TINJAUAN PUSTAKA Daging Daging adalah semua bagian tubuh hewan yang dapat dimakan termasuk kedalamnya organ-organ seperti hati dan ginjal, otot, dan jaringan lain. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat waktu dipotong. Daging juga didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan produk olahannya yang tidak menimbulkan penyakit bagi manusia (Soeparno, 1994). Daging terdiri dari tiga komponen utama yakni otot, jaringan ikat, jaringan lemak yang terdapat pada daging dibedakan menurut lokasinya yaitu lemak bawah kulit (subkutan), lemak antar otot (intermuskular), lemak dalam otot (intramuskular) dan lemak dalam sel (intraseluler) (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Protein daging sendiri dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma (Ockerman, 1983). Protein sarkoplasma berkisar 6% dari berat daging segar dan bersifat larut dalam air, tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan menganggu cross-linked miosin selama pembentukan matriks gel serta daya ikat airnya rendah. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dari jaringan yakni sekitar 9,5%, larut dalam larutan garam, terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi seperti tropomiosin, troponin, dan aktinin. Protein ini berperan dalam pembentukan gel terutama fraksi aktomiosin. Miosin mempunyai kemampuan gelasi selama pemanasan (Suzuki, 1981). Protein stroma berkisar 3% dan tidak larut dalam larutan garam. Daging memiliki nilai nutrisi yang tinggi, maka banyak sekali organisme yang dapat hidup didalamnya. Organisme yang masuk dan hidup didalam daging dapat menyebabkan daging tersebut tidak menarik karena akan terjadi perubahan (pembusukan). Organisme yang menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenus) atau dengan kontaminasi paskamati (penyakit eksogenus). Infeksi endogenus berasal dari hewan- hewan yang terinfeksi
seperti anthraks, tuberkolosis bovine, dan brucellosis. Infeksi eksogenus terjadi akibat dari terinfeksinya daging yang akan dikonsumsi oleh bakteri atau fungi. Sumber dari infeksi eksogenus adalah darah yang keluar pada saat pemotongan, kulit, tanah yang melekat, isi saluran pencernaan, air, udara, alat yang digunakan seperti pisau, tong, tempat penyimpanan barang serta kontaminasi dari orang itu sendiri (Lawrie, 1998). Secara fisik daging dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan dan didinginkan, (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan, (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 1994). Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan, dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral) serta keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan dan pemasakan, pH, bahan tambahan, lemak intramuscular (marbling), serta metode penyimpanan dan pengawetan (Departemen Kesehatan RI, 2005). Lactobacillus sp. Lactobacillus sp. merupakan genus terbesar dari kelompok bakteri asam laktat (BAL). Genus Lactobacillus bersifat gram positif dan tidak membentuk spora, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh optimum pada kisaran suhu 30ºC - 40ºC tapi dapat tumbuh pada kisaran 5 - 35ºC. Lactobacillus sp. banyak terdapat pada produk makanan fermentasi atau produk-produk susu fermentasi seperti yoghurt, keju, yakult, produk fermentasi daging seperti sosis fermentasi, serta produk fermentasi sayuran seperti pikel dan sauer kraut. Lactobacillus sp. berkontribusi untuk pengawetan, ketersediaan nutrisi, dan flour pada produk fermentasi tersebut. Beberapa spesies Lactobacillus sp. dapat digolongkan sebagai bakteri asam laktat homofermentatif. Bila tergolong homofermentatif maka dapat memfermentasi gula menjadi campuran asam laktat, asam asetat, alkohol, dan CO 2 . Lactobacillus plantarum sebagai bakteri asam laktat hanya mengubah laktosa menjadi asam laktat. Oleh karena
itu, Lactobacillus plantarum
lebih dikenal sebagai bakteri
