TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang asal muasalnya adalah ayam lokal Eropa. Beberapa jenis ayam lokal petelur unggul di Eropa antara lain Bresse di Perancis, Hamburg di Jerman, Mesian di Belanda, dan Braekels di Belgia. Ayam Braekels adalah jenis ayam lokal petelur introduksi yang paling dikenal di Indonesia (Sulandari et al., 2007). Tubuh ayam Braekels berwarna putih dengan kombinasi totol-totol hitam yang berbaris di sekujur tubuhnya, bagian kakinya memiliki pigmen warna hitam, jengger berwarna merah, dan terdapat bercak putih di telinganya. Ayam berjengger kembang ini ditemukan dan diternakkan pertama kali oleh Ulysses Aldrovandi (1522-1605) di Bologna, Italia dan sejak tahun 1599 ayam bernama latin Gallus turcicus ini diberi nama Braekels. Akhir-akhir ini, ayam Braekels sering disebut dengan Camoine serta di Inggris dan Amerika dikenal ayam Braekels yang berwarna silver dan gold. Ayam Arab terdiri dari dua jenis, yaitu ayam Arab Silver (Brakel kriel silver) dan ayam Arab Golden (Brakel kriel gold), namun dalam perkembangannya di masyarakat ayam Arab Silver lebih banyak dikenal dan dibudidayakan (Sulandari et al., 2007). Konon, ayam Arab pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh seseorang yang pulang dari ibadah haji di Arab Saudi, membawa delapan butir telur tetas kemudian ditetaskan dan dikembangkan di Batu, Malang, Jawa Timur. Ayam ini kemudian dibesarkan dan diumbar di pekarangan rumah sehingga ada yang kawin dengan ayam lokal. Perkawinan silang ini memperlihatkan produksi telur dari hasil kawin silang dengan ayam Arab lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur ayam lokal lainnya (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab kemudian berkembang dengan cepat di Surabaya dan terakhir di Jakarta, tetapi strain aslinya (parent stock) sudah tidak ada. Ayam Arab yang ada sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Strain asli ayam Arab yang dikembangkan di Indonesia adalah ayam Arab Silver (Sulandari et al., 2007). Secara genetis ayam Arab tergolong rumpun ayam lokal pendatang yang unggul, karena memiliki kemampuan memproduksi telur yang tinggi. Masyarakat 3
pada umumnya memanfaatkan ayam Arab ini untuk menghasilkan telur, bukan daging karena ayam Arab memiliki warna kulit yang kehitaman dan daging yang tipis dibanding ayam lokal biasa, sehingga dagingnya kurang disukai (Sulandari et al., 2007). Penampilan ayam Arab lebih menarik dibandingkan ayam lokal biasa, produktivitas telur tinggi, dan bentuk dan warna telur sama dengan ayam lokal. Ayam Arab Silver memiliki bobot badan jantan dewasa sekitar 1,4 – 2,3 kg dan betina mencapai 0,9 – 1,8 kg, sedangkan ayam Arab Golden memiliki bobot badan jantan dewasa 1,4 – 2,1 kg dan betina sekitar 1,1 – 1,6 kg. Produksi telur ayam Arab dapat mencapai 300 butir per tahun dengan bobot telur 30-35 g dan kerabang berwarna putih. Selama usia produktif (1 - 2 tahun) ayam Arab betina hampir setiap hari bertelur. Jika pakan yang diberikan cukup berkualitas, produksi telur bisa mencapai 75 – 85% (Sulandari et al., 2007). Ayam ini termasuk tipe ayam kecil sehingga konsumsi pakan relatif lebih efisien dan ayam ini hampir tidak memiliki sifat mengeram sehingga waktu bertelur panjang. Ayam Arab jantan memiliki libido seksualitas yang tinggi serta mudah dikawinkan dengan ayam-ayam lain dan dalam waktu 15 menit dapat kawin sebanyak tiga kali (Sulandari et al., 2007). Menurut hasil penelitian Iskandar et