II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia. Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut. 1.
Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, dimana tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.
2.
Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat
diperlukan
terutama
kebijakan
deregulasi
untuk
menekan
biaya
produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3.
Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif.
Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. 1.
Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan.
2.
Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.
3.
Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agribisnis), dan dapat dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Dalam pengembangan peternakan sapi potong terdapat beberapa aspek
sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas
dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil industri sapi potong. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang (Santosa, 2000). Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan (Sugeng, 2001). Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk
menangani
berbagai
fungsi,
seperti
penimbangan,
pemeriksaan
dan
pengobatan sapi, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan pengembangan sapi potong adalah 1) sarana produksi, yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk pengamanan budi daya antara lain tersedianya poskeswan dan pos inseminasi buatan (IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4) untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5) untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan (permodalan), penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan pasar dan 6) untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan, listrik dan air. Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun penggemukan sapi (Sarwono dan Arianto, 2001), begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong (Hendratno dan Hendratno, 1991; Jamarun, 1991). Menurut Dinas Peternakan Sumbar (2000a), peternak sapi di Sumatera Barat umumnya mengusahakan ternak sapi potong melalui usaha sapi bibit (bakalan) dan usaha penggemukan. Usaha peternakan umumnya hampir merata di seluruh kabupaten dan kota, namun lebih terkonsentrasi pada kawasan sentra peternakan yang disebut Lumbung Ternak Nagari. Pembangunan lumbung ternak nagari ditetapkan atas empat kebijakan pokok (Dinas Peternakan Sumbar, 2002a) sebagai berikut.
1.
Pengembangan peternakan dilaksanakan pada kawasan sentra produksi peternakan,
2.
Pengembangan usaha kecil menengah, terutama pada akses permodalan dan pasar melalui peran pemerintah sebagai fasilitator,
3.
Pendekatan pelayanan publik oleh pemerintah harus menyediakan sarana dan sumber daya manusia sesuai kewenangannya,
4.
Penyerahan kewenangan kepada kabupaten/kota menyangkut aspek a) perizinan penanaman modal dalam negeri, b) kesehatan penyakit hewan menular, c) pengaturan pasokan dan permintaan, dan d) pelarangan dan pemusnahan bahan-bahan asal ternak yang masuk secara illegal. Salah satu kawasan sentra produksi (KSP) di Sumatera Barat, yaitu
Kabupaten Agam mengembangkan KSP dengan mengintegrasikan pengembangan budi daya tanaman pangan dengan peternakan (Madarisa, 2000). Pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Agam Sumatera Barat diperlukan strategi ekspansi dalam investasi dan memperkuat kelompok peternak sapi (Noer-TA, 2002). Strategi ekspansi dalam investasi yaitu pengembangan investasi dimana modal usaha yang ditanam dimanfaatkan untuk tujuan usaha peternakan yang produktif dengan pelaku atau kelembagaan yang berperan dalam ekspansi investasi tersebut adalah lembaga keuangan. Strategi memperkuat kelompok peternak sapi dilakukan agar usaha peternakan yang berbadan hukum dengan pelaku atau aktor yang berperan pengusaha swasta yang perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif. Promosi kawasan sebagai sentra sapi bibit dan sapi potong perlu dilakukan sesuai dengan karakteristik agar dapat menarik investor atau peran perantau untuk berinvestasi di kampung halaman. Kerjasama dengan investor atau pengusaha swasta diperlukan dalam mengembangkan agribisnis sapi potong melalui pola kemitraan. Peningkatan
jumlah
hasil
ternak
sapi
potong
dalam
pengembangan
peternakan seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas dari produk yang dihasilkannya. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB, 2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas, seperti kualitas dari daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997; 1999) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan.
Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta seratserat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging. Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan). Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil ternak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001). 2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Menurut Austin (1981), agroindustri adalah perusahaan yang mengolah bahanbahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan malalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi.
