5
TINJAUAN PUSTAKA
Daging Daging merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Menurut Soeparno (2005), daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengonsumsinya. Organ-organ yang termasuk kategori daging adalah hati, ginjal, paru-paru, jantung, limpa, dan pankreas. Protein merupakan komponen bahan kering terbesar yang terkandung di dalam daging, disamping komponen penting lainnya (Tabel 1).
Tabel 1 Komposisi kimiawi otot skelet mamalia (persen berat daging segar) No 1
Komponen Air
2
Protein
3
Lipid
4
Substansi non protein nitrogen
5
Karbohidrat dan substansi non nitrogen
6
Konstituen anorganik (potasium, sulfur, klorin, sodium, dll) dan vitamin
Jumlah (%) 75 18.5 3 1.5 1 1
Sumber : Soeparno (2005)
Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi 6 yaitu : (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan; (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin); (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan; (4) daging masak; (5) daging asap; (6) daging olahan (Soeparno 2005). Pertumbuhan dan perkembangan komposisi karkas pada ternak pedaging, dapat distimulasi dengan perlakuan diantaranya adalah pemberian antibiotika dan
6
hormon. Antibiotika yang sering ditambahkan di dalam pakan adalah penisilin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin (Lawrie 2003; Soeparno 2005).
Antibiotika Antibiotika adalah suatu zat kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri, yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti cendawan (penisilin), bakteri (tetrasiklin dan eritromisin), atau bahan sintetik (sulfonamide dan florkuinolon) atau semi sintetik (amoksisilin, klarithromisin dan doksisiklin) (Guardabassi dan Kruse 2008). Menurut spektrum aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua yaitu antibiotika berspektrum sempit dan antibiotika berspektrum luas. Antibiotika berspektrum sempit antara lain penisilin, eritromisin, dan oleandomisin yang efektif terhadap bakteri Gram positif serta gentamisin dan streptomisin yang efektif terhadap bakteri Gram negatif. Berbeda dengan antibiotika berspektrum sempit yang hanya berefek sebagai anti bakteri terhadap beberapa jenis bakteri, antibiotika berspektrum luas mempunyai efek anti bakteri lebih luas baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Contoh antibiotika berspektrum luas adalah kloramfenikol dan tetrasiklin (Wattimena et al. 1991). Menurut Oka et al. (1995), berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu beta laktam; aminoglikosida; tetrasiklin; makrolida; peptida; polieter polisakarida; kloramfenikol; sulfonamida (Tabel 2).
7
Tabel 2 Golongan antibiotika beserta turunannya Golongan Beta Laktam
Turunan Penisilin, Benzyl Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin, Kloksasilin, Diklosasilin, Mesilinam, Nafsilin, Cephalonium, Cephazolin, Asam klavulanat
Aminoglikosida
Apramisin, Destomisin A, Dihidrostreptomisin, Fradiomisin, Hygromisin B, Gentamisin, Kanamisin, Streptomisin, Neomisin, Amikasin, Kanamisin sulfat, Framisetin
Tetrasiklin
Klortetrasiklin, Doksisiklin, Oksitetrasiklin HCL, Minosiklin HCL
Makrolida
Eritromisin, Kitasamisin, Mirosamisin, Spiramisin, Tylosin, Roxithromisin, Azithromisin
Peptida
Avoparcin, Bacitracin, Kolistin, Thiopeptin, Virginamisin
Polieter
Flavophospholipol, Lasalosid, Monensin, Salinomisin, Avilamisin
Kloramfenikol
Kloramfenikol, Tiamfenikol
Sumber : Oka et al. (1995) Antibiotika yang banyak digunakan pada ternak adalah beta laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, inkosamid, makrolida, pleuromutilan, dan sulfonamid. Antibiotika ini diberikan melalui suntikan (sub kutan, intramuskular atau intravena), melalui oral yang ditambahkan dalam pakan, olesan pada permukaan kulit, intramammaria atau intrauterin. Seluruh rute pemberian antibiotika tersebut dapat menimbulkan residu pada bahan pangan asal hewan yang dihasilkan (Mitchell et al. 1998). Munculnya residu pada bahan pangan asal hewan terkait dengan tidak diperhatikannya lama waktu henti obat (withdrawal time) dan setiap obat memiliki masa waktu henti obat yang berbeda-beda.
