TINJAUAN PUSTAKA Daging Ayam Manusia telah mendomestikasi ayam selama lebih dari 4000 tahun untuk diambil daging dan telurnya. Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas daging ayam terus mengalami peningkatan dibandingkan daging sapi. Sekarang ini, daging ayam telah menjadi salah satu jenis daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia (Brown, 2000). Daging ayam siap konsumsi umumnya diklasifikasikan berdasarkan tingkatan umur potong. Data klasifikasi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Klasifikasi Daging Ayam Kategori
Jenis Kelamin
Umur (Minggu)
Cornish game hen
♂/♀
5–6
Broiler / fryer
♂/♀
< 10
Roaster
♂/♀
< 12
Capon
♂ kastrasi
<4
Hen, fowl, baking chicken, stewing chicken
♀
> 10
Cock / rooster
♂
> 10
Sumber : Brown (2000)
Badan Standardisasi Nasional (2009) mendefinisikan daging ayam sebagai otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Daging ayam dapat dikatakan sebagai salah satu tempat penimbunan zat-zat gizi dalam tubuh. Daging ayam terdiri atas serabut-serabut otot atau muscle fibers. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah serabut-serabut otot yang terdapat dalam daging sudah lengkap pada saat menetas. Serabut-serabut otot tersebut akan membesar dengan bertambahnya umur dan masuknya gizi yang cukup (berasal dari pakan). Zat gizi yang terdapat di dalam daging ayam, antara lain air, protein, lemak, vitamin, dan mineral (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Sekarang ini, daging ayam lebih diminati oleh masyarakat dibandingkan daging sapi, kambing, dan domba karena memiliki harga yang relatif lebih murah dengan kandungan gizi yang tidak jauh berbeda (Abdullah dan Matarneh, 2010). Daging ayam juga dinilai memiliki kadar lemak dan kolesterol yang lebih rendah dibandingkan daging sapi, kambing, dan domba. Hal inilah yang menyebabkan
daging ayam menjadi aman untuk dikonsumsi oleh semua orang dari berbagai tingkatan umur tanpa terkecuali. Data perbandingan kadar lemak dan kolesterol pada daging ayam dan ruminansia (sapi, kambing, dan domba) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Perbandingan Kadar Lemak Daging Ayam dan Ruminansia Jenis Ternak
Ayam
Ruminansia
No
Bagian
Kadar Lemak (g)
1.
Chicken breast
7
2.
Skinless chicken breast
3
3.
Chicken drumstick
4.
Skinless chicken drumstick
5
5.
Chicken wing (1 piece)
7
6.
Skinless chicken wing (1 peace)
2
1.
Round steak
6
2.
Sirloin
6
3.
Roast rump
6
4.
Lamb loin chop
8
5.
Fillet mignon
9
6.
Lamb shoulder
17
7.
Ground beef (30% fat)
17
10
Sumber : Brown (2000)
Karkas Ayam Pedaging Daging ayam yang beredar di pasaran umumnya dipasarkan dalam bentuk karkas. Badan Standardisasi Nasional (2009) mendefinisikan karkas ayam pedaging sebagai bagian dari ayam pedaging hidup, setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dan dipotong bagian kepala, leher, serta kedua kakinya. Karkas ayam dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan bobot karkas. Klasifikasi karkas ayam berdasarkan umur terbagi menjadi tiga kelompok umur, yaitu muda (fryer/broiler) untuk karkas berumur < 6 minggu, dewasa (roaster) untuk karkas berumur 6 – 12 minggu, dan tua (stew) untuk karkas berumur > 12 minggu. Klasifikasi karkas ayam berdasarkan bobot karkas juga terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kecil (< 1 kg), sedang (1,0 – 1,3 kg), dan besar (> 1,3 kg) (Badan Standarisasi Nasional, 2009).
4
Proses pemasaran karkas ayam pedaging dapat dilakukan secara langsung setelah dipotong (karkas panas), maupun setelah dilakukan proses pembekukan terlebih dahulu (karkas beku). Proses pembekuan yang sebaiknya dilakukan pada karkas ayam pedaging adalah proses pembekuan cepat yang dilakukan pada suhu -25 oC hingga suhu dari karkas ayam pedaging tersebut mencapai -10 oC (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Potensi Cemaran Biologi terhadap Daging Ayam Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mudah rusak (Mbata, 2005). Daging ayam dapat dengan mudah terkontaminasi, baik oleh mikroba pembusuk maupun mikroba patogen, karena memiliki berbagai kandungan zat gizi (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Sumber pencemaran pada daging ayam dapat berupa cemaran fisik, kimia, maupun biologi. Cemaran biologi merupakan faktor pencemar yang berpotensi paling besar dalam mencemari daging ayam. Salmonella dan Campylobacter sp. merupakan dua sumber pencemar biologi yang paling banyak ditemukan pada daging ayam (Mead, 2004). Selain Salmonella dan
Campylobacter
sp.,
Clostridium
perfringens,
Listeria
monocytogenes,
Arcobacter sp., dan E. Coli O157:H7 adalah beberapa jenis mikroorganisme lainnya yang juga berpotensi mencemari daging ayam (Mead, 2004; Baran dan Gulmez, 2000; Doyle dan Schoeni, 1987). Salmonella Salmonella adalah bakteri patogen, berjenis gram negatif, bersifat anaerobik fakultatif, dan berasal dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella dapat melakukan dua jenis proses metabolisme dalam tubuhnya, yaitu metabolisme oksidatif dan fermentatif. Salmonella dapat tumbuh pada rentang suhu 5 oC hingga 45 / 47 oC dengan rentang suhu optimal 35 – 37 oC. Semua jenis bakteri yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae sangat sensitif terhadap panas, tidak terkecuali Salmonella. Proses pasteurisasi pada suhu 72 oC selama 15 detik sudah cukup untuk membunuh Salmonella. Salmonella dapat tumbuh pada medium dengan kisaran pH 4,5 – 9,0 dengan pH optimal pada kisaran 6,5 – 7,5. Salmonella juga dikenal sebagai bakteri yang tahan terhadap kadar air (aw). Salmonella dapat tumbuh subuh pada aw 0,945 dan 0,999 serta dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama pada aw
5
0,200. Salmonella juga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi pada garam (NaCl), tetapi tahan terhadap nitrit (NO2) (Luning et al., 2006). Campylobacter sp. Famili Campylobacteriaceae terdiri dari dua puluh spesies dan subspesies yang termasuk ke dalam genus Campylobacter dan empat spesies dalam genus Arcobacter (Vandamme et al., 1991).
Sebanyak 95% dari total kasus infeksi
penyakit yang diakibatkan oleh Campylobacter disebabkan oleh C. jejuni dan C. coli (Nachamkin, 1997).
Campylobacter adalah organisme mikroaerofilik yang
membutuhkan 3% – 5% oksigen dan 2% – 10% karbondioksida untuk dapat tumbuh optimal. Campylobacter sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik dan tidak dapat tumbuh pada konsentrasi garam 2% atau lebih. Campylobacter juga tidak dapat tumbuh dan bahkan mati pada pH kurang dari 4,9 (Park, 2002). Kasus infeksi yang diakibatkan oleh Campylobacter umumnya berasal dari konsumsi bahan pangan asal ternak yang telah terlebih dahulu terkontaminasi. Daging ayam adalah bahan pangan asal ternak yang paling sering terkontaminasi oleh Campylobacter. Survey menunjukkan bahwa 20% – 100% dari ayam yang dipasarkan secara eceran terkontaminasi oleh Campylobacter dengan tingkat kontaminasi yang bervariasi antara 102 - 105 cfu/karkas.
