BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia. Sapi bali merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) yang telah mengalami proses domestikasi sekitar 3.500 SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup liar di beberapa lokasi seperti Ujung Kulon, Pulau Jawa dan Pulau Bali (Antara, 2012). Sapi Bali sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia sejak lama dan mendominasi spesies sapi di Indonesia khususnya Indonesia Timur. Sapi bali merupakan hewan ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat petani di Bali. Sapi bali sudah dipelihara secara turun menurun oleh masyarakat petani Bali sejak zaman dahulu. Petani memelihara sapi bali untuk membajak sawah dan tegalan, untuk menghasilkan pupuk kandang yang berguna untuk mengembalikan kesuburan tanah pertanian. Petani menyukai sapi bali mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai feritilitas tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadap perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor (Duppa, 2010)
1
2
Suwiti et al. (2012) melakukan penelitian terhadap sapi bali dan ditemukan bahwa sapi bali yang di pelihara di Bali mengalami defisiensi mineral Zn, Mn, dan Cl. Defisiensi beberapa mineral tersebut disebabkan oleh ketersediaan sumber pakan yang miskin mineral dan tumbuh pada lahan/tanah yang ketersediaan mineralnya rendah. Sapi bali dengan defisiensi mineral baik makro maupun mikro dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan sistem dan fungsi immun pada sapi. Sumber pakan di Bali berdasarkan dataran yaitu dataran tinggidan dataran rendah mengandung 12 unsur mikro dan makro mineral yang diperlukan sapi bali, namun dengan kadar yang sangat rendah dan bervariasi. Kualitas lahan di Bali cukup sesuai untuk pengembangan pakan, namun unsur hara makro (K, Mg, dan Ca) tersedia cukup tinggi dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, dan Co) tersedia sangat rendah yang menjadikan kendala dalam pengembangan pakan ternak. Pada dataran tinggi unsur mikro yang diperlukan sapi bali tidak cukup terpenuhi karena pada dataran tinggi hanya dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering yang ditumbuhi tanaman tahunan, misalnya tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan. Sedangkan pada dataran rendah kandungan mineral dalam tanahnya cukup memenuhi kebutuhan sapi karena dataran rendah permukaan tanahnya rata, dibatasi oleh pematang, dan dapat ditanami padi, palawija, atau tanaman pangan lainnya dan rerumputan. Ternak sapi yang kekurangan asupan mineral yang berasal dari tanaman akan menimbulkan defisiensi mineral. Kejadian ini akan berakibat pada gangguan metabolisme sapi bali dan mempermudah munculnya penyakit (Suwiti et al.,2012).
3
Dengan adanya defisiensi mineral, beberapa peternak mengupayakan pemberian mineral untuk ternak seperti dicampur didalam pakan maupun digantung di pohon. Upaya pemberian mineral ini bertujuan agar kebutuhan mineral sapi terpenuhi dan sapi tidak mengalami gangguan pertumbuhan. Adanya penambahan mineral pada pakan ternak akan mempengaruhi komposisi pakan. Dengan perubahan komposisi pakan tersebut akan berakibat pada pertumbuhan bakteri yang ada di dalam saluran pencernaan (Besung, 2013). Di dalam rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya. Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi (Czerkawski, 1986). Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan serat, karena dia membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologinya. Kebalikannya protozoa diklasifikasikan berdasarkan morfologinya sebab mudah dilihat berdasarkan penyebaran silianya. Bakteri yang normal di saluran pencernaan adalah bakteri golongan Enterobacteriaceae seperti Escherichia coli, Proteus, Nitrobacter, Citrobacter, Shigella (Hungate, 1966). Beberapa jenis bakteri yang dilaporkan oleh Hungate (1966) adalah : (a) bakteri pencerna selulosa (Bakteroidessuccinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrifibriofibrisolvens), (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakteroides ruminocola, Ruminococcus sp), (c) bakteri pencerna pati (Bakteroides ammylophilus, Streptococcus bovis, Succinnimonas
4
amylolytica), (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus), (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Bakteri juga memerlukan mineral sebagai akseptor elektron dalam metabolisme glukosa dan gula lainnya. Beberapa akseptor elektron ekternal organik adalah asetaldehid, sitrat, fumarat dan gliserol (Salminen dan Wright, 1993). Beberapa mineral lainnya merupakan aktivator enzim untuk metabolisme mikroba seperti
,
,
, dan lainnya. Mikroba membutuhkan zat-zat
