5
TINJAUAN PUSTAKA Daging Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan sembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Temasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals), sedangkan offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi (Lukman et al. 2007). Daging merupakan sumber pangan penting bagi manusia yang memiliki nilai gizi tinggi dan kaya akan protein, energi, vitamin serta mineral. Komposisi nilai protein, lemak, karbohidrat dan mineral pada daging masing-masing secara berurutan sebesar 19%, 2.5%, 1.2% dan 0.65% (Soeparno 2005; Mahgoub et al. 2006). Nilai gizi yang lengkap dan seimbang pada daging mengakibatkan tingginya angka konsumsi daging di masyarakat. Data Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan volume impor ternak dan hasil ternak mengalami peningkatan. Impor sapi bakalan pada tahun 2007 mencapai 414 200 ekor, tahun 2008 sebesar 570 100 ekor dan tahun 2009 sebesar 657 300 ekor. Impor daging sapi pada tahun 2007 mencapai 39 400 ton, tahun 2008 sebesar 45 708 ton dan tahun 2009 sebesar 67 908 ton (Ditjennak 2010). Impor daging sapi melalui pelabuhan laut Tanjung Priok pada tahun 2010 berasal dari Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat secara berturut-turut sebesar 55 415.4 ton, 335.76 ton, 38 672.7 ton, dan 4 837.8 ton (BBKP Tanjung Priok 2010). Volume dan frekuensi impor daging sapi yang melalui pelabuhan Tanjung Priok disajikan pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Data impor daging sapi melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tahun 2009-2010. Tahun 2009 No
Negara
Volume (kg)
Tahun 2010
Frekuensi
Volume (kg)
Frekuensi
1
Australia
53 865 663
6 366
55 415 399
7 706
2
Selandia Baru
28 329 265
5 981
38 672 695
8 463
3
Kanada
503. 93
21
355 7 65
15
4
USA
214.478
28
4 837 831
370
82 912. 99
12 396
99 281 690
16 554
Jumlah
Sumber : BBKP Tanjung Priok 2010. Hormon Kata hormon berasal dari bahasa Yunani yang berarti menimbulkan atau membangkitkan. Hormon adalah suatu zat kimia yang bertugas membawa pesan (chemical messenger), disekresikan oleh jaringan dalam jumlah yang sangat kecil dan dibawa oleh darah menuju target jaringan untuk merangsang aktivitas biokimia atau fisiologis yang khusus (Lehninger 1993). Murray et al. (2003) membagi hormon berdasarkan komposisi kimia menjadi dua yaitu hormon glikoprotein dan steroid. Hormon glikoprotein dihasilkan oleh neurohipofisa, adenohipofisa, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, dan pulau Langerhans. Hormon ini tersusun dari asam amino, dan produksinya bergantung pada substrat, suplai energi serta rangsangan biologis. Hormon glikoprotein merupakan hormon molekul hidrofilik yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel target. Berbagai macam hormon glikoprotein yaitu insulin (polipeptida), glukagon (peptida), growth hormon (peptida), thyroid stimulating hormon (glikoprotein), follicle stimulating hormon (glikoprotein), dan adenocorticotropic hormon (peptida). Hormon steroid terbagi menjadi hormon steroid kelamin (estrogen, progestin dan androgen) dan steroid adrenal (glukokortikoid, mineralkortikoid, dan androgen). Hormon steroid dapat menstimulasi laju pertambahan berat badan, pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi pakan, dan menurunkan perlemakan,
7
termasuk lemak intramuskular (Murray et al. 2003; Nazli et al. 2005). Terdapat berbagai jenis hormon steroid yang umumnya digunakan sebagai pemacu pertumbuhan, yaitu estrogen (estradiol, heksoestrol, dietilstilbestrol, dienoestrol dan zeranol), gestagen (progesteron, medroksiprogesteron asetat, megoestrol asetat, melengestrol asetat, altrenogest), dan androgen (testosteron, nortestosteron, trenbolon, metiltestosteron, klorotestosteron asetat, stanzolol, bodenan) (Soeparno 2005; Murray et al. 2003). Hormon steroid memiliki struktur kimia yang kompleks, mempunyai kerangka karbon berupa empat cincin yang disebut staeran, serta memiliki inti dasar
cyclopentana-perhydrophenanthrene
yang
terdiri
dari
3
cincin
phenantherene (A, B, dan C) dengan 6 atom karbon dan cincin D beranggotakan 5 atom karbon (Murray et al. 2003). Struktur dasar hormon steroid disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur dasar steroid secara umum.
