TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang berasal dari Belgia, Eropa. Ayam Arab yang merupakan keturunan Braekels bersifat gesit, aktif, dan daya tahan tubuh kuat (Sulandari et al., 2007). Secara genetik ayam Arab merupakan ayam petelur unggul karena memiliki kemampuan memproduksi telur yang tinggi. Masyarakat memanfaatkan ayam ini sebagai penghasil telur, bukan daging. Ayam Arab memiliki kulit yang kehitaman dan daging yang tipis jika dibandingkan ayam lokal lainnya sehingga dagingnya kurang disukai oleh konsumen di Indonesia (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab juga memiliki sifat mengeram yang rendah, oleh karena itu keuntungan ini dijadikan sebagai potensi yang baik sebagai penghasil telur (Binawati, 2008). Ayam Arab dibedakan atas dua jenis yaitu ayam Arab Silver dan ayam Arab Golden, perbedaan ini didasarkan pada warna bulunya (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab Silver Ayam Arab Silver memiliki wana bulu putih hitam lurik dan bulu leher berwarna putih seperti jilbab (Gambar 1). Warna bulu dari kepala hingga leher putih keperakan dan warna bulu badan total hitam putih/lurik hitam putih. Warna hitam juga dijumpai pada lingkar mata, kulit, shank, dan paruh. Ayam ini memiliki bobot dewasa berkisar antara 1,4-2,3 kg pada jantan dan 0,9-1,8 pada betina. Ayam ini merupakan ayam Arab yang banyak dikembangkan di Indonesia (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab Golden Ayam Arab Golden memiliki ciri sebagai berikut: warna bulu merah lurik kehitaman dan bulu leher berwarna merah seperti jilbab (Gambar 2). Warna hitam dapat dijumpai pada lingkar mata, shank, kulit, dan paruh. Bobot dewasa ayam ini sekitar 1,4-2,1 kg pada jantan dan 1,1-1,6 kg pada betina. Ayam ini juga memiliki keunggulan dalam produksi telur namun kurang dikembangkan di Indonesia (Sulandari et al., 2007).
3
A
B Gambar 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B) Sumber: Robert (2008)
Gambar 2. Ayam Arab Golden Betina Sumber: Association for Promotion of Belgian Poultry(2003)
Telur Tetas Ayam Arab Karakteristik Fisik Telur Tetas Karakteristik fisik telur merupakan parameter dalam menentukan kualitas fisik telur. Hal-hal yang dapat diamati secara fisik, yaitu kebersihan telur, bentuk telur, indeks telur, berat telur, kedalaman kantung udara, dan kerabang telur. Telur yang kotor dapat dibersihkan dengan air bersih dan hangat (Williamson dan Payne, 1993). Karakteristik fisik telur yang berhubungan dengan penetasan adalah bentuk telur dan ukuran telur (indeks telur) (Ensminger et al., 2004). Karakteristik fisik telur tetas ditunjukkan pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Karakteristik Fisik Telur Tetas Standar kualitas
Karakteristik
Ayam ras
Ayam Lokal
57,5-68,8
Minimal 37a
-
76-78
7b
7a
Ovala
Ovala
Tebal kerabang (mm)
0,32-0,34c
0,35-0,39d
Suhu penyimpanan (°C)
12,5e-18f
22-25a
Berat telur (g) Indeks telur (%) Penyimpanan telur maksimal (hari) Bentuk telur
Sumber: Zakaria et al. (2005), aKementrian Pertanian (2006), bWilliamson dan Payne (1993), c Fasenko et al. (2009), dDewi (2006), eOluyemi dan Robert (1979), fReijrink et al. (2009)
Telur yang memiliki bentuk tidak normal tidak akan menetas dengan baik karena akan mempengaruhi perkembangan embrio di dalamnya (Ensminger et al., 2004). Bentuk telur secara visual menurut Robert (2008) ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk-bentuk Telur Sumber: Robert (2008)