al. (2006), karakteristik semen segar ayam Arab jantan dewasa adalah sebagai berikut : volume 0,3 ± 0,072 ml, berwarna putih, konsistensi agak kental sampai kental, konsentrasi spermatozoa 2200 ± 372 juta/ml, pH 6,95 ± 0,32, gerakan massa (+++) sampai (++++), motilitas 80%, spermatozoa hidup 84 ± 4,48% dan abnormalitas spermatozoa 14,75 ± 1,28%. Nataamijaya et al. (2003) menyatakan bahwa karakteristik semen ayam Arab adalah sebagai berikut : volume per ejakulasi yaitu 0,26 ± 0,01 ml, semen berwarna putih susu, konsistensi semen kental, kerapatan sel sperma densum, gerakan massa spermatozoa (+++) (baik) dan motilitas spermatozoa 4,02±0,00 (skala 0-5). Isnaini (2000) menunjukkan bahwa semen ayam Arab yang diperoleh dalam keadaan segar yaitu : volume 0,24 ml; pH 7,4; konsentrasi 216 x 106/ ml; gerakan massa (+++); motilitas individu 80,2 % dan spermatozoa hidup 91,5 %.
4
Organ Reproduksi Ayam Jantan Menurut Toelihere (1993), organ reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis dengan epididimis, sepasang duktus deferens (vas deferens) dan sebuah alat kopulasi yang disebut phallus, yang seluruhnya terletak di dalam rongga perut. Fungsi dari organ reproduksi ayam jantan adalah untuk memproduksi dan menyalurkan spermatozoa ke dalam alat reproduksi betina (Gilbert, 1980). Alat kopulatori pada kalkun dan ayam terdiri dari dua papila (phallus) dan organ kopulatori rudimenter yang terletak pada lubang kloaka. Organ ini cukup berkembang dengan baik dan dapat ereksi secara alami pada bebek dan angsa tetapi tidak pada kalkun dan ayam (Ensminger, 1992). Unggas jantan tidak memiliki kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap, akan tetapi semen unggas dari vas deferens sudah diencerkan dengan cairan dari badan-badan vaskuler yang terletak dekat ujung posterior vas deferens (Toelihere, 1993). Menurut Setijanto (1998), phallus dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu phallus non protudens dan phallus protudens. Phallus non protodens dibentuk dari penebalan mukosa corpus phallicum medianum yang terletak di dasar protodaeum. Phallus protudens berupa penjuluran dari dasar protodens yang hanya akan tampak bila dalam keadaan ereksi. Fungsi utama dari phallus adalah sebagai alat kopulasi. Testis unggas terletak di atas rongga perut, sepanjang bagian punggung dan dekat dengan ujung anterior ginjal dan tidak pernah turun ke skrotum pada bagian luar tubuh (Nesheim et al., 1979). Testis tersebut melekat pada bagian dorsal dari rongga abdomen dan dibatasi oleh ligamentum mesorchium. Testis ayam berbentuk bulat oval seperti kacang dengan warna pucat kekuningan. Berat sebuah testis pada ayam jantan tipe berat mencapai 15 – 20 g, sedangkan pada tipe petelur berat testis berkisar antara 8 – 12 g. Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi yaitu : 1) menghasilkan sepermatozoa, dan 2) mensekresikan hormon kelamin jantan (testosteron) (Toelihere, 1993). Testis memiliki saluran-saluran kecil yang jumlahnya sangat banyak dan berbelit-belit. Saluran ini disebut seminiferous tubules (tubuli seminiferi) yang muncul dalam kelompok yang dipisahkan oleh membran tipis yang memanjang ke dalam dari membran sekitar organ. Saluran ini akhirnya mengarah ke duktus deferens, yaitu suatu pembuluh yang menyalurkan sperma ke luar tubuh. Duktus 5
deferens adalah saluran yang melekat di sepanjang medio ventral ginjal dan terletak kuat secara zig–zag pararel dengan ureter. Masing-masing
duktus deferens
