SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI WIEKE FAUZIAH
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN WIEKE FAUZIAH. D14204010. 2008. Sifat Kimia Kreker yang Diberi Perlakuan Subtitusi Tepung Daging Sapi dan Perubahan Bilangan TBA Kreker Selama Penyimpanan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. B. N. Polii, SU Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembuatan tepung daging sapi bertujuan untuk memperpanjang umur simpan serta sebagai bahan sumber protein hewani yang dapat digunakan dalam pembuatan produk makanan, salah satunya adalah kreker. Penggunaan tepung daging sebagai salah satu bahan dalam pembuatan kreker dilakukan untuk diversifikasi produk kreker yang bertujuan untuk menambah nilai nutrisi dari produk kreker yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sifat kimia produk kreker yang diberi perlakuan subtitusi tepung daging sapi, serta perubahan bilangan TBA produk kreker selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2007 sampai bulan Januari 2008 di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan suhu dan waktu pemanggangan yang yang lebih baik. Tahap kedua yaitu penelitian utama pembuatan kreker yang ditambahkan tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda dan selanjutnya diuji sifat kimia dan perubahan bilangan thiobarbituric acid (TBA) produk kreker selama penyimpanan. Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian sifat kimia adalah rancangan acak kelompok dengan empat taraf subtitusi tepung daging sapi sebagai perlakuan dan tiga periode pembuatan kreker sebagai kelompok. Taraf yang digunakan adalah 0, 10, 20 dan 30% tepung daging sapi dari total tepung yang digunakan. Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian bilangan TBA adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan empat taraf subtitusi tepung daging sapi dan lama penyimpanan (0, 14, 28 dan 42 hari) sebagai perlakuan dan tiga periode pembuatan kreker sebagai kelompok. Peubah yang diamati meliputi sifat kimia yaitu kadar air, protein, lemak, abu, kadar Fe. Pengujian bilangan TBA meliputi pengukuran kadar malonaldehida yang terbentuk dalam produk kreker pada penyimpanan 0, 14, 28 dan 42 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subtitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda tidak mempengaruhi kadar air, lemak, abu, dan kadar Fe kreker (P>0,05), namun sangat mempengaruhi kadar protein (P<0,01)dan mempengaruhi kadar karbohidrat kreker (P<0,05). Substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi 30% menghasilkan nilai protein kreker yang paling tinggi dibandingkan konsentrasi tepung daging lainnya. Semakin tinggi konsentrasi substitusi tepung daging sapi menyebabkan kadar kabohidrat kreker semakin rendah. Substitusi tepung daging dengan konsentrasi yang berbeda tidak mempengaruhi bilangan TBA kreker (P>0,05), sedangkan penyimpanan sangat mempengaruhi bilangan TBA kreker (P<0,01). Kata-kata kunci : kreker, tepung daging sapi, sifat kimia, kadar Fe, bilangan TBA
ABSTRACT Chemical Characteristic of Cracker With Subtitution of Beef Meal and TBA Value of Cracker During Storage Fauziah, W., B. N. Polii, T. Suryati Beef meal can used for ingredient in making of snack products such as cracker. The aim of this study was to compare the effects of beef meal subtitution in making of crackers, by observing chemical characteristic and iron content. The treatments were subtitution of beef meal concentration in the level of 0, 10, 20 and 30% from total flour. Measure observations were water content, ash content, protein content, lipid content, carbohydrate content and iron content. The observations was analyzed using randomized block design with three period of making crackers as block. TBA value during storage also becomes one of characteristic were be observed in this study with two treatment. The first treatments were subtitution of beef meal concentration in the level of 0, 10, 20 and 30% from total flour, and second treatment were different storage of crackers such as 0, 14, 28, 42 day. Measure observations were TBA value. The observations was analyzed using factorial design. Statistical analysis result showed that beef meal subtitution in making crackers did not had significant influence to water content, ash content, lipid content, and iron content (P>0.05), but this treatment had very significant influence on protein content and significant influence on carbohydrate content (P<0.01). Statistical analysis result showed that beef meal subtitution in making crackers did not have significant influence to TBA value (P>0,05). Different storage of crackers had very significant influence to TBA value (P<0,01). Keywords : cracker, beef meal, chemical characteristics, iron content, TBA value
SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN
WIEKE FAUZIAH D14204010
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN
Oleh Wieke Fauziah D14204010
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 7 Juli 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. B. N. Polii, SU NIP. 130 816 350
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 132 159 706
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1985 di Sukabumi, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Tjetjep D. Safardi dan Ibu Rochmah. Pendidikan Taman Kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1992 di TK Ibadurrahman Sukabumi. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN Gentramasekdas Sukabumi. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 13 Sukabumi. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 3 Sukabumi. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah bergabung dalam keanggotaan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor dan juga pernah bergabung dalam keanggotaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul “Sifat Kimia Kreker yang Diberi Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi dan Bilangan TBA Kreker Selama Penyimpanan”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Produk tepung daging sapi dimungkinkan untuk dijadikan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan produk olahan pangan salah satunya adalah kreker. Kandungan lemak yang cukup tinggi pada tepung daging dapat juga mempengaruhi terjadinya ketengikan pada produk. Substitusi tepung daging tersebut dapat pula mempengaruhi sifat kimia dari produk kreker yang dihasilkan serta daya simpan selama proses penyimpanan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari sifat kimia produk kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging, serta perubahan bilangan TBA produk kreker selama penyimpanan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk inovasi teknologi pengolahan produk kreker yang dapat dikembangkan kembali di masa yang akan datang. Penulis berharap meskipun skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun tetap dapat memberikan suatu nilai kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Juli 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..............................................................................................
ii
ABSTRACT.................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................
vii
DAFTAR ISI................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xii
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang.................................................................................. Tujuan................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Daging .............................................................................................. Pengeringan Daging ......................................................................... Kreker .............................................................................................. Definisi dan Jenis Kreker ..................................................... Bahan-bahan Kreker ............................................................ Tahapan Pembuatan Kreker ................................................. Syarat Mutu Biskuit ............................................................. Oksidasi Lemak dan Ketengikan dalam Bahan Pangan .................. Mekanisme Oksidasi Lemak ................................................ Uji Ketengikan .....................................................................
3 3 4 4 5 11 13 14 14 17
METODE .....................................................................................................
18
Lokasi dan Waktu ............................................................................ Materi ............................................................................................... Rancangan ........................................................................................ Pengukuran Peubah.......................................................................... Kadar Air ............................................................................. Kadar Abu ............................................................................ Kadar Protein ....................................................................... Kadar Lemak........................................................................ Kadar Karbohidrat ............................................................... Kadar Fe ............................................................................... Bilangan TBA ...................................................................... Aktivitas Air ........................................................................
18 18 18 20 20 20 21 21 22 22 22 23
Prosedur ........................................................................................... Penelitian Tahap Pertama .................................................... Penalitian Tahap Kedua .......................................................
23 23 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
28
Penelitian Tahap Pertama ................................................................ Warna ................................................................................... Bau Adonan Mentah ............................................................ Rasa Hangus ........................................................................ Rasa Daging ......................................................................... Tekstur Berlapis ................................................................... Kerenyahan .......................................................................... Penelitian Tahap Kedua ................................................................... Sifat Kimia Kreker ............................................................... Kadar Air ................................................................. Kadar Abu ................................................................ Kadar Protein ........................................................... Kadar Lemak............................................................ Kadar Karbohidrat ................................................... Kadar Fe ................................................................... Bilangan TBA Kreker Selama Penyimpanan ......................
28 29 30 31 31 31 32 33 34 35 35 36 36 37 38 38
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
43
Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................
43 43
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
45
LAMPIRAN.................................................................................................
49
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Sifat Kimia Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan 50°C
4
2. Komposisi Soda Cracker ..................................................................
6
3. Sifat Kimia Tepung Terigu ...............................................................
7
4. Syarat Mutu Biskuit ..........................................................................
14
5. Formulasi Bahan dalam Pembuatan Kreker ......................................
26
6. Hasil Uji Mutu Hedonik Kreker yang Diberi Perlakuan Suhu dan Waktu Pemanggangan yang Berbeda ................................................
29
7. Sifat Kimia Kreker yang Diberi Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi dengan Konsentrasi yang Berbeda ............................................
34
8. Bilangan TBA Kreker dengan Substitusi Tepung Daging dengan Konsentrasi yang Berbeda Selama Penyimpanan .............................
39
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Jenis-jenis Kreker ..............................................................................
5
2. Diagram Fermentasi Sukrosa ............................................................
8
3. Efek Variasi Kuantitas Khamir yang Digunakan dan Suhu Adonan Terhadap Tingkat Produksi Gas ........................................................ 4. Mekanisme Oksidasi Lipida ..............................................................
12 16
5. Tingkat Oksidasi Lipida dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh Nilai aw .............................................................................................. 6. Diagram Alir Proses Pembuatan Kreker ...........................................
17 27
7. Kreker yang Diberi Perlakuan Suhu dan Waktu Pemanggangan yang Berbeda ..................................................................................... 8. Kreker yang Diberi Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi dengan Konsentrasi yang Berbeda ................................................... 9. Grafik Bilangan TBA kreker selama penyimpanan ..........................
34 40
10. Grafik Nilai aw Kreker Selama Penyimpanan 42 Hari .......................
41
28
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Formulir Uji Organoleptik ................................................................
50
2. Uji Asumsi Parameter Uji Organoleptik ...........................................
51
3. Uji Analisis Ragam Parameter Warna dengan Perlakuan Suhu dan Waktu yang Berbeda .........................................................................
51
4. Uji Lanjut Tukey Parameter Warna ..................................................
51
5. Analisis Ragam Parameter Tekstur dengan Perlakuan Suhu dan Waktu yang Berbeda .........................................................................
51
6. Analisis Ragam Parameter Rasa Hangus dengan Perlakuan Suhu dan Waktu yang Berbeda ..................................................................
52
7. Uji Lanjut Tukey Parameter Rasa Hangus ........................................
52
8. Analisis Ragam Parameter Rasa Daging dengan Perlakuan Suhu dan Waktu yang Berbeda ..................................................................
52
9. Uji Kruskal-Wallis Parameter Aroma dengan Perlakuan Suhu dan Waktu yang Berbeda ..................................................................
52
10. Analisis Ragam Parameter Kerenyahan dengan Perlakuan Suhu dan Waktu yang Berbeda ..................................................................
52
11. Uji Asumsi Uji Proksimat dan Kadar Fe ...........................................
53
12. Analisis Ragam Uji Kadar Air Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi ..........................................................................
53
13. Analisis Ragam Uji Kadar Abu (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .........................................................
53
14. Analisis Ragam Uji Kadar Protein (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .........................................................
54
15. Uji Lanjut Tukey Kadar Protein (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .........................................................
54
16. Analisis Ragam Kadar Lemak (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .........................................................
54
17. Uji Friedman Kadar Karbohidrat (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .........................................................
54
18. Uji Perbandingan Berganda Nilai Tengah Perlakuan Kadar Karbohidrat (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .......................................................................................
55
19. Analisis Ragam Kadar Fe (ppm) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi .........................................................
55
20. Uji Asumsi Bilangan TBA Kreker Selama Penyimpan 42 Hari ........
55
21. Analisis Ragam Bilangan TBA (mg malonaldehida/kg ) Kreker
dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi ...........................
56
22. Uji Lanjut Bilangan TBA yang Dipengaruhi Lama Penyimpanan yang Berbeda .....................................................................................