8
Beta Laktam Antibiotika golongan beta laktam diberi nama berdasarkan adanya cincin beta laktam. Sifat-sifat dari antibiotika beta laktam sangat tergantung dari ikatan cincin beta laktam dan ikatan gugus asam pada karbon yang terikat pada nitrogen beta laktam. Cincin beta laktam merupakan kunci aktifitas antibiotika golongan beta laktam. Jika salah satu cincin tersebut tidak ada atau terlepas, maka antibiotika tidak mampu untuk menghambat enzim transpeptidase pada pembentukan lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Antibiotika beta laktam telah banyak dikembangkan dan ditemukan turunan baru dari golongan tersebut yang memiliki kemampuan menghambat bakteri yang lebih baik. Beberapa turunan beta laktam dengan strukturnya ditampilkan pada Tabel 3 (Morin dan Gorman 1995; Madigan et al. 2006). Tabel 3 Karakteristik dan struktur kimia turunan Beta Laktam Karakteristik Penisilin Alami Benzylpenisilin (penisilin G) - bekerja efektif terhadap bakteri Gram positif - sensitif terhadap enzim beta laktamase Penisilin Semisintetik Methisilin - stabil terhadap asam - resisten terhadap enzim beta laktamase Ampisilin - spektrum luas (terutama Gram negatif) - stabil terhadap asam - sensitif terhadap enzim beta laktamase Carbenisilin - spektrum luas terutama Pseudomonas aeruginosa - stabil terhadap asam, namun tidak efektif diberikan melalui oral - sensitif terhadap enzim beta laktamase Sumber : Madigan et al. (2006)
Struktur kimia
9
Mekanisme kerja antibiotika beta laktam dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Pada proses pembentukan dinding sel, terjadi reaksi transpeptidase yang dikatalis oleh enzim transpeptidase (Penicillin binding proteins = PBPs) dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida dan glukan. Enzim transpeptidase yang terletak pada membran sitoplasma bakteri tersebut juga dapat mengikat antibiotika beta laktam sehingga menyebabkan enzim ini tidak mampu mengkatalisis reaksi transpeptidase, walaupun dinding sel tetap terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki ikatan silang dan peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah dan mudah terdegradasi. Pemberian secara oral hanya 5-30% dari dosis yang diserap, tergantung pada stabilitas asam dan ikatan pada makanan. Setelah penyerapan, penisilin tersebar luas dalam jaringan dan cairan tubuh (Adam 2002).
Aminoglikosida Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika dengan sifat kimia, antimikrobial, farmakologi, dan toksisitas yang sama serta mempunyai polar basa organik. Golongan antibiotika ini dihasilkan oleh bakteri dari golongan Streptomyces dan Micromonospora (Tjay dan Rahardja 2008). Golongan antibiotika ini terdiri dari streptomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin, apramisin, amikasin, dihidrostreptomisin, dan neomisin. Antibiotika golongan aminoglikosida banyak digunakan pada pengobatan manusia maupun hewan. Antibiotika ini efektif terhadap bakteri Gram negatif maupun bakteri Gram positif, diantaranya adalah bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klabsiela, Proteus, Seratia, dan Salmonella (Hisao et al. 1995). Aktivitas antibiotika golongan aminoglikosida ini bersifat bakterisidal, berdasarkan kemampuannya untuk menembus dinding sel bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel, merusak translasi RNA dan DNA sehingga biosintesa protein terganggu (Tjay dan Rahardja 2008). Aminoglikosida yang diberikan secara parenteral dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran dan organ keseimbangan (ototoksis), terutama pada lansia. Selain itu efek negatif penggunaan antibiotika ini dapat merusak ginjal, kelemahan otot dan depresi
10
pernafasan. Pada penggunaan secara oral, nausea, muntah, dan diare khususnya pada pemberian dosis tinggi. Aminoglikosida dapat melewati plasenta dan merusak ginjal serta menimbulkan ketulian pada bayi, sehingga antibiotika ini tidak dianjurkan selama kehamilan (Salyers dan Whitt 2005; Tjay dan Rahardja 2008). Aminoglikosida bersifat larut di dalam air, stabil pada pH asam maupun basa, serta tahan terhadap pemanasan. Antibiotika ini biasanya digunakan sebagai feed additives yang dicampurkan pada pakan atau air minum atau dapat pula diberikan melalui injeksi (Hisao et al. 1995). Resistensi bakteri terhadap antibiotika golongan aminoglikosida dapat terjadi akibat kemampuan bakteri menghasilkan enzim yang dapat merombak struktur antibiotika. Resistensi bakteri terhadap streptomisin dan kanamisin dilaporkan sering terjadi, dengan pemberian yang dikombinasikan bersama antibiotika beta laktam dapat menghambat terjadinya resistensi dan pemberian kombinasi tersebut dapat saling memperkuat potensi obat (Tjay dan Rahardja 2008).