Proses kontaminasi umumnya terjadi pada saat
penyembelihan (Luning et al., 2006). Arcobacter sp. Arcobacter adalah genus Campylobacter yang toleran terhadap oksigen (aerotolerant) (Vandamme et al., 1991). Arcobacter terdiri dari empat spesies, yaitu A. butzleri, A. cryaerophilus, A. skirrowii, A. nitrofrigilis. Arcobacter memiliki bentuk morfologi yang sama dengan Campylobacter, hanya bedanya, Arcobacter dapat tumbuh pada suhu 15 oC tetapi tidak pada suhu 42 oC. Infeksi Arcobacter pada manusia umumnya terjadi karena mengonsumsi bahan pangan asal unggas, khususnya daging ayam dan kalkun (Phillips, 2001). E. coli O157:H7 E. coli O157:H7 adalah bakteri yang sangat toleran terhadap asam dan dapat hidup pada mayones dengan pH 3,6 – 3,9 pada suhu 5 oC selama 5 – 7 minggu atau 10 – 31 hari pada suhu 8 oC dalam sari apel dengan pH 3,6 – 4,0. Proses pasteurisasi
6
dapat mengurangi jumlah E. coli sebanyak 104 cfu/ml. Suhu pemasakan lebih dari 68,3 oC juga dibutuhkan untuk memastikan bahwa E. coli menjadi tidak aktif pada semua bahan pangan asal ternak (Doyle et al., 1997). Daging sapi dan hewan ruminan lain umumnya merupakan sumber penyebab infeksi E. coli yang utama. E. coli juga dapat mengontaminasi produk pangan asal hewan lainnya melalui air yang sudah terlebih dahulu terkontaminasi E. coli (Luning et al., 2006). Clostridium perfringens Clostridium perfringens adalah bakteri patogen yang sangat agresif. C. perfringens mampu menghasilkan toksin aktif berupa sel vegetatif yang dapat berduplikasi setiap 10 menit di dalam saluran pencernaan manusia (Labbé, 1989). C. perfringens juga akan menghasilkan spora anaerobik yang sangat toleran terhadap panas dan dapat tumbuh pada kondisi 5% oksigen (Poumeyrol, 1988). Daging dan produk olahan daging adalah bahan pangan yang paling mudah terkontaminasi C. perfringens (Center for Food Safety and Applied Nutrition, 2003). Listeria monocytogenes Listeria monocytogenes adalah bakteri gram positif, tidak berspora, dan mikroaerofilik. L. monocytogenes adalah bakteri yang sangat tahan terhadap stres dan dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang tidak memadai. L. monocytogenes dapat tumbuh pada suhu 0 – 45 oC dengan suhu optimal pertumbuhan adalah 25 – 30 oC. Fakta ini menunjukkan bahwa L. monocytogenes adalah bakteri psikotrofik yang dapat berkembang biak pada suhu rendah. L. monocytogenes dapat bertahan hidup pada suhu -18 oC. L. monocytogenes dapat tumbuh optimal pada pH 7 – 7,5 dan dapat bertahan hidup hingga pH 4,4 pada suhu 30 oC atau pada pH 5,0 dan 9,0 pada suhu 4 oC (Davies dan Adams, 1994). Mikroorganisme ini dapat ditemukan di tanah dan air serta dapat mengontaminasi tanaman dan hewan. Mikroorganisme ini juga dapat dengan mudah mengontaminasi bahan pangan, seperti susu murni, susu pasteurisasi, produk olahan susu dengan kadar lemak tinggi, keju lunak (soft cheese), sayuran, daging mentah dan matang (termasuk daging unggas). Manusia dapat terinfeksi mikroorganisme ini apabila mengonsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi (Food and Drug Administration, 2003).
7
Penggorengan Salah satu proses pengolahan pangan tertua dan banyak diterapkan adalah penggorengan (Choe dan Min, 2007). Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan dengan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Tujuan dari proses penggorengan, antara lain melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan pada bahan pangan yang digoreng (Muchtadi, 2008). Proses penggorengan umumnya hanya berlangsung pada waktu singkat, sebab selama penggorengan, perubahan pada bahan pangan sangat cepat terjadi akibat suhu penggorengan yang tinggi. Proses penggorengan bersifat efisien, sebab energi panas yang diberikan tidak banyak terbuang selama proses penggorengan, dan media pindah panas (minyak goreng) juga dapat dipakai kembali. Proses penggorengan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan metode perpindahan panas yang terjadi selama penggorengan, yaitu shallow / pan frying atau penggorengan dangkal dan deep-fat frying (Fellows, 2000). Setiap bahan pangan memiliki waktu penggorengan yang berbeda-beda. Waktu penggorengan yang dibutuhkan bahan pangan tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis bahan pangan, suhu minyak goreng, metode penggorengan, ketebalan bahan pangan, dan tingkat perubahan sesuai dengan mutu makanan yang diinginkan (Muchtadi, 2008; Fellows, 2000). Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan umumnya akan mengalami tiga jenis reaksi kimia, yaitu hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi, sehingga akan menghasilkan senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil.
Sebagian
besar dari senyawa volatil akan menguap di atmosfer, sedangkan senyawa nonvolatil akan mengalami reaksi kimia lanjutan atau terserap ke dalam pangan. Senyawa nonvolatil yang dihasilkan akan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia dari bahan pangan maupun minyak itu sendiri. Senyawa nonvolatil juga akan mempengaruhi kualitas dan stabilitas rasa serta tekstur dari pangan yang digoreng selama proses penyimpanan (Choe dan Min, 2007). Deep-fat Frying Deep-fat frying adalah salah satu metode penyajian makanan yang terkenal di dunia. Metode deep-fat frying adalah salah satu metode penggorengan yang
8
dilakukan dengan menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak sehingga bahan pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng. Proses perpindahan panas dan massa yang terjadi pada metode penggorengan deepfat frying merupakan kombinasi antara proses perpindahan panas secara konveksi melalui media pindah panas minyak goreng dan proses perpindahan panas secara konduksi melalui bagian dalam bahan pangan yang terjadi secara simultan (Muchtadi, 2008; Lui-ping et al., 2005). Proses penggorengan dengan metode deep-fat frying akan menyebabkan terjadinya beberapa hal, antara lain pembentukan komponen rasa (flavor), perubahan warna dan tekstur, serta perubahan kualitas nutrisi pada pangan yang digoreng (Choe dan Min, 2007). Metode deep-fat frying memungkinkan bahan pangan memperoleh panas secara lebih merata selama proses penggorengan, sehingga akan menghasilkan hasil gorengan yang masak secara merata dengan warna dan penampakan yang seragam. Metode deep-fat frying sering digunakan untuk menciptakan rasa dan tekstur yang unik dalam proses pengolahan pangan (Patterson et al., 2004). Metode deep-fat frying merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam proses penggorengan berbagai jenis bahan pangan, akan tetapi, bahan pangan yang memiliki bentuk yang tidak merata akan cenderung memerangkap minyak dalam jumlah yang lebih banyak pada saat produk pangan tersebut diangkat dari penggorengan (Fellows, 2000). Reaksi Oksidasi Selama Proses Penggorengan Proses penggorengan umumnya dilakukan secara terbuka pada tekanan atmosfer.
Proses
penggorengan
yang
dilakukan
pada
keadaan
terbuka
memungkinkan terjadinya kontak antara permukaan minyak goreng dengan oksigen. Minyak yang mengalami kontak dengan oksigen pada saat proses penggorengan akan mengalami reaksi oksidasi sehingga terjadi penurunan kualitas.
Lapisan
minyak yang terpapar langsung oleh oksigen adalah bagian yang paling rentan mengalami reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi antara minyak dan oksigen terjadi dalam tiga tahap, yaitu inisiasi (initiation), perambatan (propagation), pembentukan cabang (branching), dan penghentian (termination). Tahap inisiasi pada reaksi oksidasi diawali dengan terjadinya pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal alkil karena adanya inisiator (panas, oksigen
9
aktif, logam, dan cahaya). Radikal alkil kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (propagation) yang selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroproksida dan radikal alkil. Radikal alkil yang baru kemudian akan bereaksi dengan oksigen. Hidroperoksida asam lemak tak jenuh yang terbentuk dari reaksi oksidasi sangat tidak stabil dan mudah mengalami pemecahan (dekomposisi) menjadi berbagai senyawa flavor dan produk nonvolatil (branching). Dekomposisi hidroperoksida akan menyebabkan terjadinya pemutusan gugus -OOH sehingga terbentuk radikal alkoksi dan radikal hidroksi.