56
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging sapi merupakan salah satu pangan hasil ternak yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi serta sebagai sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Kandungan nutrisi yang tinggi diantaranya protein dan lemak yang dapat menjadi sumber energi aktivitas, mineral dan vitamin yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Kandungan nutrisi dengan kadar air yang tinggi tersebut menyebabkan daging sapi memiliki sifat mudah rusak (perishable)
sehingga
diperlukan
suatu
bentuk
pengolahan
agar
dapat
memperpanjang umur simpan daging sapi. Pembuatan tepung daging sapi merupakan salah satu bentuk diversifikasi pengolahan daging sapi yang menggunakan proses dehidrasi dan penggilingan. Pembuatan produk tepung daging sapi bertujuan untuk meningkatkan umur simpan produk daging sapi, serta memudahkan dalam pemanfaatan produk daging sapi sebagai salah satu bahan dalam pembuatan produk makanan kecil dan produk pangan lainnya. Substitusi tepung daging sapi pada produk pangan dapat meningkatkan nilai tambah dari produk pangan serta dapat meningkatkan nilai nutrisi terutama kandungan protein. Kreker adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampangan potongannya berlapis-lapis. Secara umum kreker mengandung sedikit gula atau tanpa gula, lemak yang cukup dan air dalam jumlah yang relatif rendah. Kreker sebagai produk snack (makanan kecil) secara umum sudah dikenal dan diterima oleh masyarakat luas termasuk di Indonesia. Produk snack yang telah ada di Indonesia umumnya memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi namun rendah akan kandungan protein serta kandungan nutrisi lainnya. Meningkatnya permintaan konsumen saat ini akan produk snack yang sehat dan bergizi, menyebabkan pentingnya dilakukan proses diversifikasi pengolahan produk snack yang dapat meningkatkan nilai nutrisi produk snack yang dihasilkan. Penggunaan tepung daging sapi sebagai salah satu bahan dalam pembuatan kreker dilakukan untuk diversifikasi produk kreker yang bertujuan untuk
menambah nilai nutrisi dari produk kreker yang dihasilkan, serta memberikan pilihan baru bagi konsumen untuk mengkonsumsi snack yang sehat dan bergizi. Kandungan lemak yang cukup tinggi pada tepung daging sapi dapat juga mempengaruhi terjadinya ketengikan pada produk. Selain itu substitusi tepung daging sapi tersebut sangat mempengaruhi sifat kimia dari produk kreker yang dihasilkan serta daya simpan selama proses penyimpanan. Kualitas produk kreker dengan bahan dasar tepung daging sapi dapat dipelajari diantaranya dengan melakukan uji kimia yaitu dengan melakukan analisis proksimat dan kadar Fe, serta daya simpan selama proses penyimpanan dengan melakukan uji bilangan TBA untuk mengetahui tingkat ketengikan pada produk tersebut. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sifat kimia produk kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi, serta perubahan bilangan TBA produk kreker selama penyimpanan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Daging Lawrie (1966) menjelaskan bahwa daging merupakan otot yang berasal dari hewan yang digunakan sebagai bahan makanan bagi manusia. Zigler (1977) menambahkan bahwa daging yang dapat dimakan pada karkas terutama tersusun dari otot-otot yang berlajur (voluntary muscle) yang sebagian besar dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan rangka. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1995) daging sapi adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat waktu dipotong. Komposisi dari daging sekitar 75% air, 19% protein, 3,5% substansisubstansi non protein yang larut, 2,5% lemak dan sangat bervariasi (Lawrie, 1998). Kandungan gizi daging dari berbagai bangsa ternak dan ikan relatif berbeda, tetapi setiap 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan gizi seorang dewasa setiap hari sekitar 10% kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), 25-60% vitamin (Forrest et al., 1975). Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dari daging. Nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Soeparno, 2005). Daging kaya akan mineral, yaitu mensuplai zat besi, phosphor dan tembaga. Zat besi dapat mengangkut oksigen ke seluruh bagian dari tubuh. Daging merupakan sumber terbaik dari phosphor (Duncan, 1942). Daging memiliki kandungan sodium, klorin dan iodin yang rendah (Bull, 1951). Pengeringan Daging Proses dehidrasi dijelaskan oleh Soeparno (2005) mempunyai pengaruh preservatif, karena penurunan aktivitas air sampai batas yang relatif rendah, sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Produk daging kering mempunyai masa simpan yang relatif lama tanpa penyimpanan refrigerasi. Desroiser (1998) menjelaskan bahwa proses pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode antara lain : spray drying, drum/roller drying, oven, freeze drying dan cabinet drying. Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditas yang akan dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi, dan kondisi operasinya. 3
Anggoro (2007) menjelaskan bahwa pembuatan tepung daging dapat menjadi suatu bentuk diversifikasi pengolahan daging dengan tujuan memperoleh produk antara. Pembuatan tepung daging melalui proses penurunan kadar air bahan dan perubahan bentuk menjadi partikel-partikel kering dan halus. Proses pembuatannya diawali dengan pengeringan terhadap bahan. Pengeringan daging sapi dapat dilakukan dengan pengeringan oven (oven drying) maupun pengeringan beku (freeze drying). Sifat kimia tepung daging sapi dengan metode pengeringan oven suhu 50°C dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat Kimia Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan 50°C Zat Nutrisi Pengeringan dengan Oven 50°C Kadar Air
10,03+2,6
Kadar Abu (%bk)
3,76+0,4
Kadar Protein (%bk)
79,22+4,3
Kadar Lemak (%bk)
13,63+0,8
Kadar Karbohidrat (%bk)
4,13+3,2
Kadar Fe (ppm)
91,3+2,1
Sumber: Aditya, 2008
Kreker Kreker merupakan kelompok biskuit yang digunakan sebagai pengganti roti yang memiliki umur simpan yang lama (Manley, 1983). Secara umum kreker mengandung sedikit gula atau tidak mengandung gula namun mengandung cukup lemak. Adonan secara umum mengandung sedikit air (Faridi dan Faubion, 1990). Definisi dan Jenis Kreker Kreker adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Kreker dapat dibedakan dengan produk biskuit lainnya berdasarkan formulanya (Manley, 1998). Jenis-jenis kreker dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Kreker
Sedikit ditambah gula
Tanpa penambahan gula
Tanpa fermentasi
Laminasi tanpa lemak Contoh: Water Matzo
Laminasi dengan lemak
Puff
Difermentasi
Laminasi dengan isi ditengah
Cream cracker
Modifikasi enzim
Laminasi tanpa isi ditengah
Soda cracker
Ritz, Tuc, Savoury cracker
Gambar 1. Jenis-jenis Kreker
Sumber: Manley, 1998
Adonan kreker difermentasi oleh khamir dan diproses untuk memberi karakter kering, berlapis dan mudah dibelah pada produk kreker (Manley, 1983). Bahan yang paling penting dalam pembuatan kreker adalah tepung terigu, penambahan air dalam adonan relatif lebih tinggi dibandingkan biskuit lainnya yaitu 33% dari 100 unit tepung terigu, dan kadar air yang relatif lebih tinggi dibanding jenis biskuit lainnya yaitu 3% – 4% dan temperatur adonan adalah 30 – 38˚C (Manley, 1998). Ciri-ciri kreker yang baik adalah tidak keras apabila digigit, tidak hancur dan mudah mencair apabila dikunyah (Artama, 2001). Bahan-bahan Kreker Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kreker dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan-bahan yang berfungsi sebagai bahan pengikat dan pelembut tekstur diantaranya gula dan mentega, serta bahan pengembang yaitu leavening agent (baking powder) (Manley, 1983). Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan soda cracker dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Komposisi Soda cracker Komponen
Jumlah (%)
Tepung terigu
68,5
Air
22,0
Mentega putih
8,0
Garam
1,0
Soda
0,3
Ragi
0,2
Jumlah
100,0
Sumber : Ketaren, 1986
Tepung Terigu. Tepung merupakan bahan dasar dalam pembuatan kreker
dan
merupakan komponen terbanyak dan berfungsi sebagai pembentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikan secara merata, mengikat gas selama proses fermentasi dan selama pemanggangan dan membentuk struktur biskuit (Matz dan Matz, 1978). Tepung terigu mempengaruhi tekstur setelah pemanggangan, kekerasan dan bentuk dari biskuit (Widianto et al., 2002). Tepung juga memegang peranan penting dalam pembentukan citarasa. Ada dua macam tepung terigu yaitu terigu kuat dan lemah. Istilah kuat dan lemah menunjukkan kadar protein gandumnya. Terigu kuat mengandung protein yang lebih tinggi (Matz dan Matz, 1978). Sifat yang paling penting dalam pembuatan biskuit adalah kualitas dan kuantitas protein. Pembuatan adonan kreker membutuhkan tepung terigu dengan kekuatan medium yaitu memiliki nilai protein 10,5% atau lebih (Widianto et al., 2002). Tepung terigu sebagai bahan baku dasar produk kreker, mempunyai kandungan gluten yang baik. Kualitas gluten dalam adonan keras sangat berperan dalam membuat adonan kreker. Penambahan tepung yang mengandung gluten seperti tepung terigu dimaksudkan untuk membantu penangkapan gas-gas CO2 hasil fermentasi khamir (Artama, 2001). Gluten terbentuk ketika tepung terigu dicampurkan dengan air. Gluten terbentuk dari dua komplek yang dikenal sebagai gliadin dan glutenin. Glutenin membantu terbentuknya kekuatan dan kekerasan adonan. Gliadin lebih lembut dan mempengaruhi perpaduan dan elastisitas adonan. Glutenin mengandung lebih banyak lipida dalam tepung terigu dalam bentuk
6
lipoprotein (Widianto et al., 2002). Sifat kimia tepung terigu dapat dilihat pada Table 3. Tabel 3. Sifat Kimia Tepung Terigu Komposisi
%(bk)
Air
10,92
Abu
0,56
Protein
12,34
Lemak
1,01
Karbohidrat by difference
86,48
Serat Kasar
2,97
Sumber: PT Bogasari Flour Mills, 1999
Lemak. Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi yang menghasilkan tekstur yang renyah dan lembut pada kue (Manley, 1983). Aplikasi utama dari lemak dan minyak sebagai pelumas dalam tingkat molekular seperti interaksi lipida dengan pati dan gluten dalam kreker (Faridi, 1994). Sistem lemak digunakan dalam kue dan kreker karena : lemak dapat memberikan kualitas yang diinginkan pada saat produk tersebut dikonsumsi, lemak dapat menfasilitasi proses aerasi, lemak dapat membantu menghasilkan flavor dan sebagai pembawa flavor, lemak dapat meningkatkan tekstur, lemak dapat berinteraksi dengan gluten dalam adonan yang ditambahkan ragi (khamir), lemak dapat berinteraksi dengan komponen pati untuk mengubah bahan pengering dan pengembang dan lemak bekerja sebagai emulsifier (Faridi, 1994). Almond et al. (1991) menjelaskan bahwa secara umum pemilihan lemak untuk penggunaan dalam produk pangan sebaiknya tidak membentuk off-flavor selama penyimpanan produk mungkin sampai satu tahun. Off-flavor meningkat karena dalam minyak terkandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Dalam dunia teknologi roti (bakery technology), lemak dan minyak penting dalam memberikan konsistensi empuk, halus dan berlapis-lapis. Bahan lemak atau mentega yang dipakai dalam pembuatan roti dan kue dikanal sebagai shortening (Sudarmadji et al., 1989). Matz dan Matz (1978) menjelaskan bahwa margarin digunakan untuk menggantikan butter dalam pembuatan biskuit. Margarin adalah produk makanan berbentuk emulsi padat atau semi padat atau semi padat yang dibuat 7
dari lemak makanan nabati dan air, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan yang diizinkan (Badan Standardisasi Nasional, 1994). Margarin dijelaskan oleh Gamman dan Sherrington (1992) adalah emulsi air dalam lemak. Ragi Roti (Saccharomyces sereviceae). Ragi banyak digunakan dalam pembuatan kreker. Pengunaan Ragi dapat membentuk karakteristik rasa dan aroma (Matz dan Matz,1978). Khamir tidak dapat memproduksi gas kecuali tersedianya material yang sesuai untuk pertumbuhannya yaitu gula yang dapat difermentasi. Salah satu gula yang tersedia dalam tepung atau ditambahkan dalam bentuk malt adalah maltosa, gula ini dapat digunakan oleh khamir (Daniel, 1978). Tepung merupakan makanan yang sangat baik untuk khamir yaitu dengan memberikan pati, amilase dan protein (Gamman dan Sherrington, 1992). Pencampuran ragi dilakukan pada suhu 33-36°C untuk pertumbuhan khamir yang optimum (Manley, 1983). Gula yang digunakan pada proses fermentasi adalah gula sederhana glukosa atau fruktosa yang dihasilkan dari aktivitas enzim dalam gula yang lebih kompleks seperti sukrosa, maltosa, pati atau senyawa yang hampir sama. Sukrosa dan maltosa dapat dipecah menjadi gula sederhana (heksosa) dengan enzim yang dihasilkan dalam sel khamir, tetapi pati dan dekstrin tidak dapat dipecah oleh Saccharomyces cereviseae. Reaksi sampingan merupakan fermentasi alkohol yang menghasilkan jumlah senyawa pembentuk flavor yang relatif sedikit (Matz dan Matz,1978). Proses fermentasi sukrosa dapat dilihat pada Gambar 2. Enzim invertase
