BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak akhir abad ke-19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi bali. Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson dan Payne, 1993) sebagai berikut ; Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata, Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae, Genus : Bos, Species : Bos sondaicus. Ciri – ciri sapi bali yaitu berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk, kulitnya berwarna merah bata, cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam, kaki-kakinya ramping pada bagian bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin (Batan, 2001). Sapi bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat sapi bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai 140 cm. Sapi bali betina bertanduk dan berbulu warna merah bata kecuali bagian kaki dan
5
6
pantat. Dibandingkan dengan sapi bali jantan, sapi bali betina relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg (Darmaja, 1980).
2.2 Keragaman Genetik Genotipe hewan merupakan sebuah pendekatan yang berguna untuk menggambarkan prinsip-prinsip genetika dan penerapan langsung dalam hal pewarisan sifat. Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ditemukan seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Sifat-sifat ditemukan dalam keragaman genetik dalam spesies dan bangsa atau galur dalam masing-masing spesies. Genetika dipandang dari segi populasi, terutama frekuensi gen dengan efek yang diinginkan (Yuniarsih et al., 2011). Frekuensi gen merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan proporsi dari semua lokus untuk pasangan gen atau rangkaian alel ganda dalam suatu populasi. Frekuensi gen dari perbedaan-perbedaan itu sangat beragam dari bangsa-bangsa dan antar galur. Frekuensi gen yang timbul dipengaruhi oleh seleksi, mutasi gen, pencampuran dua populasi yang frekuensi gen berbeda, silang dalam (inbreeding), silang luar (outbreeding) dan genetic drift (Yuniarsih et al., 2011). Variasi genetik dapat muncul akibat adanya gen-gen dengan daerah penyandi dan bukan penyandi yang berbeda-beda akibat proses mutasi (Sofro, 1994). Semua variasi genetik yang alamiah didefinisikan sebagai perubahan dari sekuensing DNA. Perbedaan sekuensing menentukan alel dan lokasi gen pada
7
kromosom disebut lokus. Bila individu mempunyai alel yang sama pada pasangan kromosom individu tersebut disebut homozigot dan bila alelnya berbeda pada sekuensing DNA maka individu tersebut disebut heterozigot. Alel ditemukan berada pada lokus dan mempengaruhi genotipe dari lokus tersebut. Menurut Hartl dan Clark (1997) sebuah lokus yang polimorfik ditandai dengan salah satu frekuensi alel yang kurang dari 0,95. Eksperesi gen dapat mempengaruhi sifat yang muncul. Fenotipik yang muncul dapat dipengaruhi oleh variasi gen pada arah dan besar respon terhadap perubahan lingkungan (Noor, 2008). Fenotipik yang bersifat ekonomis merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor, 2008). Gen semacam ini disebut dengan gen mayor yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau quantitative traits loci (QTL). Gen mayor dapat digunakan sebagai kandidat dalam program Marker Assisted Selection (MAS) apabila gen tersebut mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif (Diyono, 2009).
2.3 Gen Bovine Growth Hormone Pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dada dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan
8
dikarakterisasikan oleh peningkatan ukuran dari sel individu (hypertrophy) sama seperti peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) (Aberle et al., 2001). Pertumbuhan dipengaruhi oleh bovine growth hormon (BGH) secara alami dihasilkan oleh somatotrof, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al. 2001). BGH merupakan hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) yang disusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen BGH (Gordon et al., 1983). Sekresi hormon pertumbuhan pada sapi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor ketinggian tempat pemeliharaan (Herd dan Sprott, 1986). Hal ini berkaitan dengan curah hujan, karakteristik lahan, suhu dan kelembaban yang berpengaruh terhadap nutrisi pada pakan ternak dimana pakan hijauan pada daerah yang curah hujannya tinggi mengandung nutrisi lebih baik daripada daerah dengan curah hujan yang rendah (Kadarsih, 2004). Dengan nutrisi yang baik akan semakin meningkatkan growth hormone releasing hormone (GHRH) yaitu IGF-1 dan ghrelin dimana merupakan penginduksi pelepasan hormon pertumbuhan (Kojima et al., 2001). Perbedaan vegetasi dan kondisi geografis dapat berpengaruh terhadap kadar hormon pertumbuhan sapi bali, dimana suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ternak menjadi stres sehingga terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan (Milfa et al., 2015 ; Shimon et al., 1997). Hal ini terbukti dengan lebih rendahnya kadar hormone pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida dibandingkan dengan kadar hormon sapi bali yang dipelihara di wilayah lainnya di Bali (Suwiti et al., 2014).