Makrolida Makrolida merupakan golongan antibiotika yang kerjanya bersifat bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif. Mekanisme kerjanya sama seperti tetrasiklin yaitu melalui pengikatan reversibel pada ribosom bakteri, sehingga menghambat sintesa protein. Antibiotika ini merupakan pilihan pertama pada penyakit infeksi paru-paru, infeksi usus yang disebabkan Campylobacter jejuni dan menjadi pilihan kedua bila terjadi resistensi atau hipersensitifitas terhadap penisilin. Efek samping dari golongan antibiotika ini adalah terjadi gangguan usus dan lambung seperti nyeri perut, diare, nausea, pada dosis tinggi dapat mengakibatkan ketulian dan antibiotika ini dapat mengganggu fungsi hati. Pemberian makrolida pada hewan coba yang sedang bunting mengakibatkan gangguan pada janin, sehingga penggunaan makrolida dilarang pada trimester pertama kehamilan (Adam 2002; Tjay dan Rahardja 2008).
11
Tetrasiklin Tetrasiklin adalah antibiotika yang umum digunakan sebagai obat hewan dan diisolasi dari bakteri Streptomyces aureofaciens. Antibiotika golongan tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin dari Streptomyces aurofaciens, kemudian oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Golongan ini merupakan antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein mikroba. Tetrasiklin memiliki spektrum yang luas, artinya antibiotika ini memiliki kemampuan melawan sejumlah bakteri patogen (Yuningsih et al. 2005). Antibiotika golongan tetrasiklin biasanya digunakan pada infeksi saluran pernafasan dan paru-paru, saluran kemih, kulit, dan mata (Tjay dan Rahardja 2008). Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus, di dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar antibiotika golongan tetrasiklin hanya 10-20% dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun di hati, limpa, dan sumsum tulang serta di sentin dan email gigi (Karlina et al. 2009). Efek samping penggunaan antibiotika golongan tetrasiklin adalah sifat penyerapannya pada jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh pada janin dan anak-anak sehingga semua golongan tetrasiklin dilarang untuk diberikan pada usia kehamilan setelah bulan keempat, ibu menyusui serta anak-anak sampai usia mencapai delapan tahun. Pembentukan kompleks tetrasiklin-kalsiumfosfat dapat menimbulkan gangguan pada struktur kristal gigi serta pewarnaan dengan kuning kecoklatan yang lebih mudah berlubang (caries), efek lain adalah fotosensitasi yaitu kulit menjadi lebih peka terhadap cahaya, menjadi kemerahan dan gatal (Tjay dan Rahardja 2008). Bakteri yang telah resisten terhadap antibiotika ini diantaranya adalah Staphylococcus dan Streptococcus, bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas, Proteus, Klabsiella, Enterobacter, dan Serratia (Tjay dan Rahardja 2008).
12
Penggunaan Antibiotika di Peternakan Penggunaan antibiotika pada hewan sama seperti pada manusia, yaitu untuk mengobati infeksi bakteri, membasmi agen penyakit, menyelamatkan hewan dari kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi dalam waktu yang relatif singkat dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke lingkungan sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan hewan dan manusia (Butaye et al. 2003). Ditemukannya residu antibiotika pada karkas juga dapat terjadi karena penambahan antibiotika pada pakan ternak. Residu antibiotika ini menimbulkan dampak yang lebih besar bila antibiotika digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Efek yang dihasilkan dengan penambahan antibiotika pada pakan yang utama adalah peningkatan deposit protein, biasanya terkait dengan penurunan penggunaan lemak dan meningkatkan produksi daging. Hal ini terjadi akibat meningkatnya efisiensi konversi pakan menjadi daging. Residu antibiotika yang ditimbulkan pada produk asal ternak, berakibat buruk bagi kesehatan manusia (Reig dan Toldra 2008). Antibiotika sebagai imbuhan pakan digunakan secara luas di banyak negara, sehingga keberadaan residu antibiotika pada daging tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat. Sebagai gambaran, hasil survei keberadaan residu antibiotika di Amerika Serikat tahun 2008 dilaporkan pada hewan domestik dapat dilihat pada Tabel 4.
