupakan reaksi non-enzimatis antara gula pereduksi dengan asam amino yang terdapat pada daging sapi. Selama proses pemasakan daging sapi terjadi perubahan warna daging dari merah cerah menjadi coklat. Pigmen pada daging masak adalah hemikromogen coklat (Soeparno, 1994). Pemanasan dapat menyebabkan mioglobin mengalami denaturasi sehingga heme dari globin bebas ini menjadi sangat sensitif terhadap oksidasi, maka dengan pemanasan akan terbentuk warna coklat karena pembentukan pigmen teroksidasi (Nuraini, 1996). Denaturasi pada globin menyebabkan hilangnya kemampuan untuk bergabung dengan oksigen serta semakin meningkatnya besi bentuk ferro (Fe2+) dioksidasi menjadi bentuk ferri (Fe3+). Apabila besi berubah menjadi bentuk Fe3+ maka warna daging berubah menjadi warna coklat karena terbentuk pigmen metmioglobin (Parker, 2003) sesuai dengan Gambar 7. Waktu penyimpanan yang diperpanjang akan meningkatkan pembentukan metmioglobin (Lawrie, 1998).
Gambar 7. Tepung Daging Sapi yang Dihasilkan dengan Metode Pengeringan yang Berbeda
Hasil analisis kadar air terhadap tepung daging metode perlakuan adalah 10, 69%. Kadar air tepung daging sapi ini lebih tinggi dari standar tepung yang telah
disyaratkan oleh Badan Standardisasi Nasional (1998) yaitu 6 - 10%. Penggunaan standar berdasarkan Badan Standardisasi Nasional karena belum adanya standar mengenai tepung daging untuk konsumsi. Tingginya kadar air ini disebabkan oleh waktu pengeringan yang kurang lama. Waktu pengeringan ini belum cukup menghasilkan tepung daging yang sesuai dengan standar. Metode pengeringan rekomendasi yang dilakukan dapat menurunkan kadar air tepung daging sapi sesuai dengan standar. Metode rekomendasi ini mengacu pada penelitian Anggoro (2007) yang waktu pengeringannya lebih lama. Pengeringan dengan metode rekomendasi menghasilkan kadar air yang lebih rendah (8,48%) dari metode pengeringan perlakuan (10,69%). Namun demikian waktu pengeringan yang lebih lama berpengaruh terhadap warna tepung daging, menjadi lebih gelap dibandingkan dengan metode sebelumnya. Rendemen Tepung Daging Sapi Analisis nilai rendemen tepung daging sapi dilakukan pada hari ke-0, begitu juga dengan nilai densitas kamba, indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA). Nilai rendemen tepung daging sapi dengan metode pengeringan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai rendemen tepung daging sapi diperoleh dari perbandingan berat tepung daging sapi yang dihasilkan dengan berat daging sapi segar. Nilai rendemen tepung daging sangat penting diketahui untuk mengetahui efisiensi produksi. Semakin banyak tepung daging yang dihasilkan maka semakin tinggi efisiensi produksinya. Selain itu, nilai rendemen tepung daging dapat digunakan untuk mengetahui jumlah berat daging segar yang dibutuhkan untuk membuat tepung daging sapi pada jumlah tertentu. Rataan nilai rendemen tepung daging sapi adalah 15,73% ± 3,09 lebih rendah dibandingkan dengan nilai rendemen tepung daging bekicot sebesar 17,31% dan tepung cangkang bekicot sebesar 74,27% hasil penelitian Anwar (2000). Tabel 6 memperlihatkan nilai rendemen tepung daging sapi yang dihasilkan tidak berbeda.
Tabel 6. Nilai Rendemen Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda Metode Pengeringan
Rendemen (%)
Metode I
17,44 ± 1,13
Metode II
12,19 ± 3,66
Metode III
16,93 ± 4,29
Metode IV
16,51 ± 1,12
Rataan umum
15,73 ± 3,54
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi proses pembuatan produk tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan yang berbeda adalah sama. Nilai rataan rendemen tepung daging sapi metode rekomendasi lebih besar (17,29%) dibandingkan metode perlakuan (15,73%). Hal ini dapat disebabkan oleh lebih lamanya waktu pemanasan dengan oven. Nilai rendemen tepung daging sapi dengan metode rekomendasi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Rendemen Tepung Daging Sapi Metode Rekomendasi Metode Pengeringan
Rendemen (%)
Pengeringan oven 50 oC ; 36 jam
16,42
Pengeringan oven 60 oC ; 24 jam
17,48
o
Pengeringan oven 70 C ; 12 jam
17,98
Rataan umum
17,29
Densitas Kamba Tepung Daging Sapi Nilai densitas kamba tepung daging sapi dengan metode pengeringan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada nilai densitas kamba tepung daging sapi dengan metode yang berbeda. Artinya metode pengeringan yang berbeda tidak mempengaruhi nilai densitas kamba tepung daging sapi. Densitas kamba tepung daging sapi diperoleh dari perbandingan berat dengan volume tepung tepung daging. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan yang penting dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Pengukuran densitas kamba ini berguna untuk menghitung volume pada suatu bahan dengan berat tertentu seperti pengisian mixer, elevator dan silo. Densitas kamba juga mempengaruhi jumlah
bahan yang dapat dikonsumsi dan biaya produksi dari bahan (Wiranatakusumah et al., 1992). Tabel 8. Nilai Densitas Kamba Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda Metode Pengeringan
Densitas Kamba (g/cm3)
Metode I
0,363 ± 0,033
Metode II
0,364 ± 0,053
Metode III
0,331 ± 0,028
Metode IV
0,363 ± 0,037
Rataan umum
0,355 ± 0,024
Nilai densitas kamba tepung daging sapi adalah 0,356 g/cm3 ± 0,036 lebih rendah dari densitas kamba tepung madu (Iskandar, 2001) sebesar 0,55-0,65 g/cm3. Hal ini sesuai dengan Wiranatakusumah et al. (1992) yang menyatakan bahwa densitas kamba dari produk berbentuk bubuk umumnya berkisar antara 0,30 sampai 0,80 g/cm3. Densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, sifat bahan, komposisi bahan dan dipengaruhi oleh degradasi molekul pati, protein, lemak dan lainnya saat diberi perlakuan pengeringan. Semakin tinggi kadar air, maka kerapatan tumpukan akan semakin tinggi (Wiranatakusumah et al., 1992). Nilai densitas kamba tepung daging sapi dengan metode rekomendasi disajikan pada Tabel 9. Nilai densitas kamba tepung daging sapi metode rekomendasi lebih kecil (0,334 g/cm3) dibandingkan dengan metode perlakuan (0,356 g/cm3). Hal ini dikarenakan semakin lama pemanasan yang dilakukan pada daging akan mengakibatkan menurunnya kadar air, sehingga tepung menjadi lebih kering. Tepung yang lebih kering mempunyai butiran yang lebih halus sehingga beratnya lebih kecil dengan volume yang sama (Peleg, 1983). Produk pangan dengan nilai densitas kamba yang rendah cenderung bersifat bulky dibandingkan dengan nilai densitas yang besar sehingga membutuhkan tempat yang lebih luas dan ruang angkut yang besar. Densitas kamba yang lebih besar menunjukkan bahwa produk lebih rapat, yakni dalam volume yang sama produk mempunyai bobot yang berat (Peleg, 1983). Nilai densitas kamba juga penting diketahui karena mempengaruhi jumlah tepung daging yang akan ditambahkan atau dicampurkan ke dalam formula bahan pangan lain (Wiranatakusumah et al., 1992).