Radikal
alkoksi kemudian mengalami pemutusan beta pada rantai C-C sehingga terbentuk aldehid dan radikal alkil (termination). Berbagai senyawa hasil proses degradasi lipida, yaitu hidrokarbon, aldehid, keton, asam karboksilat, alkohol, dan heterosiklik. Oksidasi lipida akan membentuk suatu radikal bebas yang bersifat karsinogen. Selain reaksi oksidasi, reaksi hidrolisis dan hidrogenasi pada minyak juga dapat menurunkan kualitas minyak (Wasowicz et al., 2004). Potensi Cemaran Kimia pada Proses Pengolahan Pangan Proses pengolahan pangan pasti melibatkan berbagai reaksi kimia. Reaksi kimia yang terjadi pada saat proses pengolahan dapat menghasilkan senyawa kimia yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Sebagian besar senyawa kimia yang tidak diinginkan memiliki tingkat toksisitas yang tinggi. Jumlah keseluruhan senyawa kimia toksik belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa diantaranya telah teridentifikasi. Polycyclicaromatic hydrocarbons (PAH), heterocyclic amines, nitrosoamines, oxidised sterols, oxidised triacylglycerols, 3-monochloropropane-1,2diol (3-MCPD) adalah contoh senyawa-senyawa kimia toksik yang dihasilkan selama proses pengolahan pangan. Acrylamide juga termasuk dalam kelompok senyawa kimia toksik, akan tetapi belum teridentifikasi secara sempurna (Luning et al., 2006; Svejkovska et al., 2006). 3-Monochloropropane-1,2-diol (3-MCPD) Senyawa 3-monochloropropane-1,2-diol atau 3-MCPD dikenal sebagai senyawa kimia yang terbentuk dari proses pengolahan bahan pangan kaya akan acylglycerols, gliserol, dan natrium klorida pada suhu tinggi, yaitu 100 – 230 oC. Daging dan serealia adalah dua contoh bahan pangan yang kaya akan lemak. Pembentukan senyawa 3-MCPD umumnya terjadi pada proses pengolahan pangan 10
seperti pemanggangan, penggorengan, maupun pembakaran.
Senyawa 3-MCPD
terkait erat dengan peristiwa karsinogenesis (Svejkovska et al., 2006). Heterocyclic Amines Proses pengolahan pangan kaya protein hewani pada kondisi normal dapat memicu terbentuknya senyawa mutagenik yang dikenal sebagai heterocyclic amines. Sekarang ini, sekitar dua puluh jenis senyawa heterocyclic amines telah teridentifikasi dengan baik.
Beberapa senyawa heterocyclic amines juga telah
terbukti bersifat karsinogenik melalui studi genetik jangka panjang.
Dua jenis
senyawa heterocyclic amines yang paling banyak ditemukan adalah 2-amino-3,8dimethylimidazo[4,5-f]quinoxaline yang merupakan senyawa imidazoquinoline (IQ) dan 2-amino-1-metil-6-imidazo[4,5b]piridin yang juga dikenal sebagai senyawa imidazoquinoxaline.
Imidazoquinoxaline atau PhIP umumnya diproduksi pada
jumlah yang lebih tinggi (480 ng/g) dibandingkan imidazoquinoline atau MelQx (50 ng/g). Reaksi Maillard dianggap memiliki kaitan erat dengan produksi senyawa imidazoquinoline (IQ). Produk samping hasil reaksi Maillard yang dikenal sebagai degradasi Strecker, seperti pyrazines dan pyridines, diperkirakan bereaksi dengan senyawa karbonil dan amino sehingga membentuk senyawa heterocyclic amines. Produksi senyawa heterocyclic amines dapat dihambat melalui penambahan senyawa-senyawa aditif, seperti asam sulfit, nitrit atau asam sitrat. Produk pangan yang dimasak umumnya mengandung senyawa heterocyclic amines dalam jumlah yang sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi (Luning et al., 2006). Acrylamide Senyawa acrylamide, meskipun belum lama ditemukan, dinilai memiliki kaitan yang sangat erat dengan senyawa heterocyclic amines. Kehadiran senyawa acrylamide dalam produk pangan juga dinilai sebagai hasil dari reaksi Maillard. Sedikit berbeda dengan heterocyclic amines, senyawa acrylamide umumnya banyak diproduksi pada produk pangan yang kaya akan karbohidrat, seperti kentang dan serealia. Selain faktor endogen, proses pengolahan juga berperan dalam pembentukan senyawa acrylamide, seperti pemasakan, pemanggangan, dan penggorengan. Proses pengolahan pangan dengan perebusan dinilai akan menghasilkan senyawa acrylamide yang lebih rendah, karena air dapat menghambat pembentukan senyawa acrylamide. Proses penggorengan dan pemanggangan dinilai 11
akan menghasilkan senyawa acrylamide dalam jumlah yang cukup besar (Luning et al., 2006). Good Manufacturing Practice Selain SSOP, sistem HACCP juga memiliki persyaratan dasar lain yang harus dipenuhi, yaitu good manufacturing practice. Good manufacturing practice atau GMP dapat dikatakan sebagai salah satu pilar penopang sistem HACCP dalam menjamin praktek pencegahan terhadap kontaminasi yang menyebabkan produk menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Winarno dan Surono, 2002). Thaheer (2005) mendefinisikan GMP sebagai suatu pedoman cara memproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen. Setiap restoran maupun industri pangan harus memenuhi persyaratan GMP apabila ingin memperoleh izin mendirikan usaha. Penerapan GMP dilakukan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715/MENKES/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Penerapan GMP harus memenuhi lima persyaratan utama, yaitu persyaratan umum hygiene, persyaratan khusus golongan, persyaratan hygiene sanitasi makanan, persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan, dan persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan. Persyaratan Umum Hygiene Persyaratan pertama adalah persyaratan hygiene secara umum. Persyaratan ini terdiri dari dua aspek utama, yaitu lokasi serta bangunan dan fasilitas. Lokasi. Lokasi restoran adalah aspek persyaratan umum hygiene pertama. Jarak restoran harus terletak minimal 500 m dari sumber pencemaran, seperti tempat sampah umum, WC umum, bengkel cat, maupun sumber pencemaran lainnya. Jarak minimal 500 meter ditentukan secara pasti berdasarkan batas terbang lalat rumah. Bangunan dan Fasilitas. Aspek ini memiliki 15 hal yang harus diperhatikan, yaitu halaman, konstruksi, lantai, dinding, langit-langit, pintu dan jendela, pencahayaan, ventilasi, ruang pengolahan makanan, fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan, tempat cuci tangan, air bersih, jamban dan peturasan, kamar mandi, serta tempat sampah.
12
a.
Halaman Halaman harus mempunyai papan nama perusahaan serta nomor Izin Usaha dan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi. Halaman harus bersih, tidak banyak lalat dan tersedia tempat sampah yang memenuhi syarat hygiene sanitasi serta tidak terdapat
tumpukan
barang-barang
yang
dapat
menjadi
sarang
tikus.
Pembuangan air kotor (limbah dapur dan kamar mandi) tidak menimbulkan sarang serangga maupun jalan masuknya tikus dan dipelihara kebersihannya. Pembuangan air hujan lancar dan tidak menimbulkan genangan air. b. Konstruksi Bangunan restoran harus memenuhi persyaratan teknis konstruksi bangunan yang berlaku. Konstruksi, selain kuat, juga harus dalam keadaan bersih secara fisik dan bebas dari barang-barang sisa atau bekas yang ditempatkan sembarangan. c.
Lantai Aspek selanjutnya adalah lantai. Permukaan lantai harus rapat air, halus, kelandaian cukup, tidak licin, dan mudah dibersihkan.
d. Dinding Permukaan dinding sebelah dalam halus, kering / tidak menyerap air, dan mudah dibersihkan. Permukaan dinding yang mudah terkena percikan air harus dilapisi bahan kedap air berpermukaan halus hingga ketinggian 2 meter, tidak menahan debu, dan berwarna terang. e.
Langit – langit Bidang langit-langit harus menutup atap bangunan. Permukaan langit-langit ruang pengolahan dan penyimpanan makanan serta ruang pencucian alat makanan maupun tempat cuci tangan harus dibuat dari bahan yang permukaannya rata dan mudah dibersihkan, tidak menyerap air, serta berwarna terang. Tinggi langit-langit tidak kurang dari 2,4 meter di atas lantai.
f.
Pintu dan jendela Pintu-pintu pada ruang pengolahan makanan harus membuka ke arah luar. Jendela, pintu, dan lubang ventilasi ruang pengolah makanan harus dilengkapi dengan kassa yang dapat dibuka dan dipasang. Semua pintu ruang pengolahan
13
makanan dibuat menutup sendiri atau dilengkapi peralatan anti lalat, seperti kassa, tirai pintu rangkap, dan lain-lain. g.
Pencahayaan Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan pemeriksaan, pembersihan, dan pekerjaan-pekerjaan lain secara efektif. Setiap ruangan pengolahan makanan dan tempat mencuci tangan harus memiliki intensitas pencahayaan minimal 10 fc (100 lux) pada titik 90 cm dari lantai. Pencahayaan tidak boleh menimbulkan silau dan harus sejauh mungkin menghindarkan bayangan.
h. Ventilasi Ruangan pengolahan makanan harus dilengkapi dengan ventilasi yang dapat menjaga kenyamanan. Ventilasi (+ 20% dari luas lantai) harus dapat mencegah udara dalam ruangan tidak terlalu panas, mencegah terjadinya kondensasi uap air atau lemak pada lantai, dinding, serta langit-langit, dan membuang bau, asap, serta pencemar lain dari ruangan. i.
