SIFAT ORGANOLEPTIK DAGING ITIK AFKIR YANG DIBERI PERLAKUAN STIMULASI LISTRIK Harapin Hafid, Nuraini dan Inderawati Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo Kendari Jl. H.E.A. Mokodompit Anduonohu Kendari
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak stimulasi listrik terhadap sifat organoleptik daging itik afkir. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo Kendari. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang terdiri atas dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk persiapan sekaligus uji coba instrumen penelitian, sehingga hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penelitian dapat dihindarkan. Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan terdiri atas 0 Volt/2 menit (kontrol), 10 Volt/2 menit dan 20 volt/2 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap keempukan, warna, tekstur dan nyata (p<0.05) terhadap aroma, sari minyak (juiciness) dan cita rasa. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan stimulasi listrik dengan tegangan 20 Volt/2 menit dapat memperbaiki keempukan, warna dan tekstur pada daging itik afkir. Kata kunci: Sifat organoleptik, Daging itik afkir, Stimulasi listrik PENDAHULUAN Daging merupakan hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain sebagai bahan pangan pokok sumber protein, daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizinya lengkap sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi. Salah satu sumber daging yang dapat digunakan untuk memenuhi gizi masyarakat adalah dengan memanfaatkan itik lokal. Selama ini itik lokal hanya dimanfaatkan untuk produksi telur dan setelah di afkir dagingnya kurang diminati, padahal daging itik pun dapat menjadi bagian dari menu sehari – hari untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Banyak anggapan bahwa daging itik berkualitas rendah sebab alot dan mempunyai aroma anyir yang tidak disukai. Apabila diolah dengan baik, daging itik merupakan salah satu jenis daging yang disukai konsumen, pemeliharaan itik digemari oleh para petani dan merupakan pilihan yang praktis sebab itik bersifat sub sistem dan dapat tumbuhan dengan baik mencapai dewasa dengan hanya bersandar pada pakan lokal. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Faktor– faktor tersebut dapat dikontrol, dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh manusia untuk menciptakan daya guna dari hasil guna yang optimal. Warna, keempukan, tekstur, cita rasa (flavor), aroma, kesan jus daging (juiciness) merupakan faktor utama untuk menentukan mutu daging yang berkualitas. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor (1) Antemortem seperti bangsa, spesies, jenis
182
kelamin, umur, pengaturan gizi, lokasi otot dan stres dan (2) faktor postmortem yang diantaranya meliputi proses pengawetan, lama, dan temperatur penyimpanan serta metode pengepakan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk sehingga keempukan dapat bervariasi diantara spesies yang sama, diantara otot dan pada otot yang sama (Soeparno, 1992) serta stimulasi listrik (Aberle et al., 2001). Pada prinsipnya stimulasi listrik akan mempercepat proses glikolisis postmortem yang terjadi selama konversi otot menjadi daging dan dapat mengubah karakteristik palatabilitas daging. Stimulasi listrik terhadap karkas telah terbukti mempercepat habisnya ATP, penurunan pH postmortem, meningkatkan keempukan daging, mempercepat laju glikolisis postmortem dan mencegah pemendekan otot karena temperatur dingin (Aberle., 2001). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak stimulasi listrik terhadap sifat organoleptik terutama terhadap keempukan daging itik afkir. MATERI DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo Kendari, pada bulan Mei – Juni 2012. Materi penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah itik afkir yang berumur 24–30 bulan yang diperoleh dari peternak itik Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe. Jumlah itik yang digunakan adalah sebanyak 12 ekor terdiri dari 6 ekor betina dan 6 ekor jantan. Daging yang diambil untuk pengamatan adalah daging pada bagian paha. Instrumen pengempuk yang digunakan