Tabel 9. Nilai Densitas Kamba Tepung Daging Sapi Metode Rekomendasi Metode Pengeringan
Densitas Kamba (g/cm3)
Pengeringan oven 50 oC ; 36 jam
0,328
Pengeringan oven 60 oC ; 24 jam
0,328
o
Pengeringan oven 70 C ; 12 jam
0,345
Rataan umum
0,334
Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air Tepung Daging Sapi Indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) merupakan salah satu sifat fungsional protein. Sifat kelarutan dan penyerapan air penting dalam pembuatan produk daging seperti sosis dan bakso. Meskipun daging yang ditambahkan ke dalam makanan dalam jumlah kecil, protein yang ada pada daging akan mempengaruhi beberapa sifat fisika makanan tersebut (deMan, 1997). Indeks Penyerapan Air (IPA) Nilai indeks penyerapan air merupakan kemampuan bahan untuk dapat berinteraksi dengan air. Rataan nilai IPA pada Tabel 10 berkisar antara 2,206 – 2,377 ml/g tepung daging sapi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada nilai IPA tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan yang berbeda. Artinya metode pengeringan yang berbeda tidak mempengaruhi nilai IPA tepung daging sapi. Nilai IPA yang tidak berbeda dapat disebabkan oleh suhu pengeringan metode I sampai IV yang berada di bawah 100 oC. Selain itu Damodaran (1996) juga menyebutkan bahwa protein berubah bervariasi tergantung pada derajat denaturasi selama pengolahan. Daya serap air adalah indeks dari jumlah air yang tertahan di dalam matriks protein pada kondisi tertentu (Satiawihardja, 1995). Nilai IPA tepung daging sapi 2,206 - 2,377 ml/g lebih rendah dibandingkan nilai IPA tepung paru sapi yaitu 3,92 - 4,15 ml/g (Gusyana, 2002). Penyerapan air ini disebabkan oleh sifat tepung yang hidroskopis dan adanya gugus polar dari protein yang mampu mengikat air.
Tabel 10. Nilai Indeks Penyerapan Air (IPA) Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda Metode Pengeringan
Indeks Penyerapan Air (ml/g)
Metode I
2,346 ± 0,246
Metode II
2,377 ± 0,503
Metode III
2,206 ± 0,226
Metode IV
2,326 ± 0,223
Rataan umum
2,314 ± 0,108
Rendahnya nilai IPA tepung daging sapi mengindikasikan adanya denaturasi protein akibat proses pengeringan, seperti dijelaskan oleh Grantham (1981) bahwa proses pengeringan memiliki pengaruh yang besar terhadap denaturasi produk. Pengurangan kadar air sampai di bawah 25% menyebabkan denaturasi yang berlebihan, bahkan dalam proses yang terkendali seperti pengeringan beku. Denaturasi protein karena panas sering diikuti oleh turunnya kelarutan, karena membukanya gugus hidrofobik sehingga meningkatnya daya serap air (Grantham, 1981). Perubahan dari bentuk globular ke bentuk koil acak dapat mempengaruhi sifat dan polaritas sisi pengikatan air, dalam hal ini akan terbukanya sisi asam amino polar yang terletak di bagian dalam molekul protein, sehingga lebih banyaknya molekul air yang berhubungan dengan protein. Interaksi protein dengan air dapat menentukan sifat hidrasi, pengembangan produk viskositas dan pembentukan gel (Hutton dan Campbell, 1981). Protein dalam tepung daging menjadi komponen penting yang dapat menentukan tingkat penyerapan air. Hal ini dikarenakan protein mengandung sejumlah rantai polar di sepanjang kerangka peptidanya yang membuatnya bersifat hidrofilik (Cherry, 1981). Sifat hidrofilik berhubungan dengan gugus polar protein seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil dan sulfidril. Penyerapan air selama penyimpanan dapat memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang terjadi seperti reaksi pencoklatan dan polimerisasi protein serta penyerapan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya ketengikan karena oksidasi lemak (Kinsella, 1992). Faktor lain yang dapat mempengaruhi indeks penyerapan air adalah suhu dan kelembaban relatif lingkungan (Eskin dan Robinsoon, 2001). Produk tepung daging disimpan pada suhu 28o – 30oC dengan RH 90 %. Tepung daging akan menyerap air
dengan mudah pada RH yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Heldman dan Singh (1981) yang menyatakan bahwa makanan kering dapat mengikat air jika disimpan pada lingkungan yang basah atau lembab. Ukuran partikel tepung daging juga dapat mempengaruhi nilai penyerapan air. Ukuran partikel yang semakin kecil maka luas permukaan semakin tinggi dan penyerapan air yang terjadi akan semakin meningkat. Indeks Kelarutan Air (IKA) Indeks kelarutan air adalah kemampuan tepung daging untuk larut dalam air yang diperoleh dari banyaknya jumlah partikel tepung daging yang larut (g) dalam jumlah air tertentu (ml). Nilai IKA tepung daging berkisar antara 0,012-0,35 g/ml dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada nilai IKA dengan metode pengeringan yang berbeda. Artinya perbedaan metode pengeringan tidak mempengaruhi nilai IKA tepung daging sapi. Rendahnya nilai IKA tepung daging sapi dipengaruhi oleh denaturasi protein. Nilai IKA yang tidak berbeda dapat disebabkan oleh suhu pengeringan metode I sampai IV yang berada di bawah 100 oC. Hal ini terbukti dengan pernyataan Loesecke (1995) yang mengatakan bahwa denaturasi protein akan semakin meningkat tajam jika pengeringan dilakukan sampai lebih dari 100 oC. Tabel 11. Nilai Indeks Kelarutan Air (IKA) Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda Metode Pengeringan
Indeks Kelarutan Air (g/ml)
Metode I
0,024 ± 0,004
Metode II
0,016 ± 0,006
Metode III
0,351 ± 0,574
Metode IV
0,012 ± 0,004
Rataan umum
0,101 ± 0,147
Damodaran (1996) menyatakan bahwa denaturasi protein dipengaruhi oleh suhu. Stabilitas maksimum protein (mioglobin) daging dicapai pada suhu 30ºC dan diketahui bahwa mioglobin memiliki suhu denaturasi pada 79 ºC, namun juga akan terdenaturasi akibat dipicu oleh suhu dingin saat daging disimpan suhu dibawah 0 ºC. Proses pengeringan memiliki pengaruh yang besar terhadap denaturasi produk. Pengeringan yang dimaksud adalah pengurangan kadar air sampai di bawah 25%
