6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sumber sapi bali murni di Indonesia adalah Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu tingkat kesuburan sangat tinggi, merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, persentase karkas tinggi, daging rendah lemak subkutan, heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi (Pane, 1990). Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang penting dan berperan dalam pengembangan industri ternak di Indonesia (Thalib, 2002). Santosa dan Harmadji (1990) menyatakan bahwa dalam rangka penyebaran dan perbaikan mutu genetik sapi lokal, sapi bali menjadi prioritas karena sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak selektif terhadap pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemilihan sapi bali sebagai bibit memberikan keuntungan dalam usaha meningkatkan populasi sapi di Indonesia, karena sapi bali mudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis (Mangkoewidjoyo, 1990).
7
2.2 Cacing pita (Taenia saginata) 2.2.1 Morfologi Taenia saginata Taksonomi dari Taenia saginata adalah sebagai berikut (Keas, 1999, Ideham dan Pusarawati, 2007): Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Animalia : Platyhelminthes : Cestoidea : Cyclophyllidea : Taeniidae : Taenia : saginata
Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas.
Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun
(Soedarto, 2008). Menurut CFSPH (2005), Taenia dapat hidup 5 sampai 20 tahun, bahkan lebih. Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Morfologi cacing Taenia saginata dapat dilihat pada gambar 2.1. Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo dan Margono, 2008). Segmen atau proglotid cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Proglotid matur mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Proglotid gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior proglotid. Uterus pada proglotid gravid berbentuk batang memanjang di
8
pertengahan proglotid, mempunyai 15–30 cabang di setiap sisinya.
Proglotid
gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap proglotid gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Proglotid gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan proglotid gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005). Menurut Zhongdao et al. (2009) ada sekitar 6 proglotid T. saginata yang masing-masing mengandung 80.000 – 100.000 telur keluar setiap hari melalui anus.
Gambar 2.1. Morfologi T. Saginata (Zhongdao et al., 2009)
2.2.2 Siklus hidup Taenia saginata Siklus hidup T. saginata dapat dilihat pada Gambar 2.2. Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata dan babi untuk T. solium). T. saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia ke manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan bisa
9
ditularkan secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain (Estuningsih, 2009). Di dalam usus manusia yang menderita taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila proglotid yang mengandung telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkosfer (telur yang mengandung larva). Larva onkosfer menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut Cysticercus (larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut C. bovis. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding C. bovis akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Proglotid gravid yang kaya telur infektif sewaktu-waktu dapat keluar bersama
feses
yang dapat
mencemari lingkungan (Dharmawan,
1995;
Estuningsih, 2009). Bila proglotid gravid dan/atau telur T. saginata ditelan oleh sapi, maka telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkosfer. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. T. saginata menjadi dewasa dalam waktu 10-12 minggu (OIE, 2005).
Sementara Zhongdao et al. (2009) menyebutkan setelah skoleks T.
10
saginata melekat pada mukosa, dalam waktu 3-3,5 bulan akan berkembang menjadi cacing pita dewasa. Proglotid T. saginata biasanya lebih aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari feses menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan atau pada rumput selama beberapa minggu/bulan (Estuningsih, 2009). Pada sapi (C. bovis) bisa mati dalam waktu beberapa minggu dan setelah 9 bulan akan mengalami kalsifikasi. Menurut Zhongdao et al. (2009), C. bovis dapat bertahan pada otot sapi 1 - 3 tahun dan dapat menginfeksi manusia jika manusia menelan daging mentah yang mengandung kista tersebut.
