6. KARAKTERISTIK SIFAT FISIK KIMIA DAGING DAN ORGANOLEPTIK Pendahuluan Tikus ekor putih merupakan hewan alternatif penghasil daging yang dagingnya hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja yakni masyarakat Sulawesi Utara khususnya di kabupaten Minahasa dan kota Manado Beberapa sifat fisik dan kimia daging erat hubungannya dengan kualitas daging. Hal ini disebabkan sifat-sifat tersebut merupakan faktor penentu dalam penilaian kualitas ataupun mutu daging. Pada dasarnya kualitas daging ditentukan oleh selera konsumen dan nilai gizi dari daging itu sendiri. Kualitas daging di setiap daerah atau negara untuk waktu tertentu bisa berubah-ubah sesuai dengan penilaian (selera) konsumen. Nilai seekor ternak potong ditentukan oleh beberapa faktor antara lain persentase berat karkas, kandungan nilai gizinya antara lain kadar protein, kadar lemak, asam lemak, pH, daya mengikat air daging, dan nilai glikogen dari daging tersebut Sehubungan dengan telah dibudidayakannya tikus ekor putih perlu diketahui tingkat kesukaan masyarakat terhadap daging tikus ekor putih dibandingkan dengan daging lain, sebab kualitas daging ditentukan juga oleh tingkat kesukaan (preferensi) masyarakat. Preferensi adalah kecenderungan pilihan seseorang terhadap sesuatu dibandingkan dengan yang lain. Preferensi merupakan perwujudan penilaian alternatif yang merupakan tahap ketiga dalam perilaku konsumen setelah tahap pengenalan dan pencarian informasi. Ditinjau dari aspek gizi belum ada penelitian mengenai kandungan zat gizi dari tikus ekor putih dan untuk membuktikan tingkat kesukaan masyarakat di Sulawesi Utara terhadap daging tikus ini, maka telah dilakukan penelitian tentang karakteristik daging tikus ekor putih dan pengujian tingkat kesukaan daging tikus ekor putih dibandingkan dengan daging lain. Penelitian bertujuan menguji sifat fisik kimia daging tikus dan tingkat kesukaan masyarakat di Sulawesi Utara khususnya kota Manado dan Kabupaten Minahasa terhadap daging tikus dibandingkan dengan daging sapi, daging babi, daging anjing, dan daging ayam.
58
Bahan dan Metode Materi penelitian terdiri atas daging tikus ekor putih, daging babi, daging ayam, daging anjing, daging sapi, serta akua. Daging tikus ekor putih diperoleh dari 75 ekor. Alat yang digunakan adalah kamera, alat tulis menulis, jam, timbangan, Warner Bratzer Shear, pisau, termometer bimetal, panci, kompor, pH meter, kertas saring, piring, tissue, dll Secara khusus untuk penentuan analisis sifat fisik dan kimia daging digunakan 25 ekor daging tikus yang diambil dari bagian paha, Analisis pengujian organoleptik, menggunakan 50 ekor tikus, yang dipotong dan dibersihkan dari rambutnya,
dikeluarkan
alat
pencernaannya
kemudian
dipotong-potong
berbentuk dadu dan dipanggang. Prosedur yang sama diberlakukan juga untuk jenis daging lainnya. Parameter yang diamati a. Bobot Karkas Segar Bobot karkas segar diperoleh dari tikus yang dipotong dan dikeluarkan darah, rambut, kepala dan kaki serta alat pencernaannya. b. Persentase Karkas Persentase karkas diperoleh dari bobot karkas dibagi bobot hidup dan dikalikan 100 atau dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : A Persentase Karkas (%) =
x 100
B Dimana : A = bobot karkas (g) B = bobot hidup (g) c. Kadar Glikogen Daging Kadar glikogen daging dianalisis dengan metode Seifter et al., (1950), dengan menggunakan bahan-bahan asam sulfat 95% (5 ml H2O ditambah 95 ml) 0,2% anthrone (0,2 g anthrone + 95% asam sulfat sehingga volume 100 ml), dan 30% KOH (30 g KOH ditambah H2O sampai mencapai volume 100 ml), 95% etanol (ethyl alkohol). Prosedur analisisnya yaitu KOH 30% sebanyak 1 ml ditambahkan pada sampel sebanyak 25 mg dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Setelah itu ditambahkan dengan etanol dan kemudian disentrifus selama 20 menit pada kecepatan 2500 rpm.
