II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi lokal dengan penampilan reprodusi yang tinggi. Sapi ini merupakan keturunan asli banteng (Bibos Banteng) dan telah mengalami proses domistikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia terutama di pulau Jawa, Bali dan Lombok. Hingga saat ini masih dijumpai banteng yang hidup liar di beberapa lokasi di pulau Jawa seperti di Ujung Kulon dan Bali yang menjadi pusat gen sapi tersebut (Nozawa, 1979). Sapi Bali juga dikenal dengan nama Bibos Javanicus, Blakely dan Bade diterjemahkan Srigandono dan Soedarso (1998) mengatakan bahwa sapi termasuk dalam filum chordata (hewan yang memiliki tulang belakang), kelas mamalia (menyusui), ordo artiodactil (berkuku atau berteracak genap), sub-ordo ruminansia (pemamah biak), family bovidae (tanduk berongga) dan genus bos (pemamah biak berkaki empat). Warna bulu akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimorphism-sex (Payne dan Rollinson, 1973). Pada saat masih ‘pedet’ bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina (Payne dan Rollinson, 1973). Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih, kulit berwarna putih 4
juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror), warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas atau bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga, kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan pengecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1% (Payne dan Rollinson, 1973). Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus halus jika ukuranya pendek dan mengkilat, ukuran badan sedang dan bentuk badan memanjang, kepala agak pendek dengan dahi datar, badan padat dengan dada yang dalam, tidak berpunuk seolah tidak bergelambir, kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau, pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor, cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak kebagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh kebagian dalam (Payne dan Rollinson, 1973). Keunggulan sapi Bali adalah subur (cepat berkembang biak / fertilitas tinggi), mudah beradaptasi dengan lingkunganya, dapat hidup dilahan kritis, mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan, persentase karkas yang tinggi, harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat (Andiwawan, 2010). Khusus sapi Bali Nusa Penida, bebas empat macam penyakit, yaitu jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (malignant catarrhal fever) (Andiwawan, 2010). Fertilitas sapi Bali berkisar 83-86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa (60 %), dengan karakteristik reproduktif yaitu: periode kebuntingan 280-294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56%, tingkat
5
kematian pasca kelahiran anak sapi hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, interval penyapihan antara 15,48 – 16,28 bulan (Ngadiyono, 2012).
2.2. Reproduksi Sapi Betina Reproduksi merupakan suatu proses yang berlangsung diatas keperluan dasar tubuhnya, artinya untuk kelangsungan proses tersebut dibutuhkan pakan dan gizi diatas kebutuhan dasar hidup pokok untuk bertahan hidup. Dengan demikian, maka pemenuhan pakan dan gizi yang memadai harus benar-benar diperhatikan agar kegiatan reproduksi dapat berjalan normal (Toelihere, 1997). Gambaran dari organ reproduksi hewan betina dan fungsi utamanya dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel . 2.1. Organ-organ Reproduksi hewan betina dan fungsi utamanya. No Organ Fungsi 1. Ovari - Produksi Oosit, produksi estrogen (folikel de graaf) produksi progestin 2. Oviduk - Transpor gamet (Spermatozoa dan Oosit) Tempat Fertilisasi 3. Uterus - Memper tahankan dan memelihara embrio 4. Cervik - Mencegah kontaminasi microbial masuk ke uterus 5. Vagina - Organ kopulasi - Tempat deposit semen selama kawin alam pada sapi - Saluran kelahiran 6. Vulva - Saluran Refroduksi bagian luar Sumber: (Proyek Pengembangan dan Penigkatan Produksi Peternakan Provinsi Riau, 2001). 1.
Ovarium adalah organ reproduksi primer pada sapi, penghasilan gamet betina (ovum) dan hormone kelamin betina (esterogen & progestin). Sapi pada setiap siklus estrusnya memperoduksi satu ovum (motoccus), sehinga normalnya sapi melahirkan anak setiap periode kebuntingan. Ovarium sapi berbentuk seperti almond dengan rata-rata berukuran 35 x 25 x 15 mm. ukuran tersebut bervariasi diantara ras sapi, pada ovarium yang aktif lebih besar dibandingkan dengan yang tidak aktif. Pada sapi berat ovarium 6
berkisar 10 sampai 20 gram. Tahap-tahap pemasakan berikutnya terjadi sampai terbentuknya sebuah ovum yang masak yang disebut dengan folikel de graaf (Blakely dan Bade, 1992). 2.