mengembang menjadi papila kecil, yang bersama-sama berfungsi sebagai organ intromitten (Nesheim et al., 1979). Vas deferens atau duktus deferens berfungsi untuk mengangkut semen dari testis dan epididimis ke alat kopulatoris dan juga berfungsi sebagai reservoir semen (Toelihere, 1993). Tubuli seminiferi terdiri atas beberapa lapisan sel spermatogonia yang akan menghasilkan spermatozoa. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli seminiferi atas pengaruh FSH (Follicle Stimulating Hormone), sedangkan testosteron diproduksi oleh sel-sel interstisial dari sel leydig atas pengaruh ICSH (Interstitial Cell Stimulating Hormone) (Toelihere, 1993). Epididimis pada ayam berbentuk pipa pendek dan pipih dengan diameter sekitar 3 mm yang terletak di dorsal medial testis. Saluran reproduksi ayam tidak memiliki epididimis seperti mamalia yang memiliki caput, corpus dan cauda, namun pada testis ayam terdapat bagian exstremitas cranialis dan caudalis (Setijanto, 1998). Epididimis mempunyai empat fungsi utama, yaitu transport, konsentrasi, maturasi, dan penyimpanan sperma (Toelihere, 1993). Organ reproduksi dan urinasi pada unggas jantan ditunjukkan pada Gambar 1. Spermatogenesis Spermatozoa merupakan sel gamet pejantan yang dibentuk di dalam tubuli seminiferi pada testis. Spermatozoa yang sudah terbentuk seluruhnya merupakan perpanjangan sel yang terdiri dari kepala yang hampir seluruhnya terdiri dari kromatin, dan ekor yang memberikan daya gerak sel (Garner dan Hafez, 1980). Spermatozoa dibentuk melalui proses spermatogenesis, yaitu suatu proses kompleks yang meliputi pembelahan dan diferensiasi sel dan dimulai pada saat hewan mencapai dewasa kelamin. Selama proses tersebut, jumlah kromosom direduksi dari diploid (2n) menjadi haploid (n) pada setiap sel, dan terjadi reorganisasi komponenkomponen inti sel dan sitoplasma secara meluas. Spermatogenesis meliputi spermatositogenesis yaitu pembentukan spermatosit primer dan sekunder dari spermatogonia tipe A serta spermiogenesis yaitu pembentukan spermatozoa dari spermatid. Spermatositogenesis dikendalikan oleh FSH dari adenohypophysa dan spermiogenesis berada dibawah pengaruh LH dan testosteron (Toelihere, 1985). 6
Spermatosit primer mulai muncul di dalam tubuli seminiferi pada ayam jantan berumur sekitar enam minggu dan berlangsung terus selama 2-3 minggu. Spermatosit sekunder mulai muncul pada minggu ke-10 sebagai hasil pembelahan meiosis dari spermatosit primer. Spermatosit sekunder membelah diri menjadi spermatid pada umur 12 minggu yang selanjutnya mengalami metamorfosis menjadi spermatozoa. Spermatid dan spermatozoa terlihat di dalam tubuli seminiferi menjelang minggu ke-20 dan pada periode ini tubuli seminiferi berkembang pesat (Toelihere, 1993). Proses Spermatogenesis pada ayam ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 1. Organ Reproduksi dan Urinasi Unggas Jantan (Ensminger, 1992)
7
Gambar 2. Spermatogenesis pada Ayam (Etches, 1996) Morfologi Spermatozoa Unggas Spermatozoa merupakan perpanjangan dari sel haploid yang dihasilkan dari proses spermatogenik dan pematangan pada pejantan dan merupakan sel khusus dengan fungsi terbatas, yaitu untuk membawa informasi genetik ke sel telur betina (Garner dan Hafez, 1980). Walaupun berbeda spesies, spermatozoa pada hewan ternak dan vertebrata lainnya memiliki struktur yang sama, yaitu memiliki akrosom, nukleus, dan terpasang flagella dengan mitokondria, annulus, dense fibers, dan selubung yang berserat (Garner dan Hafez, 1980). Sperma merupakan suatu sel kecil, kompak dan sangat khas yang tidak bertumbuh atau membagi diri. Secara esensial, sperma terdiri dari kepala yang membawa materi herediter paternal, dan ekor sebagai sarana penggerak. Ukuran dan bentuk spermatozoa berbeda pada berbagai jenis hewan, namun memiliki struktur 8