homofermentatif. Metabolisme homofermentatif ini hanya menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir yang dapat membuat kondisi lingkungan menjadi lebih asam. Kondisi lingkungan seperti inilah yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri berbahaya. Oleh sebab itu, bakteri Lactobacillus plantarum juga berfungsi sebagai agen antimikroba (Buckle et al.,1987). Bakteri asam laktat berbentuk bulat maupun batang, gram positif dan (dengan sedikit pengecualian) tidak motil secara permanen. Bakteri asam laktat dapat hidup dengan dan tanpa oksigen, sumber energi terbesarnya untuk tumbuh adalah fermentasi gula. Bakteri ini mempunyai kapasitas respirasi sangat terbatas dan oleh karena itu tidak dapat memperoleh ATP dari respirasi (Sta nier et. al., 1963). Bakteri asam laktat Lactobacillus sp (1A5) memiliki nilai pH 3,93± 0,05. Aktivitas asam organik tanpa penambahan buffer pada S. aureus sebanyak 7,08±1,11, S. typhimurium sebanyak 9,25±1,17, dan E. coli sebanyak 12,38±0,74. Lactobacillus sp (1A5) memiliki daya hambat paling besar dibandingan dengan isolat lainnya. Rataan diameter zona hambat yang terbentuk dari substrat antimikroba 1A5 mempunyai penghambatan yang paling baik terhadap ketiga bakteri patogen dan memiliki nilai asam tertitrasi cukup tinggi yang berbanding lurus terhadap nilai pH yaitu 0,57 % (Permanasari, 2009). Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Beberapa kelompok senyawa kimia utama yang bersifat antimikrobial adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat dan senyawanya, zat warna, deterjen, senyawa amonium kuartener, asam dan basa, dan gas khemo sterilen. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba antara lain (1) perusakan dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel, (3) denaturasi protein sel, dan (4) perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar et al., 1979). Menurut Fardiaz (1989), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal
(membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang),
fungistatik
(menghambat pertumbuhan kapang) dan
germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat pengawet, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba (jenis konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), dan (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa didalamnya. Menurut Fardiaz (1992), makanan mungkin mengandung komponen yang dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Komponen antimikroba tersebut terdapat didalam makanan melalui berbagai cara, yaitu : (1) terdapat secara ilmiah didalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan senga ja kedalam makanan, dan (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi makanan. Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal antara lain tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan sebaiknya membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988). Bakteriosin Bakteriosin adalah salah satu kategori substansi yang diproduksi oleh bakteri yang dapat menghambat bakteri lain yang merugikan. Selain bakteriosin, ada juga senyawa litik, enzim dan produk metabolisme seperti hidrogen peroksida dan diacetil. Bakteriosin disintesis oleh bakteri asam laktat yang berhubungan dengan asam organik. Bakteriosin sering dihubungkan dengan senyawa antimikroba berupa protein yang mudah terdegradasi oleh enzim proteolitik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil strain (Jack et al., 1995). Substansi ini diproduksi oleh beberapa strain termasuk didalamnya adalah bakteri asam laktat (BAL) (Gorris dan Bennik, 1994). Bakteri ini mempunyai sifat bakterisidal yaitu mampu menghambat bakteri lainnya seperti Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium botulinum. Bakteriosin bersifat irreversible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap
kesehatan, aktif pada konsentrasi rend ah dan pada bakteri asam laktat biasanya digunakan sebagai biopreservatif makanan (Vuyst dan Vandamme, 1993). Asam Organik Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH. Akibatnya mikroba yang tidak taha n terhadap kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat (Fardiaz, 1982). Jenie (1996) menyatakan bahwa akumulasi produk akhir asam yang rendah pH- nya menghasilkan penghambatan yang luas baik terhadap gram positif maupun gram negatif. Efek penghambatan dari asam organik terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak terdisosiasi. Asam yang tidak terdisosiasi dapat berdifusi secara pasif kedalam membran