Hormon steroid bersifat hidrophobik atau lipofilik, molekul hormon berdifusi secara bebas masuk sel target yang mengandung sitoplasmik ataupun nukleus protein yang bertindak sebagai reseptor hormon. Melengestrol asetat termasuk hormon steroid non alami, yang merupakan bahan asing bagi tubuh, sedangkan progesteron termasuk hormon steroid yang diproduksi secara alami oleh tubuh (Murray et al. 2003). Santoso (2001) menggolongkan hormon menjadi 3, yaitu hormon seksual alami, steroid anabolik sintetik dan anabolik sintetik tanpa struktur steroid. Hormon seksual alami secara normal ada dalam tubuh, contohnya 17β estradiol (estrogen), progesteron (progestin) dan testosteron (androgen). Hormon steroid anabolik sintetik, antara lain trenbolon, metiltestosteron dan etinil estradiol,
8
sedangkan hormon anabolik sintetik tanpa struktur steroid seperti dietilstilbestrol (DES), stilbestrol, diebestrol, heksestrol, dan zeranol. Penggolongan hormon alami dan hormon sintetik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Penggolongan hormon alami dan hormon sintetik Hormon alami
Hormon sintetik
Testosteron
Trenbolon asetat
Estrogen
Zeranol
Progesteron
Melengestrol asetat Hormon Melengestrol Asetat
Melengestrol asetat (MGA) merupakan hormon sintetik anabolik steroid yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan menekan estrus pada penggemukan
sapi
dara
di
peternakan
(Ducket
dan
Andrae
2000;
Schiffer et al. 2001). Terapi MGA sering digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan, dikarenakan sapi potong betina memiliki tingkat pertumbuhan dan tingkat efisiensi pakan yang lebih rendah dibandingkan dengan pejantan (Cook et al. 2001). Efek penggunaan MGA dapat menyebabkan penambahan jaringan otot pada sapi potong (Ducket dan Andrae 2000; Schiffer et al. 2001). Beberapa negara pengekspor daging menggunakan MGA sebagai bahan imbuhan pakan pada sapi dara, seperti di Amerika Serikat dan Kanada (USFDA 2006). Sebagian besar steroid anabolik sintetik memiliki metabolisme yang kurang baik dan berbeda dengan hormon steroid alam, sehingga tersimpan dalam keadaan tidak berubah dalam hati, ginjal, otot, dan lemak hewan. Meskipun pada manusia sebagian besar dikeluarkan melalui urin (Lekic et al. 2007). Mekanisme hormon MGA belum diketahui dengan jelas, namun MGA dapat merangsang sintesis ovarium dari anabolik steroid estradiol (WHO 2009). Melengestrol asetat sebagai sintetik progestogen, memiliki kemampuan untuk menstimulasi anabolik steroid lain seperti estradiol dan meningkatkan efisiensi produksi hewan. Sintetik progesteron lain yang sering digunakan pada peternakan sapi sebagai pemacu pertumbuhan yaitu chlormadinone asetat (CMA), megestrol asetat (MEGA), medroksiprogesteron asetat (MPA) dan 17 α -hidroksiprogesteron
9
asetat. Struktur dari keempat progestogen tersebut sangat mirip kecuali terdapat perubahan pada rantai C6 (Peng et al. 2008b). Struktur kimia MGA, CMA, MEGA dan MPA disajikan pada Gambar 2. H3C CH3
H
O
CH3
O O CH3
CH3
CH3
H3C
CH3
O
CH3
H
O
O
CH3
Cl
(a) Melengestrol asetat
(b) Chlormadinone asetat
H3C
H3C
O
O
CH3
CH3
OCOCH3
OCOCH3
CH3
CH3
O
O
CH3
CH3
(c) Megestrol asetat
(d) Medroksiprogesteron asetat
H3C CH3
O OCOCH3
CH3
O
(e) 17α-hidroksiprogesteron asetat Gambar 2 Struktur kimia melengestrol asetat, chlormadinone asetat, megestrol asetat, medroksiprogesteron asetat, dan 17α-hidroksiprogesteron asetat.
