II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Daging Sapi Daging adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan (Lawrie, 2003). Menurut Soeparno (2005) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menurut Soeparno (2005) otot merupakan komponen utama penyusun daging, otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga kualitas daging yang dihasilkan. Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi (Gambar 1), daging domba muda, dewasa atau tua, sedang daging unggas yang paling banyak dikonsumsi adalah daging ayam (Soeparno 2005).
Gambar 1. Daging sapi Bangsa sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Menurut Blakely dan Bade, (1994) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Group : Taurinae Spesies : Bos taurus (sapi Eropa) Bos indicus (sapi India/sapi zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
4
Daging tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak. Jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot, jaringan ikat berhubungan dengan kealotan daging. Otot skeletal merupakan sumber utama jaringan otot daging. Otot skeletal mengandung sekitar 75 % air dengan kisaran 68-80%, protein sekitar 19%, substansi-substansi non protein yang larut 3.5 % serta lemak sekitar 2.5 % (Forrest et al. 1975 dan Lawrie 1979 dalam Soeparno 2005). Sedangkan menurut Winarno (1997) dan Burhan (2003) komponen terbesar dari daging adalah air (65-80%) kemudian protein yang merupakan komponen terbesar dari berat kering (16-22%), lemak (1.3-13%), karbohidrat (0.5-1.3%) dan mineral (1%). Kandungan gizi daging sapi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi kimiawi daging sapi Kandungan Air (%)
Kandungan 60
Protein (%)
17.5
Lemak (%)
22
Ca (mg/100 gram)
11
P (mg/100 gram)
17.1
Fe (mg/100 gram)
2.8
Vitamin A (SI)
30.0
Vitamin B (mg/g)
0.08
Sumber : Muctadi, 2007 Protein yang ada dalam urat daging secara umum dapat dibagi menjadi sarkoplasma (larut dalam air dan garam encer, miofibril (larut dalam larutan garam pekat) dan protein yang tidak larut dalam larutan garam pekat. Menurut Winarno (1999), lemak sapi separonya terdiri dari monounsaturated atau lemak tak jenuh tunggal tetapi sisa seluruhnya terdiri atas lemak jenuh sehingga bersifat kurang baik. Menurut Natasasmita (1987), daging sapi berwarna cerah dan merah ceri atau merah muda kecoklatan pada karkas sapi muda. Perubahan warna terjadi karena terjadinya perubahan status ion besi dalam pigmen daging (myoglobin). Jika terjadi oksidasi maka ion ferro akan berubah menjadi ion ferri dan warna daging akan menjadi coklat karena terbentuk metmyoglobin. Dalam keadaan oksigen berlebih (daging dibiarkan terbuka), maka terjadi oksigenasi dan warna daging menjadi merah cerah karena terbentuk oksimyoglobin. Menurut Winarno (1973) myoglobin yang memberikan warna merah pada daging. Soeparno (1997) menyebutkan warna normal daging segar dengan adanya oksigen adalah merah terang, karena oksimioglobin mendominasi permukaan daging. Menurut Taylor (1984) dalam Maheswari (2006), pigmen yang memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin. Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam aminomleusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 700C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90%, sedangkan
5
pemanasan pada suhu 1600C akan menurunkan jumlah lisin hingga 50%, pengasapan dan penggaraman sedikit mengurangi kadar asam amino (Lawrie 2003). Penyimpanan daging pada temperatur dingin diperlukan untuk mengruangi kontaminasi atau mengendalikan kerusakan dan perkembangan organisme. Keruskan daging dapat diperkecil dengan cara penyimpanan dalam bentuk belum dipotong-potong. Menurut Soeparno (1997) pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap sifat kualitatif maupun organoleptik termasuk warna, flavor dan kadar jus daging setelah pemasakan. Penyimpanan beku pada temperatur di bawah -100C akan sangat menurunkan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme putrefaktif dan pembusuk (Forrest et al. 1975 dan Bratzler et al. 1977 dalam Soeparno 2005). Keuntungan dari temperatur di bawah titik beku dalam memperpanjang waktu simpan dari daging cenderung diimbangi dengan eksudasi cairan (drip) pada proses pelelehan (thawing). Protein, peptida, asam amino, asam laktat purin, vitamin B kompleks dan berbagai garam adalah diantara zat-zat yang menyusun cairan lelehan (drip fluid) (Lawrie 2003). Kehilangan nutrien daging beku terjadi selama penyegaran kembali, yaitu adanya nutrien yang larut dalam air dan hilang bersama cairan daging yang keuar (eksudasi cairan) yang lazim disebut drip(Soeparno 1997). Penyegaran kembali daging beku dapat dilakukan dengan cara atau perantaraan udara dingin, air hangat, air pada temperatur kamar, pemanasan/ pemasakan langsung tanpa penyegaran dan udara terbuka. Daging beku yang sudah segar kembali dapat dibekukan kembali, tetapi harus memperhatikan temperatur daging dan lamanya daging beku pada kondisi segar.