59
Endapan yang tersisa dipisahkan dari larutan (supernatan) hasil sentrifus yang ada di atas, kemudian ditambahkan 2,5 ml H2O dan 3 ml larutan anthrone lalu dihomogenkan dengan vorteks. Setelah itu dibaca dengan spektrometer pada panjang gelombang (λ) 620 nm. Kurva standar untuk glikogen : 250 : 250 µg dari standar + 750 µl H2O 200 : 200 µg dari standar + 800 µl H2O 150 : 150 µg dari standar + 850 µl H2O 100 : 100 µg dari standar + 900 µl H2O 75 : 75 µg dari standar + 925 µl H2O 50 : 50 µg dari standar + 950 µl H2O 25 : 25 µg dari standar + 975 µl H2O d. Analisis Kadar Abu Analisis kadar abu menggunakan metode Apriyantono et al. (1989), sebanyak 5 sampai 10 g daging tikus segar dimasukkan ke dalam cawan pengabuan; sebelumnya berat cawan sudah ditentukan. Mula-mula sampel dibakar pada pembakar burner untuk menguapkan sebanyak mungkin zat organik yang ada (sampai sampel tidak berasap lagi) kemudian cawan di pindahkan ke dalam tanur dengan suhu 600oC sampai semua karbon berwarna keabuan, apabila semua sampel berwarna keabuan, cawan pengabuan dimasukan ke dalam desikator untuk didinginkan. setelah dingin ditimbang sampai berat tetap. Perhitungan kadar abu daging tikus adalah : berat abu (g) x 100 % % kadar abu = berat sampel (g) e. Analisis Kadar Air (AOAC, 1989) Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C selama 10 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel seberat 3 g ditimbang dalam cawan kemudian dimasukan ke dalam oven dengan suhu 1050C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Berat sampel (g)
= W1
Berat sampel setelah dikeringkan (g)
= W2
Kehilangan bobot (g)
= W3 atau (W1-W2)
Kadar air (%)
= W3/ W2 X 100%
60
f. Kadar Protein kasar Kira-kira 0,3 g sampel (x) ditimbang dengan teliti dan dimasukkan ke dalam labu destruksi.
Kira-kira 3 sendok kecil katalis campuran Selen serta 20 ml
H2SO4 pekat teknis ditambahkan secara homogen. Campuran tersebut dipanaskan dengan alat destruksi mula-mula pada posisi low kira-kira 10 menit, kemudian pada posisi med selama 5 menit dan pada posisi high sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Proses ini berlangsung di dalam ruang asam. Setelah itu labu destruksi didinginkan dan larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N. Ditambahkan beberapa butir batu didih dan larutan dijadikan basa dengan menambahkan 100 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling dipasang dengan cepat di atas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua N telah tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam erlenmeyer atau bila 2/3 cairan dalam labu penyuling telah menguap. Labu erlenmeyer yang berisi hasil sulingan tadi diambil dan kelebihan H2SO4 dititer kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi berhenti setelah terjadi perubahan warna dari biru kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai z ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko. Penentuan kadar protein kasar adalah : ( y - z ) x titar NaOH x 14 x 6,25 Protein kasar
=
x 100% berat sampel (x ) gram
g. Kadar Lemak Kasar Penentuan kadar lemak dengan metode Sochlet. Sebuah labu lemak dengan beberapa butir batu didih di dalamnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 sampai 110oC selama 1 jam. Didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang misalnya a g Sampel kira-kira 1 g atau x g, dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke dalam alat FATEX-S dan ditambahkan larutan petroleum ether sebagai larutan pengekstrak. Suhu alat tersebut diatur pada 60oC dan waktu selama 25 menit. Proses ekstraksi dilakukan hingga alat berbunyi. Kemudian larutan petroleum ether bersama lemak yang larut diturunkan, dan dievaporasi dengan mengubah suhu pada 105oC sampai alat FATEX-S berbunyi.
61
Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam alat pengering oven dengan suhu 105oC selama 1 jam. Setelah itu didinginkan di dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang kembali dengan berat misalnya b g. Penentuan kadar lemak kasar : (b - a) Kadar lemak kasar :
x 100% x
h. Analisis Komposisi Asam Lemak Analisis komposisi asam lemak dilakukan dengan cara (1) mengekstraksi lemak dengan metode Folsch (2) metilasi untuk memperoleh ester metil dari asam lemak yang kemudian dapat dianalisis lebih lanjut dengan GC 1. Ekstrasi lemak metode Folsch dan Stanly (1957). Sampel yang telah dikeringkan dengan freeze dryer ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dilakukan inaktivasi enzim dengan menambah 10 ml metanol, lalu diaduk selama 5 menit dan disonikasi selama 5 menit. Campuran diinkubasi selama 18 jam
pada suhu 15oC, setelah diinkubasi ditambahkan dengan