Oviduk dibagi dalam tiga bagian : infundibulum, ampulla dan isthmus. Pada sapi infundibulum terpisah dengan ovarium. Ampulla bergabung dengan isthmus pada ampullary isthmus junction yang merupakan tempat terjadinya fertilisasi.
3.
Uterus terdiri dari dua cornu uteri, corpus (body) dan cervix. Panjang uterus pada sapi bervariasi dari 35-50 cm. pungsi utamanya uterus adalah untuk mempertahankan dan memberi makanan pada embrio atau fetus. Tipe uterus pada sapi adalah biparlite (bicornuate uterus), yang ditandai dengan corpus uteri yang kecil/pendek (hanya sebelah anterior saluran cervix) dan cornu uteri yang panjang.
4.
Cervik ditandai dengan dinding yang tebal dengan lumen yang sempit. Saluran cervik pada sapi dikenal sebagian annularings (terdiri dari 4 ring). Panjang bervariasi dari 5-10 cm dengan diameter luar 2-5 cm. Cervix menutup rapat, kecuali selama estrus yang mana sedikit relaks (membuka) memungkinkan spermatozoa memasuki uterus. Leleran mukosa dari cervix keluar melalui vulva.
5.
Vagina berbentuk tubuler, berdinding tipis dan elastis. Panjang pada sapi antara 25-30 cm. pada perkawinan alami, semen dideposisikan kedalam anterior vagina dekat mulut cervix.
6.
Vulva adalah organ genitalia luar, terdiri dari festibulan dan labia. Pada bagian bawah dari vulva (kurang lebih 1 cm didalam vulva) terdapat klitoris yang mengandung jaringan erektil. 7
Salah satu faktor yang ikut menentukan dalam keberhasilan reproduksi disamping genetika dan tatalaksana pemeliharaan adalah pakan. Pada dasarnya pemberian pakan pada ternak sapi bertujuan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi (perkembangbiakan). Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan akan sejumlah zat-zat gizi dalam timbangan (rasio) tertentu yang harus disuplai untuk memenuhi proses-proses hidup saja, tanpa adanya suatu kegiatan produksi. Sedangkan kebutuhan berproduksi adalah kebutuhan akan sejumlah zat gizi untuk fungsi fisiologis tertentu seperti pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan tenaga kerja. Kebutuhan hidup pokok hanya tergantung pada berat badan, sedangkan kebutuhan zat gizi untuk berproduksi tergantung pada tingkat dan jenis produksinya. Kebutuhan untuk pertumbuhan dipengaruhi oleh besar kecepatan pertumbuhan, untuk kebuntingan tergantung pada umur dan lama kebuntingan, sedangkan untuk bekerja dipengaruhi oleh jenis dan lama pekerjaan (Dinas Peternakan Provinsi Riau, 1998).