B. Proses Penggorengan Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng ( Sartika, 2009). Sedangkan menurut Muchtadi (2008) penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Minyak berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan (Ketaren, 1986 ). Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng berbagai macam produk dengan kondisi hampa udara. Pada umumnya proses penggorengan dibedakan menjadi dua macam yaitu pan frying dan deep frying. Ciri dari pan frying adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam di dalam minyak, sedangkan pada sistem deep frying dibutuhkan banyak minyak karena bahan pangan yang digoreng harus terendam seluruhnya. Deep fat frying didefinisikan sebagai proses dimana makanan dimasak dengan cara direndam dalam minyak nabati atau lemak dipanaskan di atas titik didih air. Proses ini dilakukan secara tradisional dalam kondisi atmosfer dan suhu penggorengan biasanya mendekati 180 0C (Dobraszczyk, Ainsworth, Ibanoglu, & Bouchon, 2006 dalam Mariscal M 2008). Menurut Djatmiko (1985) penggorengan adalah proses untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel yang berisi minyak. Selama proses penggorengan minyak akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan alam sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh terhadap mutu bahan makanan yang digoreng. Prinsip penggorengan menurut Robertson (1967) dalam Djatmiko (1985) dapat dilihat pada Gambar 2. Di sini yang menjadi input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan makanan yang digoreng dan panas, sedangkan yang menjadi output adalah makan yang telah digoreng, uap panas, minyak “by-products” berminyak dan potongan-potongan bahan makanan yang dapat disaring.
6
Steam
Steam-entrained Fat and Fatty by-Products
Prepared Raw Food
Finished Fried Food
Fraying Fat
Heat
Filtered Crumbs
Gambar 2. Proses penggorengan secara “deep-fat frying” (Robertson, 1967) Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196 oC) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya muncul senyawa amina-amina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya. Apabila minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan. Faktor –faktor yang harus diperhatikan dalam penggorengan adalah ketel penggorengan dan minyak goreng. Syarat ketel penggorengan ialah maempunyai konstruksi yang baik, “coeficient of oil renewal” besar, peralatan ketel harus terbuat dari metal yang tahan oksidasi dan ketel harus sering dibersihkan. Sedangkan minyak yang dipakai harus baik mutunya dimana kandungan asam lemak bebasnya rendah, ketidak jenuhannya tinggi, smoke point tinggi dan titik cair rendah. Dalam proses penggorengan suhu tidak boleh terlalu tinggi, kontak minyak dengan udara harus kecil dan minyak harus sering dibersihkan dari kotoran-kotoran. Minyak yang telah dipakai dapat dimurnikan kembali, akan tetapi kemurniannya tidak akan seperti semula. Pemakaian minyak ini harus dicampur dengan minyak segar (Djatmiko 1985). Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying (Gambar 3) saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan bahan akan segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan akan mengering, terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu permukaan bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan suhu bagian dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga suhu 100 0C. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak sekitar 180 0C-2000C. Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan melepaskan uap air yang dikandungnya. Permukaan bahan pangan memiliki struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran. Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Uap air yang
7
keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke udara bebas. Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah. Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi minyak yang bersifat volatil ke udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan remah-remah hasil penggorengan ke dalam minyak, demikian juga berbagai komponen yang terlarut minyak akan berada pada minyak goreng. Suhu tinggi akan menyebabkan waktu penggorengan lebih singkat. Namun suhu tinggi juga dapat mempercepat terjadinya kerusakan minyak akibat pembentukan asam lemak bebas, yang mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor, dan warna minyak goreng. Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan mengakibatkan minyak lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan. Produk yang diibginkan memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah , harus digoreng pada suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan pangan akan menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan. Pemanasan pada tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada minyak.
