Se"unarNasional Peternakan don Verenner
1997
STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI KALIMANTAN SELATAN TARmmon Instalasi Penelilian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbam Jalan Panglinta BaturBarat 4, P.O. Box 18 & 31 Banjarbam 70700
RINGKASAN Produktivitas sapi potong di Kalimantan Selatan belum dapat memenuhi kebutuhan daging untuk masyarakatnya sehingga, masih didatangkan sapi potong dari luar Kalimantan Selatan . Sementara itu, lahan terlantar yang belum dimanfaatkan cukup Was dan sangat potensial untuk pengembangan ternak sapi potong . Kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong adalah skala usalia kecil, modal terbatas, keterampilan peternak rendah dan masalah penyakit yang muncul secara sporadis. Lahan sebagai basis ekologi dan lingkungan budidaya ternak masih didominasi tumbuhan semak-semak, alang-alang dan ntmput liar. Sedang untuk pengembangan sapi potong perlu upaya perbaikan pakan dengan penanaman ntmput unggul . Sembilan jenis rumput unggul diketalmi mampu tumbuh dan beradaptasi pada lahan marginal di Kalimantan Selatan dan empat diantaranya (Brachiaria decunibens, Benggala, Paspalum dan Brachiaria brizantha) dapat dikembangkan tanpa perlakuan khusus (input rendah) . Sapi potong menipakan komoditas unggulan Kalimantan Selatan yang pengembangannya diutamakan di daerah Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Banjar dan Tapin. Untuk itu, pada tahun 1997 ini pemerintah mengembangkan program SPAKU (Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan) sapi potong di Kabupaten Kotabaru dengan Bantuan Dana Inpres Dati Il untuk kelompok tani, penangkar bibit ternak serta program Gerbang Serba Bisa (Gerakan Pengembangan Sentra Baru Pembibitan Pedesaan) sapi potong di Kabupaten Tapin. Selain pendekatan teknis seperti perbaikan genetis dengan inseminasi buatan (IB), perbaikan pakan dengan penanaman nimput unggul dan pola sistim tiga strata (STS), serta pengendalian penyakit dengan program vaksinasi dan pemberian mineral block, strategi pengembangan sapi potong di Kalimantan Selatan harus dilakukan secara terpadu antar subsektor dan lintas sektoral dengan pendekatan agribisnis melalui pola kemitraan usaha sapi potong yang saling mengtmtungkan, antara pengusalia swasta, BUMN atau Koperasi (sebagai inti) dan peternak (sebagai plasma) . Kata kunci : Sapi potong, Kalimantan Selatan PENDAHULUAN Tantangan yang hants dijawab pada PJP II di Kalimantan Selatan antara lain adalah mengembangkan ternak potong menuju swasembada sapi potong. Kalimantan Selatan yang berpenduduk 2.900.400 jiwa (1995) mendatangkan sapi potong dari daerah lain dengan jumlah yang cukup besar, sekitar 7.000 ekor per tahun atau sepertiga dari kebutuhan ternak potong Propinsi Kalimantan Selatan . Kebijaksanaan pemerintah daerah yang ditempuh dalam pembangunan peternakan antara lain : pengembangan, penelitian dan penerapan IPTEK 234
Seminar Nasional Peternakan dan Meteriner 1997
petcrnakan sebagai upaya pencapaian tujuan clan perwujudan pengembangan agribisnis terpadu berkelanjutan melalui sumberdaya alam secara optimal (BAPPEDA, 1995) . Pembangunan peternakan pada hakekatnya menlpakan interaksi antara 4 (empat) variabel makro yaitu : (1) pcternak sebagai subyek pembangunan vang harus ditingkatkan pendapatan dan kesej alitcraannya, (2) ternak sebagai obyek yang hanis ditingkatkan produksi clan produktivitasnya. (3) lalian sebagai basis ekologi pendukung pakan clan lingkungan budidaya yang harus diamankan clan (4) teknologi sebagai suatu rekayasa (teknis dan sosioekononti) untuk mencapai lujuan (SOEIIADJI, 1994) . Potensi petcrnakan untuk ternak besar (sapi clan kerbau) yang terdapat di Kawasan Timur Indonesia (KTI) cukup besar, namun pola usahanya masili tradisonal dan memiliki kendala utama yaitu : skala usaha kecil, ketrampilan pcternak rendah, sumber perntodalan belum berkembang clan status padang penggcmbalaan yang belum jelas. Selain itu, usaha pcternakan juga mengitadapi kendala dalam penycdiaan pakan pada musim kemarau tcrutama pada wilayah-wilayah yang musim keringnya panjang (PSE, 1997a) . Menunlt SASTRADIPRADJA el al. (1981), add beberapa card yang dapat ditempuh dalam usaha pengadaan sumber hijauan pakan di guar Jawa clan Bali yakni I.
Penianfaman hutan sekunder/belukar yang banyak terbentuk akibat pentbabatan hutan secara resmi ataupun liar.
2.
Pengikut serman perkebunan-perkebunan besar dan
3.
Pengikut sertaan daerah-daerah transmigrasi .