yang menyebabkan denaturasi yang berlebihan termasuk dalam pengeringan beku. Denaturasi protein karena panas sering diikuti oleh turunnya kelarutan, karena membukanya gugus hidrofobik dan terjadi agregasi dari membukanya molekulmolekul protein dan meningktanya daya serap air (Grantham, 1981). Denaturasi protein daging yang terjadi pada suhu 50 oC atau lebih tinggi akan menurunkan kelarutan protein garam seperti protein miofibril. Perubahan kelarutan protein selama pemanasan adalah salah satu bukti perubahan struktur protein (Zayas, 1997). Faktor lain yang mempengaruhi indeks kelarutan air adalah ukuran partikel tepung daging sapi. Ukuran partikel yang semakin kecil akan menyebabkan tepung lebih mudah larut dibandingkan dengan tepung yang mempunyai ukuran partikel lebih besar. Kadar air tepung daging juga dapat mempengaruhi indeks kelarutan air. Semakin tinggi kadar air yang terkandung maka tepung akan semakin mudah untuk melarut. Bilangan TBA Analisis bilangan TBA tepung daging sapi dilakukan pada hari ke-0 dan selama penyimpanan (hari ke-14, 28 dan 42). Penilaian ini berguna untuk mengetahui ketengikan yang terjadi pada tepung daging sapi. Ketengikan pada tepung daging sapi disebabkan oleh reaksi oksidasi lemak. Pemanasan yang dilakukan dapat mendorong terjadinya oksidasi serta menurunkan kualitas nutrisi tepung daging sapi. Malonaldehida merupakan hasil dari oksidasi lemak yang mengakibatkan bau tidak enak (tengik) pada bahan pangan (Ketaren, 1986). Nilai TBA tepung daging sapi disajikan pada Gambar 8. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara metode pengeringan dengan penyimpanan. Hasil sidik ragam juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada metode pengeringan dan penyimpanan yang berbeda. Artinya metode pengeringan dan lama simpan yang berbeda tidak mempengaruhi nilai TBA tepung daging sapi. Nilai TBA tepung daging sapi berkisar antara 0,09 sampai 0,245 mg malonaldehida/kg tepung daging sapi. Nilai TBA tepung daging sapi dipengaruhi oleh kandungan lemak yang terdapat pada tepung daging sapi. Kandungan lemak tepung daging sapi ini sebesar 12,63% (Aditya, 2008).
Gambar 8. Bilangan TBA Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda selama Penyimpanan 42 hari Kerusakan lemak yang terjadi pada tepung daging sapi disebabkan oleh oksidasi lemak selama penyimpanan. Oksidasi lemak terjadi secara spontan karena tepung daging yang mengandung lemak kontak dengan udara sedangkan kecepatan oksidasinya tergantung pada tipe lemak yang ada dalam daging serta kondisi penyimpanan. Senyawa yang mudah teroksidasi dalam lemak adalah asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 1986). Hasil oksidasi lemak dapat menimbulkan off-flavor, selain itu oksidasi asam lemak tidak jenuh dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi karena kerusakan vitamin (karoten dan tokoferol) dan asam lemak esensial dalam lemak. Ketaren (1986) juga menjelaskan bahwa kerusakan akibat oksidasi lemak terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen dan tahap kedua adalah degradasi hasil tahap pertama. Tahap oksidasi yang kedua adalah degradasi hidroperoksida hasil produk primer. Hasil reaksi ini adalah persenyawaan alkohol, aldehida serta persenyawaan tidak jenuh dengan molekul yang lebih rendah. Aldehida bersifat tidak labil dan mudah mengalami reaksi polimerisasi kondensasi. Aldehida merupakan masalah, salah satunya adalah 2,4-dekadienal pada konsentrasi kurang dari 1 ppm dalam lemak mengakibatkan bau tengik (Ketaren, 1986). Jamora dan Rhee (2002) menyatakan bahwa nilai TBA tertinggi terdapat pada penyimpanan H-0 pada panjang gelombang 530 nm, sedangkan pada panjang
gelombang 450 nm tidak berbeda. John et al. (2004) menyatakan bahwa produk yang masih berkualitas baik memiliki nilai TBA kurang dari 2 mg malonaldehida/kg sampel sedangkan Chen et al. (1996) menyatakan batas maksimum kadar TBA untuk hasil peternakan dan perikanan yaitu 1-2 malonaldehida/kg. Hal ini menunjukkan bahwa sampai penyimpanan 42 hari, tepung daging masih berkualitas baik. Analisis nilai TBA pada tepung daging metode rekomendasi hari ke-0 (0,372 mg malonaldehida/kg) lebih besar jika dibandingkan dengan metode perlakuan (0,245 mg malonaldehida/kg). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan waktu pengeringan. Waktu pengeringan tepung daging sapi metode rekomendasi yang lebih lama mengakibatkan kadar air lebih rendah dari metode perlakuan dan akan meningkatkan jumlah lemak. Selain itu, suhu yang lebih tinggi merupakan katalis untuk reaksi oksidasi (Ketaren, 1986). Nilai TBA tepung daging metode rekomendasi dapat yang selengkapnya dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai TBA (mg malonaldehida/kg) Tepung Daging Sapi Metode Rekomendasi Hari ke-0 Metode Pengeringan
Nilai TBA
Pengeringan oven 50 oC ; 36 jam
0,21 ± 0,15
o
0,582 ± 0,02
o
Pengeringan oven 70 C ; 12 jam
0,325 ± 0,03
Rataan umum
0,372 ± 0,190
Pengeringan oven 60 C ; 24 jam
Faktor lain yang mempengaruhi nilai TBA adalah oksigen. Ketersediaan oksigen dalam penyimpanan tepung daging sapi dipengaruhi oleh kemasan yang digunakan. Kemasan yang digunakan untuk menyimpan tepung daging sapi masih dapat dilalui oleh udara, sehingga dapat meningkatkan terjadinya oksidasi lemak (Sheftel, 2000). Hal ini sesuai dengan John et al. (2004) yang menyatakan bahwa nilai TBA beef patties yang dikemas dengan kemasan aerob lebih tinggi dibandingkan dengan beef patties yang dikemas dengan kemasan MAP (Modified Atmosphere Packaging).