Indeks telur berkaitan dengan ukuran telur. Ukuran telur sangat berkaitan dengan daya tetas telur pada semua spesies unggas. Telur yang memiliki bentuk terlalu besar atau kecil tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004). Indeks bentuk telur menurut Romanoff dan Romanoff (1949) yaitu sebesar 79%. Indeks telur ayam Arab berkisar antara 0,77-0,93 mm (Sodak, 2011). Berat telur pada ayam Arab berkisar antara 42,47-45,89 gram (Sodak, 2011). Peningkatan umur induk dapat menyebabkan berat telur meningkat (Roberts, 2010). Berat telur yang digunakan untuk tujuan penetasan berkisar antara 50-71 gram (Williamson dan Payne, 1993). Perbedaan dalam manajemen pemberian pakan berpengaruh terhadap berat telur yang dihasilkan (Sodak, 2011; Iriyanti et al., 2005). 5
Berat telur ayam Arab pada umur induk 52 sampai dengan 58 minggu memiliki perbedaan yang tidak nyata (Sodak, 2011). Kedalaman kantung udara sangat berkaitan dengan umur penyimpanan telur (Sodak, 2011). Penyimpanan telur tetas yang baik adalah pada suhu 12,8 °C dengan kelembaban relatif 60%-70% (Williamson dan Payne, 1993). Karakteristik Kimia Telur Tetas Telur unggas mengandung nutrien yang sangat lengkap terdiri dari protein yang seimbang, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang menunjang perkembangan ayam di dalam kerabang selama 21 hari (Ensminger et al., 2004). Protein pada telur memiliki keseimbangan asam amino dan nilai biologis yang hampir sempurna. Karbohidrat merupakan sumber energi utama pada empat hari pertama inkubasi (North dan Bell, 1990). Komponen lemak sebagian besar diperoleh dari demobilisasi lemak tubuh dan memiliki asam lemak yang tidak jenuh. Mineral yang terkandung pada telur seperti kalsium dan fosfor merupakan komponen utama dalam pembentukan tulang sedangkan vitamin A dan D juga dapat dijumpai pada telur (Oluyemi dan Robert, 1979). Komposisi kimia telur ayam Arab ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Telur Ayam Komponen
Kuning
Putih
Kerabang
Campuran Kuning
Telur
Telur
Telur
dan Putih Telur1
Bahan Kering (%)
76,48
12,09
-
21,67-24,17
Kadar Abu (%)
1,95
0,60
84,26
0,75-0,92
Protein (%)
18,93
10,25
-
10,67-11,67
Lemak (%)
32,24
0,01
-
10,17-11,5
Kalsium (%)
0,43
0,27
45,89
-
Fosfor (%)
0,57
0,31
0,90
-
0,06
-
-
3526
-
-
NaCl (%) Energi Bruto (EB) kkal/kg
3886
Sumber: Sodak (2011); 1Yuwanta (2010)
Kandungan nutrien dalam telur ditentukan oleh ransum induk dan umur induk (Iriyanti et al., 2005; Bennet, 1992). Peningkatan umur induk akan meningkatkan
6
berat telur, berat kering, dan persentase kuning telur, sehingga persentase kerabang, putih telur, padatan putih telur menurun (North dan Bell, 1990). Peningkatan umur induk dapat menyebabkan mobilisasi kalsium (Ca) dan Fosfor (P) semakin rendah karena banyaknya jumlah kerabang yang dihasilkan oleh ayam (Sodak, 2011). Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan embrio selanjutnya sehubungan dengan Ca dan P yang banyak disuplai dari kerabang. Oleh karena itu, suplemen Ca dan P dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kerabang telur pada induk tua (Roberts, 2010). Inkubasi Telur Inkubasi merupakan suatu manajemen
yang sangat penting untuk
perkembangan embrio untuk menjadi seekor ayam yang normal. Ada dua metode inkubasi yang selama ini diketahui, yaitu inkubasi alami dan inkubasi dengan mesin tetas. Menurut Ensminger et al. (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah fertilitas, genetik, nutrien pakan, penyakit, seleksi telur, dan manajemen. Fertilitas Telur menjadi fertil apabila terjadi pembuahan antara sperma dan sel telur pada oviduct. Beberapa telur yang ditelurkan pada 24 jam setelah kopulasi akan fertil dan apabila dalam waktu dua minggu setelah kelompok dikawinkan maka fertilitas yang baik dapat diperoleh (Funk dan Irwin, 1955). Genetik Closebreeding atau perkawinan antara tetua dengan anaknya, tanpa seleksi pada ayam dapat menurunkan daya tetas karena adanya gen lethal. Gen lethal dan semi lethal juga dapat menyebabkan kematian pada embrio sebelum akhir inkubasi berlangsung (Ensminger et al., 2004). Crossbreeding dapat meningkatkan daya tetas, hal itu dapat terlihat dari strain produksi, fertilitas, dan daya tetes telur yang lebih tinggi (Oluyemi dan Robert, 1979). Nutrien Telur harus memiliki seluruh nutrien yang diperlukan embrio. Nutrien sangat tergantung pada ransum yang diberikan oleh peternak pembibit. Induk harus mendapatkan ransum pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrien yang diperlukan
