20
TINJAUAN PUSTAKA Daging Ayam Karkas broiler adalah ayam yang telah dipotong dan dibersihkan bulunya, tanpa kepala, leher, kaki dan jerohan (Siregar et al. 1982). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), karkas ayam pedaging adalah bagian dari ayam pedaging hidup setelah dipotong, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (SNI 1995). Daging unggas dapat berasal dari ayam jantan dewasa (cock), ayam atau kalkun betina dewasa (hen), kalkun jantan dewasa (tom), ayam kastrasi (capon) dan anak ayam (chick). Berdasarkan penanganannya, karkas ayam dapat dibedakan menjadi karkas segar, karkas dingin segar dan karkas beku (Soeparno 1992). SNI (1995) menyatakan bahwa menurut cara pemotongannya, dapat dibedakan menjadi karkas utuh, potongan separuh (halves), potongan seperempat (quarters), potongan bagian-bagian badan (chicken part atau cut put), dan debond yaitu karkas ayam pedaging tanpa tulang atau tanpa kulit dan tulang. Sementara berdasarkan cara penanganannya, dibedakan menjadi karkas segar (karkas segar yang baru selesai diproses selama tidak lebih dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut), karkas dingin segar (karkas segar yang segera didinginkan setelah selesai diproses sehingga suhu di dalam daging menjadi antara 40-50C) dan karkas beku (karkas yang telah mengalami proses pembekuan cepat atau lambat dengan suhu penyimpanan antara -120C sampai dengan -180C.
Komposisi Daging Ayam Menurut Mountney (1983), daging ayam merupakan sumber protein yang baik, berkualitas tinggi, mudah dicerna dan mengandung asam amino esensial yang sangat dibutuhkan dalam makanan manusia, yang terdiri dari arginin, sistin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, tirosin dan valin. Komposisi daging ayam menurut Cambell dan Lasley (1975) yang dikutip Anggorodi (1979) terdiri dari 73.7% air, 20.6% protein, 4.7% lemak dan 1%
21
abu. Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa kandungan mineral pada daging ayam adalah 4% yang terdiri dari sodium, potasium, magnesium, kalsium, besi, fosfat, sulfur, klorida dan yodium.
Aspek Mikrobiologis Daging Ayam Bahan mentah asal unggas seringkali terkontaminasi oleh mikroba patogen penyebab foodborne diseases seperti Salmonella, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Campylobacter fetus subsp. jejuni dan Yersinia enterocolitica. Beberapa laporan surveilans penyakit menyebutkan bahwa daging unggas berperan sebagai vehicles dalam outbreaks salmonellosis, staphylococcal food poisoning, C. perfringens enteritis dan gangguan pencernaan lainnya (ICMFS 1986). Menurut Quinn et al. (2002), foodborne diseases yang disebabkan oleh organisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu infeksi makanan dan keracunan makanan. Infeksi makanan terjadi karena mengkonsumsi makanan yang mengandung organisme hidup yang mampu berkembang biak di dalam usus, dan menimbulkan penyakit. Organisme penting yang menimbulkan infeksi makanan meliputi C. perfringens, Vibrio parahaemolyticus, dan sejumlah Salmonella. Sebaliknya, keracunan makanan tidak disebabkan tertelannya organisme hidup, melainkan akibat masuknya toksin atau substansi beracun yang disekresikan ke dalam makanan. Organisme penghasil toksin tersebut mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam makanan. Organisme yang menyebabkan keracunan makanan meliputi S. aureus, C. botulinum, dan Bacillus cereus. Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan dikarenakan alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak bersih/higienis sementara darah masih bersirkulasi selama beberapa saat setelah penyembelihan. Cara lain bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam karkas/daging ayam adalah proses perendaman yang diperlukan untuk menghilangkan (mencabut) bulu pada ayam. Pada kasus ini kontaminasi terjadi karena masuknya kontaminan dari air perendam ke sistem peredaran darah dan pernafasan (Dirjennak 1992).