13
Tabel 4 Survei residu antibiotika di Amerika Serikat tahun 2008 dengan jumlah total sampel 32 890 ekor Antibiotika
Jumlah sampel positif
Penisilin Gentamisin Sulfat Neomisin Oksitetrasiklin Tetrasiklin Tilmikosin Sulfamethazin Sulfametoxazol Flunixin Desfuroylceftiofur DCA Sumber : FSIS (2009)
34 39 178 12 7 6 27 28 42 19
Antibiotika olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan virginiamisin sudah dilarang penggunaannya sebagai imbuhan pakan di Eropa sejak tahun 1999. Berdasarkan Feed Additive Compendium, ada beberapa antibiotika yang direkomendasikan sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan hewan lain, seperti penisilin, basitrasin, streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin, linkomisin, spiramisin, dan virginiamisin (Butaye et al. 2003). Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah banyak untuk pengobatan, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan pada ternak penghasil daging. Di Australia, penggunaan antibiotika pada peternakan masih
digunakan
sebagai
pengobatan
yang
disebabkan
oleh
infeksi
mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, dan jamur (NRS 2010). Penggunaan antibiotika sebagai pengobatan maupun pemacu pertumbuhan ternak masih banyak digunakan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di beberapa daerah menunjukkan banyak ditemukan residu antibiotika pada produk hewan (Tabel 5).
14
Tabel 5 Data survei residu antibiotika pada daging segar dan daging olahan di beberapa daerah di Indonesia
Jenis antibiotika
2004 (n = 572) Bali, NTB, NTT
2003 (n = 412) NTB dan NTT
2002 (n = 100) Kab. Badung
Penisilin
31 (5.4%)
8 (1.9%)
10 (10%)
Tetrasiklin
2 (0.3%)
7 (1.7%)
3 (3%)
Aminoglikosida
18 (3.1%)
6 (1.4%)
2 (2%)
Makrolida
83 (14.5%)
4 (0.9%)
4 (4%)
Sumber : Dewi et al. (2002); Handayani et al.(2003); Handayani et al. (2004)
Laporan World Health Organization (WHO) menyebutkan munculnya resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika menjadi permasalahan di seluruh dunia. Munculnya fenomena resistensi bakteri patogen tersebut diantaranya disebabkan oleh penggunaan antibiotika yang tidak tepat pada ternak. Resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika pada hewan dapat ditularkan ke manusia, akibat terbawanya gen resisten tersebut dalam bahan pangan asal hewan seperti daging, telur, dan susu yang dikonsumsi (Barber et al. 2003; WHO 2011).
Dampak Residu Antibiotika Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewan dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut. Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam pangan asal hewan seperti daging, susu, dan telur (Phillips et al. 2004). Batas maksimum residu (BMR) antibiotika ditampilkan pada Tabel 6.
15
Tabel 6 Batas Maksimum Residu (BMR) antibiotika Negara (ppb)
Golongan antibiotika
Turunan antibiotika
SNI
Aus
Codex
Beta Laktam
Penisilin
10
10
-
Ampisilin
10
10
-
Amoksilin
10
10
-
Benzylpenisilin
50
10
50
100
2000
-
Gentamisin
100
-
100
Streptomisin,
100
300
600
Klortetrasiklin
100
600
600
Doksisiklin
100
-
-
Oksitetrasiklin
100
600
600
Eritromisin
100
300
-
Spiramisin
50
-
200
Tilosin
100
100
-
Aminoglikosida Apramisin
Tetrasiklin
Makrolida
Sumber : SNI (2000); Codex (2006); NRS (2010) Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak, walaupun dalam jumlah kecil tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak. Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui urin dan feses, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan dicampur antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi diantara organ tubuh (Adam 2002). Keberadaan residu dalam produk hewan disebabkan karena tidak diperhatikannya waktu henti obat (withdrawal time) saat hewan dipotong. Masing-masing antibiotika memiliki waktu henti obat yang berbeda-beda, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.
