STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO
RINI WIDIASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
September 2014 Rini Widiastuti NRP H252124075
RINGKASAN RINI WIDIASTUTI, 2014. Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo. Di bawah bimbingan MA‟MUN SARMA dan ANNA FARIYANTI. Sapi potong merupakan salah satu hewan ternak potensial dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani berupa daging. Hingga saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Kabupaten Gorontalo dengan populasi sapi potong terbesar di Provinsi Gorontalo mempunyai peluang sebagai salah satu penyedia sapi potong. Kendala yang dihadapi adalah pemasaran yang ada masih bersifat umum, yakni masih berorientasi penyediaan pasokan dalam daerah dengan kualitas seadanya, tanpa ada standar tertentu. Selain itu, pemasaran juga belum mengarah kepada terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan, di mana pembelian sapi potong oleh pedagang hanya dengan mengandalkan perkiraan fisik ternak tanpa ditimbang. Oleh karena itu diperlukan strategi agar usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo berkembang lebih baik dan menghasilkan produk yang bisa berkompetisi di pasaran. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, (2) Mengidentifikasi dan menganalisis keragaan rantai nilai komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo dan (3) Merumuskan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gorontalo pada bulan April dan Mei 2014. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara pengamatan langsung di daerah penelitian dan wawancara dengan tiga jenis responden. Responden pertama dipilih dari instansi terkait untuk mendapatkan faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh pada pengembangan sapi potong. Responden kedua adalah aktor rantai nilai yang terdiri dari peternak, pedagang sapi bakalan, pedagang lokal, pedagang antar wilayah, pemotong serta instansi terkait. Responden ketiga adalah pakar dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo yang berasal dari instansi terkait, peternak, perbankan serta akademisi. Ketiga jenis responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling), dan lembaga pemasaran dipilih dengan penelusuran informasi dari peternak. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga terkait, dukungan regulasi serta dokumen kebijakan daerah yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian dimulai dengan analisis terhadap faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Faktor-faktor tersebut dikembangkan dengan pendekatan model Berlian Porter. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis Delphi. Selanjutnya dilakukan analisis rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo dengan mengidentifikasi masing-masing aktor yang terlibat di dalamnya, melakukan analisis marjin pemasaran dan farmer’s share serta mengidentifikasi hambatan dan peluang pada setiap aktivitas rantai nilai. Hasil dari analisis faktorfaktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong dan analisis rantai nilai dijadikan pertimbangan dalam penyusunan
hirarki untuk perumusan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA). Berdasarkan hasil penilaian responden, diketahui bahwa faktor kondisi dan peran pemerintah mempunyai pengaruh yang kuat sebagai faktor keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dengan total skor 3,080 dan 3,127. Elemen-elemen dari setiap faktor yang mempunyai pengaruh sangat kuat antara lain: sumberdaya alam mendukung sentra produksi, sumberdaya manusia, dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong. Aktivitas utama rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo meliputi logistik ke dalam, produksi, dan pemasaran dengan pelaku utama adalah: pemasok sarana produksi, peternak, pedagang lokal, pedagang antar wilayah dan pemotong. Terdapat 3 saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo, yaitu: (1) peternak - pedagang lokal – pemotong - konsumen, (2) peternak - pedagang antar wilayah - konsumen luar daerah, dan (3) peternak – pemotong - konsumen. Dari ketiga saluran tersebut, peternak memperoleh keuntungan per hari paling rendah. Peternak sebagai pelaku utama pada kegiatan produksi (operasi) dalam aktivitas rantai nilai sapi potong masih menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan produk yang dihasilkan berkualitas rendah. Belum ada koordinasi yang baik antar aktivitas dalam sistem rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Urutan prioritas strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dengan metode PHA adalah sebagai berikut: (1) Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan, dan pengelolaan usaha, (2) Menyusun regulasi pemasaran ternak, (3) Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha, (4) Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan, (5) Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik, dan (6) Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi. Kata kunci:
analisis rantai nilai, Kabupaten Gorontalo, keunggulan kompetitif, strategi pengembangan sapi potong.