nutrisi untuk sintesa komponen sel dan menghasilkan energi. Unsur-unsur mikro seperti K, Ca, Mg, Cl, Fe, Mn, Co, Cu, Zn dan Mo diperlukan oleh hampir semua mikroba. Kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak ruminansia ditentukan oleh kandungan serat kasar pakan (faktor eksternal) dan aktivitas mikroba (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi dari kedua faktor tersebut. Menurut Arora (1995), mineral Zn memiliki peran penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba rumen. Suplementasi Zn dapat mempercepat sintesa protein oleh mikroba dengan melalui pengaktifan enzim-enzim mikroba. Zn diabsorbsi melalui permukaan mukosa jaringan rumen. Pada konsentrasi rendah (5-10μg/ml), Zn menstimulir pertumbuhan ciliata rumen. Selain itu Zn juga dapat langsung masuk ke dalam inti sel bakteri rumen dan memacu pertumbuhannya terutama bifido bakterium (Ogimoto dan Omai, 1981). Penambahan mineral akan berpengaruh terhadap komposisi pakan. Perubahan komposisi pakan akan berdampak pada komposisis bakteri yang ada di
5
dalam saluran pencernaan. Namun, sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya perubahan jumlah bakteri Escherichia coli dan coliform akibat penambahan mineral. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan : 1. Bagaimanakah pengaruh pemberian mineral terhadap jumlah bakteri E.coli pada sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dan dataran rendah ? 2. Bagaimanakah pengaruh pemberian mineral terhadap jumlah bakteri Coliform pada sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dan dataran rendah? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian mineral terhadap jumlah bakteri E.coli dan Coliform pada sapi bali di dataran tinggi dan dataran rendah. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada dinas terkait, masyarakat dan peneliti mengenai pengaruh pemberian mineral terhadap jumlah bakteri E.coli dan Coliform pada sapi bali di dataran tinggi dan dataran rendah. 1.5 Kerangka Konsep Peternak pada umumnya berusaha untuk meningkatkan berat badan ternaknya, namun tidak mengetahui komposisi pakan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan ternak. Bahan makanan yang diberikan haruslah mengandung nutrisi dengan jumlah dan rasio yang tepat. Pakan sapi bali pada umumnya berupa
6
hijauan yang kaya akan serat. Hal ini memungkinkan karena sapi termasuk ke dalam hewan ruminansia dengan sistem pencernaan khusus (rumen) dan dibantu oleh mikroba yang akan memecahkan selulosa yang banyak terkandung dalam bahan makanan menjadi bahan organik yang dapat diserap untuk menjadi energi (Puastuti, 2009). Sapi bali memerlukan mineral dalam jumlah yang sangat kecil, namun ketersediannya di dalam pakan sapi sangat diperlukan. Pemberian pakan yang tepat pada sapi bali dapat membantu kebutuhan mineral makro maupun mikro dalam tubuh sapi. Mineral yang dibutuhkan sapi bali adalah Ca, Mg, Na, K, P (Makromineral) dan Fe, Cu, Zn, Co, Mn, Se, Cl (Mikromineral). Sumber pakan di Bali berdasarkan 2 tipe dataran yaitu dataran tinggi dan dataran rendah mengandung ke 12 unsur mikro dan makro mineral yang diperlukan sapi bali, namun dengan kadar yang sangat rendah dan bervariasi. Pada dataran tinggi unsur mikro yang diperlukan sapi bali tidak cukup terpenuhi karena pada dataran tinggi hanya dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering yang ditumbuhi tanaman tahunan, misalnya tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan. Sedangkan pada dataran rendah kandungan mineral dalam tanahnya cukup memenuhi kebutuhan sapi karena dataran rendah permukaan tanahnya rata, dibatasi oleh pematang, dan dapat ditanami padi, palawija, atau tanaman pangan lainnya dan rerumputan. Ternak sapi yang kekurangan asupan mineral yang berasal dari tanaman akan menimbulkan defisiensi mineral. Kejadian ini akan berakibat pada gangguan metabolisme sapi bali dan mempermudah munculnya penyakit (Suwiti et al, 2012).
7
Pemberian mineral akan berdampak pada komposisi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sapi (Suwiti et al, 2012). Disamping menyebabkan pertumbuhan maksimal, penambahan mineral juga berdampak pada bakteri-bakteri yang ada secara normal di saluran pencernaan serta akan mengakibatkan perubahan aktivitas mikroba. Perubahan komposisi pakan pada saluran pencernaan akibat penambahan mineral ini akan berpengaruh terhadap bakteri Escherichia coli dan Coliform yang ada di saluran pencernaan sapi bali (Besung, 2013). 1.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : a) Pemberian mineral berpengaruh terhadap jumlah bakteri E.coli pada sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dan dataran rendah b) Pemberian mineral berpengaruh terhadap jumlah bakteri Coliform pada sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dan dataran rendah.