CO2 Sel khamir Enzim zymase Ethyl alkohol
Sukrosa
dekstrosa
Air
+
levulosa
Gula invert
Gambar 2. Diagram Fermentasi Sukrosa Sumber: Daniel, 1978
Daniel (1978) menjelaskan bahwa perubahan pertama yang terjadi pada proses fermentasi adalah hidrolisis gula oleh salah satu enzim dalam sel khamir 8
menjadi dekstrosa. Dekstrosa selanjutnya diabsorpsi ke dalam sel khamir, kemudian diubah menjadi gas karbondioksida dan alkohol. Khamir tidak dapat memfermentasi cane sugar (sukrosa) secara langsung, tetapi dapat mengubah sukrosa menjadi gula invert dengan bantuan salah satu enzim miliknya dan dapat mengabsorpsi gula invert, dan dari gula invert tersebut dapat dihasilkan karbondioksida dan alkohol. Winarno et al. (1980) menjelaskan bahwa fermentasi gula oleh khamir Saccharomyces cereviseae dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2 melalui reaksi sebagai berikut: C6H12O6
khamir
2C2H5OH + 2CO2
enzim Air. Kualitas dari air yang digunakan sebagai salah satu bahan dapat memiliki efek yang lebih besar dalam produk kue. Jumlah dan tipe dari mineral yang terlarut dan bahan organik yang terdapat dalam air dapat mempengaruhi flavor, warna, atribut fisik dari produk akhir. (Matz dan Matz, 1978). Penambahan air dalam pembuatan adonan menurut Manley (1998) akan menghasilkan pembentukan gluten dari partikel protein dalam tepung, akan menghidrasi protein dan pati, melarutkan gula, garam dan berbagai bahan pengembang kimiawi serta berpengaruh dalam penyebaran lemak dan bahan-bahan lainnya dalam adonan. Artama (2001) menambahkan bahwa air mempunyai fungsi mengontrol suhu adonan dan mengatur pemanasan atau pendinginan adonan, serta membantu kegiatan enzim. Manley (1998) menjelaskan bahwa penambahan air dalam adonan untuk 100 unit tepung adalah 33%. Susu Skim. Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim dapat digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu (Buckle et al., 1985). Susu skim bubuk biasa digunakan dalam adonan untuk meningkatkan nilai nutrisi produk (Sultan, 1977). Susu skim kaya akan laktosa dan protein, laktosa merupakan gula disakarida pereduksi terdapat dalam susu sekitar 16% dan sama manisnya dengan sukrosa. Laktosa dapat berinteraksi dengan protein dalam reaksi
9
Maillard yang menghasilkan warna coklat kemerah-merahan pada permukaan biskuit (Manley, 1998) Garam. Sultan (1977) menjelaskan bahwa garam digunakan untuk memberikan rasa pada adonan. Penambahan garam yang kurang akan menghasilkan rasa yang hambar. Garam juga meningkatkan flavor dan sebagai pelengkap dari flavor dari bahan-bahan lain dan bahan pengisi yang digunakan dalam adonan untuk menghasilkan produk akhir yang baik. Manley (1998) menjelaskan bahwa konsentrasi garam yang paling efektif digunakan adalah 1% – 1,5% dari total berat tepung, pada level lebih dari 2,5% akan menghasilkan rasa yang tidak diinginkan. Penambahan garam juga dapat menurunkan tingkat fermentasi oleh khamir dan sedikit menghambat kerja enzim proteolitik pada gluten. Sodium Bikarbonat. Daniel (1978) menjelaskan bahwa sodium bikarbonat, atau sering disebut bikarbonat dari soda, merupakan bahan yang digunakan baik secara tunggal maupun dicampur dengan suatu asam, dapat menghasilkan gas yang diinginkan untuk aerasi. Sodium bikarbonat apabila dilembabkan dan dipanaskan akan menghasilkan karbondioksida. Sodium bikarbonat yang ditambah asam akan menyebabkan semua karbonat dan bikarbonat menghasilkan karbondioksida. Reaksi yang terjadi ketika proses pemanasan dan penambahan air yaitu: 2NaHCO3 (Sodium bikarbonat)
Na2CO3 (Sodium karbonat)
+ H2O + CO2 (Air)
(Karbondioksida)
Reaksi diatas biasanya dapat terjadi jika terdapat suhu yang tinggi (>120°C), sehingga penggunaan sodium bikarboanat dalam pembuatan cookie dan kreker terbatas pada suhu internal yang mendekati kisaran suhu tersebut (Stauffer, 1990). Sodium bikarbonat atau baking soda berfungsi untuk mengontrol elastisitas adonan setelah proses laminasi (pengisian campuran tepung terigu dan lemak diantara lembaran-lembatan adonan) dan pemotongan. Selain itu juga berfungsi untuk menetralkan keasaman tepung dan adonan selama proses fermentasi. Netralisasi adonan sangat penting untuk membentuk rasa, tekstur dan warna produk yang dihasilkan. Jumlah soda yang ditambahkan sangat mempengaruhi pH adonan dan rasa produk akhir yang dihasilkan (Faridi, 1994). Sodium bikarbonat yang digunakan dalam pembuatan kreker adalah 1% – 1,5% (Stauffer, 1990). 10
Tahapan Pembuatan Kreker Tahapan pembuatan kreker secara umum terdiri dari proses pencampuran bahan, fermentasi, pencetakan dan pemanggangan adonan (Manley, 2001). Pembuatan kreker dilakukan dengan cara mencampurkan bahan sehingga berbentuk adonan, kemudian dicetak dan selanjutnya dipanggang dalam oven (Artama, 2001). Persiapan Bahan. Masing-masing bahan dalam tahap ini ditimbang beratnya berdasarkan komposisi adonan. Bahan baku yang akan digunakan harus memenuhi persyaratan bebas dari kotoran, batu, komponen, mikroba, serangga dan tikus (Artama, 2001). Pencampuran dan Pengadukan. Pencampuran bertujuan untuk memperoleh adonan yang homogen. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pencampuran adalah jumlah adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan tesktur kreker serta menyebabkan retak pada permukaan kreker saat pemanggangan. Sebaliknya jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air, sehingga adonan kurang elastis dan lembaran adonan menjadi mudah patah (Artama, 2001). Fermentasi. Pencampuran khamir, tepung dan air dibuat dan didiamkan paling sedikit selama satu jam. Waktu fermentasi sebaiknya singkat untuk mengurangi efek dari mikroflora tepung terigu yang tidak dapat diprediksi atau mikroflora tersebut dapat didominasi oleh bakteri. Suhu maksimum untuk menghasilkan gas oleh khamir pada proses fermentasi adalah 38˚C. Nilai pH 4 sampai 6 merupakan pH optimum untuk proses fermentasi tapi khamir juga dapat tahan pada pH rendah seperti pH 3 sekitar satu jam pada suhu 30˚C (Manley, 1998). Fermentasi dengan waktu yang singkat dapat dilakuan dengan meningkatkan jumlah khamir yang digunakan, pengurangan sodium bikarbonat (produksi asam yang lebih sedikit selama proses fermentasi) dan dapat ditambahkan pula gula untuk meningkatkan aktivitas khamir (Manley, 1998). Efek dari variasi kuantitas khamir yang digunakan dan suhu adonan terhadap tingkat produksi gas dapat dilihat pada Gambar 3.
11
Gambar 3. Efek Variasi Kuantitas Khamir yang Digunakan dan Suhu Adonan Terhadap Tingkat Produksi Gas Sumber: Manley, 1998
Pembuatan Lembaran Adonan. Pelempengan atau pembuatan lembaran adonan bertujuan untuk mengubah bentuk adonan dan menarik adonan secara mekanis. Pelempengan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses pencampuran agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang agar dihasilkan suatu lembaran yang halus dan kompak (Artama, 2001). Adonan kreker manjadi lembut setelah pembentukan lembaran (sheeting). Adonan biasanya memiliki 6 sampai 8 laminasi (Faridi, 1994). Pemanggangan.
Tujuan
dari
pemanggangan
adalah
untuk
meningkatkan
palatabilitas, meningkatkan rasa, aroma dan tekstur dari makanan. Pemanggangan juga dapat menghancurkan enzim dan mikroorganisme, serta menurunkan aw sehingga dapat mengawetkan makanan (Fellow, 1992). Pemanggangan secara berurutan memiliki tiga langkah. Pertama, tiap potongan adonan mengalami perubahan struktur, dan kekerasan dari tiap adonan secara perlahan meningkat, karena adanya udara pada adonan. Langkah kedua adalah terjadinya kehilangan air terbesar pada tiap potongan. Tahap ketiga adalah terjadinya pembentukan warna dari biskuit, seperti perubahan dari adonan yang pucat menjadi coklat terang pada biskuit. Warna yang dihasilkan dapat bervariasi mulai dari mendekati putih pada beberapa tipe kreker sampai coklat gelap untuk beberapa biskuit manis (Faridi, 1994). Manley
12
(1983) menjelaskan bahwa tekstur dan pengembangan kreker diperoleh dari pemanggangan dengan suhu bertingkat. Peningkatan suhu harus dilakukan dengan cepat pada awal suhu pemanggangan dan kemudian suhunya diturunkan untuk mengeringkan kreker tanpa menimbulkan kegosongan. Ina (1993) menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu pemanggangan dan semakin lama waktu pemanggangan maka biskuit yang dihasilkan semakin coklat. Semakin banyak jumlah pati di dalam biskuit maka pati tersebut akan terhidrolisis menjadi komponen yang lebih sederhana yaitu gula. Gula-gula tersebut selama pemanggangan mengalami karamelisasi yang menyebabkan biskuit semakin berwarna coklat. Winarno (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa suhu tinggi mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga menjadi glukosan, suatu molekul yang analog dengan fruktosan. Proses pemecahan dan dehidrasi diikuti dengan polimerisasi, dan beberapa jenis asam timbul dalam campuran tersebut. Manley (1998) menjelaskan bahwa selama pemanggangan terjadi reaksi Maillard yang menyebabkan terbentuknya warna gelap pada permukaan biskuit. Reaksi Maillard terjadi antara gula sederhana dengan asam amino dan peptida ketika dipanaskan. Reaksi ini juga sering disebut reaksi pencoklatan non enzimatis dan pembentukan melanoidin. Winarno (1997) menjelaskan tahap-tahap reaksi Maillard sebagai berikut. 1. Suatu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus asam amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff. 2. Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino ketosa. 3. Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksimetil furfural. 4. Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil -dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan
-dikarboksil seperti
metilglioksal, asetol dan diasetil. 5. Aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (hal ini disebut kondensasi aldol) atau dengan gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin.
13
Syarat Mutu Biskuit (Kreker) Pembuatan produk kelompok biskuit termasuk di dalamnya kreker seharusnya dapat memenuhi syarat mutu, sehingga produk tersebut dapat dinilai layak atau tidak jika diproduksi secara skala industri. Persyaratan mutu biskuit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat Mutu Biskuit No.
Kriteria Uji
Persyaratan
1
Bau
Normal, tidak tengik
Rasa
Normal, tidak tengik
Warna
Normal
Air, %, bb
Maksimal 5
Abu, %, b/b
Maksimal 1,5
Protein, %, b/b
Minimal 9
Lemak, %, b/b
Minimal 9,5
Karbohidrat, %, b/b
Minimal 70
2
Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 1992
Oksidasi Lemak dan Ketengikan dalam Bahan Pangan Oksidasi unsur lemak dalam tingkat nutrisi merupakan faktor kimia utama yang menyebabkan penurunan kualitas pangan dengan dihasilkannya flavor dan aroma yang tidak diinginkan, serta penurunan nilai nutrisi dan kualitas keamanan pangan (Kanner dan Rosenthal, 1992). Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Oksidasi terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak (Ketaren, 1986) Mekanisme Oksidasi Lemak Oksidasi asam lemak tidak jenuh ini dapat terjadi dalam dua tahap yaitu reaksi lemak dengan oksigen, selanjutnya secara proses oksidasi atau nonoksidasi (Purnomo, 1995). Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porifin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzimenzim lipoksidase (Winarno, 1997). Brake dan Fennema (1999) menjelaskan bahwa
14
kandungan mineral Fe dapat menjadi katalis terjadinya oksidasi lipida pada daging. Boccia et al. (2002) menjelaskan bahwa Fe merupakan salah satu katalis utama dalam oksidasi lipida. Autooksidasi radikal bebas dari lipida ditandai oleh empat tahapan utama yaitu
inisiasi
(initation),
perambatan
(propagation),
pembentukan
cabang
(branching) dan penghentian (termination). Tahap nisiasi terjadi dengan ditandai oleh hilangnya radikal hidrogen karena panas, cahaya atau logam dalam jumlah kecil (trace metal). Tahap perambatan radikal bebas yaitu lipida akan bereaksi dengan oksidasi oksigen, dan membentuk radikal bebas peroksi yang pada saatnya bereaksi dengan
molekul
lipida
lainnya untuk
membentuk
hidroperoksida. Proses
pembentukan cabang ditandai dengan terjadinya peningkatan radikal bebas secara geometris
sebagai
hasil
dekomposisi
hidroperoksida.