adalah alat stimulasi listrik Dual Tracking Supply berupa adaptor dengan listrik sebagai sumber tenaga (power). Kapasitas voltase yang digunakan adalah 0 Volt/2 menit (kontrol), 10 Volt/2 menit dan 20 Volt/2 menit. Peralatan lain yang digunakan yaitu pisau, garpu, piring, alat listrik, water bath (merk Hemmert), plastik polietilena, alat pengukur pH (merk Hanna Instrument), kertas tissue gelas piala 100 ml, baskom dan alat tulis menulis. Prosedur penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tahapan yaitu penyiapan bahan perlakuan dan sampel penelitian. Stimulasi listrik yang dilakukan dengan membuat aliran listrik yang dihubungkan dengan sumber listrik dan mengatur tegangan yaitu kontrol, 10 Volt/2 menit dan 20 Volt/2 menit. Persiapan sampel dalam penelitian ini yaitu itik afkir yang diperoleh dari peternak di Pondidaha, dipotong dengan cara pemotongan urat nadi pada leher kemudian dipisahkan antara karkas dan bagian non karkas. Selanjutnya dari karkas diambil sampel daging pada bagian paha, dipisahkan dari jaringan ikat dan lemak yang melekat. Kemudian sampel daging dihubungkan dengan aliran listrik secara merata di atas permukaan daging. Selanjutnya pada persiapan sampel dengan menyiapkan air, penangas air, water bath yang dibutuhkan untuk persiapan percobaan daging. Penelitian pendahuluan untuk uji coba instrumen sehingga mencegah terjadinya kesalahan dalam penelitian utama.
183
Pada penelitian utama, itik yang disembelih secara halal dan mendapatkan karkas. Karkas kemudian diacak dan diberi kode berdasarkan perlakuan dan ulangan. Paha baik kiri maupun kanan tidak dibedakan. Penerapan perlakuan stimulasi listrik, masing-masing dengan tegangan : kontrol, 10 Volt/2 menit dan 20 Volt/2 menit. Caranya adalah dengan menghubungkan kedua kutub listrik pada ujung paha yang berjauhan. Semua perlakuan diterapkan secara sistematis dan diulang sebanyak masingmasing enam kali. Setelah itu, selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam plastik polietilena untuk mendapat pengujian organoleptik dan diberi label. Label yang diberikan disesuaikan dengan kode perlakuan yang diterapkan, kemudian dilipat memanjang dan dipres sehingga tidak terjadi kontak langsung dengan air pada saat direbus sesuai petunjuk Soekarto dan Hubeis (1992). Selanjutnya daging direbus dalam penangas air dengan suhu 80°C selama 45 menit. Untuk mendapatkan suhu pemanasan yang stabil digunakan alat water bath. Selanjutnya sampel daging diangkat kemudian didinginkan, jika terdapat cairan pada permukaan daging dapat dikeringkan dengan kertas isap. Sebelum dilakukan pengujian secara organoleptik (panel test) sampel daging dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm. Selama pengujian digunakan sebanyak 10 -15 orang panelis semi terlatih sesuai petunjuk (Soekarto dan Hubeis, 1992). Kriteria penilaian organoleptik menggunakan skor penilaian yang berayun dari 1 sampai dengan 5 (Hafid, 1996). Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (Gaspersz, 1991) dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Perlakuan terdiri atas : kontrol, 10 Volt/2 menit dan 20 Volt/2 menit. Adapun model matematik rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + τij + εij Dimana : Yij µ τij εij
= Hasil pengamatan = Nilai harapan (rata-rata umum) = Pengaruh stimulasi listrik = Galat percobaan
Parameter yang diamati Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Keempukan daging dinilai berdasarkan petunjuk Australian Meat dan Livestock Corporation (1989) dalam Hafid et al., 2000 mulai dari sangat empuk, empuk, keempukan sedang, alot dan sangat alot. 2. Warna daging masak dinilai berdasarkan cara yang dilakukan Jamasuta (1990) dan Dihansih (1998) dalam Hafid et al., 2000 yakni dari warna putih, putih pucat, merah muda, merah cerah dan merah tua. 3. Aroma atau bau dinilai berdasarkan Australian Meat dan Livestock Corporation (1989) dalam Hafid et al., 2000 mulai dari sangat disukai sampai dengan sangat tidak disukai. 4. Cita rasa (flavor) dinilai berdasarkan Australian Meat dan Livestock Corporation (1989) dalam Hafid et al., 2000 mulai dari sangat disukai sampai dengan sangat tidak disukai.