kloroform jenuh sebanyak 20 ml dan diaduk selama 5 menit. Campuran disaring dengan kertas saring, residu yang tertinggal ditambahkan dengan 30 ml campuran kloroform-metanol (2:1) dan diaduk selama 5 menit kemudian disaring. Ekstraksi diulang sekali lagi. Seluruh filtrat dicampur dan disatukan dalam labu pemisah, kemudian ditambahkan 2 ml NaCl 0,88% kocok dan kemudian dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian bawah (larutan a) dipisahkan dari lapisan atas. Lapisan atas ditambah 10 ml metanol-NaCl 0.88% (1:1) lalu dikocok dan dibiarkan sampai terpisah. Lapisan bagian bawah dicampur dengan larutan a sedangkan bagian atas dibuang. Lapisan a kemudian dipekatkan sampai berat tetap, selanjutnya larutan a ini dapat digunakan untuk analisis asam lemak. 2. Metilasi (IUPAC, 1987) Pada prinsipnya trigliserida disabun untuk membebaskan asam-asam lemak yang kemudian diesterifikasi dengan metanol dengan bantuan katalisator BF3 (Boron Triflourida). Untuk kualifikasi digunakan standar internal asam margarat (C17). Prosedur metilasi adalah mula-mula ditimbang sebanyak 25-30 mg lemak dalam tabung reaksi. Sebanyak 1 ml standar internal (asam margarat = 10 mg asam margarat/10 ml heksan) dan 1 ml larutan NaOH 0,5 N dalam metanol dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Headspace dalam tabung diisi dengan gas N2. Tabung reaksi dipanaskan dalam air panas selama 5 menit
62
untuk melarutkan lemak agar tercampur lebih merata dalam larutan. Selanjutnya tabung reaksi didinginkan dalam air dan ditambahkan campur BF3 dalam metanol sebanyak 2 ml. Tabung reaksi dipanaskan kembali dalam air mendidih selama 30 menit. Setelah itu tabung reaksi didinginkan dan ditambah heksan sebanyak 1 ml serta dipanaskan kembali selama 1 menit untuk menyempurnakan larutan ester metil dalam heksan. Tabung reaksi didinginkan dan ditambah 3 ml Na Cl jenuh guna menyempurnakan pencampuran ester metil dalam metanol dan heksan. Campuran tersebut dikocok dan lapisan atas dipipet. Lapisan atas dimasukkan ke dalam vial yang diberi Na2S04 anhidrat. Campuran dipekatkan dengan ditiup gas N2 dan siap disuntik ke kromatografi gas. Asam lemak pada daging tikus diidentifikasi menggunakan kromatografi gas dengan standar internal. Instrumen kromatografi gas yang digunakan adalah tipe GC-9 AM (Shimadzu). Intregrator berupa chromatopac C-R6A (Shimadzu). Prosesor data menggunakan FDD-1A, program versi 1,5 (Shimadzu). Adapun kondisi komatografi gas yang digunakan mengikuti metode Indrawati (1997) dengan menggunakan kolom kapiler DB 23 panjang 60 meter. Diameter dalam 0,25 mm dan ketebalan lapisan 0,25 mikro detektor yang digunakan tipe FID (Flame ionisation Detector). Gas pembawanya heliun dengan tekanan 1 kg/cm2. Gas pembakarnya adalah udara dan H2 dengan tekanan masing-masing 0,5 kg/cm2 suhu detektor 260oC dan suhu injektor 250oC. sampel diinjeksi dengan teknik injeksi splitless dengan volume injeksi sebanyak 1 mikro. Suhu diprogram dengan suhu awal 140oC yang dipertahankan selama 6 menit, kemudian dinaikan suhunya dengan laju kenaikan suhu 30oC/menit. Suhu terakhir adalah 230oC ditahan selama 20 menit. Mengidentifikasi asam lemak, dilakukan penyuntikan standar-standar ester metil asam lemak pada kondisi yang sama dengan kondisi sampel dan penentuan nilai RRT (Relative Retention Time). Perhitungan RRT adalah sebagai berikut: Waktu retensi komponen x RRTx = Waktu retensi standar internal RRTx = Relative retention time komponen x Selanjutnya RRTx ini dibandingkan dengan RRT standar etil metil asam lemak yang disuntikkan untuk megidentifikasi komposisi asam lemak pada sampel
63
Tabel 11 Komposisi ester metil asam lemak standar 74 Jenis Asam Lemak 8:0 10:0 12:0 13:0 14:0 15:0 16:0 16:1 17:0 18:0 18:1 18:2 18:3 20:0 22:0
Persentase Berat 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666
Jumlah luas area
Waktu Retensi (menit) 7.543 9.898 14.023 16.658 19.497 22.400 25.310 26.175 28.095 30.830 31.535 32.817 34.418 35.870 41.142
Luas Area 65.553 94.542 107.957 112.073 111.047 109.962 135.139 108.128 102.419 99.791 146.505 104.113 87.282 76.321 65.026
1.461.732
Tabel 12 Komposisi ester metil asam lemak standar 84 Jenis Asam Lemak 16:0 17:0 18:0 18:1 18:2 18:3 20:0 20;1 20:4 20:6
Persentase Berat 10 5 10 5 20 5 10 10 15 10
Jumlah luas area
Waktu Retensi (menit) 25.138 27.897 30.660 31.310 32.732 34.247 35.760 36.467 39.208 48.990
Luas Area 70.704 34.531 68.192 36.185 142.877 34.021 64.890 68.903 99.057 56.784 619.360
Kuantifikasi Komponen Asam Lemak Kosentrasi masing-masing komponen asam lemak pada sampel dihitung dengan nilai RF (Respons Factor) dari masing-masing komponen tersebut dibandingkan dengan standar internal. Standar internal yang digunakan adalah standar 74 dan standar 84 dengan komposisi ester metil asam lemak tersebut dapat dilihat pada tabel 11 dan 12. Perhitungan RF dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
64
area standar internal RF =
mg asam lemak standar X
mg standar internal
area asam lemak standar
Setelah diperoleh nilai RF, maka kosentrasi asam lemak (KAL) dapat dihitung dengan persamaan: area asam lemak KAL =
mg asam lemak standar X
g lemak
X RF(mg asam lemak/kg lemak) area standar internal