Tahap
penghentian
mengikutsertakan pengurangan radikal bebas oleh penambahan dua radikal bebas atau pemindahan radikal untuk membentuk radikal yang stabil (Purnomo, 1995). Keempat tahap mekanisme oksidasi lipida dapat digambarkan sebagai berikut: Inisiasi
: RH
Perambatan
: R + O2
R +H ROO
ROO + RH
ROOH + R 2RH
Pembentukan : ROOH RO + OH 2R + ROH + H2O Cabang (Dekomposisi monomolekuler) : 2 ROOH
ROO + RO + H2O
(Dekomposisi bimolekuler) Penghentian
: ROO + ROO R +R R + ROO
ROOR + O2 R–R ROOR
Winarno (1997) menjelaskan bahwa hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam atau enzim. Senyawasenyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehidaaldehida, keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak. Produk oksidasi lipida menurut Warner et al. (1996) diantaranya yang memiliki
15
bobot molekul rendah seperti aldehida, pentanal, hexanal, heptanal, octanal dan nonanal dapat membentuk flvor tengik. Hidroperoksida menurut Purnomo (1994) dapat bereaksi dengan oksigen untuk membentuk produk sekunder seperti epoksihidroperoksida yang mengalami dekomposisi, dan membentuk produk-produk pecahan yang mudah menguap. Hidroperoksida tersebut dan produk-produknya dapat bereaksi dengan protein, enzim dan membran. Mekanisme oksidasi lipida secara umum dapat dilihat pada Gambar 4. Asam lemak tidak jenuh atau trigliserida Radikal bebas + Oksigen
Oksidasi pigmen, flavor dan vitamin
Hidroperoksida Produk pecahan (termasuk senyawa off-flavor) diantaranya keton, aldehida, alkohol, hidrokarbon, asam lemak
Polimerisasi (Warna gelap) (Toksik)
Reaksi dengan protein
Gambar 4. Mekanisme Oksidasi Lipida Sumber: Purnomo, 1994
Menurut Purnomo (1995) dalam bahan pangan kering bila aw (aktivitas air) dinaikkan, maka kecepatan oksidasi menurun karena hidrasi logam katalis menurunkan efektifitasnya, dan hidrogen air akan mengikat hidroperoksida, sehingga tidak tersedia lagi bagi proses dekomposisi dan memperlambat mata rantai. Namun demikian ada kadar air optimum bagi bahan pangan kering yang mengakibatkan oksidasi lipida sampai pada tingkat minimum. Apabila kadar air sangat rendah (kurang dari 2% – 3%) bahan pangan menjadi sangat peka terhadap oksidasi. Nelson dan Labuza (1992) menjelaskan lebih lanjut bahwa peningkatan aw dari 0,0 sampai 0,3 akan menurunkan ketersediaan ion karena adanya hidrasi lingkungannya, menurunkan difusi oksigen, menghambat radikal bebas. Faktor-faktor tersebut menurunkan tingkat oksidasi dalam bahan pangan. Peningkatan aw dari 0,3 sampai 0,8 akan menyebabkan peningkatan 16
pemutusan dari katalis, meningkatkan mobilitas oksigen dan ion metal sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat oksidasi pada bahan pangan. Tingkat Oksidasi Lipida dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh Nilai aw dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Tingkat Oksidasi Lipida dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh Nilai aw Sumber: Nelson dan Labuza, 1992
Uji Ketengikan Uji ketengikan dilakukan untuk menentukan derajat ketengikan dengan mengukur senyawa-senyawa hasil oksidasi. Penentuan yang dilakukan adalah bilangan peroksida, jumlah karbonil, oksigen aktif, uji asam thiobarbiturat, uji oven Schaal (Winarno, 1997). Deteksi komplek malonaldehida-asam thiobarbiturat (TBA) oleh spektrofotometer telah secara umum digunakan untuk mengukur oksidasi lipida dalam makanan dan jaringan biologi. Prinsip dasar dari metode ini adalah adanya reaksi antara satu molekul malonaldehida dan dua molekul TBA yang menghasilkan pigmen berwarna merah dari komplek malonaldehida-TBA yang dapat dihitung menggunakan spektrofotometer (Tokur et al., 2006). Intensitas warna merah sesuai dengan
jumlah
malonaldehida
dan
absorbansi
dapat
ditentukan
dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm. Makin besar angka TBA maka minyak semakin tengik (Sudarmadji et al., 1989). Bilangan TBA biasa digunakan untuk mengetahui perubahan akibat oksidasi dalam lemak dan minyak yang megandung asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak linoleat (Pokorny dan Dieffenbacher, 1989). Batas maksimum kadar TBA untuk hasil peternakan dan perikanan yaitu 1-2 mg malonaldehida/kg (Chen et al., 1996). 17
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pilot Plan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2007 sampai bulan Januari 2008. Materi Bahan yang digunakan dalam pembuatan kreker pada penelitian ini adalah daging sapi bagian knuckle dari sapi Brahman cross umur 2,5 sampai 3 tahun, tepung terigu, margarin, garam, susu skim, air, soda kue dan ragi. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain mixer, timbangan, pisau, wadah plastik, loyang, spatula, sendok, penggaris, oven, dan plastik polipropilen. Bahan yang digunakan untuk uji proksimat dan uji kadar Fe diantaranya senyawa selenium, H2SO4 pekat, NaOH 40%, H3BO3 2%, indikator Brom Cresol Greeb – Methyl Red, HCl 0,1, akuades, heksana, kapas, kertas saring, larutan asam nitrat pekat dan asam perklorat 40%. Peralatan yang digunakan untuk uji ini meliputi oven, tanur, desikator, timbangan, cawan porselin, pipet, labu Kjedahl, labu Erlenmeyer,
buret, dan
pemanas listrik, labu soxhlet dan atomic absorpsion spectrophotometry (AAS). Bahan yang digunakan untuk uji bilangan TBA diantaranya HCl 4 N, aquades, batu didih, antifoam dan pereaksi TBA. Peralatan yang digunakan untuk uji ini diantaranya Waring blender, labu Erlenmeyer, labu destilat, timbangan, alat destilasi dan spektrofotometer. Rancangan Rancangan percobaan untuk analisis proksimat dan kadar Fe adalah rancangan acak kelompok. Empat taraf substitusi tepung daging sapi sebagai perlakuan serta periode pembuatan kreker sebagai kelompok. Taraf perlakuan yang digunakan adalah 0%, 10%, 20% dan 30% tepung daging dari total tepung yang digunakan. Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995): Yij = µ +
i
+
j
+
ij
18
Keterangan : Yij
= Respon percobaan akibat perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
µ
= Nilai tengah umum i
= Pengaruh perlakuan komposisi tepung terigu dan tepung daging ke-i (i = perbandingan tepung terigu dan tepung daging dari total tepung yang digunakan 100:0, 90:10, 80:20, dan 70:30)
j
= Kelompok periode pembuatan kreker ke j (j = periode ke-1, 2 dan 3)
ij
= Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Jika perlakuan
menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan membandingkan nilai tengah tiap perlakuan dengan menggunakan uji Tukey. Data yang tidak memenuhi uji asumsi untuk uji ANOVA dianalisis dengan uji non-parametrik menggunakan friedman test. Rancangan percobaan untuk perhitungan bilangan TBA adalah percobaan dua faktor dalam rancangan acak kelompok pola faktorial 4 x 4. Empat taraf substitusi tepung daging sapi serta lama penyimpanan sebagai perlakuan serta periode pembuatan kreker sebagai kelompok. Taraf perlakuan yang digunakan adalah substitusi 0%, 10%, 20% dan 30% tepung daging sapi terhadap total tepung yang digunakan. Taraf perlakuan untuk lama penyimpanan yaitu 0, 14, 28 dan 42 hari. Model matematika yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002): Yijk = µ +
i
+
j
+(
)ij +
k
+
ijk
Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-I, faktor B taraf ke-j dan kelompok ke k ( , i, i)
µ
= Nilai tengah umum i
= Pengaruh perlakuan komposisi tepung terigu dan tepung daging ke-i (i = perbandingan tepung terigu dan tepung daging dari total tepung yang digunakan 100:0, 90:10, 80:20, dan 70:30)
j
= Pengaruh lama penyimpanan ke-j (j = 0, 14, 28 dan 42 hari)
19
(
)ij = Pengaruh interaksi komposisi tepung terigu dan tepung daging pada taraf ke-i dengan lama penyimpanan pada taraf ke-j k
= Pengaruh aditif dari kelompok periode pembuatan produk kreker
ijk
= Pengaruh acak menyebar normal (0,
2
)
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Jika perlakuan substitusi tepung daging sapi berbeda menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan
dengan
membandingkan
nilai
tengah
tiap
perlakuan
dengan
menggunakan uji Tukey. Jika perlakuan penyimpanan berpengaruh nyata maka dapat dilanjutkan dengan uji polinomial ortogonal (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Pengukuran Peubah Peubah yang diamati meliputi sifat kimia yaitu kadar air, protein, lemak, abu, karbohidrat dan Fe. Pengukuran bilangan TBA dilakukan dengan mengukur kadar malonaldehida yang terbentuk dalam produk kreker setelah penyimpanan 0, 14, 28 dan 42 hari. Kadar Air (AOAC, 1980) Pengukuran kadar air yang dilakukan adalah dengan metode oven. Sampel segar kreker sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam sebuah cawan yang memiliki penutup dan telah diketahui bobotnya. Sampel tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC selama 8 jam, kemudian didiamkan dalam desikator dan ditimbang. Pekerjaan ini diulang sampai diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan cara perhitungan sebagai berikut : Kadar air =
Bobot sampel segar – bobot sampel kering (g) Bobot sampel segar (g)
x 100%
Kadar Abu (AOAC, 1980) Cawan pengabuan disiapkan, kemudian dibakar dalam tanur, didiamkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel kering kreker ditimbang dalam cawan tersebut sebanyak 1 g, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan, dan dibakar sampai didapat abu berwarna putih atau sampai beratnya tetap. Pengabuan dilakukan pada suhu sekitar 600°C selama 1 jam. Abu tersebut didiamkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu dihitung dengan persamaan di bawah ini.
20
Bobot abu (g)
Kadar Abu =
Bobot sampel kering(g)
x 100%
Kadar Protein (AOAC, 1980) Analisis kadar protein menggunakan metode semimikro Kjedahl. Sampel kering kreker
sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml,
ditambahkan 0,25 g selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Labu dipanaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar selama 1 jam sampai mendidih dan larutan menjadi jernih. Larutan yang telah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Greeb – Methyl Red berwarna merah muda. Destilasi dihentikan setelah volume hasil tampungan telah mencapai 10 ml dan berwarna hijau kebiruan. Destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Perhitungan kadar Nitrogen total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : %N =
(S – B) x N HCl x 14 W x 1000
x 100%
Keterangan : W
= Bobot sampel kering (g)
S
= Volume titran sampel (ml)
B
= Volume titran blanko (ml)
N HCl = Normalitas HCl Kadar protein ditentukan dengan mengalikan kadar nitrogen dengan faktor 6,25. Kadar Lemak (AOAC, 1980) Sampel kering kreker sebanyak 2 g disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Sampel diekstraksi dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksana sebanyak 150 ml selama 6 jam. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100˚C selama 1 jam. Kadar lemak =
Bobot lemak terekstrak Bobot sampel kering
x 100%
21
Kadar Karbohidrat (AOAC, 1980) Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference yang dihitung dengan persamaan berikut : Kadar karbohidrat (%) = 100% - % (kadar air + abu + protein + lemak) Kadar Zat Besi (AOAC, 1980). Pengukuran kadar zat besi dilakukan dengan menggunakan atomic absorption spectrophotometry (AAS). Sampel kreker sebanyak 1 – 5 g dimasukkan kedalam labu destruksi. Sebanyak 10 ml larutan asam nitrat pekat ditambahkan selanjutnya dipanaskan sampai terjadi reaksi. Asam perklorat 40% sebanyak 3 ml ditambahkan ke dalam larutan dan dipanaskan kembali sampai larutan berwarna jernih. Sampel yang sudah didinginkan kemudian diencerkan dengan HCl dengan perbandingan 1:1 dan dipanaskan sampai mendidih (±10 menit). Sampel yang sudah didinginkan disaring ke dalam labu takar dan dititran menggunakan air demineralisasi. Absorbansi sampel kemudian diukur dengan menggunakan AAS. Analisis Bilangan TBA (Tarlagdis et al., 1960) Sampel kreker sebanyak 3 g dimasukkan ke dalam Waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi 1000 ml sambil dicuci dengan 48,5 ml aquades. Sebanyak 1,5 ml HCl 4 N (1 bagian HCl pekat dalam 2 bagian air) ditambahkan sampai pH menjadi 1,5. Batu didih dan bahan pencehah buih (antifoam) ditambahkan sedikit dan selanjutnya labu destilasi dipasangkan pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan setinggi mungkin sehingga diperoleh destilat sebanyak 50 ml selama pemanasan 10 menit. Destilat yang diperoleh diaduk, disaring dan dipindahkan sebanyak 5 ml ke dalam labu Erlenmeyer 50 ml yang memiliki penutup kemudian ditambahkan 5 ml reagan TBA. Reagan TBA terdiri dari larutan 0,02 M thiobarbituric-acid dalam 90% asam asetat glasial. Larutan diaduk dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih selanjutnya didinginkan. Absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Larutan blanko dibuat dengan menggunakan prosedur yang sama tanpa penambahan sampel. Absorbansi dipakai sebagai skala pembanding tingkat ketengikan.
22
Aktivitas Air Aktivitas air diukur menggunakan aw meter. Alat aw meter sebelum digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan NaCl jenuh pada chamber pengukuran alat, setelah menekan start tunggu sampai nilai aw yang terbaca 0,7500,75. Sampel diletakkan ke dalam chamber contoh, selanjutnya tekan start dan contoh akan terukur dan terbaca oleh alat. Prosedur Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan suhu dan waktu pemanggangan yang dapat menghasilkan kreker dengan mutu yang baik. Tahap kedua yaitu penelitian utama pembuatan kreker yang ditambahkan tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda dan selanjutnya dilakukan pengujian sifat kimia dan perubahan bilangan TBA produk kreker yang mengalami penyimpanan. Tepung daging sapi yang digunakan dalam pembuatan kreker adalah tepung daging sapi yang dibuat dengan pengeringan suhu 50˚C selama 24 jam. Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mencari kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang dapat menghasilkan kreker dengan mutu yang baik. Formula kreker yang digunakan pada penelitian pendahuluan yaitu substitusi tepung daging sapi terhadap tepung terigu pada taraf 10%. Dua variasi suhu dan waktu pemanggangan yang dilakukan yaitu variasi A adalah kombinasi pemanggangan dengan suhu 150˚C selama 6 menit pertama, kemudian suhu 120˚C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan suhu 100˚C selama 10 menit. Variasi B adalah kombinasi pemanggangan dengan suhu 180˚C selama 4 menit pertama, kemudian suhu 160˚C selama 10 menit dan dilanjutkan dengan suhu 120˚C selama 15 menit. Kreker yang dibuat dengan kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tersebut selanjutnya diuji sifat organoleptik menggunakan uji mutu hedonik dengan metode skalar. Skala yang digunakan adalah 0 sampai 10 dan terdiri dari beberapa parameter yang diuji diantaranya adalah sebagai berikut.
