7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi bali Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakkan (domestikasi) berabad-abad lamanya sekitar akhir abad ke-19. Hampir seluruh sapi di Indonesia merupakan turunan dari banteng ini setelah disilangkan dengan jenis sapi yang lainnya. Sapi bali terutama tersebar di daerah Bali dan tersebar di beberapa wilayah diantaranya Sulawesi, NTB dan NTT, karena secara murni diternakkan di Bali sejak awalnya, maka sapi jenis ini dinamakan sapi bali (Purnawan dan Saparinto, 2010). Kemampuan produksi sapi bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat - sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), dan sebagainya, maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval), persentase beranak, dan sebagainya. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi (Eko dan Subandriyo, 2004).
Gambar 2.1 Sapi Bali Sumber : Purnawan dan Saparinto (2010)
8
Keunggulan sapi
bali antara lain yaitu, memiliki daya tahan terhadap panas tinggi,
pertumbuhan tetap baik walaupun dengan pakan yang jelek, persentase karkas tinggi dan kualitas daging baik, reproduksi dapat beranak setiap tahun. Berikut disajikan tabel mengenai biological value dari daging sapi bali.
No.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Daging Sapi Bali Komposisi Kimia Daging Nilai
1. 2.
Kadar air Kadar protein
72.07-74.9 19.65-21.28
3.
Kadar lemak
2.01-6.86
4.
Kadar abu
1.17-1.78
Sumber : Eko dan Subandriyo (2004) 1.2 Karkas dan Daging Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 50 /Permentan/ OT.140/9/2011 BAB I Pasal 1 karkas adalah bagian dari tubuh sehat yang telah disembelih secara halal, dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih. Karkas sapi juga didefinisikan sebagai bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal, telah dikuliti, dikeluarkan jerohan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor, serta lemak yang berlebih (SNI 3932, 2008). Karkas tersusun atas kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan serta jenis geraknya (Soeparno, 2005). Definisi daging sedikit berbeda dengan definisi karkas. Definisi daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging variasi, berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan. Pengertian daging menurut Perda Bali No. 5 tahun 1974 adalah ternak potong yang telah disembelih atau bagian-bagiannya kecuali tanduk, kuku, dan kulit (kecuali kulit Babi). Menurut departemen perdagangan definisi daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir,
9 hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat saat dipotong. Pengertian daging menurut Soeparno (2005) adalah semua jaringan hewan dan semua hasil pengolahan jaringan ‐ jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan, serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Menurut Gustiani (2009) jaringan yang termasuk dalam pengertian hal ini adalah otot, otak, isi rongga dada dan isi rongga perut. Istilah otot dipergunakan pada waktu ternak masih hidup dan setelah ternak disembelih berubah menjadi daging. Daging terdiri atas 3 komponen utama, yaitu : jaringan otot, jaringan lemak, dan jaringan ikat. Jaringan otot merupakan jaringan yang mampu menjalankan kerja mekanik dengan jalan kontraksi dan relaksasi sel atau serabutnya. Jaringan otot ini berfungsi untuk menghasilkan gerakan. Sel-sel jaringan lainnya juga dapat bergerak akan tetapi gerakannya kurang terintegrasi. Hanya kumpulan sel yang yang mampu menciptakan gerakan kuat melalui proses kontraksi dengan gerakan searah dilaksanakan oleh otot (Delman dan Brown, 1992).
2.3 Biological Value Kualitas daging yang baik didukung oleh biological value/nilai hayati yang baik. Menurut Lawrie komposisi kimia daging, terdiri atas air 75%, protein 19%, lemak 2,5%, dan karbohidrat 2,3%. Biological value daging terdiri atas: kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, serta vitamin dan mineral. Biological value daging bervariasi tergantung pada spesies, pakan, umur dan jenis otot. Biological value daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi biological value daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, serta macam otot daging (Astawan, 2004).