sel. Asam didalam sel tersebut membelah menjadi proton dan anion sehingga mempengaruhi pH didalamnya (Rini, 1995). Hidrogen Peroksida Hidrogen peroksida (H2 O2 ) merupakan oksidator, bleaching agent dan anti bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan memiliki bau yang menusuk. Kemampuan H2 O2 untuk mengoksidasi menyebabkan perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba sehingga digunakan sebagai antimikroba. Fungsi H2 O2 sebagai antimikroba tergantung pada kemampuan oksidatifnya. Kemampuan bakterisidal dari H2 O2 beragam, tergantung pH, konsentrasi, suhu, waktu dan tipe serta jumlah mikroorganisme. Pada kondisi tertentu, spora bakteri ditemukan paling resisten terhadap H2 O2 , diikuti dengan bakteri gram positif. Bakteri yang paling sensitif terhadap H2 O2 adalah bakteri gram negatif, terutama koliform. Selain itu, senyawa ini juga dapat terdekomposisi menjadi air dan oksigen. Pada suhu ruang, dekomposisi H2 O2 berjalan lambat. Perubahan kondisi lingkungan seperti pH dan suhu mempengaruhi kecepatan dekomposisi H2 O2 terdekomposisi. Kenaikan suhu menyebabkan keefisienannya juga semakin meningkat (Branen et al.,1990). Sosis Sosis adalah tipe produk sapi kominusi yang unik dan biasanya diberi tambahan bumbu atau rempah untuk menambahkan intesitas rasa dan profilnya. Peningkatan sosis sangat dikendalikan dari faktor ekonomi dan menggunakan
daging yang berkualitas rendah seperti daging sisa pembersihan lemak, daging di kepala dan pundak, dan hasil sampingan yang masih layak untuk dimakan. Kenyamanan dan variasi adalah alasan penting lain mengapa sosis dikonsumsi luas di kalangan masyarakat modern. Berdasarkan pada karakteristik produk dan spesifikasi metode pengolahan yang digunakan, sosis dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok utama: sosis segar, sosis curing, dan sosis fermentasi. Secara teknik, pembuatan sosis terdiri dari beberapa langkah, yaitu kominusi untuk mengurangi ukuran
lemak
dan
daging
(pemotongan,
penggilingan
dan pencacahan),
pencampuran dengan bahan lain, pemasukan adonan kedalam selongsong, pengikatan sosis hingga dicapai panjang yang diinginkan, dan terakhir adalah pengemasan. (Youling dan William, 2000). Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein. Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur produk yang kompak. Peran protein yang lain adalah pembentukan emulsi daging, yaitu protein yang berfungsi sebagai zat pengemulsi lemak (Kramlich ,1971) Bahan-bahan Pe mbuatan Sosis Bahan baku pembuatan sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari daging, lemak atau minyak, es dan garam. Bahan tambahan terdiri dari bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu dan bahan makanan lain yang diizinkan (Ridwanto, 2003). Daging Daging yang umumnya digunakan untuk pembuatan sosis adalah daging yang nilai ekonomisnya kurang, namun harus daging yang masih segar dan tidak banyak mengandung mikroba misalnya daging skeletal, daging leher, daging rusuk, daging dada dan daging tetelan (Soeparno, 1994). Daging yang digunakan untuk pembuatan sosis sebaiknya daging pre rigor, yaitu daging dengan pH sekitar 6,26,8 karena pH tersebut protein daging masih belum terlalu banyak yang terdenaturasi sehingga daya mengikat airnya masih bagus (Xiong dan Mikel, 2001). Lemak atau Minyak Lemak atau minyak dalam pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa lezat, mempengaruhi keempukan dan juiceness daging dari produk yang
dihasilkan (Pearson dan Tauber, 1973). Penggunaan lemak cair akan menghasilkan emulsi yang kurang stabil bila dibandingkan dengan lemak hewan. Hal ini karena lemak cair mudah membentuk coalescence yaitu bergabungnya butiran-butiran lemak kecil menjadi butiran besar atau globula. Bentuk globula akan lebih sulit terselubungi dalam pembentukan emulsi sehingga emulsi yang terbentuk mudah pecah yang berakibat pada keluarnya minyak selama proses pemasakan sosis (Smith, 2001). Es Es atau air es merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan pada pembuatan sosis. Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis adalah 20%-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Aberle et al., 2001). Menurut Kramlich (1971), penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembentukan adonan. Garam Garam merupakan bahan tambahan bukan daging yang paling penting dalam proses pembuatan sosis, garam mempunyai peranan sebagai pemberi rasa, pengawet dan melarutkan protein myofibril, garam akan menyelimuti lemak dan mengikat air sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil. Konsentrasi garam yang digunakan dalam berbagai produk sosis bervariasi tergantung asal pembuatan sosis ters ebut, biasanya untuk sosis segar 1,5 -2% (Rust, 1987). Menurut Savic (1985), jumlah garam yang ditambahkan tergantung pada jenis sosis terutama kadar lemaknya, biasanya berkisar antara 1,8-2,2%. Sodium Trifosfat (STPP) Fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah penambahan fosfat dalam curing tidak boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus mengandung fosfat kurang dari 0.5 % (Soeparno,1994). Menurut Wilson et al. (1981), penambahan polifosfat pada produk olahan daging dalam bentuk kering rata-
rata 0.3 %. Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Fosfat yang digunakan dalam sistem pangan menampilkan fungsi- fungsi kimia yaitu mengontrol pH, meningkatkan kekuatan ionik dan memisahkan ion logam. Fungsi- fungsi tersebut dipakai dalam produk daging untuk meningkatkan daya mengikat air, emulsifikasi dan memperlambat oksidasi. Bumbu-bumbu Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan organik yang telah dikeringkan dan biasanya sudah dalam bentuk serbuk (Rust, 1987). Bumbu merupakan senyawa nabati yang dapat dimakan. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan cita rasa (Soeparno, 1994). Menurut Aberle et al. (2001), fungsi bumbu yaitu sebagai pemberi cita rasa, penambah karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan. Savic (1985) menyatakan jumlah bumbu yang ditambahkan dalam campuran sosis bervariasi dari 0,7-2% atau lebih. Bawang Putih Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan kedalam bahan makanan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera. Bawang putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri. Minyak atsiri bawang putih bersifat antibakteri dan antiseptik. Selain itu, dalam bawang putih terdapat scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Komposisi kimia bawang putih bubuk per 100 g terdiri dari 6,5 g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g dan karbohidrat 77,6 g (Farell, 1990). Lada Lada memproduksi beberapa komponen antara lain terpen, hidrat afelandren, dipenten, dan beta-kariofilin. Lada pada konsentrasi lebih dari 3% dapat menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes (Ting dan Diebel, 1992). Komposisi kimia pada lada putih per 100 g terdiri dari 11,4 g air, protein 10,4 g, lemak 2,1 g, abu 1,6 g, dan karbohidrat 68,6 g ( Farell, 1990).
Pala Pala (Imyrtistica fragans houtt) sebagai bumbu dihasilkan dari biji pala yang mengandung fixed oil yang terdiri atas trimyristin, gliceril ester dari asam-asam palmitat, oleat dan linoleat dari fraksi yang tidak tersaponifikasi seperti mysristicin. Komposisi kimia pala bubuk per 100 g erdiri dari 8,2 g air, protein 6,7 g, lemak 32,4 g, abu 2,2 g, dan karbohidrat 50,5 g (Farell, 1990). Bahan Pengikat dan Pengisi Tujuan penambahan dari bahan-bahan ini adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air produk daging, meningkatkan citarasa,
mengurangi pengerutan produk
selama pemasakan,
menigkatkan
karakteristik irisan produk dan mengurangi biaya formulasi bahan (Soeparno, 1994). Manurut Kramlich (1971), bahan pengikat dan bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan kandungan protein dan karbohidratnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi lemak, sedangkan bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit mempengaruhi emulsifikasi lemak. Pemilihan bahan pengikat dan bahan pengisi yang akan digunakan harus memiliki daya serap air yang baik, memiliki rasa yang enak, memberikan warna yang menarik, dan harganya murah. Susu skim dapat digunakan sebagai bahan menambah nilai gizi sosis (Wilson et al., 1981). Menurut Ockerman (1983), komposisi susu skim terdiri dari kadar air 3,0%, protein 38,0%, lemak 1,0%, abu 7,0% dan karbohidrat 51%. Salah satu bahan pengisi yang sering digunakan dalam pengolahan daging adalah tepung tapioka. Tapioka merupakan sumber karbohidrat yang cukup tinggi dengan kandungan karbohidrat 86,9 g dalam 100 g bahan. Komposisi utama tapioka adalah kadar air 12,0% bahan basah, kadar protein 0,15% bahan kering, lemak 0,3% bahan kering, dan abu 0,3% bahan kering (Direktorat Gizi, 1995). Selongsong Selongsong atau casing sosis terdapat dalam dua macam, yaitu selongsong alami dan buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti sapi, domba, dan babi. Selongsong alami mudah mengalami kerusakan oleh