23
•
Warna Skala yang digunakan mulai dari coklat terang dengan sampai coklat gelap. Pembanding untuk coklat terang adalah produk kreker komersial dan untuk coklat gelap adalah kreker yang dipanggang pada suhu 200˚C selama 10 menit.
• Bau adonan mentah Skala yang digunakan mulai dari sangat berbau adonan mentah sampai sangat tidak berbau adonan mentah. Pembanding untuk sangat berbau adonan mentah adalah kreker yang dipanggang pada suhu 160˚C selama 10 menit dan untuk sangat tidak berbau adonan mentah adalah produk kreker komersial. • Rasa hangus Skala yang digunakan mulai dari sangat terasa hangus sampai sangat tidak terasa hangus. Pembanding untuk sangat terasa hangus adalah kreker yang dipanggang pada suhu 200˚C selama 10 menit dan untuk sangat tidak terasa hangus adalah produk kreker komersial. • Rasa daging Skala yang digunakan mulai dari sangat tidak terasa daging sampai sangat terasa daging. Pembanding untuk sangat tidak terasa daging adalah produk kreker komersial dan untuk sangat terasa daging adalah daging sapi yang dipanggang pada suhu 100˚C selama 15 menit. • Tekstur berlapis Skala yang digunakan mulai dari sangat tidak berlapis sampai sangat berlapis. Pembanding untuk sangat tidak berlapis maupun sangat berlapis adalah produk kreker komersial. • Kerenyahan Skala yang digunakan mulai dari sangat tidak renyah sampai sangat renyah. Pembanding untuk sangat tidak renyah adalah kreker yang dibuat tanpa penambahan ragi roti dan soda kue dan dipanggang pada suhu 150˚C selama 30 menit dan untuk sangat renyah adalah kreker produk kreker komersial. Variasi suhu dan waktu pemanggangan yang menghasilkan kreker dengan sifat organoleptik yang lebih baik, selanjutnya dipilih sebagai metode pemanggangan kreker pada penelitian tahap kedua.
24
Penelitian Tahap Kedua Tepung daging sapi yang digunakan dalam pembuatan kreker dibuat dengan suhu pengeringan 50˚C selama 24 jam. Penggunaan metode suhu dan waktu pengeringan tersebut menghasilkan karakteristik fisik tepung daging sapi yang mendekati tepung daging sapi yang dihasilkan menggunakan metode freeze dry, sehingga dipilih sebagai metode pengeringan untuk pembuatan tepung daging sapi. Pengeringan daging sapi menggunakan suhu 50˚C selama 24 jam diharapkan pula tidak banyak menyebabkan pengurangan kandungan nutrisi pada tepung daging sapi yang dihasilkan. Tahap-tahap pembuatan tepung daging sapi adalah sebagai berikut: lemak intermuskuler dan jaringan ikat pada daging bagian knuckle dipisahkan terlebih dahulu, kemudian daging diiris tipis dan digiling. Daging yang telah digiling ditempatkan dalam loyang dan diratakan sampai ketebalan + 2 mm. Daging selanjutnya dikeringkan pada suhu 50˚C selama 24 jam. Daging yang telah dikeringkan selanjutnya digiling dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 mash sehingga dihasilkan tepung daging sapi. Kreker dibuat dengan empat tipe formula dasar berdasarkan komposisi tepung terigu dan tepung daging sapi yang digunakan. Formula dasar yang digunakan mengikuti metode Junaenah (2007). Komponen lainnya memiliki komposisi yang sama pada semua perlakuan. Formulasi bahan dalam pembuatan kreker masing-masing dapat dilihat Tabel 5. • Tipe I formula kontrol dengan komposisi 100% tepung terigu dan 0% tepung daging sapi (100:0). • Tipe II dengan komposisi 90% tepung terigu dan 10% tepung daging sapi (90:10). • Tipe III dengan komposisi 80% tepung terigu dan 20% tepung daging sapi (80:20). • Tipe IV dengan komposisi 70% tepung terigu dan 30% tepung daging sapi (70:30).
25
Tabel 5. Formulasi Bahan dalam Pembuatan Kreker Jenis Bahan
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
g
(%)
g
(%)
g
(%)
g
(%)
100
57,54
90
51,784
80
46,03
70
40,28
Tepung daging sapi
0
0
10
5,754
20
11.51
30
17,26
Air dingin
34
19,56
34
19,56
34
19,56
34
19,56
Margarin
24
13,8
24
13,8
24
13,8
24
13,8
Garam
2,5
1,44
2,5
1,44
2,5
1,44
2,5
1,44
Ragi
2,5
1,44
2,5
1,44
2,5
1,44
2,5
1,44
Soda kue
0,5
0,29
0,5
0,29
0,5
0,29
0,5
0,29
Susu skim
5
2,88
5
2,88
5
2,88
5
2,88
5,3
3,05
5,3
3,05
5,3
3,05
5,3
3,05
173,8
100,0
173,8
100,0
173,8
100,0
173,8
100,0
Tepung terigu
Bahan pengisi*) Jumlah
Keterangan: *) Perbandingan bahan pengisi tepung terigu dan soda kue adalah 5:0,3
Tahap-tahap pembuatan kreker dengan konsentrasi tepung daging dan tepung terigu yang berbeda adalah sebagai berikut: margarin, garam, dan susu dicampur dalam wadah, selanjutnya dicampur dengan tepung terigu dan ragi. Tepung daging sapi, soda kue dan air ditambahkan ke dalam adonan, adonan diaduk sampai kalis. Proses fermentasi adonan dilakukan selama 60 menit. Adonan yang telah difermentasi dipipihkan menjadi bentuk lembaran, dan dibagi ke dalam tiga bagian. Bahan pengisi seperti tepung terigu dan soda kue dicampur, kemudian diayak dan disebar pada satu per tiga bagian lembaran tersebut. Satu per tiga bagian yang tidak dilapisi dilipat menutupi bagian yang diisi dengan bahan pengisi, selanjutnya dilakukan pengisian kembali di atas lapisan penutup tersebut dan ditutup oleh satu per tiga bagian adonan lain yang tidak dilapisi. Proses pengisian tersebut diselingi dengan proses pemipihan pada tiap proses pembentukan lapisan, proses pengisian dan pemipihan tersebut dilakukan secara berulang sampai terbentuk beberapa lapisan. Adonan selanjutnya dicetak dan didiamkan kembali untuk dilakukan proses fermentasi selama 10 menit. Potongan adonan selanjutnya dipanggang dalam oven dengan menggunakan variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang ditentukan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Produk kreker yang dihasilkan selanjutnya diukur kandungan kimianya (proksimat dan kandungan Fe) kemudian
26
dikemas dalam kantong plastik polipropilen dan disimpan pada suhu ruang. Selama penyimpanan hari ke 0, 14, 28 dan 42 dilakukan pengukuran bilangan TBA. Diagram alir proses pembuatan kreker dapat dilihat pada Gambar 6. Margarin + garam + susu Tepung terigu*) dan ragi Tepung daging sapi*) dan soda kue
Pencampuran
Pencampuran Air dingin Pengadukan sampai kalis
Fermentasi 60 menit
Pemipihan adonan membentuk lembaran Tepung terigu**) dan soda kue Penyebaran bahan pengisi
Pembuatan lapisan
Pencetakan
Fermentasi 10 menit
Pemanggang an Kreker Daging Sapi Keterangan: *) Perbandingan tepung terigu dan tepung daging yang berbeda dari total tepung yaitu 100:0 90:10, 80:20, dan 70:30 **) Perbandingan bahan pengisi tepung terigu dan soda kue yaitu 5: 0,3
Gambar 6. Diagram Alir Proses Pembuatan Kreker Daging Sapi 27
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Dua variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang digunakan yaitu variasi A adalah kombinasi pemanggangan dengan suhu 150˚C selama 6 menit pertama, kemudian suhu 120˚C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan suhu 100˚C selama 10 menit dan variasi B adalah kombinasi pemanggangan dengan suhu 180˚C selama 4 menit pertama, kemudian suhu 160˚C selama 10 menit dan dilanjutkan dengan suhu 120˚C selama 15 menit. Perbedaan warna kreker yang diberi perlakuan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kreker yang Diberi Perlakuan Suhu dan Waktu Pemanggangan yang Berbeda Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda sangat mempengaruhi warna dan rasa hangus pada kreker (P<0,01), namun tidak mempengaruhi bau adonan mentah, rasa daging, tekstur berlapis dan kerenyahan pada kreker (P>0,05). Hasil uji mutu hedonik kreker yang diberi perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
28
Tabel 6. Hasil Uji Mutu Hedonik Kreker yang Diberi Perlakuan Kombinasi Suhu dan Waktu Pemanggangan yang Berbeda Parameter Uji
Kombinasi Suhu dan Waktu Pemanggangan
Rataan Umum
A
B
Warna
4,24+2,01A
6,83+1,65B
–
Bau Adonan Mentah
6,37+1,71
7,02+1,90
6,70±1,82
Rasa Hangus
6,62+1,71
Rasa Daging
A
B
4,65+2,14
–
4,04+1,74
4,70+2,27
4,37±2,03
Tekstur Berlapis
4,95+2,89
5,08+2,99
5,02±2,92
Kerenyahan
4,77+2,09
5,43+2,07
5,10±2,10
Keterangan: Superskrip huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Warna Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda sangat mempengaruhi warna kreker yang dihasilkan (P<0,01). Rata-rata panelis menilai warna untuk sampel kreker A adalah 4,24. Semakin tinggi nilai rataan maka kreker yang dihasilkan semakin berwarna coklat gelap. Nilai rataan tersebut menunjukkan panelis menilai sampel B memiliki warna coklat yang lebih gelap dibandingkan sampel A. Faktor utama yang menentukan warna kreker adalah proses pemanggangan. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Faridi (1994) bahwa tahap terakhir dalam proses pemanggangan merupakan proses yang menentukan pembentukan warna dari biskuit, seperti perubahan dari adonan yang pucat menjadi coklat terang pada biskuit. Suhu pemanggangan yang tinggi akan menghasilkan warna coklat yang lebih gelap. Suhu yang digunakan dalam pembuatan sampel B lebih tinggi dibandingkan sampel A sehingga proses perubahan warna terjadi lebih cepat dan menghasilkan warna yang lebih gelap. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ina (1993) yaitu semakin tinggi suhu pemanggangan akan mempercepat laju pembentukan warna coklat pada biskuit. Terbentuknya warna coklat pada kreker dapat pula disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard). Reaksi Maillard menurut Winarno (1997) merupakan reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Warna yang lebih coklat pada sampel B yang menggunakan suhu pemanggangan yang lebih tinggi, dapat pula disebabkan oleh terjadinya proses karamelisasi. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Ina (1993) 29
bahwa karamelisasi merupakan proses pembentukan pigmen coklat pada suhu yang lebih tinggi dari titik lebur gula. Perubahan warna coklat pada kreker selain diakibatkan suhu tinggi dan adanya tepung daging sapi, dapat disebabkan antara lain oleh jenis tepung terigu, penambahan lemak, susu skim. Faktor-faktor tersebut sama pada setiap taraf perlakuan. Menurut Faridi (1994) secara umum warna kreker bervariasi mulai dari mendekati putih pada beberapa tipe kreker sampai coklat gelap untuk beberapa biskuit manis. Warna kreker yang diinginkan adalah coklat terang sehingga dapat disimpulkan bahwa warna yang dihasilkan oleh pemanggangan sampel A lebih baik dibandingkan sampel B yang memiliki warna coklat yang lebih gelap. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ina (1993) bahwa semakin coklat biskuit yang dihasilkan, kesukaan terhadap biskuit semakin menurun. Bau Adonan Mentah Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tidak mempengaruhi aroma kreker yang dihasilkan (P>0,05). Rata-rata panelis menilai aroma kreker adalah 6,70. Nilai rataan tersebut menunjukkan bahwa panelis menilai kreker yang dibuat menggunakan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tersebut masing-masing sudah tidak berbau adonan mentah. Semakin tinggi nilai rataan maka kreker yang dihasilkan semakin tidak berbau adonan mentah. Proses pemanggangan merupakan faktor utama yang dapat menghilangkan bau adonan mentah pada produk akhir kreker. Proses pemanggangan dengan suhu yang tinggi mempercepat terjadinya kehilangan air pada adonan serta proses pematangan adonan kreker. Suhu awal yang tinggi (>100˚C) yang digunakan masing-masing sampel menyebabkan terjadinya penguapan air dalam adonan serta bahan-bahan yang bersifat volatil. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Ina (1993) bahwa pada proses pemanggangan biskuit terjadi kenaikan suhu, tekanan uap air dan terbentunya CO2. Ketika mencapai titik didihnya air menguap bersama gelembunggelembung udara. Hal tersebut menunjukkan bahwa dua variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda telah menghasilkan kreker yang matang sehingga tidak berbau adonan mentah.