Rata-rata biological value daging sapi yaitu protein bervariasi antara l6-22%, lemak 1,5-l3%,
10 senyawa nitrogen non protein l,5%, senyawa anorganik l%, karbohidrat 0,5%, dan air antara 65-80% (Soeparno, 2005). 2.3.1
Protein daging Daging merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki keistimewaan bila
dibandingkan dengan protein nabati, hal ini dikarenakan susunan asam aminonya lebih kompleks. Protein daging terdiri atas protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal non protein (Dalilah, 2006). Menurut Lawrie (2003) protein dalam daging dapat berkisar antara 16-22%. Menurut Nurwantoro dan Mulyani (2003), protein merupakan suatu persenyawaaan yang khas yang ditemukan dalam sel dan merupakan komponen besar dalam membran sel, dapat membentuk jaringan ikat misalnya kolagen dan elastin. Berdasarkan tingkat kelarutannya, protein daging dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu : 1. Protein miofibrilar (protein larut dalam garam) yang terdiri atas kontraktil (aktin dan miosin), pengatur (tropomiosin), dan sitoskeletal (konektin, titin, desmin, dll). Miosin sebagai filamen tebal, berupa fibrous berjumlah sekitar 55% dari protein miofibral dan aktin sebagai filamen tipis, berupa protein globular berjumlah sekitar 20% dari total protein miofibral. Selain itu adapun troponin dan tropomiosin sebagai protein pengatur dalam proses kontraksi otot. 2.
Protein sarkoplasmik (mudah larut dalam air atau buffer) yang terdiri atas mioglobin, hemoglobin, sitokrom, flavoprotein, serta berbagai macam enzim. Protein sarkoplasma berperan terhadap kualitas daging.
3. Protein jaringan ikat / stroma (secara komparatif tidak larut)
merupakan protein fibrous yang
berasosiasi dengan protein jaringan ikat. Protein stroma berupa kolagen dan elastin.
Protein, baik yang berasal dari hewani maupun nabati merupakan sumber gizi yang penting bagi proses kehidupan karena sangat erat hubungannya dengan zat gizi. Daging itu sendiri mengandung berbagai asam amino esensial maupun non-esensial. 2.3.2
Lemak daging
11
Lemak adalah suatu ester trigliserida (TG) dari gliserol dengan asam lemak terikat pada rantai utamanya. Asam lemak yang berikatan dengan trigliserida pada dasarnya merupakan rantai karbon (C) dengan gugus karboksil (COOH) pada salah satu ujungnya yang dapat bereaksi (berikatan) dengan molekul lain. Asam lemak digolongkan berdasarkan isomer geometric, panjang rantai karbon dan derajat kejenuhan. Berdasarkan derajat kejenuhan asam lemak terdiri atas asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh(tunggal dan jamak). Asam lemak jenuh meningkatkan kadar HDL atau kolestrol baik sedangkan asam lemak tidak jenuh menurunkan kadar HDL sehingga asam lemak jenuh lebih baik dibandingkan asam lemak tidak jenuh (Tuminah, 2009). Lemak merupakan komponen yang paling bervariasi, terutama dipengaruhi oleh pakan dan umur ternak serta merupakan komponen terpenting pada membran sel, cadangan energi dan penyusun hormon steroid. Berdasarkan lokasi distribusinya, lipid atau lemak dalam daging terdiri atas lemak intermuskuler, lemak intra muskuler, lemak dalam jaringan lemak (adiposa), lemak dalam jaringan saraf dan lemak di dalam darah. Lemak terdiri atas lemak netral, fosfolipid, asam-asam lemak dan komponen larut dalam lemak. Lemak sapi mengandung 0,1% kolesterol (Nurwantoro dan Mulyani, 2003). Dalam daging lemak akan berkorelasi negatif dengan kadar abu daging. Kadar lemak yang rendah pada daging, maka relatif mengandung mineral yang tinggi (Firdaus, 2005). Selain berbanding terbalik dengan kadar abu, kadar lemak juga akan berbanding terbalik dengan kadar air (Judge dkk., 1989). Hal yang perlu menjadi perhatian penting terkait lemak pada daging adalah marbling. Istilah marbling dalam kualitas daging erat kaitannya dengan lemak yang mampu meningkatkan citarasa daging. Marbling didefinisikan sebagai garis-garis tipis dan bintik-bintik lemak putih pada potongan daging. Marbling dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk jenis pakan, genetika, kondisi, dan lokasi tempat ternak tersebut berada. Pakan ternak yang kaya akan nutrisi menghasilkan marbling terbaik, dan sapi
12 yang dibesarkan dalam kondisi ideal sejak lahir cenderung memiliki marbling yang unggul. Lemak daging yang berasal dari sapi muda akan berwarna putih kekuningan, sedangkan lemak yang berasal dari sapi tua akan berwarna kekuningan. Marbling membuat asam lemak dalam daging sapi mengalami perubahan kimia yang kompleks bila terkena panas. Perubahan kimia tersebut berinteraksi dengan asam lemak, berkembang di daging, dan menimbulkan citarasa yang enak. Lemak tersebut juga memberikan aroma khas daging sapi ketika dimasak dan juiciness yang disebabkan oleh lemak yang meleleh di daging. 2.3.3