Pendistribusian
bertujuan
untuk
memindahkan
dan
memasarkan
(ekspor/impor) dari produk agroindustri yang dihasilkan. Pengembangan agroindustri yang pesat saat ini adalah untuk mempercepat memaksimalkan produksi hasil pertanian, meningkatkan mutu produk, dan mengamankan hasil pertanian (GumbiraSa’id dan Intan, 1996), sedangkan peningkatan ekspor dari ternak dan hasil ternak Indonesia yang terjadi belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena penerapan keamanan maksimum terhadap beberapa penyakit ternak dan Harmonized System dan Standard International Trade Classification (HS dan SITC) dari hasil ternak (Sudarjat, 2002).
Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan berbagai produk yang bermanfaat dapat makanan dan tidak bisa dimakan, seperti disajikan dalam pohon industri pada Gambar 1. Daging sapi dapat diolah menjadi daging lumat atau daging cincang, daging potong, diekstrak dan diawetkan menghasilkan berbagai jenis produk. Pengawetan daging dapat dilakukan dengan cara pendinginan (chilling), perawatan (curing), pengasapan (smoking), pengeringan (drying), pengalengan (canning), pembekuan (freezing), dan irradiasi (irradiation) (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]). Daging sapi lumat melalui proses curing dapat dijadikan bahan makanan, seperti bistik, sosis, corned, bakso, steak, nugget dan dikeringkan dapat menjadi abon dan dendeng giling. Daging sapi juga dapat diekstrak menjadi esense daging. Daging potongan melalui proses curing dapat diolah menjadi rendang, rawon, empal, sate, semur, sop dan daging curing, dan jika disayat tipis kemudian dikeringkan dapat menjadi dendeng sayat atau dendeng kering. Daging lumat setelah melalui proses curing, penyinaran irradiasi kemudian dikalengkan dapat menjadi daging corned, sedangkan melalui proses pengawetan dengan pengasapan dapat menjadi daging asap. Daging sapi juga dapat tahan lama apabila dibekukan menjadi daging beku (Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Astawan, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]). Daging, kulit dan bagian edible-offal (termasuk jeroan) dapat menghasilkan bahan makanan. Diantara produk olahan makanan hasil sapi potong adalah rendang. Rendang merupakan salah satu bahan makanan Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Saat ini rendang diprediksi telah berkembang menjadi menu makanan internasional di manca negara, seperti Malaysia, Eropa, Amerika Serikat dan Australia dan sangat strategis dikembangkan menjadi produk ekspor. Bahkan Malaysia telah mengekspor atas nama produk “Rendang Padang” (Uska, 2004). Rendang merupakan produk makanan olahan semi basah yang mengandung protein, mineral dan vitamin yang tinggi, tahan lama disimpan dan sangat populer di Indonesia, karena cocok bagi hampir semua lidah (Astawan, 2004a).
Daging
Pembekuan (freezing)
Daging beku
Daging kering
Pendinginan (chilling)
Pengeringan (drying)
Dendeng
Perawatan (curing)
Pengasapan (smoking)
Daging asap
Pelumatan (pulverize)
Daging lumat
Empal Rendang
Produk Utama
Steak/beef-steak Irradiasi (irradiation)
Kulit kalf
Kulit Jangat
Kulit lapis
Kulit potongan
Kulit samak berbulu Kulit awet
Corned
Tas
Kulit split
Pakan
Kulit samak
Pengalengan (canning)
Esense daging
Makanan basah
Wet blue
Kulit sol
Kulit berat
Harmes
Kulit afkir
Ban mesin
Sepatu Jaket Ikat pinggang Dompet
Kap lampu
Kulit perkamen
Wayang kulit
Kerupuk Kulit
Drum Rebana
Gelatin Tulang
Nugget Sosis
Makanan kering
Kulit
Abon
Sate
Ekstrak (extract)
Sapi Potong
Dendeng giling
Bakso
Sop
Produk samping
Dendeng ragi
Rawon Semur
Jeroan
Dendeng sayat/kering
Tepung tulang Ekstrak kalsium
Tanduk
Hiasan ukiran
Lemak
Limbah
Lidah
Makanan
Otak
Makanan
Darah
Tepung darah
Isi Rumen Kotoran
fats oils
Pupuk / kompos
Gambar 1. Pohon industri sapi potong (Judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008])