30
Rasa Hangus Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda sangat mempengaruhi rasa hangus kreker yang dihasilkan (P<0,01). Rata-rata panelis menilai rasa hangus untuk sampel kreker A adalah 6,62 dan untuk sampel B adalah 4,65. Semakin tinggi nilai rataan maka kreker yang dihasilkan semakin tidak terasa hangus. Nilai rataan tersebut menunjukkan bahwa panelis menilai sampel B memiliki rasa lebih hangus atau pahit dibandingkan sampel A. Suhu yang digunakan dalam pembuatan sampel B lebih tinggi dibandingkan sampel A, sehingga menyebabkan terbentuknya rasa yang lebih pahit atau rasa hangus pada sampel B dibanding pada sampel A. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Manley (1998) bahwa pemanggangan pada suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan struktur biskuit yang hangus atau membentuk arang. Apabila setelah terbentuk pembentukan warna pada biskuit pengeringan dilanjutkan maka akan terbentuk area yang lebih terbuka pada biskuit, sehingga kadar air yang dihasilkan terlalu rendah. Kadar air biskuit yang terlalu rendah akan menghasilkan rasa pahit dan warna yang terlalu gelap. Rasa Daging Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tidak mempengaruhi rasa daging kreker yang dihasilkan (P>0,05). Rata-rata panelis menilai rasa daging pada kreker yang dihasilkan adalah 4,37. Semakin tinggi nilai rataan maka kreker yang dihasilkan semakin terasa daging. Pemanggangan dengan menggunakan dua variasi kombinasi dan suhu pemanggangan tersebut masing-masing menghasilkan kreker yang terasa daging. Penggunaan tepung daging sapi sebagai substitusi tepung terigu pada masing-masing taraf perlakuan adalah 10%. Taraf tepung daging sapi yang digunakan sama pada masing-masing taraf perlakuan sehingga mengasilkan kreker dengan rasa daging yang tidak berbeda. Secara umum panelis menilai kreker yang dihasilkan telah terasa daging, sehingga kedua variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan tersebut dapat dipilih sebagai metode pemanggangan kreker. Tekstur Berlapis Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tidak mempengaruhi tekstur berlapis pada kreker yang 31
dihasilkan (P>0,05). Rata-rata panelis menilai tekstur berlapis pada kreker yang dihasilkan adalah 5,02. Semakin tinggi nilai rataan maka kreker yang dihasilkan semakin memiliki tekstur yang berlapis. Rataan tersebut menunjukkan bahwa respon panelis terhadap tekstur berlapis kedua sampel tidak berbeda dan masing-masing sampel tekstur yang cukup berlapis. Tekstur berlapis pada kreker dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis tepung terigu yang digunakan, penambahan lemak, susu skim, bahan pengembang, proses fermentasi serta proses laminasi yang sangat menentukan terbentuknya lapisan-lapisan yang jelas pada produk kreker. Faktor-faktor tersebut pada penelitian ini sama pada setiap taraf perlakuan, sehingga tidak menimbulkan perbedaan pada tekstur berlapis pada kreker yang dihasilkan. Proses pemanggangan membantu proses terbentuknya lapisan-lapisan pada kreker. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Stauffer (1990) bahwa reaksi pembentukan gas CO2 dari sodium bikarbonat biasanya dapat terjadi jika terdapat suhu yang tinggi (>120°C), sehingga penggunaan sodium bikarboanat dalam pembuatan cookie dan kreker terbatas pada suhu internal yang mendekati kisaran suhu tersebut. Suhu awal pemanggangan yang digunakan pada sampel A dan B masing-masing memiliki suhu lebih dari 120°C sehingga menghasilkan tekstur berlapis pada kreker yang tidak berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan tersebut dapat dipilih sebagai metode pemanggangan kreker. Kerenyahan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tidak mempengaruhi kerenyahan kreker yang dihasilkan (P>0,05). Rata-rata panelis menilai tekstur kreker yang dihasilkan adalah 5,10. Semakin tinggi nilai rataan maka kreker yang dihasilkan semakin renyah. Panelis menilai kerenyahan kreker yang dibuat menggunakan suhu dan waktu pemanggangan yang berbeda tersebut adalah cukup renyah. Kerenyahan kreker dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis tepung terigu yang digunakan, penambahan lemak, susu skim, proses fermentasi serta proses laminasi. Proses emulsi pada adonan merupakan faktor utama terbentuknya kerenyahan pada produk akhir. Proses emulsi ini menghasilkan rongga-rongga udara
32
dalam adonan, sehingga semakin banyak rongga-rongga udara yang terbentuk maka produk akhir kreker yang dihasilkan semakin renyah. Faktor-faktor tersebut sama pada setiap taraf perlakuan sehingga tidak mempengaruhi kerenyahan kreker. Pemanggangan merupakan faktor yang dapat pula menentukan kerenyahan kreker. Penggunaan suhu pemanggangan lebih dari 120°C pada sampel A dan sampel B menyebabkan pembentukan gas CO2 yang relatif sama pada masing-masing sampel sehingga pembentukan ruang kosong pada kedua sampel kreker sama. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Stauffer (1990) bahwa reaksi pembentukan gas CO2 dari sodium bikarbonat biasanya dapat terjadi jika terdapat suhu yang tinggi (>120°C). Pembentukan ruang kosong dijelaskan oleh Ina (1993) bahwa gelembunggelembung udara yang terbentuk pecah dan meninggalkan ruang kosong (pori-pori). Pori-pori ini mempengaruhi kerenyahan biskuit. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan A memiliki keunggulan dibandingkan variasi kombinasi suhu dan waktu pemanggangan B diantaranya menghasilkan warna kreker yang lebih coklat terang serta rasa kreker yang tidak terasa hangus. Variasi A yaitu kombinasi pemanggangan dengan suhu 150˚C selama 6 menit pertama, kemudian suhu 120˚C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan suhu 100˚C selama 10 menit, selanjutnya digunakan sebagai metode pemanggangan dalam penelitian tahap kedua. Penelitian Tahap Kedua Penelitian tahap kedua dilakukan dengan menggunakan empat tipe formula dasar yang berbeda. Tepung daging sapi yang digunakan memiliki karakteristik kimia sebagai berikut: kadar air 10,03%, kadar abu 3,76% (bk), kadar protein 79,22% (bk), kadar lemak 13,63% (bk), kadar karbohidrat 4,13% (bk) dan kadar Fe 91,3 ppm (Aditya, 2008). Tepung terigu yang digunakan memiliki karakteristik kimia sebagai berikut: kadar air 10,92% (bk), kadar abu 0,56% (bk), kadar protein 12,34% (bk), kadar lemak 1,01 % (bk) dan kadar karbohidrat 86,48% (bk) (PT Bogasari Flour Mills, 1999). Gambar kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8.
33
I
III
II
IV
Gambar 8. Kreker yang Diberi Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi dengan Konsentrasi yang Berbeda Sifat Kimia Kreker Perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda dalam pembuatan kreker sangat mempengaruhi sifat kimia kreker diantaranya kadar protein dan karbohidrat (P<0,01) namun tidak mepengaruhi karakteristik kimia kreker lainnya yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar Fe (P>0,05). Sifat kimia kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sifat Kimia Kreker yang Diberi Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi dengan Konsentrasi yang Berbeda Zat Nutrisi
Komposisi Tepung Terigu dan Tepung Daging Sapi
Rataan
100:0
90:10
80:20
70:30
Umum
Kadar Air
2,75±1,76
2,59±1,67
1,77±0,69
2,27±0,25
2,35±1,15
Kadar Abu (%bk)
2,26±0,21
2,56±0,86 A
3,01±0,74 B
Kadar Protein (%bk)
10,71±0,35
15,65±0,29
Kadar Lemak (%bk)
18,24±1,79
17,70±0,09
66,04±3,28a 51,92±8,99
Kadar Karbohidrat (%bk) Kadar Fe (ppm)
20,12±0,33
3,44±0,99 C
2,83±0,79 D
25,24±1,31
–
18,21±0,81
20,16±0,85
18,58±1,34
61,48±2,53ab
56,88±2,52bc
48,88±1,93c
–
44,44±9,70
44,74±5,32
50,08±8,17
47,80±7,80
Keterangan: - Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01) - Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
34
Kadar Air. Kadar air kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda
yaitu 2,35% (Tabel 6). Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda tidak mempengaruhi kadar air kreker (P>0,05). Tepung daging sapi yang ditambahkan ke dalam adonan sampai taraf 30% dari total tepung yang digunakan tidak mempengaruhi kadar air kreker yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan oleh proses pemanggangan yang dilakukan pada suhu yang tinggi (>120°C). Suhu tersebut dapat menyebabkan kehilangan air yang cukup tinggi dan menghasilkan kreker dengan kadar air yang rendah (2,35%). Kadar air biskuit dijelaskan oleh Kaya (2008) dipengaruhi pula oleh jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan serta kadar air bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit. Perlakuan dari faktorfaktor tersebut sama pada masing-masing taraf perlakuan sehingga tidak mempengaruhi kadar air kreker. Kreker merupakan salah satu produk pangan yang dibuat sebagai pengganti roti yang memiliki umur simpan yang cukup lama sehingga kreker yang dihasilkan haruslah memiliki kadar air yang rendah agar dapat memperlambat proses kerusakan pada produk kreker tersebut. Kadar air maksimal biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 5% (bb). Hal tersebut menunjukkan bahwa kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda telah memenuhi standard untuk kadar air biskuit. Kadar Abu. Bahan makanan selain mengandung bahan organik dan air, juga mengandung mineral atau bahan-bahan anorganik. Abu merupakan bahan anorganik yang terbakar pada proses pembakaran. Kadar abu (%bk) kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 2,83% (Tabel 6). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda tidak mempengaruhi kadar abu kreker (P>0,05). Kadar abu tepung terigu dan tepung daging sapi masing-masing adalah 0,56% dan 3,76%. Pengurangan konsentrasi tepung terigu hanya mengurangi sedikit kadar abu kreker, sehingga subtitusi tepung daging sapi sampai taraf 30% tidak menghasilkan kadar abu yang jauh berbeda. Kadar abu maksimal biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 1,5% (bb). Rataan kadar abu kreker dalam % bb adalah 2,76%. Hal tersebut
35
menunjukkan bahwa kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda belum memenuhi standard untuk kadar abu biskuit. Kadar abu selain oleh tepung daging sapi juga antara lain dapat dipengaruhi oleh penambahan bahan-bahan yang mengandung mineral yang cukup tinggi seperti garam dan bumbu-bumbu. Kadar Protein. Kadar protein (%bk) kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda berkisar antara 10,71% hingga 25,24% (Tabel 6). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda sangat mempengaruhi kadar protein kreker (P<0,01). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan pengaruh antar taraf perlakuan sangat berbeda (P<0,01). Perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan taraf lebih tinggi menghasilkan kreker dengan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan kreker dengan substitusi tepung daging sapi dengan taraf yang lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan protein dari tepung daging sapi yang digunakan dalam pembuatan kreker cukup tinggi yaitu 79,22%, sehingga menyebabkan kadar protein kreker yang dihasilkan juga menjadi lebih tinggi. Semakin tinggi taraf subtitusi tepung daging maka semakin tinggi pula kadar protein kreker yang dihasilkan. Tepung terigu yang digunakan memiliki kadar protein 12,34%. Hal tersebut menunjukkan bahwa bertambahnya kadar protein kreker disebabkan oleh perbedaan jumlah tepung daging sapi yang mensubstitusi tepung terigu, karena sumber protein lainnya seperti margarin, susu skim ditambahkan dengan konsentrasi yang sama pada semua taraf perlakuan. Kadar protein minimal biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9% (bb). Kadar protein dalam % bb adalah berkisar antara 10,41% hingga 24,67%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda telah memenuhi standard untuk kadar protein biskuit. Kadar Lemak. Rataan kadar lemak (%bk) kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda adalah 18,58% (Tabel 6). Analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda tidak mempengaruhi kadar lemak kreker (P>0,05). Kadar lemak kreker dapat ditentukan oleh penambahan lemak dalam pembuatan adonan 36
kreker. Kadar lemak tepung terigu dan tepung daging sapi masing-masing adalah 1,01% dan 13,63%. Kadar lemak tepung terigu dan tepung daging sapi yang rendah menyebabkan substitusi tepung terigu oleh tepung daging sapi sampai taraf 30% tidak mempengaruhi kadar lemak kreker. Bahan penyumbang utama lemak pada produk kreker adalah margarin. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Kaya (2008) bahwa tingginya kadar lemak biskuit disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit mengandung kadar lemak yang cukup tinggi seperti margarin. Winarno (1997) menjelaskan bahwa margarin mengandung tidak kurang 80% lemak. Taraf penambahan margarin dalan pembuatan
kreker
pada
masing-masing
perlakuan
sama
sehingga
tidak
mempengaruhi kadar lemak kreker. Kadar lemak minimal biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9,5% (bb). Rataan kadar lemak dalam % bb adalah 18,15%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda telah memenuhi standard untuk kadar lemak biskuit. Kadar Karbohidrat. Kadar karbohidrat (%bk) kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda berkisar antara 48,88% hingga 66,04% (Tabel 6). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa substitusi tepung daging sapi terhadap tepung terigu dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi kadar karbohidrat kreker (P<0,05). Kadar karbohidrat tepung terigu dan tepung daging sapi masing-masing adalah 86,48% dan 4,13%. Tingginya kadar karbohirat tepung terigu dan rendahnya kadar karbohidrat tepung daging sapi terjadinya perbedaan kadar karbohidrat yang nyata. Hasil uji lanjut menunjukkan terdapat perbedaan kadar karbohidrat antara subtitusi daging sapi taraf 0% dengan taraf 20% dan 30% serta antara taraf 10% dengan 30%. Pengurangan 20% tepung terigu dan penambahan 20% tepung daging sapi sudah berdampak nyata pada kadar karbohidrat kreker. Subtitusi tepung daging sapi yang memiliki kadar karbohidrat rendah menggantikan tepung terigu yang memiliki kadar karbohidrat tinggi menyebabkan pengurangan tepung terigu mulai taraf 20% sudah dapat menurunkan kadar karbohidrat sekitar 10%. Substitusi tepung
37
daging sapi sampai 30% bahkan menghasilkan penurunan kadar karbohidrat sekitar 17% Kadar karbohidrat minimal biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 70% (bb). Kadar karbohidrat dalam % bb adalah berkisar antara 48,88% hingga 66,64%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda belum memenuhi standar untuk kadar karbohidrat biskuit. Kadar Fe. Rataan kadar Fe kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda adalah 47,80 ppm (Tabel 6). Analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung daging sapi terhadap tepung terigu dengan konsentrasi yang berbeda tidak mempengaruhi kadar Fe (ppm) kreker (P>0,05). Rata-rata kadar Fe tepung daging adalah 91,3 ppm. Kadar Fe tepung daging dalam proses pencampuran dan pengolahan akan mengalami penurunan. Proses pemanasan pada suhu tinggi merupakan faktor utama yang dapat menurunkan kadar Fe. Proses pemanggangan kreker dilakukan pada suhu 100˚C sampai 150˚C menyebabkan terjadinya penurunan kadar Fe sehingga substitusi tepung daging sapi sampai taraf 30% tidak mempengaruhi kadar Fe kreker. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Boccia et al. (2002) bahwa proses pemanasan menghasilkan penurunan kadar Fe dalam bentuk heme dalam jumlah besar pada berbagai daging. Peningkatan pelepasan Fe dari heme terjadi ketika suhu ditingkatkan mulai dari 85˚C sampai 100˚C. Bilangan TBA Kreker Selama Penyimpanan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan berbagai konsentrasi tidak mempengaruhi bilangan TBA kreker (P>0,05). Perlakuan lama penyimpanan sangat mempengaruhi bilangan TBA kreker (P<0,01). Bilangan TBA kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda selama penyimpanan dilihat pada Tabel 8.