Uap air, hasil degradasi minyak
Minyak
Bahan yang digoreng
Remah, komponen terlarut
Panas
Gambar 3. Skema penggorengan deep frying pada tekanan atmosfer Menurut Muchtadi (2008) berdasarkan kondisi prosesnya, penggorengan juga dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik, bertekanan lebih tingggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum. Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan konvensional dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada tekanan normal atmosfer. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak yaitu sekitar 180-200 0C. Uap air yang keluar dari bahan pangan akan dilepaskan ke udara bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan, dilakukan pada tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan peralatan penggorengan khusus dengan sistem tertutup yang mampu menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup yang diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi pada suhu yang juga lebih tinggi. Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 900C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi. Bahan pangan
8
seperti sayuran dan buah segar, apabila digoreng pada tekanan atmosfer akan segera mengalami kecoklatan dan gosong, teksturnya juga lembek dan liat karena tidak banyak melepaskan air yang dikandungnya. Sedangkan bila digoreng dengan kondisi vakum, suhu penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan yang baik, serta tekstur yang renyah.
C. Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian yang meliputi degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat kimia dan stabilitas minyak (Djatmiko 1974). Menurut Winarno (1999), minyak makan yang sering disebut sebagai minyak goreng merupakan wahana bagi berbagai vitamin yang larut dalam minyak yaitu A, D, E dan K serta membantu proses penyerapan dan mobilisasi vitamin tersebut di dalam tubuh. Jenis produk minyak atau lemak dapat berasal dari nabati dan hewani. Contoh minyak nabati adalah minyak jagung, minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (Winarno 1999). Contoh minyak hewani adalah mentega, minyak samin, lemak sapi (tallow) dan minyak babi (lard). Sedangkan menurut Djatmiko (1985) jenis minyak yang dipergunakan untuk menggoreng umumnya adalah minyak nabati. Menurut (Swern 1964 dalam Djatmiko 1985) minyak nabati yang dipergunakan untuk menggoreng biasanya mengandung banyak asam lemak tidak jenuh, yaiu asam oleat dan linoleat. Minyak yang tergolong dalam “oleic-linoleicacid” ialah minyak jagung, minyak kacang tanah, minyak wijen, minyak bunga matahari, minyak sawit, cotton seed oil dan safflower oil. Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak tersebut ialah sekitar 80%. Secara umum terdapat tiga jenis asam lemak yaitu asam lemak jenuh, tak jenuh tunggal (monounsaturated) dan tak jenuh jamak (polyunsaturated). Lemak jenuh memiliki asam lemak jenuh tinggi, lemak monounsaturated tergolong netral sedangkan lemak tak jenuh jamak adalah lemak yang baik bagi tubuh diantaranya adalah asam linoleat dan linolenat. Minyak yang banyak dipakai di Indonesia untuk menggoreng makanan ialah minyak kelapa (Djatmiko1985). Minyak kelapa mengandung 40-50% asam laurat, asam lemak tidak jenuh di dalam minyak kelapa yaitu asam oleat, linoleat dan palmitoleat hanya sekitar 8% (Swern 1964 dalam Djatmiko 1985). Menurut Winarno (1999), minyak kelapa adalah minyak yang diperoleh dari kopra (daging kelapa yang dikeringkan sampai kadar air sekitar 2.5%-6%). Minyak kelapa mempunyai karakteristik bau yang spesifik, warna putih jernih atau kekuningan berbentuk cair pada suhu 24-260C dan mempunyai titik leleh 22-260C. Minyak kelapa tahan terhadap oksidasi dan ketengikan serta mempunyai sifat kilau yang tinggi. Minyak nabati lain yang sering digunakan di Indonesia adalah minyak sawit. Minyak sawit berasal dari daging buah kelapa sawit bagian mesocarp. Winarno (1999) juga menjelaskan minyak sawit mempunyai titik leleh 25-500C, mengandung asam lemak dominan yaitu asam palmitat ( lemak jenuh) 50.46% dan asam oleat (lemak tak jenuh) sebesar 40.35%.