10
Potensi bioaktivitas meningkat 10-100 kali lebih tinggi bila pemberian MGA dilakukan peroral dibandingkan dengan chlormadinone asetat (CMA) ataupun medroksiprogesteron asetat (MPA), sedangkan pemberian secara parenteral memberikan aktivitas hormon MGA 125 kali lebih tinggi daripada progesteron. Melengestrol asetat memiliki sifat sangat lipofilik sehingga terakumulasi dalam lemak 200 kali lipat lebih tinggi daripada di dalam plasma darah. Melengestrol asetat juga sangat stabil dalam cairan pelarut (WHO 2009). Tingkat clearance MGA sangat dipengaruhi oleh tingkat clearance saluran pencernaan dan komposisi tubuh dari hewan (Daniel et al. 2001). Asupan MGA sangat bervariasi antar hewan kemungkinan dikarenakan adanya hasil clearance sirkulasi metabolik dari MGA yang berbeda-beda antar individu. Afinitas reseptor progesteron lebih besar pada MGA dan MGA mampu menghambat ovulasi pada konsentrasi rendah, sedangkan pada konsentrasi tinggi MGA juga menunjukkan aktivitas estrogen (Perry et al. 2005). Selain pemberian MGA secara oral, penggunaan MGA secara implan selama 14 hari menunjukkan adanya perkembangan rahim, peningkatan sekresi luteinizing hormon dan superovulasi pada masa pubertas (Roberts 2000). Luteinizing Hormon (LH) adalah hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus dan memiliki fungsi mengatur produksi hormon kelamin (gonadotropin), termasuk hormon glikoprotein dengan berat molekul 2,8 x 104 yang tersusun dari 2 sub unit α dan β. Mekanisme kerja LH dengan memacu ovulasi, pembentukan korpus luteum dan memproduksi progesteron (Montgomery et al. 1993). Peningkatan ovulasi di masa pubertas dirangsang oleh sekresi LH, melalui penurunan umpan balik negatif estradiol di hipotalamus yang diperlukan untuk perkembangan folikel pada tahap preovulasi sapi dara (Roberts 2000).
Farmakokinetik dan Biotransformasi Melengestrol Asetat Terapi MGA pada sapi betina menyebabkan peningkatan pelepasan LH secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa MGA menghambat siklus LH dan bersinergis dengan FSH untuk memproduksi estrogen. Melengestrol asetat tidak
11
memiliki aktivitas androgenik dan hanya sedikit memiliki aktivitas estrogenik (Stephany 2010). Waktu paruh MGA yang diberikan secara oral diperkirakan sebesar 3.5 hari dengan dosis 3-5 mg pada wanita. Metabolisme MGA relatif lebih cepat dibandingkan dengan hormon lainnya. Sebanyak 74% MGA diekresikan dalam urin dan feses. Dua bentuk metabolit MGA yg dapat teridentifikasi dalam urin dan feses adalah derivat 2α-hidroksi dan 6-hidroksimetil. Konsentrasi MGA di lemak dapat mencapai <25 ppb. Efek MGA dapat memblokir ovulasi dan siklus menstrusi maupun siklus estrus pada wanita. Melengestrol asetat juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan konsentrasi prolaktin dalam serum tikus yang diberikan imbuhan pakan MGA sebesar 0.2-0.8 mg/hari. Pemberian MGA pada wanita dapat mengakibatkan penundaan onset menstruasi bila diberikan dengan dosis 7.5-10 mg/hari. Dosis minimal efektif MGA bagi wanita adalah sebesar 0.7 mg. Konsentrasi MGA dan metabolitnya paling banyak ditemukan di hati. Studi pada sapi betina bunting yg diberikan pakan MGA sebanyak 0.4 mg/ekor/hari menunjukkan konsentrasi MGA antara 10-20 ppb dalam lemaknya (SCVPH 1999).