mikroorganisme, sehingga perlu dilakukan penggaraman yang diikuti dengan pembilasan (Hui et al.,2001). Menurut Kramlich (1971), ada lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu: 1) selongsong yang terbuat dari usus hewan, 2) selongsong yang terbuat dari kolagen, 3) selongsong yang terbuat dari selulosa,4) selongsong yang terbuat dari plastik, 5) selongsong yang terbuat dari logam. Penyimpanan pada Suhu Dingin Menurut Winarno (1997), pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan yaitu 2-10˚C. Pendinginan yang biasa dilakukan dalam lemari es umumnya mencapai 4-8˚C. Penyimpanan daging pada suhu dingin dapat memperpanjang
daya
tahan
daging
karena
pada
suhu
dingin
aktivitas
mikroorganisme dapat dihambat dan ditekan. Tujuan penyimpanan dingin atau pendinginan adalah mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Penyimpanan pada suhu dingin dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima dan dikonsumsi selama mungkin oleh konsumen. Penyimpanan dingin dapat mencegah pertumbuhan
mikroorganisme
termofilik
dan
mesofilik.
Beberapa
jenis
mikoorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukan, tetapi jenis ini tidak bersifat patogen (Fellows, 1990). Penyimpanan pada suhu dingin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, bentuk dan penampakan bahan pangan, namun perlu mengikuti prosedur standar dengan lama penyimpanan tertentu (Daulay, 1988). Masa simpan bahan pangan perishable seperti daging dan ikan mentah pada suhu 5,5˚C adalah kurang dari satu minggu. Sosis mempunyai masa lama simpan yang berbeda-beda, tergantung dari cara pengolahannya. Sosis mentah harus disimpan dalam refrigerator dengan kemasan utuh, dapat disimpan dalam waktu tiga hari atau simpan beku, dan masak sempurna sebelum dikonsumsi. Sosis masak dapat disimpan dalam refrigerator selama tujuh hari setelah kemasan dibuka, atau simpan beku. Sosis kering dapat disimpan pada suhu ruang sampai tiga minggu. Sosis semi kering dapat bertahan hingga tiga minggu (kemasan utuh) dengan penyimpanan dalam refrigerator. Jika kemasan sudah terbuka, simpan dalam refrigerator dan habiskan dalam waktu tiga hari atau simpan beku (Syamsir, 2009).
Perubahan Karakte ristik Fisik, Kimia, dan Organoleptik ( Selama Penyimpanan pada Suhu Dingin) Penyimpanan bahan baku pangan dalam refrigerator selain dapat memperpanjang masa simpan, ternyata juga dapat merusak bahan baku itu sendiri. Kerusakan bahan baku dapat dilihat dari beberapa karakteris tik yaitu sifat fisik, kimia, dan organoleptik. Perubahan Sifat Fisik Perubahan sifat fisik adalah perubahan yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau tidak menggunakan bantuan bahan kimia. Menurut penelitian Ruban (2008), perubahan sifat fisik pada sosis dengan perlakuan penambahan tepung kentang dan tepung tapioka pada penyimpanan suhu dingin terdapat pada nilai pH sosis babi. Nilai pH sosis semakin lama semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sosis didalam lemari pendingin, perlakuan yang diberikan, serta interaksi diantara keduanya. Menurut Reddy et. al. (1995), peningkatan nilai pH diakibatkan peningkatan substansi dasar volatile yaitu ammonia karena kativitas bakteri. Perubahan sifat fisik selama penyimpanan pada suhu dingin juga dapat terlihat dari kemampuan daya mengikat air daging. Menurut penelitian Banani et al. (2006), seiring dengan lama penyimpanan dalam refrigerator, kemampuan daya mengikat air oleh organ (otot bisep femur, jantung, ginjal, dan hati) daging kambing semakin lama semakin menurun. Penurunan daya mengikat air oleh jantung, ginjal, dan hati terlihat signifikan pada hari kelima penyimpanan pada
suhu dingin.