9
D. Anatomi Makanan Goreng Penyerapan minyak oleh makanan dapat diketahui dari anatomi makanan tersebut. Menurut Robertson (1967 ) dalam Djatmiko (1985) makanan goreng umumnya mempunyai struktur yang sama, yaitu terdiri dari “inner zone” (core), “outer zone” (crust) dan “outer zone surface”. Penampang melintang makanan goreng dapat dilihat pada Gambar 4.
Inner zone (core) Outer zone surface Outer zone (crust)
Gambar 4. Penampang melintang makanan goreng (Robertson 1967)
“Outer zone surface” adalah bagian paling luar dari makanan goreng yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Warna coklat merupakan hasil reaksi kimia yang disebut Browning reaction atau Maillard reaction. Warna bagian ini dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan, suhu dan lama penggorengan. Pengaruh lemak terhadap warna hasil tidak begitu besar. “Outer zone “ atau “crust” adalah bagian luar makanan goreng yang merupakan hasil dehidrasi pada waktu penggorengan. Kadar air “crust” yang merupakan hasil penguapan air akan diisi oleh minyak. Jumlah minyak yang diserap oleh “crust” tergantung pada perbandingan “crust” dan “core”. Makin tebal “crust” , makin banyak jumlah minyak yang diserapnya. Bagian makanan goreng yang disebut “inner zone” (core) adalah bagian makanan yang masih mengandung air. Pada makanan yang tipis bagian “core” hampir tidak ada, yang ada hanya bagian “crust” saja. Oleh karena itu makanan goreng yang tipis mempunyai daya serap minyak yang lebih besar daripada makanan goreng yang tebal. Fungsi dari minyak yang diserap makanan ialah untuk mengempukkan “crust” dan membasahi makanan goreng tersebut.
10
E. Mesin Penggoreng Vakum . Menurut Lastriyanto (2006), penggorengan hampa dilakukan dalam ruang tertutup dengan kondisi tekanan rendah sekitar 70 cmHg. Dengan penurunan tekanan maka suhu penggorengan bisa dilakukan relatif lebih rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan atmosfir. Prinsip utama cara kerja alat ini adalah melakukan penggorengan pada kondisi vakum, 7.52 cmHg-7.6 cmHg.. Kondisi vakum ini dapat menyebabkan penurunan titik didih minyak dari 110º C – 200º C menjadi 80º C – 100º C sehingga dapat mencegah terjadinya perubahan rasa, aroma, dan warna bahan seperti mangga dan buah lainnya . Menurut Muchtadi (2008) Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 900C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi.