Kadar Abu Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam
bahan pangan tersebut. Kadar abu adalah sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan pangan dibakar sempurna di dalam tungku pengabuan. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang mudah menguap (Apriyantono dkk., 1989). Mineral atau kadar abu bahan pangan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau pembakaran yang merusak senyawa organik dan hanya tersisa mineral. Kadar abu daging sapi dapat ditentukan oleh bangsa sapi. Kadar abu bangsa sapi Bos taurus lebih tinggi dari kadar abu bangsa sapi Bos indicus. Faktor lingkungan terutama feed intake dan kandungan nutrisi bahan pakan juga menentukan kadar abu daging sapi (Amrih dan Kendriyanto, 2009). Jenis otot juga mempengaruhi kadar abu daging. Otot yang pergerakannya lbebih aktif jaringannya akan cenderung keras sehingga kadar abunya lebih tinggi bila dibandingkan dengan otot yang pergerakannya pasif yang jaringannya lunak, karena keberadaan mineral Ca pada jaringan keras sebanyak 90% sedangkan jaringan lunak sebanyak 10% (Sediaoetama, 2004). 2.3.4
Karbohidrat daging Karbohidrat dalam daging terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit kurang dari 1% berat
daging. Sebagian besar terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Glikogen juga terdapat di dalam hati. Glikogen merupakan karbohidrat utama pada jaringan hewan (daging) (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
13 2.3.5
Kadar air daging Air merupakan komponen terbesar dalam makanan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas
bahan pangan. Kemampuan menahan air menjadi faktor penting terutama pada daging yang akan digunakan dalam industri pangan. Daya ikat air daging adalah kemampuan protein daging mengikat air di dalam daging, sehingga daya ikat air ini dapat menggambarkan tingkat kerusakan protein daging. Kadar air juga berpengaruh terhadap daya tahan makanan terhadap serangan mikroba sehingga mempengaruhi daya simpannya. Air merupakan salah satu komponen essensial pada bahan pangan. Keberadaannya bisa terjadi sebagai komponen intraseluler atau ekstraseluler pada tumbuhan dan hewan, sebagai media pendispersi dalam beragam produk dan sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk tertentu seperti mentega atau margarin, serta sebagai komponen dalam jumlah kecil dalam hal-hal lain. Kadar air dalam bahan pangan merupakan jumlah air yang ada dalam bahan pangan, dimana kadar air dalam bahan pangan akan menentukan derajat kerusakan mutu bahan pangan tersebut (Winarno, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar air daging adalah spesies ternak, umur, jenis kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi bagian-bagian otot dalam tubuh (Romans dkk., 1994). Salah satu sifat fisik daging yang terkait dengan keberadaan air yaitu water holding capacity (WHC) dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai daya ikat air (DIA). WHC diartikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air selama adanya aplikasi eksternal seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau tekanan. Besar ataupun kecilnya WHC, akan berpengaruh terhadap warna (colour), tekstur, kekenyalan (firmness), kesan jus (juiciness) dan keempukan (tenderness) (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
14 2.4
Jenis Daging Pembagian lokasi atau bagian daging dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.2. Pembagian Lokasi Daging Sumber : Lembar Balai Informasi Pertanian DKI Jakarta (1993) Biological value daging, dapat dipengaruhi oleh lokasi atau jenis otot. Jenis otot yang berbeda mempunyai panjang sarkomer, sifat serabut dan fungsi yang berbeda . Adanya perbedaan ini dikarenakan adanya perubahan karakteristik struktural, fungsional dan metabolik diantara otot (Judge, dkk., 1989). Swatland (1984) mengklasifikasikan daging berdasarkan jenis ototnya, yaitu daging yang berasal dari otot yang bergerak aktif (Paha belakang) dan daging yang berasal dari otot yang bergerak pasif (Lamusir depan/Longissimus dorsi). Otot besar paha belakang umumnya memiliki keempukan daging yang lebih dibandingkan daging dari jenis otot yang otot lamusir depan (Soeparno, 2005). a)
Cube roll/lamusir depan/ lamusir depan Secara anatomi, lamusir depan diperoleh dari tulang rusuk ke-4 sampai dengan ke-8.