2.3. Efisiensi Reproduksi Bearden dan Fuquay (1980) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha peternakan adalah manajemen reproduksi, antara lain menyangkut frekuensi ternak betina dapat beranak sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata dari proporsi ternak yang tidak mampu beranak. Hewan betina mampu menghasilkan anak hanya apabila dikawinkan dengan seekor hewan jantan yang menghasilkan spermatozoa yang selanjutnya dapat membuahi ovum
8
dan memulai proses yang berhubungan dengan konsepsi, implantasi, dan pertumbuhan janin (Feradis, 2010) Tingkat efisiensi reproduksi akan mempengaruhi perkembangan populasi ternak sapi pada suatu wilayah. Hal ini dapat diidentifikasi melalui aplikasi teknologi perkembangbiakan di wilayah tersebut apakah menggunakan kawin alam, Inseminasi Buatan atau teknologi lainnya (Besteri et al, 1999). Sistem pencernaan yang bagus dan teratur terhadap akseptor dan anak hasil IB ikut berperan dalam menentukan tingkat efisiensi refroduksi. Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa sistem pencatatan reproduksi terhadap sapisapi yang dimiliki peternak bila dilakukan dengan baik dapat dijadikan pertimbangan dalam meningkatkan efisiensi reproduksi. Toelihere (1993) menyatakan bahwa pencatatan diperlukan untuk mengetahui maju mundurnya program IB terhadap suatu individu atau kelompok ternak. Affandhy et al. (2003) menyatakan produtivitas sapi potong dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi, antara lain dengan meningkatkan kelahiran “pedet”, memperpendek jarak beranak, memperpanjang masa produksi dan mengoptimalkan pengelolaan program IB. Disebutkan oleh Jainudeen dan Hafez (1993) bahwa program IB, metode deteksi berahi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi reproduksi sebesar 50-90%. Ismaya (1999) menyatakan bahwa efisiensi reproduksi hasil program IB dapat diukur dari angka tidak kembali minta diinseminasi, angka kebuntingan inseminasi ke-1, dan angka kawin perkebuntingan. 2.3.1. Persentase ternak yang tidak berahi kembali (Non Return Rate) Akseptor yang tidak kembali berahi pada periode tertentu dianggap bunting. Evaluasi dengan cara ini merupakan cara yang paling cepat untuk mengukur 9
keberhasilan pelaksanaan IB dan dikenal dengan istilah Non Retun Rate yang disingkat dengan NRR (Tolihere, 1993). Salah satu ukuran yang sering dipakai ialah yang disebut Non retur rate (NRR) atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 atau 60 sampai 90 hari maka nilai-nilai ini disebut nilai NRR yang berpegang pada asumsi bahwa sapi-sapi yang tidak kembali minta kawin (nonreturn) adalah bunting (Toelihere, 1993). Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan kembalinya berahi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: kegagalan ovulasi, kegagalan pembuahan, kegagalan implantasi. Kembalinya berahi juga karena fertilisasi sapi betina yang rendah dan kualitas semen yang digunakan untuk IB juga rendah (Jainudeen dan Hafez, 1993). 2.3.2. Persentase Kebuntingan (Conception Rate) Persentase kebuntingan atau Conception rate (CR) merupakan salah satu ukuran keberhasilan dalam kegiatan pelaksanaan IB (Bearden dan Fuquay, 1980). Menurut Jainudin dan Hafez (1993) CR merupakan informasi beberapa persen sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama secara bersama-sama. Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa CR merupakan penghitungan jumlah sapi betina yang jelas dibuahi dan menjadi bunting pada inseminasi pertama. Conception Rate disebut juga dengan efisiensi pembuahan yang merupakan ukuran fertilitas sapi betina (Partodihardjo, 1992). 2.3.3. Kawin Per Kebuntingan (S/C) Tujuan perkawinan adalah untuk menghasilkan kebuntingan. Berhasil atau tidaknya perkawinan pada induk sapi untuk menghasilkan kebuntingan ditentukan oleh banyak hal, diantaranya kesuburan induk yang bersangkutan, pejantan yang 10
mengawini dan tata laksana perkawinan yang diterapkan oleh peternakan (Partodiharjo, 1992). Jumlah atau frekuensi kawin per kebuntingan dikenal dengan istilah “Service Per Conception” yang disingkat dengan S/C, merupakan salah satu ukuran efisiensi reproduksi induk sapi potong, sehingga penghitungan S/C pada kegiatan IB mutlak diperlukan (Toiliehere, 1993). Salisbury dan Van Demark (1985) S/C adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting.
2.4. Sinkronisasi Berahi Sinkronisasi berahi merupakan suatu cara untuk menimbulkan gejala berahi secara bersama-sama, atau dalam selang waktu yang pendek dan dapat diramalkan pada sekelompok hewan. Tujuan sinkronisasi berahi adalah untuk memanipulir proses reproduksi, sehingga hewan akan terinduksi berahi proses ovulasinya, dapat diinseminasi serentak dan dengan hasil fertilitas yang normal (Wenkoff, 1986). Penggunaan teknik sinkronisasi berahi akan mampu meningkatkan efisiensi
produksi
dan
reproduksi
kelompok
ternak,
disamping
juga
mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok (Wenkoff, 1986). Terdapat dua cara sinkronisasi berahi, yang pertama dengan melisiskan corpus luteum misalnya dengan prostaglandin dan yang kedua substitusi fungsi corpus luteum dengan progestagen. Lisisnya corpus luteum akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotrophin yang menyebabkan berahi dan timbulnya proses ovulasinya (Peters, 1986).