morfologi yang sama (Toelihere, 1985). Bentuk dan ukuran spermatozoa antara bangsa unggas cukup sama dan konsisten, tetapi sperma unggas berbeda dengan sperma mamalia karena lebih kecil, lebih panjang, kepala berfilamen dan tidak memiliki butiran kinoplasmik (Gilbert, 1980). Sperma unggas memiliki bentuk kepala yang silindris memanjang dengan akrosom yang meruncing. Kepala sperma pada unggas sedikit melengkung dengan ukuran panjang 12 – 13 µm dan diselimuti akrosom (2 µm). Ekor spermatozoa terdiri dari leher, bagian tengah, bagian utama dan ujung. Bagian tengah ekor memiliki panjang 4 µm, dan selebihnya dari panjang sperma 100 µm terdiri dari bagian ekor dan pada bagian terlebar sperma berukuran 0,5 µm (Gilbert, 1980). Bagian tengah dan ekor spermatozoa tersusun dari mitokondria dan sitoskeleton sel yang menyebabkan spermatozoa bergerak motil (Etches, 1996). Menurut Toelihere (1985), akrosom mengandung suatu enzim yang dibutuhkan spermatozoa pada saat fertilisasi yaitu proakrosin, hialuronidase, zona lisin esterase, dan asma hidrolase. Struktur spermatozoa unggas ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Spermatozoa Unggas (Ensminger, 1992)
9
Metabolisme Spermatozoa Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), energi yang digunakan untuk pergerakan spermatozoa berupa adenosin triphosphat (ATP) yang terdapat pada ekor spermatozoa. Toelihere (1993) menambahkan bahwa energi untuk motilitas sperma berasal dari perombakan ATP di dalam selubung mitokondria melalui reaksi-reaksi penguraiannya menjadi adenosin diphosphat (ADP) dan adenosin monophosphat (AMP). Reaksi metabolisme tersebut adalah sebagai berikut : Fosfatase ATP
ADP + HPO3¯ + Energi Fosfatase
ADP
AMP + HPO3¯ + Energi
Energi yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut dapat digunakan untuk energi mekanik (pergerakan spermatozoa) dan energi kimia (biosintesis) dan energi yang tidak terpakai akan dibuang sebagai kalor (panas). Metabolisme spermatozoa berlangsung melalui proses glikolisis dan respirasi. Glikolisis adalah reaksi terurainya 6-karbon monosakarida menjadi asam laktat. Monosakarida yang digunakan dalam reaksi tersebut adalah glukosa dan fruktosa. Respirasi adalah penggunaan oksigen oleh spermatozoa pada saat proses metabolisme untuk mengembalikan ikatan fosfat pada ATP (Salisbury dan Vandemark, 1985). Sekurang-kurangnya ditemukan empat bahan organik di dalam semen yang dapat dipakai secara langsung ataupun tidak langsung oleh sperma sebagai sumber energi. Bahan-bahan tersebut adalah fruktosa, serbitol, GPC (gliseril fosforil colin/ plasma semen) dan plasmalogen. Fruktosa, serbitol dan GPC adalah kandungan atau isi dari plasma semen, sedangkan plasmalogen adalah bahan organik yang terdapat di dalam sel spermatozoa. Keempat zat tersebut dapat dipergunakan secara langsung oleh sperma apabila tersedia oksigen, kecuali GPC yang harus bereaksi dahulu dengan enzim tertentu di dalam sekresi saluran reproduksi betina. Berdasarkan hal tersebut, pembentukan ATP sebagai pemberi energi dapat terjadi pada keadaan tanpa oksigen oleh fruktosa dan dengan oksigen melalui respirasi dan fruktolisis (perombakan fruktosa) (Toelihere, 1993). Derajat pengikatan atau pemakaian fruktosa oleh spermatozoa optimal pada pH 6 – 8. Oksidasi asam laktat tidak dapat berlangsung dalam keadaan anaerob dan 10