7
untuk menyuplai nutrien yang diperlukan untuk perkembangan embrio (Ensminger et al., 2004). Protein, karbohidrat, dan lemak merupakan kebutuhan umum yang harus tersedia lebih banyak guna menghasilkan telur tetas yang baik (Funk dan Irwin, 1955). Kebutuhan lain yang harus dipenuhi adalah vitamin A, D, E, B12, riboflavin, asam pantothenis, niacin, dan mineral mangan (Ensminger et al., 2004). Anggorodi (1985) berpendapat bahwa tahap produksi merupakan salah satu faktor penentu kebutuhun protein pakan. Defesiensi protein akan mengakibatkan ayam rontok bulu, produksi telur akan terhenti, dan penurunan bobot badan. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi tambahan apabila nilai energi bahan makanan lainnya tidak tercapai untuk induk. Serat berfungsi hanya sebagai bulk, tidak essensial bagi ransum ayam (Anggorodi, 1985). Kalsium merupakan komponen mineral yang perlu diperhatikan dalam ransum ayam Arab (Dewi, 2006). Nutrien pakan induk harus mampu mencukupi kebutuhan pokoknya dan ketebalan kerabang yang dihasilkan guna memenuhi kebutuhan embrio selama inkubasi. Komposisi nutrrien ransum pada ayam lokal betina periode bertelur ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Ransum Ayam Lokal Periode Bertelur Komposisi nutrient Kadar air (KA) maksimal (%) Energi metabolis (kkal/kg ransum)
Kandungan 14 2600
Protein kasar (%)
15
Serat Kasar maksimal (%)
5
Kalsium (%)
3,4
Phosphor (%)
0,34
Aflatoksin maksimal (ppb)
50
Lysin (%)
0,7
Metionin (%)
0,3
Sumber: Kementrian Pertanian (2006)
Penyakit Penyakit pullorum disebabkan oleh S. pullorum. Mycoplasma gallisepticum. merupakan organisme penyebab penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD).
8
Contoh penyakit lain yang mempengaruhi penetasan yang dapat mempengaruhi embrio secara langsung adalah Newcastle Disease (ND) dan infeksi bronchitis. Telur yang berasal dari induk yang terinfeksi pada umumnya tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004). Seleksi Telur Seleksi telur untuk tujuan ditetaskan meliputi seleksi kualitas eksterior seperti: bentuk telur, indeks telur, berat telur, dan besarnya rongga udara telur kerabang telur dan kualitas interior seperti berat kerabang, tebal kerabang dan komposisi kimia telur ayam Arab. Telur yang besar akan menyebabkan penetasan yang terjadi berjalan lambat, sedangkan telur yang kecil akan menyebabkan telur menetas lebih cepat (Ensminger et al., 2004). Berat telur ayam Arab menurut Sodak (2011) berkisar antara 33,33-53,27 g/butir. Bentuk yang tidak normal juga akan menyebabkan telur menetas tidak baik. Kualitas kerabang menunjukkan jumlah kalsium dan vitamin D yang dapat dimanfaatkan embrio untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang. Kerabang telur pada saat cuaca panas cenderung lebih tipis dari pada cuaca dingin (Ensminger et al., 2004). Penipisan kerabang juga akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia induk (Bennet, 1992). Komposisi kimia telur ayam pada umur yang berbeda juga memiliki kandungan nutrien dalam telur yang berbeda (Peebles et al., 2001). Sistem Inkubasi Telur Terdapat enam faktor penting pada inkubasi telur yaitu suhu, kelembaban, ventilasi, posisi telur, peneropongan, dan waktu inkubasi. Suhu merupakan hal yang paling kritis untuk menentukan keberhasilan penetasan (Ensminger et al., 2004). Pada pengeraman alami, telur tetas memanfaatkan panas dari tubuh induknya untuk proses inkubasi (Ensminger et al., 2004). Suhu Telur fertil akan melanjutkan perkembangannya ketika ditempatkan pada mesin tetas. Suhu yang dapat digunakan untuk inkubasi berkisar 35-40 °C dengan suhu optimumnya adalah 37-38 °C (Card dan Nasheim, 1972). Suhu optimum pada penetasan menurut Ensminger et al. (2004) berkisar antara 37,2-39,4 ºC. Suhu yang terlalu rendah menyebabkan telur lambat menetas, sedangkan suhu yang tinggi 9
