HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu melalui berbagai terobosan teknologi yang telah dikembangkan. Inseminasi buatan (IB) merupakan alternatif peningkatan perkembangbiakan ayam Arab. Manfaat dari inseminasi buatan antara lain adalah: (1) mempertinggi penggunaan pejantan-pejantan unggul, (2) menghemat biaya dan tenaga pemeliharaan, (3) pejantan-pejantan yang dipakai dalam IB telah mengalami seleksi terlebih dahulu, (4) penularan penyakit dapat dicegah, dan (5) meningkatkan efisiensi reproduksi. Keberhasilan inseminasi buatan dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas semen yang digunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan adalah intensitas pemerahan atau penampungan semen. Menurut Supriatna (2000), keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain daya fertilitas spermatozoa (fertile life), jenis pengencer yang digunakan, dosis dan interval IB, pengelolaan semen, waktu pelaksanaan inseminasi serta teknik pelaksanaan IB dan keterampilan inseminator. Proses penampungan semen dan inseminasi buatan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses Penampungan Semen dan Inseminasi Buatan Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini untuk mempelajari pengaruh frekuensi penampungan atau pemerahan semen yang berbeda (satu kali, dua kali, dan tiga kali seminggu) terhadap durasi fertilitas, daya fertil, mortalitas embrio, dan daya
18
tetas telur sampai hari ke-14 setelah inseminasi buatan dilakukan serta viabilitas DOC dengan metode inseminasi buatan. Data hasil pengamatan pengaruh frekuensi penampungan semen terhadap durasi fertilitas, daya fertil, mortalitas embrio, dan daya tetas telur sampai hari ke-14 setelah inseminasi buatan serta viabilitas dengan metode inseminasi buatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengamatan Pengaruh Frekuensi Penampungan Semen yang Berbeda Terhadap Durasi Fertilitas, Daya Fertil, Mortalitas Embrio, Daya Tetas, dan Viabilitas DOC. Perlakuan Peubah A
B
C
7,9±0,2A
9,2±0,4B
9,6±0,2B
Daya Fertil (%)
51,13±2,42
52,39±1,28
62,38±8,88
Mortalitas Embrio (%)
7,22±1,11
7,84±1,64
7,15±2,16
Daya Tetas (%)
92,78±1,11
92,26±1,89
92,85±2,16
Viabilitas DOC (%)
95,92±1,56
96,47±3,20
95,94±1,83
Durasi Fertilitas (hari)
Keterangan : Superskip = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) A = Penampungan semen 1x seminggu B = Penampungan semen 2x seminggu C = Penampungan semen 3x seminggu
Durasi Fertilitas Durasi fertilisasi adalah lama fertilitas (jumlah hari) yang dihitung dari hari ke dua setelah inseminasi sampai hari terakhir fertil (hari ke-14). Sperma unggas dapat mempertahankan kapasitas fertilisasinya untuk jangka waktu yang cukup lama di dalam saluran telur betina. Sperma tersimpan dalam lipatan-lipatan atau crypta atau sarang sperma di permukaan dalam saluran telur (Toelihere, 1993). Menurut Supriatna (2000), daya fertilitas spermatozoa adalah kemampuan spermatozoa dalam saluran oviduk untuk membuahi sel telur dalam jangka waktu tertentu. Analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pemerahan semen yang berbeda sangat berpengaruh (P<0,01) terhadap durasi fertilitas. Setelah dilakukan uji banding diketahui bahwa perlakuan A berbeda pengaruhnya dengan perlakuan B dan C, sedangkan perlakuan B dan C memiliki pengaruh yang sama terhadap durasi fertilitas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa durasi fertilitas yang paling lama adalah 9,6 19