Penggunaan Melengestrol Asetat di Negara Eksportir Daging Berdasarkan laporan, sebanyak 30 negara menggunakan satu atau lebih hormon implan maupun dalam bentuk bahan imbuhan pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak, seperti di Amerika Serikat, Australia dan Kanada. Pemberian hormon yang berisi progesteron pertama kali digunakan tahun 1956 untuk meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan mengurangi lemak pada karkas sapi. Penggunaan MGA secara oral dapat meningkatkan marbling karkas atau menambah kandungan lemak karkas di sapi dara. Selanjutnya dikembangkan implant lain dengan kandungan testosteron, zeranol, trenbolon dan kombinasi dengan hormon MGA. Saat ini terdapat 5 hormon (progesteron, testosteron, estradiol 17, zeranol dan trenbolone) yang disetujui sebagai implan pada sapi di Amerika Serikat dan 1 hormon (melengestrol asetat) sebagai bahan imbuhan pakan (Stephany 2010).
12
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh USFDA pada tahun 1999 sebesar 97% sapi potong di Amerika Serikat menerima sedikitnya satu macam terapi hormon selama masa pemeliharan, misalnya hormon estrogen atau androgenik lain (USFDA 2003). Selain Amerika Serikat, Kanada menerapkan pemberian hormon MGA sebagai tambahan pakan dalam bentuk premiks di peternakanpeternakan sapi potong. Laporan badan inspeksi pangan Kanada menunjukkan bahwa 6 dari 7.697 sampel daging sapi positif mengandung MGA (CFIA 2011). Acceptable daily intake (ADI) dari estradiol, progesteron, dan testosteron secara berturut-turut adalah 0.05, 30 dan 2 μg/kg berat badan (Doyle 2000), sedangkan ADI bagi MGA adalah 0-0.03 μg/kg berat badan (CAC 2009). Dosis MGA yang diperbolehkan pada penggemukan sapi adalah 0.25-0.50 mg/ekor per hari dengan masa henti obat (withdrawal time) 48 jam setelah pemberian terakhir. Umumnya MGA diberikan pada akhir periode penggemukan sapi (90-150 hari). Toleransi terhadap MGA ditetapkan sebesar 25 ppb dalam daging hewan (FDA 2000; WHO 2009). Salah satu kekurangan penggunaan MGA adalah MGA harus diberikan selama 14 hari dan terdapat kesulitan untuk memastikan keseragaman dalam konsumsi MGA pada sapi-sapi di peternakan bila diberikan secara per oral (Funston et al. 2001). Schiffer et al. (2001) melaporkan bahwa MGA dapat ditemukan atau diukur dalam feses sapi yang telah diberikan bahan imbuhan pakan. Delapan puluh enam persen hasil metabolit MGA dikeluarkan bersama feses. Studi pada ternak menunjukkan bahwa residu MGA terbanyak terdapat pada hati dan lemak sebesar 80% kemudian di otot sebesar 45%. Analisa residu hormon MGA pada 258 ekor sapi yang diberikan MGA dan tanpa withdrawal time menunjukkan hasil konsentrasi residu sebesar < 10 ppb pada 216 ekor, 35 ekor diantaranya mengandung residu 10-25 ppb dan 7 ekor sapi mengandung residu lebih dari 25 ppb (Hoffman dan Evers 1986). Penggunaan hormon sebagai growth promotor ataupun sebagai terapi telah dilarang di Uni Eropa, disebabkan sistem terapi hormon yang cukup panjang dapat menyebabkan terjadinya residu dalam bahan pangan yang akan berdampak peningkatan resiko kejadian kanker bagi konsumen. Pelarangan penggunaan hormon ini sebagai hasil dari penetapan peraturan residu hormon yang
13