Komposisinyanya sekitar 1.7-2.8 dari berat karkas. Bila dipotong secara melintang model steak (Gambar 5), akan terlihat adanya butir-butir lemak intramuskuler (lemak dalam jaringan otot). Adanya lemak intramuskuler inilah yang membuat daging bagian ini terasa empuk (Bahar, 2003).
15
Gambar 2.3 Potongan Melintang Daging Bagian Lamusir Depan Sumber : Bahar,2003
b)
Paha belakang/Knuckle/Paha Belakang Komposisinya ± 3.3% dari berat karkas. Di Australia dikenal dengan nama knuckle dan di
Amerika dikenal dengan nama inside sedangkan di Indonesia dikenal dengan otot paha belakang atau bicep femoris. Daging bagian paha belakang, biasanya digunakan untuk membuat rendang, dendeng, oseng-oseng dan lain-lainnya. Bila diamati bagian daging bicep femoris ini dapat dibagi menjadi 3 bagian daging yaitu bicep femoris bagian atas (a), bicep femoris bagian tengah (b) dan bicep femoris bagian bawah (c) (Bahar, 2003).
Gambar 2.4 Potongan Daging Bagian Paha Belakang Sumber : Bahar, 2003
16
2.5
Metode Pengawetan Daging
Mempertahankan kualitas dan memperpanjang daya simpan daging dilakukan pengawetan dengan cara penambahan zat kimia, pendinginan dan pembekuan (Rahim, 2009). Penyimpanan daging pada suhu dingin, mempunyai pengaruh terhadap proses kimia, enzimatis dan mikroorganisme. Cold storage (suhu rendah) yaitu penyimpanan pada suhu dingin baik dalam kondisi suhu di bawah atau ataupun di atas titik beku air, walaupun yang umumnya digunakan adalah suhu refrigerasi atau suhu dingin (Suryo, 2005). Menurut Suardana dan Swacita (2009), faktor yang mempengaruhi lama simpan daging dingin, antara lain adalah jumlah mikrobial awal, temperatur dan kelembaban selama penyimpanan, ada/tidaknya pelindung (lemak atau kulit), spesies ternak dalam ruang pendingin dan tipe produk yang disimpan. Penyimpanan dingin biasanya diartikan sebagai penyimpanan pada suhu rendah dalam kisaran 10 sampai 40C, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum –20C dan 70 C bagi pertumbuhan organisme psikrofilik (Schweigert, 1991). Daging umumnya disimpan pada sushu dingin/chilled atau deep-frozen/dibekukan. Hal ini tergantung dari keinginann konsumen dan refrigerator apa yang digunakan.
Menurut
Agricultural Quality Standards of United State (2006), rentangan suhu pada penyimpanan dingin dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu chilled jika suhu internal produk tidak kurang dari -1 sampai 5°C atau tidak melebihi +7ºC, frozen jika suhu internal produk dipertahankan tidak melenihi 12ºC, deep-frozen jika suhu internal produk dipertahankan tidak melebihi -18°C.