16
Tabel 7
Lama waktu henti (withdrawal time) antibiotika yang digunakan pada ternak sapi di Canada
Jenis antibiotika
Cara pemberian
Penisilin
Suntikan
Maksimal lama waktu henti obat pada daging (hari) 5
Ampisilin
Suntikan
6
Tetrasiklin
Oral
5
Oksitetrasiklin
Imbuhan pakan
28
Klortetrasiklin
Bervariasi
18
Gentamisin
Bervariasi
30
Neomisin
Imbuhan pakan
7
Tilosin
Bervariasi
21
Eritromisin
Bervariasi
14
Tilmikosin
Suntikan
21
Sumber: Oka et al. (1995)
Residu antibiotika dalam pangan asal hewan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia diantaranya menyebabkan reaksi alergi, efek toksik, mengganggu
keseimbangan
flora
usus,
dan
efek
biologis
resistensi
mikroorganisme (Bahri et al. 2005).
Reaksi Alergi Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan substansi alami yang tidak membahayakan banyak individu (Nhiem 2005). Reaksi alergi pada individu yang sensitif terhadap antibiotika banyak dilaporkan, khususnya terhadap penisilin. Prevalensi reaksi alergi terhadap penisilin diperkirakan sebesar 3-10%. Reaksi alergi yang muncul mulai dari reaksi ringan seperti bintik-bintik pada kulit sampai terjadinya reaksi anafilaksis yang dapat berakibat fatal (Doyle 2006).
17
Efek Toksik Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi manusia, sebagai contoh khloramfenikol memiliki efek samping yang cukup serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum tulang yang berakibat pada gangguan pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat menyebabkan aplastik anemia yang secara potensial berakibat fatal (Naim 2002). Efek toksik pada manusia akibat residu antibiotika yang terdapat dalam bahan pangan asal hewan, erat hubungannya dengan dosis dan jangka waktu pengunaan antibiotika pada ternak (Focosi 2005).
Mengganggu Keseimbangan Flora Usus Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada dalam saluran pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap flora normal yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu antibiotika pada makanan. Berkurangnya flora normal dalam saluran pencernaan akan mengakibatkan berkembangnya bakteri patogen (Reig dan Toldra 2008). Penambahan antibiotika dalam pakan akan menekan mikroorganisme dalam usus sehingga dapat membantu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan bobot ternak. Namun, pengunaan antibiotika sebagai feed additive dikhawatirkan merubah proporsi dari bakteri spesifik di dalam saluran pencernaan (seperti Enterococcus faecium, Campylobacter spp., E. coli) yang terus membentuk koloni lebih banyak dari spesies bakteri yang tidak berbahaya, sehingga menekan pertumbuhan bakteri yang tidak berbahaya (Metzler et al. 2005). Semakin lama waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang sensitif terhadap antibiotika tersebut. Otoritas kesehatan pangan Eropa melaporkan bahwa residu antibiotika pada daging yang dikonsumsi akan menimbulkan reaksi alergi dan resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika dapat ditularkan ke manusia melalui rantai makanan. Dampak lain yang
18
ditimbulkan dari residu antibiotika pada pangan segar asal hewan adalah dampak yang ditimbulkan terhadap mikroflora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia yang secara normal berfungsi sebagai barier terhadap bakteri patogen. Akibat adanya residu antibiotika pada makanan yang dikonsumsi akan mengurangi jumlah mikroflora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia (Reig dan Toldra 2008). Berkurangnya
mikroflora
normal
dalam
saluran
pencernaan
akan
mengakibatkan bakteri patogen yang tidak diinginkan tumbuh semakin banyak. Residu antibiotika akan mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri patogen seperti Salmonella sp, Clostridum difficele, Campylobacter sp, Entero-Phatogenic E. coli, Staphylococcus aureus, Candida sp terhadap antibiotika. Berkembangnya bakteri patogen ini akan mengakibatkan diare atau enterocolitis. Residu antibiotika ini juga dapat mengakibatkan meningkatnya ketebalan dan atau aktifitas enzim beberapa bakteri di dalam usus, namun belum diketahui akibatnya secara pasti (Corpet 2000).