Selain dalam bentuk konsentrasi, kuantifikasi asam lemak juga dapat dinyatakan dalam % relatif area dengan persamaan : area asam lemak % relatif area asam lemak =
X 100% total area asam lemak
i. pH Daging Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sampel daging yang sudah dihaluskan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam gelas beker, dan diencerkan dengan akuades sampai 100 ml kemudian dicampur dengan menggunakan mikser selama 1 menit. Setelah itu diukur pHnya dengan pH meter yang telah dikalibrasi. j. Daya Mengikat Air Daging (water holding capacity = WHC) Pengukuran ini dilakukan dengan metode penekanan (press Method) sesuai petunjuk Hamm (1972), yaitu dengan membebani 0.3 g sampel daging pada suatu kertas saring (filter) di antara 2 plat dengan beban 35 kg setelah 5 menit, daerah yang tertutup sampel daging dan luas daerah basah di sekitarnya ditandai dan diukur. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel daging dari luas total (daerah basah + daging) dan luas daerah yang tertutup daging dengan menggunakan planimeter. Kemudian daya mengikat air dapat dihitung dengan menggunakan rumus : daerah basah (cm2) Mg H2O =
- 0.8 0.0948
Nilai kandungan air yang diperoleh berdasarkan rumus, selanjutnya dipersentasekan terhadap bobot sampel yaitu 0.3 g.
65
k. Flavor dan Penerimaan Umum (Organoleptik) Pengujian flavor dan penerimaan umum dengan uji organoleptik (Soekarto, 1985) yaitu dilakukan dengan menggunakan uji hedonik. Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Pada uji ini panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan dan ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan dikenal sebagai skala hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 75 orang. Skala hedonik yang dipakai terdiri atas 5 skala kesukaan dari sangat suka (1) sampai sangat tidak suka (5), seperti yang tercantum pada format uji.
Gambar 20 Pengujian organoleptik daging tikus ekor putih 5. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kruskal Wallis (Gibbons 1975). Apabila terdapat perbedaan dilakukan uji lanjut yang dikembangkan oleh Gibbons yaitu Mood Median Test.
66
FORMAT UJI Tanggal Pengujian : 16 Oktober 2003 Nama Panelis
:
Uji
: Hedonik
Bahan Uji
: Berbagai jenis daging
Instruksi
: Setelah mencicipi semua sampel, nyatakan penilaian dengan tanda (v) terhadap flavor dan penerimaan umum yang anda rasakan Penilaian
No 1.
Sangat suka
2.
Suka
3.
Netral
4.
Tidak suka
5.
Sangat tidak suka
113
287
Kode Sampel 763 897
108
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih. Produksi Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah dikurangi bagian kepala, keempat kaki (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam (hati, jantung paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta isinya dan saluran reproduksi (Berg dan Butterfield, 1976; Lawrie, 1995). Nilai rataan produksi karkas segar tikus ekor putih berdasarkan habitat hidup tercantum dalam Tabel 13. Pada Tabel 13, dapat dilihat bahwa tikus ekor putih yang dibudidaya mempunyai persentase karkas segar lebih tinggi dari pada tikus yang hidup pada habitat aslinya di hutan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas tikus yang hidup di hutan lebih tinggi sehingga energi yang tersedia digunakan untuk beraktivitas sedangkan tikus yang dibudidaya aktivitasnya sedikit karena ruang geraknya dibatasi dalam kandang sehingga energi yang tersedia digunakan untuk meningkatkan bobot badan sehingga bobot badan lebih tinggi dibandingkan tikus yang hidup di hutan.
67
Tabel 13 Persentase karkas berdasarkan habitat hidup (%) Tikus Hutan
Rataan % karkas 57,67 ± 1,15
Budidaya
62,19 ± 3,62
Selanjutnya (Aberle et al., 2001, Lawrie 1995, Ockerman 1985, Fernandez et al., 1996) menyatakan bahwa ternak yang beraktivitas tinggi menyebabkan cadangan glikogen terbatas, bila dalam keadaan kekurangan glikogen terusmenerus ternak akan memanfaatkan cadangan energi tubuh yang berdampak pada penurunan bobot badan. Hal ini sejalan dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) yang menyatakan bahwa produksi karkas berhubungan dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas. Komposisi Kimia Daging Komposisi kimiawi daging sangat menentukan nilai nutrisi atau kualitas daging. Gambaran komposisi kimiawi segar tikus ekor putih secara rinci tercantum pada Tabel 14. Tabel 14 Analisis proksimat daging tikus ekor putih,daging napu, daging sapi, daging babi, daging ayam, daging domba, dan daging itik lokal Komposisi Air (%)
Tikus 1) BD 63,27
Tikus 1) Hutan 64,00
Protein (%)
19,11
Lemak (%)
2)
Napu
3)
Sapi
3)
Babi
Ayam
3)
Domba
3)
Itik
4)
76,04
71,50
69,00
73,70
73,00
70,96
19,84
22,28
21,00
19,50
21,50
20,00
16,48
3,41
1,87
1,43
6,00
10,00
5,50
5,50
6,84
Abu (%)
0,99
0,74
3,17
1,00
1,40
1,00
1,60
1,13
Ca (mg/100g)
6,96
7,18
-
-
-
-
-
-
P (mg/100g)
6.25
6,38
-
-
-
-
-
-
1
Keterangan : Hasil analisis, 2) Hultin (1985), 3) Rini (2001), 4) Arifin (2004).
