6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar yang ada dihutan zaman dahulu banyak diburu dan ditangkap kemudian dijinakkan. Banteng-banteng yang dipelihara tersebut kemudian menghasilkan keturunan, yang dalam beberapa generasi akhirnya menjadi “banteng jinak” yang disebut sapi bali (Guntoro, 2002). Adapun taksonomi sapi bali sebagai berikut (Purwantara et al., 2012) : Phylum
: Chordata
Sub-phylum : Vertebrata Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub-ordo
: Ruminantia
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Species
: Bos sondaicus
Sapi bali sebagai sapi asli Indonesia telah tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia dan disukai oleh peternak yang umumnya berskala usaha kecil. Sapi ini
mudah beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan yang ada dengan menampilkan performa produksi yang cukup bervariasi dan performa reproduksi yang tetap tinggi (Talib, 2002).
Selain itu sapi bali mampu
menghasilkan kualitas daging dan karkas yang baik. Dengan manajemen pemeliharaan yang baik, pertambahan berat badannya bisa mencapai 0,7 kg/hari (Antara dan Sweken, 2012). Keunggulan sapi bali yang lain adalah dapat hidup di lahan yang kritis dan dapat mengkonsumsi daun maupun rumput yang kering sebagai bahan makanan sehingga pada saat musim kemarau tidak menyulitkan peternak untuk menyediakan pakan (Leo et al , 2012). Saat ini peningkatan akan peternakan sapi bali di Indonesia semakin meningkat, karena semakin meningkatnya permintaan terhadap daging sapi bali (Talib et al., 2002). 2.2 Struktur histologi otot dan hati pada sapi bali 2.2.1 Struktur histologi otot pada sapi bali Otot merupakan bagian yang sangat penting pada tubuh setiap hewan. Otot sapi adalah sekumpulan jaringan otot yang diperoleh dari sapi yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan dan melekat pada kerangka (Suwiti, 2008). Barammamase (2013) menyatakan bahwa Otot tersusun atas serabut-serabut otot yang sejajar dan terikat bersama-sama oleh suatu jaringan ikat. Susunan otot dari serabut otot, bagian luar otot terbungkus oleh membran transparan yang disebut epimisium. Lapisan epimisium ini terdiri atas jaringan ikat yang berupa serabut-serabut kolagen dan elastin. Pada bagian dalam otot terdapat jaringan ikat yang membentuk sekat-sekat yang menyelubungi sekelompok serabut otot tersebut. Sekat-sekat tersebut adalah
7
perimicium yang banyak mengandung urat darah dan urat saraf. Masing-masing serabut otot dilindungi oleh sebuah membran jaringan ikat yang tipis. Struktur histologi otot sapi bali dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.1. Struktur histologi otot sapi bali (HE:450x). (a). Serabut otot membujur, (b). Serabut otot melintang, (c). Jaringan lemak, (d). Jaringan ikat. (Sumber : Suwiti., 2008)
Gambar 2.2. Struktur histologi otot sapi bali (HE:100x). (a). Epimisium, (b). Perimisium, (c). Endomisium. (Sumber : Suwiti., 2008)
8
2.2.2 Struktur histologi hati pada sapi bali Hati merupakan organ yang besar, sekitar 1,5% dari berat hidup sapi bali tersebut. Pada mamalia terletak di bagian anterior rongga visceral dan pada bagian posterior diafragma (Surinder et al., 2004). Hati terbagi menjadi beberapa lobus. Tiap lobus tersusun atas unit-unit kecil yang disebut lobulus yaitu susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral (Hanna et al., 2007). Hati memiliki bagian terkecil yang berfungsi untuk konjugasi bilirubin dan ekskresi keadaan saluran empedu yang disebut sel hati (hepatosit). Selain itu juga terdapat sel-sel epithelial dalam jumlah yang banyak dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya endotelium, sel Kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Fungsi sel kupffer adalah sebagai pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik, sedangkan fungsi sel stellata adalah untuk pembentukan kembali ekstraselular matriks. Setiap hepatosit berkontak langsung dengan darah dari dua sumber. Darah vena yang langsung datang dari saluran pecernaan dan darah arteri yang datang dari aorta. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar disebut sinusoid (Barammamase, 2013).