Rendang merupakan makanan siap saji, dapat lebih lama disimpan dan sangat steril bila dikemas dalam aluminium foil (Irawati, 2005). Rendang kemasan aluminium foil dapat disimpan selama satu setengah tahun melalui proses iradiasi atau penyinaran sinar gamma. Agar rendang dapat tahan lama dalam penyimpanan, proses penyinaran dilakukan di ruangan bersuhu minus 18oC selama dua malam, kemudian ditutup dalam dry-ice dan diselimuti aluminium foil selama 12 jam dalam suhu minus 79 oC. Produk olahan lain dari daging sapi dari Sumatera Barat yang telah diekspor adalah dendeng kering. Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging yang dikelompokkan sebagai daging curing dan merupakan produk bahan pangan semi basah dari Indonesia yang ditambah gula, garam dan rempah-rempah kemudian dijemur sampai kering (Margono et al., 2000; Hasbullah, 2001). Curing merupakan proses yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam dapur dan pengendalian aktivitas air. Prinsip pembuatan dendeng adalah substitusi air daging dengan bumbu pengawet. Untuk memperpanjang daya simpan, sebagian air bahan harus dihilangkan, misalnya melalui proses pengeringan (Purnomo, 1997). Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak, tetapi yang paling banyak dijumpai adalah dendeng sapi (Harris dan Karmas, 1989). Jeroan sapi dapat diolah menjadi berbagai bakan makanan kering dan makanan basah. Jeroan sapi diolah dapat dijadikan pakan sebagai bahan makanan bagi ternak (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005). Produk samping sapi potong berupa kulit dapat diolah menjadi kulit samak berbulu, kulit samak, kulit jangat dan gelatin. Kulit samak diolah melalui proses pengawetan dapat menjadi kulit awet dan kulit perkamen. Kulit awet dapat dijadikan sebagai kulit split, kulit kalf untuk kulit lapis bahan pembuatan tas, sepatu, ikat pinggang dan dompet, kulit potongan, wet blue, kulit afkir dan kulit berat untuk kulit sol, harmes dan ban mesin. Kulit perkamen dapat dijadikan kap lampu, wayang kulit dan rebana. Kulit jangat dapat diolah menjadi kerupuk kulit (Judoamidjojo, 1980; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005). Produk samping berupa tulang dan tanduk sapi dapat diolah menjadi tepung tulang, ekstrak kalsium, gelatin dan bahan hiasan dan ukiran. Lemak sapi dapat dijadikan fats dan oils. Darahnya dikeringkan dan dihaluskan dapat menjadi tepung darah dan lidah dan otaknya diolah menjadi bahan makanan, sedangkan limbah sapi potong berupa isi rumen dan kotoran dapat diolah menjadi kompos dan sebagai pupuk (Sugeng, 2001; Jaswir, 2007; www.IVS.org [29-07-2007] ; deptan.go.id [25-01-2008]).
2.3. Model Perencanaan Pengembangan Industri Perencanaan secara umum menurut Kunarjo (2002) adalah suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar domestik hasil ternak sapi potong perlu dilakukan perencanaan dalam penyiapan keputusan pengembangan agroindustri untuk masa yang akan datang, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap impor (Gumbira-Sa’id, 2000). Beberapa model perencanaan dan kelayakan pengembangan industri atau agroindustri secara agregat yang diidentifikasi, dikelompokkan ke dalam berbagai aspek, yaitu: 1) seleksi produk yang akan dikembangkan sesuai dengan permintaan pasar, 2) aspek pasar, 3) aspek teknis, yaitu penentuan lokasi, kapasitas produksi, dan perencanaan bahan baku, dan 4) aspek keuangan. Selain masalah teknis adalah kondisi pasar, pasokan bahan baku, biaya investasi, pertimbangan sisi kelayakan lingkungan dan sosial serta aspek lainnya seharusnya sudah ada, yaitu aspek legalitas/izin usaha, aspek tenaga kerja atau sumber daya manusia dan manajemen, aspek kelayakan ekonomis dan investasi, aspek pembiayaan serta dapat dilengkapi dengan penyelesaian (resolusi) konflik (Dekopin, 1999; Saragih, 2000; Sutojo, 2002; Yusdja dan Iqbal, 2002; Haming dan Basalamah, 2003; Umar, 2003; Unido, 1978; Clifton dan Fyffe, 1977; Austin, 1981; FAO, 1972; Husnan dan Suwarsono, 2000; Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, 2002 dan Sulistyadi, 2005). Kelayakan ekonomis dikaji untuk mendapatkan manfaat dan biaya terhadap perekonomian secara keseluruhannya. Manfaat (benefits) diklasifikasikan ke dalam direct benefits (manfaat langsung), indirect benefits (manfaat tidak langsung), dan intangible benefits (manfaat tidak kentara). Manfaat langsung, seperti kenaikan nilai hasil produksi dengan meningkatnya jumlah produksi atau meningkatnya mutu produk atau terjadinya penurunan biaya. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang ditimbulkan
secara
tidak
langsung
yang
merupakan
multiplier
effects
dari