menetapkan tidak diperbolehkan adanya kandungan hormon dalam susu dan daging (Anadon dan Larranaga 1999; Gombíková dan Škarbova 2004; Martemucci dan D’Alessandro 2011). Kajian ilmiah yang dilakukan oleh JEFCA (2006) menunjukkan bahwa sapi yang terpapar MGA dikarenakan dosis penggunaan hormon yang tidak tepat, dapat mempengaruhi perkembangan masa pubertas dan meningkatkan kejadian kanker kelenjar mammae. Pemberian terapi hormon pada tikus menyebabkan penurunan kualitas spermatogenesis dan mengakibatkan infertilitas, namun jika hormon diberikan pada fase post menopause tidak hanya mengakibatkan efek negatif di saluran reproduksi tetapi juga dapat menyebabkan gangguan sistem kardiovaskular dan susunan saraf pusat. Selain itu, pemberian progesteron menginduksi proliferasi sel abnormal yang menyebabkan hiperplasia dan neoplasia. Bukti ilmiah lain menunjukkan bahwa pada manusia yang diberikan terapi hormon progesteron menunjukkan peningkatan kejadian kanker endometrium, payudara dan kanker ovarium pada wanita. Kombinasi estrogen dengan progesteron selama tujuh hari setiap bulan dapat meningkatkan risiko kanker endometrium. Pada pria terapi hormon progesteron mengakibatkan kanker testis dan prostat (EFSA 2007).
Dampak Residu Hormon bagi Manusia Residu merupakan akumulasi obat atau bahan kimia dan/atau metabolitnya yang terdapat pada produk hewan sebagai akibat dari pemakaian atau terkontaminasi obat hewan, hormon, pestisida dan cemaran logam berat pada hewan dan/atau produk hewan baik sebelum proses produksi, dalam proses produksi maupun setelah proses produksi (BSN 2000). Salah satunya penggunaan hormon, yang berfungsi sebagai pembawa pesan kimiawi antar sel atau antar kelompok sel yang berfungsi memberikan sinyal ke sel target yang selanjutnya akan melakukan suatu tindakan atau aktivitas tertentu. Hormon memiliki sifat penting bagi proses fisiologis tubuh, namun intake yang berlebihan dapat menyebabkan efek samping. Dampak kesehatan akibat residu hormon dilaporkan oleh lembaga International Agency for Research on Cancer (IARC) yaitu terjadi peningkatan aktifitas berbagai jenis sel kanker. Diketahui bahwa progesteron meningkatkan kejadian tumor pada ovarium, uterus,
14
dan mammary serta gangguan reproduksi lainnya. Pemberian hormon yang tidak sesuai aturan dosis dapat mengakibatkan penurunan fertilitas dan maskulinitas pada wanita dan anak-anak. Efek negatif lainnya adalah gangguan kardiovaskular, disfungsi hepatik, dan tumor hati (Maravelias et al. 2005). Pemberian sintetik progesteron secara oral menyebabkan bioavailabilitas yang rendah pada gastrointestinal dan dimetabolisme dengan cepat di hati (Doyle 2000). Penggunaan kontrasepsi atau terapi hormon yang mengandung estrogen maupun progesteron akan meningkatkan risiko kanker payudara lebih tinggi daripada hanya pemberian estrogen saja. Konsumsi secara terus menerus juga dapat meningkatkan gejala asma pada manusia (Doyle 2000). Dampak negatif residu hormon pada manusia yang ditimbulkan oleh residu hormon
anabolik
dapat
berupa
reaksi
alergik
seperti
urtikaria
atau
hipersensitivitas pada kulit, efek teratogenik, dan karsinogenik. Residu yang terdapat di dalam produk hewan dapat mengakibatkan reaksi keracunan (Santoso 2001).