11
Substitusi corpus luteum dengan pemberian progesteron eksogen akan menyebabkan penekanan pembebasan hormon gonadotrophin dari pituitaria anterior. Penghentian pemberian progesteron eksogen ini akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotrophin secara tiba-tiba yang berakibat terjadinya berahi dan ovulasi serentak (Wenkoff, 1986). Penelitian tentang sinkronisasi estrus telah banyak dilakukan dengan menggunakan PGF2α yang dikombinasikan dengan hCG maupun meregresi hormon lainnya. Diharapkan dengan perlakuan ini dapat dicapainya onset estrus yang tepat, dimana saat ovulasi dapat diperhitungkan, kemudian melakukan inseminasi buatan, serta mendapatkan hasil yang lebih baik untuk persentase kebuntingan (Situmorang dan Sitepu, 1991). Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus estrus. Hari ke-0 merupakan hari pertama estrus. Pada hari ke-1 hormon estrogen mencapai puncaknya dan kemudian menurun, sedangkan level progesteron rendah karena corpus luteum belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam setelah akhir standing estrus. Corpus luteum terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7 dan pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, corpus luteum menghasilkan progesteron dalam level tinggi. Kirakira hari ke-16, prostaglandin dilepaskan dari uterus yang menyebabkan level progesteron menjadi turun. Ketika level progesteron menurun, level estrogen meningkat dan folikel baru mulai tumbuh. Estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-20 diikuti tingkah laku estrus pada hari ke-21. Pada saat ini siklus estrus kembali dimulai (Siregar dan Hamdan, 2007).
12
2.4.1. Prostaglandin (PGF2α) Prostaglandin pertama kali ditemukan oleh Von Euler pada tahun 1935 di dalam semen manusia dan diperkirakan merupakan zat yang dihasilkan oleh kelenjer
prostat
(Djojosoebagio,
1990).
Nalbandov
(1990)
menyataan
prostaglandin berperan dalam sinkronisasi estrus, meniadakan corpus luteum persisten dan induksi kelahiran. Sariubang dan Tambing (2006) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α untuk program sinkronisasi estrus ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki corpus luteum. Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan khusus (Solihati, 2005). Salah satu cara yang diterapkan untuk sinkronisasi estrus pada ternak sapi adalah menggunakan hormon luteotropik sintetik, seperti prostaglandin (PGF2α). Efektivitas preparat PGF2α terbukti dapat menimbulkan respon estrus sebesar 92.3% pada sapi Bali (Toelihere et al, 1990). Fungsi PGF2α adalah meregresi corpus luteum sehingga hanya efektif jika dilakukan pada fase luteal di saat corpus luteum telah berfungsi (Burhanuddin et al, 1992). Pada ternak sapi yang mempunyai siklus estrus normal, hormon PGF2α akan disekresikan oleh endometrium jika tidak terjadi fertilisasi setelah ovulasi untuk melisis sel-sel luteal penghasil hormon progesteron. Penurunan kadar progesteron akan memicu proses folikulogenesis atas peran hormon folikel stimulating hormon (FSH) yang diproduksi oleh hipofisa anterior (Hafez, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa folikulogenesis akan menyebabkan pertumbuhan folikel dan oosit yang pada
13
gilirannya akan dihasilkan hormon estrogen yang memicu munculnya estrus pada ternak sapi betina. Penggunaan hormon PGF2α harus tepat waktu dan tepat dosis agar didapatkan efek yang maksimal (Toelihere, 1985). Penggunaan hormon PGF2α pada awal atau akhir fase luteal akan menurunkan efektivitas kerja hormon tersebut. Demikian halnya dengan penggunaan hormon tersebut diluar fase luteal (fase folikuler) tidak dapat memberikan respon estrus pada ternak tersebut. Selain itu, dosis yang digunakan juga harus tepat agar bisa didapatkan hasil yang maksimal. Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan CL yaitu, 1) PGF2α langsung berpengaruh kepada hipofisis, 2) PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, 3) PGF2α langsung bekerja sebagai racun terhadap sel-sel CL, 4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada CL, dan. 5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005). PGF2α hanya efektif bila ada corpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dan siklus estrus (Solihati, 2005). 2.4.2. Human Chorionic Gonadotrophin (hCG) Human Chorionic Gonadotrophin (hCG) adalah hormon yang terdapat dalam darah maupun urin wanita hamil muda dan telah diketahui dihasilkan oleh placenta yang dapat berpungsi seperti LH untuk meningkatkan ovulasi pada ternak sapi (Situmorang, 2005). Rajamahendra dan Sianangama (1992) menyatakan bahwa peranan hCG adalah memperpanjang masa hidup corpus luteum, peningkatan sintesis progesteron oleh corpus luteum, induksi ovulasi pada keseluruhan siklus estrus, dan membantu pembentukan corpus luteum asesoris ketika diberikan pada awal fase luteal. Pemberian hCG bukan saja melalui 14
peningkatan persentase estrus, akan tetapi juga menyerempakkan ovulasi dan memperbaiki
kualitas
sel
telur
yang
terovulasi.