Ruang pengolahan makanan Luas ruangan pengolahan makanan harus efisien dan memudahkan dalam proses pelaksanaan untuk menghindari kemungkinan kontaminasi makanan dan memudahkan pembersihan. Luas lantai dapur yang bebas dari peralatan minimal 2 m2 untuk setiap pekerja. Ruang pengolahan makanan tidak boleh berhubungan langsung dengan jamban, peturasan, dan kamar mandi. Kegiatan pengolahan makanan harus dilengkapi dengan meja kerja dan lemari tempat penyimpanan bahan makanan maupun makanan jadi yang terlindung dari gangguan tikus dan hewan lainnya.
j.
Fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan Proses pencucian peralatan harus menggunakan bahan pembersih atau deterjen. Proses pencucian bahan makanan yang tidak dimasak harus menggunakan larutan kalium permanganat 0,02% atau di dalam rendaman air mendidih selama beberapa detik. Peralatan dan bahan makanan yang telah dibersihkan harus disimpan dalam tempat yang terlindung dari kemungkinan pencemaran oleh tikus dan hewan lainnya.
14
k. Tempat cuci tangan Tempat cuci tangan harus terpisah dengan tempat cuci peralatan maupun bahan makanan yang dilengkapi dengan air kran, saluran pembuangan tertutup, bak penampungan, sabun, dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan harus disesuaikan dengan banyaknya pekerja, 1 tempat cuci tangan hanya boleh digunakan maksimal 10 orang. Tempat cuci tangan harus diletakkan sedekat mungkin dengan tempat bekerja. l.
Air bersih Air bersih harus tersedia cukup untuk seluruh kegiatan penyelenggaraan restoran. Kualitas air bersih harus memenuhi standar baku mutu air bersih yang tertuang di dalam SNI 01-3553-1996.
m. Jamban dan peturasan Restoran harus mempunyai jamban dan peturasan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi. Jumlah jamban harus disesuaikan dengan jumlah pekerja, yaitu 1 – 10 orang: 1 buah; 11 - 25 orang: 2 buah; 26 - 50 orang: 3 buah, dan diikuti dengan penambahan 1 buah setiap penambahan 25 orang berikutnya. Jumlah peturasan juga harus mencukupi dan disesuaikan dengan jumlah karyawan yaitu: 1 - 30 orang: 1 buah; 31 - 60 orang: 2 buah, dan diikuti dengan penambahan 1 buah setiap penambahan 30 orang berikutnya. n. Kamar mandi Restoran harus dilengkapi kamar mandi dengan air kran mengalir dan saluran pembuangan air limbah yang memenuhi pedoman plumbing Indonesia. Jumlah kamar mandi harus mencukupi kebutuhan dan disesuaikan dengan jumlah pekerja, yaitu 1 buah untuk 1 – 10 orang dengan penambahan 1 buah untuk setiap 20 orang. o.
Tempat sampah Tempat sampah, seperti kantong plastik, kertas, maupun bak sampah tertutup harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah, akan tetapi terhindar dari kemungkinan tercemarnya makanan oleh sampah. Penanggung jawab restoran harus memelihara semua bangunan dan fasilitas dengan baik untuk menghindari kemungkinan terjadinya
15
pencemaran terhadap makanan, akumulasi debu atau jasad renik, meningkatnya suhu, akumulasi sampah, serangga, tikus, dan genangan air. Persyaratan Khusus Golongan Persyaratan khusus golongan terdiri dari tiga aspek, yaitu restoran golongan A1, restoran golongan A2, dan restoran golongan A3. Restoran Golongan A1. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat umum dengan pengolahan produk menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola oleh keluarga. Restoran golongan ini harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
restoran harus memenuhi persyaratan umum,
ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai ruang tidur,
restoran harus menyediakan ventilasi yang dapat memasukkan udara segar apabila bangunan tidak mempunyai ventilasi alam yang cukup,
pembuangan udara kotor atau asap tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap lingkungan,
restoran harus menyediakan tempat cuci tangan dengan permukaan yang halus dan mudah dibersihkan,
restoran harus memiliki minimal 1 buah lemari es untuk menyimpan makanan yang mudah rusak.
Restoran Golongan A2. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat umum dengan proses pengolahan yang menggunakan dapur rumah tangga dan mempekerjakan tenaga kerja. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh restoran golongan A2, yaitu :
memenuhi persyaratan restoran golongan A1,
ruang pengolahan makanan dan ruangan lain harus dipisahkan dengan dinding pemisah,
pembuangan asap dari dapur harus dilengkapi dengan alat pembuangan asap yang membantu proses pengeluaran sehingga tidak mengotori ruangan,
restoran harus memiliki minimal 1 buah lemari es untuk menyimpan makanan yang mudah rusak,
16
bangunan harus dilengkapi dengan tempat penyimpanan dan ganti pakaian yang cukup dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga mencegah kontaminasi terhadap makanan.
Restoran Golongan A3. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat umum dengan proses pengolahan yang menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja. Persyaratan restoran golongan A3, yaitu :
memenuhi persyaratan restoran golongan A2,
ruang pengolahan makanan harus terpisah dari bangunan untuk tempat tinggal,
pembuangan asap dari dapur harus dilengkapi dengan alat pembuangan asap dan cerobong asap,
ruang pengolahan makanan harus terpisah secara jelas dengan ruang penyiapan makanan matang,
restoran harus memiliki lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu 5 oC dengan kapasitas yang cukup untuk melayani kegiatan sesuai dengan jenis bahan makanan yang digunakan,
restoran harus memiliki kendaraan pengangkut makanan khusus dengan konstruksi tertutup dan hanya digunakan untuk mengangkut makanan matang,
alat atau tempat angkut makanan harus tertutup sempurna, dibuat dari bahan kedap air, permukaan halus, dan mudah dibersihkan,
setiap kotak wadah makanan sekali pakai harus dicantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi,
restoran yang menyajikan makanan tidak dengan kotak harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi di tempat penyajian yang mudah diketahui umum.
Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Persyaratan hygiene sanitasi makanan terdiri dari tiga aspek, yaitu bahan makanan, makanan terolah, dan makanan jadi. Bahan Makanan. Bahan makanan yang akan diolah, terutama daging, susu, telur, ikan atau udang, dan sayuran harus baik, segar, dan tidak rusak atau berubah bentuk, warna, dan rasa, serta berasal dari tempat resmi yang diawasi. Bahan terolah yang
17
dikemas, bahan tambahan, dan bahan penolong harus memenuhi persyaratan keputusan Menteri Kesehatan yang berlaku. Makanan Terolah. Makanan yang dikemas harus mempunyai label dan merek, terdaftar dan mempunyai nomor daftar, memiliki kemasan yang utuh dan tidak cacat, belum kadaluarsa, dan penggunaan kemasan tidak dilakukan berulang. Makanan yang tidak dikemas harus baru dan segar, tidak mengandung bahan yang dilarang, dan tidak basi, busuk, rusak, atau berjamur. Makanan Jadi. Makanan jadi tidak boleh rusak atau busuk yang ditandai dari perubahan rasa, warna, dan bau serta berlendir atau berjamur.
Makanan harus
memenuhi persyaratan bakteriologis berdasarkan ketentuan yang berlaku. Angka bakteri E. coli pada makanan dan minuman jadi harus 0/gram contoh makanan dan minuman. Jumlah kandungan logam berat residu pestisida pada makanan jadi tidak boleh melebihi ambang batas yang diperkenankan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Persyaratan Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan Persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan terdiri dari aspek karyawan pengolah makanan, peralatan yang kontak dengan makanan, dan cara pengolahan makanan. Karyawan Pengolah Makanan.
Karyawan pengolah makanan harus memiliki
sertifikat hygiene sanitasi makanan, berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, tidak mengidap penyakit menular, seperti thypus, kolera, TBC, dan lain-lain, serta memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang berlaku. Peralatan yang Kontak dengan Makanan.
