6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar yang ada di hutan zaman dahulu banyak diburu dan ditangkap kemudian dijinakkan. Banteng-banteng yang dipelihara tersebut kemudian menghasilkan keturunan, yang dalam beberapa generasi akhirnya menjadi “banteng jinak” yang disebut sapi bali (Guntoro, 2002). Sapi bali jantan memiliki karakteristik dalam perubahan warna bulu. Warna bulu berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam saat sapi mencapai dewasa kelamin pada umur 1,5 tahun. Kemudian, perubahan warna menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. Kepala agak pendek dengan dahi datar. Badan padat dengan dada yang dalam. Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau. Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam
7
membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam (Wawang, 2010).
2.2 Taenia saginata Berikut Klasifikasi dari cacing pita Taenia saginata Kingdom
: Animalia
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Cestodes
Urutan
: Cyclophyllidea
Keluarga
: Taeniidae
Genus
: Taenia
Spesies
: Taenia saginata
(Soulsby, 1982).
2.2.1 Morfologi Cacing pita dewasa, hanya ditemukan pada manusia, dengan panjang berkisar 5,0-15,0 m. Pada skoleknya, T. saginata tidak memiliki rostellum atau kait, pada segmen gravid memiliki cabang uterus 15-30 buah pada setiap sisi dari cabang lateral, berbeda dengan T. solium yang memiliki cabang uterus hanya 7-12 buah pada setiap sisi dari cabang lateral (Urquhart, 1985).
8
Cysticercus bovis ditemukan pada sapi. Cysticercus bovis yang matang berwarna keabu-abuan putih, dengan diameter sekitar 1,0 cm dan diisi dengan cairan di mana scolex biasanya terlihat jelas. Seperti pada cacing pita dewasa ia tidak memiliki rostellum atau kait. Meskipun dapat terjadi di mana saja yaitu pada otot lurik, setidaknya dari sudut pandang pemeriksaan daging rutin, situs predileksinya adalah jantung, lidah dan masseter dan otot interkostal (Urquhart, 1985). Telur cacing T. saginata berbentuk bulat, memiliki ukuran 30-40 µm, kulit sangat tebal, halus, dengan garis-garis silang. Warna kulit kuning gelap kecoklatan, isi terang abu-abu. Berisi masa bulat bergranula yang diliputi dengan membran yang halus, dengan tiga pasang kait berbentuk lanset yang membias, kadang-kadang telur berada mengambang didalam kantung yang transparan (Soeharsono, 2002).
2.2.2 Siklus hidup Siklus hidup dan morfologi T. saginata dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Zhongdao et al., 2009). Sebuah segmen gravid T. saginata berisi kira-kira 100.000 buah telur. Pada saat segmen terlepas dari rangkaiannya, terdapat cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior segmen tersebut, terutama jika segmen berkontraksi pada saat bergerak. Telurtelur ini akan melekat pada rumput bersama dengan tinja, bila orang berdefekasi di padang rumput atau karena tinja yang hanyut dari sungai pada saat banjir. Sapi akan terinfeksi bila memakan rumput yang tercemar telur T. saginata. Telur yang
9
tertelan bersama rumput tersebut akan dicerna dan embrio heksakan akan menetas di dalam tubuh ternak. Embrio heksakan yang menetas di saluran pencernaan ternak akan menembus dinding usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung yang disebut Cysticercus bovis, yaitu larva T. saginata yang terbentuk setelah 12 sampai dengan 15 minggu (Totok, 2010). Cysticercus bovis
berpredileksi pada otot pipi, paha, punduk, jantung, lidah, diafragma,
jaringan lemak krongkongan, hati, paru-paru, kelenjar limfe (Cahyadi, 2011). Cacing gelembung yang ada di otot hewan ini termakan oleh manusia, karena proses pemasakan daging yang kurang matang, maka skoleknya akan keluar dari cacing gelembung dengan cara invaginasi. Skolek akan melekat pada mukosa usus halus. Cacing T. saginata dalam waktu 8-10 minggu akan menjadi dewasa. Telur dilepaskan bersama proglotid atau keluar sendiri melalui lubang uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara. Infeksi terjadi jika menelan larva bentuk infektif atau menelan telur (Totok, 2010).
10
Gambar 2.1. Siklus Hidup dan Morfologi T. saginata (Zhongdao et al., 2009).