Dampak Residu Hormon bagi Hewan Pemberian progesteron oral sebesar 100 mg/kg berat badan pada tikus percobaan akan menginduksi pembentukan mikronuclei di sel hati tikus dan berefek lanjut meningkatkan carsinogenesis pada jaringan reproduksi. Tingkat progesteron yang pernah dilaporkan dalam daging/otot pada sapi jantan sekitar 0.21-1.2 mg/kg (Doyle 2000). Pemberian MGA tidak hanya khusus bagi sapi betina, namun juga diberikan pada pejantan untuk menginduksi hormon alamiah pada pejantan (Jackson et al. 2006). Sapi jantan yang diberikan terapi MGA mengalami penurunan berat testis secara signifikan, sedangkan pemberian MGA dengan dosis 5μg/kg berat badan menyebabkan gangguan siklus menstruasi pada monyet Cynomolgus sp. (WHO 2009). Pemakaian MGA dapat membentuk folikel persisten di ovarium pada sapi potong dan pada domba menyebabkan pembentukan corpus luteum persisten (Perry 2002; Martemucci dan D’Alessandro 2011). Terapi dengan MGA dapat menyebabkan penurunan fertilitas pada sapi betina (Jackson et al. 2006).
15
Pemberian MGA secara subkutan dapat menyebabkan cystic ovarium dan infertilitas pada sapi potong betina (Izquierdo et al. 2006). Progesteron sintetik mampu memacu pertumbuhan kelenjar ambing dan menyebabkan lesi pada uterus. Hal ini akan menyebabkan pyometra, kanker uterus, dan kanker mammae. Paparan MGA secara signifikan juga dapat meningkatkan risiko hiperplasia endometrium,
polip
endometrium,
dan
endometriosis
pada
kucing
(Munson 2006).
Melengestrol Asetat sebagai Kontrasepsi Melengestrol asetat (MGA) merupakan sediaan konstrasepsi progestin komersial yang umum digunakan di peternakan, selain megestrol acetate (MA) dan medroxyprogesterone acetate (MPA). Terdapat tiga kemungkinan mekanisme yang dapat menginduksi kontrasepsi progestin dalam tubuh hewan. Mekanisme pertama melalui umpan balik negatif pada hipotalamus dan kelenjar pituitari yang dapat menekan sekresi GnRH, FSH atau LH serta menyebabkan kegagalan folikulogenesis ataupun ovulasi. Kemungkinan mekanisme lain dengan terjadinya perubahan kemampuan endometrium dalam menerima oosit yang dapat menyebabkan kegagalan implantasi serta adanya penghambatan perkembangan folikel atau ovulasi. Pemilihan MGA sebagai kontrasepsi disebabkan MGA memiliki kemampuan kontrasepsi longterm, reliable dan bersifat reversible pada hewan. Dosis MGA tunggal yang diberikan secara implan, baik subcutan (SC) maupun
intramuscular
(IM)
adalah
sebesar
3-40
mg/kg
berat
badan
(Munson 2006).
Batas Residu Melengestrol Asetat Batas maksimal residu melengestrol asetat menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah sebesar 5ppb dalam daging/jeroan, sedangkan dalam lemak sapi sebesar 8 ppb. Badan Standarisasi Nasional menetapkan batas maksimal residu (BMR) MGA dalam SNI 01-6366-2000 adalah sebesar 25 ppb. Selandia Baru melalui New Zealand Food Safety Autorithy (NZFSA) menetapkan batas maksimum residu MGA dalam daging maupun offal sebesar 1 ppb. Batas maksimum residu MGA menurut BSN, CAC, dan NZFSA disajikan pada Tabel 3.
16
Tabel 3 Batas maksimum residu melengestrol asetat pada pangan asal hewan Lembaga
Pangan Asal Hewan
BMR (ppb)
BSN
Daging
25
CAC
Daging/jeroan sapi
5
Lemak sapi
8
Daging ayam
1
Lemak ayam
18
Daging/offal
1
NZFSA
Sumber : BSN 2000; CAC 2006; CAC 2009; NZFSA 2008.
