TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Pustaka 2. Tumbuhan Sarang Semut (Myrmecodia pendens) Tumbuhan sarang semut merupakan tumbuhan epifit yang hidupnya menempel pada tumbuhan lain, seperti pada pohon kayu putih (Melaleuca), cemara gunung (Casuarina), kaha (Castanopsis), dan beech (Nothofagus). Pada umumnya hanya memiliki satu batang, jarang bercabang, dan mempunyai ruas yang tebal dan pendek. Batang bagian bawahnya secara progresif menggelembung dengan sendirinya sejak dari perkecambahan biji. Daun umumnya tebal seperti kulit dan pada beberapa spesies mempunyai daun yang sempit dan panjang. Hipokotilnya berbentuk bulat saat muda dan memanjang setelah tua tetapi ada juga jenis yang bulat tidak beraturan. Kulit hipokotil pada umumnya berduri. Tumbuhan sarang semut mulai berbunga pada saat terbentuk beberapa ruas (internodal) pada batang dan bunga muncul pada tiap buku (nodus). Dua bagian pada setiap bunga berkembang pada suatu kantong udara (alveolus) yang berbeda. Alveoli tersebut mungkin ukurannya tidak sama dan terletak pada tempat yang berbeda di batang. Buah berkembang dalam alveolus dan menjadi menonjol keluar hanya setelah masak. Gambar 1 menunjukkan tumbuhan sarang semut (Subroto dan Saputra 2006). Tempat pohon sarang semut bergantung Kulit umbi umumnya berduri Domatia/labirin berbentuk lorong
Batang Daun Daging umbi atau hipokotil (Caudex)
Gambar 1 Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr.&Perry) (Sumber : http://www.griffith.edu.au/)
Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah daging hipokotil (caudex). Permukaan hipokotil dipenuhi oleh duri tajam yang dapat melindungi semut dari pemangsa herbivora. Pada bagian dalam hipokotil terdapat domatia atau labirin yang dihuni ratusan semut. Dihabitat liarnya, labirin ini dihuni oleh beragam jenis semut dengan satu jenis tumbuhan sarang semut dihuni oleh satu jenis semut. Secara umum ditemukan tiga jenis semut dari genus Iridomyrmex (Natural 2006). Gambar 2 menunjukkan penampang melintang hipokotil tumbuhan sarang semut .
Gambar 2 Penampang melintang hipokotil tumbuhan sarang semut Hasil identifikasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Zoologi LIPI menyatakan bahwa tumbuhan sarang semut jenis Myrmercodia pendens Merr. & Perry dihuni oleh koloni semut dari jenis Ochetellus sp. Selain semut, cendawan endofit juga menghuni hipokotil sehingga terjadi simbiosis antara
tumbuhan
sarang semut, semut, dan cendawan (http://www.trubus-online.com). Gambar 3 menunjukkan semut Ochetellus sp. yang hidup di dalam labirin hipokotil tumbuhan sarang semut.
Gambar 3 Semut Ochetellus sp. yang hidup di dalam labirin hipokotil tumbuhan sarang semut (Sumber : http://www.myrmecos.net/ants/Ochetellus2.html)
Tumbuhan sarang semut merupakan anggota famili Rubiaceae, terdiri atas 5 genus namun hanya dua genus yang paling dekat berasosiasi dengan semut yakni Myrmecodia dan Hydnophytum. Hydnophytum terdiri atas 45 spesies dan Myrmecodia terdiri 26 spesies. Spesies yang banyak digunakan sebagai bahan obat adalah Hydnophytum formicarum, Myrmecodia tuberosa dan Myrmecodia pendens. Taksonomi dari Myrmecodia pendens yang diteliti adalah: Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Lamiidae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Myrmecodia
Spesies
: Myrmecodia pendens Merr. & Perry (Subroto dan Saputra 2006).