Peralatan yang kontak dengan
makanan harus memiliki permukaan yang utuh dan mudah dibersihkan, memiliki lapisan permukaan yang tidak terlarut dalam asam, basa, atau garam-garam yang lazim dijumpai dalam makanan, tidak mengeluarkan logam berat beracun yang membahayakan, seperti timah hitam (Pb), arsenikum (As), tembaga (Cu), seng (Zn), cadmium (Cd), dan antimon (Stibium) apabila bersentuhan dengan makanan, memiliki wadah yang dapat menutup dengan sempurna, serta memiliki angka kebersihan yang ditentukan dengan angka kuman maksimal 100/cm3 permukaan dan tidak terdapat bakteri E. coli. 18
Cara Pengolahan Makanan. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara yang terlindung dari kontak langsung dengan tubuh.
Perlindungan
kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai, penjepit makanan, dan sendok garpu. Perlindungan pencemaran terhadap makanan dilakukan dengan menggunakan celemek (apron), tutup rambut (hair net), dan sepatu dapur. Perilaku karyawan yang harus dipatuhi selama bekerja, yaitu tidak merokok, tidak makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan kecuali cincin nikah polos, tidak menggunakan peralatan dan fasilitas yang tidak diperlukan, selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil, selalu memakai pakaian kerja dan pakaian pelindung dengan benar, selalu memakai pakaian kerja yang bersih, dan tidak diperkenankan memakai pakaian kerja selain di tempat kerja. Persyaratan Hygiene Sanitasi Penyimpanan Makanan Persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan terdiri dari empat aspek, yaitu penyimpanan bahan mentah, penyimpanan makanan terolah, penyimpanan makanan jadi, dan cara penyimpanan makanan. Penyimpanan Bahan Mentah. Standar penyimpanan bahan mentah dapat dilihat pada Tabel 3. Ketebalan dan bahan padat tidak lebih dari 10 cm. Kelembaban dalam ruang penyimpanan harus berkisar antara 80% – 90%. Tabel 3. Standar Suhu Penyimpanan Bahan Mentah Lama Penyimpanan
Jenis Bahan Makanan 3 hari atau kurang o C
1 minggu atau kurang o C
1 minggu atau lebih o C
Daging, ikan, udang, dan olahannya Telur, susu, dan olahannya
(-5) - 0
(-10) - (-5)
> -10
5-7
(-5) – 0
> -5
Sayur, buah, dan minuman Tepung dan biji
10
10
10
25
25
25
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715 Thn 2003
19
Penyimpanan Makanan Terolah. Makanan kemasan tertutup sebaiknya disimpan dalam suhu sekitar 10 oC. Penyimpanan Makanan Jadi.
Makanan jadi atau makanan matang harus
terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga, dan hewan.
Makanan
o
dengan masa kadaluarsa yang singkat harus disimpan dalam suhu 65,5 C atau lebih atau disimpan dalam suhu 4 oC atau kurang. Makanan dengan masa kadaluarsa singkat yang ingin digunakan dalam waktu lama (lebih dari 6 jam) harus disimpan dalam suhu -5 oC sampai -1 oC. Cara Penyimpanan Makanan. Cara penyimpanan makanan yang baik, yaitu tidak tercampur antara produk matang dengan bahan mentah serta tidak menempel pada lantai, dinding, atau langit-langit dengan ketentuan 15 cm untuk jarak makanan dengan lantai, 5 cm untuk jarak makanan dengan dinding, dan 60 cm untuk jarak makanan dengan langit-langit. Sanitation Standard Operating Procedure Sanitasi pangan, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tentang Pangan (Kementerian Negara Sekretaris Negara, 1996), didefinisikan sebagai suatu upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik atau mikroorganisme pembusuk dan patogen dalam pangan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi sangat diperlukan dalam proses produksi pangan guna menjamin produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi dan tidak menyebabkan keracunan yang dapat membahayakan kesehatan manusia (foodborne illness). Faktor-faktor yang dapat menjadi sumber kontaminan, antara lain air, bahan baku produksi, peralatan, pekerja, dan ruang pengolahan. Pentingnya sanitasi dalam proses produksi pangan menyebabkan diperlukannya suatu prosedur yang memperhatikan mekanisme sanitasi produk di dalam pelaksanaannya (Winarno dan Surono, 2002). Sanitation standard operating procedure atau yang lebih dikenal dengan SSOP merupakan prosedur operasi standar sanitasi yang umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan pangan. Menurut Mortimore dan Wallace (2001), SSOP merupakan suatu komponen program persyaratan teknis
20
dasar (pre-requisite programme) yang harus dipenuhi apabila suatu unit usaha akan memulai suatu proses produksi dan berencana untuk menerapkan HACCP. Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa penerapan SSOP memiliki tujuan agar setiap karyawan, baik karyawan teknis maupun non teknis, dapat : 1.
mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi akan meningkatkan kualitas, sehingga tingkat keamanan produk akan meningkat seiring dengan menurunnya kontaminasi mikroorganisme;
2.
mengetahui adanya peraturan GMP yang mengharuskan digunakannya zat-zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program sanitasi dan hygiene;
3.
mengetahui tahapan-tahapan dalam program hygiene dan sanitasi;
4.
mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dengan klorin pada air pendingin, khususnya pada industri pengolahan makanan;
5.
mengetahui adanya faktor-faktor, seperti suhu, pH, dan konsentrasi desinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi;
6.
mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak dijalankan dengan cukup. Prosedur penerapan SSOP mencakup beberapa hal, yaitu kebijakan
perusahaan, tahapan kegiatan, nama petugas, cara pemantauan, dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan dalam melakukan inspeksi. Faktor penting yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam penyusunan SSOP, yaitu keamanan air; kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan; pecegahan kontaminasi silang; pemeliharaan fasilitas kebersihan (fasilitas cuci dan sanitizer tangan serta toilet); pencegahan terhadap pencemaran (adulterasi); pelabelan (labelisasi), penyimpanan, dan penggunaan senyawa berbahaya; kesehatan pekerja; dan pengendalian hama (Winarno dan Surono, 2002). Keamanan Air Aspek pertama dari delapan kunci SSOP adalah keamanan air. Aspek keamanan air yang harus diperhatikan, yaitu suplai air bersih untuk air yang kontak dengan bahan makanan maupun air yang kontak dengan permukaan yang kontak dengan bahan makanan serta tidak ada kontaminasi silang antara air yang dapat diminum dengan yang tidak dapat diminum.