SUMMARY RINI WIDIASTUTI, 2014. The Development Strategy of Beef Cattle at Gorontalo Regency. Guided by MA‟MUN SARMA and ANNA FARIYANTI. The beef cattle is one of the potential livestocks as a source of animal protein such as meat. Nowadays, Indonesia has not been able to fullfil the needs of meat on domestic region. Gorontalo Regency is the biggest of population beef cattle in Gorontalo Province. It has opportunity as one of the supplier. The constraints faced is marketing there is still a general, which is still oriented supply in the area without any quality standards. In addition, marketing is also not lead to a fair market mechanism, which is the purchase of beef cattle by traders by relying on physical estimates of livestock without weighed. Therefore, the development strategy is required to develop the business of beef cattle in Gorontalo regency so that it can produce the product to compete the market. The aim of study are: (1) To analyze the factors of competitive advantage that most influencing in the development of beef cattle, (2) To indentify and analyze the variability of value chain of beef cattle commodity and (3) To formulate the strategy of beef cattle development at Gorontalo Regency. The study was done at Gorontalo Regency on April and May 2014. The data were collected consist of primary and secondary data. The primary data in this study were obtained by direct observation at the area of research and interviews with three types of respondents. The first respondent was selected from the relevant agencies to gain the factors of competitive advantage influencing the development of beef cattle. The second respondent was the actors value chain consisting of cattlemen, cattle traders, local traders, inter-regional traders, slaughters and related institutions. The third respondent was the experts in the development of beef cattle at Gorontalo Regency who‟s from relevant agencies, cattlemen, banking and academia. The three types of respondents were chosen purposively and the marketing agencies of beef cattle were chosen by tracing the information from the cattlemen. The secondary data were obtained from relevance agencies/institutions, regulatory support and documents of local policy which was relevant with this study. The study began with the analysis of the competitive advantage factors that most influencing in the development of beef cattle at Gorontalo Regency with approach Porter Diamond model. The data collection were analyzed by using Delphi analysis. Furthermore, the value chain analysis of beef cattle at Gorontalo Regency was carried out to identify each actor involved, to analyze marketing margin and farmer's share, and to identify the barriers and opportunities in every activity of value chain. Afterwards, the formulation of the development strategy of beef cattle at Gorontalo Regency was analyzed by using Analitycal Hierachy Process (AHP). Based on the results of the assessment respondents, it could be found out that the condition factor and the role of government have a strong influence as competitive advantage in the development of beef cattle at Gorontalo Regency with a total score of 3,080 and 3,127. The elements of each factor that very strong influencing the development of beef cattle are the natural resource supported the center of production, human resources, and government policy in the development
of beef cattle. The main activites of value chain of beef cattle at Gorontalo Regency are: inbound logistics, production, and marketing with the main actors are: the supplier of production means, cattlemen, local traders, inter-regional traders and slaughters. There are 3 channels of beef cattle marketing at Gorontalo Regency, namely: (1) cattleman – local trader – slaughter – consumers, (2) cattleman – inter-regional trader – non-local consumers, and (3) cattleman – slaughter – consumers. From the three channels above, the profit per day of cattleman are lowest. The cattlemen as the main actors in the production activities (operations) in the value chain activities still face many obstacles that lead to lowquality products. There is no good coordination among activities in the system. The priority sequence of beef cattle development strategy at Gorontalo Regency with AHP method is as follows: (1) Increasing the breeding technique, the raising, and the management of beef cattle, (2) Arranging a livestock marketing regulation, (3) Facilitating the capital and investment, (4) Optimizing the facilities and infrastructures supporting the livestock, (5) Increasing domestic marketing development, and (6) Improving input and output quality of production through the use of technology. Key words: competitive advantage, development strategy of beef cattle, Gorontalo Regency, value chain analysis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO
RINI WIDIASTUTI
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji luar komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS
Judul Nama NRP Program Studi
: Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo : Rini Widiastuti : H252124075 : Manajemen Pembangunan Daerah
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ma‟mun Sarma, MS MEc Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Plh. Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya imiah yang berjudul “Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo” berhasil diselesaikan dengan baik dan lancar. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ma‟mun Sarma, MS MEc sebagai dosen pembimbing pertama dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi sebagai dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran dan masukan kepada penulis, serta kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku penguji dari luar komisi dan Bapak A. Faroby Falatehan, SP ME selaku wakil program studi yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis pada saat ujian sidang. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal ini Bapak Drs H Rusi Habibie, MAP selaku Gubernur Gorontalo, Bapak Drs H Idris Rahim, MM selaku Wakil Gubernur Gorontalo, Ibu Prof Dr Ir Hj Winarni Monoarfa, MSc selaku Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, dan Bapak Drs H Sofyan Maku, MM selaku Kepala BKPPD Provinsi Gorontalo atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo dan Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Gorontalo serta pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam pengumpulan data. Terakhir, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, suami, anak-anak dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan, motivasi serta doa dan kasih sayangnya kepada penulis hingga menyelesaikan studi. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014 Rini Widiastuti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 5 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis dan Subsistem-subsistem dalam Agribisnis Profil Komoditas Sapi Potong Konsep Rantai Nilai dan Analisis Rantai Nilai Konsep dan Pengertian Saluran Pemasaran, Margin Pemasaran dan Farmer’s Share Pendekatan Model Berlian Porter Sekilas tentang Proses Hirarki Analitik (PHA) Penelitian Terdahulu
