2
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian antibiotik terhadap bakteri Escherichia coli dan Mycoplasma gallinarum yang menyerang ayam pedaging, khususnya waktu pemberian yang tepat.
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam pedaging Ayam pedaging merupakan istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi pakan yang irit dan siap dipotong pada usia yang relatif muda. Pada umumnya ayam pedaging siap dipanen pada usia 35 sampai 45 hari dengan berat badan antara 1,2 sampai 1,9 kg/ekor (Priyatno 2003).
Gambar 1. Ayam pedaging (dokumentasi penelitian)
Ayam ras merupakan jenis ayam hasil pemuliabiakan peternakan yang memiliki mutu genetik yang tinggi. Semakin tinggi mutu genetik berarti semakin membutuhkan perlakuan manajemen yang tinggi pula. Ayam ras memerlukan tempat yang tertata rapi, bersih, dan tidak menjadi tempat lalu lalang manusia. Selain itu, ayam ras juga membutuhkan air minum yang berkualitas, tidak tercemar dan jumlahnya selalu mencukupi (Suharno 2002). Menurut Suharno (2002) cuaca yang selalu berubah-ubah akan membuat ayam mudah terserang penyakit. Pemberian sejumlah vitamin, antibiotik, dan vaksin perlu dilakukan agar ayam sehat hingga dipanen. Ayam jenis ini yang paling banyak diternakkan oleh masyarakat dan dipotong baik pada tempat pemotongan tradisional maupun pada rumah
3
pemotongan ayam modern. Ayam pedaging banyak dipelihara di daerah sekitar Jabotabek, Sukabumi, Cianjur, daerah Priangan Timur, dan daerah lain di Indonesia (Priyatno 2003).
Escherichia coli Escherichia coli pertama kali ditemukan pada tahun 1800 oleh seorang pria bernama Theodor Escherich. Escherich adalah bacteriologist Jerman, seorang ilmuwan yang mempelajari bakteri (Hayhurst 2004). Ia menemukan bakteri pada feses bayi yang menderita enteritis. Melalui penelitian dan observasi yang lebih lanjut, Escherich akhirnya menemukan bahwa bakteri ini merupakan salah satu faktor penyebab penyakit seperti diare dan masalah pencernaan lainnya (Manning 2005). Bacterium (Bacillus) coli commune atau B. coli adalah nama yang pertama kali dipakai sebelum Castellani dan Chalmers mengganti namanya menjadi Escherichia coli (E. coli) pada tahun 1919 (Barnes et al. 2003). Menurut Barnes et al. (2003) Escherichia merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae yang dapat tumbuh secara anaerob maupun aerob (anaerob fakultatif) menggunakan karbon sederhana dan sumber nitrogen. E. coli adalah spesies dari genus Escherichia. Terdapat banyak spesies baru dalam kelompok genus ini, tetapi E.coli yang sering menyebabkan penyakit dan merupakan mikroorganisme patogen yang paling penting. E. coli memiliki kemiripan dengan genus Shigella. E. coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, tidak tahan asam, uniform staining, tidak menghasilkan spora, bentuk bervariasi, biasanya berukuran 2-3 x 0.6 µm. Kebanyakan bersifat motil dan memiliki flagela. Reservoir E. coli yang paling penting adalah pada saluran pencernaan hewan, termasuk unggas. Pada ayam terdapat sekitar 109 colony forming units (CFU) bakteri per gram feses dan 106 CFU merupakan E. coli. E. coli juga sering diisolasi dari saluran pernapasan bagian atas dan juga didapatkan dari kulit unggas dan bulu (Kabir 2010). Bakteri ini ditularkan secara horisontal yaitu melalui burung lain, feses, air, dan pakan. Tikus pun ikut berperan dalam membawa bakteri E. coli strain APEC yang merupakan sumber kontaminasi untuk burung lainnya (Barnes et al. 2003).