Penilaian Organoleptik Penilaian kualitas tepung daging tidak dapat dinilai dengan pengukuran objektif saja, tetapi harus menurut penilaian panelis. Penilaian organoleptik terhadap tepung daging sapi digunakan untuk mengetahui penilaian panelis dan mengetahui kualitas tepung daging sapi yang dihasilkan dengan metode pengeringan yang berbeda. Uji mutu hedonik yang dilakukan tidak membandingkan karakteristik tepung daging pada tiap hari pengamatan (0,14, 28 dan 42 hari) karena dilakukan pada hari yang berbeda. Sifat mutu yang diuji pada penelitian ini adalah warna, tekstur, bau daging matang dan bau tengik tepung daging sapi. Intensitas warna dan bau daging tepung daging sapi dipengaruhi oleh metode pengeringan, baik hari ke-0, 14, 28 maupun 42. Namun demikian tekstur dan bau tengik relatif tidak dipengaruhi oleh metode pengeringan. Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Sebelum Penyimpanan (Hari ke-0) Penilaian organoleptik tepung daging sapi pada hari ke-0 disajikan pada Tabel 13. Warna tepung daging sapi pada hari ke-0 berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata. Warna tepung daging dengan metode I tidak berbeda dengan metode II, dengan warna coklat lebih terang daripada metode III dan IV. Warna metode III dan IV tidak berbeda nyata. Metode pengeringan yang berbeda pada hari ke-0 juga tidak mempengaruhi tekstur tepung daging. Bau daging matang pada hari ke-0 berbeda. Artinya metode pengeringan yang berbeda mempengaruhi bau daging matang. Panelis menyatakan tepung yang dihasilkan dengan metode IV paling berbau matang dibandingkan dengan metode lainnya. Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka tepung daging akan semakin berbau daging matang. Bau tengik pada hari ke-0 tidak berbeda. Penyimpanan tepung daging sapi hari ke-0 relatif tidak bau tengik.
Tabel 13. Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-0 Metode
Karakteristik Warna
Tekstur
Bau Daging Matang
Bau Tengik
I
3,63 ± 1,47 a
3,86 ± 1,80
4,76 ± 1,63 a
3,07 ± 2,23
II
3,84 ± 1,42 a
4,06 ± 1,70
5,74 ± 1,58 ab
2,93 ± 1,29
III
5,63 ± 1,38 b
3,67 ± 1,71
6,54 ± 1,30 bc
3,33 ± 2,66
IV
b
4,00 ± 1,79
c
3,08 ± 2,07
5,99 ± 1,29
7,03 ± 1,00
Keterangan : - Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda (p<0,05) - Warna : 1 = sangat coklat muda, 10 = sangat coklat tua - Tekstur : 1 = sangat halus, 10 = sangat kasar - Bau daging matang : 1 = sangat tidak bau daging matang, 10 = sangat bau daging matang - Bau tengik : 1 = sangat tidak bau tengik, 10 = sangat bau tengik
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Hari ke-14 Penyimpanan tepung daging hari ke-14 menunjukkan bahwa warna tepung daging metode I berbeda dengan warna pengeringan lainnya yaitu berwarna relatif lebih coklat muda. Warna tepung daging metode II berwarna coklat lebih muda (P< 0,05) dibandingkan dengan warna pengeringan metode III dan IV yang berwarna lebih coklat tua. Panelis menilai warna metode III dan IV tidak berbeda secara nyata. Tepung daging pada penyimpanan hari ke-14 bertekstur halus dan agak bau tengik. Bau daging matang pada penyimpanan ke-14 menunjukkan adanya perbedaan. Bau daging pada metode I tidak berbeda dengan metode II, akan tetapi berbeda dengan metode III dan IV. Bau tepung daging metode I relatif agak berbau daging matang sedangkan bau tepung daging metode IV relatif lebih berbau daging matang. Hasil penilaian organoleptik tepung daging sapi pada penyimpanan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-14 Metode
Karakteristik Warna
Tekstur
Bau Daging Matang
Bau Tengik
I
2,68 ± 1,08a
3,49 ± 1,20
4,49 ± 1,36a
3,51 ± 2,11
II
3,41 ± 1,41b
3,55 ± 1,02
5,44 ± 1,04ab
3,73 ± 2,0
III
5,07 ± 1,75
c
3,99 ± 1,11
b
3,71 ± 2,06
6,63 ± 1,30
c
c
3,70 ± 2,21
IV
3,51 ± 1,80
6,29 ± 0,68
7,22 ± 0,84
Keterangan : - Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda (p<0,05) - Warna : 1 = sangat coklat muda, 10 = sangat coklat tua - Tekstur : 1 = sangat halus, 10 = sangat kasar - Bau daging matang : 1 = sangat tidak bau daging matang, 10 = sangat bau daging matang - Bau tengik : 1 = sangat tidak bau tengik, 10 = sangat bau tengik