mempercepat penetasan telur, namun suhu yang terlalu randah maupun terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian embrio pada saat inkubasi berlangsung (Oluyemi dan Robert, 1979). Kelembaban Kelembaban relatif tergantung pada jenis mesin tetas dan telur pada mesin tetas. Suhu dan ventilasi pada mesin tetas menyebabkan kelembaban dan gas yang hilang dari telur keluar melalui pori-pori telur. Kehilangan air berlebih disebabkan karena adanya kelembaban yang rendah, mengganggu proses chorio allantoic yang berperan penting pada proses pertukaran udara. Kelembaban yang perlu dijaga selama inkubasi selama 18 hari pertama adalah sekitar 60% dan selama tiga hari pada periode penetasan kelembaban harus 70% (Ensminger et al., 2004). Ventilasi Ventilasi pada mesin tetas diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari ammonia dan bahan berbahaya lainnya yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur setelah mesin tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979). Konsentrasi oksigen dan karbondioksida sangat mempengaruhi penetasan (Card dan Nasheim, 1972). Posisi Telur Telur pada umumnya diinkubasi pada bagian tumpul di atas. Embrio akan berkembang pada bagian ini, mendekati kantung udara. Apabila telur diletakkan pada bagian runcing di atas, kepala embrio tidak akan berkembang sehingga embrio tidak akan menetas (Card dan Nasheim, 1972). Peneropongan Beberapa telur yang diinkubasi sebagian merupakan telur fertil atau embrio mati, untuk mengetahui perbedaannya dapat dilakukan dengan cara peneropongan (Ensminger et al., 2004). Peneropongan pada saat seleksi juga dapat dilakukan untuk mengetahui tinggi rongga udara telur ayam Arab.
10
Waktu Inkubasi Waktu inkubasi pada ayam adalah 21 hari. Telur yang berukuran lebih besar maka waktu penetasan yang diperlukan juga semakin lama, begitu juga dengan telur yang berukuran kecil maka waktu penetasan juga semakin cepat seperti puyuh yang hanya membutuhkan waktu inkubasi selama 18 hari (Ensminger et al., 2004). Perkembangan Awal Embrio Pembelahan blastodisc dimulai sejak telur fertil masuk ke saluran isthmus, kurang lebih 3,5 jam setelah fertilisasi. Sel-sel hasil pembelahan ini disebut blastomer. Blastodisc yang telah membelah disebut blastoderm. Embrio dapat terlihat seperti sebuah piringan sel tipis kecil (blastoderm) yang menutupi kuning telur dan menempel pada membran vitelin (Marshall, 1960). Blastoderm ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Telur Fertil Sumber: Cobb Vantress (2011)
Pembelahan pertama terjadi di tengah blastodic menghasilkan dua blastomer, pembelahan
kedua
menghasilkan
empat
blastomer.
Proses
ini
kemudian
berkelanjutan sehingga membentuk banyak sel dan menyebar (Marshall, 1960). Blastomer daerah sentral telah membelah sempurna dan blastomer daerah perifer membelah parsial. Daerah sentral blastoderm disebut area pellucida dan daerah perifer disebut area opaca (Gambar 5) (Marshall, 1960). Perkembangan struktur terjadi setelah telur fertil mengalami inkubasi. Setelah inkubasi berlangsung, germ layer atau mesoderm terdeferensiasi dengan tumbuh menjadi blastocoele, antara ektoderm dan endoderm, entoderm lebih awal terdorong ke dalam blastocoele. Blastoderm pada tahap ini terdiri dari tiga lapisan terang yang
11
menyebar mengelilingi kuning telur dan berdeferensiasi menjadi beberapa bagian, yaitu ektoderm, endoderm, dan mesoderm (Card dan Nasheim, 1972).