WIRYODAIZN10DJO clan KESUNIAPUTRA (1981) mengemukakan, baltwa usaha penanantan nmput gajah di antara tanantan pokok hutan jati, maltoni maupun pinus dapat diusaltakan dan memberikan keuntungan ekonomis . Penanaman ntmput gajah di tanah hutan secara ekonomis tidak mentgikan penlsahaan, bahkan menguntungkan dan meningkatkan sumbangannya bagi kesejaltteraan masyarakat pada untumnya dan khususnya rakyat desa di sekitar 1nltan . Untuk mempercepat pembangunan di KTI ditempuh tiga aspek yaitu, penentuan kawasan andalan, pengembangan komoditas unggulan clan pentberian insentif. Salah satu kawasan andalan di Kalimantan Selatan adalah Kaxvasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batulicin dan sekitarnya (ALALA, 1996) . Kabupaten Kotabant yang luasnya 13.044,50 kni2 atau sepertiga Was Kalimantan Selatan dengan juntlah penduduk 325.165 jiwa atau dengan kepadatan 25 ji%va/kIu2 (talmn 1994), mempunyai sumber alam yang sangat besar yang dapat memberikan kontribusi yang besar untuk pembangunan nasional dan regional . Karena memiliki prasarana clan sarana seperti pelabuhan laut Batulicin clan lapangan terbang . Menunit AcIiMAD (1997) kawasan itti sangat potensial untuk dikembangkan, tenltama kegiatan yang bcrasal dari pertanian (perkebunan clan peternakan), pertambangan (batubara) dan kehutanan . Keistimewaan ternak ruminansia mampu mentbah bahan pakan yang relatif berkualitas rendah seperti nunput, limbali pertanian dan limbah agroindustri menjadi bahan berkualitas benlpa daging (ADNYANA et al., 1996). Dengan rencana pengembangan KAPET tersebut maka
23 5
,Netninarrvasionall'eternakan dan Velenner 1997
peluang usaha peternakan sapi polong cukup besar dan diharapkan banyak investor yang akan menanamkan modalnya . Makalah ini merupakan rangkuman hasil-hasil pengamatan, pengujian atau pemeriksaan yang dilaporkan oleh Dinas Peternakan Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan dan Instansi terkait serta hasil-hasil penelitian untuk dapat dijadikan bahan pemikiran dalam upaya pengembangan sapi potong. RANGKUMAN Pada Rapat Koordinasi Pcmbangunan Pcrtanian I (Rakorbanglan 1), bulan luli 1997 yang dihadiri para pejabat Kanwil Deptan, Dinas-dinas Tingkat I dan II, unit-unit pelaksana teknis fngkup Pertanian dan Instansi-instansi terkait lainnya, di Banjarban Kalimantan Selatan, telah disepakati bahwa : Sapi potong dijadikan komoditas yang diunggulkan pada subsektor peternakan, diikuti ayam buras, itik, kambing dan kerbau. Penentuan prioritas ini berdasarkan pada sumbangan dan bobotnya terhadap lima kriteria yakni : peningkatan pendapatan petani, penyerapan tenaga keda, swasembada pangan, peningkatan pendapatan ash daerah (PAD) dan penyerapan bahan ekspor. Secara nasional, pcta penvilayalian komoditas unggulan di Kalimantan adalah subsektor perkebunan dan tanaman pangan (PSE, 1997b). Meskipun secara nasional ternak tidak diunggulkan, akan lctapi lernak akan selalu terikut sebagai penunjang pada beniuk usaha tani terpadu karena daya komplementcr yang tinggi dan kemampuannya untuk mempertaliankan kelestarian alam cukup baik (SIREGAR et al., 1981). Dalam survei yang dilakukan JALDA (1995) terhadap petani transmigran di desa Jorong Alur Kabupatcn Tanah Laut dikemukakan bahwa, pemcliharaan ternak dan pengamman tanaman tahunan relatif menlnmtungkan dimana metode pertanian terpadu (kombinasi dari beberapa tanalnan dan peternakan dan lain lain) merupakan pemecahan yang paling baik untuk mengembangkan pertanian di lahan yang kurang subur . Untuk meningkatkan produksi sapi potong tidak ada cara lain yang lebih efektif dan efisien selain dari penggunaan masukan teknologi tinggi di bidang produksi seperti metoda Inseminasi Buatan (IB) dan alih janin (emhrvo transfer) . IB dengan menggunakan semen beku telah diterapkan pada sapi dan kerbau sejak talmn 1972 . Teknik IB ini untuk memanfaatkan pejantan unggid dan sangat Inelnungkinkan untuk diterapkan pada peternakan rakyat, sedangkan teknik alih janin masih terlalu mahal bagi peternak kecil. Menunlt Dro.u)stIBAGIG (1996) produktivitas seekor ternak merupakan suatu proses yang multi dimensional dan juga bersifat poligenik . Faktor-faktor yang mempenganlhi produktivitas adalah genetis, pakan, penyakit dan lingkungan Peningkatan mutu genetik
Pelkinganan dalam bidang populasi ternak meliputi Inanipulasi kuantitas, kualitas, distribusi dan kondisi-kondisi penunjang ternak tersebut. Untuk meningkatkan kuantims dan kualitias, pemerintah telah mengimpor sapi, mengeluarkan peraturan-peraturan yang melarang pemotongan hewan betina yang sedang berproduksi, melaksanakan program pencegahan penyakit menular dan menerapkan 1B pada lernak-ternak besar (DJGJGsl1BAG10, 1996) . Pada saat ini ternak sapi potong di Kalimantan Selatan telah berkembang di daerah-daerah dengan ekosistem lahan kering maupun lahan pasang surut . Sebagian besar pada lahan kering dan populasinya yang banyak terdapat pada Kabupatcn Tanah laut (49 .381 ekor), Banjar (23 .035 ekor), Tapin (22 .269 ekor) dan Kotabaru 236
SeminarNasional Peternakan dan Peteriner 1997
(22.236 ekor) seperti terliitat pada Tabel 1 dengan bangsa sapi terdiri dari perbaakan Ongole (PO), Bali, Madura, Sahiwal Cross dan Brahman Cross . Untuk peningkatan mutu genetik sapi di Kalimantan Selatan telah dilapokan kegiatan IB pada sapi-sapi rakyat. Target IB yang ditetapkan oleh Direktur Bina Produksi sebanyak 25.000 dosis (target nasional) namun realisasi fisik sampai akhir Maret 1996, hanya sebanyak 18.603 dosis. Realisasi pelaksanaan IB pada sapi yang terbanyak di Kabupatcn Tapin (4 .103 dosis), diikuti Kabupaten Tanah Laut (3.778 dosis), Banjar (2.385 dosis), HSU (2.374 dosis) dan sebagainya (Tabel 2) dengan conception rate rata-rata 56,37% dan service per conception 1,73 (DINAS PETERNAKAN PROPINSi KALimANTAN SELATAN, 1996). Jumlah kelahiran hasil IB pada Tabel 3 menunjukkan bahwa, jumlah anak sapi yang lahir yang telah dilaporkan relatif rendah . Kelahiran April 1995 sampai dengan Maret 1996, adalah sapi-sapi yang di IB pada bulan Juli 1994 sampai dengan Juni 1995. Apabila pelaksanaan IB sebesar 16.400 dosis, dengan service per conception rata-rata 1,73, maka kelahiran IB yang diharapkan sebanyak 9.479 ekor. Sedang yang dilaporkan baru mencapai 59,19% . Semen beku yang digunakan pada awal 1995 antara lain dari bangsa sapi Brahman, Ongole, Bali dan Madura . Salah satu keunggulan IB dibandingkan dengan kawin alani adalah perbaikan potensi genetik, sehingga turunannya lebilt baik. Hal ini karena semen-semen yang digtntakan dalam pelaksanaan 113 berasal dari pejantan-pejantan bangsa sapi pedaging yang telah tenlji keunggulan produktivitasnya (SIRECAR et al., 1995). Tabel 1.