hari pada perlakuan C dengan penampungan semen tiga kali seminggu. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu menghasilkan durasi fertilitas selama 7,9 hari dan pada perlakuan B dengan pemerahan dua kali seminggu memiliki durasi fertilitas selama 9,6 hari. Menurut Lake dan Stewart (1978), lama periode fertil pada ayam (Gallus gallus domesticus) rata-rata adalah 12 hari. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kemampuan sperma dapat bertahan di dalam saluran reproduksi betina. Kualitas dan kuantitas sperma yang diinseminasikan pada ayam betina menjadi indikator lamanya periode fertil. Rataan durasi fertilitas dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Rataan Durasi Fertilitas Menurut penelitian McDaniel dan Sexton (1977), menampung semen ayam jantan sekali tiga kali dan lima kali per minggu (berdasarkan 5 hari kerja/minggu) menghasilkan perbedaan secara nyata terhadap volume dan konsentrasi semen. Tiga kali penampungan per minggu mengasilkan volume per ejakulasi dan konsentrasi sperma yang lebih tinggi dibanding lima kali per minggu. Hal ini menunjukkan bahwa semen yang terlalu jarang ditampung dan terlalu sering ditampung akan menghasilkan kualitas dan kuantitas semen yang tidak baik. Tingkat frekuensi penampungan sperma yang paling optimal sehingga menghasilkan fertilitas yang tinggi adalah penampungan semen tiga kali seminggu. Durasi fertilitas dipengaruhi oleh motilitas sperma yang merupakan salah satu faktor yang menentukan fertilitas. 20
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ensminger (1992) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah abnormalitas spermatozoa. Tinggi atau rendahnya motilitas sperma disebabkan oleh banyak atau sedikitnya spermatozoa yang abnormal. Faktor lain yang mempengaruhi durasi fertilitas adalah waktu pelaksanaan inseminasi. Menurut Sastrodihardjo dan Resnawati (1999), pelaksanaan inseminasi buatan pada waktu dan dosis yang tepat akan menghasilkan fertilitas telur yang tinggi. Hasil penelitian Saleh dan Sugiyatno (2006) menunjukkan periode fertil pada ayam ras petelur yang diinseminasi menggunakan semen ayam Kampung dengan waktu pelaksanaan inseminasi 2-4 jam setelah oviposisi rata-rata adalah 12 hari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Abdillah (1996), bahwa untuk mendapatkan fertilitas telur yang tinggi sebaiknya inseminasi buatan dilakukan empat jam pasca oviposisi. Daya Fertil Fertiltas adalah persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur tersebut menetas atau tidak dari sejumlah telur yang dieramkan (Nesheim et al., 1979). Fertilitas merupakan salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan. Fertilitas diperoleh dengan menghitung perbandingan antara jumlah telur yang fertil dengan jumlah telur yang diinkubasi di dalam mesin tetas (Ensminger, 1992). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap daya fertil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan A (penampungan semen satu kali seminggu) memiliki nilai daya fertil sebesar 51,13%. Perlakuan B (penampungan semen dua kali seminggu) memiliki nilai daya fertil sebesar 52,39%, dan perlakuan C (penampungan semen tiga kali seminggu) memiliki nilai daya fertil sebesar 62,38%. Menurut Bahr dan Bakst (1987), fertilitas pada ayam yang diinseminasi berkisar antara 60-70% sedangkan menurut Sulandari et al. (2007), fertilitas pada ayam Arab dengan kawin alam adalah 69,17%. Hasil penelitian Permana (2007) menggunakan 18 ekor ayam betina menghasilkan daya fertil telur ayam Arab sebesar 95,91% dengan waktu pengoleksian telur selama 7 hari setelah inseminasi buatan dilakukan. Daya fertilitas telur tercatat rendah karena dalam sekali inseminasi buatan dilakukan pengoleksian telur sampai hari ke-14. Pada usaha penetasan komersial biasanya dalam sekali inseminasi buatan pengoleksian telur 21