22
Kontaminasi selanjutnya terjadi melalui permukaan daging selama proses mempersiapkan daging, yaitu proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan karkas, pembuatan produk daging olahan, pengawetan, pengepakan, penyimpanan dan pemasarannya (Soeparno 1992). Proses pengeluaran jeroan memberikan banyak kesempatan bagi kontaminasi bakteri baik dari usus maupun feses yang dapat dipindahkan dari karkas ke karkas melalui pisau, peralatan lain (kapak), dan tangan pekerja. Kontaminan tidak hanya terdapat pada bagian luar karkas, tetapi juga pada permukaan rongga karkas (Dirjennak 1992). Batas Cemaran
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6366-2000 tahun 2001 menyebutkan tentang
Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada
Daging yang diperbolehkan ada dalam daging seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada daging Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) (cfu/g) Jenis Cemaran Mikroba a. Jumlah Total Kuman (Total Plate Count) b. Coliform c. Escherichia coli d. Enterococci e. Staphylococcus aureus f. Clostridium sp. g. Salmonella sp. h. Camphylobacter sp. i. Listeria sp. Sumber: SNI 01-6366-2000
Escherichia coli
Daging Segar/Beku
Daging Tanpa Tulang
1 x 104
1 x 104
1 x 102 5 x 101 1 x 102 1 x 102 0 negatif 0 0
1 x 102 5 x 101 1 x 102 1 x 102 0 negatif 0 0
23
E. coli pertama kali diuraikan oleh seorang ilmuwan bernama Theodor Escherich pada tahun 1885 dengan nama Bacterium coli commune yang diisolasi dari feses seorang bayi (Todar 2008a). E. coli merupakan bakteri Gram negatif, dapat tumbuh dalam non-enriched media, bersifat oksidase positif, fakultatif anaerob, memfermentasi glukosa dan mengubah nitrat menjadi nitrit.
Selain itu, E. coli
kebanyakan motil dilengkapi dengan peritrichous flagella dan kadang fimbriae. E. coli memfermentasi laktosa dengan menghasilkan koloni berwarna merah muda pada agar Mac Conkey dan menghasilkan reaksi biokimia yang karakteristik pada tes IMViC (Quinn et al. 2002). Strain enteroinvasive E. coli (EIEC) memfermentasi laktosa dengan lambat atau tidak memfermentasi laktosa dan tidak motil.
Gambar 1 Escherichia coli. Pewarnaan Gram. Sumber: Todar (2008a) Dalam bidang mikrobiologi pangan, dikenal istilah bakteri indikator sanitasi. Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia dan atau hewan, karena bakteri-bakteri tersebut lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Jadi adanya bakteri tersebut pada pangan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan pangan tersebut pernah mengalami kontak dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan hewan. Sampai saat ini ada 3 jenis bakteri yang dapat digunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi yaitu E. coli, kelompok Streptococcus (Enterococcus) fekal dan C. perfringens (Hariyadi 2005).
24
Menurut Brooks et al. (2005), E. coli merupakan mikroflora alami yang terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E. coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enteropathogenic E. coli (EPEC) enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohaemorrhagic E. coli (EHEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC). EPEC merupakan penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa usus kecil. Faktor yang berhubungan dengan kromosom mendukung perlekatan yang erat. Terjadi kehilangan mikrovili (effacement), pembentukan filamentous actin atau struktur seperti cangkir dan biasanya EPEC masuk ke dalam mukosa usus. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare yang cair, yang biasanya susah diatasi namun tidak kronis. Diare yang disebabkan oleh EPEC berhubungan dengan berbagai serotipe spesifik dari E. coli. ETEC merupakan penyebab diare pada wisatawan yang mengunjungi negara yang standar higienitas makanan dan air minum lebih rendah dari negara asalnya. Selain itu juga merupakan penyebab penting diare pada bayi di negara berkembang. Beberapa strain ETEC memproduksi eksotoksin yang sifatnya labil terhadap panas (LT, BM 80.000) di bawah kontrol plasmid. Beberapa strain ETEC menghasilkan enterotoksin yang stabil terhadap panas (Sta, BM 1.500-4.000) di bawah kontrol genetika dari beragam kelompok plasmid. EHEC memproduksi verotoksin. Nama toksin didasarkan pada efek sitotoksik pada sel vero, yang merupakan biakan sel ginjal monyet hijau di Afrika. EHEC banyak dihubungkan dengan hemorrhagic colitis, sebuah diare yang parah dengan sindroma uremic hemolytic, sebuah penyakit akibat kegagalan ginjal akut, microangiopathi hemolytic anemia dan thrombocopenia. E. coli 0157:H7 akhirakhir ini diketahui merupakan bakteri patogen penyebab foodborne disease. EIEC menyebabkan penyakit yang mirip dengan shigellosis. Penyakit yang terjadi umumnya pada anak di negara berkembang. EIEC menyebabkan penyakit dengan menyerang sel epitelial mukosa usus. Menurut Brooks et al. (2005), EAEC menyebabkan diare yang akut dan kronis dalam jangka waktu > 14 hari pada orang di negara berkembang. Organisme ini juga
25
dapat menyebabkan foodborne disease di negara industri. Patogenesis EAEC sebagai penyebab diare disebabkan karena EAEC melekat pada mukosa intestinal dan menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin. Akibatnya adalah pengeluaran sejumlah besar mukus dan terjadinya diare.