Penurunan daya mengikat air pada otot bisep femur terlihat signifikan pada hari ke15. Aktivitas air pada bahan pangan selama proses penyimpanan banyak dipengaruhi oleh bahan pengawet yang digunakan. Menurut penelitian Khuntia et al. (1993), ikan bandeng dengan perlakuan berbagai bahan pengawet (sodium benzoat, potassium sorbat dan sodium dihidrogen phosphat), kadar airnya meningkat selama masa simpan 119 hari pada suhu dingin. Perubahan Sifat Kimia Perubahan sifat kimia dapat terjadi pada produk bahan makanan dengan
penyimpanan pada suhu dingin. Menurut penelitian Pathir et al. (2009), terdapat perubahan tingkat keasaman pada ikan fillet yang disimpan selama 84 hari pada suhu dingin. Tingkat keasaman meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Faktor yang mempengaruhi tingkat keasaman ini antara lain adalah spesies ikan yang dipakai dan banyaknya lemak yang terkandung dalam ikan tersebut. Total volatile basic nitrogen (TVB-N) pada bahan pangan dapat berubah seiring dengan lama penyimpanan pada suhu dingin. Menurut penelitian Pathir et al. (2009), nilai TVB-N pada ikan fillet meningkat secara konstan seiring dengan lama simpan 84 hari mencapai 11,41-19,12 mg/100g. Nilai TVB-N yang baik pada sebuah bahan pangan ialah dibawah 32-40 mg/100g. Penggunaan bahan pengawet (potasium sorbat dan kombinasi garam) dapat menekan nilai TVB-N dan meminimalisir aktivitas mikroba. Perubahan Sifat Organoleptik Lama masa simpan bahan makanan dalam refrigerator dapat mempengaruhi sifat sensori atau organoleptik bahan makanan tersebut. Menurut Ogunbowo dan Okanlawon (2006), semakin panjang masa simpan bahan makanan dalam refrigerator, maka semakin menurun daya terima sensori
(bau dan penampilan
umum) bahan makanan dengan atau tanpa perlakuan apapun. Pada penelitiannya, hasil organoleptik terbaik adalah daging ayam tanpa perlakuan yang disimpan selama nol hari dibandingkan daging ayam dengan perlakuan pada waktu yang sama. Perubahan daya terima (bau) mulai terlihat pada lama penyimpanan hari ke 14 dan 21. Perubahan sifat organoleptik juga dilihat pada perubahan warna, rasa, dan tekstur bahan makanan. Pada penelitian Banani et al. (2006), perubahan warna pada organ kambing (ginjal, hati, jantung, dan otot bisep femuris) yang diteliti berubah pada penyimpanan suhu dingin hari ke-5 dan ke-10. Semakin lama masa simpan dalam refrigerator, warna merah pada organ kambing semakin menurun intensitasnya. Bahkan diakhir penyimpanan terbentuk lendir berwarna kehijauhijauan pada organ hati tanpa perlakuan. Selama proses penyimpanan dalam lemari pendingin, penurunan intensitas rasa daging organ berubah secara signifikan. Secara keseluruhan intensitas rasa menurun pada daging organ dengan perlakuan maupun kontrol. Penurunan intensitas
rasa ini ditunjukkan dengan timbulnya rasa asam pada organ kambing (Banani et al.2006). Seiring dengan lama penyimpanan pada suhu dingin, nilai tekstur daging akan meningkat, walaupun nilai daging kontrol lebih baik daripada daging dengan perlakuan. Nilai tekstur pada otot bisep femuris tidak berbeda nyata terhadap lama penyimpanan pada suhu dingin (Banani et. al.2006). Kekenyalan pada bahan makanan juga dapat berubah pada penyimpanan suhu dingin. Menurut Gedikoglu (2008) pada penelitiannya, bologna siap santap dengan perlakuan penambahan antimikroba yang disimpan selama 112 hari pada penyimpanan suhu dingin bersifat berbeda nyata terhadap kekenyalannya dengan bologna tanpa perlakuan penambahan antimikroba atau kontrol.