Secara ekologi, tumbuhan sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon dipinggir pantai hingga ketinggian 2.400 m diatas permukaan laut. Tumbuhan sarang semut lebih banyak ditemukan di hutan dan daerah pertanian terbuka dengan ketinggian sekitar 600 m dan jarang ditemukan di padang rumput dan hutan tropis dataran rendah. Penyebaran tumbuhan sarang semut banyak ditemukan mulai dari Semenanjung Malaysia hingga Filipina, Kamboja, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua, Papua Nugini, Cape York, hingga kepulauan Solomon. Keanekaragaman tumbuhan sarang semut ditemukan di pulau Papua terutama di daerah Pegunungan Tengah, yaitu hutan belantara Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Paniai. Nama daerah tumbuhan sarang semut di Sumatera adalah rumah semut, di Jawa adalah ulek-ulek polo dan di Papua adalah lokon, suhendep atau nongon. Nama di Malaysia adalah periok hantu, peruntak, sembuku (peninsular) dan nama di Vietnam adalah By ki nan, k[yf] nam gai, k[yf] nam ki[ees]n (Subroto & Saputro 2006). Kandungan zat-zat bermanfaat yang telah diketahui terdapat di dalam sarang semut diantaranya adalah zat antioksidan, zat inhibitor xanthine oxidase, flavonoid, tanin, tokoferol dan polisakarida. Disamping zat diatas terdapat juga
multimineral berupa kalsium, natrium, kalium, seng, besi, fosfor, dan magnesium (Natural 2006). Tabel 1 menunjukkan komposisi hipokotil tumbuhan sarang semut. Tabel 1 Komposisi hipokotil tumbuhan sarang semut (Natural, 2006) No 1 2 3 4 5 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Parameter uji Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Total fenol Kalsium (Ca) Natrium (Na) Kalium (K) Fosfor (P) Magnesium (Mg) Seng (Zn) Besi (Fe) Tokoferol Energi
Komposisi (g/100g) 4,54 11,13 2,64 2,75 78,94 0,25 0,37 68,58 3,61 0,99 1,50 1,36 mg/100g 29,24 mg/100g 31,34 mg/100g 350,52 Kkal/100g
Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan berfungsi untuk melindungi sel-sel tubuh agar dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik, jika sel bekerja dengan baik maka penyakit yang mengganggu fungsi sel seperti kanker dapat dicegah (Anonim 2007). Radikal bebas merupakan jenis oksigen yang memiliki tingkat reaktif yang tinggi dan secara alami ada didalam tubuh sebagai hasil dari reaksi biokimia didalam tubuh. Radikal bebas juga terdapat di lingkungan sekitar kita yang berasal dari polusi udara, asap tembakau, bahan pengawet dan pupuk yang berlebihan, yang dapat merusak sel tubuh apabila tubuh kekurangan zat antioksidan atau saat tubuh kelebihan radikal bebas. Hal ini dapat menyebabkan berkembangnya sel kanker, penyakit hati, katarak, dan penyakit degeneratif lainnya, bahkan juga mempercepat proses penuaan (Sofia 2003). Mekanisme kerja dari antioksidan adalah menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Sekarang ini kita dapat menjumpai antioksidan untuk memenuhi kebutuhan di dalam tubuh, beberapa diantaranya yaitu vitamin E, vitamim C, kelompok karatenoid (beta karoten, likopen, dan lutein), serta kelompok flavonoid. Sedangkan contoh mineral antioksidan yaitu selenium dan seng (Novalia 2003). Antioksidan berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Antioksidan primer, berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena dapat mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal ini sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini adalah enzim superoksida dismutase (SOD), yang mempunyai fungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan akibat serangan radikal bebas. Antioksidan sekunder, berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan ini adalah vitamin C, vitamin E dan beta karoten yang dapat diperoleh dari buah-buahan. Antioksidan tersier, berfungsi memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan oleh serangan radikal bebas. Contoh antioksidan ini adalah enzim yang dapat memperbaiki DNA pada inti sel yaitu metionin sulfoksida reduktase sehingga dipergunakan untuk perbaikan DNA pada penderita kanker (Novaliana 2003; Ahmad 2003).
DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil) Rumus bangun : N-N(C6H5)2
O2N
NO2
NO2
Dengan
nama
kimia
1,1-
difenil-2-pikrilhidrazil;
2,2-
difenil-1-(2,4,6-
trinitrofenil) hidrazil, merupakan prisma besar berwarna ungu gelap yang mudah larut dalam metanol dan etanol serta memiliki titik lebur 127-129°C, digunakan sebagai reagen analitik untuk substansi pereduksi.
Pada prinsipnya uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan 1,1- Difenil-2pikrilhidrazil sebagai radikal bebas sehingga terjadi perubahan stuktur dari 1,1difenil-2-pikrilhidrazil (berwarna ungu) menjadi 1,1- difenil-2-pikrilhidrazin yang stabil (berwarna kuning). Mekanisme reaksi antara 1,1- Difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dengan antioksidan : N-N(C6H5)2
O2N
H
N-N(C6H5)2
O2N
NO2
+
NO2
+
AH
NO2
A
NO2
Rumus perhitungan hambatan aktivitas radikal bebas (%) : Ab - As Hambatan Aktivitas Radikal Bebas (%) = ----------- X 100 % Ab Keterangan : Ab = serapan blanko DPPH dalam metanol As = serapan DPPH setelah bereaksi dengan sampel
Nilai IC50 (Inhibitor Concentration 50) adalah konsentrasi antioksidan (µg/ml) yang mampu menghambat 50% aktivitas radikal bebas
Pola aktivitas antioksidan dari bahan yang diuji dinyatakan aktif bila menghambat radikal bebas lebih dari 80%, dinyatakan sedang keaktifannya bila mengahmbat 50-80%, dan dinyatakan tidak aktif bila menghambat kurang dari 50%. Alat yang digunakan untuk mengukur serapan pada uji antioksidan dengan menggunakan metode DPPH ini adalah spektrofotometer UV-VIS (Yen 1995)
Uji Toksisitas dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Kemampuan bahan aktif untuk membunuh larva udang (brine shrimp) Artemia salina L., merupakan salah satu metode yang disarankan oleh Mc Laughin & Ferrigni 1983, dalam studi senyawa antitumor dari jaringan tumbuhan, selain pengamatan kemampuan daya inhibisi bahan aktif terhadap pertumbuhan sel tumor pada kentang. Metode ini banyak digunakan untuk uji hayati dalam analisis residu pestisida, anestetika, senyawa turunan morfin, karsinogenisitas suatu senyawa, dan polutan pada air laut. Keuntungan metode ini diantaranya adalah cepat, biaya yang digunakan relatif sedikit, sederhana dan tidak memerlukan serum hewan. Prinsip uji ini adalah komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan pada dosis yang tinggi dan obat adalah racun dari suatu bahan bioaktif dosis rendah (Meyer et al 1982). Meyer et al., 1982, pertama kali menemukan adanya korelasi positif antara toksisitas dengan metode BSLT dan efek sitotoksik pada kultur sel 9 KB (karsinoma nasofaring pada manusia). Beberapa senyawa antikanker telah dapat diisolasi dari bahan alam yang dilakukan dengan ekstraksi dan partisi yang terpantau dengan BSLT. Tiga senyawa diantaranya mampu menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro. Ketiga senyawa tersebut diidentifikasi sebagai uvaricin dari tumbuhan Uvarica accuminata dan bullacitin yang diisolasi dari tumbuhan Anona bullata, serta oleandrin dari tumbuhan Nerium oleander (Alam 2002). Larva udang yang digunakan berumur 48 jam karena pada umur tersebut larva A. salina bersifat paling peka. Hal ini disebabkan dinding sel larva masih lunak sehingga senyawa asing dalam air laut yang diserap melalui dinding selnya akan segera mempengaruhi hidupnya. Senyawa asing yang bersifat racun itu akan menyebabkan kematian pada larva udang. Sebagai media penetasan telur A. salina digunakan air laut dengan bantuan aerator (dengan kekuatan aerasi sedang) untuk memenuhi kadar oksigen yang terlarut. Gelembung udara yang berasal dari aerator ini juga berfungsi untuk mengaduk telur secara merata sehingga telur tidak mengendap pada dasar wadah, karena jika hal ini terjadi maka telur akan sulit menetas karena kekurangan oksigen (Purwantini et al 2002).