Gambar 5. Mesin Vacuum Frying Deskripsi Mesin Penggoreng Vakum 1. Pompa vakum water jet, berfungsi untuk menghisap udara di dalam ruang penggoreng sehingga tekanan menjadi rendah, serta untuk menghisap uap air bahan. 2. Tabung Penggoreng, berfungsi untuk mengkondisikan bahan sesuai tekanan yang diinginkan. Di dalam tabung dilengkapi keranjang buah setengah lingkaran. 3. Kondensor, berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai pendingin. 4. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG. 5. Unit Pengendali Operasi (Boks Kontrol), berfungsi untuk mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas. 6. Bagian Pengaduk Penggorengan, berfungsi untuk mengaduk buah yang berada dalam tabung penggorengan. Bagian ini perlu sil yang kuat untuk menjaga kevakuman tabung. 7. Mesin pengering (spinner), berfungsi untuk meniriskan kripik.
11
Gambar 6. Bagan skema sistem mesin penggoreng hampa sistem jet air 1. Sumber pemanas
6. Pengukur vakum
11. Pompa sirkulasi
2. Tabung penggoreng
7. Keranjang Penampung bahan
12. Saluran air pendingin
3. Tuas pengaduk
8. Kondensor
13. Bak air sirkulasi
4. Pengendali suhu
9. Saluran hisap uap air
14. Kerangka
5. Penampung kondensat
10. Water Jet
Vacuum fryer desain Anang Lastriyanto ini merupakan tipe horizontal yang bekerja dengan prinsip Bernoulli. Semburan air dari pompa yang dilalui pipa menghasilkan efek venturi atau sedotan (vacuum). Dengan menggunakan 7 atau 8 nosel, pipa khusus menghisap udara hingga tekanan di dalam tabung penggorengan turun hingga 10 kPa (7.52 cmHg) sehingga dengan tekanan tersebut titik didih air akan turun menjadi 45.80C. Uap air yang terjadi sewaktu proses penggorengan disedot oleh pompa vakum. Air di dalam tabung penggoreng selanjutnya didinginkan di kondensor (Gambar 7) dengan sirkulasi air pendingin. Setelah melalui kondensor, uap air mengembun dan kondensat yang terjadi dapat dikeluarkan. Setelah dingin, air dimasukkan ke dalam bak air sedangkan uap air yang telah mengalami kondensasi ditampung di penampung kondensat. Sirkulasi air pendingin pada kondensor dihidupkan sewaktu proses penggorengan.Skema penggorengan vakum dapat dilihat pada Gambar 8.
Air pendingin keluar
Uap air dingin
Uap air panas dari ruang penggoreng
Air pendingin masuk
Gambar 7. Konstruksi kondensor
12
Uap air, hasil degradasi minyak
Minyak
Remah, komponen terlarut
Bahan yang digoreng
Panas
Gambar 8. Skema penggorengan vacuum frying Penggorengan menggunakan vacuum frying menggunakan sistem deep frying atau bahan pangan tercelup dalam minyak goreng. Namun, kelebihan dari penggorengan hampa udara tersebut adalah pada tekanan yang rendah titik didik air menjadi rendah. Sehingga kandungan air dalam bahan lebih cepat menguap dari pada pada penggorengan deep frying pada tekanan atmosfir. Prinsip kerja penggorengan vakum yaitu dengan menghisap kadar air dalam bahan dengan kecepatan tinggi agar pori-pori tidak cepat menutup sehingga air diserap dengan sempurna. Hasil bahan yang digoreng lebih renyah dikarenakan penguapan pada titik didih yang rendah memungkinkan kadar air lebih banyak menguap dari pada penggorengan biasa dan juga kecil kemungkinan terjadinya case hardening seperti pada penggorengan biasa. Wujud H20 (air) dapat ditentukan oleh tekanan. Dari diagram fase (Gambar 9), dapat dilihat bahwa air juga dapat berwujud uap di bawah suhu 100°C (100°C=373,15 K), jika tekanan dikondisikan pada nilai-nilai tertentu di bawah batas QR. Jika tekanan kurang dari 1 atm maka tekanan uap jenuh yang dibutuhkan untuk mendidih semakin kecil, akibatnya titik didih zat cair semakin kecil.