Penetapan Acceptable Daily Intake dan Batas Maksimum Residu Obat-obatan maupun imbuhan pakan yang mengandung hormon semakin banyak digunakan di peternakan sapi potong. Penggunaan imbuhan pakan ini harus memperhitungkan adanya residu yang ditinggalkan pada bahan pangan dan mengakibatkan ditetapkannya batas maksimum residu (BMR) di tiap-tiap negara guna melindungi konsumen dari resiko residu dalam bahan pangan yang masuk dari negara lain. Penetapan BMR melalui serangkaian pendekatan penilaian, contohnya dengan ditetapkan terlebih dahulu acceptable daily intake. Angka ADI merupakan suatu batas keamanan bahan tambahan pangan yang ditambahkan dalam makanan, kadar yang diinginkan ditambahkan pada makanan dan kadar maksimum yang boleh dipakai tanpa menimbulkan gangguan kesehatan. Nilai ADI menunjukkan total residu dan seluruh metabolit yang aman dikonsumsi sehari-hari selama masa hidup hewan percobaan. Penetapan ADI ditentukan dari NOEL (No observed effect level), yaitu suatu dosis yang tidak mempunyai suatu efek pada hewan percobaan, dan faktor-faktor keamanan pangan (identifikasi bahaya maupun karakteristik bahaya). Pendekatan ADI adalah untuk memperhitungkan efek berdasarkan toksikologi dan biasanya digunakan sebagai standar toksisitas pada hewan percobaan laboratorium, sedangkan NOEL merupakan parameter toksikologi pada spesies hewan percobaan yang paling sensitif dan digunakan sebagai nilai awal penetapan ADI (Anadon dan Larranaga 1999).
17
Nilai ADI dihitung dengan memperhitungkan faktor keamanan yang telah disesuaikan bagi konsumen, pada umumnya 1/100 kadar maksimum yang tidak memberikan pengaruh negatif, dengan asumsi bahwa pada manusia 10 kali lebih sensitif bila dibandingkan dengan hewan percobaan dan 10 kali lipat lebih sensitif pada populasi manusia. Hasil identifikasi dari profil residu dan hewan terapi tersebut menghasilkan angka BMR. Angka BMR sebagai basis data toksikologi yang tetap dan relevan mengenai infomasi absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi pada hewan percobaan dan efek toksik akut maupun kronik (Anadon dan Larranaga 1999). Beberapa negara dalam menetapkan ADI dan MRL untuk MGA berbedabeda, hal ini disebabkan penetapkan ADI dan MRL bergantung pada faktor risiko yang timbul pada setiap warga negara dan berhubungan dengan faktor kebiasaan mengkonsumsi daging, berat badan, dan umur. Badan Standar Nasional (BSN) menetapkan batas maksimum residu (BMR) MGA dalam SNI No. 01-6366-2000 untuk daging sebesar 25 ppb. Angka BMR ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk daging sebesar 5 ppb. Perbedaan BMR yg ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia dengan CAC disebabkan BSN masih mengacu pada Join Expert Committee on Food Authority (JECFA) sebagai pedoman untuk menentukan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan (Zahid et al. 2000).