Populasi sapi menurut Kabupaten/Kotamadya, pada taltun 1995
Kabupaten/Kodya Tanah Laut Kotabaru Banjar Tapin Barito Kuala Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Banjannasin Kalimantan Selatan Sumber :
Sapi (ekor) 49.381 22.236 23.035 22.269 3.760 5.105 7 .726 3 .710 13.813 7.989 159 .033
DINAS PETERNAKAN PROPNSI KALIMANfAN SELATAN, 1996
Penelitian mengenai hubungan bobot badan dan ukuran linier anak sapi hasil IB dilaporkan oleh SANTOSO et al. (1988) di daeralt Jawa Tengah dengan menggunakan semen beku jenis Brahman pada sapi induk PO. Dari hasil IB yang dilapokan selama lima taltun (1979 s/d 1985) dipcroleh angka konsepsi berkisar antara 43 - 56% dan angka kelahiran berkisar antara 19,1 34,7%. Hasil IB yang masih rendah perlu mendapat perhatian yang lebih serius untuk dikaji lebih lanjut, mengingat teknologi IB mcrupakan teknologi tepat guna yang secara langsung dapat menunjang program peningkatan produktivitas sapi lokal di pedesaan, terutama dalam pembentukan populasi dasar . 237
oeou nar iv usionat I'eternatcan aan veienner l YY i
Tabel2 .
Realisasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) talum 1995/1996, Service Per Conception (SC) dan Conception Rate (CR)
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabopaten
Tana11 Laut Banjar Tapin Holu Sungai Selatan Holu Sungai Tengah Holu Sungai Utara Tabalong Batola Kotabaru Kalimantan Selatan
Sumber :
3800 2100 3700 1900 2100 500 700 700 900 16.400
3 .778 2.385 4.103 2.103 2.374 484 1 .391 784 1 .190 18.603
C.R. (%)
S.C.
54,86 53,74 65,73 45,93 55,27 40,00 56,00 53,00 56,37 56,37
1,72 1,81 1,54 2,06 1,75 2.75 1,76 1,77 1,37 1,73
(°/t,)
Jomlah kelahiran hasil IB tahun anggaran 1994/1995
No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tanali Laut Banjar Tapin Holu Sungai Selatan Holu Sungai Tengah Holu Sungai Utara Barito Kuala Tabalong Kotabaru Jumlah :
Realisasi (Dosis)
DINAS PETERNAKAN PR (.)PINSI KALDAANTAN SELATAN, 1996
Tabel 3.
Sumber
Target (Dosis)
IB
Jumlah (ekor) 817 250 819 764 1 .022 175 150 237 355 5 .611
DINAS PETERNAKAN PROPINST KALMANTAN SELATAN, 1996
Perbaikan pakan ternak Produbsi rumput unggul Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan terbagi atas sepuluh daerah Tingkat 11 merupakan wilayah dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang ditumbuhi hutan serta padang alangalang. Sementara lahan-lahan kering yang merupakan 60,90% dari total luas lahan di Kaliarnantan Selatan, sebagian besar nlasill belum difnanfaatkan . Padahal area] tersebut sangat potensial bagi pengembangan ternak (Tim FAKIILTAs EKONOMI UNLAM, 1997) . 238
Seminar Nasional Perernakan dan Vereriner 1997
Tabel 4.
Luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan menurut jenis penggunaan tanah
Jenis Penggunaan Tanall
Luas (Ha)
Tanah Sawah Tanah Kering Hutan Negara Perkebunan Lain - Lain Kalimantan Selatan Sumber :
552 .866.00 1 .400.370.00 529 .594.00 286.411.00 929 .309.00 3.698.550.00
DINAS PERTANIAN TANAMAN PANaAN PRUPINSI KALIIAANTAN SELATAN, 1993
Menurut jenis penggunaannya terdapat 1 .400.370 Ha lahan kering (Tabel 4), di antaranya disediakan untuk padang nimput/penggembalaan seluas 141 .722 Ha (DtNAs PERTANiAN TANAMAN PANGAN PROPINSI KALwANTAN SELATAN, 1995). Padang penggembalaan yang dimaksud di sini adalah padang alang-alang yang tidak dimanfaatkan subsektor pertanian karena kesuburan tanah yang rendah (tandus), namun tanah kritis tersebut dapat dintanfaatkan sebagai media produksi pakan hijauan, untuk memperbaiki kualitas pakan . Menurut SLIHARSONO dan SOEDJANA (1996), pemanfaatan lahan terlantar di luar Jawa dengan menanami hijauan pakan ternak akan memperkuat sarana produksi dan budidaya ternak . Sedang DJAENUDIN et al. (1996) mengemukakan ballwa, keberhasilan pengembangan peternakan sangat ditentukan olell penyediaan pakan ternak . Tabel 5.