Keseragaman
ovulasi
memungkinkan untuk meningkatkan pembuahan khususnya dengan menggunakan semen, dimana daya hidup spermatozoanya yang terbatas pada saluran reproduksi betina (Situmorang dan Siregar, 1997). Hasil penelitian Situmorang dan Siregar (1997) menyatakan pemberian 500 IU hCG 24-48 jam setelah penyuntikan estrumate akan meningkatkan persentase kerbau yang menunjukkan gejala estrus dibandingkan dengan tanpa hCG. Pemberian hCG 42-47 jam setelah pemberian PGF2α mempercepat estrus dan ovulasi, sedangkan pemberian hCG 57-60 jam setelah PGF2α dapat lebih menyeragamkan waktu estrus dan ovulasi (Kaneda, 1981). Untuk mempercepat pelaksanaan sinkronisasi telah dikembangkan sistem sinkronisasi singkat. Sistem sinkronisasi singkat pada sapi dilakukan dengan penyuntikan prostaglandin F2α diikuti dengan human chorionic gonadotrophine (hCG) (Lopez-Gatius, 2000a). Perlakuan dengan hCG akan dapat menghasilkan ovulasi pada keseluruhan siklus berahi, sedangkan estrogen dapat menginduksi LH dan ovulasi (Lopez-Gatius, 2000b). Hormon hCG efektif pada fase folikuler, sedangkan pada ternak yang berada pada fase luteal, hCG akan menurunkan ovulation rate dan estradiol akan bertindak sebagai faktor luteolitik dan meningkatkan aktivitas folikulogenesis (Lopez-Gatius, 2000b). Peranan hCG pada ternak antara lain adalah memperpanjang masa hidup corpus luteum, peningkatan sintesis progesteron oleh corpus luteum, induksi ovulasi pada keseluruhan siklus berahi, dan membantu pembentukan corpus luteum asesoris ketika diberikan pada awal fase luteal (Rajamahendra dan Sianangama, 1992). Hormon hCG dapat dipakai untuk mengobati kesuburan pada 15
hewan
piaraan,
mengobati
gejala
sistik
ovaria,
menimbulkan
berahi,
menghilangkan nimpomania dan untuk merangsang ovulasi (Kaltenbach dan Dunn, 1993). Aktivitas LH yang dikandungannya menyebabkan hCG bersifat luteotropik dan memperpanjang fungsi corpus luteum beberapa hari, sehingga dapat meningkatkan angka kebuntingan (Rajamahendra dan Sianangama, 1992).