9
Gen Bovine Growth Hormone (BGH) adalah gen yang menyandi hormon pertumbuhan (growth hormone) pada kelompok bovine. Gen BGH merupakan salah satu gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan dengan mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan. Fungsi dari gen BGH pada sapi menjadi hal yang penting dikarenakan gen BGH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi (Carnicella et al. 2003). Gen BGH memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak. Gen Bovine growth hormon (BGH) merupakan gen yang sangat mendasar dan berperan dalam pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada ternak (Sutarno, 1998). Gen BGH merupakan gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon imun (Granner, 2003). Selain itu, gen BGH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al., 1994). Gen BGH telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al., 1990). Sekuen gen ini terdiri dari sekitar 2856 bp yang terbagi dalam lima exon dan dipisahkan oleh 4 intron. Intron A, B, C dan D berturut-turut terdiri dari 248 bp, 227 bp, 227 bp dan 274 bp (Gordon et al., 1983).
10
Intron 4 1865 pb – 2137 pb
Exon 5 2138 pb – 2439 pb
2054 pb – 2074 pb
Flanking Region 3 2440 pb – 2856 pb
2437 pb – 2457 pb
Produk PCR 2457 pb – 2054 pb = 404 pb Gambar 5.1. Posisi primer depan, primer belakang dan produk PCR gen GH (Sari et al., 2012)
2.4 Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) Polymerase chain reaction (PCR) adalah satu dari teknik yang paling banyak diaplikasikan dalam biologi molekuler. PCR dikembangkan pertama kali pada tahun 1985 oleh Kary Mullis (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in-vitro. Teknik ini memungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui hanya di dalam tabung reaksi tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in-vivo). PCR dilandasi oleh struktur DNA. DNA merupakan double helix yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan anti-paralel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basabasa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfodiester (Lisdiyanti, 1997).
11
Lima bahan baku yang diperlukan untuk melakukan PCR adalah DNA template yaitu DNA tempat PCR dilakukan, primer, enzim taq polimerase, nukleotida (dNTP), dan bufer polimerase. Sampel target merupakan DNA yang ingin diamplifikasi. Primer merupakan untai DNA pendek yang menempel pada fragmen DNA target, serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Enzim taq polimerase berfungsi untuk replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu ditambahkan agar DNA polimerase dapat membentuk kompleks rantai baru yang komplementer. Reaksi PCR membutuhkan suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook et al., 1989). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) merupakan suatu teknik pengembangan dari PCR yang menganalisis variasi pada sekuen DNA homolog. Hal ini mengacu pada lokasi situs enzim restriksi yang berbeda antar sampel molekul DNA homolog. Pada analisis RFLP, sampel DNA terpisah menjadi potongan-potongan dan selanjutnya dicerna oleh enzim restriksi kemudian fragmen restriksi yang dihasilkan dipisahkan menurut panjangnya dengan gel elektroforesis. Tahapan RFLP meliputi 4 tahap yaitu isolasi DNA, pemotongan DNA dengan enzim restriksi endonuklease, elektroforesis hasil pemotongan DNA dan southern blot (Fanani, 2011). Pada prinsipnya RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (insersi),
12
penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Metode RFLP telah diterapkan untuk mendeteksi Quantitative Traits Loci (QTL) pada ternak. Pendeteksian RFLP telah dikembangkan dan digunakan untuk studi linkage pada ternak seperti sapi, ayam dan babi. Pendeteksian RFLP dilakukan pada sekuen DNA yang telah diketahui fungsinya, misalnya gen (penyandi protein), dan juga pada sekuen DNA yang belum jelas fungsinya (Montgomery dan Kinghorn, 1997). Menurut Suryanto (2003), PCR-RFLP digunakan untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme dengan menggunakan suatu enzim pemotong tertentu (enzim restriksi), karena sifatnya spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrangement dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang ukurannya berbeda dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa enzim yang digunakan untuk memotong pada reaksi PCR-RFLP diantaranya enzim HaeIII, MspI, Alu I, Rsa I, Taq I dan Hinf I (Jain, 2004).