9
Struktur histologi hati sapi bali dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.3. Struktur histologi hati sapi bali. (a). Vena sentral, (b). Sinusoid, (c). Hepatosit/sel hepar. (Sumber : Akhtar, 1998).
2.3 Autolisis otot dan hati pada sapi bali Autolisis adalah fase yang terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis yang ditandai dengan daging/organ sangat lembek yang disebabkan karena aktivitas enzim yang semakin meningkat yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Akhtar, 1998). Untuk mengamati tingkat autolisis pada jaringan/organ perlu dilakukan segera setelah pemotongan hewan (Fearon dan Lilian, 1997). Autolisis yang terjadi pada otot dan hati merupakan pembusukan enzimatik. Autolisis secara enzimatik merupakan proses alami pada sel-sel organ/jaringan
hewan
setelah
penyembelihan.
Enzim
tersebut
memiliki
kemampuan untuk menggabungkan senyawa kimia dan senyawa organik lain sehingga bekerja sebagai katalis dan menimbulkan reaksi kimia yang
10
menyebabkan rusaknya sel-sel pada organ/jaringan tersebut. Autolisis yang terjadi pada organ/jaringan meliputi dua bagian yaitu proteolisis dan hidrolisis yang keduanya merupakan dekomposisi mikroba (Dave dan Ghaly, 2011). Ada perbedaan tingkat autolisis, dimana hati lebih cepat mengalami autolisis bila dibandingkan otot pada hewan sakit/mati pasca dinekropsi (Berata et al., 2013). Hogland dan Braid (1987) menyatakan bahwa autolisis disebabkan oleh aktivitas enzim dalam daging, aktivitas bakteri anaerob yang menghasilkan asam lemak dan asam laktat dan proteolisis oleh bakteri anaerob/anerob fakultatif. 2.4 Perbedaan autolisis dan nekrosis Autolisis merupakan proses mencerna sendiri oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh organ/jaringan setelah kematian sel. Terdapat variasi kecepatan pada tiap-tiap jaringan untuk proses autolisis akibat kandungan enzim proteolitiknya. Secara umum proses autolisis terjadi pada organ/jaringan setelah 6 jam hewan mati. Pada organ/jaringan hewan yang telah lebih dari 6 jam kematiannya, secara mikroskopis tampak sel-sel yang telah mengalami postmortum autolisis (PMA), sehingga jaringan dalam keadaan PMA sangat tidak dapat memberikan gambaran lesi untuk tujuan diagnostik penyakit (Berata et al., 2011). Berbeda halnya dengan nekrosis, dimana nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma (misalnya kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrim dan cidera mekanis). Kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya
11
respon peradangan dan sangat berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Stimulasi yang terlalu berat dan berlangsung lama serta melebihi kapasitas adaptif sel akan menyebabkan kematian sel dimana sel tidak mampu lagi mengompensasi perubahan yang terjadi (Krook dan Todd, 1989). Lugton dan Woolcot (2014) menyatakan bahwa sekelompok sel yang mengalami nekrosis dapat dikenali dengan adanya enzim-enzim lisis yang melarutkan berbagai unsur sel serta menimbulkan peradangan. Berata et al., (2011) menyatakan bahwa nekrosis juga dapat dibedakan dengan autolisis yaitu adanya sel-sel hidup di sekitar jaringan nekrosis sedangkan pada autolisis tidak terdapat sel-sel hidup di sekitar sel-sel mati. Pada nekrosis ,masih ada eritrosit di sekitar sel-sel mati sedangkan pada autolisis,
tampak
eritrosit telah mati karena hemolisis. Biasanya di sekitar organ/jaringan yang mengalami nekrosis selalu disertai sel-sel radang, karena sel-sel mati merupakan benda asing bagi tubuh, sedangkan pada autolisis tidak ditemukan zona radang.
12