Produksi rata-rata bahan segar (Berat Basah) nlmput unggul (ton/ha/th) hasil monitoring BPT-HMT selama 3 tahun (1993-1996)
Jenis Rumput Raja BD Mexico Gajah Atratuln Paspalum Setaria Benggala BB Sumber :
BPT-HMT,
Produksi Per Taluln/Ha
Rata-rata
93-94 (ton)
94-95 (ton)
95-96 (ton)
(ton)
200,95 125,16 124,79 124,02 79,59 161,92 124,02 -
206,88 129,14 102,28 98,06 95,32 89,85 49,89 64,33 74,54
160,20 139,40 84,40 80,20 105,90 131,80 82,30 88,70 70,70
189,34 131,23 103,82 100,76 100,61 100,40 93,04 92,35 73,15
Kalimantan Selatan,
1993-1996
Uji coba yang dilakukan oleh Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPTHMT) Pleihari terhadap 23 jenis HMT di lokasi BPT-HMT dan di luar BPT-HMT menunjukkan bahwa, hanya sembilan jenis yang mempunyai daya adaptasi baik pada lallan kritis. 239
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
Pada Tabel 5, tercantum hasil produksi sembilan jenis rumput unggul selama tiga tahun (1993 - 1996) . Produksi tertinggi dicapai oleh rumput raja dengan rata-rata berat basah 189,34 ton/ha/th diikuti Brachiaria decumbens (BD) dengan produksi rata-rata 131,23 ton/ha/th . Selanjutnya rumput Mexico, Gajah, Atratum dan Paspalum dengan produksi masing-masing sekitar 100 ton/ha/th . Sedang rumput Setaria, Benggala dan Brachiaria bizantha (BB) produksi di bawah 100 ton/ha/th . Rumput-rumput unggul tersebut sudah dikenal oleh para peternak dan empat diantaranya (rumput BD, Benggala, Paspalum plicatulunt dan Brachiaria brizaniha) tidak memerlukan perlakuan khusus (input rendah) . Sehingga perlakuan khusus diharapkan peternak bersedia mengembangkan rumput unggul tersebut. Sistem tiga strata Salah satu alternatif untuk memanfaatkan lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan lingkungan budidaya ternak adalah melalui Sistem Tiga Strata (STS) yang beberapa tahun lalu telah diuji oleh Tim Universitas Udayana Bali. Satu unit STS adalah lahan yang luasnya sekitar 0,25 Ha yang terbagi 3 bagian : Bagian inti (0,16 ha) ditanami tanaman utama (padi ladang atau palawija), bagian selimut (0,09 lla) ditanami rumput unggul dan bagian pinggir dengan panjang keliling 200 m dapat ditanami tanaman pohon (gliricidia, larntoro dsb). Tabel6 . No 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5
Produktivitas Sistem Tiga Strata (STS) dan Non Tiga Strata (NTS) yang mendukung perkembangan ternak Parameter SapiJantan Tambahan berat badan dalam 3 tahun (Kg) Daya dukung (Kg) musim luljan musim kering Daya tampung (Kglfh) Waktu capai berat ekspor (Th) Waktu pemeliharaan (Min/Hari) Infeksi internal parasit (ekor) Sapi Betina Tambahan berat badan 20 minggu (Kg) Interval birahi (hari) Frekwensi birahi selama 20 minggu Lama birahi (hari) Birahi semu (%)
STS (0,25 ha)
NTS (0,50 ha)
186
166
600 130 300 3,8 115 2
400 100 200 4,3 137 6
89,2 31,8 8,9 1,75 25,9
49,4 46,3 6,9 1,69 37,5
Sumber : Nrns, 1996
STS adalah tata cara penanaman dan pemangkasan rumput leguminosa, semak dan potion, sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun . Stratum I yang terdiri dari rumput dan leguminosa, untuk hijauan makanan ternak pada awal musim hujan, stratum 2 yang terdiri dari 240
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
semak-semak adalah uniuk hijauan makanan ternak pada pertengahan musim kering, sedang stratum 3 tsrdiri dari polion-pohonan untuk hijauan makanan ternak pada akhir musim kering, Menunit NITIS (1996) sistem tanaman sela, lorong, teras bangku, taongya, surjan, kebun pakan intensif, bank pakan, pastura unggul, pekarangan dan tiga strata adalah berpotensi untuk mengantisipasi masalah penyediaan pakan tcruak . Namun Sistem Tiga Strata (STS), paling potensial untuk mengurang industri peternakan yang berkesinambungan. Karena selain meningkatkan persediaan dan mutu pakan hijauan serta produksi dan reproduksi ternak ruminansia, STS juga meningkatkan daya dukung dan daya tampung lahan, mengurangi erosi lahan, meningkatkan kesuburan lahan, persediaan kayu api, pendapatan dan daya. beli petani peternak serta kelestarian lingkungan . Penelitian yang telah dilakukan selama 10 ta.hun (1984-1994) terhadap produktivitas STS ditunjukkan dalam Tabel 6. STS ini telah diperkenalkan di Kalimantan Selatan pada beberapa kelompok tani di Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru dan Banjar dengan membudidayakan rumput Setaria, BD, lamtoro, kaliandra dan nangka dengan luas lahan 0,25 ha (DINAs PETERNAKAN PROP. KAL-SEL, 1996) . Nanum sampai saat ini, pola STS ini belum memasyarakat di lingkungan petani/peternak . Pengawasan penyakit Penyakit heivan memainkan peranan penting dalam membatasi produktivitas hewan ternak di negara-negara tropis yang sedang berkembang. Salah satu penyakit yang dapat menghambat reproduksi adalah brucellosis . Penyakit ini dapat mengakibatkan sterilitas atau abortus, sehingga menimbulkan kerugian ekonomis pada perusahaan-perusahaan sapi (DJOJOSUBAGIO, 1996). Penyakit lain yang dapat merugikan atau menurunkan produktivitas ternak sapi yaitu : Septichenda epizootica (SE), Jembrana, penyakit-penyakit parasiter, dan sebagainya. Disamping itu, defisiensi mineral tertentu juga mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak . Pada Tabel 7 tercatat beberapa penyakit yang terjadi pada ternak sapi di Kalimantan Selatan . Hasil pengujian 2 .031 sampel serum sapi terhadap Brucellosis oleh Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, ternyata ditemukan 12 positif. Namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di BPPH V Banjarbaru, ternyata negatif. Kasus penyakit SE yang terjadi pada tahun 1995, mengurang 21 ekor sapi di Kabupaten Kotabaru dan tiga diantaranya mati . Kasus SE juga terjadi pada 218 kerbau dan 130 ekor diantaranya mati Akbat penyakit tersebut. Penyakit Jembrana yang terjadi pada Sapi Bali di Kabupaten Tanah Laut menyebabkan satu ekor mati. Berdasarkan pemeriksaan spesimen yang dikirim ke BPPH Wilayah V Dsnpasar, ada 4 Kabupaten yang terkena penyakit ini yakni : Banjar, Tapin, Hulu Sungai Tengah dan Tanah Laut. Sedang penyakit parasiter (Nematodiasis dan Fascioliasis) banyak ditemukan pada sapi di Kalimantan Selatan. Akibat adanya penyakit hati (Fascioliasis) pada 5 .783 ekor sapi, maka 649,05 kg ha.ti sapi diatkir, pada tahun 1995/1996 (DIVAS PETERNAKAN PROPINSI KAL-SEL, 1996) . Kekurangan mineral dalam ransum dan dalam tanah tempat hovan-hewan diternakkan dapat mengakibatkan penyakit Pica, mengakibatkan gangguan pada metabolisme mineral . yang ditandai dengan timbulnya nafsu untuk memakan benda-benda asing dan obyek yang tidak dapat dimakan, terjadi gangguan pencernaan dan sistem syaraf (DJOJOSUBAGIO, 1996) . Hasil evaluasi mineral darah dan hati sapi yang dipotong di RPH BANJARMASIN (SURYAHADI dan PILIANG, 1990). menunjukkan adanya defisiensi (kekurangan) Kalsium (Ca), ssng (Zn), 24 1
SeminarNa .sional Peternakan don Iieteriner 1997
mangan (Mn) dan zat besi (Fe), seclangkan mineral P, Mg, K clan Cu beracla dalam kisaran normal . clan BAIIR1 (1989) yang meneliti kandungan Cu dan Zn pacla berbagai jenis sapi di Kalimantan Selatan mengemukakan baliNva kandungan Cu dan Zn sebagiar besar (> 50%) dibawah normal (< 0,5 pghnl Cu clan < 0,8 pg/ml Zn), kecuali bangsa Sahiwal (> 50%), seperti terlihat pada Tabel 8. Defisiensi Cu clan Zn dapat menimbulkan terganggunya proses fisiologi ternak dan dapat menyebabkan terhambatnya petumbuhan/daya reproduksi ternak (BARNS, 1980, 1981).
DARMONO
Tabel 7.
Kejaclian penyakit hewan menular pada sapi di Kalimantan Selatan (Jan-Des 1995)
No.
Kabupaten
I 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Penyakit SE
Brucella
Jembrana
Fasciola
Nematoda
-
2 6 2 5 -
51 142 4 63 99 33 43 43
142 149 31 52 14 144 190 46 40
15
478
777
Banjar Tapin Holu Sungai Selatan Holu Sungai Tengah Holu Sungai Utara Tabalong Tarah Laut Kotabaru Barito Kuala
21 -
6 4 1 I -
Jumlah
21
12
Sumber : DINAS PETERNAKAN TK .1 PROPINSI KALRAANTAN SELATAN, 1996
Tabel 8.
Kandungan Cu clan Zn (pg/ml) dalaln serum sapi menunutjenis bangsa sapi
Bangsa sapi
Lokal P.0 Bali Sahiwal Brahman Sumber : DARMONo
Mineral (pg/ml) n
Cu
n
Zn
17 63 78 12 17
0,41+0,03 0,54+0,02 0,40 +0,02 0,64 +0,07 0,4 1 + 0,03
14 24 23 7 1
0,54+ _ 0,04 0,61 _+ 0,05 0,55 +0,05 1,07 +0,18 0,36
clan 13AHRI,
1989
Penyakit ternak merupakan hambatan yang serius dalam usaha mengembangkan produksi ternak untuk konsumsi manusia dan produk-produk berharga lainnya yang berasal dari hewan. Oleh karena itu, beberapa program pencegahan penyakit dan pengawasannya menjadi syarat mutlak untuk mengurangi kenlgian ekonomi. 242
Seminar NasonalPeternakan dan Peteriner 1997
Untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyakit hewan, beberapa vaksin dengan menggunakan isolat lokal telah diteliti dengan harapan akan dapat dibuat di Indonesia . Penyakit defisiensi mineral dapat ditanggulangi dengan memberikan blok mineral . STRATEGI PENGEMBANGAN Kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, selain didasarkan atas potensi dan kemampuan daerah, juga mengikuti pola urnum 'kebijaksanaan pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian . Kebijaksanaan tersebut dituangkan dalam program-program yang dikelompokkan menjadi program prioritas, program strategis dan program terobosan . Program terobosan yaitu program yang mengtipayakan untuk mengantisipasi tantangan teknologi dengan melalui kerjasama dan melibatkan peranan pihak swasta, lembaga terkait clan pergunian tinggi untuk meningkatkan peranan subsektor peternakan (ADNYANA et al., 1996) . Menunit SOEIIADJI (1995 a), untuk pengembangan peternakan dilaksanakan melalui 3 (tiga) strategi atau penngkatan yaitu : pendekatan teknis, pendekatan terpadu clan penngkatan agribisnis. 