hanya dilakukan sampai hari ke-7, sama seperti penelitian yang dilakukan Permana (2007). Rataan daya fertil dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Rataan Daya Fertil Menurut Ensminger (1992), beberapa faktor yang mempengaruhi fertilitas diantaranya produksi telur dan abnormalitas spermatozoa. Pada umumnya, fertilitas telur berkolerasi dengan kualitas semen, serta konsentrasi dan motilitas sperma. Menurut Partodihardjo (1982), konsentrasi sperma dapat dipengaruhi oleh frekuensi penampungan semen. Mortalitas Embrio Mortalitas embrio adalah jumlah embrio yang mati pada telur yang akan ditetaskan. Mortalitas embiro merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan penetasan. Persentase kematian embrio dihitung berdasarkan jumlah embrio yang mati pada umur tertentu dibagi dengan jumlah telur yang fertil. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh terhadap mortalitas embrio pada perlakuan A, B, dan C serta memiliki tingkat mortalitas yang sama. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 7,22%, perlakuan B dengan penampungan semen dua kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 7,84%, sedangkan perlakuan C 22
dengan penampungan semen tiga kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 7,15%. Rataan mortalitas embrio dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagram Rataan Mortalitas Embrio Umur kematian embrio pada penelitian ini terjadi pada embrio umur 3 hari, 6 hari, 12 hari, dan 21 hari. Embrio yang mati pada umur 1-3 hari kemungkinan besar disebabkan oleh faktor genetik atau internal, sedangkan embrio yang mati pada umur 4-21 hari disebabkan oleh faktor lingkungan atau eksternal. Tingginya angka mortalitas embrio disebabkan oleh tingkat kebersihan telur dan mesin tetas yang rendah serta suhu dan kelembaban mesin tetas yang tidak konstan. Hal tersebut sejalan dengan Nuryati et al. (2002) bahwa kebersihan telur merupakan salah satu indikator dalam kegiatan penetasan. Telur tetas yang kotor dapat menyebabkan telur tersebut membusuk dan meledak dalam mesin tetas akibat terkontaminasi oleh bakteri. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa kebersihan telur sangat dipengaruhi oleh frekuensi pengoleksian telur dan sanitasi kandang. Frekuensi pengoleksian telur dan sanitasi kandang yang sering akan mengurangi telur-telur terkontaminasi oleh bakteri yang terdapat pada feses dan litter. Kondisi kebersihan mesin tetas juga dapat berpengaruh pada perkembangan embrio. Mesin tetas yang digunakan terus-menerus dapat menimbulkan investasi beberapa penyakit akibat adanya telur yang meledak atau pecah sehingga dapat menjadi agen pembawa penyakit yang dapat mengkontaminasi telur yang ada di 23
dalamnya. Selain itu, suhu dan kelembaban mesin tetas merupakan faktor penting dalam perkembangan embrio. Suhu dan kelembaban mesin tetas yang digunakan pada penelitian ini tidak konstan diakibatkan oleh pasokan aliran listrik untuk menjalankan mesin tetas yang sering mati sehingga embrio yang berkembang akan terhambat atau mati. Suhu dan kelembaban rata-rata pada penelitian ini adalah 37,46 ºC dan 62,87%. Menurut Winarto et al. (2008), suhu dan kelembaban pada mesin penetasan ayam adalah 35,9-38 ºC dan 66%. Suhu dan kelembaban rata-rata memang sesuai dengan suhu dan kelembaban yang ideal digunakan untuk penetasan ayam namun terjadi fluktuasi dalam kisaran suhu dan kelembaban setiap harinya. Suhu dan kelembaban yang fluktuatif dapat mengganggu metabolisme embrio dan dapat mengakibatkan kematian. Suhu yang berfluktuasi akan menyebabkan kegagalan dalam proses penetasan. Kegagalan ini ditandai dengan banyaknya anak ayam yang tidak menetas dan apabila menetas bulu anak ayam akan lengket pada kerabang akibat cairan amnion yang masih tersisa. Selain menyebabkan banyaknya telur tidak menetas, suhu yang tinggi maupun rendah juga berpengaruh terhadap lama waktu penetasan. Kelembaban pada mesin penetas ini dijaga dengan menyediakan bak yang berisi air pada bagian bawah dari rak telur dan volume air ini dijaga ketersediannya. Gangguan kelembaban dapat menyebabkan kematian embrio pada saat cangkang telur mulai retak. Hal ini sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990) dan Ensminger (1992) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi daya tetas diantaranya adalah suhu dan kelembaban mesin tetas, serta kebersihan telur. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab kematian embrio pada umur tertentu. Embrio yang mati disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Kematian atau Mortalitas Embrio