seluruh fruktosa akan dikonversi menjadi asam laktat. Spermatozoa akan bergantung seluruhnya pada perombakan fruktosa menjadi asam laktat sebagai sumber energi pada keadaan anaerob (Toelihere, 1993) Fisiologi Semen Unggas Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari dua bagian, yaitu spermatozoa atau sel kelamin jantan dan plasma semen yang merupakan suatu cairan semi gelatin. Spermatozoa dihasilkan di dalam testis, sedangkan plasma semen merupakan campuran sekresi yang dibuat oleh epididimis dan kelenjar kelamin pelengkap. Perbedaan anatomi kelenjar-kelenjar pelengkap pada berbagai jenis hewan akan menyebabkan perbedaan volume dan komposisi semen hewan tersebut (Toelihere, 1993). Plasma semen memiliki pH sekitar 7,0 dan tekanan osmosis yang sama dengan darah (ekuivalen dengan 0,9 % NaCl). Fungsi utama plasma semen adalah sebagai media pembawa spermatozoa dari saluran reproduksi jantan ke dalam saluran reproduksi betina. Plasma semen merupakan larutan esensial yang terdiri dari garam dan beberapa asam amino. Plasma semen unggas mengandung kadar klorida yang rendah dan hampir kekurangan fruktosa, sitrat, ergotionin, inositol, fosforil kolin, dan gliserofosforil kolin dengan anion utamanya adalah glutamat (Gilbert, 1980). Semen ayam mengandung kadar glukosa dan fruktosa yang rendah dan memiliki lebih banyak asam glutamat dan glisin dan sedikit asam aspartik (Toelihere, 1993). Penampungan Semen pada Ayam Metode penampungan atau pengoleksian semen untuk pelaksanaan inseminasi buatan terdapat tiga cara, yaitu dengan bantuan vagina buatan, metode pengurutan (massage), dan menggunakan elektroejakulator. Metode penampungan semen yang paling sering digunakan pada ayam yaitu dengan metode pengurutan (massage), yaitu melakukan pengurutan pada bagian punggung ayam ke arah belakang hingga ujung kaudal tepat di bawah tulang pubis. Pemijatan ujung kaudal tersebut harus dilakukan secara cepat dan kontinyu dengan tekanan tertentu sampai terjadi ereksi yang ditandai dengan keluarnya papila dari kloaka dan kaki yang
11
meregang. Pejantan dipijat secara ritmik dengan jari tangan hingga ejakulasi terjadi dan efek ejakulatoris berhenti (Toelihere, 1993). Menurut Etches (1996), teknik penampungan semen yang efektif pada unggas dibedakan berdasarkan bangsa. Penampungan semen lebih efektif dengan menggunakan rangsangan pijatan di daerah abdominal pada bangsa gallinaceus seperti ayam dan kalkun, sedangkan pada unggas air (itik, angsa, dan entog) lebih efektif menggunakan cara intercepting yaitu menampung semen saat pejantan melakukan kopulasi. Produksi semen yang didapatkan dengan metode pengurutan sering menghasilkan semen yang berkualitas rendah karena semen yang diejakulasikan sering tercampur dengan urin atau feses sehingga akan merusak spermatozoa. Selain itu, ejakulat yang diperoleh dengan metode pengurutan sering tercampur dengan cairan bening atau disebut transundat kloaka. Cairan ini sulit dihindari pada saat pengoleksian semen dan dapat mengganggu viabilitas spermatozoa (Toelihere, 1985). Evaluasi Semen Evaluasi semen dibutuhkan dalam penerapan inseminasi buatan untuk dua alasan, yaitu : 1) mendapatkan informasi mengenai kualitas semen dari setiap pejantan, dan 2) konsentrasi spermatozoa dan