2.2.3 Patogenesis dan Gejala Klinis Gejala klinis tergantung lokasi dari kista, jika kista kecil dan tidak menekan organ tidak terlihat gejala klinis. Dalam kondisi alami kehadiran Cysticercus bovis pada otot sapi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda klinis. Begitu juga yang terjadi pada anak sapi yang diinfeksi telur T. saginata tidak menunjukkan tanda-tanda klinis (Urquhart, 1985). Namun, menurut Ofukwu (2009) pada sapi yang terinfeksi Cysticercus bovis dapat menyebabkan kekakuan otot, lelah, gejala saraf, kondisi tubuh menurun dan berdampak buruk pada karkas. Otot akan mengalami reaksi jaringan seperti atrofi, nekrosis, dan fibrosis (Oryan et al., 1998).
11
Pada manusia penyakit ini disebut taeniasis. Manusia terinfeksi T. saginata bila memakan daging sapi yang kurang dimasak dan mengandung Cysticercus bovis. Ditandai dengan kelemahan, mual, sakit kepala, nafsu makan meningkat, penurunan berat badan, sakit perut obstruksi usus, syndrom gugup dan epilepsy (Ofukwu, 2009).
2.2.4 Epidemiologi Variasi prevalensi sistiserkosis di beberapa Negara disebabkan karena kebiasaan kebersihan, kualitas pemeriksaan daging dan kebiasaan makan (Cabaret et al., 2002). Penularan pada hewan terjadi karena kontaminasi makanan atau air oleh feses dari manusia yang terinfeksi (Abuseir et al., 2007). Survei epidemiologi pada Cysticercus bovis di Eropa melalui pemeriksaan daging, ditemukan prevalensinya 0,007% sampai 6,8% (Cabaret et al., 2002). Prevalensi Cysticercus bovis meningkat dari tahun 2005-2007 sebesar 0,015%-0,022% (Allepus et al., 2009). Rendahnya prevalensi ini disebabkan karena sistem pemeliharan sapi secara intensif dikandangkan, sehingga kontaminasi dari rumput oleh feses manusia dapat dihindari (Boone et al., 2007). Penelitian lain tentang kejadian Cysticercus bovis di Egypt melalui pemeriksaan daging sebesar 1,6% ditemukan pada otot jantung (Basem et al., 2009). Di Iran, pada 500 ekor sapi yang dipotong dilaporkan prevalensinya 3% dengan predileksi kista ditemukan pada otot lidah, otot pipi (masseter), otot jantung, otot tricep, diafragma, intercostae dan limfe ( Garedaghi et al., 2011). Variasi dari prevalensi yang dilaporkan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
12
perbedaan iklim, jumlah sampel yang diperiksa dan tindakan kontrol yang dilakukan pada masing-masing Negara. Faktor lain seperti perbedaan skill dan motivasi dari pemeriksaan daging, kecepatan aktivitas pemotongan dan fasilitas pemeriksaan daging (Garedaghi et al., 2011). Perbedaan hasil ini karena perbedaan lokasi penelitian, kebersihan perorangan, tingkat pendidikan dan program pemberantasan penyakit dari masing-masing lokasi.
2.2.5
Diagnosis Di setiap Negara memiliki peraturan individu yang berbeda mengenai
pemeriksaan karkas, tetapi predileksi Cysticercus bovis yang paling umum terdapat pada otot pipi, lidah, hati, diafragma , otot trisep dan otot-otot interkostal (Urquhart, 1985). Telur berbentuk bulat, dengan ukuran 30-40 µm, dan tertutup oleh cangkang yang tebal. Biasanya, proglotid berwarna kekuningan, menyerupai mie yang didalamnya mengandung telur. Proglotid juga dapat ditemukan di pakaian dalam, dan bisa muncul dari anus tanpa disadari oleh pasien. Dalam kebanyakan kasus, proglotid ditemukan sebagai segmen tunggal (Krauss, 2003). Pada T. saginata memiliki cabang uterus 15-30 buah pada setiap sisi dari batang sentral, berbeda dengan T. solium yang memiliki cabang uterus hanya 7-12 buah pada setiap sisi dari batang sentral (Urquhart, 1985).
