TINJAUAN PUSTAKA Daging-Tulang Leher Ayam Pedaging Ayam pedaging terdiri dari ayam ras, buras (bukan ras atau lokal atau kampung) dan ayam culled (ayam afkir dari ayam petelur yang tidak diproduksi lagi). Ayam ras pedaging adalah ayam ras yang dipanen pada umur 8-12 minggu dengan bobot 1,4 kg. Hasil ikutan ternak (animal by-product) merupakan hasil sampingan ternak baik dari pemotongan ternak maupun industri pengolahan ternak. Hasil ikutan yang dapat dimakan (edible) yaitu hati, ampela, jantung, usus, paruparu, kepala, leher, cakar, serta lemak (Kinsman et. al., 1994). Daging-tulang leher ayam pedaging merupakan salah satu hasil ikutan ternak yang pemanfaatannya masih terbatas dan bisa diolah menjadi bahan pangan maupun pakan. Daging-tulang leher ayam pedaging merupakan hasil ikutan ternak yang potensial yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sumber protein dan mineral. Komposisi gizi daging tulang leher ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Daging-Tulang Leher Ayam Pedaging Tanpa Kulit, Saluran Pernafasan dan Saluran Makanan Komponen Kandungan (bb)
(bk)
----------------%--------------Air
73,55
-
Lemak
3,83
14,48
Protein Kasar
15,61
59,02
Abu
6,22
23,52
Kalsium (Ca)
1,24
4,69
BETN
0,01
0,04
Serat Kasar
0,78
2,95
Sumber : Arqiya (2002)
Menurut Lawrie (1995), daging didefinisikan sebagai suatu jaringan hewan dan sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Protein merupakan bahan kering terbesar walaupun selain protein, daging juga mengandung lemak, air, karbohidrat dan senyawa anorganik. Tulang ter-
diri dari sel, serat-serat dan bahan pengisi. Bahan pengisi pada tulang terdiri dari protein dan garam-garam mineral seperti kalsium fosfat 58,3%; kalsium karbonat 1,0%; magnesium fosfat 2,1%; kalsium fluoride 1,9% dan protein sebanyak 30,6% (Ward dan Courts, 1977). Tulang leher ayam memiliki banyak tulang rawan sebagai penyusunnya. Jenis protein yang terdapat pada tulang adalah protein kolagen. Komponen utama penyusun tulang adalah mineral kalsium dan fosfor. Penyerapan kalsium oleh tubuh saling berhubungan dengan sumber makanan lainnya seperti protein, fosfor, vitamin D dan sodium. Daging tulang-leher ayam pedaging dalam kondisi segar akan memiliki resiko besar untuk mengalami kerusakan baik secara fisik maupun biologis. Oleh karena itu, perlu adanya suatu pengolahan terhadap daging-tulang leher ayam pedaging untuk mencegah kerusakan dan meningkatkan daya simpan. Salah satu upaya pengolahan yang dapat dilakukan terhadap daging-tulang leher ayam pedaging segar adalah dengan mengolah daging tulang-leher ayam pedaging segar menjadi tepung. Dagingtulang leher ayam pedaging dalam bentuk tepung akan memiliki kandungan gizi seperti tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging Komponen
Jumlah --------------- % ---------------
Air
5,12
Lemak
14,82
Protein
61,16
Abu
17,54
Kalsium (Ca)
5,36
P
1,60
Sumber : Ningsih et.al., 2008
Jagung (Zea mays) Biji jagung terdiri atas empat bagian pokok yaitu embrio, endosperma, aleuron, dan kulit (pericarp). Jagung mengandung sejumlah karbohidrat, lemak dan protein. Karbohidrat utama dalam jagung yaitu pati sebanyak 72% pada jagung keseluruhan dan 88% pada endosperma (Hoseney, 1998). Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin. Jagung mengandung sekitar 24% amilosa dan 76% amilopektin