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Hari ke-28 Metode pengeringan yang berbeda mempengaruhi intensitas warna dan bau daging matang pada tepung daging sapi yang disimpan sampai hari ke-28. Warna tepung daging metode I berbeda dengan pengeringan yang lainnya yaitu sangat coklat muda sedangkan warna tepung daging metode II, III dan IV relatif lebih coklat tua (P<0,05). Bau daging matang metode I dengan pengeringan lainnya juga berbeda yaitu relatif tidak berbau matang dibandingkan dengan metode lainnya. Semakin lama waktu pengeringan akan membuat warna tepung daging sapi menjadi lebih gelap dan semakin berbau daging matang yang terlihat pada metode IV. Namun demikian metode pengeringan yang berbeda tidak mempengaruhi tekstur dan bau tengik tepung daging sapi. Tekstur tepung daging halus dan agak berbau tengik. Penilaiaan organoleptik tepung daging sapi pada penyimpanan hari ke-28 dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-28 Metode
Karakteristik Warna
Tekstur
Bau Daging Matang
Bau Tengik
I
2,88 ± 1,25a
3,10 ± 1,31
3,84 ± 1,12a
3,52 ± 1,47
II
3,63 ± 1,42b
3,08 ± 0,98
4,97 ± 0,56a
3,61 ± 1,51
III
5,84 ± 0,85
c
4,07 ± 1,41
b
3,65 ± 1,74
6,96 ± 0,73
c
c
3,63 ± 1,24
IV Keterangan :
3,77 ± 1,27
5,89 ± 1,03
6,79 ± 0,87
- Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda (p<0,05) - Warna : 1 = sangat coklat muda, 10 = sangat coklat tua - Tekstur : 1 = sangat halus, 10 = sangat kasar - Bau daging matang : 1 = sangat tidak bau daging matang, 10 = sangat bau daging matang - Bau tengik : 1 = sangat tidak bau tengik, 10 = sangat bau tengik
Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi Hari ke-42 Penyimpanan hari ke-42 menunjukkan bahwa metode pengeringan yang berbeda mempengaruhi warna, tekstur dan bau daging matang akan tetapi tidak mempengaruhi bau tengik. Warna metode I relatif berwarna sangat coklat muda (P<0,05) dibandingkan dengan warna metode II, III dan IV yang berwarna relatif lebih coklat tua. Tekstur tepung daging sapi pada penyimpanan 42 hari dipengaruhi oleh metode pengeringan. Tekstur metode I tidak berbeda dengan tekstur metode II yang relatif lebih halus (P<0,05) dibandingkan dengan metode III dan IV yang relatif lebih kasar. Untuk parameter bau daging matang, metode I dan II relatif agak bau daging matang dibandingkan dengan metode III dan IV yang relatif lebih berbau daging matang. Bau tepung daging sapi penyimpanan hari ke-42 berbau agak tengik. Hasil penilaian organoleptik tepung daging sapi hari ke-42 disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Penilaian Organoleptik Tepung Daging Sapi pada Hari ke-42 Metode
Karakteristik Warna
Tekstur
Bau Daging Matang
Bau Tengik
I
2,49 ± 1,33a
2,78 ± 1,51a
4,15 ± 1,65a
3,29 ± 2,62
II
4,10 ± 1,07b
3,15 ± 1,12a
5,88 ± 1,24b
3,84 ± 2,56
III
5,07 ± 1,21b
3,19 ± 1,37b
6,87 ± 0,89b
3,66 ± 2,36
IV
c
b
c
3,85 ± 2,48
7,52 ± 0,81
3,30 ± 0,82
8,00 ± 1,52
Keterangan : - Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda (p<0,05) - Warna : 1 = sangat coklat muda, 10 = sangat coklat tua - Tekstur : 1 = sangat halus, 10 = sangat kasar - Bau daging matang : 1 = sangat tidak bau daging matang, 10 = sangat bau daging matang - Bau tengik : 1 = sangat tidak bau tengik, 10 = sangat bau tengik
Perubahan Sifat Organoleptik selama Penyimpanan Perbedaan warna yang terjadi pada tepung daging sapi disebabkan oleh suhu pengeringan daging. Intensitas warna tepung daging sapi pada tiap hari pengamatan berbeda. Semakin tinggi suhu akan menghasilkan tepung daging yang berwarna lebih gelap (Tabel 13, 14, 15 dan 16). Hal ini dibuktikan dengan warna tepung daging metode IV yang lebih gelap dibandingkan dengan metode lainnya karena suhu yang digunakan semakin tinggi. Perubahan warna coklat pada tepung daging disebabkan oleh reaksi Maillard dan perubahan pigmen mioglobin menjadi metmioglobin akibat proses pemanasan. Faktor lain yang mempengaruhi perubahan yang terjadi pada warna adalah adalah nilai aktivitas air seperti yang dinyatakan oleh Winarno (1994) bahwa nilai kadar air dan aktivitas air dapat mempengaruhi kestabilan makanan kering. Nilai aktivitas air tepung daging sapi dijadikan sebagai data pendukung hasil penelitian Aditya (2008) dan dapat dilihat pada Tabel 17. Nilai aw tepung daging sapi berkisar antara 0,59 - 0,66. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ini masih lebih kecil dari aktivitas air untuk tepung yang mencapai maksimal 0,72 (Van Der Berg, 1986). Aktivitas air yang rendah ini merupakan indikasi bahwa produk tepung daging memiliki tingkat keawetan yang lebih tinggi dari pada bahan segarnya.