6 6 7 7 9 11 12 13
3 METODE Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Pendekatan Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Penentuan Jumlah Sampel dan Metode Pemilihan Sampel Prosedur Analisis Data
16 16 18 18 18 19 21 21
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH Keadaan Geografis Kabupaten Gorontalo Kondisi Iklim Kabupaten Gorontalo Keadaan Demografis Kabupaten Gorontalo Keadaan Ekonomi Kabupaten Gorontalo Penyebaran dan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo
26 26 26 26 27 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Keunggulan Kompetitif Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Keragaan Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo
32 32 43
6 PERUMUSAN STRATEGI Hasil Analisis dengan PHA Implikasi Kebijakan
62 64 67
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
72 72 72
DAFTAR PUSTAKA
72
LAMPIRAN
76
DAFTAR TABEL 1 PDB atas harga konstan menurut lapangan usaha (Miliar Rupiah) di Provinsi Gorontalo Tahun 2010-2012 2 Luas wilayah dan populasi sapi potong per kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo tahun 2012 3 Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan 4 Daftar responden dan informan beserta jumlahnya 5 Panduan Pembobotan Responden 6 Panduan penilaian responden 7 Skala banding secara berpasang 8 Struktur penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan lapangan usaha di Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 9 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut subsektor pada sektor pertanian di Kabupaten Gorontalo (Jutaan Rupiah) tahun 2009-2012 10 Jumlah Rumah Tangga pemelihara sapi potong menurut kecamatan tahun 2013 11 Penyebaran kelompok ternak, kelas, jumlah anggota dan jumlah sapi di Kabupaten Gorontalo 12 Jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sapi potong di Provinsi Gorontalo tahun 2011-2013 13 Hasil penilaian faktor (input) kondisi 14 Hasil penilaian faktor industri penunjang dan terkait 15 Hasil penilaian faktor kondisi permintaan 16 Hasil penilaian faktor strategi perusahaan dan persaingan 17 Hasil penilaian faktor peran pemerintah 18 Hasil penilaian faktor peran kesempatan 19 Program, kegiatan dan anggaran APBD II pendukung peternakan di Kabupaten Gorontalo tahun 2013 20 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat I 21 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat II 22 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat III 23 Analisis finansial usaha ternak sapi potong/ekor/periode 6 bulan (183hari) pola penggemukan
1 2 14 20 22 23 25 27 27 29 30 32 33 36 38 39 40 42 47 50 50 51 56
24 Daftar harga sapi potong dan daging sapi (Rupiah) di Kabupaten Gorontalo 25 Aktivitas pendukung rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo 26 Rencana program dan kegiatan
58 59 71
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Diagram Rantai Nilai Saluran pemasaran pelanggan Kerangka pemikiran Struktur hirarki strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo Populasi sapi potong di Kabupaten Gorontalo tahun 2011-2013 Produksi sapi potong di Kabupaten Gorontalo tahun 2011-2013 Pohon industri sapi potong Saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo Rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo Struktur dan nilai bobot hierarki PHA
8 10 17 24 28 28 32 49 52 64
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta wilayah dan penyebaran populasi sapi potong Kabupaten Gorontalo tahun 2013 2 Rekapitulasi nilai hasil analisis delphi 3 Kondisi pemeliharaan sapi potong, kondisi pasar dan sarana pengangkutan dalam pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo 4 Hasil pengolahan Proses Hirarki Analitik (PHA) 5 Prioritas strategi berdasarkan hasil Proses Hirarki Analitik (PHA) 6 Kuesioner faktor-faktor keunggulan kompetitif 7 Kuesioner Proses Hirarki Analitik (PHA)
76 77
79 80 81 82 85
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu agenda penting pemerintah dalam pembangunan nasional di sektor pertanian adalah revitalisasi pertanian yang antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan asal ternak, meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta meningkatkan produksi dan ekspor komoditas pertanian. Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian dan PDB Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa peternakan merupakan salah satu motor penggerak perekonomian Indonesia. Dalam perekonomian Indonesia, kontribusi subsektor peternakan terhadap pembentukan PDB Indonesia sektor pertanian secara umum selama tahun 2010, 2011 dan 2012 di atas 12 persen sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Kedudukan strategis subsektor peternakan dalam pembangunan nasional, yaitu terkait dengan penyediaan pangan sumber protein hewani seperti daging, susu dan telur sebagai faktor essensial dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu komoditas peternakan penghasil daging adalah sapi potong. Tabel 1 PDB atas harga konstan menurut lapangan usaha (Miliar Rupiah) di Indonesia Tahun 2010-2012 Sektor 2010 2011 2012* Pertanian umum 304.777,10 315.036,80 328.279,70 Peternakan 38.214,40 40.040,30 41.918,60 - (% terhadap pertanian) 12,54 12,71 12,77 Subsektor lain (pertanian) 266.562,70 274.996,50 286.361,10 - (% terhadap pertanian) 87,46 87,29 87,23 Ekonomi lainnya 2.009.681,70 2.149.639,70 2,290.118,70 PDB 2.314.458,80 2.464.676,50 2.618.938,40 Sumber: BPS (2013) Keterangan: * angka sementara Permintaan daging sapi sampai saat ini terus mengalami peningkatan dan masih dilakukan impor secara nasional. Proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 adalah sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah tersebut, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6 persen) harus diimpor (Kementerian Pertanian 2013). Berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2013, jumlah populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,24 juta ekor (BPS 2013), turun dibandingkan dengan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun 2011 sebanyak 16,7 juta ekor (BPS 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa antara ketersediaan dan permintaan daging sapi dalam negeri masih terjadi kesenjangan yang cukup besar, sementara populasi sapi potong justru mengalami penurunan. Oleh karena itu prospek pasar dan pengembangan agribisnis sapi potong baik pada subsistem hulu, subsistem budidaya, maupun subsistem hilir masih terbuka lebar di Indonesia.