Metode Deteksi Residu Hormon Secara kualitatif deteksi residu hormon dapat menggunakan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pengujian residu secara kuantitatif dilakukan dengan teknik high performance liquid chromatography (HPLC) (Yesalis dan Bahrke 2005). Metode yang banyak digunakan sebagai uji tapis residu kimiawi dalam bahan makanan termasuk residu hormon adalah metode ELISA. Uji ELISA memiliki
keunggulan
yaitu
sederhana,
sensitif,
efektif
dan
cepat
(Gardner et al. 1996; Peng et al. 2008a). Prinsip ELISA secara umum adalah mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam sampel. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang
18
berpasangan ditandai dengan menggunakan enzim spesifik dan dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal dengan ELISA reader dengan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa konfigurasi antara lain : ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA kompetitif atau ELISA pemblok (Crowther 1995). Enzyme linked immunosorbent assay langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen secara langsung diadsorbsikan ke substrat padat. Permukaan substrat dicuci dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen. Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan antiserum yang spesifik untuk antigen tertentu. Antiserum spesifik harus dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk mendeteksi suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat ditunjukkan dengan adanya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan tergantung dari substrat yang digunakan (Burgess 1995). Konfigurasi ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan tubuh lainnya. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang berubah adalah antibodi primer. Kerapatan densitas (optical density) berhubungan dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat diperoleh dengan menentukan antigen dan konjugat indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tidak adanya spesifisitas akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni (Crowther 1996). Metode ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat (well) untuk menangkap antigen secara spesifik. Tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh
19
harus di ukur. Konfigurasi sisanya serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen dan sistem indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi penangkap dan dalam sistem indikator. Penggunaan antibodi monoklonal yang digabung dengan antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat memperbaiki spesifisitas. Prinsip kerja ELISA penangkap antibodi adalah menggunakan antiglobulin yang terikat pada substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator menempel pada antigen berlabel (Burgess 1995). Teknik ELISA kompetitif adalah adanya kompetisi antara antigen dan antibodi. Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk menangkap antibodi secara langsung maupun antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang telah dilabel bersaing dengan antibodi bebas atau antibodi yang tidak dilabel untuk mendapatkan tempat penempelan pada antigen. Semakin banyak antigen dalam sampel, semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang menempel pada permukaan well. Antibodi yang telah dilabel dapat dideteksi menggunakan antibodi spesifik (Burgess 1995). Keberadaan residu MGA pada daging dan offal juga dapat dideteksi menggunakan
gas chromatography mass spektrometri (GC‐MS) dan liquid
chromatography mass spektrometri (LC-MS) (Daxenberger et al. 1999; Hageleit et al. 2001). Pemeriksaan dengan GC-MS menggunakan filter massa ion, namun kelemahan metode ini adalah repeatabilitas yang rendah akibat efek matriks. Limit deteksi dari GC-MS adalah sebesar 0,2-1 ppb. Metode LC-MS banyak digunakan sebagai uji komplemen dari GC-MS terhadap analisa residu hormon dikarenakan memiliki kelebihan dapat menentukan polar dan non polar atau non volatil compound (EFSA 2007). Metode LC-MS dilakukan dengan evaporasi ekstraksi sampel lemak hewan, kemudian dilarutkan pada fase cair dan dianalisa dengan LC-MS (USDA 2003). Limit deteksi LC-MS bagi pengujian progesteron adalah sebesar 0,1 ppm (Doyle 2000).
20
High performance liquid chromatography (HPLC) telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk mengkuantifikasi residu MGA dalam lemak dan hati sapi. Teknik HPLC merupakan salah satu teknik kromatografi residu MGA untuk zat cair yang disertai dengan tekanan tinggi. Prinsip kerja HPLC adalah pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya, dengan alat yang terdiri dari kolom sebagai fasa diam dan larutan tertentu sebagai fasa gerak. Campuran analit akan terpisah berdasarkan kepolaran dan kecepatannya untuk mencapai detektor (waktu retensinya), dengan bantuan detektor serta integrator akan diperoleh kromatogram yang memuat waktu tambat serta tinggi puncak suatu senyawa (Evans 2004). Optimalisasi sinyal secara manual dihasilkan dengan menyuntikkan cairan solvent blank dan standar untuk menguji stabilitas dan intensitas sinyal atau peak areas. Pembacaan hasil menggunakan kurva regresi linier terkalibrasi dengan membandingkan rasio konsentrasi dan standar peak area serta interpolasi konsentrasi residu. Limit deteksi HPLC adalah sebesar 5 ppb. Metode HPLC banyak dipilih untuk skrining residu karena memiliki akurasi dan sensitivitas yang baik. Teknik HPLC sangat berguna untuk memisahkan beberapa senyawa sekaligus karena setiap senyawa mempunyai afinitas selektif antara fase diam tertentu dan fase gerak tertentu. Kekurangan metode ini adalah membutuhkan waktu yang lama, mahal, dan membutuhkan personil yang terlatih (Zahid et al. 2000; Evans 2004).