(Medcalf, 1973). Jagung memiliki protein prolamin termasuk zein yang memiliki sifat tidak mudah larut dalam air (deMan, 1997). Proses pembuatan snack biasanya menggunakan grits jagung. Grits jagung merupakan biji jagung yang telah lepas bagian lembaga, kulit ari, dan dedak. Grits jagung digunakan karena akan menghasilkan produk ekstrusi yang renyah dan mudah mengembang (Muchtadi et. al., 1988). Grits yang biasa dipakai dalam produksi snack atau crackers yaitu sejenis grits coarse dan medium grits. Kandungan gizi grits jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Kimia Grits Jagung Komponen
Grits Jagung --------------- % ---------------
Air
11,0
Lemak
1,8
Protein
7,2
Karbohidrat
79,2
Serat
4,0
Sumber : Nutrion Data, 2006
Pati Pati merupakan homopolimer yang disusun dari glukosa dengan ikatan αglikosidik. Pati tersusun atas tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan protein serta lemak (Boyer dan Shannon, 2003). Pati pada umumnya mengandung 12-30% amilosa, 75-80% amilopektin dan 5-10% meliputi lemak dan protein. Kandungan amilosa jagung adalah sekitar 24% dan amilopektin 76%. Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dangan ikatan α-(1-4) dari struktur cincin piranosa. Amilopektin merupakan komponen pati yang berbentuk bercabang-cabang. Ikatan yang ada yaitu α-(1-4) pada rantai lurusnya dan ikatan β (1,6) pada titik percabangannya (Winarno, 1992). Amilopektin akan membentuk suatu produk makanan yang ringan, porous, garing, dan renyah. Amilosa cenderung menghasilkan produk keras dan proses mekar terjadi secara terbatas (Muchtadi et. al., 1988). Berikut gambaran struktur kimia amilosa dan amilopektin.
(a)
(b) Gambar 1. Struktur kimia amilosa (a) dan amilopektin (b) Sumber : Muchtadi et. al., (1988)
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang tidak dapat kembali pada kondisi semula (Eliasson dan Gudmundsson, 2006). Gelatinisasi dapat dikatakan sebagai kerusakan ikatan hidrogen intramolekul dan mengakibatkan melemahnya struktur granula dan meningkatnya pembengkakan serta absorpsi air. Kerusakan tersebut mengakibatkan struktur granula berubah dan lepasnya gugus hidroksil. Gelatinisasi tidak terjadi jika rasio pati dan air sangat besar. Proses ekstrusi dengan kadar air rendah menyebabkan pati mengalami peleburan. Proses tersebut tetap diikuti oleh gelatinisasi tetapi hanya sebagian pati (Muchtadi et. al., 1988). Berikut ini adalah tahapan gelatinisasi pati yang terjadi selama pengolahan ekstrusi.
Gambar 2. Mekanisme Gelatinisasi Pati Sumber: Harper, 1981
Protein Protein adalah zat makanan yang mengandung nitrogen disamping karbon, hidrogen dan oksigen. Molekul protein tersusun atas sejumlah asam amino sebagai bahan dasar yang saling dihubungkan oleh suatu ikatan peptida (-CONH-). Protein merupakan zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh karena memiliki fungsi sebagai bahan bakar tubuh, zat pembangun dan zat pengatur (Soedarmo dan Sedioetama, 1987). Pembentukan protein tubuh memerlukan serangkaian asam amino tertentu yang merupakan unsur pembentuk utama protein. Asam-asam amino tersebut ada yang tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga untuk memenuhinya diperlukan asupan protein yang berasal dari bahan makanan yang dikonsumsi manusia. Bahanbahan makanan sumber protein dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sumber protein hewani dan nabati. Nilai protein yang berasal dari hewan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada nilai protein yang berasal dari sumber nabati. Hal ini dikarenakan bahan makanan yang berasal dari hewan jauh lebih mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup (Moehji, 1992).