Tabel 17. Rataan Aktivitas air (aw) Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda selama Penyimpanan Metode
Penyimpanan 0 hari
14 Hari
28 Hari
42 hari
Metode I
0,57 ± 0,12
0,56 ± 0,08
0,60 ± 0,04
0,59 ± 0,07
Metode II
0,61 ± 0,02
0,62 ± 0,04
0,64 ± 0,04
0,68 ± 0,03
Metode III
0,60 ± 0,03
0,57 ± 0,05
0,63 ± 0,03
0,66 ± 0,02
Metode IV
0,61 ± 0,09
0,60 ± 0,10
0,64 ± 0,07
0,67 ± 0,06
Rataan Umum
0,60 ± 0,07 a
0,59 ± 0,07 a
0,62 ± 0,05 ab
0,66 ± 0,04 b
Keterangan: - Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda (p<0,05)
Nilai aw selama penyimpanan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh semakin lama penyimpanan tepung daging sapi akan mengalami penguapan air. Air terikat yang terkandung dalam tepung daging akan melepaskan ikatannya menjadi air bebas. Air bebas yang semakin meningkat akan menyebabkan nilai aw semakin tinggi (Syarief dan Halid, 1993). Sesuai dengan gambar hubungan aktivitas air dengan kecepatan reaksi dalam bahan pangan (Winarno, 1994), kisaran nilai aw tepung daging antara 0,59 – 0,66, aktivitas reaksi browning non-enzimatis meningkat (Gambar 6) sehingga menyebabkan warna tepung daging sapi menjadi coklat. Hal ini disebabkan karena air bebas yang semakin meningkat sehingga kecepatan reaksi semakin cepat. Tekstur tepung daging sapi pada penyimpanan hari ke-42 berbeda. Ziegler et al. (1987) menyatakan bahwa tekstur produk daging akan semakin keras mengikuti masa penyimpanan. Tekstur metode I dan II tidak berbeda, tekstur metode III dan IV tidak berbeda akan tetapi metode I dan II berbeda dengan metode III dan IV. Tekstur metode III dan IV relatif lebih kasar dibandingkan dengan metode I dan II. Metode III dan metode IV menggunakan suhu pengeringan yang lebih tinggi, sehingga tepung yang dihasilkan lebih kering dan lebih bertekstur kasar. Hal ini sesuai dengan Peleg (1983) yang menjelaskan bahwa tekstur akan berubah dengan berubahnya kandungan air. Tekstur tepung daging juga dapat dipengaruhi oleh indeks penyerapan air (IPA) dan kadar air. Semakin tinggi nilai penyerapan air tepung maka kadar air tepung daging semakin meningkat dan tekstur tepung daging menjadi halus. Hal ini
dapat dilihat dari nilai penyerapan air tepung daging pengeringan beku yang paling besar (Tabel 10) dibandingkan dengan pengeringan lainnya. Hal ini menyebabkan tekstur tepung daging sapi metode I lebih halus dibandingkan dengan tekstur pengeringan lainnya. Metode pengeringan yang berbeda mempengaruhi bau daging matang tepung daging sapi selama penyimpanan. Artinya suhu pengeringan yang digunakan menghasilkan bau daging yang berbeda. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka tepung daging sapi akan semakin berbau daging matang. Hal ini sesuai dengan Lawrie (1998) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan untuk pengolahan daging akan membuat daging beraroma terbakar. Tepung daging yang paling berbau daging matang adalah tepung daging yang dibuat dengan metode IV. Reaksi Maillard merupakan reaksi utama pembentuk flavor atau bau pada berbagai jenis makanan. Hasil reaksi Maillard yaitu produk spesifik asam amino dan produk spesifik karbohidrat akan membentuk heterosiklik yang mengandung atom N dan atom S yang berperan dalam pembentukan bau. deMan (1997) mejelaskan bahwa reaksi urai Strecker asam α-amino merupakan reaksi yang berperan juga dalam pembentukan senyawa baurasa. Senyawa dikarbonil yang terbentuk bereaksi dengan asam α-amino. Asam amino diubah menjadi aldehida dengan atom karbonnya kurang satu. Lawrie (1998) menjelaskan bahwa produksi volatil berasal dari asam-amino dalam pirolisis melalui degradasi Strecker dimana melibatkan deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino ke dalam aldehid dan adanya reaksi Maillard yang diawali oleh interaksi asam-asam amino dan gugus karbonil. Aroma daging masak disebabkan oleh pemanasan asam-asam amino pada daging menghasilkan senyawasenyawa volatil seperti metionin, sistein, asam asetat dan 2-deoksiribose. Aroma daging masak ini juga dipengaruhi oleh karbohidrat, dan lemak setelah dipanaskan. Komponen volatil yang paling banyak ditemukan pada aroma daging masak adalah alifatik hidrokarbon, alifatik aldehida, benzeniod compound, alifatik alkohol dan Scompound. Peubah lain yang dinilai pada tepung daging sapi adalah bau tengik. Sifat ini berhubungan dengan penyimpanan selama 42 hari yang dilakukan pada tepung daging. Penyimpanan seperti yang dijelaskan oleh Soeparno (1994) dapat membuat
bahan pangan menjadi tengik yang berasal dari oksidasi lemak. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa metode pengeringan yang berbeda tidak mempengaruhi bau tengik tepung daging sapi. Selama penyimpanan 42 hari panelis menilai tepung daging sapi belum berbau tengik dengan skor kurang dari 4 (Tabel 13, 14, 15 dan 16). Hal ini dapat dikorelasikan dengan nilai TBA tepung daging sapi yang dianalisis (Gambar 8). Hasil TBA tersebut juga menunjukkan bahwa metode pengeringan yang berbeda tidak mempengaruhi nilai TBA yang dihasilkan. Nilai TBA tepung daging sapi masih dalam batas normal seperti yang dijelaskan oleh John et al. (2004) menyatakan bahwa produk yang kualitasnya masih baik mempunyai nilai TBA kurang dari 2 mg malonaldehid/kg sampel. Malonaldehida banyak ditemukan pada makanan yang sudah bau tengik dan bersifat karsinogenik (Syarief dan Halid, 1993). Oleh karena itu kualitas tepung daging sapi selama penyimpanan 42 hari masih baik. Bau tengik yang disebabkan oleh oksidasi lipida ini dipengaruhi oleh nilai aw tepung daging sapi. Kecepatan reaksi oksidasi lipida akan semakin meningkat pada kisaran nilai aw pada 0,59 – 0,66, yang menyebabkan bau tengik dan menurunkan kualitas tepung daging. Namun demikian reaksi oksidasi lipida yang terjadi selama penyimpanan 42 hari belum membuat tepung daging sapi menjadi tengik. Hal tersebut berdasarkan nilai TBA yang berkisar antara 0,088 – 0,245 mg malonaldehida/kg tepung daging. Nilai tersebut masih dalam batas normal untuk produk makanan. Makanan akan berbau tengik jika nilai TBA lebih dari 1 - 2 mg malonaldehida/kg sampel (Chen et al., 1996).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pembuatan tepung daging sapi dengan menggunakan metode pengeringan beku selama 48 jam, pengeringan oven suhu 50 oC selama 24 jam, pengeringan oven suhu 60 oC selama 12 jam dan pengeringan oven suhu 70 oC selama 6 jam tidak mempengaruhi nilai rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) serta bilangan TBA. Bilangan TBA tepung daging sapi masih dalam batas normal oleh karena itu tepung daging sapi belum berbau tengik sampai penyimpanan 42 hari. Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi warna dan bau daging matang pada penilaian organoleptik. Semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pengeringan menghasilkan warna tepung daging yang lebih gelap dan bau tepung daging semakin berbau matang. Tekstur tepung daging pada hari ke42 dipengaruhi oleh pengeringan yang berbeda sedangkan bau tengik tepung daging tidak dipengaruhi oleh metode pengeringan. Saran Tepung daging sapi memiliki warna yang gelap, oleh karena itu perlu diperhatikan aplikasi tepung daging tersebut dalam produk. Perlu penelitian lebih lanjut pada tepung daging dalam segi ekonomis agar dapat dikomersialkan dan sifat fungsional protein yang lain seperti stabilitas emulsi.