pembangunan agroindustri, sedangkan manfaat tidak kentara adalah manfaat yang sukar diukur dengan uang, misalnya manfaat dalam perbaikan lingkungan hidup, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, sedangkan biaya diklasifikasikan menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung merupakan
semua
pengeluaran
langsung
untuk
keperluan
pengembangan
pembangunan agroindustri, seperti biaya investasi, biaya operasi, dan biaya pemeliharaan. Biaya tidak langsung merupakan biaya yang tidak kentara, seperti
terjadinya polusi udara, bising, dan perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat dalam pembangunan agroindustri (Nitisemito dan Burhan, 1995). Aspek kelayakan keuangan (finansial) meliputi sumber dan kebutuhan dana investasi, aliran kas, nilai bersih saat ini (Net Present Value) yang merupakan selisih antara capital inflow yang didiskonto pada tingkat bunga minimum atau pada tingkat cost of capital perusahaan dikurangi dengan nilai investasi. Tingkat pengembalian modal (Internal Rate Return-IRR) merupakan tingkat suku bunga yang akan disamakan terhadap present value cash inflow dengan jumlah investasi dari pembangunan yang sedang dinilai. Tahun kembali modal (Pay Back Period-PBP) merupakan penentuan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan initial investmen dari pembangunan agroindustri berdasarkan penggunaan cash inflow, dan nisbah biaya dan manfaat (Benefit Cost Ratio) (Gray et al. 1992; Haming dan Basalamah, 2003; Simarmata, 1984 dan Sutojo, 2002). 2.4.
Evaluasi Model Perencanaan Evaluasi dan pengendalian merupakan tahapan terakhir dalam suatu model
perencanaan yang dibangun. Menurut Nitisemito dan Burhan (1995) evaluasi dan studi
kelayakan
dari
suatu
gagasan/model
dapat
dijadikan
sebagai
bahan
pertimbangan untuk mengambil keputusan suatu model diteruskan (diterima) atau ditolak (diperbaiki). Evaluasi dapat dilaksanakan sebelum, pada saat atau setelah selesainya suatu program, proyek atau kegiatan. Sistem pakar dapat diterapkan dalam mengevaluasi suatu model perencanaan di bidang pertanian, industri, dan sebagainya yang bersifat cukup kompleks, tidak memiliki algoritma yang jelas dan membutuhkan kemampuan pakar untuk mencari sistematika penyelesaian secara evolutif. Penerapan sistem pakar dapat dilakukan dalam ruang lingkup permasalahan yang bersifat 1) analitik, yaitu penyelesaian masalah yang didasarkan atas kumpulan fakta (data) termasuk interpretasi dan diagnostik, yaitu menjalankan fungsi diagnosa komponen, telaah situasi dan identifikasi, 2) sintesis, yaitu pemecahan masalah yang dibatasi oleh sejumlah kendala dan pembatas, namun dalam interpretasinya menghasilkan rekomendasi yang telah digariskan sebelumnya, dan 3) integratif, yaitu penyelesaian masalah yang memadukan pendakatan analisis dengan sistem (Marimin, 2005). Komponen
basis
pengetahuan
dalam
sistem
pakar
selain
dapat
direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga direpresentasikan dengan pengetahuan dinamik (procedural knowledge), yaitu
representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknis berbasis kaidah/aturan (rule base) yaitu teknik pengembangan yang menggunakan pernyataanpernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan. Kaidah produksi digunakan untuk pengetahuan prosedural yang distrukturisasi ke dalam bentuk: Jika, suatu keadaan tertentu [kondisi], maka keadaan lain dapat terjadi [aksi] dengan tingkat kepastian (certainty factor) tertentu [CF] dengan nilai positif dan benar, agar pengguna tidak dapat memberikan nilai negatif dari suatu parameter saat pelacakan. Nilai CF ditentukan dengan pernyataan yang benilai benar, yaitu nilai CF lebih besar sama dengan 0,2. Jika pernyataan IF dari kaidah dikombinasikan dengan fungsi AND, maka nilai CF adalah nilai terkecil. Jika dikombinasikan dengan fungsi OR, maka nilai CF adalah yang terbesar (Kristanto, 2004; Arhami, 2005). Pengetahuan para pakar direpresentasikan dalam bentuk program komputer menggunakan rule base berdasarkan kriteria if, then dan else. 2.5. Penyelesaian (Resolusi) Konflik Pengembangan suatu industri pada daerah dan kawasan tertentu dapat memicu
terjadinya
permasalahan
yang
akhirnya
menimbulkan
konflik
antar
stakeholder. Salah satu penyelesaian permasalahan tersebut adalah melakukan stakeholder
dialogue.