Daya Cerna Protein Daya cerna protein atau kecernaan protein merupakan kemampuan protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim pencernaan (Muchtadi, 1989). Protein dalam bahan makanan sangat penting untuk penyusunan senyawa biomolekul dalam proses biokimiawi dalam mengganti jaringan yang rusak. Protein disusun oleh struktur N, C, H, O, S, dan beberapa mineral seperti P, Fe, dan Cu. Molekul besar seperti protein akan mudah untuk mengalami perubahan secara fisis (penggumpalan) atau biologis dengan agen seperti asam, basa, panas, pelarut organik, garam, dan logam berat (Sudarmadji et. al., 1989). Mutu nutrisi protein yang diberikan sangat tergantung dari kandungan asamasam amino esensialnya dan daya cerna. Protein yang masuk ke dalam tubuh tidak seluruhnya dapat dicerna. Protein umumnya tidak sempurna dicerna karena protein dilindungi oleh pelindung selulosa dan polisakarida. Hal tersebut menyebabkan protein harus dikonsumsi jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan harian minimum seluruh asam amino. Protein hewani dapat dihidrolisis hampir sempurna menjadi asam-asam amino dikarenakan jumlah nutrisi yang terkandung dalam protein hewani jauh lebih lengkap dan lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati. Pemanfaatan protein oleh tubuh dimulai dari pencernaan yang bergantung pada hidrolisis ikatan protein (ikatan peptida). Ikatan peptida pada protein dapat terputus oleh hadirnya pemanasan dan enzim proteolitik seperti tripsin dan kimotripsin (Hawab, 2003). Lehninger (1994) menjelaskan bahwa enzim-enzim yang terlibat dalam pencernaan protein dalam tubuh manusia yaitu pepsin, tripsin, kimotripsin, karboksipeptidase, dan aminopeptidase. Pepsin merupakan enzim yang dihasilkan oleh lambung yang berperan dalam hidrolisis protein menjadi asam-asam amino penyusunnya. Asam-asam amino bebas diperoleh sebanyak 30% dari protein yang dirombak dan diserap langsung melalui mukosa usus. Asam-asam amino dari suatu makanan yang dapat diserap tubuh terbatas pada asam amino dengan jumlah yang paling rendah. Asam amino lain yang terkandung berlebih akan dideaminasi dalam hati dan diubah menjadi glikogen atau lemak atau dibakar sebagai bahan bakar. Protein nabati tertentu dapat saling melengkapi dalam makanan seperti campuran jagung dan kacang dengan saling menambahkan asam amino triptofan.
Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan dengan cara in vitro. Metode ini dilakukan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan. Enzim-enzim tersebut diantaranya pepsin, pankreatin, tripsin, kemotripsin, peptidase, dan multi enzim (Muchtadi, 1989). Penggunaan enzim-enzim tersebut akan menghasilkan koefisien daya cerna protein setiap bahan berbeda. Metode in vitro dapat memperkirakan kecernaan pada tubuh manusia atau kondisi biologis yang sebenarnya (Suhardjo dan Kusharto, 1987). Daya cerna protein dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Damodaran (1996). Konformasi protein akan mengurangi kecernaan protein jika terjadi ikatan silang antar protein. Protein dapat berikatan kuat dengan polisakarida dan serat pangan sehingga menurunkan kecernaan protein. Proses pengolahan juga mempengaruhi kecernaan protein. Reaksi Maillard dapat menyebabkan penurunan kecernaan akibat terikatnya protein dengan gula pereduksi. Kalsium Kalsium di dalam tubuh memiliki peranan penting yaitu untuk pembentukan tulang dan gigi, proses pembekuan darah serta menjaga fungsi normal otot dan syaraf (Gaman dan Sherington, 1992). Nilai ketersediaan biologis dari tulang ayam presto dan tulang ayam mentah tidak berbeda jauh, namun tulang ayam presto memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan tulang ayam mentah yaitu dapat dikonsumsi langsung secara bersamaan, sedangkan tulang ayam mentah harus ditepungkan terlebih dahulu (Rahmawan, 2005). Metabolisme kalsium diatur oleh hormon paratiroid, kalsitonin, dan bentuk aktif vitamin D. Ekskresi kalsium dalam urin dipengaruhi oleh konsumsi protein, yaitu makin tinggi konsumsi protein maka makin tinggi pula ekskresi kalsium melalui urin (Karyadi dan Muhilal, 1996). Penyerapan kalsium sangat bervariasi tergantung umur dan kondisi badan. Usia anak-anak atau remaja sekitar 50-70% kalsium yang dicerna diserap tetapi pada waktu dewasa hanya sekitar 10-40% yang diserap, selain itu garam kalsium lebih larut dalam asam, maka penyerapan kalsium terjadi pada bagian atas usus kecil tepat setelah lambung (Winarno, 1997). Kalsium yang dapat diserap dalam makanan hanya sekitar 20-30% dan sisanya melalui saluran pencernaan yang dikeluarkan tubuh melalui feses (Gaman dan Sherington, 1992).