Toksisitas senyawa aktif dalam ekstrak tumbuhan ditentukan berdasarkan nilai konsentrasi letal (LC50) pada hewan uji Artemia salina Leach Lethal Concentration atau LC50 merupakan konsentrasi senyawa yang mematikan 50% dari populasi hewan uji. Data mortalitas larva A. salina terhadap ekstrak selanjutnya diproses melalui program komputer Probit Analysis Method untuk memperoleh nilai LC50 dengan selang kepercayaan 95%. Senyawa dengan nilai LC50<1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktivitas (Meyer et al 1982).
Kromatografi Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat pelarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Gritter et al 1991).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia yang terdiri atas zat penjerap yang merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata (fase diam) kemudian campuran yang akan dipisahkan dalam bentuk larutan ditotolkan berupa bercak (spot) atau pita (bend), setelah itu lapisan diletakkan didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna dapat dideteksi dengan cara disemprot menggunakan pereaksi khusus dan/atau dipanaskan di atas hot plate atau diletakan dibawah sinar UV pada 245 nm dan/atau 365 nm (Gritter et al 1991; Stevenson 1991). Fase diam (lapisan penjerap), penjerap polar yang umum dipakai adalah silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, sephadex dan lain-lain. Sedangkan penjerap nonpolar yang dapat digunakan antara lain RP18.
Fase gerak (pelarut pengembang), fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah pelarut harus murni, campuran pelarut hanya boleh digunakan maksimum sampai dua atau tiga kali, komposisi campuran dapat berubah karena penyerapan atau penguapan dan komponen-komponen campuran pelarut mungkin bereaksi satu sama lain. Bejana kromatografi dan penjenuhan, KLT dapat dilakukan dalam bejana atau wadah apa saja yang dapat ditutup rapat. Penjenuhan biasanya dilakukan dengan melapisi dinding bejana dengan kertas saring (Gritter et al 1991). Penotolan cuplikan,
cuplikan biasanya ditotolkan sebagai bercak bulat atau garis
1,5-2,0 cm dari tepi bawah. Pada umumnya cuplikan ditotolkan sebanyak 1-10 µl dengan menggunakan mikropipet (Gritter et al 1991). Pengembangan, pengembangan adalah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal yaitu jarak antara garis awal dan garis depan ialah 100 mm (Gritter et al 1991). Deteksi senyawa yang dipisah, deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan didaerah sinar UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira pada 254 nm) atau gelombang panjang (365 nm). Jika dengan kedua cara itu senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan reaksi kimia yaitu dengan pereaksi semprot (pereaksi penampak bercak) pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter et al 1991). Penilaian dan dokumentasi kromatogram, jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf.
Rf =
Jarak Titik Pusat Bercak dari Titik Awal Jarak Garis dari Titik Awal
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. Tetapi, karena angka Rf merupakan fungsi sejumlah faktor, angka ini hanya sebagai petunjuk dan angka hRf yang dicantumkan untuk
menunjukkan letak suatu senyawa pada kromatogram (Gritter et al 1991; Stevenson 1991).