Komponen kimiawi utama penyusun daging terbesar adalah air (61,12% sampai 64%), protein (masing-masing berkisar 16,96% untuk tikus yang dibudidaya dan 19,84% tikus yang ditangkap dari hutan), lemak 3,26% untuk tikus yang dibudidaya dan 1,63% tikus yang ditangkap dari hutan. Hal ini masih sejalan dengan Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa komponen utama daging adalah air 75%, protein 19%, dan lemak 3,69%.
68
Pada tabel 14 terlihat bahwa kadar air daging tikus paling rendah dibandingkan daging ternak domestik lain. Protein daging tikus ekor putih hampir sama dengan daging itik, daging babi, dan domba namun lebih rendah dari daging napu, daging ayam, dan daging sapi. Kadar lemak daging tikus ekor putih paling rendah dibandingkan dengan kadar lemak daging ternak domestik lainnya kecuali daging napu. Dilihat dari komposisi kimia dagingnya, tikus yang ditangkap dari hutan masih mengungguli tikus hasil budidaya, dimana kadar protein daging tikus yang dibudidaya lebih rendah dari pada tikus yang ditangkap di hutan. Hal ini disebabkan di kandang budidaya, tikus kurang mengkonsumsi pakan sumber protein, sedangkan di hutan, tikus bebas berburu mangsa berupa serangga yang merupakan sumber protein. Lemak tikus budidaya hampir dua kali lebih tinggi dibanding dengan tikus dari hutan hal ini karena aktivitas tikus di hutan sangat tinggi sedangkan tikus budidaya aktivitasnya terbatas hanya dalam kandang saja. Faktor-faktor yang menentukan kandungan lemak daging adalah keadaan serabut otot, jenis ternak, umur, makanan ternak, jenis kelamin, aktivitas yang dilakukan (Lawrie, 1995; Aberle et al., 2001). Meskipun mengkonsumsi lemak yang berlebihan umumnya dianggap sebagai salah satu penyebab terkenanya penyakit jantung koroner, kita tidak dapat meninggalkan lemak dalam makanan. Hal ini karena lemak pangan mempunyai bermacam-macam fungsi yang penting, di antaranya sebagai sumber energi, penyediaan vitamin yang larut dalam lemak yang diperlukan untuk sintesis hormon tertentu, untuk menyusun sel-sel membran, selain itu juga sebagai penentu tekstur dan cita rasa bahan makanan (Djojosoebagio dan Piliang, 2002). Asam laurat, miristat, palmitat dan stearat merupakan kelompok asam lemak jenuh (saturated fatty acids/SFA) yang terdapat pada daging tikus. Kosentrasi asam lemak jenuh yang tertinggi yang terkandung pada daging tikus ekor putih adalah asam palmitat yang diikuti asam stearat, miristat, dan laurat, masing-masing sebesar 31,2% ; 7,08% ; 4,72% dan yang paling kecil asam laurat 0,27% Asam miristat dan palmitat merupakan kelompok asam lemak jenuh yang diduga sebagai
penyebab
utama hiperkolesterolemia (Scientific Review
Committee, 1990) kedua asam lemak tersebut dapat memicu peningkatan produksi LDL (low density lipoprotein) yang merupakan salah satu kolesterol
69
jahat, kandungan asam palmitat pada daging tikus ini lebih tinggi dari yang ada di daging babi, daging sapi dan daging napu ( Engel et al., 2001; Laborde et al., 2001; Arifin, 2004). Selanjutnya Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pada daging sapi asam lemak jenuh yang mendominasi lemak intramuscular adalah asam palmitat dan asam stearat. Asam
palmitoleat,
oleat,
linoleat,
linolenat,
arakidonat merupakan kelompok asam lemak
dekosaheksanoat
dan
tak jenuh (unsaturated fatty
acid/UFA), yang terdapat pada daging tikus ekor putih. Kosentrasi asam lemak tak jenuh yang tertinggi adalah asam oleat yang lebih dikenal omega 9 sebesar 40,19% dan diikuti oleh linoleat, linolenat, dokosaheksaenoat dan arakidonat yang masing-masing sebesar 4,36%; 1,74%; 1,29% dan 1,25%. Asam linoleat dan asam linolenat merupakan asam lemak essensial karena tubuh tidak dapat mensintesis kedua asam lemak tersebut (Djojosoebagio dan Piliang, 2002). Selain itu linoleat digunakan untuk mensintesis prostaglandin yang mempunyai sifat-sifat hormon serta terlibat dalam banyak fungsi tubuh. (Montgomery et al., 1993; Murray et al.,1999). Komposisi asam lemak daging tikus ekor putih yang dapat dideteksi terdapat dalam tabel 15. Tabel 15 Komposisi asam lemak daging tikus ekor putih, daging babi, daging sapi, dan daging napu Asam Lemak ALJ C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 ALTJ C16:1 C18:1 C18:2 C18:3 C20:4 C22:6
Nama asam lemak
Tikus 1) budidaya
Tikus 1) hutan
2)
3)
Babi
Sapi
4)
Napu
Lauric Miristat Palmitat Stearat
0,39 2,94 31,95 6,97
0,27 4,72 31,2 7,08
1,51 24,86 11,24
27,02 27,02 13,16
1,66 2,22 20,71 18,67
Palmitoleic Oleat Linoleat Linolenat Arachidonat Decosahexaenoic
8,82 40,72 3,99 1,4 1,34 1,27
7,72 40,19 4,36 1,74 1,25 1,29
4,38 48,57 7,03 0,28 0,10 -
3,13 39,45 3,60 0,51 0,07
1,11 15,98 2,50 1,51 2,67 2,08
Keterangan:1) Hasil analisis; 2) Engel et al. (2001); 3) Laborde et al. (2001); 4) Arifin (2004). ALJ) Asam Lemak Jenuh, ALTJ) Asam Lemak Tak Jenuh.