Stakeholder
dialogue
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan dan mengatasi konflik melalui kompromi dan dilakukan dengan cara dialog dari pihak yang saling berperkara. Beberapa bentuk kesepakatan telah dicapai melalui pendekatan multy atribute utility dari persoalan perbedaan yang berakibat terjadinya konflik dari pihak yang berkepentingan (Tell, 1976; Sulistyadi, 2005). Multy atribute utility merupakan analisa biaya berdasarkan hypothetical compensation yang digunakan dalam menentukan nilai preferensi individual sosial (Turner et al, 1994). Nilai kesediaan satu individu untuk membayar kompensasi atas suatu usaha yang memberikan keuntungan kepada pihak lain yang mau menerima merupakan cara analisa manfaat dan biaya dari hypothetical compensation (Sulistyadi, 2005). Identifikasi perbedaan kepentingan dalam pembangunan suatu industri dari beberapa kegagalan yang terjadi dicarikan solusi penyelesaian melalui mediator untuk menciptakan kerjasama dari pihak yang bersengketa menggunakan sistem informasi yang menghubungkan kedua belah pihak untuk bernegosiasi (Indonesian Alternative Dispute Resolution Unit, 2000). Mediator adalah pihak ketiga, dapat melalui pemerintah atau agen yang ditunjuk secara resmi yang tidak memihak ke salah satu yang berperkara dan bersifat adil.
2.6. Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Skala usaha kecil berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI nomor 254/MPP/Kep/7/1997, yaitu nilai investasi yang dimiliki perusahaan seluruhnya mencapai Rp. 200 juta,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (Deperindag RI: http://www.dprid.go.id [26 Februari 2005]. Pembiayaan UMKM dalam penambahan modal kerja/investasi untuk mengembangkan usaha dapat melalui Kredit Usaha Kecil (KUK) dari perbankan. Menurut peraturan Bank Indonesia (BI) disempurnakan (http://www.bi.go.id) [26 Februari 2005], besarnya pemberian kredit melalui KUK minimal adalah Rp. 500 juta per nasabah. Istilah usaha kecil dan menengah (small and medium Enterprise; SME) menurut Bank Dunia dalam keputusan pemberian pinjaman adalah usaha kecil yang memiliki 50 orang tenaga kerja dengan total aset sampai dengan $ 3 juta dan total penjualannya mencapai $ 3 juta. Untuk usaha menengah memiliki tenaga kerja sebanyak 300 orang dengan total aset sampai dengan $ 15 juta dan total penjualannya mencapai $ 15 juta (http://www.wordbank.org) [26 Februari 2005]. Berbagai program peningkatan kemampuan permodalan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan sistem pinjaman/kredit berbunga pada perbankan konvensional, baik berbentuk kredit program (berbunga rendah), maupun kredit komersial. Terdapat pula alternatif lain dalam menunjang sistem pembiayaan UMKM, yakni pola bagi hasil melalui lembaga keuangan mikro syariah (Hendri, 2006). Sistem pembiayaan UMKM adalah pola bagi hasil (loss and profit sharing) yang merupakan nilai tradisional Indonesia yang dapat dikembangkan sebagai konsep dan sistem kelembagaan tradisional yang universal untuk menunjang (Darmansyah, 2005). Di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah. Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan sasiah, mampaduokan (sapaduo, saduoan, sapuduoan atau sapaduoan), mampatigoi (sapatigo), dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya (Rino, 2007; Nagara, 2008; Syahyuti, http://www.geocities.com [04-02-2008]. 