38
Tabel 8. Bilangan TBA Kreker dengan Substitusi Tepung Daging dengan Konsentrasi yang Berbeda Selama Penyimpanan Penyimpanan Komposisi Tepung Terigu dan Tepung Daging Sapi Rataan (hari ke-)
100:0
90:10
80:20
70:30
Umum
----------------- (mg malonaldehida/kg ) --------------0
0,24
0,28
0,28
0,28
0,27±0,05
14
0,24
0,25
0,22
0,21
0,23±0,04
28
0,32
0,30
0,30
0,31
0,31±0,05
42
0,28
0,42
0,45
0,47
0,40±0,1
Keterangan: Perlakuan penambahan tepung daging tidak mempengaruhi bilangan TBA (P>0,05)
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung daging sapi mulai taraf 0% sampai 30% tidak mempengaruhi bilangan TBA kreker (P>0,05). Kreker dengan substitusi tepung daging sapi mulai taraf 0% sampai 30% memiliki kadar air pada awal penyimpanan yang rendah dan tidak berbeda (Tabel 6). Kadar air yang rendah pada awal penyimpanan dapat mengurangi resiko terjadinya reaksi oksidasi. Hal tersebut dapat menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan bilangan TBA kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda selama penyimpanan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar TBA kreker adalah kadar lemak kreker. Substitusi tepung daging sapi mulai dari konsentrai 0% sampai 30% tidak mempengaruhi kadar lemak kreker pada awal penyimpanan (Tabel 6). Hal tersebut menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan bilangan TBA kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda selama penyimpanan. Nilai bilangan TBA pada produk dapat dipengaruhi pula oleh penambahan bahan dalam pembuatan kreker yang memiliki asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kreker yang dapat menyumbangkan asam lemak tidak jenuh diantaranya margarin serta tepung daging sapi. Menurut Winarno (1997) bahwa kandungan lemak tidak jenuh pada margarin adalah 38 (g/100g) sedangkan pada daging sapi adalah 3 (g/100g). Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan yang menyumbang asam lemak tidak jenuh paling tinggi adalah margarine. Penggunaan margarin pada tiap taraf perlakuan sama, sehingga substitusi tepung daging sapi yang memiliki asam lemak tidak jenuh yang lebih rendah mulai dari konsentrasi 0% sampai 30% tidak mempengaruhi bilangan TBA selama 39
penyimpanan. Penggunaan margarin perlu diperhatikan dalam pembuatan kreker karena penggunaan margarin yang terlalu banyak dapat mempertinggi resiko terjadinya proses oksidasi. Faktor lainnya yang dapat meningkatkan terjadinya oksidasi lemak adalah mineral Fe. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Brake dan Fennema (1999) bahwa kandungan mineral Fe dapat menjadi katalis terjadinya oksidasi lipida pada daging. Boccia et al. (2002) menjelaskan bahwa Fe merupakan salah satu katalis utama dalam oksidasi lipida. Substitusi daging sapi sampai taraf 30% tidak mempengaruhi kadar Fe kreker. Hal tersebut menyebabkan substitusi tepung daging sampai taraf 30% tidak mempengaruhi bilangan TBA produk kreker. Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
perlakuan
penyimpanan
sangat
mempengaruhi bilangan TBA kreker yang (P<0,01). Berdasarkan model linier dengan persamaan y = 0,003x + 0,235 dapat diketahui bahwa bilangan TBA kreker mengalami peningkatan selama penyimpanan. Nilai y merupakan bilangan TBA dan nilai x merupakan lama penyimpanan. Semakin lama masa simpan maka bilangan TBA yang dihasilkan semakin tinggi. Grafik bilangan TBA kreker selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik Bilangan TBA kreker selama penyimpanan Peningkatan nilai bilangan TBA selama penyimpanan dapat disebabkan oleh terjadinya kenaikan nilai aw kreker. Nilai aw tertinggi terdapat pada penyimpanan hari ke 42 dengan nilai rata-rata 0,45. Nilai aw pada hari ke 0 telah mencapai lebih dari
40
0,3 dan pada penyimpanan hari ke 42 telah mencapai lebih dari 0,4 (Gambar 10). Kenaikan nilai pada range aw tersebut mempercepat terjadinya reaksi oksidasi yang selanjutnya akan menghasilkan kenaikan nilai bilangan TBA selama penyimpanan sampai hari ke 42. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Nelson dan Labuza (1992) bahwa peningkatan aw dari 0,3 sampai 0,8 akan menyebabkan peningkatan pemutusan dari katalis, meningkatkan mobilitas oksigen dan ion metal sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat oksidasi pada bahan pangan. Grafik nilai aw kreker selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik Nilai aw Kreker Selama Penyimpanan 42 Hari Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi bilangan TBA kreker adalah ketersediaan oksigen. Sistem pengemasan dan jenis kemasan merupakan faktor penting dalam penyimpanan karena dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen baik sebelum maupun setelah produk dikemas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kulkarni et al. (1994) bahwa jenis dan ketebalan kemasan dapat mempengaruhi lama simpan produk. Sistem pengemasan yang digunakan pada penelitian ini bersifat aerob, yaitu oksigen tersedia sebelum produk dikemas. Kemasan yang digunakan adalah polipropilen yang masih memiliki sifat permeabilitas terhadap oksigen. Ketersediaan oksigen dalam kemasan tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi oksidasi serta bilangan TBA kreker. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Jhon et al. (2004) yaitu bilangan TBA lebih tinggi pada produk yang dikemas dengan dalam kondisi oksigen tinggi dibanding produk yang dikemas secara anaerob
41
maupun yang dikemas menggunakan modified-athmosphere packaging (MAP). Suhu selama penyimpanan merupakan faktor yang dapat pula mempengaruhi bilangan TBA. Suhu penyimpanan yang digunakan adalah pada suhu ruang. Peyimpanan pada suhu ruang dapat meningkatkan tingkat oksidasi pada kreker. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Park et al. (2007) bahwa suhu penyimpanan merupakan faktor yang sangat penting dalam proses oksidasi. Bilangan TBA akan meningkat dengan meningkatnya lama dan suhu penyimpanan. Secara umum nilai TBA yang dihasilkan dengan substitusi tepung daging sapi dan perlakuan penyimpanan memiliki nilai minimum yaitu 0,21 dan nilai maksimum 0,47. Walaupun proses penyimpanan pada kreker yang ditambahkan tepung daging mulai taraf 10% sampai 30% meningkatkan nilai TBA kreker, namun kisaran nilai TBA ini secara organoleptik belum menimbulkan tanda-tanda ketengikan seperti munculnya aroma tengik pada kreker. Chen et al. (1996) menjelaskan bahwa batas maksimum kadar TBA untuk hasil peternakan dan perikanan yaitu 1-2 mg malonaldehida/kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa kreker yang diberi substitusi tepung daging sapi masih memiliki kualitas yang baik sampai penyimpanan selama 42 hari. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Arpah (1998) yang meneliti perkiraan umur simpan berdasarkan kadar kritis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa produk kreker memiliki kadar air kritis Mc = 9,8% (ekuivalen dengan aw = 0.6) dan perkiraan umur simpan untuk model Heiss-Eichner = 107,90 hari dan model Labuza = 134,22 hari.
42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pembuatan kreker yang diberi perlakuan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda mulai dari taraf 0% sampai 30% tidak mempengaruhi nilai kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar Fe kreker namun sangat mempengaruhi kadar protein serta kadar karbohidrat kreker. Substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi 30% menghasilkan nilai protein kreker yang paling tinggi dibandingkan substitusi tepung daging sapi dengan konsentrasi yang lebih rendah. Semakin tinggi konsentrasi substitusi tepung daging sapi menyebabkan kadar kabohidrat kreker semakin rendah. Nilai bilangan TBA kreker tidak dipengaruhi oleh substitusi tepung daging sapi, namun dipengaruhi oleh penyimpanan pada kreker yang ditambahkan tepung daging sapi mulai taraf 10% sampai 30%. Secara umum nilai TBA yang terkandung dalam kreker relatif masih rendah dan belum menimbulkan bau tengik. Hal ini mengindikasikan bahwa produk kreker ini masih memiliki kualitas yang baik sampai penyimpanan selama 42 hari. Saran Penelitian dengan meningkatkan umur simpan produk kreker perlu dilakukan sampai diperoleh nilai TBA yang menyebabkan produk mengalami ketengikan sehingga tidak disukai oleh konsumen. Penggunaan jenis kemasan, suhu penyimpanan dan penggunaan sumber lemak perlu diperhatikan pula agar dapat mengurangi resiko terjadinya oksidasi lemak.