Gambar 5. Germinal Disc. Keterangan : ap= area pellucida ao= area opaca; ps= primitive streak Sumber
: Radbound University Nijmegan (2011)
Proses pembentukan ketiga lapisan kecambah, ektoderm, mesoderm dan endoderm disebut proses gastrulasi. Gambar 6 menunjukkan perpindahan pada proses gastrulasi pada embrio ayam. Tiga bagian tersebut akan berkembang menjadi organ dan sistem perkembangan tubuh (Card dan Nasheim, 1972). Ektoderm akan berkembang menjadi kulit, bulu, paruh, cakar, sistem syaraf, lensa dan retina mata, dan lapisan lubang mulut. Tulang, otot, darah, organ reproduksi dan ekskresi berkembang dari mesoderm. Entoderm berkembang menjadi sistem pencernaan dan organ pernafasan (Card dan Nasheim, 1972).
Gambar 6. Diagram Sistematik Perpindahan pada Proses Gastrulasi Embrio Ayam. Keterangan
Sumber
: ap= Area pellucida; ao= Area opaca; ps= Primitive streak, 1= Epiblast (Pembentuk Ektoderm); 2= Blastosul; 3= Hipoblast (Pembentuk Endoderm); 4= Subgerminal Cavity; 5= Kuning Telur : Radbound University Nijmegan (2011)
Proses gastrulasi dimulai dengan adanya migrasi sel-sel epiblas yang berkumpul di daerah kaudal area pellucida yang terlihat sebagai sebuah penebalan. Penebalan ini memanjang membentuk garis lurus di tengah area pellucida yang disebut dengan garis primitif (primitive streak). Tahap ini dapat dilihat pada Gambar 12
5. Pembentukan garis primitif membagi embrio menjadi sisi kiri dan kanan. Garis primitif merupakan perubahan struktur pertama yang terlihat setelah telur diinkubasi (Card dan Nasheim, 1972). Sel kemudian masuk ke dalam embrio melalui primitive streak dengan cara menyebar antara epiblast dan hipoblast, pada tahap ini sel-sel menggantikan sel hipoblast dengan mendorongnya ke periphery (Kardong, 2009). Pergerakan ke dalam (ingresi) mengakibatkan garis primitif mengalami pelekukan (Gambar 6) (Patten, 1920). Sel-sel epiblas bermigrasi kontak dengan hipoblas dan menggantikan sel-sel hipoblas untuk membentuk lapisan endoderm. Migrasi terus berlanjut sehingga selsel di garis primitif masuk ke dalam blastosul, digantikan dengan sel lain. Mesoderm tumbuh ke luar diantara hipoblas dalam (endoderm) dan superficial epiblast (ektoderm) (Kardong, 2009). Sel-sel epiblas di anterior tumbuh lebih cepat dibandingan di daerah posterior sehingga area pellucida terlihat membentuk buah pear (Gambar 7). Garis primitif pada tahap ini tumbuh mencapai garis maksimum (Card dan Nasheim, 1972). Tahap selanjutnya, garis primitif regresi ke arah kaudal (ekor), notokorda yang terbentuk akan semakin panjang. Pada tahap inilah neurasi atau proses pembentukan buluh syaraf dari lapis kecambah ektoderm tumbuh (Kardong, 2009).
Gambar 7. Embrio Ayam Sumber: Patten (1920)
Perkembangan Somite (Tulang Belakang) Somitogenesis
merupakan
proses
pembagian
anterior-posterior
pada
embryonic axis hewan bertulang belakang menjadi unit morfologi yang umumnya lebih dikenal dengan sebutan somite (Nurunnabi et al., 2010). Kardong (2009) membagi secara umum mesoderm ke dalam tiga bagian, yaitu: epimere, mesomere (intermediate mesoderm), dan hypomere. Somite merupakan bagian dari epimere.