184
5. Sari minyak/kesan jus daging dinilai berdasarkan cara yang dilakukan dihansih (1998) yakni dari sangat juicy, juicy, cukup juicy, agak juicy dan kering. 6. Tekstur dinilai berdasarkan Australian Meat dan Livestock Corporation (1989) dalam Hafid et al., 2000 mulai dari sangat halus, halus, sedang, kasar dan sangat kasar. Tabel 1. Skor Penilaian Organoleptik Peubah Keempukan
Warna
Aroma
Cita rasa (flavor)
Sari minyak (juiciness)
Tekstur
Skor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Kriteria Sangat empuk Empuk Sedang Alot Sangat alot Warna putih Putih pucat Merah muda Merah cerah Merah tua Sangat disukai Disukai Cukup disukai Tidak disukai Sangat tidak disukai Sangat disukai Disukai Cukup disukai Tidak disukai Sangat tidak disukai Sangat juicy Juicy¦ Cukup juicy Agak juicy Kering Sangat halus Halus Sedang Kasar Sangat kasar
Sumber : Hafid et al (2000) Analisis data Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan sidik ragam (analysis of variance). Apabila terdapat pengaruh perlakuan maka akan dilakukan uji lanjut dengan uji beda nyata terkecil.
185
HASIL DAN PEMBAHASAN Keempukan Keempukan daging merupakan salah satu faktor yang harus dipertahankan, diperbaiki dan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging itik afkir yang dinilai secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata skor keempukan daging itik afkir yang diberi perlakuan stimulasi listrik Perlakuan Stimulasi Listrik
Ulangan Kontrol
10 Volt/2 mnt
20 Volt/2 mnt
1
3.60
3.90
2.50
2
3.82
3.10
2.00
3
4.04
2.70
1.90
4
3.88
2.90
1.90
3.84 ª
3.15 ª
2.08 b
Rata-rata
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0.01).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 didapatkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap keempukan daging itik afkir. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik 20 Volt/2 menit (skor 2.08) memberikan keempukan yang lebih baik daripada perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/2 (skor 3.15) menit dan kontrol (skor 3.84). Sementara itu pada perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/2 menit dengan kontrol tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan pemberian stimulasi listrik yang mampu memecah molekul-molekul protein menjadi molekul asam amino yang lebih kecil dan juga merusak ikatan-ikatan kimiawi pada daging sehingga membuat daging menjadi lunak dan adanya resistensi listrik sebagai faktor yang ikut menentukan perbedaan keempukan daging. Setelah hewan dipotong, di dalam daging terjadi kompleks senyawa protein, yaitu aktin dan myosin yang disebut aktimyosin. Proses pembentukan aktimyosin yang merupakan hasil persilangan antara aktin dan myosin ini bersifat dapat balik (reversible) pada otot yang masih hidup, akan tetapi tidak dapat balik (irreversible) pada otot yang sedang atau mati. Akibat reaksi yang tidak dapat balik ini akan mengakibatkan otot menjadi kaku. Bila konsentrasi ATP kurang dari 0,1 mikro mol/gram akan menyebabkan terjadinya rigormortis (kejang bangkai). Pada kondisi ini daging menjadi keras dan kaku. Setelah terlewati, jaringan otot mengalami pasca rigor dimana daging menjadi lunak kembali (Forrest et al., 1975). Rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak mampu mempergunakan cadangan energi dan ini berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen myosin saling menindih dan terkunci (kontraksi) bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen dan otot menjadi tidak dapat diregangkan atau direlaksasi (Bate et al., 1949 dalam Soeparno, 1992). Akselerasi glikolisis di dalam otot karena stimulasi listrik bisa berbeda diantara otot. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan perubahan
186