48
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih terutama penulis ucapkan kepada Ayah, Mama, Ene, Engkong dan Keluarga Besar Hamdani H.S., yang telah memberikan doa yang tiada henti, kasih sayang, kepercayaan serta dukungan moril maupun materi kepada penulis agar penulis dapat menjadi orang yang lebih baik lagi di kemudian hari. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik tercinta (Rini Hairunisa, SE., Fitri Indriani dan Novia Citramesti) atas perhatian dan dukunganya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuti Suryati, S.Pt., M.Si., dan Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si., sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan, arahan dan nasihatnya selama penulis menyelesaikan tugas akhir. Ucapan terima kasih penulis kepada Jimmy Sutanta, S.Hut., dan keluarga besar, terima kasih kasih sayang, doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. V-Crocodize (LiaY., Meirina S., Fitriana N.S., dan Tiara K.) terima kasih atas persahabatan dan dukungan moril selama penulis menyelesaikan skripsi. Mita, Acil, Sukma, Agus, Adi dan Nasrul, terima kasih atas kebersamaan selama penulis kuliah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tim Tepung Daging (Harfan T.A., Wieke F., Ari N., Topan dan Tria N.A.) atas kerjasama dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi. Teman-teman di Dwi Regina, Ani, Revi, Elis, Dhila, Velma, Nila, Palupi terima kasih semangatnya. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Budiman, Risma, Delvi dan teman lainnya di PS. THT atas cerita suka dan duka selama di perkuliahan. Semoga Allah SWT tetap melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada mereka. Terima kasih penulis ucapkan kepada Program Hibah Kompetisi A2 Departemen IPTP, staf bagian Teknologi Hasil Ternak, staf bagian Ruminansia Besar, dan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga karya kecil ini dapat berguna bagi orang lain. Bogor, April 2008
Penulis
49
DAFTAR PUSTAKA Aditya, H. T. 2008. Sifat kimia tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan berbeda serta pengaruhnya terhadap sifat mikrobiologi selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggoro, D.C. 2007. Pembuatan tepung daging sapi sebagai produk antara dengan metode pengeringan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anwar, F. 2000. Mempelajari sifat fisik, organoleptik dan nilai gizi protein tepung bekicot dan tepung cangkang bekicot. Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Apriyantono, A, D., Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sudarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium: Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Arpah. 2001. Monograf Penentuan Kadarluarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). 1995. Official Method of Analysis of Association of Analytical Chemists. The Association of Analytical Chemists Inc., Arlington, Virginia, USA. Ayanwale, B.A., O. B. Ocheme danO. O. Oloyede. 2007. The effect of sun-drying and oven-drying on the nutritive nalue of meat pieces in hot humid environment. Pakistan Journal of Nutrition. 6 (4): 370 – 374. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Daging Sapi/Kerbau. SNI 01-3947-1995. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1998. Tepung Siap Pakai untuk Kue. SNI 01-44691998. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Tepung Ikan. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Beef,
ground, 70% lean meat, 30% fat, raw. Nutrition data. http://www.nal.usda.gov.fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl. [11 Februari 2008].