43
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah untuk nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya. Semoga amal ibadah penulis dapat diridhoi oleh Allah SWT. Amin. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua yang telah memberikan cinta, kasih sayang, doa, semangat serta dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi orang yang lebih baik dalam kehidupan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua kakak tercinta Halida dan Anne Permatasari, serta untuk adik tersayang Fahmi yang telah memberikan doa dan dukungan bagi penulis. Ucapan terima penulis sampaikan Ir. B. N. Polii, SU dan Tuti Suryati, S.Pt., M.Si., sebagai dosen pembimbing atas segala masukan, arahan, dan nasihatnya selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Zakiah Wulandari, STP, M.Si. dan Ir Abdul Djamil H., MS. sebagai penguji ujian lisan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Niken Ulupi M.Si sebagai dosen pembimbing akademik. Semoga Allah SWT memberi balasan atas segala kebaikannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Harfan Tegas Aditya yang selalu mendampingi, memberi kasih sayang dan membantu penulis dalam menempuh pendidikan kuliah hingga menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditha, Tria, Ari, Tofan, Budiman dan Tim Tepung Putih Telur yang selalu membantu penulis dan memeriahkan suasana ketika penelitian berlangsung. Terima kasih kepada anak-anak THT 41 dan THT 40 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para staf Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, staf Laboratorium Pilot Plan, Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2008 Penulis
44
DAFTAR PUSTAKA Aditya, H. T. 2008. Sifat kimia tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan yang berbeda serta pengaruhnya terhadap sifat mikrobiologi selama penyimpanan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arpah. 1998. Perbandingan beberapa model ass (accelerated storage studies) dari hukum difusi fick unidireksional: penerapan pada penentuan umur simpan biskuit. Tesis. Program Pasca Sanjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Almond, N., M. H. Gordon, P. Reardon, dan P. Wade. 1991. Biscuit, Cookies and Cracker. Volume 3. Elsevier Applied Science, London. Anggoro, D. C. 2007. Pembuatan tepung daging sapi sebagai produk antara dengan menggunakan metode pengeringan yang berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC. 1989. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists, Washington. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyanto. 1989. Petunujuk Laboratorium: Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Artama, T. 2001. Pemanfaatan tepung ikan lemuru (Sardinella longiceps) untuk meningkatkan mutu fisik dan nilai gizi crackers. Tesis. Program Pasca Sanjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. SNI 012973-1992. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1994. Margarin. SNI-01-3541-1994 Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1995. Daging. SNI-01-3947-1995 Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Brake, N. C. and O. R. Fennema. 1999. Lipolysis and lipid oxidation in frozen minced mackerel as related to Tg', molecular diffusion, and presence of gelatin. J. Food Sci. 64(1):25–2. Bocia, L. G., B. M. Dominguez and A. Aguzzi. 2002. Total heme and non-heme iron in raw and cooked meats. J. Food Sci. 67(5):1738–1741 Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton.1985. Ilmu Pangan. Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Bull, S. 1951. Meat for The Tabel. Mc Graw-Hill Book Company, Inc., New York. 45
Chen, Z. Y., P. T. Chan, H. M. Ma, K. P. Fung, and J. Wang. 1996. Antioxidative effects of ethanol tea extracts on oxidation of canola oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 73:375–380. Daniel, A. R. 1978. Bakery Material and Methods. 4th Ed. Applied Science Publisher, London. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan : Muljohardjo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Duncan, A. O. 1942. Food Processing. Turner E. Smith and Company, Atlanta. Faridi, D. 1994. The Science of Cookies and Crackers Production. Chapman and Hall, New York. Faridi, H. dan J. M. Faubion. 1990. Dough Rheologi and Baked Product Texture. Van Nontrand Reinhold, New York. Fellow, P. J. 1992. Food Processing Technology Principles and Practice. Ellis Horwood Ltd, London. Forrest., J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. Dalam: Soeparno (Editor). Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Penerjemah: M. Gardjito, S. Naruki, A. Murdiati dan Sardjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ina, P. T. 1993. Kajian tepung ubi kayu dalam penggunaanya untuk biskuit. Tesis. Program Pasca Sanjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Junaenah. 2007. Aplikasi penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan tambahan pada pembuatan kreker. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jhon, L., D. Cornforth, C. E. Carpenter, O. Sorheim, B. C. Pette and D. R. Whittier. 2004. Comparison of color and thiobarbituric acid values of cooked hamburger patties after storege of fresh beef chubs in modified atmospheres. J. Food Sci. 69(8):608–614. Kanner, J and I. Rosenthal. 1992. An assesment of lipid oxidation in food. Pure and Applied Chemistry. 64:12. Kaya, A. O. 2008. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit. Tesis. Program Pasca Sanjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
46
Kulkarni, S. D., S. K. Sawarkar and N. G. Bhole. 1994. Packaging, handling and storage of lipoxygenase-free full-fat soy flour. J. Food Process. Preserv. 18(1994):333-342. Lawrie, R. A. 1966. Meat Science. Pergamon Press, London. Lawrie, R. A. 1998. Lawrie’s Meat Science. 6th Ed. Woodhead Publishing Ltd, Cambridge. Manley, D. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellis Horwood Limited Pub, Chisester. Manley, D. 1998. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. 3th Ed. CRC Press, Washington, DC. Mattjik, Ahmad A. dan M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Instutut Pertanian Bogor, Bogor. Matz, S. A. and T. D. Matz. 1978. Cookie and Cracker Technology 2nd Ed. AVI Publishing Company, Inc., Conneticut. Nelson and Labuza. 1992. Lipid Oxidation in Food. Washington, D.C.: ACS, pp. 99–103. Park, S. Y., S. S. Yoo, J. H. Uh, J. B. Eun, H. C. Lee, Y. J. Kim an K. B. Chin. 2007. Evaluation of lipid oxidation and oxidative products as affectide by pork meat cut, packaging method, and storage time during frozen storage (-10˚C). J. Food Sci. 72(2):114–119. Pokorny, J. and A. Dieffenbacher. 1989. Determination of 2-thiobarbituric acid value: direct method. Pure and Applied Chemistry. 61(6):1165–1170. Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Schultz, H. W., E. A. Day, R. O. Sinnhuber. 1962. Symposium on Foods: Lipids and Their Oxidation. AVI Publishing Company, Inc., Connecticut. Shin, T. S. and J. I Lee. 2002. Effect of Irradiation, packaging an storage on the oxidation of cholesterol an lipid in pork Longissimus meat. Korean J. Food Sci Ani Resour 22:137–44. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. 4th Ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Geomertik. Terjemahan : B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
47
Stauffer, C. E. 1990. Functional Additives for Bakery Foods. Van Nostrand Reinhold, New York. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta. Sultan, W. J. 1977. Modern Pastry Chief. 1st Ed. AVI Publishing Company, Inc., Conneticut. !!
" # $ !%
Tokur, B., K. Korkmaz, and D. Ayas. 2006. Conparison of thiobarbituric acid (TBA) method for monitoring lipid oxidation in fish. E.U. J. of Fisheries and Aquatic Science. 23:331–334. Warner, K. J. H., P. S. Dimick, G. R. Ziegler, R. O. Mumma and R. Hollender. 1996. Flavor fade and off-flavors in ground roasted peanuts as related to selected pyrazines and aldehydes. J. Food Sci. 61(2):469–472. Widianto, B., Ch. Retnaningsih, Sumardi, Soedarini, Lindayani, A. R. Pratiwi dan S. Lestari. 2002. Tips Pangan Teknologi, Nutrisi, dan Keamanan Pangan. PT Grasindo, Jakarta. Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ziegler, P. T. 1948. Meat We Eat. United State Departmen of Agriculture, Chicago.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Formulir Uji Organoleptik Nama Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi
: : : : Berilah tanda silang (X) pada garis di bawah ini sesuai dengan respon yang ditimbulkan selatelah saudara menguji parameter-parameter respon.
Warna Coklat terang
Coklat gelap
862 520 Bau Adonan Mentah Sangat bau adonan mentah
Sangat tidak bau adonan mentah
862 520 Rasa Hangus Sangat terasa hangus
Sangat tidak terasa hangus
862 520 Rasa Daging Sangat tidak terasa daging
Sangat terasa daging
862 520 Tekstur Berlapis Sangat tidak berlapis
Sangat berlapis
862 520 Kerenyahan Sangat tidak renyah
Sangat renyah
862 520 Lampiran 2. Uji Asumsi Parameter Uji Organoleptik 50
Jenis Uji Asumsi
Parameter
Kehomogenan Ragam
Kenormalan Data
Kebebasan Galat
Warna Tekstur Rasa Hangus Rasa Daging Aroma Kerenyahan Keterangan : tanda
menunjukkan bahwa uji asumsi terpenuhi
Lampiran 3. Analisis Ragam Parameter Warna dengan Perlakuan Suhu dan Waktu Yang Berbeda Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
1
101,14
101,14
Galat
58
195,80
3,38
Total
59
296,49
0,000**
29,96
Keterangan : **= sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 4. Uji Lanjut Tukey Parameter Warna Sampel Rata-rata
Huruf
520
4,24
A
862
6,83
B
Keterangan : Huruf kapital yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 5. Analisis Ragam Parameter Tekstur dengan Perlakuan Suhu dan Waktu Yang Berbeda Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
1
0,254
0,254
Galat
58
501,476
8,646
Total
59
501,730
0,03
0,865tn
Keterangan : tn= tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 6. Analisis Ragam Parameter Rasa Hangus dengan Perlakuan Suhu dan Waktu Yang Berbeda
51
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hitung
P
Perlakuan
1
58,214
58,214
15,55
0,000**
Galat
58
217,186
3,744
Total
59
275,390
Keterangan : **= sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 7. Uji Lanjut Tukey Parameter Rasa Hangus Sampel Rata-rata
Huruf
520
6,62
A
862
4,65
B
Keterangan : Huruf kapital yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 8. Analisis Ragam Parameter Rasa Daging dengan Perlakuan Suhu dan Waktu Yang Berbeda Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
1
6,600
6,600
Galat
58
237,850
4,101
Total
59
244,450
1,61
0,210tn
Keterangan : tn= tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Parameter Aroma dengan Perlakuan Suhu dan Waktu Yang Berbeda Sampel N Median Rataan Ranking Z 520
30
4,300
27,7
-1,25
862
30
5,750
33,3
1,25
Total
60
30,5
Keterangan : Derajat bebas = 1, nilai P = 0,212 (P>0,05) tidak berbeda
Lampiran 10. Analisis Ragam Parameter Kerenyahan dengan Perlakuan Suhu dan Waktu Yang Berbeda Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
1
6,403
6,403
Galat
58
250,737
4,323
Total
59
257,140
4,48
0,229tn
Keterangan : tn= tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 11. Uji Asumsi Uji Proksimat dan Kadar Fe
52
Jenis Uji Asumsi
Jenis Uji
Kehomogenan Ragam
Kenormalan Data
Kebebasan Galat
Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat Kadar Fe Keterangan : tanda
menunjukkan bahwa uji asumsi terpenuhi
Lampiran 12. Analisis Ragam Uji Kadar Air Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
3
1,683
0,561
0,35
0,791tn
Kelompok
2
3,235
1,617
1,01
0,419tn
Galat
6
9,623
1,604
Total
11
14,541
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 13. Analisis Ragam Uji Kadar Abu (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Sumber Keragaman db JK KT F Hitung
P
Perlakuan
3
2,3430
0,7810
0,7810
0,274tn
Kelompok
2
1,7823
0,8912
1,89
0,231 tn
Galat
6
2,8306
0,4718
Total
11
6,9559
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)
53
Lampiran 14. Analisis Ragam Uji Kadar Protein (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
3
347,010
115,670
186,53
0,000**
Kelompok
2
0,341
0,170
0,27
0,769tn
Galat
6
3,721
0,620
Total
11
351,071
Keterangan : * * = sangat nyata (P<0,01), tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 15. Uji Lanjut Tukey Kadar Protein (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Taraf Tepung Daging Rata-rata Huruf 30
25,240
A
20
20,123
B
10
15,650
C
0
10,703
D
Keterangan : Huruf kapital yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 16. Analisis Ragam Kadar Lemak (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
3
10,612
3,537
3,10
0,110tn
Kelompok
2
2,297
1,149
1,140
0,419tn
Galat
6
6,839
1,140
Total
11
19,748
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0.05)
Lampiran 17. Uji Friedman Kadar Karbohidrat (%bk) Cracker dengan Perlakuan Penambahan Tepung Daging Sapi Taraf Tepung Daging
(N)
Estimasi Maedian
Jumlah Rank
0
3
65,449
12,0
10
3
61,654
9,0
20
3
57,296
6,0
30
3
48,276
3,0
Keterangan : P = 0.029 db = 3 pengaruh antar taraf perlakuan perlakuan berbeda nyata (P>0,05)
54
Lampiran 18. Uji Perbandingan Berganda Nilai Tengah Perlakuan Kadar Karbohidrat (%bk) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Taraf Tepung Daging Rata-rata Huruf 0
66,04
a
10
61,48
ab
20
56,88
bc
30
48,88
b
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 19. Analisis Ragam Kadar Fe (ppm) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Perlakuan
3
128,40
42,80
1,72
0,261tn
Kelompok
2
391,10
195,55
7,88
0,021*
Galat
6
148,99
24,83
Total
11
668,49
Keterangan :
* = nyata (P<0,05), tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 20. Uji Asumsi Bilangan TBA Kreker Selama Penyimpan 42 Hari Jenis Uji Asumsi Jenis Uji
Kehomogenan Ragam
Kenormalan Kebebasan Data
Galat
• Perlakuan Tepung daging 0 – 30% • Penyimpanan 0 – 28 hari Keterangan : tanda
menunjukkan bahwa uji asumsi terpenuhi
55
Lampiran 21. Analisis Ragam Bilangan TBA (mg malonaldehida/kg ) Kreker dengan Perlakuan Substitusi Tepung Daging Sapi Selama Penyimpanan Sumber Keragaman db JK KT F Hitung P Tepung Daging
3
0,019
0,006
1,73
0,183tn
Penyimpanan
3
0,201
0,063
17,46
0,000**
Kelompok
2
0,002
0,001
0,33
0,721 tn
Tepung Daging*Penyimpanan
9
0,054
0,006
1,74
0,124 tn
Galat
30
0,103
0,003
Total
47
0,378
Keterangan : * * = sangat nyata (P<0,01) tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 22. Uji Lanjut Bilangan TBA yang Dipengaruhi Lama Penyimpanan yang Berbeda Sumber Keragaman db JK KT F0,05 F0,01 F Hitung Penyimpanan
3
0,050
0,017
4,757
3,289
23,126*
Linier
1
0,568
0,568
5,987
3,776
783,234*
Kuadratik
1
0,308
0,308
5,987
3,776
424,862*
Kubik
1
0,027
0,027
5,987
3,776
37,766*
Kelompok
2
0,001
0,000
5,143
3,463
0,448tn
Galat
6
0,004
0,001
Total
11
0,958
Keterangan : * = signifikan
56