24
Daya Tetas Daya tetas merupakan indikator kedua setelah fertilitas yang menentukan keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan dan usaha penetasan. Menurut North dan Bell (1990), daya tetas dapat dihitung dengan dua cara. Cara pertama, perhitungan daya tetas dilakukan dengan persentase perbandingan jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang masuk ke dalam mesin tetas. Cara kedua, perhitungan daya tetas dilakukan dengan persentase perbandingan jumlah telur yang menetas dari jumlah telur fertil. Cara pertama pada umumnya sering digunakan oleh usaha penetasan secara komersil, sedang cara kedua biasanya digunakan untuk mengetahui viabilitas dalam telur tetas yang fertil dalam penelitian. Maka perhitungan yang digunakan adalah cara yang kedua. Analisis ragam menunjukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap daya tetas. Pengamatan daya tetas menunjukan nilai yang tidak berbeda jauh antara perlakuan A, B, dan C. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 92,78%. Perlakuan B dengan penampungan semen dua kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 92,16% sedangkan perlakuan C dengan penampungan semen tiga kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 92,85%. Hasil penelitian tersebut menunjukan data yang tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Permana (2007) yang menyatakan bahwa daya tetas telur ayam Arab hasil inseminasi buatan sebesar 93,05%. Menurut Sulandari et al. (2007), daya tetas telur ayam Arab hasil kawin alam adalah 74,14%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai daya tetas pada penelitian ini tergolong baik dan nilai daya tetas hasil dari inseminasi buatan lebih besar dari pada nilai daya tetas hasil kawin alam. Frekuensi penampungan semen memang tidak berpengaruh secara langsung terhadap daya tetas. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap besarnya persentase daya tetas adalah jumlah telur fertil dan mortalitas embrio. Hal inilah yang akan menjadi turunan pengaruh dari kualitas dan kuantitas semen yang digunakan untuk inseminasi buatan yang akan berdampak pada nilai daya fertil dan mortalitas embrio yang akan berpengaruh terhadap nilai daya tetas. Jumlah telur yang fertil akan menjadi nilai yang utama dalam besarnya nilai daya tetas, sedangkan nilai mortalitas embrio yang tinggi akan menurunkan nilai daya tetas yang dihasilkan. Nilai daya tetas
25
berbanding terbalik dengan nilai mortalitas embrio. Rataan daya tetas dari masingmasing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram Rataan Daya Tetas Menurut North dan Bell (1990) dan Ensminger (1992), daya tetas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain fertilitas, lama dan suhu penyimpanan telur, suhu dan kelembaban mesin tetas, kebersihan telur, penyakit serta keragaman bentuk dan ukuran telur. Suhu dan kelembaban mesin tetas merupakan faktor yang penting dalam proses penetasan telur. Suhu dan kelembaban mesin tetas harus dijaga konstan agar tidak terjadi fluktuasi yang dapat menyebabkan kematian embrio atau kegagalan dalam proses penetasan. Gunawan (2001) menyatakan bahwa bobot telur tetas sangat berpengaruh terhadap daya tetas yang dihasilkan. Semakin besar bobot telur tetas yang digunakan dalam proses penetasan maka daya tetas yang dihasilkan akan semakin besar juga. Hal ini dapat disebebkan karena telur yang besar memiliki kuning telur yang besar juga, kuning telur yang besar memberikan persediaan makanan untuk embrio yang lebih banyak sehingga perkembangan embrio tidak terganggu dan mengurangi mortalitas embrio. Selain itu, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi daya tetas adalah umur induk dan bentuk telur. Semakin tua umur induk dan semakin bulat telur yang digunakan maka daya tetas yang dihasilkan pun akan semakin kecil (Opel, 1979). Umur induk yang semakin tua menghasilkan telur yang cenderung bulat.