Gambar 2.2. Siklus hidup T. Saginata (Zhongdao et al., 2009)
2.2.3 Patogenesis Taenia saginata Infeksi T. saginata melalui oral karena memakan daging sapi yang mentah atau setengah matang dan mengandung larva C. bovis. Di dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gasterointestinal. Kebanyakan
11
penderita taeniasis tidak menunjukkan gejala atau kalau ada hanya berupa keluhan ringan. Hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang yang terinfeksi T. saginata adalah keluarnya potongan proglotid dari anus. Oleh karena proglotid T. saginata motil (bergerak aktif), penderita merasakan adanya rangsangan di sekitar anus seperti ada cacing yang bergerak (Wittner et al., 2011). Selanjutnya dinyatakan bahwa symptom lain yang dikaitkan dengan infeksi taeniasis adalah rasa sakit pada abdomen, nausea, kelemahan, hilangnya nafsu atau meningkatnya nafsu makan, sakit kepala, pusing, konstipasi, diare dan pruritis ani (Dharmawan, 1995; Wittner et al., 2011).
2.2.4 Prevalensi Taenia saginata Kejadian taeniasis paling tinggi di negara Afrika, Asia Tenggara dan negara-negara di Eropa Timur. Di Indonesia terdapat tiga provinsi yang berstatus endemis taeniasis/sistiserkosis yaitu Sumatera Utara, Papua dan Bali (Simanjunak et al., 1997; Margono et al., 2001; Ito et al., 2004). Kasus taeniasis juga pernah dilaporkan terjadi di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTT dan Kalimantan Barat. Indonesia termasuk daerah endemis taeniais.
Menurut Wandra et al.,
(2007) kasus taeniasis dilaporkan di empat kabupaten di Bali (Gianyar, Badung, Denpasar, Karangasem) sejak tahun 2002-2005. Dari 540 orang yang disurvei, prevalensi taeniasis T. saginata berkisar antara 1,1%-27,5%. Prevalensi taeniasis T. saginata meningkat secara drastis di Gianyar. Prevalensinya pada tahun 2002 (25,6%) dan tahun 2005 (23,8%), meningkat dibandingkan dengan hasil survei
12
sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan 1999 (1,3%) (Simanjuntak et al., 1997; Sutisna et al., 2000). Sementara itu, hasil survei yang dilakukan di Bali pada tahun 2002-2009, dilaporkan ada 80 kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2006; 2007; 2011).
2.3 Kista T. saginata (Cystisercus bovis) Cysticercus bovis adalah fase larva cestoda yang terdapat di dalam tubuh hospes perantara, disebut juga fase metacestoda. Larva ini terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung skoleks yang mengalami invaginasi, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih (Garcia et al., 2002; Soedarto, 2008; Zhongdao et al. 2009). Bentuk gelembung C. bovis bulat atau oval. Di sekeliling gelembung berbentuk jaringan ikat sebagai akibat reaksi hospes. Dalam waktu 6-8 minggu setelah infeksi, C. bovis sudah berbentuk sempurna (Dharmawan, 1995). Menurut Zhongdao et al. (2009) telur atau onkosfer dari T. saginata akan meninggalkan embriofor pada usus sapi lalu bermigrasi ke otot, kemudian dalam rentang waktu 60 - 70 hari akan berkembang menjadi larva yang disebut sistiserkus.
13
Gambar 2.3 Morfologi C. bovis (Dasanayake, 2011)
2.3.1 Prevalensi Cysticercus bovis Berdasarkan laporan dari Direktorat Kesehatan Hewan, prevalensi sistiserkosis pada sapi di 4 kabupaten di Bali (Badung, Gianjar, Klungkung dan Tabanan) tahun 1977 masing-masing adalah 3,3, 16,9, 1,2 dan 8,3% (Suroso et al., 2006).
Sistiserkosis pada sapi di Bali menurut laporan yang ada hanya
terlaporkan pada tahun1977- 1980 dan 1988, prevalensinya masing-masing adalah 0,31%
(100/32.199),
0,30%
(102/33.842),
1,51%
(476/31.586),
2,39%
(844/35.288) dan 1,93% (674/34.887) (Estuningsih, 2009).
2.3.2 Patogenesis dan Patofisiologis Sistiserkosis C. bovis hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan ditemukannya sedikit sel-sel mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya, C. bovis harus mampu hidup
14
dalam otot hospes selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.
Oleh
karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista, akan kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi tampak hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk sistiserkus yang lebih resisten (Wiria, 2008). Sistiserkus dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein (White, 1997 ; CFSPH, 2005). Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).