Kalsium erat kaitannya dengan kesehatan tulang karena mineral membentuk tulang. Selain itu asupan kalsium tinggi (di atas 850 mg) bisa mengurangi resiko gejala batu ginjal. Hal ini karena kalsium memiliki efek protektif dengan mengikat oksalat di usus dan mencegah penyerapan oksalat yang bisa membentuk batu. Kalsium disekresikan dari tubuh melalui feses merupakan kalsium yang tidak diserap dan sejumlah kecil kalsium yang berasal dari sekresi cairan yang masuk ke dalam saluran pencernaan (100-150 mg/hari) (Brody, 1994). Manfaat kalsium untuk kesehatan tulang tidak dapat dipungkiri lagi. Bila tubuh cukup kalsium, maka pertumbuhan dan pengerasan tulang dapat berlangsung dengan baik. Sebaliknya, kekurangan kalsium dapat menyebabkan pertumbuhan tulang tidak sempurna, antara lain kerdil, tulang rapuh dan bentuknya tidak normal. Salah satu faktor penting dalam penyerapan kalsium adalah ketersediaan yang cukup dari vitamin D. Jika kekurangan vitamin D, maka metabolisme kalsium dalam tubuh berkaitan dengan proses pengerasan tulang tidak dapat berlangsung normal (Tim Penulis Nirmala, 2003). Fosfor Mineral fosfor (P) sangat penting dalam peran biokimia dan fisiologisnya. Fosfor
dideposit
dalam
{Ca10(PO4)6(OH)2}.
tulang
Fosfor
dalam
merupakan
mempengaruhi permeabilitas sel; juga
bentuk
kalsium
komponen
dari
hidroksi fosfolipid
merupakan komponen dari
appetite yang meilin
pembungkus urat syaraf; banyak transfer energi dalam sel yang melibatkan ikatan fosfat yang kaya energi dalam ATP; fosfat memegang peranan dalam sistem buffer darah; mengaktifkan beberapa vitamin B untuk membentuk koenzim yang dibutuhkan dalam proses fosforilasi awal, fosfor juga merupakan bagian dari matrik DNA dan RNA (Parakkasi, 1999). Fungsi fosfor antara lain untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang serta gigi, aktivator enzim-enzim dan proses metabolisme asam amino (Piliang, 2001). Winarno (1992) menyatakan bahwa sumber fosfor yang utama adalah bahan makanan dengan kadar protein tinggi seperti daging, unggas, ikan, dan telur. Bijibijian terutama bagian lembaganya dan biji-bijian utuh (pecah kulit) juga banyak mengandung fosfor. Bahan pangan yang kaya akan protein dan kalsium umumnya juga kaya akan fosfor. Fosfor dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk organik
dan anorganik. Sebagian besar fosfor diserap tubuh dalam bentuk anorganik, khususnya di bagian atas duodenum yang bersifat kurang alkalis dan 70% dari fosfor yang dicerna akan diserap. Kekurangan fosfor menyebabkan kerusakan tulang dengan gejala rasa lelah, kurang nafsu makan dan kerusakan tulang. Kelebihan fosfor menyebabkan ion fosfat akan mengikat kalsium sehingga akan menimbulkan kejang (Almatsier, 2001). Snack Ekstrusi Snack merupakan makanan ringan yang memiliki bentuk, rasa, cara pengolahan dan penyajian yang beragam. Snack ekstrusi merupakan snack yang dihasilkan dari pemasakan ekstrusi (Muchtadi et. al., 1988). Makanan ringan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan perkembangan cara pengolahannya. Kelompok pertama yaitu makanan ringan berbahan dasar hasil pertanian yang