Staphylococcus aureus S. aureus ditemukan pertama kali di Aberdeen, Skotlandia pada tahun 1880 oleh seorang ahli bedah yang bernama Sir Alexander Ogston (Todar 2008c). S. aureus merupakan salah satu mikroflora normal pada unggas dan ternyata praktek pengolahan yang baik tidak sepenuhnya menjamin dapat mencegah kontaminasi oleh S. aureus. Meskipun demikian, Staphylococci tidak mampu bersaing dengan baik melawan mikroba pembusuk normal lainnya yang terdapat pada unggas dan tidak mungkin berkembangbiak pada karkas beku. Adanya S. aureus dalam daging ayam menunjukkan kontaminasi melalui alat/mesin pencabut bulu (ICMFS 1986). S. aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus yang tersusun dalam kluster yang tidak teratur jika ditumbuhkan dalam media padat. Menurut Todar (2008c), S. aureus bersifat fakultatif anaerob dan berbentuk kluster seperti anggur, besar, bulat, koloni berwarna kuning keemasan, kadang menyebabkan hemolisis jika ditumbuhkan pada agar darah dan bersifat katalase positif. S. aureus terdapat pada rongga hidung, kulit, tenggorokan, dan saluran pencernaan manusia dan hewan. Bahan makanan yang disiapkan menggunakan tangan, seperti penyiapan sayuran mentah untuk salad, berpotensi terkontaminasi S. aureus. Jenis makanan lain yang sering terkontaminasi oleh S. aureus adalah daging dan produk daging, ayam, telur, salad (telur, tuna, ayam, kentang, dan makaroni), produk bakery, pastry, pai, sandwich, serta susu dan produk susu (Calnek et al. 1997).
26
Gambar 2 Staphylococcus aureus. Pewarnaan Gram. Sumber: Todar (2008c)
Staphylococcal
food
poisoning
(SFP)
merupakan
penyebab
utama
gastroenteritis di seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah genus Staphylococcus terutama S. aureus yang menghasilkan staphylococcal enterotoxins (SEs) yang tahan panas dalam makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus (Doyle et al. 2001). Menurut Shah (2003), S. aureus menghasilkan 2 tipe toksin yaitu enterotoksin (6 serotipe; A, B, C, D, E, dan G) serta toxic shock syndrome toxin (TSSI-1). Enterotoksin bertanggung jawab terhadap SFP, sementara TSST-1 bertanggung jawab terhadap toxic shock syndrome (TSS).
Salmonella Genus Salmonella pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Elmer Salmon seorang ahli patologi Amerika. Sementara yang menemukan bakteri yang menyebabkan hog cholera (Salmonella enterica var. Choleraesuis) ini sesungguhnya adalah Theobald Smith (Todar 2008b). Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang langsing, tidak membentuk spora dan bersifat Gram negatif. Sampai sekarang dikenal lebih dari 1.800 serotipe Salmonella yang semuanya bersifat patogen, dimana beberapa serotipe mempunyai induk semang spesifik. Salmonella thyposa dan S. paratyphi menyerang manusia dan menimbulkan tanda-tanda gangguan pencernaan serta demam tifus dan paratifus. S. dublin menyerang ternak sapi, S. abortus equi
27
menyerang kuda, S. Typhimurium terutama menyerang itik dan rodensia, sedangkan S. pullorum dan S. gallinarum menyerang ayam (Anonim 2004).