2 Di Provinsi Gorontalo, ternak sapi potong telah menjadi komoditas unggulan subsektor peternakan sejak tahun 2007 dengan kriteria penetapannya sebagai berikut: (1) Pasarnya ada dan dapat ditingkatkan, (2) Teknologinya sudah ada dan dapat diperbaiki, (3) Sudah ada pelaku usaha yang melakukan kegiatan baik pengembangbiakan, budidaya, maupun pemasarannya, dan (4) Agroekosistem wilayah mendukung (Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Gorontalo 2007). Dukungan pemerintah daerah terhadap pengembangan komoditas sapi potong sangatlah besar yang diwujudkan dengan tekad Gorontalo untuk menjadi Lumbung Ternak Sapi Potong di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2017 serta anggaran APBD maupun APBN yang difokuskan pada pengembangan ternak sapi potong. Tekad Provinsi Gorontalo menjadi Lumbung Ternak Sapi Potong di Kawasan Timur Indonesia tahun 2017 merupakan komitmen bersama Pemerintah Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Peternakan Tahun 2013 dan diimplementasikan dalam Rencana Kinerja Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo. Tekad tersebut harus didukung oleh seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi Gorontalo termasuk Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Gorontalo sebagai daerah tropis dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah sangat berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong. Dengan luas wilayah hanya 17,24 persen dari seluruh wilayah Provinsi Gorontalo, berdasarkan Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Gorontalo mempunyai populasi ternak sapi potong terbanyak, yakni sebesar 40,56 persen dari seluruh populasi sapi potong di Provinsi Gorontalo sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas wilayah tahun 2012 dan populasi sapi potong tahun 2013 per kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo Luas Populasi Sapi Potong Kabupaten/Kota 2 (km ) (%ase) (Ekor) (%ase) Boalemo 1.736,61 13,97 29.504 16,87 Gorontalo 2.143,48 17,24 70.924 40,56 Pohuwato 4.455,60 35,83 25.748 14,73 Bone Bolango 1.891,49 15,21 22.042 12,61 Gorontalo Utara 2.141,86 17,22 23.750 13,58 Kota Gorontalo 65,96 0,52 2.890 1,65 TOTAL
12.435,00
100,00
174. 858
100,00
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo 2013 Melihat potensi yang ada tersebut, didukung adanya permintaan komoditas sapi potong baik dari dalam maupun luar wilayah serta masih adanya impor daging sapi secara nasional maka Kabupaten Gorontalo berpotensi sebagai salah satu pemasok sapi potong. Di sisi lain, pembangunan industri peternakan menghadapi persaingan global yang mencakup kesiapan daya saing dan tantangan pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri. Menurut Imaroh (2014) dalam upaya memasuki pasar global, sebagai faktor utama adalah kemampuan SDM yang berdaya saing dan daya saing produk (barang dan jasa) Indonesia dalam berkompetisi perlu diperkuat. Strategi peningkatan keunggulan kompetitif merupakan prasyarat bagi suatu bangsa untuk dapat bersaing di dalam arus
3 globalisasi yang semakin kuat. Adanya keunggulan kompetitif pada daerah sentra agribisnis akan mendorong para pelaku yang terlibat di dalamnya memiliki kemampuan merespon dengan baik segala tantangan dan peluang yang ada (Cahyani 2010). Dalam rangka menghasilkan produk sapi potong yang sesuai dengan permintaan pasar serta mengurangi ketergantungan impor, maka diperlukan peran peternak skal kecil dalam pasar peternakan. Untuk mendorong peran serta peternak skala kecil tersebut, maka pemerintah harus terus memacu memberdayakan mereka sehingga daya saing mereka meningkat, yaitu dalam membangun sistem rantai nilai yang efisien (Daryanto 2009). Oleh karena itu maka perlu diidentifikasi pelaku rantai nilai (value chain) kegiatan mulai dari subsistem hulu, proses produksi (budidaya/penggemukan), subsistem hilir dan pemasaran serta bagaimana mengembangkan dan meningkatkan produksi dan produk olahannya secara maksimal. Menurut Daryanto (2009), salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara berkesinambungan adalah melalui peningkatan daya saing dan keunggulan kompetitif dengan rantai nilai yang terintegrasi. Untuk menjawab tantangan tersebut, maka diperlukan strategi agar usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo berkembang baik dan bisa menghasilkan produk yang mampu berkompetisi di pasar. Oleh karen itu perlu dijawab pertanyaan pokok: “Bagaimana strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo?”