elektrolit antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Cairan intraseluler mempunyai resistensi yang lebih tinggi daripada cairan ekstraseluler dan ruang ekstraseluler otot postmortem mengalami peningkatan. Jadi, perbedaan penurunan resistensi listrik dari bermacam-macam otot ini merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan perbedaan keempukan daging (Swatland, 1984). Pemendekan otot dapat disebabkan oleh stimulasi pemecahan ATP. Akselerasi glikolisis postmortem karena stimulasi listrik akan mempercepat tercapainya nilai pH otot yang rendah, sementara temperatur karkas masih mendekati temperatur in vivo. Pembebasan ion Ca++ dari sarkotubular pada stimulasi listrik bisa meningkatkan proteolisis oleh enzim-enzim CANP dan membran lisosomal mengalami kerusakan serta membebaskan enzim-enzim katepsin. Jadi, Peningkatan keempukan daging dapat terjadi sebagai akibat dari akselerasi aktivitas proteolitik oleh kombinasi temperatur yang relatif masih tinggi dan pH rendah. Pada kondisi seperti ini, stimulasi listrik dapat mencegah pemendekan otot (Dutson, 1977 dalam Soeparno, 1992). Warna Faktor utama yang dapat mempengaruhi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging mioglobin. Warna daging itik afkir yang dinilai secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata skor warna daging itik afkir yang diberi perlakuan stimulasi listrik. Ulangan
Perlakuan Stimulasi Listrik Kontrol
10 Volt/2 mnt
20 Volt/2 mnt
1
3.20
2.00
2.10
2
2.71
2.40
2.00
3
2.90
1.80
1.60
4 Rata-rata
2.01 2.71 ª
2.40 2.15 ª
2.20 1.98 b
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0.0).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 3 didapatkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap warna daging itik afkir. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik 20 Volt/2 menit (skor 1.98) memberikan warna yang lebih baik yaitu warna daging putih daripada stimulasi listrik 10 Volt/2 menit (skor 2.15) dan kontrol (skor 2.71). Sementara itu pada perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/ 2 menit dengan kontrol tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan adanya stimulasi listrik yang mampu mereduksi insiden warna daging yang gelap dan pembentukan ikatan serabut yang kasar pada permukaan lapisan otot sehingga memberi warna yang lebih terang pada daging. Stimulasi listrik pada karkas dapat menyebabkan warna otot lebih merah terang, kekompakan otot dan solidifikasi marbling berkembang lebih cepat dibandingkan dengan non stimulasi (Judge et al., 1984 dalam Soeparno, 1992). Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging. Hal ini disebabkan otot pucat pada suatu karkas mengandung banyak serabut putih anaerobic dengan kandungan glikogen yang tinggi. Proses konservasi piruvat menjadi laktat pada serabut otot berlangsung dengan cepat. Serabut otot anaerobik
187
yang umumnya berwarna gelap mempunyai aktivitas ATPase yang lemah dan kontraksinya lambat. Jadi, warna otot dapat berhubungan dengan tipe serabut otot atau aktivitas ATPase (Swatland, 1984). Aroma Aroma daging itik afkir yang dinilai secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata skor aroma daging itik afkir yang diberi perlakuan stimulasi listrik. Ulangan
Kontrol
Perlakuan Stimulasi Listrik 10 Volt/2 mnt
20 Volt/2 mnt
1
3.90
2.70
2.60
2
3.30
2.10
2.20
3
3.40
2.80
2.70
4
3.10
3.10
2.70
3.43 ª
2.85 b
2.55 b
Rata-rata
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 4 didapatkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap aroma daging itik afkir. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik 20 Volt/2 menit (skor 2.55) dan 10 Volt/2 menit (skor 2.85) memberikan aroma yang disukai daripada kontrol (skor 3,43). Sementara itu perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/2 menit dengan kontrol berbeda nyata. Hal ini dapat disebabkan prekursor yang tidak dapat larut dalam air serta jumlah lemak yang terdapat dalam daging. Hal ini disebabkan aroma banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak serta pembebasan substansi atrisi (volatil) yang terdapat didalam daging (Bratzler, 1971). Soeparno (1992) menyatakan bahwa kondisi tersebut dapat diartikan bahwa perlakuan stimulasi listrik yang berbeda tidak mempengaruhi aroma daging itik afkir. Selanjutnya aroma daging masak dipengaruhi oleh umur ternak, tipe makanan, jenis kelamin, waktu dan temperatur pemasakan. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemasakan dan teknik proses pengolahan daging yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada daging. Cita rasa Cita rasa daging itik afkir yang dinilai secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 5 didapatkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap cita rasa daging itik afkir. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik 20 Volt/2 menit (skor 2.80) dan 10 Volt/2 menit (skor 2.98) memberikan cita rasa yang disukai daripada kontrol (skor 3.38). Sementara itu pada perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/2 menit dengan kontrol berbeda nyata. Stimulasi listrik berpengaruh nyata terhadap cita rasa pada daging, ini dapat disebabkan faktor umur ternak yang semakin dewasa dan lemak yang banyak maka rasa pada daging akan semakin berkembang
188
Tabel 5. Rata-rata skor cita rasa daging itik afkir yang diberi perlakuan stimulasi listrik. Ulangan
Perlakuan Stimulasi Listrik Kontrol
10 Volt/2 mnt
20 Volt/2 mnt
1
3.70
3.30
3.20
2
3.40
3.00
2.80
3
3.20
3.10
2.30
4
3.20
2.50
2.90
3.38 ª
2.98 b
2.80 b
Rata-rata
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).
Perlakuan stimulasi listrik dapat meningkatkan cita rasa yang dapat berhubungan dengan pemecahan nukleotida. ADP (Adenosin difosfat) dan AMP (Adenosin monofosfat) masing-masing mengalami defosforilasi dan deaminasi menjadi asam inosinat monofosfat (IMP). Asam Inosinat, glikolitik dan asam-asam amino adalah senyawa yang sangat aktif dalam menentukan cita rasa (Bouton et al., 1958 dalam Soeparno 1992). Faktor yang mempengaruhi ransiditas dan Warmed-over-flavor (WOF) yaitu saat terjadinya ransiditas yang cepat pada teknik processing yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan daging (Gray dan Pearson ; Lillard 1987 dalam Soeparno 1992). Adanya perbedaan ini selain dipengaruhi oleh pemasakan daging, teknik proses pengolahan daging juga dipengaruhi oleh faktor umur ternak karena semakin dewasa umur ternak maka rasa pada daging akan semakin berkembang, Hal ini disebabkan karena adanya lemak yang banyak pada daging sebagaimana pendapat Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa rasa daging akan berkembang selama pemasakan daging dan dipengaruhi oleh lemak yang banyak. Kesan jus daging (Juiciness) Kesan jus daging itik afkir yang dinilai secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata skor sari minyak daging itik afkir yang diberi perlakuan listrik Ulangan 1 2 3 4 Rata-rata
stimulasi
Perlakuan Stimulasi Listrik Kontrol
10 Volt/2 mnt
20 Volt/2 mnt
2.20 2.90 3.10 2.40 2.65 b
3.20 3.40 3.10 3.10 3.20 a
3.40 2.70 3.40 3.30 3.45 a
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 6 didapatkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap sari minyak daging
189
itik afkir. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik 20 Volt/2 menit (skor 3.45) dan 10 Volt/2 menit (skor 3.20) memberikan kesan jus daging yang cukup juicy daripada kontrol (skor 2.65). Sementara itu perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/2 menit dengan kontrol berbeda nyata. Hal ini disebabkan pengaruh stimulasi listrik yang mampu memeras cairan keluar dari daging masak dengan sentrifugasi atau tekanan dan rendahnya kandungan lemak intramuskular menyebabkan daging menjadi kurang berminyak. Lemak intramuskular marbling mempunyai korelasi dengan jus daging sampai dengan 2 % lemak di dalam jus. Jumlah lemak intramuskular di dalam jaringan yang