Gambar 3 Salmonella. Pewarnaan Gram. Sumber: Todar (2008)
Menurut Hariyadi (2005), Salmonella merupakan bakteri indikator keamanan pangan, artinya karena semua serotipe Salmonella yang diketahui di dunia ini bersifat patogen maka adanya bakteri ini dalam pangan dianggap membahayakan kesehatan. Selain bahan makanan, Salmonella memerlukan kondisi seperti suhu, pH dan kelembaban yang sesuai untuk hidup dan berkembang biak. Salmonella dapat tumbuh antara suhu 6,70 C – 450 C, sedangkan suhu optimum untuk berkembang biak adalah 370 C (Frazier 1978). Menurut Christie dan Christie (1977) kuman Salmonella berhenti berkembang biak pada suhu 50C, sedangkan pada suhu 550 C masih dapat hidup selama 1 jam dan pada suhu 600 C selama 15-20 menit, kecuali S. senftenberg baru akan mati pada suhu 71,10 C. Frazier (1978) menyatakan bahwa Salmonella dalam daging ayam tidak berkembang biak pada suhu 6.70C – 7.80C, sedangkan pada masakan salad daging babi dan dalam “custard” (campuran susu, telur dan gula yang dimasak) Salmonella masih dapat berkembang biak pada suhu di atas 100C. Menurut Brooks et al. (2005), Salmonella menyebabkan 3 tipe penyakit utama pada manusia yaitu demam enterik (demam typhoid), bakteremia dengan luka fokal dan enterokolitis. Enterokolitis merupakan manifestasi infeksi Salmonella yang wajar. Di Amerika Serikat, S. Typhimurium dan S. Enteritidis terkenal sebagai penyebab enterokolitis, namun enterokolitis dapat disebabkan oleh sebagian dari
28
1.400 grup I serotipe Salmonella. Delapan sampai 48 jam sesudah menelan Salmonella, ada nausea (mual), sakit kepala, muntah dan diare. Habitat utama kuman Salmonella pada tubuh penderita adalah di dalam saluran pencernaan. Selain dari pada itu kuman Salmonella juga dapat ditemukan pada bagian tubuh lainnya dari penderita, seperti kelenjar limfe, limpa, hati, empedu, jantung, paru-paru, urat daging, sumsum tulang dan periosteum. Kuman Salmonella yang menyerang alat reproduksi pada hewan dapat menyebabkan abortus khususnya pada unggas akan menginfeksi ovarium dan ovanya (Hoeden 1973). Menurut Todar (2008b), habitat utama Salmonella adalah di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Serovar Salmonella lebih sering ditemukan pada host tertentu tapi dapat pula ubiquitous (non-host adapted). Typhi dan Parathypi A merupakan serovar yang secara tegas menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit serius yang sering dihubungkan dengan serangan pada pembuluh darah. Pada kasus ini salmonellosis ditularkan melalui kontaminasi feses dalam air ataupun makanan. Kuman Salmonella yang menyerang unggas adalah S. pullorum, S. gallinarum dan S. Typhimurium. Infeksi Salmonella pada manusia bervariasi tergantung oleh serovar, strain, dosis infeksi, jenis makanan yang terkontaminasi dan status host. Beberapa serovar sangat patogen namun beberapa serovar tidak diketahui virulensinya. Dosis infeksi oral sekurang-kurangnya 105 sel S. Typhi untuk menimbulkan typhoid pada 50% penderita, sedangkan sedikitnya 109 sel S. Typhimurium dibutuhkan untuk dapat menimbulkan gejala infeksi (Todar 2008b). Sumber penularan dan penyebaran Salmonella terutama dari penderita baik hewan maupun manusia. Penderita salmonellosis akan menyebarkan kuman Salmonella lewat ekskresi berupa tinja yang selanjutnya akan menyebar dan mencemari lingkungan, alat pakan, benda-benda lain di sekitar unggas dan bahan makanan tersebut. Foodborne Salmonella toxic infections disebabkan oleh serovar Salmonella yang ubiquitous (seperti S. Typhimurium). Dua belas sampai dua puluh empat jam setelah ingesti makanan terkontaminasi (mengandung sejumlah Salmonella), gejala
29
akan muncul (diare, muntah dan demam) dan akan berakhir 2-5 hari. Salmonella dihubungkan dengan bermacam-macam makanan. Daging yang terkontaminasi (sapi, babi, kambing, ayam) dapat berasal dari salmonellosis pada hewan asalnya, tetapi seringkali dihasilkan dari kontaminasi pada daging dengan isi usus selama proses eviserasi, pencucian dan transportasi karkas (Todar 2008b).