Perumusan Masalah Usaha agribisnis peternakan sapi potong di Indonesia memiliki potensi dan pertumbuhan yang menjanjikan ke depan. Sampai dengan saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, sehingga harus mengimpor produk daging dan sapi bakalan. Meskipun konsumsi daging sapi penduduk Indonesia hanya sebesar 2,2 kg/kapita/tahun atau lebih rendah dari konsumsi daging dunia yang mencapai 42 kg/kapita/tahun, namun permintaan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, daya beli masyarakat, dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemenuhan gizi yang seimbang. Sebagai sebagai daerah yang berpotensi menjadi salah satu mata rantai penyedia sapi potong antar wilayah, maka sapi potong yang dihasilkan oleh Kabupaten Gorontalo harus mampu berdaya saing di pasaran dan diperlukan syarat strategi keunggulan kompetitif. Untuk membantu memahami konsep keunggulan kompetitif, Michael Porter menciptakan Model Berlian Porter (Porter 1990). Model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif yaitu dengan menganalisis tiap komponen dari faktor-faktor yang ada di dalamnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif berdasarkan gambaran model Berlian Porter antara lain: (1) Faktor (input) kondisi, (2) faktor permintaan, (3) faktor pendukung dan industri terkait, (4) strategi perusahaan, (5) peran pemerintah dan (6) peran kesempatan. Dari hasil penelitian Wiranata (2002) diketahui bahwa kelima faktor keunggulan kompetitif sapi potong lokal di daerah Kalimantan Timur saling berpengaruh sebagai penentu bisnis. Kondisi permintaan pasar sapi potong lokal
4 sangat besar dibandingkan dengan ketersediaan ataupun persaingan penggemukan sapi potong lokal, sedangkan kondisi faktor produksi dan industri pendukung/terkait di samping kebijakan pemerintah secara kumulatif dan sinergis dapat meraih sekaligus meningkatkan peluang bisnis tersebut, sehingga investasi penggemukan di Kalimantan Timur layak dilaksanakan. Faktor kondisi meliputi kondisi agroekosistem, sapi bakalan, sumberdaya manusia, dan teknologi ditinjau sebagai aspek teknis di Kalimantan Timur dapat dilaksanakan secara terpadu dengan teknologi sederhana oleh sumberdaya setempat sesuai dengan tujuan dan kriteria investasi penggemukan sapi potong lokal. Mengingat pentingnya faktor-faktor keunggulan kompetitif dalam upaya peningkatan daya saing sapi potong, maka akan dijawab pertanyaan: “Apakah faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo?” Pemasaran yang ada di Kabupaten Gorontalo masih bersifat umum dan belum mengarah kepada terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan. Pemasaran sapi potong masih berorientasi penyediaan pasokan dalam daerah dengan kualitas seadanya, tanpa ada standar/kriteria tertentu dan pembelian sapi potong oleh pedagang/blantik hanya dengan mengandalkan perkiraan fisik ternak tanpa ditimbang. Hal tersebut menjadikan posisi tawar peternak lemah sehingga menjadi peluang untuk mengambil keuntungan yang besar bagi pedagang/blantik. Selain itu, pemeliharaan sapi potong umumnya diusahakan secara tradisional atau sambilan, skala usaha kecil dan modal kecil. Keuntungan pemasaran pada pelaku pasar sapi potong di Kecamatan Srandakan, Bantul terbukti bahwa blantik sebagai pelaku pasar mendapatkan keuntungan sebesar 28,50 persen, pedagang pengumpul 17,10 persen, jagal 29,65 persen dan pedagang daging 24,75 persen untuk setiap unit ternak sapi potong yang dipotong (Kurnianita et al 2009). Sampai dengan saat ini, Indonesia belum mampu menjadi produsen hasil peternakan sapi potong yang mampu bersaing di pasar global. Semua subsistem agribisnis berdiri sendiri-sendiri dan cenderung mengunggulkan subsistemnya masing-masing dan bukannya bekerjasama mengunggulkan pembangunan sistem agribisnis (Yusdja dan Ilham 2010). Salah satu kunci untuk menjawab tantangan-tantangan ke depan peternakan Indonesia adalah penciptaan nilai tambah terhadap produk, operasional bisnis, dan pelayanan terhadap konsumen. Peningkatan nilai tambah industri peternakan tersebut dapat dicapai apabila rantai kegiatan dari hulu hingga ke hilir dapat terkelola dengan baik secara nilai maupun biaya yang tentunya mempertimbangkan aspek animal welfare dan keamanan produk (Daryanto 2009). Oleh karena itu maka perlu diidentifikasi pelaku rantai nilai (value chain) kegiatan mulai dari subsistem hulu, proses produksi (budidaya/penggemukan), subsistem hilir dan pemasaran serta bagaimana mengembangkan dan meningkatkan produksi dan produk olahannya secara maksimal. Pendekatan Value Chain Analysis (VCA) memegang posisi yang cukup strategis dalam rangka memanfaatan sumberdaya secara efisien pada setiap simpul kegiatan yang bermuara pada nilai tambah pada kegiatan agribisnis sehingga bisa mengidentifikasi para aktor yang berperan dalam rantai nilai, mengidentifikasi kendala yang mereka hadapi serta mengidentifikasi biaya dan pendapatan yang mereka hasilkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dijawab pertanyaan: “Bagaimana keragaan rantai nilai komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo?”