Asam linoleat adalah salah satu anggota omega 3 yang diperlukan tubuh untuk memproduksi asam dokosaheksaenoat (DHA) dan asam eikosapentaenoat (EPA). DHA sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan otak (Stone, 1996 dan Simopoulos, 1991). Selain itu juga berfungsi sebagai molekul dasar dalam struktur dan aktivitas membran seluruh sel, mengontrol respon immun,
70
mempengaruhi respon pembuluh darah, mempengaruhi metabolisme hormon, efektif menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida (Harris, 1997). Omega 3 yang terkandung dalam daging tikus ekor putih terdiri atas asam linolenat dan asam dokosaheksaenoat. Asam linolenat daging tikus ekor putih lebih tinggi dari pada daging babi, daging sapi dan daging napu. Asam dokosaheksaenoat yang terkandung pada daging tikus lebih tinggi dari pada daging sapi dan daging napu, hal ini disebabkan karena tikus merupakan ternak omnivora apa yang dimakan akan terakumulasi dalam daging tidak terdegradasi dalam rumen seperti pada ruminansia. Omega 6 daging tikus ekor putih terdiri atas asam linoleat dan asam arakidonat, dimana untuk asam linoleat daging tikus ekor putih lebih tinggi dari daging sapi dan daging napu namun lebih rendah dari daging babi. Sedangkan untuk asam arakidonat daging tikus ekor putih lebih tinggi dari daging babi namun lebih rendah dari daging napu. Asam lemak omega 6 dapat digunakan untuk mensintesis asam arakidonat suatu intermediat dalam sintesis eicosanoids, suatu kelompok susbtansi regulator dan asam lemak omega 6 juga memperlihatkan kemampuan menyerap air lewat kulit dan integritas kelenjar pituitari. Kandungan asam oleat (omega 9) pada daging tikus lebih tinggi dibandingkan pada daging sapi dan daging napu tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan daging babi. Asam oleat bukan asam lemak esensial karena tubuh dapat mensintesis asam tersebut (Murray et al.,1999) Menurut Osman et al. (2001), PUFA khususnya omega 3 dan omega 6 sebagai asam lemak essensial untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler, perkembangan saraf pada bayi, kanker dan kontrol glikemik lemak. Tetapi bilamana omega 6 dalam bentuk tunggal, dapat memiliki sifat negatif karena berkaitan dengan peningkatan produksi eicosanoids (stimulan pertumbuhan tumor pada binatang percobaan). Namun dengan adanya omega 9 dan omega 3 dalam proporsi yang sesuai akan memiliki potensi memblokir produk senyawa eicosanoids tersebut, peran omega 9 mencegah stimulasi negatif omega 6, selanjutnya menurut Muchtadi (2000) mengkonsumsi PUFA (omega 6) yang berlebihan tanpa diimbangi konsumsi omega 3 dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan. Demikian pula apabila keseimbangan antara omega 3 dan omega 6 terganggu, menyebabkan darah mudah menggumpal. Kedua hal ini
71
tidak menguntungkan karena rasio LDL/HDL Indeks penyakit jantung koroner yang menurun dan mudahnya darah menggumpal tidak dapat mencegah bahkan dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner. Omega 9 memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan LDL kolesterol darah, meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding omega 3 dan omega 6, MUFA dapat menurunkan kolesterol (LDL-kolesterol) (Muchtadi, 2000). Kadar Glikogen, pH dan Daya Ikat Air Daging Hasil penelitian kadar glikogen, pH dan air bebas daging tikus ekor putih yang dibudidaya dan ditangkap di hutan serta daging napu, daging domba dan daging sapi, dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Kadar glikogen, pH dan kandungan air bebas dari berbagai jenis daging Parameter
1)
Glikogen (%)
Tikus Tikus hutan 1) budidaya 0,86 ± 0,06 0,85 ± 0,09
pH
6,22 ± 0,05
6,30 ± 0,10
31,61 ± 2,36
31,42 ± 1,28
Air Bebas (%)
2)
Napu -
Domba
3)
4)
Sapi
0,80 ± 0,09
-
6,36
6,10 ± 0,10
5,63 ± 0,08
45,30
32,20 ± 1,29
39,11 ± 1,09
Keterangan: 1) Hasil analisis; 2) Arifin (2004); 3) Dewi (2004); 4) Wahyuni (1998).