Gambar 2. Bakteri E.coli (dokumentasi laboratorium)
4
E. coli dapat ditemukan di tanah dan di air, juga pada organisme hidup, termasuk tanaman, hewan dan manusia. Bakteri ini dapat bertahan hidup pada lingkungan yang tidak lazim, seperti sumber air panas, gunung merapi, laut, gletser, dan awan (Manning 2005). Kondisi yang optimal untuk pertumbuhan bakteri ini adalah pada suhu 98 °F dengan kisaran antara 45 sampai 114 °F. E. coli tumbuh dengan baik pada pH 6-8, tetapi bisa saja tumbuh pada pH yang rendah yaitu 4,3 dan dapat tumbuh juga pada pH yang sangat tinggi yaitu sekitar 9 sampai 10. Sebagian besar galur E. coli tidak berbahaya dan merupakan bagian dari mikroflora usus normal. Galur ini berfungsi untuk menekan bakteri yang berbahaya bagi tubuh dan membantu dalam pembentukkan vitamin. E. coli sensitif pada beberapa obat, diantaranya ampisilin, kloramfenikol, klortetrasiklin, neomisin, nitrofurans, gentamisin, ormetiprim-sulfadimektosin, nalidixic acid, oksitetrasiklin, polimiksin B, spektinomisin, streptomisin, dan golongan sulfa (Barnes et al. 2003). Terdapat 5 galur bakteri E. coli yang menyebabkan penyakit diare yaitu E. coli enteropatogenik (EPEC), E. coli enteroinvasif (EIEC), E. coli enterotoksigenik (ETEC), E. coli enterohemoragik (EHEC), dan E. coli enteroagregatif (EAEC). EPEC penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. EPEC sebelumnya dikaitkan dengan wabah diare pada anakanak di negara maju. EPEC melekat pada sel mukosa usus kecil. EIEC menyebabkan penyakit diare seperti disentri yang disebabkan oleh Shigella sp.. Bakteri menginvasi sel mukosa, menimbulkan kerusakan sel dan terlepasnya lapisan mukosa. Ciri khas yang disebabkan oleh galur ini adalah feses mengandung darah, mukus, dan pus. Galur EIEC bersifat non laktosa atau melakukan fermentasi laktosa dengan lambat serta bersifat tidak bergerak. EIEC menimbulkan penyakit melalui invasinya ke sel epitel mukosa usus. ETEC sering menyebabkan “diare wisatawan” dan penyebab diare pada bayi di negara berkembang. Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk manusia menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel usus halus. EHEC menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai dengan efek sitotoksisnya pada sel vero, suatu ginjal dari monyet hijau Afrika. EAEC menyebabkan diare akut dan kronis pada masyarakat di negara berkembang. Toksin dari organisme ini juga menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan pada negara industri. EAEC menghasilkan toksin mirip ST dan hemolisin (Jawetz et al. 1996). Colibacillosis adalah penyakit menular pada unggas yang disebabkan oleh bakteri E. coli galur patogen. Sebagai infeksi primer atau sekunder, penyakit ini menyerang ayam pedaging dan petelur, pada semua umur, tetapi lebih sering pada umur muda dibanding yang tua. Tanda klinis colibacillosis tidak spesifik dan dipengaruhi oleh umur ayam, lama infeksi, organ yang terserang dan adanya penyakit lain bersamanya. Pada ayam pedaging umur 4-8 minggu dan ayam petelur umur ± 20 minggu dapat terjadi septicemia akut dan menimbulkan kematian, yang didahului dengan nafsu makan hilang, malas bergerak/inaktif, dan mengantuk (Barnes et al. 2003). Penyakit colibacillosis dapat dimanifestasikan dalam bentuk kelainan organ, seperti septicemia, enteritis, granuloma, omfalitis, sinusitis, air sacculitis, arthritis/synovitis, peritonitis, perikarditis, selulitis dan swollen head syndrome (SHS), oovoritis, salpingitis, panopthalmitis, dan bursitis sternalis (Barnes dan Gross 1997).
5
Dalam kondisi normal, E. coli terdapat di dalam saluran pencernaan ayam. Sekitar 10-15 persen dari seluruh E. coli yang ditemukan di dalam usus ayam yang sehat tergolong dalam serotipe yang patogen. Bagian usus yang paling banyak mengandung bakteri tersebut yaitu jejunum, ileum, dan sekum. E. coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya pada berbagai penyakit pernapasan dan pencernaan yang menyerang ayam. Timbulnya kasus colibacillosis terutama akibat pengaruh imunosupresi dari Gumboro (ayam pedaging lebih dominan dari ayam petelur) dan sebagai penyakit ikutan pada chronic respiratory disease (CRD), infectious coryza (Snot), swollen head disease (SHS), infectious laryngo tracheitis (ILT), dan koksidiosis (Tarmudji 2003). Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi E. coli yaitu antigen O (somatik), antigen K (kapsel), dan antigen H (flagela) (Lay dan Hastowo 1992). Serotipe yang banyak menyebabkan penyakit pada unggas adalah O1, O2, O35, dan O78 (Tabbu, 2000) dan dikenal cukup tinggi patogenitasnya (Charlton et al. 2000). Tiga serotipe E. coli O1 : K1, O2 : K1, dan O78 : K80 merupakan serotipe yang sering ditemukan pada isolasi sewaktu ada wabah isolasi pada ayam. Ketiga serotipe tersebut merupakan serotipe yang banyak menimbulkan koliseptikemia pada ayam yang berarti bakteri E. coli masuk ke dalam sirkulasi darah ayam dan menginfeksi berbagai jaringan melalui luka usus atau saluran pernapasannya. Biasanya mengikuti penyakit lain yang menyerang saluran perncernaan atau saluran pernapasan (Tarmudji 2003).