5 Menurut Daryanto (2009), salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara berkesinambungan adalah melalui peningkatan daya saing dan keunggulan kompetitif dengan rantai nilai yang terintegrasi. Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak (Mayulu et al 2010). Peran pemerintah sangat diperlukan dalam mempertahankan keberadaan usaha peternakan rakyat apalagi adanya tuntutan penciptaan daya saing. Oleh karena itu, setelah terjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka melalui penelitian ini penulis akan merumuskan “Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan yang strategis dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo?”
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat disampaikan tujuan umum dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi kebijakan pengembangan ternak sapi potong berdasar analisis rantai nilai di Kabupaten Gorontalo. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Menganalisis faktor-faktor keunggulan kompetitif yang berpengaruh dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. b. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaan rantai nilai komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo. c. Merumuskan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan: a. Memberikan bahan evaluasi dan masukan kepada pemerintah daerah, terutama para pengambil keputusan dalam pengambilan kebijakan dan perumusan perencanaan pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. b. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi para stakeholder dalam upaya pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi faktor -faktor keunggulan kompetitif, kemudian melakukan analisis rantai nilai sapi potong. Setelah itu akan dirumuskan strategi kebijakan pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Ruang lingkup substansi dalam penelitian ini adalah : a. Profil komoditas sapi potong b. Kegiatan utama dari rantai nilai sapi potong: logistik ke dalam dan ke luar, operasional, pemasaran, penjualan dan pelayanan
6 c. Kegiatan-kegiatan pendukung yang secara tidak langsung berkontribusi pada kegiatan operasional di kegiatan hulu-hilir komoditas sapi potong. Hal-hal yang tercakup di dalamnya adalah infrastruktur di dalam organisasi, manajemen sumber daya manusia, serta pembangunan dan penerapan teknologi. Hasil dari analisis faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif dan analisis rantai nilai komoditas sapi potong digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan hirarki dalam penetapan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo .
2 TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis dan Subsistem-subsistem dalam Agribisnis Agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama lain. Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis hulu, (2) subsistem usahatani, (3) subsistem agribisnis hilir, dan (4) subsistem jasa penunjang (supporting institution). Subsistem agribisnis hulu mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas sehingga di dalamnya termasuk kegiatan pabrik pupuk, usaha pengadaan bibit unggul, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, ternak maupun ikan, pabrik pakan, serta kegiatan perdagangannya (Saragih 2010). Subsistem agribisnis usahatani merupakan kegiatan yang selama ini dikenal sebagai kegiatan usahatani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan, serta dalam arti khusus termasuk pula kegiatan kehutanan, yang berupaya mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal, teknologi, dan manajemen) untuk menghasilkan produk pertanian. Subsistem agribisnis hilir, seringkali disebut sebagai kegiatan agroindustri, adalah kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku. Subsistem perdagangan hasil pertanian atau hasil olahannya merupakan kegiatan terakhir untuk menyampaikan output sistem agribisnis kepada konsumen, baik konsumen di dalam negeri maupun konsumen di luar negeri (ekspor). Kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan merupakan bagian dari subsistem ini. Subsistem jasa penunjang (supporting institution) merupakan kegiatan jasa yang melayani pertanian, seperti kebijakan pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain. Secara ringkas dapat dinyatakan, sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem komoditas. Keempat subsistem tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lainnya. Kemandekan dalam satu subsistem akan mengakibatkan kemandekan subsistem lainnya. Kinerja usahatani ditentukan oleh kinerja atau keberadaan relasi sinergis dan elemen-elemen sistem agribisnis di mana usahatani tersebut menjadi elemen inti. Strategi untuk menumbuhkembangkannya ialah dengan mengelolanya sebagai bagian integral dari pengelolaan sistem agribisnis tersebut. Strategi tersebut disebut sebagai Manajemen Sistem Agribisnis (Agribussines System Management = ASM). Sesungguhnya Manajemen Sistem Agribisnis sama dengan Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management = SCM), istilah yang lebih banyak
7 dipakai akhir-akhir ini. Perbedaan kedua konsep ini hanyalah pada komoditas inti, dimana konsep Manajemen Sistem Agribisnis hanya berlaku berlaku khusus untuk komoditas pertanian, sedangkan Manajemen Rantai Pasok berlaku umum, dapat digunakan untuk komoditas dagangan apa saja (Simatupang 2010).