volume semen dibutuhkan untuk memperhitungkan kebutuhan bahan pengencer untuk pelaksanaan inseminasi dengan dosis tertentu. Walaupun evaluasi semen bertujuan untuk memperkirakan kapasitas pembuahan dari sel sperma, namun pengujian mengenai morfologi sperma dan aktivitas metabolis sperma kurang berkorelasi dengan kapasitas pembuahan (Etches, 1996) Evaluasi semen harus dilakukan sesegera mungkin setelah penampungan dan ejakulat harus dijaga dan diperlakukan secara wajar sebelum diperiksa. Evaluasi semen bukanlah suatu penilaian kesuburan ternak, tetapi hanya untuk mengetahui kualitas semen yang dihasilkan seekor pejantan (Toelihere, 1993). Menurut Toelihere (1993), beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam evaluasi semen adalah : 1) air dan urin merusak spermatozoa dengan menimbulkan tingkat osmotik yang berbeda, 2) jumlah darah dan serum yang berlebihan akan berpengaruh buruk terhadap spermatozoa, 3) pemanasan atau pendinginan yang terlampau cepat akan mematikan 12
spermatozoa, 4) guncangan atau pengocokan yang terlampau keras akan merusak spermatozoa, dan 5) penyinaran langsung sinar matahari harus dihindari. Evaluasi semen harus meliputi keadaan umum semen, yaitu volume, konsentrasi, dan motilitas. Evaluasi ini perlu dilakukan untuk menentukan kualitas semen, daya reproduksi pejantan, dan untuk menentukan kadar pengenceran semen. Evaluasi lebih detail meliputi penghitungan sel-sel abnormal, pewarnaan untuk menentukan sel hidup dan mati, penentuan daya metabolisme spermatozoa, dan penentuan resistensi sel spermatozoa terhadap kondisi-kondisi merugikan (Toelihere, 1993). Evaluasi kualitas semen yang paling jelas adalah warna. Semen seharusnya berwarna putih dan terlihatnya warna lain mengindikasikan adanya kontaminasi. Warna kekuningan dan ada endapan putih mengindikasikan adanya kontaminasi feses, sedangkan berwarna merah kecoklatan menandakan adanya sel eritrosit. Setiap kontaminan akan menurunkan kapasitas pembuahan dari semen, dan laju penurunannya tergantung pada konsentrasi kontaminan, ada tidaknya kontaminan lain, tingkat pengenceran, waktu dari koleksi semen menuju inseminasi, dan jumlah spermatozoa yang digunakan dalam inseminasi. Peluang untuk memperoleh fertilitas yang baik adalah jika semen yang dikoleksi berwarna putih (Etches, 1996). Karakteristik Semen Semen ayam merupakan campuran dari spermatozoa dan cairan yang disekresikan oleh tubuli seminiferi, epididimis, dan vas deferens. Warna semen merupakan gambaran dari kenormalan dan kekentalannya. Warna semen dapat tercemar oleh feses, transundat kloaka, dan butir darah merah. Warna semen, konsistensi semen, dan konsentrasi spermatozoa saling berhubungan. Warna semen akan semakin intensif dan konsistensi semen akan semakin kental dengan semakin tingginya konsentrasi spermatozoa. Konsistensi semen bervariasi, yaitu dari suspensi keruh dan tebal sampai suatu cairan encer (Toelihere, 1993). Volume semen unggas relatif sedikit dengan jumlah berbeda-beda dan konsentrasi spermatozoa yang cukup tinggi (Toelihere, 1993). Volume semen unggas yang rendah disebabkan karena unggas tidak mempunyai kelenjar aksesoris seperti pada mamalia, sehingga volume plasma semen rendah (Ensminger, 1992). Perbedaan volume semen per ejakulat dipengaruhi oleh perbedaan bangsa, umur, ukuran tubuh, 13