13
2.3 Gambaran Sel Darah Merah pada Sapi Bali 2.3.1 Eritrosit Darah terdiri dari sel-sel yang terendam dalam cairan yang disebut plasma. Sebagian besar sel-sel darah berada di dalam pembuluh-pembuluh. Darah mempunyai beberapa fungsi yang penting untuk tubuh. Darah mengangkut zat-zat makanan dari alat pencernaan ke jaringan tubuh, hasil limbah metabolisme dari jaringan tubuh ke ginjal dan hormone dari kelenjar endokrin ke target organ tubuh, selanjutnya dikatakan bahwa darah juga berpartisipasi dalam pengaturan kondisi asam-basa, keseimbangan elektrolit dan temperature tubuh serta sebagai pertahanan suatu organisme terhadap penyakit (Yusuf, 2011). Sel darah merah atau yang juga disebut sebagai eritrosit berasal dari Bahasa Yunani, yaitu erythros berarti merah dan kytos yang berarti selubung/sel. Eritrosit merupakan sel darah yang tidak berinti, tidak punya organel seperti sel – sel lain, serta tidak dapat bergerak. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis, fosforilasi oksidatif sel, atau pembentukan protein. Eritrosit seolah – olah merupakan kantung hemoglobin (Kirana, 2012). 2.3.2 Total Eritrosit Eritrosit mengandung hemaglobin dan berfungsi sebagai transpor oksigen. Eritrosit berbentuk bikonkaf dengan lingkaran tepi tipis dan tebal ditengah, eritrosit kehilangan intinya sebelum masuk sirkulasi. Pembentukan sel darah merah (”erithropoiesis”) terjadi di sum-sum tulang. Pada fetus eritrosit dibentuk juga di dalam hati dan limpa. Eritrhopoiesis merupakan suatu proses yang kontinu dan sebanding dengan tingkat pengrusakan sel darah merah. Erithtopoiesis diatur
14
oleh mekanisme umpan balik dimana prosesnya dihambat oleh peningkatan level sel darah merah yang bersirkulasi dan dirangsang oleh anemia (Yusuf, 2011). Total eritrosit yang normal pada sapi adalah 5,0-10,0x106/µl (Dharmawan, 2002). Sedangkan pada sapi bali total eritrosit yang normal adalah 5,2x10 6/µl. Profil ini bila dikomparasi dengan profil darah sapi jenis lain misalnya Bos taurus yang memiliki total eritrosit 9,5x106/ µl. Namun demikian dalam hal ini bukan berarti profil eritrosit sapi bali menunjukkan anemia, melainkan memang secara fisiologis normal profil darah sapi bali lebih rendah dibanding jenis sapi Bos taurus (Siswanto,2011). 2.3.3 Hemoglobin(Hb) Hemoglobin (Hb) adalah suatu substansi protein dalam sel-sel darah merah yang terdiri dari zat besi, yang merupakan pembawa oksigen. Hemoglobin merupakan senyawa organik yang mengandung ferrum (zat besi) dan yang memberi warna merah pada eritrosit dalam darah. Hemoglobin berperan sangat penting dalam mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan. Hemoglobin adalah zat besi yang mengandung gabungan protein (heme + globin). Molekul hemoglobin terdiri dari satu molekul globin dihubungkan dengan empat molekul heme dan masing-masing dapat diputar mengikat empat molekul oksigen membentuk oksihemoglobin. Fungsi utama dari hemoglobin adalah sebagai transport oksigen dari paruparu ke jaringan dan sebaliknya membawa karbondioksida darah dan membantu regulasi asam-asam melalui CO2 dalam paru-paru serta buffer dari imidazole histidin hemoglobin . Hemoglobin juga berfungsi sebagai pigmen respiratoris darah dan
15
sebagai bagian dari system buffer intrinsik darah. Oksigen tersedia dan dibebaskan secara mudah oleh kandungan atom Fe dalam molekul hemoglobin sambil darah melintasi kapiler paru-paru (Yusuf, 2011). Gambaran kadar hemoglobin darah pada sapi adalah 8,0-15,0 gr/dl (Dharmawan, 2002). Sedangkan pada sapi bali menunjukkan 8,7 gr/dl, kadar hemoglobin darah sapi bali secara fisiologis lebih rendah dari pada kadar hemoglobin darah sapi Bos taurus yang memiliki kadar hemoglobin (Hb) 11,5 gr/dl, (Siswanto,2011).
2.3.4 Packed Cell Volume (hematokrit) Hematokrit atau volume eritrosit yang dimampatkan (packed cell volume, PCV) adalah persentase volume eritrosit dalam darah yang dimampatkan dengan cara diputar pada kecepatan tertentu dan dalam waktu tertentu. Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengatahui konsentrasi eritrosit dalam darah (Kumala, 2010). Persentase hematokrit sapi secara normal adalah 24- 46,0% (Dharmawan, 2002). Sedangkan PCV pada sapi bali adalah 29,2 % (Siswanto, 2011). Ini juga tidak berbeda nyata dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni dan Benni Matram 1983 (29 %), dan Utama dkk. 2001 (29 – 32,5%).