1. Pendekatan Teknis Upaya pemecallan masalah kebutuhan sapi potong antara lain dengan peningkatan kelahiran, menekan kematian, mengendalikan pernotongan clan peningkatan produktivitas sapi potong, dilakukan melalui program terobosan seperti SPAKU sapi potong dengan Gerakan Pengembangan Sentra Baru Pembibitan Pedesaan (Gerbang Serba Bisa)dan program khusus Inpres serta melalui program Transmigrasi (SOETIRTO, 1997). Program Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) sapi potong direncanakan di Kabupaten Kotabaru. Sedangkan program Gerbang Serba Bisa dilaksanakan di Kabupaten Tapin. Untuk peningkatan kelahiran pada ternak sapi potong, strategi yang ditempuh adalah dengan IB, dan inelaksanakan kegiatan penunjang lainnya seperti : perbaikan pakan, penyebaran ternak, vaksinasi, mengubah kondisi penyediaan bibit dari negatif ke positif clan menimbulkan kemampuan penyediaan bibit nasional (DITJEN PETERNAKAN, 1997). Gerakan IB di suatu kawasan dilakukan selama 42 hari (2 siklus birahi) secara serentak, kernudian pindah ke lokasi lain. Apabila dalam gerakan IB 42 hari tersebut berakhir clan ternyata masih terdapat ternak yang masih birahi kembali, maka dilanjutkan dengan IB pelayanan biasa (reguler) atau dikawinkan dengan pejantan (kawin alam). Inpres pembibitan sapi potong melalui program SPAKU akan diuji cobakan di Kabupaten Kotabaru . Dengan pertimbangan ballwa : Sapi potong merupakan unggulan dilokasi tersebut, sudah mempunyai pasar clan potensi untuk dikembangkan lebih lanjut . Hal ini sejalan dengan rencana pengembangan KAPET Batulicin dan sekitarnya, yang mempunyai prospek yang baik. Sasaran penerimaan bantuan Inpres pembibitan adalah peternak pembibit anggota kelompok peternak yang telah diseleksi oleh Dinas Peternakan setempat dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan . Paket bantuan Inpres pembibitan ini merupakan bantuan dalam bentitk dana bergulir dan dana pembinaan untuk satu kelompok . Nilai paket setiap kelompok pembibitan sapi potong sebesar Rp. 96.400.000,- yang terdiri dari dana bergulir (Rp. 87 .900.000,-) clan dana pembinaan (Rp. 8.500.000,-) . Jumlah ternak setiap kelompok yang beranggotakan 30 orang adalah 90 ekor sapi. Dana pengadaan bibit sapi hanya digunakan untuk pembelian ternak sapi betina sesuai bimbingan Dinas Peternakan Dati 11 setempat dan perkawinan sapi dilakukan dengan IB (SEKRETARIS JENDERAL DEPARTEMEN PERTANIAN, 1997) . Diharapkan dana bantuan Inpres perbibitan tersebut, selanjutnya dapat bergulir kepada kelompok lain clan berkembang di tempat-tempat lain.
243
SeminarNasianal Peternakan dan Veteriner 1997
2. Pendekatan Terpadu Pendekatan terpadu dilaksanakan dengan sasaran peningkatan produksi melalui intensifikasi dan pembinaan secara masif mengenai 3 (tiga) penerapan teknologi yaitu teknologi produksi, ekonomi clan sosial . Penerapan teknologi produksi melalui perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan penyakit, pemeliharaan clan reproduksi (panca usaha), penerapan teknologi ekonomi melalui perbaikan pasca panen clan pemasaran (Sapta Usaha), dan penerapan teknologi sosial melalui pengorganisasian peternak dalam kelompok tani dan koperasi (SOEHADJI, 1997) . Saat ini usaha monokultur di bidang peternakan sudah tidak menmngkinkan lagi, karena pesatnya penggunaan lahan di luar pertanian, sehingga padang penggembalaan ternak terdesak. Oleh karena itu peternakan harus dapat berintegrasi dengan HTI maupun di perkebunan . Diharapkan HTI clan perkebunan dapat menlpakan penyedia pakan ternak ruminansia di masamasa mendatang. Contoh integrasi ternak domba di lahan perkebunan karet clan kelapa sawit di Sumatera Utara dan Malaysia menunjukkan dampak positif clan pendekatan dari penjualan domba meningkat dua kali lipat, dengan penanaman ntmput clan legume unggul diantara tanaman pokok dan modifikasi jarak tanaln potion (SABRANI et al., 1995). Di kawasan HTI Pleihari juga dicoba beberapa jenis rumput clan legume yang ditanam di bawah tegakan pollon Ekalyptus clan Akasia, ternyata ntmput BD yang cocok dan berkembang baik di bawah tanaman Ekalyptus . Diharapkan nunput BD dapat dikembangkan di kawasan HTI untuk sumber pakan ternak secara gembala (grazzing) dan mempunyai kemampuan menanggulangi alang-alang (SABRAIVI et al., 1996), serta meningkatkan kesuburan tanah dengan adanya kotoran ternak yang kembali ke tanah . 3. Pendekatan Agrihisnis Kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan dengan peternakan rakyat dalam bentuk pola kemitraan sangat Dharapkan . Pola kemitraan semacam ini disebut Industri Peternakan Rakyat (INNAYAT) . Pola tersebut di%+nljudkan dengan pendekatan agribisnis, dimana perusahaan peternakan menjalankan Ringsinya (1) pengadaan clan penyaluran bibit (2) penampung hasil (3) pengolahan clan (4) pemasaran . Sedang peternakan rakyat melakukan kegiatan budidaya . Menunlt SOEHADJI (1995 b), ada tiga azas yang menjadi pedoman dalam operasional pengembangan sapi potong dengan motto 1 . Peternakan rakyat menlpakan tulang punggung 2. Industri peternakan rakyat menjadi pendukung dan 3. Impor daging sebagai penyumbang supply demand . Di dalam industri peternakan rakyat telah berkembang kemitraan di bidang sapi potong dengan pola Perusahaan inti Rakyat (PIR) dengan model PIR Penggemukan, PIR Pakan, PIR Bakalan dengan IB, PIR Bakalan melalui transfer embrio clan PIR Saham . Di Kalimantan Selatan, pola kemitraan di bidang peternakan sapi potong belum berkembang. Lahan HTI atau perkebunan dapat digunakan dan potensi sebagai basis ekologi pendukung lujauan pakan dan lingkungan ternak sapi potong dengan Pola PIR Pakan, Bakalan maupun 244
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
penggemukan . Diltarapkan ada pihak dari perusahaan swasta, BUMN atau Koperasi yang dapat mensponsori pola kemitman ini . KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berukut 1.