Belitz, H.D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer, Germany. Bernholdt, H. F., 1975. Enzymes in Food Processing. Academic Press Inc, New York. Bodwell, C.E dan P.E. Mc. Clain. 1971. Chemistry of animal tissues : proteins. Dalam : J.F Price dan B.S. Schweigert (Editor). The Science of Meat and Meat Products. W. H. Freeman and Company, San Francisco. Brennan, J. G., J. R. Butter, N. D Cowell dan A. V. E. Lilly. 1984. Food Engineering Operations. Applied Science Publishers Limited, London. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Canavas, G. H. dan H. Vega-Mercado. 1996. Dehydration of Foods. Chapman dan Hall, New York. Chen, Z.Y., P.T. Chan, H.M. Ma, K.P. Fung, dan J. Wang. 1996. Antioxidative effects of ethanol tea extracts on oxidation of canola oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 73: 375-380. Cherry, J.P. 1981. Protein Functionally in Foods. (Editor). American Chemical Society, Washington D.C. Dalgleish, J. Mcn. 1990. Freeze Drying Method for The Food Industries. Elsevier Applied Science, New York. Damodaran, S. 1996. Amino acid, peptides, and proteins. Dalam: Owen R. Fennema (Editor). Food Chemistry. 3rd Edition. Marcell Dekker Inc., New Yok. Davidek, J, J. Velisek, dan Jan Pokorny. 1990. Chemical Changes during Food Processing. Elsevier Science Publisher, Amsterdam. deMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh K. Padmawinata. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. 3rd ed. Terjemahan: Muchji Muljoharjo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Eskin, M dan D. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability. CRC Press, USA. Fellow, P.J. 1990. Food Processing Technology Principle and Practice. Ellis Horwood, New York. Grantham, G.J. 1981. Minced Fish Tech. : A Review. FAO UN, Rome. Gray, J.I. 1978. Measurement of lipid oxidation: A review. J. Am. Oil Chem. Soc. 55: 539-545. Gusyana, R. 2002. Pembuatan tepung paru sapi menggunakan batch fluidized solid dryer pada berbagai tingkat suhu pengeringan. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hall, C. W. 1979. Dictionary of Drying. Marcell Dekker, Inc., New York. Heldman, D. R. dan R. P. Sing. 1981. Rekayasa Proses Pangan. Terjemahan: M. A. Wirakartakusumah. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hutton, C. W. dan A. M. Champbell. 1981. Water and Fat Absorbtion. Dalam : J. P. Hubber (ed) Protein Functionality in Foods. American Chem., Soc., Washington. Ilyas, S. 1982. Teknologi Pemanfaatan Lemuru Selat Bali. Balai Penelitian Teknologi Perikanan, Jakarta. Ilyas, S., M. Saleh dan H.E Irianto. 1985. Teknologi Pengolahan Tepung Ikan. Prosiding Rapat Teknis Tepung Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Indriyati, S.W., Widiatmini dan S. Prasetyo. 1990. Pembuatan tepung ikan dengan pengering serbaguna. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengerigan Komoditas Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Iskandar, B. M. 2001. Pembuatan tepung madu dengan pengeringan semprot beserta aplikasinya. Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jamora, J. J. dan K. S. Rhee. 2002. Storage stability of extruded products from blends of meat and nonmeat ingredients : evaluation methods and antioxidative effect of onion, carrots and oat ingredients. J. Food. Sci. 67: 1654-1659. Jo, C. dan Ahn, D.U. 2000. Volatiles and oxidation changes in irradiated pork sausage with different fatty acid composition and tocopherol content. J. Food. Sci. 65(2): 270-275. John, L., D. Cornforth, C. E. Carpenter, O. Sorhem, B. C. Peetee dan D. R. Whittier. 2004. Comparison of color and thiobarbituric acid values of cooked hamburger patties after storages of fresh beef chubs in modified atmosphere. J. Food. Sci. 69: 608-614. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Kinsella, J. E. 1992. Relationship Between Structure and Functional Properties of food Proteins. Dalam : Fox, F. P. dan J. J. Condon (ed). Food Proteins. Applications Science Publishing, London-Newyork. King, C. J. 1991. Freeze Drying of Food. CRC Press, Cleveland, Ohio. Lawrie, R. A. 1998. Ilmu Daging. Terjemahan A. Parakassi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Loesecke, H. W. 1995. Drying and Dehydration of Foods. 2nd Edition. Reinhold Publishing Co., New York. Mailgaard, M., G. V. Civille dan B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd. CRC Press, Boca Raton. Mattjik, Ahmad A. dan M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Instutut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T. R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, D., N. S. Palupi, dan M. Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mujumdar, S. A. 1995. Drying Technology in Agriculture and Food Science. Marcell Dekker Inc., New York. Nuraini, H. 1996. Pengaruh sendawa (Kalium Nitrat) dan asam asorbat terhadap residu nitrit dan pembentukan n-nitrosamin pada dendeng. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parker,R. 2003. Introducing of Food Science. Delmar Thomson Learning, USA. Park, J.W., T.C. Lanier, dan D.P. Green. 1988. Cryoprotective effect of sugar, polyols, and/or phosphates on alaska pollack surimi. J. Food Sci. 53 (2) : 1-3. Pearson, A. M. dan R. B. Young. 1989. Muscle and Meat Biochemistry. Academic Press Inc., California. Peleg, M. 1983. Physical Characteristics of Food Powders. Dalam : Peleg, M dan Bagley, E. B. (eds). Physical Properties of Foods. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Price, J.F., dan B.S. Schweigert. 1971. The Science of Meat and Meat Products. Second Edition. W.H. Freeman and Company, San Francisco. Rahman, M. S., Z. Salman., I. T. Kadim, A. Mothersaw, M. H. Al-Rizqi, N. Guizani, O. Mahgoub dan A. Ali. 2005. Microbial and phsyco-chemical characteristics of dried meat processed by different methods. J. Food Engineering. Vol.1 [2005], Iss.2, Art. 3. Rupnow, J.H. 1992. Protein : Biochemistry and applications. Dalam: Y.H. Hui (Ed.). Encyclopedia of Food Science and Technology. Vol. 3 John Wiley & Sons Inc., Toronto, Canada. Satiawihardja, B. 1995. Teknologi Protein. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sharp, J. G. dan E. J. Rolfe. 1958. Fundamental Aspects of The Dehydration Foodstuffs. Society of Chemical Industry, London. Sheftel, O. V. 2000. Indirect Food Additives and Polymers. : Migration and Toxicology. Lewis Publisher, Boca Raton, Florida. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Steel, R. G. D., dan J. H. Torie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik : Suatu Pendekatan Geometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Syarief, R., dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan kerjasama dengan Pusat Antar Universitas dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R., S. Santausa dan St. Isnaya. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tarladgis, B.G., Watts, B.M. Younathan, M.T. dan Dugan, L.R. 1960. A distillation method for quantitative determination of malonaldehyde in rancid food. J. Am. Oil Chem. Soc. 80: 37-44. The AVI Publishing Company, Inc. Van der Berg, Cornels. 1986. Water Activity. Dalam: Diarmuid MacCarthy (Ed). Consentration and Drying of Foods. Elsevier Applied Science Publisher, London. Wikipedia. 2007. Definisi tepung. http://en.wikipedia.org/wiki/Definisi Tepung. [1 Maret 2008] Winarno, F.G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. dan S. L Jenie. 1980. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Peracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiranatakususmah, M. A., A. Kamaruddin dan A. M. Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zayas, J.F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer, Berlin, Germany. Ziegler, G.R., Rizvi, S.S.H. dan Acton, J.C. 1987. Relationship of water content to textural characteristics, water activity and conductivity of same commercial sausage. J. Food Sci. 52: 901-905.