2.3.5 Indeks Eritrosit Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks korpuskuler. Indeks eritrosit terdiri
16
atas : isi/volume atau ukuran eritrosit (MCV : mean corpuscular volume atau volume eritrosit rata-rata), berat (MCH : mean corpuscular hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rata-rata), konsentrasi (MCHC : mean corpuscular hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata) (Riswanto, 2009). Rata-rata volume satu sel darah Merah (MCV) pada sapi secara normal adalah 40,0-60,0 fl dan rata-rata berat hemoglobin dalam tiap selnya (MCH) adalah 11,0-17,0 pg (Dharmawan, 2002). Rata-rata volume satu sel darah merah (MCV) pada sapi bali adalah 52 fl, rata-rata berat hemoglobin dalam tiap selnya (MCH) adalah 16.7 pg, dan rata-rata kadar hemoglobin di satiap selnya (MCHC) adalah 29.8 %/dl (Siswanto, 2011).
2.4 Anemia 2.4.1 Definisi Anemia bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala sebagai akibat adanya suatu proses penyakit. Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, atau kedua-duanya dalam sirkulasi darah. Tanda-tanda kloinik dari anemia dapat sama sekali tidak ada. Tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap merosotnya daya angkut oksigen dari darah sedemikian efisiennya sehingga tidak timbul symptom meskipun anemianya cukup berat. Umumnya gejala yang menyertai anemia adalah pucatnya membran mukosa konjungtiva maupun mulut, sesak nafas (dyspnea), dan denyut nadi yang cepat (tachicardia) (Dharmawan, 2002).
17
2.4.2 Klasifikasi Anemia Secara garis besar, dikemukakkan disini bahwa anemia berdasarkan sebab/etiologinya digolongkan menjadi dua yaitu: 1. Anemia regeneratif Anemia regeneratif dapat timbul karena perdarahan yang berlebihan atau karena destruksi darah. Bahaya perdarahan yang berlebihan tergantung dari : jumlah darah yang keluar, lokasi perdarahan, dan tipe perdarahan tersebut (eksternal atau internal). 2. Anemia non-regeneratif Pada anemia non-regeneratif terjadi karena penurunan produksi eritrosit.Anemia ini timbul akibat beberapa sebab, seperti nutrisi, penyakit ginjal kronis, infeksi dan kegagalan atau depresi sumsum tulang. Kasus anemia seperti ini sering merupakan akibat sekunder dari adanya penyakit lain (Dharmawan, 2002).
Pada
klasifikasi
anemia
menurut
morfologi,
mikro
dan
makro
menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar yaitu : 1. Anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah
18
akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. 2. Anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. 3. Anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital) (Ifan, 2010). Ada juga yang namanya anemia makrositik hipokromik yang disebabkan karena perdarahan luka atau adanya gangguan koagulasi darah, destruksi eritrosit secara masif (Dharmawan, 2002).
19
Pada Klasifikasi Anemia akibat Gangguan Eritropoieses dibagi menjadi empat yaitu :
1. Anemia defisiensi Besi : Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik hipokromik yang terjadi akibat defisiensi besi dalam gizi, atau hilangnya darah secara lambat dan kronik. Anemia defisiensi besi disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun yaitu kehilangan besi sebagai akibat dari perdarahan menahun yang dapat berasal dari saluran cerna. Kehilangan besi juga dapat disebabkan oleh faktor nutrisi. Perdarahan menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Apabila kekurangan besi berlanjut terus, maka cadangan besi menjadi kosong. Penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer.
Anemia
defisiensi
Fe
dicegah
dengan
memelihara
keseimbangan antara asupan Fe.
2. Anemia Megaloblastik Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan gangguan pada sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA, efek yang timbul adalah
20
pembesaran prekursor sel darah (megaloblas) di sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia. 3. Anemia Aplastik Sumsum
tulang
gagal
memproduksi
sel
darah
akibat
hiposelularitas, hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan racun, radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan defek pada perbaikan DNA serta gen. 4. Anemia Mieloptisik Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang oleh infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma, yang menyebabkan pelepasan eritroid pada tahap awal (Ifan, 2010).