Mycoplasma gallinarum Mycoplasma termasuk ke dalam kelas Mollicutes dan memiliki dinding sel yang tipis. Bakteri ini merupakan keturunan filogenetik dari bakteri LactobacillusClostridium yang kehilangan dinding selnya (Coles 2007). Habitat utama dari bakteri ini pada hewan adalah permukaan saluran pernapasan dan urogenital juga pada alimentary canal pada mata, kelenjar mamari dan sendi pada beberapa hewan (Wan et al. 2010). Bakteri ini dapat bersifat saprofit, komensal atau parasit patogen pada hewan vertebrata tetapi dapat juga menginfeksi serangga dan tanaman. Sekitar setengah dari genus Mycoplasma memiliki inang yang sangat spesifik dan pada hewan dapat berbentuk komensal dan parasit. Dalam kebanyakan kasus, kolesterol pada tubuh inang dibutuhkan bakteri ini untuk pertumbuhan dan stabilitas membran sitoplasma. Organisme ini tidak stabil di lingkungan dan rentan terhadap sebagian besar antiseptik, tetapi tidak terpengaruh oleh antibiotik yang bersifat mengganggu perkembangan dinding sel bakteri. Lebih dari 100 spesies Mycoplasma yang sudah ditemukan, namun hanya beberapa diantaranya yang telah terdaftar sebagai bakteri penyebab penyakit (Coles 2007). Meskipun tingkat pertumbuhan meningkat setiap tahunnya, sektor unggas dihadapkan dengan penyakit menular, di antaranya penyakit saluran pernapasan menjadi perhatian utama yang menyebabkan kerugian ekonomi yang berat baik dari segi produksi dan biaya pengobatan (Siddique et al. 2012). Unggas yang mengalami infeksi saluran pernapasan akan menunjukkan gejala seperti batuk, gangguan pernapasan, pertumbuhan yang buruk dan penurunan produksi menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi (Pang et al. 2002). Mycoplasmosis
6
ditularkan secara horisontal dan vertikal melalui telur. Infeksi Mycoplasma sp. penting untuk diperhatikan karena dapat mengakibatkan penurunan produksi telur, meningkatkan tingkat mortalitas embrio atau ayam, dan konversi pakan yang buruk. Infeksi kronis dan yang tak terlihat lebih umum terjadi dan sangat mengancam (Nascimento et al. 2005). Menurut Cumpanasoiu (2008) penyakit mycoplasmosis pada burung ditandai dengan gejala pernapasan yang kronis seperti ngorok, batuk, gangguan pertumbuhan, penurunan bobot badan, penurunan produksi telur, terkadang menyebabkan kaheksia. Gambaran anatomi patologi dari penyakit ini ditandai dengan air sacculitis disertai pengendapan fibrinosa dalam jangka waktu lama. Pada kalkun dapat berkembang menjadi penyakit periorbital sinusitis.
Gambar 3 Mycoplasma sp. Sumber: http://www.google.co.id/ search?num=10&hl=id&site=imghp…/
Mycoplasmosis disebabkan oleh berbagai macam Mycoplasma spp. dan karena menunjukkan gejala subklinis maka tidak dapat dideteksi melalui prosedur diagnostik yang biasa digunakan, sehingga memberikan kesempatan kepada bakteri dan virus lainnya untuk menginfeksi dan akan memperburuk keadaan (Siddique et al. 2012). Mycoplasma gallinarum (M. gallinarum) telah diidentifikasi sebagai bakteri komensal pada berbagai inang vertebrata termasuk unggas, sapi, babi, dan domba (Rimaviciute et al. 2012). Spesies ini merupakan salah satu spesies yang paling sering terisolasi dari unggas dan dapat menyebabkan Mycoplasmosis. Umumnya kolonisasi bakteri ini pada saluran pernapasan unggas tidak menimbulkan kelainan secara patologi atau penyakit. M. gallinarum pernah dilaporkan menyebabkan air sacculitis sementara pada ayam yang terinfeksi secara inhalasi atau inokulasi air sac dengan kombinasi dari infectious bronchitis virus (IBV) atau vaksin untuk IBV dan Newcastle disease (ND). M. gallinarum tidak menginduksi respon antibodi yang kuat dan IgG dan IgM hampir tidak terdeteksi (Wan et al. 2004). Spesies yang rentan terhadap bakteri ini adalah semua spesies terutama unggas dan juga jenis burung lainnya. Terjadi hampir di seluruh dunia di mana burung ditempatkan di dalam satu kandang dengan jumlah yang banyak. Mungkin ditemukan pada mukosa trakea burung liar dan bersifat komensal. Gejala klinis tidak patognomonis karena sering terjadi bersamaan dengan infeksi patogen lainnya. Gejala klinis meliputi konjungtivitis serous atau serofibrinosa, bleparitis, rinitis, coryza, tracheitis, air sacculitis, focal bronchopneumonia. Pada unggas dapat menyerang sendi dan dapat menyebabkan kepincangan (Coles 2007).