2.5. Inseminasi Buatan (IB) Toelihere (1993) menyatakan bahwa Inseminasi Buatan (IB) berasal dari kata artificial insemination (Inggris), kunstmatiga inseminatie (Belanda), insemination artificielle (Prancis), atau kunstliche besamung (Jerman). Artificial artinya tiruan atau buatan, sedangkan insemination berasal dari kata latin inseminates; ini artinya pemasukan, penyampaian atau deposisi, sedangkan semen adalah cairan yang mengandung sel-sel kelamin jantan yang diejakulasikan melalui penis pada waktu kopulasi atau penampungan. Jadi menurut defenisi, IB adalah pemasukan atau penyampaian semen kedalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia, jadi bukan secara alam, atau suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah dicairkan dan telah diperoses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat kehusus yang disebut insemination gun. Program IB merupakan program yang ampuh yang pernah diciptakan oleh manusia guna menigkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif maupun kualitatif (Toelihere, 1993). Feradis (2010) menambahkan praktek IB tidak hanya meliputi deposisi atau penyampaian semen ke dalam saluran betina, tetapi juga mencakup seleksi dan pemeliharaan pejantan; penampungan, penilaian, 16
pengenceran, penyimpanan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen; inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan betina; bimbingan dan penyuluhan pada peternakan. Alasan inilah orang lebih cenderung memakai istilah artificial breeding yang memberikan arti lebih luas. Tujuan IB adalah untuk mengupayakan tingkat fertilitas yang tinggi dan membuat program pengembangbiakan ternak yang dijamin yang menghasilkan ternak yang superrior. Fertilitas yang tinggi dan perkembangbiakan yang teratur adalah sarat bagi kelanjutan setiap peternakan. Keberhasilan program pemuliabiakan ternak hanya dapat dicapai dengan menekankan program seleksi terhadap keturunan hasil perkawinan. Partodihardjo (1987) menyatakan bahwa salah satu parameter keberhasilan teknilogi IB dilapangan adalah nilai Service Per Conception atau S/C. Nilai S/C adalah jumlah IB yang dilakukan (service) untuk menghasilkan satu kebuntingan (conceptin), selain itu keberhasilan IB juga ditentukan oleh sistem pencatatan (recording) terhadap aktivitas reproduksi ternak untuk mendukung manajemen perkawinan yang baik. 2.5.1. Sejarah Inseminasi Buatan (IB) Inseminasi buatan pada hewan peliharaan telah dilakukan sejak beberapa abad yang lampau. Seorang pangeran Arab yang berperan melawan pangeran lain (tetangganya) pada permulaan abad ke-14 dengan menggunakan tampon kapas, telah mencuri semen dari dalam vagina seekor betina musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang terkenal cepat larinya. Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina betinanya sendiri yang sedang berahi, dan ternya kuda betina tersebut menjadi bunting dan melahirkan anak yang cepat larinya (Toelihere, 1993). 17
Percobaan IB dilakukan pertama kali pada tahun 1780 oleh Larazo Spalanzani pada anjing. Inseminasi buatan dilakukan di Eropa pada peternakan kuda pada tahun 1890, namun angka konsepsinya masih rendah sehingga perkembangan IB timbul tenggelam. Prof. Hoffman dari Jerman Barat menyarankan IB dilakukan setelah kawin alam dengan cara setelah betina kawin alam lalu vaginanya dikuatkan dengan spekulum dan spermatozoanya diambil dengan spuit kemudian diencerkan dengan susu sapi kemudian disuntik kembali kepada betina tersebut. Tahun 1992, Sand dan Stribolt dari Denmark berhasil menigkatkan konsepsi dari delapan kuda betina. Begitu seterusnya sampai akhirnya IB digunakan secara serius dirusia oleh Prof. Elia I. Ivannoff yang menghasilkan 31 konsep pada 39 kuda betina di peternakan kuda kerajaan Rusia (Toelihere, 1993) Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Penggunaan teknologi IB dengan menggunakan semen beku telah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1972 dan Indonesia telah memproduksi semen beku sejak tahun 1976. Pusat produksi semen beku di Indonesia adalah BIB Lembang (Jawa Barat) dan BIB Singosari (Jawa Timur). 2.5.2. Teknik Inseminasi Buatan (IB) Toelihere (1993) menyatakan sebelum melaksanakan IB, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan mengenai kesehatan ternak secara umum dan kondisi alat kelamin betina. Harus diyakinkan bahwa sapi yang akan diinseminasi tidak dalam keadaan bunting. Karena sapi bunting juga sering menunjukan gejala-gejala berahi (meskipun palsu). Sapi yang menderita gejala nymphomania (memberi tanda-tanda mau kawin terus-menerus) juga harus menjadi perhatian. Pemeriksaan 18