21
Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan Permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan harus mudah dibersihkan, tidak bereaksi, tahan karat, tidak menyerap, dan tidak mengandung toksik. Proses pencucian permukaan yang kontak dengan bahan makanan harus menggunakan bahan pembersih atau deterjen. Pencegahan Kontaminasi Silang Kontaminasi silang umumnya disebabkan oleh human eror. Proses pencegahan kontaminasi silang dapat dilakukan melalui pemisahan antara bahan mentah dan produk matang, perlindungan terhadap produk selama pengolahan dan penyimpanan, serta pelaksanaan proses sanitasi ruangan dan peralatan pengolahan makanan yang baik dan benar. Fasilitas Kebersihan Salah satu aspek penting dalam mewujudkan sanitasi pangan adalah kebersihan. Restoran harus menjamin ketersediaan, kelengkapan, dan kondisi fasilitas kebersihan yang dimiliki, yaitu fasilitas cuci tangan, sanitizer, serta toilet. Pencegahan Adulterasi Aspek kelima adalah pencegahan adulterasi. Kegiatan pencegahan terhadap pencemaran dilakukan untuk menjamin produk pangan, bahan pangan, maupun permukaan yang kontak dengan bahan pangan terhindar dari cemaran fisik, kimia, dan biologi termasuk pelumas, pestisida, senyawa pembersih, bahan bakar, sanitizer, serta cipratan dari lantai. Pelabelan dan Penyimpanan Senyawa Berbahaya Aspek keenam adalah pelabelan dan penyimpanan senyawa berbahaya. Proses pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan senyawa berbahaya mencakup jenis dan tata cara pelabelan, prosedur penggunaan, serta metode penyimpanan bahanbahan kimia yang digunakan, baik pada proses produksi, desinfeksi, pembersihan, dan lain-lain. Kesehatan Pekerja Aspek selanjutnya adalah kesehatan pekerja. Restoran harus melakukan kegiatan pemantauan dan pengelolaan kesehatan pekerja secara rutin guna mencegah
22
terjadinya kontaminasi pada produk pangan, bahan pangan, kemasan, maupun peralatan pengolahan pangan oleh pekerja yang tidak sehat. Pengendalian Hama Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk menjamin dan menghindarkan unit pengolahan pangan dari intervensi hama. Kegiatan pengendalian hama mencakup prosedur pencegahan, pemusnahan, dan penggunaan bahan kimia pembasmi hama (Winarno dan Surono, 2002). Hazard Analysis and Critical Control Point Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan keamanan pangan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, serta membahayakan kesehatan manusia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1998). Keamanan pangan merupakan faktor yang sangat diperhatikan oleh masyarakat dunia saat ini. Masyarakat dunia menginginkan agar makanan yang dikonsumsinya terbebas dari segala bentuk kontaminan. Keadaan inilah yang menyebabkan, baik industri pengolahan pangan maupun restoran, harus menerapkan suatu sistem pengendalian mutu dalam proses produksi yang dilakukannya guna menghasilkan produk pangan yang aman untuk dikonsumsi (Brown, 2000). Hazard analysis and critical control point (HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses produksi oleh industri pangan maupun restoran dan difokuskan terhadap bahaya yang mungkin timbul pada setiap tahapan produksi. HACCP merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi bahaya serta menetapkan sistem pengendalian bahaya yang diarahkan pada tindakan pencegahan untuk meminimalkan bahaya keamanan pangan yang mungkin terjadi sebelum, selama, dan sesudah proses pengolahan pangan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Penerapan sistem HACCP dalam proses produksi bertujuan untuk menghasilkan produk pangan yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal). Prosedur penerapan sistem HACCP tertuang secara lengkap di dalam dokumen HACCP plan. HACCP plan merupakan dokumen yang dibuat
23
berdasarkan prinsip HACCP untuk menjamin keamanan pangan pada rantai pangan yang dipertimbangkan (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Sistem HACCP diperkenalkan pertama kali di USA oleh perusahaan Pillsbury yang bekerja sama dengan NASA dan laboratorium Research and Development USA Army Natick pada awal tahun 1960. Sistem HACCP diaplikasi oleh NASA dan USA Army Natick dalam upaya menciptakan bahan pangan yang terbebas dari berbagai jenis kontaminasi, baik mikroorganisme patogen, bakteri, maupun virus yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi para astronot yang akan bertugas di luar angkasa. Sederetan hasil penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh NASA dan USA Army Natick menunjukkan bahwa cara terbaik untuk memperoleh bahan pangan yang terbebas dari kontaminasi adalah dengan melakukan tindakan pengendalian mutu sedini mungkin pada saat proses produksi dilakukan. Hasil evaluasi tersebut kemudian melandasi penemuan 7 prinsip utama sistem HACCP yang dipublikasikan oleh Codex Alimentarius Commission serta mendapat rekomendasi dari Food and Agriculture Organization dan National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (Takenaka, 2005; Mortimore dan Wallace, 2001). Badan Standardisasi Nasional Indonesia kemudian mengadopsi prosedur penerapan sistem HACCP yang dikembangkan oleh CAC dan mencantumkannya di dalam SNI 01-4852-1998. Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI 01-4852-1998 juga menyatakan bahwa penerapan sistem HACCP pada industri pangan dan restoran memiliki tujuan umum dan khusus. Tujuan umum penerapan sistem HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan. Tujuan khusus penerapan sistem HACCP, yaitu mengevaluasi cara memproduksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, memperbaiki cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis, memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan, pengolahan, serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan, dan meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan. Sistem HACCP sangat bermanfaat bagi industri pangan maupun restoran yang menerapkannya. Keuntungan penerapan sistem HACCP bagi pihak terkait,
24
antara lain meningkatkan jaminan keamanan produk pangan hasil produksi, memperbaiki fungsi pengendalian, memperkenalkan pendekatan jaminan mutu yang bersifat preventif, mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen, mengurangi resiko komplain dari konsumen, serta dapat menjadi alat promosi dagang yang memiliki daya saing kompetitif (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Sistem HACCP hanya dapat diterapkan dalam proses produksi apabila perusahaan atau restoran yang bersangkutan telah memenuhi dua tahapan pendahulu, yaitu persyaratan dasar HACCP (GMP dan SSOP) serta proses validasi HACCP plan (Mortimore dan Wallace, 2001). Penerapan sistem HACCP umumnya didasarkan pada 7 prinsip dan tertuang di dalam 12 langkah penerapan sistem HACCP (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Langkah-langkah penerapan sistem HACCP yang dikembangkan oleh CAC dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Langkah-Langkah Penerapan Sistem HACCP dalam Industri Pangan No.
Kegiatan
Keterangan
1
Pembentukan tim HACCP
Langkah pendahuluan pertama
2
Penyusunan deskripsi produk
Langkah pendahuluan kedua
3
Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk pangan
Langkah pendahuluan ketiga
4
Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap
Langkah pendahuluan keempat
5
Verifikasi diagram alir proses produksi di lapangan
Langkah pendahuluan kelima
6
Identifikasi atau analisis bahaya pada setiap tahapan proses produksi
Prinsip HACCP pertama
7
Penetapan titik kendali kritis (critical control point)
Prinsip HACCP kedua
8
Penetapan batas kritis untuk setiap CCP
Prinsip HACCP ketiga
9
Penetapan prosedur pemantauan (monitoring) untuk setiap CCP
Prinsip HACCP keempat
10
Penetapan tindakan koreksi apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis
Prinsip HACCP kelima
11
Penetapan prosedur verifikasi sistem HACCP
Prinsip HACCP keenam
12
Penetapan prosedur pencatatan (dokumentasi) dan penyimpanan dokumen hasil pencatatan
Prinsip HACCP ketujuh
Sumber : Codex Alimentarius Commission (1997)
25
Pembentukan Tim HACCP Langkah pertama dalam penerapan sistem HACCP adalah pembentukan tim HACCP. Pembentukan organisasi tim HACCP, sesuai dengan persyaratan SNI 014852-1998, perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam proses produksi, seperti divisi produksi, divisi pengendalian mutu (QA dan QC), divisi pembelian dan gudang, serta divisi pemeliharaan (maintenance). Tim HACCP juga sebaiknya terdiri atas personal dengan latar belakang disiplin ilmu yang beragam serta berkaitan dengan produk dan prosesnya (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Pembentukan tim HACCP hendaknya disusun berdasarkan struktur organisasi yang sudah ada dalam badan usaha pemilik restoran terkait, sehingga legalitas dari tim HACCP tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Tim HACCP harus dipimpin oleh seorang ketua yang berada langsung di bawah pimpinan tertinggi suatu badan usaha. Pimpinan tertinggi kemudian akan memberikan mandat kepada ketua tim HACCP untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya (Sudibyo, 2008). Ketua tim HACCP harus merupakan personal yang sangat memahami konsep HACCP dan sudah mempunyai pengalaman dalam penerapan sistem HACCP. Anggota tim HACCP juga harus multidisiplin atau multidepartemen serta telah memperoleh pelatihan HACCP yang mencukupi. Pelatihan dan pembekalan tentang HACCP sangat diperlukan, baik oleh ketua maupun anggota tim HACCP, sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pelatihan yang umumnya diberikan kepada personal tim HACCP, yaitu pengantar sistem pengendalian keamanan pangan, GMP, pengenalan dan implementasi sistem HACCP, dokumentasi GMP dan sistem HACCP, serta workshop penyusunan HACCP plan (Sudibyo, 2008). Setiap personal di dalam tim HACCP, baik ketua maupun anggota, memiliki tugas dan kewajiban masing-masing. Uraian tugas dan kewajiban dari ketua dan anggota tim HACCP dapat dilihat pada Tabel 5. Deskripsi Produk Langkah kedua dari 12 langkah penerapan HACCP adalah deskripsi produk. Deskripsi produk dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penentuan jenis produk yang kemudian akan diimplementasi dengan sistem HACCP. Deskripsi produk dilakukan untuk mengetahui nama dagang, komposisi utama, kategori proses, cara
26
penyajian atau penggunaan, pengemasan, cara distribusi, masa kadaluarsa, kondisi penyimpanan, pelabelan, penjualan, dan target konsumen dari suatu produk (Thaheer, 2005). Tabel 5. Daftar Uraian Tugas dan Kewajiban Tim HACCP No. 1
Jabatan Ketua Tim HACCP
1. 2. 3. 4.
5. 6. 2
Wakil Ketua Tim HACCP
1. 2. 3. 4. 5.
6.
3
Sekretaris Tim HACCP
1. 2.
3. 4.
5. 4
Anggota Tim HACCP
1. 2.
3.