nutrisi pakan, frekuensi penampungan semen, lama periode siang hari, suhu lingkungan, serta defisiensi vitamin A dan E (Toelihere, 1993). Tingkat fertilitas tidak dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya volume semen (Etches, 1996). Derajat keasaman atau pH semen unggas adalah sedikit basa dengan kisaran 7,0 - 7,6 . Nilai pH dapat menurun dengan peninggian suhu dan penambahan waktu pada penyimpanan (Toelihere, 1993). Aktivitas pH banyak dipengaruhi oleh aktivitas enzim spermatozoa. Apabila pH semen dipertahankan pada keadaan normal, maka laju metabolisme spermatozoa akan tinggi. Derajat keasaman atau pH semen yang mengarah ke basa atau asam akan menurunkan laju metabolisme spermatozoa. Semen yang terkontaminasi oleh kuman dan semen yang banyak mengandung spermatozoa mati akan meningkatkan pH semen karena terbentuk amoniak di dalam semen. Semen yang mengalami penyimpanan dan peningkatan suhu akan mengalami penurunan pH. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas spermatozoa yang menguraikan fruktosa pada kondisi anaerob. Penguraian fruktosa menyebabkan terbentuknya asam laktat pada semen (Salisbury dan Vandemark, 1985). Gerakan massa spermatozoa adalah gerakan spermatozoa dalam satu kelompok yang mempunyai kecenderungan bergerak bersama-sama ke satu arah sehingga gerakan tersebut terlihat seperti gelombang yang tebal atau tipis dan bergerak cepat atau lambat. Gerakan massa ini tergantung pada konsentrasi sperma di dalam semen dan pergerakan individu spermatozoa (Toelihere, 1993). Motilitas spermatozoa menunjukkan presentase spermatozoa yang bergerak motil progresif. Penilaian motilitas spermatozoa digunakan untuk menilai tingkat kesanggupan spermatozoa membuahi sel telur (ovum) (Toelihere, 1993). Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), penghitungan motilitas spermatozoa dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penghitungan secara kualitatif dilakukan secara perbandingan dan hasilnya tidak mutlak. Perhitungan tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa dan hasil perhitungan bersifat subjektif. Metode kuantitatif digunakan agar diperoleh hasil penghitungan motilitas spermatozoa yang objektif. Semen dengan motilitas rendah pada umumnya akan memiliki fertilitas rendah, tetapi semen dengan motilitas tinggi tidak selalu memiliki fertilitas yang tinggi (Etches, 1996).
14
Lebih dari 80% ejakulat pada unggas menunjukkan motilitas sperma yang progresif. Sperma unggas tetap mempunyai daya gerak dalam kisaran suhu yang luas dari 2 °C - 43 °C dan pergerakan meninggi dengan peningkatan suhu (Toelihere, 1993). Spermatozoa yang didinginkan pada suhu 2 °C akan kembali motil ketika dihangatkan kembali, tetapi motilitas hilang secara permanen setelah spermatozoa dipanaskan beberapa jam pada suhu 40 °C. Motilitas spermatozoa unggas dapat dipertahankan lebih lama pada lingkungan yang netral sampai sedikit basa. Derajat keasaman atau pH yang paling baik untuk mengadakan motilitas spermatozoa berkisar antar 6,5 - 8. Salisbury dan Vandemark (1985) menyatakan bahwa tingkat motilitas spermatozoa progresif in vitro dipengaruhi oleh kepadatan pengencer, suhu lingkungan, dan umur spermatozoa. Konsentrasi spermatozoa menggambarkan sifat-sifat semen dan digunakan sebagai salah satu kriteria penentuan kualitas semen. Konsentrasi spermatozoa juga menentukan jumlah ternak betina yang dapat diinseminasi dengan ejakulat yang dihasilkan. Konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh frekuensi penampungan semen, libido, pakan, suhu, dan musim (Toelihere, 1993). Salisbury dan Vandemark (1985)
menambahkan