Kalimantan Selatan masih kekurangan sapi - potong untuk mencukupi kebutuhan daging masyarakat konsumennya dan ini merupakan peluang untuk pengembangan sapi potong . Sejalan dengan rencana pengembangan KAPET Batulicin dan sekitarnya, maka prospek pengembangan sapi potong di Kalimantan Selatan cukup baik.
2.
Sapi potong yang dijadikan koinoditas unggulan, tersebar di seluruh Daerah Tingkat II . Namun untuk pengembangannya, di konsentrasikan pada entpat Kabupaten yakni : Kabupaten Tanah Laut, Kotabani, Banjar, dan Tapin, yang umumnya memiliki areal lalian kering yang cukup Was .
3.
Sebagian besar lahan kering di Kalimantan Selatan masih berupa padang alang-alang yang belum di manfaatkan, sangat potensial untuk pengembangan sapi potong . Dalam uji coba penanantan rumput unggul, terdapat sembilan jenis rumput unggul yang mampu beradaptasi dengan lingkungan lahan kritis tersebut . Dan empat jenis diantaranya (rumput BD, Benggala, Paspalum clan BB) dapat berkembang tanpa perlakuan klwsus (dengan input rendah). Untuk menunjang industri peternakan yang berkesinambungan pola STS dapat diterapkan pada sistem usalia tani, karena dapat menyediakan hijauan pakan sepanjang tahun .
4.
Kendala penyakit liewan dan defisiensi mineral dapat mengakibatkan gangguan produksi, reproduksi clan kentatian sapi, sehingga dapat merugikan peternak . Oleh karena itu, perlu antisipasi cara-cara penanggulangannya .
5.
Strategi pengembangan sapi potong di Kalimantan Selatan dilakukan dengan pendekatan teknis yaitu perbaikan genetis dengan IB, pcrbaikan pakan dengan penanaman rumput unggul pola STS clan pengawasan penyakit . Disamping itu, perlu pendekatan terpadu dengan menjalin ketjasa»ta antar subsektor dan lintas sektoral, dengan pola kemitraan saling nienguntungkan antara pengusaha swasta, BUMN atau Koperasi dengan peternak . DAFTAR PUSTAKA
AcHmADI, 1997. Pengembangan KAPET Batulicin dan Prospeknya, Mendukung Ekonomi Kalimantan Selatan . Seminar Seliari dengan Thema " Prospek dan Pertumbuhan Ekonomi Repelita VU KalSel ." Kerjasama Unlam dengan Pemda TK . I Kal-Sel di Ba»jarmasin Tanggal 8 Juli 1997 . ADNYANA, M .O ., M . GUNAWAN, N . ILHAM, SAKTIYANU, K. KARIYASA, I . SADIKIN, A .M . DJULIN, K .M. NoEKMAN dan A .A. HARUN, 1996 . Prospek dan Kendala Agribisnis Peternakan Dalam Era Perdagangan Bebas. Nisat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian . Badan Litbang Pertanian. Bogor. ALALA, 1996 . Pengarahan Penasehat Ketua Harian Dewan Pengembangan Kawasan Timur (DP-KTI) Pada Lokakarya Nasional Lahan Kering Beberapa KAPET di KTI, Malang, 1 I-12 Ok-tober 1996. BALAI PEMBIBITAN TERNAK dan HIJAUAN MAKANAN TERNAK (BPT-HMT) KALIMANTAN SELATAN, 1993/1994 . Laporan Pelaksanaan Pencatatan Produksi Berbagai Jenis HMT. -----, 1994/1995 . Laporan Uji Adaptasi Berbagai Jenis HMT di 4 Lok-asi Kabupaten Tanali Laut MT . 1994/1995 dan Pelaksanaan Pencatatan Produksi Berbagai Jenis HMT.
245
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
, 1995/1996. Laporan Pelaksanaan Pencatatan Produksi Berbagai Jenis HMT. Bappeda, 1995 . Rencana Pernbangunan Lima Tahun ke VI . Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan. 1994/1995 1998/1999.
BuRNs. M.J .,
1980 . Role of Zinc in Physiological Processes. Dalam : Darmono dan Bahri. S . 1989 . Defsiensi Tembaga dan Seng pada sapi di daerah transmigrasi Kalimantan Selatan. Peny . Hewan : 21 (38) : 128 - 131 .
----------, 1981 . Role of Copper in Physiological Processes . Dalarn : Darmono dan Balai. S., 1989 . Defisiensi Tembaga dan Seng pada sapi di daerah transmigrasi Kalimantan Selatan. Peny . Hewan 21 (38) : 128 - 131 . DARMONO dan BAHRI. S., 1989 . Defisiensi Tembaga dan Seng pada sapi di daerah transmigrasi Kalimantan Selatan. Peny. Hewan. 21 (38) : 129 - 131 . DINAS PETERNAKAN PROPINSI . KAL-SEL, 1996 . Laporan Tahunan 1995/1996. DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN PROPINSI KAL-SEL, 1995 . Dalam : Kalimantan Selatan Dalam Angka. Kerjasaina Bappeda Dati I Kai-Sel dengan Kantor Statistik Prop . Kal-Sel. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Sapi Potong T.A. 1997/199 8.
DEPARTEMEN PERTANIAN, 1997. Petunjuk Teknis Gerbang Serba Bisa
DJAENUDIN D., H. SUBAGIo dan S. KARAMA, 1996 . Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Peternakan di Beberapa Propinsi di hndonesia . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisarua, Bogor, 7 - 8 Nopember 1995 : 165-174.