mengalami pengolahan sederhana seperti keripik. Kelompok kedua mengalami pengolahan lanjutan setelah keluar dari extruder seperti pemotongan dan sedikit pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan. Rendahnya kadar air yang dipersyaratkan, dikarenakan apabila kadar air yang ada pada makanan ekstrudat tinggi akan mengakibatkan indeks pengembangan ekstrudat menjadi kecil. Kadar air yang semakin rendah pada bahan pangan mengakibatkan semakin tinggi daya tahan bahan tersebut karena mikroorganisme yang akan tumbuh semakin sedikit jumlahnya (Winarno, 2002). Hasil penelitian Von Elbe (1987) dalam Purnomo (1995) menyatakan bahwa untuk kadar air ekstrudat sebanyak 4% yang disyaratkan pada SNI 01-2886-2000 memiliki nilai akitivitas air (Aw) sebesar 0,23%. Rendahnya nilai Aw akan mengakibatkan mikroorganisme mengalami kesulitan untuk tumbuh, dengan begitu ekstrudat akan memiliki daya tahan yang lebih lama. Kelompok ketiga yaitu snack yang telah keluar dari extruder masih memerlukan pengolahan lanjutan seperti penggorengan dan pengeringan (Harper, 1981). Muchtadi et. al. (1988) menyatakan bahwa makanan ringan atau snack dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan bahan baku yang digunakan dalam pembuatannya. Kelompok pertama yaitu makanan ringan yang menggunakan satu bahan utama seperti jagung atau beras lalu ditambahkan perisa. Kelompok kedua yaitu makanan ringan dengan bahan utama dan terjadi penambahan bahan tambahan. Bahan tambahan tersebut digunakan untuk meningkatkan nilai gizi, daya cerna, dan
kualitas secara fisik. Bahan tambahan yang digunakan dapat berupa protein hewani. Syarat mutu makanan ekstrudat menurut SNI 01-2886-2000 diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat Mutu Makanan Ekstrudat Berdasarkan SNI 01-2886-2000 Komposisi
Satuan
Syarat Mutu
Bau
-
Normal
Rasa
-
Normal
Warna
-
Normal
Kadar Air
% b/b
Maksimal 4
Kadar Lemak Tanpa Proses
% b/b
Maksimal 30
% b/b
Maksimal 38
% b/b
-
Angka Lempeng Total
Koloni/g
Maksimal 1,0 x 104
Kapang
Koloni/g
Maksimal 50
Eschericia coli
Koloni/g
Negatif
Penggorengan Kadar Lemak dengan Proses Penggorengan Kadar Protein
Sumber : BSN, 2000
Protein yang dihidrolisis dengan enzim akan menghasilkan produk bertekstur yang intregritas strukturnya mudah lepas bila dipanaskan. Hal ini menunjukkan efek yang merugikan bagi tekstur suatu produk dengan ukuran molekul yang diperkecil. Protein dengan bobot molekul lebih rendah menghasilkan hasil ekstrusi dengan kualitas tekstur yang jelek, hal ini dapat diakibatkan bila bahan tersebut mengalami pemotongan mekanik berlebihan selama berada di dalam ulir atau cetakan. Peningkatan konsentrasi protein akan mempermudah pembentukan tekstur dan memperbanyak ikatan silang. Molekul-molekul karbohidrat yang rusak akibat pemanasan dan kelembaban yang rendah kurang bersifat kohesif dibandingkan karbohidrat yang tergelatinisasi yang tidak rusak. Hal ini menyebabkan molekulmolekul itu kurang mengembang sehingga menghasilkan produk berpori-pori lebih kecil, tekstur lebih lunak, lebih mudah larut dan lengket bila dikonsumsi (Muchtadi et. al., 1988).