Kromatografi kolom Kromatografi kolom merupakan suatu mekanisme pemisahan berdasarkan adsorbsi komponen-komponen campuran dengan afinitas yang berbeda-beda pada permukaan fase diam. Pemisahan yang terjadi tergantung dari jenis fase gerak yang digunakan, biasanya terbuat dari kaca yang dilengkapi kran jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran pelarut. Prinsip kerja dari kromatografi kolom yaitu, campuran yang akan dipisahkan dimasukkan ke dalam kolom yang berupa tabung kaca, tabung logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fase gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Kemudian senyawa akan bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas kolom (Gritter et al 1991; Stevenson 1991). Komponen kromatografi kolom terdiri dari : Kolom Kromatografi, ukuran kolom bermacam-macam, tetapi pada umumnya mempunyai panjang sekurang-kurangnya sepuluh kali sampai seratus kali garis tengah dalamnya. Ukuran kolom dan banyak penyerap yang dipakai ditentukan oleh bobot campuran sampel yang akan dipisahkan. Penjerap, ada beberapa jenis penjerap yang biasa digunakan yaitu silika gel, alumina, poliamida, selulosa, arang aktif dan gula tepung. Namun yang paling berguna dan mudah didapat yaitu alumina dan silika gel. Pelarut pengelusi, kromatografi kolom memerlukan waktu yang lama dan bahan yang banyak, dan kita perlu memastikan pelarut atau campuran pelarut yang dapat menghasilkan pemisahan yang diinginkan. Ada tiga cara untuk memastikan pelarut atau campuran pelarut yang akan digunakan sehingga dapat menghasilkan pemisahan yang diinginkan yaitu penelusuran pustaka, mencoba menerapkan data KLT pada pemisahan dengan kolom, pemakaian pelarut yang tidak menggerakkan sampel sampai pelarut yang lebih polar yang menggerakkan sampel (Gritter et al 1991; Stevenson 1991).
Spektrofotometri Spektrofotometri adalah suatu metode pengukuran serapan radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada panjang gelombang tertentu. Spektrofotometer terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang dapat diabsorbsi(Cresswell 1981; Williard 1988).
Spektrofotometri Ultraviolet-Cahaya Tampak (UV-VIS) Spektrofotometri UV-VIS adalah suatu metode yang digunakan untuk mengidentifiksi suatu senyawa berdasarkan penyerapan sinar ultraviolet pada larutan tak berwarna atau penyerapan sinar tampak pada larutan berwarna. Spektrum absorbsi daerah ini adalah190-780 nm. Pengukuran serapan dapat dilakukan di daerah ultraviolet pada panjang gelombang 190-380 nm atau pada daerah cahaya tampak pada panjang gelombang 380-780 nm. Identifikasi kualitatif senyawa organik dalam daerah ini jauh lebih terbatas daripada dalam infra merah. Ini karena pita absorbsi terlalu lebar dan kurang terinci. Meskipun spektrum pada daerah UV-VIS dari suatu zat tidak khas, akan tetapi sangat cocok untuk analisis kuantitatif, dasar dari analisis ini yaitu intensitas cahaya yang diserap tergantung dari jumlah molekul atau kadar larutan dari zat peresap dan hal tersebut dapat dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer sebagai berikut: (Stuart 1996). A=abc Keterangan : A = serapan ; a = daya serap; b = tebal larutan (cm); c = konsentrasi (g/L) Dimana serapan yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan jumlah konsentrasi dari larutan sampel, semakin tinggi konsentrasi maka akan semakin tinggi serapan yang dihasilkan. Pemilihan pelarut yang digunakan dalam spektrofotometri UV sangat penting, pelarut tidak boleh mengabsorbsi cahaya pada daerah panjang gelombang dimana dilakukan pengukuran sampel. Pelarut yang umum digunakan adalah air,
etanol, dan n-heksan, karena pelarut ini transparan pada daerah UV (Cresswell 1981). Suatu spektrofotometer UV-VIS tersusun atas : Sumber cahaya, yang digunakan untuk daerah ultraviolet adalah lampu deuterium atau lampu hidrogen, sedangkan untuk daerah visible adalah lampu wolfram, tungsten. Monokromator, digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya dapat berupa prisma atau grating. Sel absorbsi (kuvet), yang biasa digunakan pada pengukuran didaerah ultraviolet adalah kuvet yang dibuat dari kuarsa, sedangkan untuk daerah visible adalah kuvet yang terbuat dari kaca. Umumnya tebal kuvet 10 mm. Detektor, berfungsi untuk mengubah energi radiasi menjadi sinyal listrik. Penguat (amplifier), berfungsi untuk membuat sinyal listrik yang lemah menjadi kuat. Rekorder, adalah spektrup pencatat yang dapat menunjukkan besarnya sinyal listrik.