bahwa
konsentrasi
spermatozoa
dipengaruhi
oleh
perkembangan seksual, tingkat kedewasaan pejantan, kualitas pakan, umur, musim, dan perbedaan letak geografis. Kekentalan atau konsistensi semen akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi spermatozoa. Abnormalitas spermatozoa dibagi menjadi dua bagian, yaitu abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena kelainan-kelainan pada tubuli seminiferi dan gangguan testikuler (Toelihere, 1993). Abnormalitas primer dapat disebabkan oleh gangguan patologis, panas, perlakuan suhu dingin pada testis, defisiensi pakan, perubahan musim, temperatur yang berubah-ubah, faktor keturunan, penyakit, pengaruh lingkungan yang buruk, kejutan dingin (cold shock), dan tekanan osmosis (osmotic shock) pada saat pembentukan spermatozoa (Salisbury dan Vandemark, 1985). Abnormalitas sekunder terjadi setelah sel sperma meninggalkan tubuli seminiferi, yaitu dalam perjalanan melalui epididimis dan vas deferens serta pada saat ejakulasi seperti agitasi, pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang terlalu cepat, kontaminasi dengan air, urin, dan antiseptik (Toelihere,1993). Spermatozoa abnormal yang paling banyak ditemukan pada semen 15
unggas adalah spermatozoa dengan ekor melingkar, ekor patah, dan spermatozoa tanpa ekor, sedangkan kelainan bentuk kepala jarang ditemukan. Abnormalitas spermatozoa yang terjadi pada ekor dapat menghambat pergerakan dan menurunkan fertilitas spermatozoa (Toelihere, 1993). Macam-macam bentuk abnormalitas spermatozoa unggas ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Macam-macam Bentuk Abnormalitas Spermatozoa Unggas. A: Normal; B: Ekor Melingkar; C: Ekor Patah; D: Tanpa Ekor; E: Kepala Melingkar; F: Kepala Berkait; G: Kepala Pecah; H: Kepala Kecil; I: Kepala Tumpul; J: Kepala Bengkok; K: Kepala Seperti Balon; L: Bagian Tengah Filliformis (Parker et al., 1968). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Semen Volume semen yang dihasilkan unggas relatif sedikit dan berbeda-beda menurut bangsa unggas, tetapi memiliki konsentrasi spermatozoa yang cukup tinggi. Menurut Toelihere (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen adalah makanan, nutrisi makanan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi, serta libido dan faktor psikis. Peninggian suhu testis karena infeksi penyakit, luka lokal, demam yang tak kunjung reda karena penyakit dan peninggian suhu udara karena kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan kegagalan pembentukan dan penurunan produksi spermatozoa. Frekuensi ejakulasi yang terlampau sering dalam satu satuan waktu yang relatif pendek cenderung untuk menurunkan libido, volume semen, dan jumlah spermatozoa per ejakulat. Rangsangan atau stimulasi yang diberikan pada pejantan 16
untuk mempertinggi libido dapat meninggikan volume semen dan konsentrasi sperma motil per ejakulat (Toelihere, 1993). Produksi sperma distimulasi oleh peninggian periode siang hari, sedangkan berkurangnya periode siang hari akan berpengaruh sebaliknya (Toelihere, 1993). Semakin lama periode siang hari maka aktivitas reproduksi bekerja semakin lama sehingga akan menghasilkan produksi sperma dalam jumlah yang tinggi. Suhu lingkungan juga dapat mempengaruhi produksi semen, suhu sampai 30 °C dapat membahayakan produksi sperma. Makanan merupakan faktor yang esensial terhadap produksi semen, kekurangan vitamin A dan vitamin E dalam pakan dapat menghambat produksi semen (Toelihere, 1993).
17