Profil Komoditas Sapi Potong Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi dan memiliki arti yang sangat strategis di Indonesia, terutama dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan mencerdaskan masyarakat. Pemeliharaan sapi potong bila dilakukan dengan benar akan sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur. Selain itu, semua organ tubuh sapi dapat dimanfaatkan antara lain: kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket. Tulang, dapat diolah menjadi bahan perekat/lem, tepung tulang dan barang kerajinan. Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia (Balitbang Pertanian 2008). Menurut Murtidjo (2012) beberapa keuntungan ekonomis dari beternak sapi potong antara lain: (1) Sapi potong dapat memanfaatkan bahan makanan yang rendah kualitasnya menjadi produksi daging, (2) Sapi potong sanggup menyesuaikan diri pada lokasi atau tanah yang kurang produktif untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan, (3) Ternak sapi potong membutuhkan tenaga kerja dan peralatan yang lebih murah daripada usaha ternak lain, misalnya sapi perah, (4) Usaha ternak sapi potong bisa dikembangkan secara bertahap sebagai usaha komersial sesuai dengan tingkat keterampilan dan kemampuan modal peternak, (5) Limbah ternak sapi potong bermanfaat untuk pupuk kandang tanaman pertanian dan perkebunan, selain mampu memperbaiki struktur tanah yang tandus, (6) Angka kematian ternak sapi potong relatif rendah, karena untuk usaha ternak yang dikelola secara sederhana, rata-rata angka kematian hanya 2 persen di Indonesia, dan (7) Sapi potong dapat dimanfaatkan tenaganya untuk pekerjaan pengangkutan dan pertanian. Sapi potong diperdagangkan dalam bentuk produk daging dan sapi hidup. Sapi hidup yang diperdagangkan adalah anak lepas sapih, sapi bakalan, sapi penggemukan untuk dipotong, dan sapi afkir atau sapi tua. Penjualan sapi hidup ini dilaksanakan di desa yang dijual kepada pedagang desa (blantik) atau di pasar hewan yang dibeli oleh pedagang desa (blantik) juga (Sitepoe 2008). Konsep Rantai Nilai dan Analisis Rantai Nilai Rantai nilai (value chain) didefinisikan sebagai sekumpulan aktivitas bisnis dimana di setiap tahapan/langkah dalam aktivitas bisnis tersebut menambahkan
8 nilai/value atau kemanfaatan terhadap barang dan jasa organisasi yang bersangkutan. Porter menggambarkan bahwa setiap perusahaan adalah kumpulan aktivitas yang difungsikan untuk mendesain, menghasilkan, memasarkan, mengeluarkan, dan menunjuang produk yang dihasilkannya. Rantai nilai menguraikan perusahaan menjadi aktivitas-aktivitas yang relevan secara strategis untuk memahami perilaku biaya dan sumber diferensiasi yang sudah ada dan yang potensial. Porter (1990) menyatakan bahwa aktivitas rantai nilai dibagi menjadi dua jenis aktivitas, yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Aktivitas utama adalah semua aktivitas yang menciptakan fisik produk dan penjualannya serta transfer ke pembeli dan juga bantuan purna jual. Aktivitas utama dibagi menjadi kategori generik yang diperlukan dalam bersaing di berbagai industri, yaitu: logistik ke dalam, operasi, logistik ke luar, pemasaran dan penjualan serta pelayanan. Aktivitas pendukung adalah aktivitas yang mendukung aktivitas utama yang dibagi menjadi empat kategori generik, yaitu pembelian, pengembangan teknologi, manajemen sumber daya manusia dan infrastruktur perusahaan. Walaupun aktivitas nilai merupakan balok pembangun keunggulan bersaing, rantai nilai bukanlah sekumpulan aktivitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah sistem aktivitas yang saling bergantung. Aktivitas nilai dihubungkan dengan keterkaitan di dalam rantai nilai. Keterkaitan adalah hubungan antara cara satu aktivitas nilai dilaksanakan dan biaya atau kinerja aktivitas lain. Diagram rantai nilai produk menurut Porter (1990) adalah disajikan pada Gambar 1.
Aktivitas Pendukung
Infrastruktur Sumberdaya manusia Pengembangan teknologi
Jasa Pelayanan
Pemasaran dan Penjuala
Logistik ke luar
Operai
Logistik ke dalam
Pembelian
Aktivitas Utama
Gambar 1. Diagram rantai nilai (Porter 1990)
Analisis rantai nilai (value chain analysis) menggambarkan hubungan kegiatan-kegiatan di dalam dan di sekitar sebuah organisasi dengan suatu analisis kekuatan kompetitif organisasi. Setiap kegiatan usaha untuk menciptakan produk dan jasa harus dievaluasi agar nilainya meningkat. Pengevaluasian setiap kegiatan didasarkan pada prinsip bahwa organisasi bersifat kompleks, bahkan lebih kompleks dibandingkan dengan mesin, peralatan, orang bahkan uang. Oleh karenanya, sebuah organisasi perlu diatur dalam sebuah sistem agar bisa menghasilkan produk atau jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pelanggan. Kemampuan untuk mengelola hubungan kegiatan-kegiatan ini merupakan sumber keunggulan kompetitif (Porter 1985).