D1ojosUBAGIO, S.
1996 . Peningkatan Produktivitas Ternak Melalui Penerapan Bioteknologi . Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisanta, Bogor, 7. - .8 Nopember 1995 : 273 - 304.
JAPANAGRICULTURAL LAND DEVELOPMENTAGENCY (JALDA),
1995 . Hasil Survey Petani . Studi Verifrkasi Mengenai Pengembangan Pedesaan dan Pertanian Terpadu dalam rangka konservasi hutan tropis di Indonesia.
NITIS I.M.,
1996 . Sistem Penyediaan Pakan Hijauan Menunjang hidustri Peternakan berkesinambungan. Proc . Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisanra, Bogor, Nopember 1995 : 203 - 219.
yang
7 - 8
PSE, 1997 a.
Seminar Regional Hasil-Hasil Penelitian Pertanian Berbasis Perikanan Peternakan dan Sistem Usaha Tani di Kawasan Timur Indonesia, BPTP Naibonat . 28 - 30 Juli 1997. Laporan Bulanan, Agustus 1997 .
PSE, 1997 b. Rencana Strategis Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Talnwr 1997-2007. SABRANI, M., E. BASUNO, A. SUPARYANTO, TARMuDn, B.N. UTomo, 1995 . Laporan Studi Pendasaran Usaha Ternak Pada Sistem Agroforentry di Kalimantan Selatan. Tidak dipublikasi . SABRAm, M. E. BAsuNo, TARMUDn, B.N . UTomo, A. HAMDAN, YuDIANTo, B. W. BAsum dan H. HARDIARTo, 1996 . Penelitian Model Integrasi Ternak Dalam Kawasan Agroforestry (HM) Plaihari . Tidak di publikasi. SANTOSA . D., Y. SOEBAGYo dan P. SuPARMAN, 1988. Hubungan Bobot dan Ukuran Linier Anak sapi P.O Hasil IB dengan Bobot dan Ukuran Linier Induknya . Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia . Bogor 8 - 10 Nopember 1988 : 170 - 174. SASTRADIPRADIA . D., S. ADISOEMARTo, S. BROTONEGORO, S. SAONo dan S. SASTRAPRADJA, 1981 . Segi-Segi Biologi Dalam Usalna Pembinaan dan Pengembangan Ternak di Indonesia. Proc . Seminar Penelitian Peternakan, Bogor, 23-26 Maret 1981 : 1 - 4.
24 6
Seminar Nasional Peternakan dan Veferiner 1997
SEKRETARIS JENDERAL DEPARTEMEN PERTANIAN, 1997 . Petunjuk Telulis Proyek Pertanian Rakyat Terpadu (Inpres Dati II). Bantuan Penangkar Benih/Bibit Pertanian T.A . 1997/199 8.
SmEGAR . A.R ., S. SOEDIMAN, T. MANuRuNG clan A.P . SIREGAR, 1981 . Budidaya Ternak
dalam Usaha Tani
Terpadu di Daerah Transmigrasi . Proc . Seminar Penelitian Peternakan, Bogor, 23-26 Maret 1981 : 78 85 .
SIREGAR . S.B, S .N . TANmING dan P. SITORUS, 1995 . Upaya Memacu Peningkatan Populasi Sapi Potong melalui pelaksanaan hlseminasi Buatan di daerah Ciamis Jawa Barat. J. Penelitian hrdonesia 2 : 31 34 . SOEHADn, 1994 . Membangun Peternakan Tangguh. Orasi Ilmiah Penganugerahan Causa Bidang Ilmu Peternakan . Unpad Bandung, 15 September 1994 .
Gelar
Doktor
Honoris
SOEHADJI, 1995 a. Pengembangan Bioteknologi Peternakan Keterkaitan Penelitian Pengkajian dan Aplikasi . Proc. Lokakarya Nasional I Bioteknologi Peternakan. Cawi 23-24 Januari 1995 :41-105 . SoEHADn , 1995 b. Sambutan dan Pengarahan Direktur Jenderal Peternakan .
Proc .
Simposium Nasional
Kemitraaan Usaha Tenuzk . Diselenggarakan di Balai Penelitian Ternak. Ciawi - Bogor, Agustus 1995 .
SoETrnTo, E., 1997 . Pemberdayaan Peternakan
30 - 31
Rakyat dan Industri Peternakan Menuju Pasar Bebas : "
Pokok Bahasan : Ternak Potong ". Proc . Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Januari 1997 : 19 - 30 .
Bogor, 7 - 8
SUHARSONO clan T.D. SOEDJANA, 1996 . Kendala clan Harapan Penerapan Hasil Penelitian Peternakan dan Veteriner Pada Ruminansia . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisanta, Bogor, 7 8 Nopember 1995 : 355-370. SuRYAHADI dan W. G. PILIANG, 1990 . Status Mineral Sapi Potong di Kalimantan Selatan. Dalam Akhadiarto . S. clan Suryohadi, 1995 . Prospek Pengembangan Sistem Peternakan Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Presentase Ilmiah di Bappeda TK . I Kal-Sel, 12 Desember 1995 di Banjannasin.
Tim FAKULTAS EKONOMI UNLAM, 1997. Seminar Sehari,
Pengembangan
Ekononmi
Makro Regional
dengan Thema "Prospek dan Pertmnbuhan
Ekonomi
Kalimantan
Repelita
Kerjasama Unlam dengan Pemda TK .I Kal-Sel di Banjarmasin Tanggal 8 Juli .1997. WIRYODARMODJo. H dan S. KEstwAPVmA, 1981 .
Usaha Penanaman Hijauan
VII
Makanan Ternak
salah satu kegiatan perhutani untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa . Proc. Penelitian Peternakan, Bogor. 23-26 Maret 1981 :41-51.
Selatan.
Kal-sel ."
sebagai
Seminar