Ekstrusi Proses Ekstrusi Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang melibatkan kekuatan bahan mengalir dalam kondisi tertentu lalu melewati sebuah lubang kecil dengan ukuran dan bentuk yang telah ditetapkan (Dziezak, 1989). Proses ekstrusi biasa digunakan dalam pembuatan makanan ringan. Produk yang dihasilkan dari proses ekstrusi memiliki tekstur yang khas dan beragam. Matz (1993) menyatakan bahwa tekstur kudapan yang diperoleh dari proses ekstrusi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Amilopektin menyebabkan produk akhir yang mudah rapau dengan rendahnya berat jenis. Amilosa dibutuhkan untuk memberikan tekstur memuaskan dan tidak terlalu keras. Proses ekstrusi merupakan proses high temperature short time dimana suhu yang digunakan adalah 200oC dan waktu kontak dengan bahan selama 5-10 detik. Pengolahan pangan secara high temperature short time (HTST) akan meminimalisir kerusakan gizi dan membunuh mikroba yang terdapat dalam bahan makanan. Muchtadi et. al., (1988) menyatakan bahwa proses ekstrusi yang terjadi yaitu pemasakan, pemotongan, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan penggelembungan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Extruder Pengolahan pangan dengan proses ekstrusi menggunakan alat yang disebut extruder. Faridi (1994) menuliskan bahwa extruder merupakan alat yang digunakan untuk melakukan proses ekstrusi bahan pangan dengan beragam formula bahan baku dan menghasilkan bentuk produk yang beragam. Kinerja extruder dipengaruhi oleh konfigurasi ulir dan kecepatan putarannya, tekanan balik pada cetakan, serta karakteristik bahan yang diekstrusi (Muchtadi et. al., 1988). Operasi extruder dimulai dengan pemasukan bahan ke dalam feed hopper. Ulir extruder akan mendorong bahan melewati ruang dan akhirnya celah sempit sehingga menghasilkan produk dengan tekstur tertentu. Extruder akan melepaskan energi mekaniknya menuju bagian ulir yang pendek. Pemotongan berlangsung sangat cepat sehingga terjadi kerusakan mekanis molekul-molekul berukuran besar. Molekul yang terdenaturasi tersebut akan tersusun dalam medan aliran sehingga berpotensi untuk membentuk molekul baru dengan struktur silang. Struktur tersebut yang nantinya
menjadi ekstrudat dengan beragam tekstur (Muchtadi et. al., 1988). Gambar bagianbagian extruder secara jelas dapat dilihat sebagai berikut.
Gambar 3. Extruder Single Screw dan Bagian-bagiannya Sumber: Britannica Encyclopedia Inc., 1996b
Extruder dengan fungsi mengembangkan produk terjadi jika temperatur bahan melebihi 100oC ketika meninggalkan bagian bertekanan (Harper, 1981). Pemasakan ekstrusi digunakan untuk memproduksi produk dengan karakteristik yang baru dengan bahan dasar pati atau protein. Karakteristik tersebut berkaitan dengan tekstur spesifik seperti porositas dan fibrositas. Teksturasi produk diperoleh akibat kerusakan stuktur biopolimer tertier dan kuarter karena terjadi pengaturan ulang rantai polimer dan pembentukan struktur ruang (Lewicki, 2004). Perubahan Nutrisi selama Proses Ektrusi Proses pengolahan dengan menggunakan extruder dapat disamakan dengan proses High Temperatur Short Time (HTST). Camire (2001) menyatakan bahwa suhu dan tekanan yang cukup tinggi dapat merubah struktur tertier dan kuarter protein. Jembatan sulfur dapat terbentuk dan struktur baru akan stabil dengan adanya ikatan hidrogen. Ekstrusi tidak akan mengubah kecernaan protein tetapi suhu yang tinggi dapat menyebabkan oksidasi dan dekstruksi asam amino yang mengandung sulfur (metionin dan sistein).