Efek Biologis Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang baru. Sejak tahun 1963, WHO telah mengadakan pertemuan tentang aspek kesehatan masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan makanan. Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi. Konferensi WHO pada tahun 1997 di Berlin membahas tentang dampak medis akibat penggunaan antibiotika pada pakan ternak (Angulo 2004). Berdasarkan The Committee for Veterinary Medical Products, istilah resistensi antibiotika mengacu pada dua pengertian, yaitu resistensi mikrobial dan resistensi klinik. Resistensi mikrobial adalah suatu proses biologik yang terkait dengan berbagai mekanisme resistensi yang melibatkan peran gen resistensi pada satu bakteri. Resistensi mikrobial dipengaruhi oleh suatu enzim yang membuat antibiotika tidak aktif. Resistensi klinik adalah resistensi bakteri yang bergantung pada respon dari bakteri tersebut terhadap pengobatan yang diberikan. Dalam pengertian resistensi klinik keberhasilan pengobatan antibiotika tergantung pada
19
dosis
antibiotika
yang
diberikan,
spesies
agen
penyakit,
mekanisme
farmakokinetik antibiotika, status pertahanan tubuh inang, dan konsentrasi antibiotika yang dapat mencapai bakteri dalam organ atau jaringan tubuh inang (EMEA 1999; Fluit et al. 2001). Munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotika dipengaruhi oleh adanya gen resistensi yang terdapat dalam plasmid, transposon, atau dalam kromosom bakteri. Resistensi beta laktam umumnya diakibatkan oleh kemampuan mikroba mensintesis enzim penisilinase yang mampu memecah cincin beta laktam penisilin menjadi penicilloic acid yang tidak aktif (Nastasi et al. 2000). Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi antibiotika umumnya spesifik terhadap antibiotika atau golongan antibiotika tertentu, tapi beberapa gen resisten dapat mengendalikan satu jenis atau golongan antibiotika yang sama. Sebagai contoh, pada golongan beta laktam terdapat paling sedikit 25 gen resisten, golongan aminoglikosida terdapat 18 gen resisten, golongan ampisilin terdapat 4 gen resisten, golongan tetrasiklin terdapat 24 gen resisten, golongan kloramfenikol terdapat 7 gen resisten, dan golongan trimetoprim-sulfametoksasol terdapat 15 gen resisten (Salyers dan Whitt 1994; Fluit et al. 2001; Cabrera et al. 2004; Chen et al. 2004) Konsekuensi dari penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan adalah kemungkinan terjadinya transfer dari gen-gen resisten yang berasal dari isolat hewan pada bakteri patogen dalam tubuh manusia. Hal ini menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat karena adanya suatu penemuan yang memperlihatkan bahwa bakteri tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan manusia dan dapat menyebabkan terjadinya resistensi pada mikroba dalam tubuh manusia yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan (Nicholls 2000; Barber et al. 2003). Beberapa peneliti melaporkan bahwa permasalahan resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika pada hewan dan manusia disebabkan oleh pemakaian yang salah dan berlebihan pada individu yang bersangkutan. Sebagai contoh, Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin, Pseudomonas aeruginosa yang
multiresisten,
Mycobacterium
tuberculosis,
Salmonella
typhi,
dan
20
Salmonella enteritidis yang resisten terhadap fluorokuinolon (Piddock 1995; Wain et al. 1997). Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan dilarang sejak tahun 1986, sejak saat itu antibiotika hanya diijinkan digunakan oleh dokter hewan sebagai terapi untuk penyembuhan atau pencegahan penyakit. Kemudian pada tahun 1999, European Union Scientific Steering Committee telah meninjau ulang penggunaan antibiotika sebagai pengobatan dan non pengobatan dalam European Commission Health and Consumer Protection Directorate 2003. Sebagai konsekuensinya maka penggunaan antibiotika dalam pakan di Eropa telah dilarang pada tahun 1999 sebagai sebuah tindakan percobaan pengukuran untuk meminimalisir risiko peningkatan bakteri yang resisten dan untuk menjaga efektivitas kegunaan beberapa antibiotika dalam pengobatan (Metzler et al. 2005). Selama beberapa dekade, peningkatan bakteri yang resisten terhadap antibiotika menimbulkan persoalan tentang penggunaan antibiotika, terkait dengan residu pada bahan pangan dan peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotika. Berbagai usaha terus dilakukan untuk mengawasi penggunaan antibiotika baik sebagai terapi maupun pemacu pertumbuhan (Reig dan Toldra 2008).