2.7. Sistem Penunjang Keputusan Falsafah kesisteman telah banyak digunakan dan berkembang dengan pesat sebagai penyelesaian berbagai persoalan yang semakin kompleks. Menurut Marimin (2004) pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Eriyatno (2003) menyatakan pendekatan sistem diperlukan karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh dan sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Struktur sistem yang dibagi ke dalam input, proses, dan output saling berinteraksi dengan lingkungannya dan frekuensi interaksi di dalamnya yang terjadi merupakan suatu mekanisme umpan balik (Turban, 1990). Turban (1988) menyatakan, bahwa pada DSS terdapat beberapa komponen program, yaitu: 1) Dialogue Management, yaitu program yang mengelola tampilan layar yang menerima masukan (input) dari pengguna dan mengirim hasilnya (output) ke pengguna, 2) Data Management, yaitu sebagai penyimpan dan pengolah data dan informasi, 3) Model Management, yaitu suatu paket program yang berisi perhitungan finansial, statistik, model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang mempunyai kemampuan analisis, dan 4) Knowledge Management, yaitu pendapat ahli yang dimasukkan ke dalam sistem untuk memecahkan masalah terutama untuk sistem yang semi kompleks dan tidak terstruktur yang biasa digunakan untuk Expert System, namun dapat juga ditambahkan pada DSS. Sistem Penunjang Keputusan (decision support system, DSS) merupakan salah satu bagian dari pendekatan sistem (Turban, 1990). Pendekatan sistem pada manajemen dirancang untuk memanfaatkan analisis ilmiah pada permasalahan organisasi dengan tujuan untuk mengembangkan dan pengelolaan sistem operasi, dan perancangan sistem informasi dalam pengambilan keputusan (Suryadi dan Ramdhani,
2002).
Perkembangan
dari
sistem
pendukung
keputusan
pada
pembentukan dasar pendekatan sistem adalah gagasan pengotomatisan atau pemrograman keputusan. Gagasan dasar dan utama mengenai pendekatan sistem pada sistem pendukung keputusan adalah hubungan timbal balik antara data, model, dan keputusan yang dihasilkan. Model merupakan inti dari rancang bangun DSS, karena model dapat menghasilkan keputusan yang efektif bagi pengguna. Menurut Eriyatno (2003) model adalah ekspresi dari sebuah objek atau situasi aktual dunia. Model dapat melihat hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili beberapa aspek dari realitas yang sedang dikaji. Sistem berbasis komputer umumnya
menggunakan model matematika berupa persamaan, karena mudah dan cepat dimengerti, serta lebih tepat dalam pengolahan data dan informasi. Model dalam matematika umumnya dapat dibagi dua, yaitu model statik dan stokastik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu dan model dinamik yang mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model stokastik adalah model yang didasari pada teknik peluang dan perhitungan adanya ketidakmenentuan atau disebut juga model probalistik. Model kuantitatif yang tidak mempertimbangkan peluang kejadian dalam matematika disebut model deterministik. 2.8. Perkembangan Sistem Berbasis Komputer Perkembangan dan penggunaan komputer yang semakin pesat dan meluas, dipengaruhi oleh semakin banyaknya tekanan-tekanan dan permintaan dari para penggunanya. Penelitian dan pengembangan di bidang mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence machine) digunakan adalah untuk mempercepat kinerja dan pengembangan sistem informasi berbasis komputer dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan daya nalar dan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), seperti penerapan di laboratorium, pabrik-pabrik dan rumah tangga (Marimin, 2002). Penerapan komputer di laboratorium menurut Sailah et al. (1989) digunakan dalam perhitungan-perhitungan proses. Analisa numerik hasil kecerdasan buatan dalam pemrograman
komputer
pada
proses
pangan,
dimulai
dari hasil penelitian