Ekstrusi dapat mempengaruhi kualitas nutrisi produk akhir. Parameter dalam proses ekstrusi yang mempengaruhi nutrisi yaitu komposisi bahan masukan, kadar air, kecepatan pemasukan bahan, kecepatan screw, konfigurasi screw, suhu barrel, dan konfigurasi lubang die (Camire, 2001). Bahan baku dalam proses ekstrusi akan mempengaruhi produk akhir. Rasio karbohidrat harus dipertimbangkan sesuai kebutuhan produk akhir. Konfigurasi screw dapat mempengaruhi kerusakan pati atau protein. Konfigurasi tersebut diatur untuk meminimalkan pemecahan makro molekul. Perubahan sifat bahan baku akan terjadi selama proses pengolahan ekstrusi. Perubahan tersebut diantaranya yaitu perubahan fisikokimia, nilai gizi, dan organoleptik. Karbohidrat Karbohidrat adalah kelompok nutrien yang penting dalam susunan makanan. Karbohidrat berperan penting sebagai sumber energi utama, walaupun setiap gramnya memberikan jumlah kalori yang kurang dibandingkan lemak. Karbohidrat biasanya dikonsumsi dalam jumlah yang banyak (Soedarmo dan Sediaoetama, 1987). Karbohidrat akan mengalami proses gelatinisasi selama proses ekstrusi. Gelatinisasi pati terjadi pada kadar air 12-22% lebih rendah daripada pembuatan makanan olahan lainnya. Derajat gelatinisasi dapat meningkat dengan meningkatnya suhu, pemotongan, dan tekanan. Rantai cabang pada amilopektin dengan mudah terlepas di dalam barrel. Pengurangan berat molekul untuk amilosa dan amilopektin juga terjadi selama proses ekstrusi. Proses ekstrusi dapat dimanipulasi untuk membentuk produk yang rendah kecernaan karbohidratnya. Rantai cabang amilopektin dapat dilepas tetapi akan bereaksi dengan karbohidrat lainnya yang sulit dicerna enzim. Penambahan serat juga mengurangi kecernaan karbohidrat. Kecernaan akan menurun dengan terbentuknya kompleks amilosa-lemak (Camire, 2001). Tekstur produk yang garing dan renyah dipengaruhi beberapa faktor. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi renyah tidaknya produk ekstrusi. Amilopektin akan memberikan produk yang renyah, porous, dan ringan sedangkan amilosa akan memberikan sifat produk yang keras dan pejal (Muchtadi, 1989). Molekul-molekul makanan yang besar seperti karbohidrat dan protein akan mengalami denaturasi dan penyusunan diri selama di dalam ulir extruder dan
cetakan. Jika suhu meningkat maka terjadi perubahan struktur sehingga produk yang keluar dapat mengembang (Muchtadi et. al., 1988). Protein Ekstrusi yang menggunakan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein akan memudahkan hidrolisis ikatan peptida oleh enzim proteolitik (Hawab, 2003). Denaturasi juga dapat mengurangi aktivitas enzim dan enzim inhibitor. Proses ekstrusi akan memecah butiran protein sehingga protein akan berdifusi dengan pati selama pemanasan. Protein juga akan memberikan peranan dalam kerenyahan produk ekstrusi dengan pembentukan matriks protein. Suhu barrel yang tinggi dan rendahnya kadar air bahan dapat mendukung reaksi Maillard selama proses ekstrusi. Gula pereduksi dapat berkurang karena berikatan dengan asam-asam amino. Hal tersebut mengakibatkan penurunan nilai nutrisi protein produk akhir (Huber, 2001). Lemak Bahan baku makanan ekstrusi umumnya mengandung lemak yang rendah. Kandungan lemak yang cukup tinggi akan mempengaruhi pengembangan produk yang dihasilkan. Lemak akan berikatan dengan molekul amilosa dan amilopektin sehingga produk yang seharusnya mengembang akan terhambat pengembangannya dan mengurangi kerenyahan (Muchtadi et. al., 1988).