26
Telur yang bulat akan membuat anak ayam sulit untuk menetas (pipping). Gambar mesin tetas dan telur yang akan menetas (pipping) disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Mesin Tetas dan Telur yang Akan Menetas (Pipping) Viabilitas DOC Viabilitas merupakan kemampuan anak ayam untuk dapat bertahan hidup setelah menetas. Viabilitas dapat dilihat dengan mengamati anak ayam yang baru menetas. Menurut SNI 01-4868.2-2005 (Badan Standardisasi Nasional, 2005), ciri-ciri DOC yang normal dan sehat adalah kondisi fisik sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, paruh normal, tampak segar dan aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik, sekitar pusar dan dubur kering dan pusar tertutup. Warna bulu seragam sesuai dengan warna galur (strain) serta kondisi bulu kering dan berkembang. Analisis ragam menunjukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh terhadap viabilitas. Hasil pengamatan menunjukan bahwa viabilitas (%) hasil inseminasi buatan dari frekuensi penampungan yang berbeda memiliki nilai yang tidak berbeda jauh antara perlakuan A, B, dan C. Perlakuan A dengan penampungan semen satu kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 95,92%. Perlakuan B dengan penampungan semen dua kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 96,47% sedangkan perlakuan C dengan penampungan semen tiga kali seminggu memiliki nilai daya tetas sebesar 95,94%. Hasil penelitian ini tergolong baik dan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Permana (2007) yang menyatakan bahwa nilai viabilitas anak ayam Arab hasil inseminasi buatan adalah 96,54%. Nilai viabilitas anak ayam dari betina ayam Arab hasil inseminasi buatan menggunakan 27
semen dari pejantan ayam Pelung dan ayam Wareng Tanggerang berturut-turut adalah 97,44% dan 98,55%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suherlan (2003) menunjukan nilai viabilitas pada ayam Merawang adalah 83,93%. Rataan viabilitas DOC dari masing-masing perlakuan dengan tiga kali inseminasi disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram Rataan Viabilitas DOC Hal tersebut menunjukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak mempengaruhi nilai viabilitas anak ayam Arab. Anak ayam abnormal dari hasil penelitian diketahui dari kondisi kaki yang lemah sehingga tidak dapat berdiri tegak, adanya cacat fisik, tali pusar masih menempel, dan kondisi bulu yang basah. Gambar 12 memperlihatkan kondisi anak ayam yang baru menetas.
Gambar 12. Anak Ayam Normal dan Anak Ayam Abnormal 28
Menurut Hafez (1987), kualitas sperma yang baik sangat mempengaruhi daya hidup anak ayam. Faktor lain yang mempengaruhi viabilitas antara lain pakan dan manajemen. Pakan dan manajemen yang kurang baik akan menyebabkan menurunkan viabilitas pada anak ayam dan meningkatkan mortalitas. Pernyataan tersebut sejalan dengan Ensminger (1992) yang menyatakan bahwa viabilitas sangat dipengaruhi oleh pakan dan manajemen pemeliharaan. Menurut Permana (2007), untuk meminimalkan mortalitas perlu dilakukan tiga metode preventif yaitu sanitasi, penggunaan obat, dan menghasilkan bibit yang resisten terhadap penyakit.
29