Keterangan Menyiapkan, membuat, dan mengesahkan dokumen manual HACCP. Menjamin dan bertanggung jawab penuh atas penerapan sistem HACCP di dalam organisasi secara menyeluruh. Memberikan program pelatihan kepada semua karyawan. Melakukan verifikasi / audit secara berkala terhadap sistem HACCP dan tindakan perbaikan serta perubahan yang diperlukan. Mengadakan dan memimpin rapat Tim HACCP secara berkala. Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan HACCP dan LSSM HACCP. Membantu Ketua Tim HACCP dalam menjalankan tugas penerapan sistem HACCP. Menjalankan tugas dan fungsi ketua apabila yang bersangkutan berhalangan. Membantu ketua tim dalam program pelatihan sistem HACCP kepada karyawan perusahaan. Memberikan program pelatihan kepada karyawan harian terhadap penerapan sistem HACCP. Memberikan kritik dan saran perbaikan sistem HACCP kepada ketua tim untuk meningkatkan mutu dari sistem HACCP yang diterapkan. Membantu Ketua Tim HACCP dalam program pelatihan, penerapan, dan perbaikan sistem HACCP di dalam perusahaan atau restoran. Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP. Mengendalikan dan mendistribusikan dokumen HACCP serta menjamin bahwa setiap unit menerima dokumen HACCP yang benar dan terbaru. Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan, dan data-data yang berkaitan dengan dokumen HACCP dengan baik dan rapi. Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan yang telah ditetapkan dan mendistribusikan dokumen yang baru serta menarik dokumen yang lama. Memusnahkan dokumen yang sudah tidak terpakai atau yang sudah melewati masa simpan dokumen. Membantu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem HACCP. Memberikan kritik dan saran perbaikan sistem HACCP kepada ketua tim untuk meningkatkan mutu dari sistem HACCP yang diterapkan. Menjadi fungsi kontrol dalam pelaksanaan sistem HACCP di dalam lingkungan unit masing-masing.
Sumber : Sudibyo (2008)
27
Identifikasi Rencana Penggunaan Produk Langkah ketiga dari dua belas langkah penerapan HACCP adalah identifikasi rencana atau tujuan penggunaan produk. Identifikasi rencana penggunaan produk dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan deskripsi produk. Identifikasi rencana atau tujuan penggunaan produk perlu dilakukan karena setiap produk memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda terhadap konsumen. Identifikasi penggunaan produk bertujuan untuk menginformasikan apakah produk tersebut dapat dikonsumsi oleh semua populasi atau hanya oleh populasi tertentu saja (Thaheer, 2005). Penyusunan dan Verifikasi Diagram Alir Produk Langkah keempat dan kelima adalah penyusunan dan verifikasi diagram alir produk. Penyusunan dan verifikasi diagram alir merupakan langkah penting dalam menyusun sebuah HACCP plan. Penyusunan diagram alir dapat dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan identifikasi rencana penggunaan produk oleh tim HACCP. Penyusunan diagram alir penting untuk dilakukan guna mengetahui tahapan proses yang terjadi, mengetahui dan merumuskan permasalahan yang terjadi, menentukan titik kendali kritis (CCP), menentukan batas kritis, dan menentukan tindakan pengendalian terhadap masalah (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Diagram alir yang telah disusun kemudian diverifikasi untuk dilihat kesesuaiannya dengan pelaksanaan di lapangan. Identifikasi atau Analisis Bahaya Analisis bahaya merupakan prinsip pertama dari tujuh prinsip HACCP yang tertuang di dalam dua belas langkah penerapan sistem HACCP. Analisis bahaya dilakukan untuk mengidentifikasi potensi-potensi bahaya termasuk penyebabnya serta menentukan peluang kejadian atau resiko (risk) dan tingkat keparahan (severity) pada setiap tahapan proses (Brown, 2000). Proses identifikasi bahaya pada makanan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan guna menghasilkan produk pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Badan Standarisasi Nasional (1998) mendefinisikan bahaya (hazard) sebagai unsur biologi, kimia, dan fisik dalam pangan atau kondisi dari pangan yang berpotensi menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Mortimore dan Wallace (2001) menambahkan definisi bahaya (hazard) adalah perangkat biologis, kimiawi, 28
dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Bahaya (hazard) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis pencemarnya, yaitu bahaya fisik, kimia, dan biologi. Brown (2000) menyatakan bahwa bahaya biologi sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, dan patogen. International Commission of Microbiological Specifications for Food (1992) membagi bahaya biologi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat resiko bahayanya. Kelompok bahaya I adalah kelompok dengan bahaya besar, kelompok bahaya II adalah kelompok dengan bahaya sedang dan tingkat penyebaran yang luas, sedangkan kelompok bahaya III adalah kelompok dengan bahaya sedang dan tingkat penyebaran yang terbatas. Data sumber bahaya biologis dan pengelompokkannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Data Sumber Bahaya Biologis pada Pangan Kelompok II
Kelompok I
Kelompok III
(Bahaya Sedang, Penyebaran Luas) Listeria monocytogenes
(Bahaya Sedang, Penyebaran Terbatas) Bacillus cereus
Shigella dysenteriae
Salmonella sp.
Campylobacter jejuni
Salmonella typhii Salmonella paratyphy A Salmonella paratyphy B
Shigella sp.
Clostridium perfringens
Virus hepatitis A Virus hepatitis B
Enterovirulent Escherichia coli (EEC)
Staphylococcus aureus
Brucella abortus Brucella suis
Streptococcus pyrogenes
Vibrio cholerae non O1
Vibrio cholerae O1
Rotavirus
Vibrioparahaemolyticus
Vibrio vulnivicus
Norwalk virus grup
Yersinia enterocolotica
Taenia solium
Entamoeba histolytica
Giardia lamblia
Trichinella spiralis
Diphyllobothrium latum
Taenia saginata
(Bahaya Tinggi) Clostridium botulinum (tipe A, B, E, dan F)
Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum Sumber : International Commission of Microbiological Specifications for Food (1992)
Bahaya kimia pada pangan juga dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bahan kimia yang terdapat secara alami di dalam pangan dan bahan kimia yang ditambahkan ke dalam pangan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bahan
29
kimia yang terbentuk secara alami pada bahan pangan berasal dari bahan pangan itu sendiri. Berbeda dengan bahan kimia alami, bahan kimia yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, berasal dari luar bahan pangan. Bahan kimia yang tidak sengaja ditambahkan umumnya berasal dari residu bahan kimia yang sengaja ditambahkan untuk keperluan produksi, bahan mentah yang pada saat penanganan terus terbawa hingga terkonsumsi, bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida dan herbisida, pupuk kimia, antibiotik, dan logam berat. Bahan kimia yang dengan sengaja ditambahkan dapat berasal dari bahan tambahan pangan (BTP), seperti bahan pengawet, antioksidan, pewarna, pengemulsi dan penstabil, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, penambah nilai gizi, dan lain-lain (Cliver, 1992). Data sumber bahaya kimia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Data Sumber Bahaya Kimia pada Pangan Sumber Bahan Kimia Terbentuk secara alami
Jenis Bahan Kimia Berbahaya
Ditambahkan secara sengaja atau tidak sengaja
Mikotoksin Skrombotoksin (histamin) Ciguatoksin Toksin jamur Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP) Alkaloid pirolizidin Fitohemaglutinin PCB (polychlorinated biphenyl) Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan Logam-logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida) Bahan tambahan pangan (BTP) : pengawet (nitrit dan sulfit), penambah cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, dll), pemanis Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaizer, pelapis cat, dll
Sumber : Cliver (1992)
Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing berbentuk fisik yang secara normal tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber bahaya fisik dapat berasal dari peralatan, material gedung, rambut, kotoran, kelupasan cat, karat, debu, dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992). Berbeda dengan bahaya kimia dan
30
biologi, bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer, 2005). Data sumber bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Data Sumber Bahaya Fisik pada Pangan Material
Bahaya Potensial
Gelas
Kayu
Batu / kerikil Logam Serangga dan kotorannya
Sumber
Terpotong, berdarah, luka, dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Terpotong, infeksi, tercekik, dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik dan gigi patah
Botol, wadah, lampu, peralatan pengolahan
Terpotong, infeksi, dan mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya Penyakit, tercekik, dan trauma psikologis
Mesin pengolahan lapangan, kawat, dan pekerja Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, dan gudang Penggunaan asbes dalam waktu lama dan material bangunan Lapangan dan proses pengolahan (pemisahan tulang) yang tidak benar Lapangan, bahan pengemas, pallet, dan pekerja
Bahan insulasi
Tercekik
Potongan tulang
Tercekik dan trauma
Plastik
Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lain-lain)
Tercekik, terpotong, infeksi, dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik, terpotong, gigi patah, dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya
Sisik dan kulit
Tercekik
Pallet, boks, gedung, pohon / ranting Lapangan dan gedung
Pekerja / karyawan
Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar
Sumber : Corlett (1992)
Produk pangan sangat mudah terkontaminasi oleh bahaya biologi, fisik, maupun kimia. Karakteristik resiko kontaminasi bahaya yang dimiliki setiap produk pangan berbeda-beda. Produk pangan dapat dikelompokkan menjadi enam berdasarkan karakteristik resiko bahaya yang dimilikinya, yaitu bahaya A, B, C, D, E, dan F (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods, 1990). Data pengelompokkan produk pangan berdasarkan karakteristik resiko yang dimiliki berikut penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 9. Produk pangan juga dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat resiko terhadap bahaya yang dimilikinya. Produk pangan dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat resiko terhadap bahayanya, yaitu produk pangan beresiko tinggi, sedang, dan rendah (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 2007). 31
Data pengelompokkan produk pangan berdasarkan tingkat resiko bahaya berikut penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 9. Data Kelompok Bahaya pada Produk Pangan Berdasarkan Karakteristik Resiko Kelompok Bahaya Bahaya A
Karakteristik Bahaya Kelompok produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk dikonsumsi kelompok tertentu (lansia, bayi, dan immunocompromised).