melebihi 2 % sudah tidak akan meningkatkan persepsi terhadap jus daging (Swatland, 1984). Lemak intramuskular mempunyai andil pada kesan jus daging sebagai stimulan terhadap salivasi dengan kandungan lemak intramuskular relatif sangat sedikit, akhirnya memberikan sensasi kering. Daging yang berkualitas baik secara relatif mengandung lebih banyak jus dan lemak intramuskular daripada daging berkualitas rendah. Kerusakan protein cenderung dapat menurunkan kesan jus daging dan merupakan kombinasi dari dua pengaruh yaitu kesan cairan yang dilepaskan selama pengunyahan dan salivasi yang diproduksi oleh faktor-faktor termasuk lemak intamuskular (Gaddis et al., 1950 dalam Soeparno, 1992). Tekstur Tekstur daging itik afkir yang dinilai secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata skor tekstur daging itik afkir yang diberi perlakuan stimulasi listrik. Perlakuan Stimulasi Listrik
Ulangan Kontrol
10 Volt/2 mnt
20 Volt/2 mnt
1
2.90
3.00
2.00
2
2.30
2.70
2.10
3
2.60
2.70
2.00
4
3.30
2.60
1.90
3.52 a
2.75 b
2.00 c
Rata-rata
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0.01).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 7 didapatkan bahwa perlakuan stimulasi listrik berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap tekstur daging itik afkir. Hasil uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa perlakuan stimulasi listrik 20 Volt/2 menit ( skor 2.00) memberikan tekstur yang baik yaitu tekstur daging yang sangat halus daripada stimulasi listrik 10 Volt/2 menit (skor 2.75) dan kontrol (skor 3.52). Sementara itu pada perlakuan stimulasi listrik 10 Volt/2 menit dengan kontrol berbeda nyata. Hal ini disebabkan pengaruh stimulasi listrik yang mampu membagi ikatan serabut-serabut otot besar yang dibatasi oleh septum-septum perimiseal menjadi ikatan serabut-serabut yang halus. Ukuran suatu ikatan serabut otot (fasikuli) ditentukan oleh jumlah serabut, ukuran serabut dan jumlah perimisium yang mengelilingi dan menyelimuti setiap
190
ikatan serabut otot. Tekstur menunjukkan ukuran ikatan-ikatan serabut otot yang dibatasi oleh septum-septum perimiseal jaringan ikat yang membagi otot secara longitudinal (Hammond, 1932 dalam Soeparno, 1992). Tingkat kekasaran tekstur meningkat dengan bertambahnya umur ternak. Otot dengan serabut-serabut otot yang kecil tidak menunjukkan peningkatan kekasaran tekstur secara nyata dengan bertambahnya umur (Bouton et al., 1977 dalam Soeparno, 1992). Otot dengan serabut-serabut otot yang kecil tidak menunjukkan kekasaran tekstur secara nyata dengan meningkatnya umur. Pada umumnya otot ternak jantan mempunyai tekstur yang lebih kasar daripada otot ternak betina. Bangsa ternak juga mempengaruhi tekstur otot. Jaringan ikat ternak muda mengandung retikulin dan ikatan silang lebih rendah daripada kolagen jaringan ikat ternak yang lebih tua (Hammond, 1932). KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka Dapat disimpulkan bahwa perlakuan stimulasi listrik dengan tegangan 20 Volt/2 menit dapat memperbaiki keempukan, warna dan tekstur pada daging itik afkir.
DAFTAR PUSTAKA Aberle, E. D., Forrest, J. C., Hendrick, H. B., Judge, M. D., and Merkel, R. A. 2001. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. Abustam, E. 2000. Pengolahan dan pengawetan daging dalam kursus singkat, teknik peningkatan dan penilaian karkas dan daging pada ternak sapi dengan menggunakan novel tehknologi. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Balo, R. A. H., 2002. Pengaruh penggunaan ekstrak buah nenas dan umur ternak sapi yang berbeda terhadap kualitas daging sapi bali. Skripisi Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. Bambang. S., 1998. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya Edisi III. Jakarta. Bendall, J. R., 2002. The Structure and unction of Muscle. Academic Press. New York. Badan Pusat Statistik. 2006. Tenggara. Kendari.
Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2005/2006.
BPS Sulawesi
Blakely, J., dan D.H. Bade, 1992. Ilmu Peternakan. Edisi ke Empat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bratzler, L. J. 1971. The Science of Meat and Meat Product. San Fransisco. Buckle, J. W. 1987. Animal Hormones. Studies in Biology. Edward Arnold. London. Dinhasih, E. 1998. Sifat-sifat fisik dan mikrobiologi daging sapi dengan berbagai metode deboning. Tesis. Program Pasca Sarjana ITB. Bogor.
191
Djanah, D. 1989. Beternak Itik. Penerbit Jasaguna. Jakarta. Forrest, J. C., Aberle, E. D., Hendrick, H. B., Judge, M. D., and Merkel, R.A., 1975. Principles of Meat Science. W. H. freeman and Company. San Fransisco. Gaspersz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Penerbit CV. Armico. Bandung. Elang. 2004. Itik Petelur Secara Intensif. Agromedia. Ella, A., Rusman M., dan Lompengeng A.B., 1998. Beternak Itik Balai Pengkajian Tehknologi Pertanian. Kendari. Hafid, H. 1996. Teknologi Pangan Hewani. Universitas Haluoleo. Kendari.
Penuntun Praktikum.
Fakultas Pertanian.
Hafid, H., Nuraini dan Syam, A., 2000. Kualitas daging kambing lokal dengan metode pelayuan dan pemasakan serta umur yang berbeda. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. Hammond, J. 1932. Growth and Development of Mutton Qualities In Sheep. Oliver and Boys. London. Hultin, H. O. 1976. Characteristic of Muscle Tissue, Fenhema (Ed) Principle of Food Science Part Food Chemistry. Marsel Deker inc. New York. Jamasuta, I. G. P., 1991. Evaluasi mutu daging logissimus dorsi yang diproduksi oleh sapi bali yang tidak dipekerjakan. Majalah Ilmiah UNUD. Denpasar. Jujun. 2007. Pengaruh jenis kelamin terhadap persentase karkas dan bagian-bagian karkas itik afkir. Skripisi Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. McCollum, P. D., dan Henrickson. R. L., 1977. Animal Science Research report. Oklahoma State University dan ASDA. Murtidjo, BA., 1990. Mengolah itik. Kanisius. Yogyakarta. -----------------, 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Edisi IV. Yogyakarta. Merkel, R. A., 1971. The Science of Meat and Meat Products. Editor J. F. Price dan B. S. Schweigert. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Palupi, W. D. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Pusat Dokumentasi Ilmiah LIPI. Jakarta. Rahayu, W. P., 1997. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan. Jurusan TPE-Fateta IPB. Bogor. Ranto dan Moloedya. S., 2005. Panduan Lengkap Beternak Itik. Agromedia. Jakarta. Rosmawati. 1999. Keadaan fisik dan jumlah bakteri dendeng daging sapi otot semitendinosus dengan teknik dan lama pengeringan yang berbeda. Skripsi Fakultas Peternakan Unhas. Ujung Pandang. Samosir. D. J., 1987. Ilmu Ternak itik. PT Gramedia. Jakarta.
192
Smith, R. H dan McAllan, A. B., 1971. Digestion and Metabolism in the Ruminant. The University of New England Publishing Unit. Armidale NSW. Soekarto, S. T. dan Hubeis, M. 1992. Petunjuk Laboratorium Metode Penelitian Indrawi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. ITB. Bogor. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Anggota IKAPI. Yogyakarta. Srigandono, B. 1991. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. -----------------. 1997. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. -----------------. 1998. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Priyatno. M. A., 1996. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya. Edisi II. Jakarta. Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Englewood Cliffs.
Prentice-Hall Ine.
Zubair, F., 1998. Peranan pemberian cacl2, lama maturasi dan temperatur pemasakan pada kualitas daging (otot semitendinosus) kerbau. Skripisi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
193