Pada Tabel 16 terlihat kadar glikogen daging tikus yang hidup di hutan (0,85%) lebih kecil persentasenya dibandingkan dengan daging tikus hasil budidaya (0,86%), namun bila dibandingkan dengan daging domba (0,80%) kadar glikogen daging tikus lebih tinggi. Selanjutnya nilai pH daging tikus hasil budidaya (6,22) lebih rendah dari daging tikus yang hidup di hutan (6,30), namun bila dibandingkan dengan daging domba (6,10) dan daging sapi (5,63) pH daging tikus lebih tinggi, namun bila dibandingkan dengan daging napu (6,36) daging tikus masih lebih rendah. Persentase air bebas yang rendah menunjukkan nilai daya mengikat air daging oleh protein daging yang tinggi. Persentase air bebas yang tinggi menunjukkan nilai daya mengikat air rendah (Babiker dan Bello, 1986). Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa daging tikus yang hidup di hutan mempunyai kadar air bebas (31,42%) lebih rendah dibandingkan dengan tikus hasil budidaya (31,61%), hal ini berarti daya mengikat air tikus yang hidup di hutan lebih baik dari pada yang dibudidaya. Bila dibandingkan dari semua jenis daging. daya mengikat air daging tikus masih lebih baik kemudian diikuti daging domba (air
72
bebas 32,2%), daging sapi (air bebas 39,11%), dan yang paling tinggi adalah daging napu (air bebas 45,30%). Tingginya kadar glikogen tikus budidaya bila dibandingkan dengan tikus di hutan disebabkan aktivitas tikus hutan lebih tinggi, sehingga terjadi pengurasan glikogen akibatnya pada saat dipotong penurunan pH belum sempurna, sehingga pH pada daging tikus yang dari hutan lebih tinggi dari yang dibudidaya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Wismer-Pedersen, 1971; Shorthouse dan Withes, 1988; Soeparno, 1994; Fernandez et al., 1996; Aberle et al., 2001) yang menyatakan bahwa ternak yang melakukan aktivitas mengalami pengurasan glikogen otot yang akan meningkatkan nilai pH, dan menurunkan persentase daya mengikat air daging. Organoleptik Uji Flavor di Kabupaten Minahasa Hasil Uji organoleptik dengan menggunakan uji hedonik tingkat kesukaan terhadap flavor dan penerimaan umum daging tikus, daging ayam, daging anjing, daging babi, dan daging sapi dapat dilihat di Lampiran 2. Uji hedonik menilai tingkat kesukaan terhadap berbagai jenis daging yaitu: nilai 1 = sangat suka, 2 = suka, 3 = netral,
4 = tidak suka dan 5 = sangat tidak suka. sedangkan nilai
mediannya dapat dilihat pada Gambar 21. Data hasil uji hedonik dianalisis menggunakan Uji Kruskall-Wallis (SAS, 1999) dan hasilnya menunjukkan bahwa penerimaan panelis terhadap tingkat kesukaan flavor di kabupaten Minahasa dan kota Manado serta tingkat kesukaan penerimaan umum di kabupaten Minahasa dan kota Manado pada berbagai jenis daging berbeda sangat nyata. Hasil uji median test terhadap tingkat kesukaan flavor jenis daging pada masyarakat di kabupaten Minahasa terlihat pada Gambar 21. Ternyata masyarakat di kabupaten Minahasa, paling menyukai flavor daging anjing sama dengan menyukai flavor daging tikus, dengan mencapai nilai median dua. Untuk daging anjing, kisaran ranking kesukaan flavor yang dipilih panelis adalah berada pada kisaran sangat suka sampai sangat tidak suka. Untuk daging tikus kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah mulai peringkat sangat suka sampai peringkat netral (antara suka dan tidak suka). Untuk daging babi dan daging ayam pada posisi kedua dengan nilai median tiga atau netral (antara disukai dan tidak disukai).