Spektrofotometri IR (Infra Red) Spektroskopi IR digunakan untuk penentuan struktur, khususnya senyawa organik dan juga untuk analisis kuantitatif. Spektrum infra merah memberikan puncak-puncak maksimal yang jelas sebaik puncak minimumnya. Bila dibandingkan dengan daerah UV-tampak, dimana energi dalam daerah ini dibutuhkan untuk transisi elektronik, maka radiasi infra merah hanya terbatas pada perubahan energi setingkat molekul. Untuk tingkat molekul, perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi digunakan untuk mengabsorbsi sinar infra merah. Radiasi medan listrik yang berubah-ubah akan berinteraksi dengan molekul dan akan menyebabkan perubahan amplitudo salah satu gerakan molekul yang akan menghasilkan spektrum khas yang digunakan untuk mengidentifikasi golongan senyawa, gugus fungsi dan juga tipe substitusi pada senyawa aromatik. Daerah radiasi yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis adalah 4000-690 cm-1 (Stahl 1985). Suatu spektrofotometer IR terdiri atas : Sumber radiasi, yang paling umum digunakan adalah Nernst atau lampu glower, berupa batang berongga dengan diameter 2 mm dan panjang 30 mm.
Detektor, yang banyak digunakan adalah detektor termal. Monokromator, yang digunakan dalam infra merah terbuat dari berbagai macam bahan, misal ; prisma dan silika yang terbuat dari gelas, lelehan silika, NaCl, KBr. Tetapi umumnya banyak digunakan adalah prisma NaCl untuk daerah 4000-600 cm-1 dan prisma KBr untuk 400cm-1 (Stahl 1985).
Spektrofotometri FTIR (Fourier Transformation Infra Red) merupakan metode baru untuk memperoleh inframerah dengan jarak frekuensi 5000-4000 cm-1. FTIR menggunakan Michelson interoferometer sebagai pemisah panjang gelombang (dalam spektofotometer infra merah dispersive menggunakan grating monokromator), detektor yang digunakan terbuat dari bahan tetrtentu yang dapat menerima sinyal yang sangat cepat. Interferogram adalah sinyal yang dihasilkan sebagai fungsi dari perubahan panjang jarak yang ditempuh kedua berkas. Fourier Transformation mengkonversi interferogram menjadi grafik antara serapan terhadap panjang gelombang. Beberapa keuntungan menggunakan FT-IR yaitu dapat melakukan pengukuran lebih cepat, gambar yang dihasilkan diperoleh dengan resolusi yang tinggi (0,001 cm-1), menggunakan sampel yang lebih sedikit dan data yang diperoleh dalam bentuk digital dapat langsung discanning oleh komputer (Stuart 1996) .
Spektrometri Resonansi Magnet Inti (RMI) Spektrum resonansi magnet inti atau nuclear magnetic resonance memberikan gambaran atom-atom H dan atom-atom C didalam molekul. Spektrometri ini didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti tertentu dalam molekul organik. Apabila inti tersebut berada dalam medan magnet yang kuat. Spektrofotometer RMI merupakan metode yang paling tepat untuk menjelaskan struktur molekul organik. Spektrum resonansi magnet inti suatu senyawa dapat dibuat secara langsung dari senyawa bentuk cairan murni. Jika senyawa dalam bentuk padatan maka spektrum ditentukan dalam bentuk larutan. Telah dikenal berbagai jenis pelarut yang dipakai untuk menentukan spektrum resonansi magnet inti. Pada penulusuran proton dari senyawa yang dianalisis, pelarut yang digunakan harus
tidak mengandung proton. Pelarut yang lazim digunakan adalah karbon tetraklorida, D2O, dan deuterokloroform. Pada umumnya RMI digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang telah diketahui. Dengan pergeseran kimia dapat diketahui lingkungan kimia inti yang menghasilkan sinyal dan integrasi terhadap spektrum dapat diperoleh kesimpulan yang berkaitan dengan jumlah relatif inti yang terdapat dalam molekul. Spektrometri resonansi magnet inti dapat digunakan untuk mempelajari proses dinamik dan laju suatu proses. Bahkan resonansi magnet inti dapat dipakai untuk mempelajari reaksi balik yang dapat diikuti dengan metode kinetik (Jenie 2006).