Bahaya B
Produk mengandung bahan (ingridient) yang sensitif terhadap bahaya biologi, fisik, maupun kimia.
Bahaya C
Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali dan secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik.
Bahaya D
Produk kemungkinan mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan.
Bahaya E
Kemungkinan terdapat potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk menjadi berbahaya untuk dikonsumsi.
Bahaya F
Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan, atau menghancurkan bahaya. Sumber : National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1990)
Tabel 10. Data Kelompok Produk Pangan Berdasarkan Tingkat Resiko Bahaya Produk-produk kategori I (resiko tinggi) I Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia, dan / atau berkomposisi susu yang perlu direfrigerasi. II Daging segar, ikan mentah, dan produk-produk olahan susu. III Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau lebih yang disterilisasi dalam wadah yang ditutup secara hemetis. Produk-produk kategori II (resiko sedang) I Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia atau yang berkomposisi / penggantinya, dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi hygiene pangan. II Sandwich dan kue pie daging untuk konsumsi segar. III Produk-produk berbasis lemak, misalnya coklat, margarin, spreads, mayones, dan dressing. Produk-produk kategori III (resiko rendah) I Produk asam (nilai pH < 4,6), seperti acar, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah, dan minuman asam. II Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas. III Selai, marinade, dan conserves. IV Produk konfeksionari berbasis gula. V Minyak dan lemak makan. Sumber : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Institut Pertanian Bogor (2007)
32
Kegiatan identifikasi atau analisis bahaya dilakukan melalui penentuan kategori resiko dan tingkat signifikansi bahaya pada setiap tahapan proses yang dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Proses penentuan kategori resiko dilakukan berdasarkan karakteristik resiko bahaya dari suatu produk (Pierson dan Corlett, 1992). Berbeda dengan proses penentuan kategori resiko, proses penentuan signifikansi bahaya dilakukan dengan dua tahap, yaitu penentuan tingkat peluang atau resiko terjadinya bahaya (risk) dan penentuan tingkat keparahan atau keakutan dari bahaya (severity) (Thaheer, 2005). Tabel 11. Tabel Penentuan Kategori Resiko Berdasarkan Karakteristik Bahaya Karakteristik Bahaya
Kategori Resiko
0
0
Tidak mengandung bahaya A sampai F
(+)
I
Mengandung 1 bahaya B sampai F
(++)
II
Mengandung 2 bahaya B sampai F
(+++)
III
Mengandung 3 bahaya B sampai F
(++++)
IV
Mengandung 4 bahaya B sampai F
(+++++)
V
Mengandung 5 bahaya B sampai F
A+ (kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya B–F
VI
Jenis Bahaya
Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
Sumber : Pierson dan Corlett (1992)
Tabel 12. Tabel Penentuan Tingkat Signifikansi Bahaya Tingkat Keparahan (Severity)
Peluang Kejadian
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Signifikan
Sedang
Tidak signifikan
Signifikan
Sangat signifikan
Tinggi
Signifikan
Sangat signifikan
Sangat signifikan
Sumber : Thaheer (2005)
Penetapan Titik Kendali Kritis Langkah ketujuh yang sekaligus merupakan prinsip HACCP kedua adalah penetapan
titik
kendali
kritis.
Codex
Alimentarius
Commission
(1997)
mendefinisikan titik kendali kritis (CCP) sebagai suatu titik lokasi atau tahapan atau
33
prosedur yang memerlukan proses pengendalian untuk mencegah, mengurangi, maupun mengeliminasi bahaya keamanan pangan ke tingkat yang dapat diterima. Brown (2000) menambahkan bahwa titik kendali kritis (CCP) adalah suatu titik yang memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya kesehatan apabila tidak ditangani dan dipantau dengan baik. Proses penentuan CCP dilakukan dengan menggunakan “diagram pohon penentuan titik kendali kritis“. Diagram pohon penentuan titik kendali kritis dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis proses yang diamati, yaitu diagram pohon penentuan titik kendali kritis untuk bahan baku, formulasi, dan tahapan proses. Diagram pohon berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang muncul dalam suatu langkah proses, bahan baku, dan formulasi untuk mengidentifikasi proses, bahan baku, maupun formulasi yang sensitif terhadap bahaya atau untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Penetapan Batas Kritis untuk Setiap CCP Penetapan batas kritis adalah prinsip HACCP ketiga yang dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penetapan titik kendali kritis (CCP). Batas kritis harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi, apabila mungkin, untuk setiap CCP. Batas kritis didefinisikan sebagai suatu kriteria yang memisahkan atau membedakan antara kondisi produk atau parameter yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Thaheer (2005) menambahkan bahwa batas kritis merupakan satu atau lebih toleransi mutlak yang harus dipenuhi untuk menjamin keamanan pangan dari suatu produk. Penetapan Tindakan Monitoring untuk Setiap CCP Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) adalah prinsip HACCP keempat yang dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penetapan batas kritis untuk setiap CCP. Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) dilakukan untuk mencegah keadaan sebuah CCP menjadi tidak terkontrol yang berakibat pada peningkatan resiko dihasilkannya produk berbahaya, mengidentifikasi masalah sebelum muncul, menemukan titik sebab suatu masalah, serta membantu proses verifikasi dan pembuktian kelayakan sistem HACCP (Sudibyo, 2008).
34
Penetapan Tindakan Koreksi Prinsip HACCP kelima adalah penetapan tindakan koreksi apabila terjadi penyimpangan pada batas kritis. Tindakan koreksi atau corrective action adalah setiap tindakan yang harus diambil apabila hasil pemantauan pada titik kendali kritis menunjukkan hilangnya kendali (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Penetapan Prosedur Verifikasi Prinsip HACCP keenam adalah penetapan prosedur verifikasi.
Prosedur
verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan metode, prosedur pengujian dan analisis, maupun tindakan evaluasi lainnya sebagai tambahan pada sistem monitoring (pemantauan) guna mengetahui dan memastikan tingkat kesesuaiannya terhadap sistem HACCP. Penetapan Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Dokumen Penetapan prosedur pencatatan dan penyimpanan dokumen hasil pencatatan adalah prinsip HACCP ketujuh yang juga merupakan prinsip dan langkah terakhir dalam penerapan sistem HACCP (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Prosedur dokumentasi dan penyimpanan dokumen penting untuk dilakukan dalam penerapan sistem HACCP. Penerapan prosedur dokumentasi bertujuan untuk mempermudah proses pelaksanaan maupun pembaharuan sistem HACCP yang dilakukan (Sudibyo, 2008).
Thaheer
(2005)
menambahkan
bahwa
prosedur
dokumentasi
dan
penyimpanan dokumen memiliki beberapa tujuan, yaitu :
bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada;
jaminan pemenuhan terhadap peraturan;
kemudahan pelacakan / penelusuran dan peninjauan catatan;
dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen mengenai keamanan produk pangan;
sumber tinjauan data yang diperlukan pada proses audit HACCP;
rekaman / catatan HACCP dapat lebih terpusat pada isu keamanan pangan sehingga mempercepat proses identifikasi masalah;
membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas, dan produk akhir apabila timbul masalah keamanan pangan yang memerlukan prosedur penarikan produk dari pasaran sesegera mungkin.
35