73
5
Flavor
4
3
2
1 Anjing
Babi
Tikus
Ayam
Sapi
Jenis Daging
Gambar 21 Kesukaan flavor tikus ekor putih di kabupaten Minahasa Hasil penelitian daging babi pilihan panelis terhadap ranking kesukaannya, kisarannya adalah antara suka sampai sangat tidak suka. Untuk daging ayam kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah dari suka sampai tidak suka yang kisarannya makin sempit. Sangat berbeda dengan daging sapi yang paling terakhir disukai dengan mencapai nilai median empat atau tidak disukai, dimana panelis menempatkan pada posisi ranking kesukaannya adalah mulai peringkat suka sampai peringkat sangat tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di kabupaten Minahasa bila disajikan semua jenis daging mereka paling terakhir memilih daging sapi. Uji Flavor di Kota Manado Dari
hasil
uji
hedonik
dengan
menggunakan
Uji
Kruskall-Wallis
menunjukkan bahwa penerimaan panelis terhadap tingkat kesukaan flavor jenis daging berbeda sangat nyata. Hasil uji Median test terhadap tingkat kesukaan flavor terhadap berbagai jenis daging terlihat pada Gambar 22. Daging ayam terdapat pada peringkat pertama paling disukai dengan nilai median dua atau disukai dan dipilih panelis antara kisaran sangat disukai dan netral (antara suka dan tidak suka).
74
5
Flavor
4
3 2
1 Tikus
Babi
Ayam
Anjing
Sapi
Jenis daging
Gambar 22 Kesukaan flavor tikus ekor putih di kota Manado Jika daging ayam dibandingkan dengan keempat jenis daging lainnya, daging tikus, daging babi, daging sapi dan daging anjing diperoleh hasil dengan nilai median yang sama yaitu tiga atau netral (antara suka dan tidak suka). Untuk daging anjing kisaran pilihan adalah dari suka dan tidak disukai. Untuk daging babi kisaran pilihan adalah antara suka dan sangat tidak suka, dan untuk daging tikus kisaran pilihan adalah dari sangat suka dengan kisaran yang sangat luas. Hal ini sangat nyata berbeda dengan flavor daging sapi, masyarakat memilih peringkat terakhir disukai dengan menduduki nilai median empat atau tidak disukai akan tetapi, nilai kisaran kesukaannya mulai suka sampai sangat tidak suka. Uji Penerimaan Umum Jenis Daging di Kabupaten Minahasa Hasil uji median test terhadap tingkat penerimaan umum jenis daging pada masyarakat di kabupaten Minahasa terlihat pada Gambar 23. Ternyata masyarakat di kabupaten Minahasa penerimaan daging anjing sama dengan penerimaan daging tikus yang mencapai nilai median dua atau disukai. Untuk daging anjing, kisaran ranking penerimaan umum yang dipilih panelis adalah berada pada kisaran sangat suka sampai tidak suka. Untuk daging tikus kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah mulai peringkat sangat suka sampai peringkat netral (antara suka dan tidak suka), yang kisarannya makin sempit.
75
Penerimaan umum
5
4
3
2
1 Anjing
Babi
Tikus
Ayam
Sapi
Jenis Daging
Gambar 23 Penerimaan umum tikus ekor putih di kabupaten Minahasa Hasil penelitian daging ayam dan daging babi sama adalah pada posisi kedua dengan nilai median tiga atau netral (antara disukai dan tidak disukai). Untuk daging ayam dan daging babi pilihan panelis terhadap penerimaan umumnya juga sama kisarannya adalah antara suka sampai tidak suka. Sangat berbeda dengan daging sapi yang paling terakhir disukai dengan mencapai nilai median empat atau tidak disukai, dimana panelis menempatkan pada posisi ranking penerimaan umum mulai peringkat netral (antara suka dan tidak suka) sampai peringkat sangat tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di kabupaten Minahasa bila disajikan semua jenis daging mereka paling terakhir memilih daging sapi. Uji Penerimaan Umum Jenis Daging di Kota Manado Hasil uji median test terhadap tingkat penerimaan umum berbagai jenis daging pada masyarakat kota Manado terlihat pada Gambar 24. Ternyata masyarakat di kota Manado paling menyukai daging ayam yang mencapai nilai median dua. Untuk daging ayam kisaran ranking penerimaan umum yang dipilih panelis adalah berada pada antara sangat suka sampai netral (antara suka dan tidak suka).
76
Penerimaan umum
5
4
3
2
1 Tikus
Babi
Ayam
Anjing
Sapi
Jenis Daging
Gambar 24 Penerimaan umum tikus ekor putih di kota Manado Untuk daging anjing, daging babi dan daging tikus pada posisi kedua dengan nilai median tiga atau netral (antara disukai dan tidak disukai). Untuk daging anjing dan babi pilihan panelis terhadap ranking penerimaan umum sama kisarannya adalah antara suka sampai tidak suka. Untuk daging tikus kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah mulai dari sangat suka sampai sangat tidak suka yang kisarannya makin luas. Sangat berbeda dengan daging sapi yang paling terakhir disukai dengan mencapai nilai median empat atau tidak disukai, dimana panelis menempatkan pada posisi ranking kesukaannya adalah mulai peringkat netral (antara suka dan tidak suka) sampai peringkat sangat tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kota Manado bila disajikan semua jenis daging mereka paling terakhir memilih daging sapi. SIMPULAN 1. Daging tikus ekor putih dilihat dari sifat fisik dan kimia tidak berbeda dibandingkan dengan daging domestik lainnya 2. Daging tikus ekor putih dapat diterima oleh Masyarakat di kabupaten Minahasa dan kota Manado, lebih disukai dibandingkan dengan daging ayam, daging anjing, daging babi,dan daging sapi.