13
Somite terbagi menjadi tiga komponen: dermatome (dermis), myotome (otot skeletal), dan sclerotome (vertebral colomn dan rusuk) (Stern dan Keynes, 1987). Perkembangan awal morfologi embrio pada ayam menurut Radbound University Nijmegan (2011) dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu 18-20, 22-28, 3336, 48, dan 72 jam setelah inkubasi (Radbound University Nijmegan, 2011). Tahap 72 jam adalah tahap penyempurnaan jumlah somite. Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam Periode 18 jam
Perubahan Struktur
Morfologi Embrio
Keterangan
Garis
1= Proamnion;
primitive
2= Area Opaca (Bagian Gelap); 3= Area Pellucida (Transparan); 4= Wilayah Embrional; 5= Neural Plate; 6= Chorda; 7= Node Hensen; 8= Garis Primitif
20 jam
3
pasang
somite
1= Proamnion; 2= Area Opaca (Bagian Gelap); 3= AreaPellucida (Transparan); 4= Wilayah Embrional; 5= Head Fold, 6= Neural Groove; 7= Neural Plate; 8= Chorda, 9= Hensen's Node; 10 = Primitive Streak
24 jam
4-5 pasang
1= Area Opaca (Bagian Gelap);
somite
2= Area Pelucida (Transparan); 3= Neural Fold; 4= Head Foldin; 5= Foregut; 6= Neural Groove; 7= Somite; 8= Chorda; 9= Unsegmented Mesoderm; 10= Node Hensen; 11= Primitive Streak
14
Tabel 5. Morfologi Embrio Ayam (Lanjutan) Periode 33 jam
Perubahan Struktur 12
pasang
somite
Morfologi Embrio
Keterangan 1= Proamnion; 2= Prosencephalon; 3= Mesencephalon; 4= Rhombencephalon; 5= Somite; 6= Eye vesicle; 7= Foregut; 8= Chorda (translucent); 9= Jantung; 10= Lateral mesoderm; 11= Spine; 12= Sinus rhomboidalis; 13= Primitive streak; 14= Blood islands
36 jam
13
pasang
somite
1= Prosencephalon; 2= Eye vesicle; 3= Mesencephalon; 4= Rhombencephalon; 5= Heart; 6= Lateral mesoderm; 7= Somite; 8= Spine; 9= Sinus rhomboidalis; 10= Primitive streak; 11= Small blood vessel;12 = Blood islands
15
Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam (Lanjutan) Periode 48 jam
Perubahan Struktur
Morfologi Embrio
Keterangan
21-22
1= Amnion; 2= Metencephalon;
pasang
3= Mesencephalon;
somite
4= Optic cup + lens; 5= Prosencephalon; 6= Otic vesicle; 7= Branchial arches; 8= Atrium; 9= Ventricle; 10= Lateral fold; 11= Lateral mesoderm; 12= Vitelline arteria / vein;13= Somite; 14= Spine; 15= Tail fold
72 jam
43-44
1= Auditive (otic) vesicle;
pasang
2= Myelencephalon;
somite
3= Metencephalon; 4= Amnion; 5= Mesencephalon; 6= Optic vesicle + lens; 7= Diencephalon; 8= Epiphyse; 9= Telencephalon; 10= Branchial arches; 11= Heart; 12= Forelimb (wing) bud; 13= Vitelline arteria/vein; 14= Hindlimb (leg) bud; 15= Tail
Sumber: Radbound University Nijmegan (2011)
Hasil penelitian Nurunnabi et al. (2010) pada ayam Plymouth Rock (Broiler) menunjukkan bahwa jumlah pasang somite pada embrio tahap 24, 36, 48, 60, dan 72 jam berturut-turut adalah 0,86±0,65; 10,24±2,58; 18,62±0,84; 29,82±2,72; dan 39,89±2,95 pasang, sedangkan pada ayam lokal deshi adalah 1,02±0,34; 12,26±2,14; 21,34±2,57; 32,14±2,31; dan 41,66±2,24 pasang. Jumlah somite ayam Plymouth Rock berevolusi lebih lambat dibandingkan dengan ayam lokal (Deshi) pada setiap jam perkembangannya (Nurunnabi et al., 2010). Berbeda dengan hasil penelitian Dronca (2008) bahwa ayam Plymouth Rock yang berevolusi lebih cepat somite 16
dibandingkan dengan ayam Transylvanian Naked Neck pada tahap 26, 30, 40, 50 dan 60 jam inkubasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan secara genetik dapat mempengaruhi laju perkembangan embrio (Dronca, 2008; Nurunnabi et al., 2010). Perbedaan evolusi somite dari jenis induk yang berbeda juga memiliki perbedaan pada kualitas telur, selang pelontaran telur, perbedaan suhu yang diterima telur pada posisi inkubasi telur, suhu, dan ukuran masing-masing telur (Nurunnabi et al., 2010).
17