7
Menurut Soeripto (2009) pengobatan Mycoplasmosis biasanya dilakukan dengan menggunakan antibiotik makrolid seperti tiamulin, tylosin, lincomycin, oxytetrasiklin, dan enrofloxacin yang memiliki daya kerja menghambat sintesis protein. Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama tidak disarankan, karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen produk ayam.
Antibiotik Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies mikroorganisme dan bersifat toksik terhadap spesies mikroorganisme lain. Sifat toksik senyawa-senyawa yang dihasilkan memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) dan ada yang langsung membunuh bakteri (bakterisid) yang kontak dengan antibiotik tersebut. Saat ini telah diketahui macam-macam antibiotik serta pemakaiannya dalam bidang kedokteran, peternakan, pertanian, dan beberapa bidang lain. Walaupun demikian, tidak semua antibiotik dikenal oleh masyarakat umum. Hanya antibiotik-antibiotik yang penting dan banyak digunakan yang dikenal oleh masyarakat. Penelitian para ahli membuktikan bahwa antibiotik berbeda dalam kemampuannya menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik tidak dapat memengaruhi semua mikroorganisme patogen, tetapi mempunyai spektrum tertentu (Sumardjo 2006). Secara teknik, istilah antibiotik mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam mikroorganisme yang menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme yang lain. Beberapa obat, termasuk agen-agen antiinfeksi dan kemoterapi, mempunyai kerja yang serupa dengan agen-agen antibakterial dan antimikroba. Obat-obatan antibakterial tidak bekerja sendiri dalam menghancurkan bakteri. Pertahanan tubuh alami, prosedur pembedahan untuk membuang jaringan yang terinfeksi, dan penggantian pembalut luka mungkin diperlukan seiring dengan pemakaian obat-obat antibakterial untuk melenyapkan bakteri yang menginfeksi (Kee dan Hayes 1996). Menurut Kee dan Hayes (1996) obat-obatan antibakterial dapat mempunyai spektrum sempit atau spektrum luas. Antibiotik berspektrum sempit terutama efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Antibiotik spektrum luas seperti tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik yang berspektrum sempit lebih aktif dalam melawan organisme tunggal dibandingkan dengan antibiotik berspektrum luas. Antibiotik spektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati infeksi dimana mikroorganisme yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2406/Menkes/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik, agar dapat menunjukkan aktivitas sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini: a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
8
b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri. c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup memadai agar diperoleh efek yang kuat. d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik telah digunakan pada unggas sejak tahun 1940-an, pada saat itu ditemukan juga produk sampingan dari antibiotik tersebut. Antibiotik menghasilkan vitamin B12 yang tinggi, yang membantu proses pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan pemakaian vitamin B12 secara tunggal. Mekanismenya adalah dengan menekan bakteri jahat pada usus yang dapat mengakibatkan peradangan dan mendukung bakteri baik. Tujuan bakteri sebagai promotor pertumbuhan sama dengan probiotik (Ewing 1963). Resisten didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya (Utami 2012). Salah satu konsekuensi yang dalam penggunaan antibiotik adalah adanya penyebaran bakteri resisten (baik pada manusia maupun hewan). Jika hewan menjadi karier, makan pangan asal hewan yang berasal dari hewan tersebut akan mengandung bakteri yang resisten tersebut. Setelah mencerna pangan asal hewan yang terkontaminasi bakteri yang resisten, manusia bisa menjadi carrier (dalam beberapa kasus dapat menimbulkan penyakit) (Collignon 2009).
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Mikrobiologi Medik dan Kandang Ayam Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan berlangsung dari tanggal 2 Agustus 2012 sampai tanggal 24 Agustus 2012.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daily old chicken (DOC), E. coli dalam bentuk suspensi, M. gallinarum dalam bentuk suspensi, antibiotik D-1, pakan dan air ad libitum. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu tabung, sentrifus, kandang ayam, spuit 1 ml, botol, tempat minum, tempat pakan, lampu 5 watt, mikro pipet, gunting, pinset, dan timbangan.