juga dilakukan secara umum saja, yaitu dengan melihat (inspeksi) dan menyentuh (palpasi). Inseminasi buatan sapi umumnya menggunakan teknik rektovaginal dimana semen didepositkan di dua bagian yaitu uterus dan servik. Teknik ini menggunakan inseminasi gun yang dimasukkan kedalam alat reproduksi betina Inseminasi buatan adalah proses memasukan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu perkawinan alami. Potensi yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, serta menurunkan atau menghilangkan biaya investasi pengadaan dan pemeliharaan ternak pejantan. Apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez, 1993). Keuntungan dari inseminasi buatan mempertinggi kegunaan pejantanpejantan unggul, daya guna seekor pejantan yang secara genetik unggul dapat dimamfaatkan semaksimal mungkin, penggunaan IB sangat menghemat biaya disamping dapat menghindari bahaya dan menghemat tenaga pemeliharaan pejantan yang belum tentu merupakan pejantan terbaik untuk diternakkan, penularan penyakit dapat dicegah melalui Inseminasi Buatan. Kerugian dari Inseminasi Buatan kemungkinan dapat menjadi alat penyebar abnormalitas genetik seperti pada sapi, diantaranya cyistic ovary, persediaan pejantan unggul yang sangat terbatas, IB masih diragukan mamfaatnya dalam mengatasi semua infeksi atau abnormalitas saluran kelamin betina, IB tidak dapat digunakan dengan baik pada semua jenis hewan. 2.5.3. Deteksi Berahi Toelihere (1993) menyatakan deteksi berahi yang tepat adalah kunci utama keberhasilan IB, selanjutnya adalah kecepatan dan ketepatan pelayanan IB itu sendiri dilaksanakan. Deteksi berahi merupakan salah satu faktor yang 19
menentukan Non Return Rate (Rycorft dan Bean, 1991). Tanda-tanda berahi pada sapi betina: ternak gelisah, sering beteriak, suka menaiki dan dinaiki sesamanya, vulva: bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3 a dalam bahasa Jawa; abang, abuh, anget, atau 3 b dalam bahasa Sunda; beureum, bareuh, baseuh), dari vulva keluar lendir yang bening dan tidak bewarna dan nafsu makan berkurang. Tanda yang paling sederhana adalah apabila sapi betina sudah menaiki sapi lainya. Ada tiga tahap masa berahi, dan setiap tahap ada tanda-tanda sebagai berikut : 1. Berahi awal (˂6-10 jam) Sapi betina membaui sapi lainya, berusaha untuk menaiki sapi betina lainya, tetapi tidak mau dinaiki, vulva mulai membesar dan membengkak. Meletakkan dagunya pada bagian belakang betina lainnya. 2. Standing heat (˂18 jam) Sapi betina akan diam apabila dinaiki, lebih sering mengeluh, hold milk (menggosok-gosok bagian ambing), menggosok-gosok bagian belakang, terdapat lendir dibagian vulva dan ekor. 3. Akhir standing heat Sapi tidak akan diam bila dinaiki, membahui dan mengendus sapi lainya, banyak keluar lendir yang membasahi sekitar ekor dan tulang ekor. Pada sapi yang tidak bunting, satu siklus berahi yang normal terjadi setiap 18-24 hari. Peternakan dengan deteksi yang sempurna (excellent), rata-rata panjang siklus akan kurang dari 25 hari, jika bertambah diatas 30 hari, perlu perhatian mengenai deteksi berahi yang jelas, nutrisi rendah, dan penyakit. Sapi betina yang melebihi panjang siklus biasanya betina yang telah beranak atau adanya gangguan pada sistem reproduksinya (Toelihere, 1993). 20
Feradis (2010) menyatakan deteksi berahi adalah salah satu faktor yang sangat menentukan sukses atau tidaknya program IB pada ternak sapi. Gejalagejala berahi ini memang harus diperhatikan minimal tiga kali sehari oleh pemilik ternak. Jika tanda-tanda berahi sudah muncul maka pemilik ternak tersebut tidak boleh menunda melaporkan kepada petugas inseminator agar sapinya dapat memperoleh pelayanan IB tepat pada waktunya. Sapi dara pada umunya lebih mennunjukan gejala yang jelas dibandingkan sapi yang telah beranak.
21