Metode Pengujian Residu Antibiotika Pengujian residu antibiotika dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari pengujian rapid test, screening test sampai uji konfirmasi. Beberapa pilihan rapid test diantaranya Premi® Test, Beta star, SNAP. Pemeriksaan residu dengan metode screening dapat dilakukan dengan menggunakan bioassay, ELISA, TLC. Sedangkan untuk uji konfirmasi digunakan HPLC atau HPLC/MS/M) (Nisha 2008).
Rapid Test Premi® Test (rapid test) merupakan alat yang dapat digunakan untuk uji screening golongan antibiotika secara umum yang terdapat di dalam daging (sapi, babi, unggas), ikan, telur, pakan, dan urin. Premi® Test menggunakan Bacillus stearothermophilus yang merupakan bakteri yang sensitif terhadap antibiotika
21
golongan beta laktam, tetrasiklin, makrolida dan sulfonamide. Premi® Test telah diakreditasi oleh AFNOR (asosiasi kenormalan Prancis). Validasi dilakukan dengan cara membandingkan Premi® Test dengan standar pengujian Prancis (uji empat cawan) dan protokol STAR (uji lima cawan) (Gaudin 2011).
Tabel 8 Limit deteksi Premi® Test (ppb) Daging ayam
Daging babi
Daging sapi
Telur
Urin
Madu
Amoksisilin
5
5
5
5
5
<12.5
Ampisilin
5
5
5
5
5
25
Penisilin
2.5
2.5
2.5
2.5
5
<12.5
Clortetrasiklin
100
100
100
600
50
80
Oxytetrasiklin
100
100
100
400
50
75
-
50
-
200
-
50
Gentamisin
100
100
100
100
100
-
Streptomisin
1500
1500
3000
1000
-
-
Neomisin
300
300
300
300
300
-
Tylosin
50
25-50
50
50
50
-
Erytromisin
100
100
100
50
100
-
Lincomisin
100
100
100
-
100
Substansi Beta laktam
Tetrasiklin
Tetrasiklin Aminolikosida
Makrolida
Sumber : R-biopharm 2010
Hasil uji dapat diperoleh dalam waktu kurang dari 4 jam. Prinsip kerja dari Premi®
Test
ini
adalah
kemampuan
menghambat
bakteri
Bacillus
stearothermophilus yang sensitif terhadap antibiotika dan komponen sulfa. Alat ini mudah diaplikasikan dan mudah digunakan sebagai uji screening oleh peternak, petugas rumah potong hewan, pengolah daging dan lain-lain. Dibandingkan dengan meode konvensional, Premi® Test ini lebih efektif dan efisien.
22
Bioassay (Uji Tapis) Bioassay merupakan suatu pengujian menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif. Uji tapis dengan menggunakan bioassay pada daging, telur, dan susu dapat dilakukan untuk mendeteksi residu antibiotika golongan penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida. Prinsip pengujian ini adalah bahwa residu antibiotika akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan di sekitar kertas cakram. Untuk pengujian residu penisilin digunakan bakteri Bacillus stearothermophilus American Type Culture Collection (ATCC) 7953, untuk pengujian residu tetrasiklin digunakan Bacillus cereus ATCC 11778, untuk pengujian residu aminoglikosida digunakan Bacillus subtilis ATCC 6633, dan untuk pengujian residu makrolida digunakan Kocuria rizophila (Micrococcus luteus) ATCC 9341.
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu teknik kromatografi untuk zat cair yang biasanya disertai dengan tekanan tinggi. Kerja HPLC pada prinsipnya adalah pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya, alatnya terdiri dari kolom (sebagai fasa diam) dan larutan tertentu sebagai fasa geraknya. Perbedaan HPLC dengan kromatografi lainnya adalah HPLC menggunakan tekanan tinggi untuk mendorong fasa gerak. Campuran analit akan terpisah berdasarkan kepolarannya, dan kecepatannya untuk sampai ke detektor (waktu retensinya) akan berbeda, hal ini akan teramati pada spektrum yang puncak-puncaknya terpisah. Teknik ini sangat berguna untuk memisahkan beberapa senyawa sekaligus karena setiap senyawa mempunyai afinitas selektif antara fase diam tertentu dan fase gerak tertentu sehingga dapat diperoleh kromatogram yang memuat waktu tambat serta tinggi puncak suatu senyawa (Evans 2004).