laboratorium, kemudian mencari kondisi optimum sebagai acuan dalam suatu permodelan. Pemrograman komputer dalam analisa numerik tersebut hanya sebagai alat bantu dalam menyelesaikan perhitungan, karena salah satu tujuan dari kecerdasan buatan adalah merealisasi komputer yang memiliki kecerdasan seperti manusia untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi atau melakukan kegiatan yang memerlukan penalaran dinamik. Diantara bidang-bidang yang tercakup pada sistem informasi berbasis komputer dalam sistem penunjang keputusan (decision support system, DSS) adalah sistem pakar (expert system, ES). Menurut Marimin (2002) perkembangan expert system (sistem pakar) dihasilkan dari penelitian dalam bidang intelijen/kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Sistem pakar ditujukan untuk memenuhi keinginan kecanggihan komputer oleh pemakai untuk dapat mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan daya nalar atau kecerdasan buatan. Sistem pakar merupakan sistem komputer yang berbasis pengetahuan yang terpadu di dalam sistem informasi dasar
dan memiliki kemampuan memecahkan berbagai persoalan dalam bidang tertentu secara cerdas dan efektif, seperti layaknya seorang pakar (Marimin, 2005). Struktur dari sistem pakar pada prinsipnya tersusun atas beberapa komponen berikut: 1) fasilitas akuisisi pengetahuan, yaitu merupakan suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan yang digunakan oleh seorang ahli dalam menyelesaian masalah pada domain tertentu, 2) sistem berbasis pengetahuan, yaitu merupakan tempat penyimpanan pengetahuan yang diperlukan untuk mengerti, merumuskan dan menyelesaikan masalah, 3) mesin inferensi, yaitu suatu modul yang berisi strategi penalaran yang dipakai oleh pakar pada saat mengolah atau memanipulasi fakta atau aturan yang tugas utamanya adalah menguji fakta, kaidah dan fakta baru jika memungkinkan serta memutuskan perintah sesuai dengan hasil penalaran, 4) fasilitas untuk menjelaskan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (Marimin, 2007). Turban
dan
Aronson
(2001)
memperkenalkan
teknologi
pengambilan
keputusan selain algoritma genetik (genetic algoritms, GA) dan berbeda dengan pendekatan kualitatif (qualitative reasoning) lainnya dalam sistem intelijen/kecerdasan buatan dan aplikasi dalam dunia nyata, yakni teknologi pengambilan keputusan menggunakan logika fuzzy (fuzzy logic) atau gugus fuzzy. Alur penyelesaian dalam pencarian solusi dengan metoda fuzzy dari permasalahan nyata disajikan pada Gambar 2.
Permasalahan nyata
Representasi Natural
Fuzzifikasi
Komputasi Secara Fuzzy
Defuzzifikasi
Solusi
Gambar 2. Alur penyelesaian masalah dengan metoda fuzzy (Marimin, 2002)
Gugus fuzzy dapat mendefinisikan dan mengekspresikan dan menyelesaikan sifat kemenduaan (ambiguity) dalam bahasa sehari-hari, dimana logika biasa tidak dapat menyelesaikannya (Marimin, 2002). Gugus fuzzy merupakan perangkat yang tepat dalam mengekspresikan sifat kemenduaan dan merupakan media komunikasi yang dapat berbicara mengenai logika alami dan kompleksitas diantara manusia dan pengetahuan sosial. Sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik yang mempunyai kemampuan mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti, dan tidak tepat. Sistem tersebut menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy. Logika fuzzy digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran dan sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Gugus fuzzy didefinisikan
oleh Bojadziev dan
Bojadziev (1999) sebagai derajat elemen
keanggotaan dalam suatu gugus fungsi yang berada dalam suatu selang tertentu dalam batasan yang tidak jelas (fuzzy). Gugus fuzzy dan keanggotaan fuzzy yang digunakan dalam logika fuzzy diekspresikan dalam model verbal/kata-kata (tinggi, rendah, sedang, besar, kecil) seperti dalam hal keuntungan, investasi, biaya, penghasilan, usia dan sebagainya.