`Q
`R
Gambar 9. Diagram fase H20
13
F. Penelitian Pembuatan Keripik Menggunakan Vacuum Frying Penggorengan keripik menggunakan penggorengan hampa (Vacuum Frying) telah banyak diterapkan sebelumnya pada keripik buah-buahan, jamur dan ikan. Produk keripik terbaik yang dihasilkan melalui penggorengan hampa mempunyai suhu dan waktu yang berbeda untuk masingmasing bahan. Setiap mesin penggoreng hampa akan mempunyai perbedaan suhu dan waktu penggorengan untuk menghasilkan produk keripik terbaik. Tergantung jenis penggoreng hampa, jenis bahan keripik dan juga lokasi pengoperasian penggoreng hampa. Penelitian keripik hasil penggorengan hampa telah dilakukan pada kombinasi suhu dan waktu penggorengan serta suhu dan ketebalan irisan. Menurut Winarsih dkk (2005) dalam penelitiannya terhadap buah pepaya mengenai suhu dan ketebalan irisan keripik pepaya, diperoleh hasil keripik pepaya terbaik yaitu pada penggorengan dengan suhu 650C dan ketebalan 4 mm. Menurut Nurhudaya (2011) dalam judul penelitiannya “Rekayasa Proses Penggorengan Vakum (Vacuum Frying) dan Pengemasan Keripik Durian Mentawai”, diperoleh suhu dan waktu yang optimal untuk penggorengan hampa dengan suhu 75 0C dengan waktu 85 menit. Nurhudaya (2011), melakukan penelitian terhadap suhu 750C, 800C, 850C dan 900C dengan waktu 55 menit, 70 menit, 85 menit dan 100 menit. Selain itu Manurung (2011) juga melakukan penelitian di Kepulauan Mentawai tentang keripik ikan dengan judul “ Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Ikan Lemuru (Sardinella longiceps)” melakukan penelitian pada suhu 800C, 900C dan 1000C dengan waktu 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Keripik ikan terbaik dihasilkan pada suhu 900C dengan waktu 45 menit menurut hasil pembobotan. Haryanto (1998) melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Keripik Bengkuang (Pachyrhizus erosus L.) ”. Dari penelitian yang dilakukan yaitu pada suhu 850C, 900C dan 950C pada waktu 55 menit, 70 menit dan 85 menit didapatkan keripik bengkuang terbaik pada perlakuan suhu 95 0C dengan waktu 85 menit. Menurut Sudjud (2000) yang melakukan penelitian terhadap buah cempedak dengan judul penelitian “ Mempelajari Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Keripik Buah Cempedak (Artocarpus integer (Thumb) Merr) “. Dari perlakuan suhu dan waktu yang diberikan 850C, 900C dan 950C dengan waktu 25 menit, 30 menit dan 35 menit didapatkan hasil terbaik pada suhu 900C dengan waktu 30 menit. Hasil terbaik diperoleh dari pembobotan berdasarkan rasa, warna, kerenyahan dan aroma keripik cempedak. Dalam penelitian Winarti (2000) juga melakukan penelitian pengaruh suhu dan waktu terhadap penggorengan hampa mangga Indramayu dengan judul “ Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Mangga Indramayu (Mangifera indica L.) “. Winarti (2000) melakukan penelitian dengan tingkat suhu yang sama dengan Sudjud (2000) yaitu 850C, 900C dan 950C namun dengan waktu berbeda 15 menit, 25 menit dan 35 menit. Hasil penelitian menunjukkan keripik mangga terbaik dihasilkan pada perlakuan suhu 85 0C dengan waktu 35 menit. Penelitian terhadap daging sapi juga telah dilakukan oleh Santosa (2005) dengan judul “ Pembuatan Keripik Daging Sapi dengan Penggoreng Vakum Pada Temperatur dan Ketebalan Irisan yang Berbeda”. Menghasilkan keripik daging sapi pada suhu 900C dengan ketebalan 4 mm.
14