9 Schmitz (2005) menyampaikan beberapa alasan perlunya dilakukan analisis rantai nilai adalah sebagai berikut: (1) kegiatan dalam rantai nilai sering dilakukan dalam bagian atau divisi yang berbeda sehingga bersifat global, (2) beberapa kegiatan penambahan nilai dalam rantai nilai bersifat menguntungkan dan (3) beberapa pelaku (aktor) dalam rantai nilai memiliki kekuasaan atas pelaku yang lain. Parameter kunci dalam analisis rantai nilai adalah: (1) Produk atau jasa apa yang akan dihasilkan, termasuk desain produk dan spesifikasinya, (2) Bagaimana barang atau jasa tersebut dihasilkan; hal ini melibatkan definisi proses produksi, yang mencakup unsur-unsur seperti teknologi yang akan digunakan, sistem kualitas, standar tenaga kerja, dan standar lingkungan, dan (3) Berapa banyak jumlah yang harus diproduksi serta kapan produk tersebut diproduksi, hal ini mengacu pada penjadwalan produksi dan logistik. Value Chain Analysis telah menjadi pendekatan yang semakin berguna untuk mendapatkan pandangan yang komprehensif dari berbagai negara yang terlibat pengambilan barang atau jasa dari bahan baku untuk produksi dan untuk pelanggan. Value Chain Analysis juga telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Bagian dalam Value Chain Analysis dapat memberikan informasi yang berguna bagi para pembuat kebijakan di tingkat nasional maupun lokal, yang harus mengambil keputusan ekonomi dan sosial yang penting, terutama di negaranegara yang mencoba untuk meng-upgrade industri mereka (Schmitz 2005).
Konsep dan Pengertian Saluran Pemasaran, Margin Pemasaran dan Farmer’s Share Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individuindividu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang bernilai. Definisi ini berpijak pada konsep-konsep inti sebagai berikut: kebutuhan, keinginan dan permintaan; produk; nilai, biaya dan kepuasan; pertukaran, transaksi dan hubungan; pasar; dan pemasaran dan pemasar ( Kotler 1993) Menurut Kotler dan Amstrong (2008) saluran pemasaran atau distribusi pemasaran merupakan sekelompok organisasi saling tergantung yang membantu membuat produk atau jasa yang tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen atau pengguna bisnis. Produsen menggunakan perantara karena mereka menciptakan efisiensi yang lebih besar dalam menyediakan barang bagi pasar sasaran. Dari sudut pandang ekonomi, peran perantara pemasaran adalah untuk mengubah pilihan produk yang dibuat oleh produsen menjadi pilihan produk yang diinginkan konsumen. Masing-masing lapisan perantara pemasaran yang melakukan sejumlah pekerjaan dalam membawa produk dan kepemilikannya lebih dekat kepada pembeli adalah tingkat saluran (channel level). Jumlah tingkat perantara mengindikasikan panjang saluran. Beberapa saluran distribusi konsumen dengan panjang yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 2. Saluran 1 disebut saluran pemasaran langsung (direct marketing channel), tidak mempunyai tingkat perantara; perusahaan menjual langsung kepada konsumen. Saluran lain adalah saluran pemasaran tidak langsung (indirect marketing channel), yakni saluran yang mengandung satu atau beberapa
10 perantara. Agar saluran secara keseluruhan dapat bekerja dengan baik, masingmasing peran anggota saluran harus ditetapkan dan konflik saluran harus dikelola. Produsen
Produsen
Produsen
Pedagang grosir
Konsumen
Pengecer
Pengecer
Konsumen
Konsumen
Gambar 2. Saluran pemasaran pelanggan (Kotler dan Amstrong, 2008) Saluran pemasaran diartikan juga sebagai saluran atau jalur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memudahkan pemilihan suatu produk itu bergerak dari produsen sampai berada di tangan konsumen. Jalur pemasaran tersebut dilakukan oleh badan yang membentuk rangkaian yang disebut rantai pemasaran. Sedangkan pola pemasaran adalah merupakan jalur distribusi suatu produk dari produsen melalui beberapa pelaku pemasaran hingga produk tersebut sampai dan diterima oleh konsumen. Ada empat pola yang sering dilakukan dalam memasarkan sapi potong, yaitu : a. Peternak/produsen Pedagang pengumpul Konsumen b. Peternak/produsen Pedagang pengumpul Rumah Potong Hewan Eksportir/Konsumen c. Peternak/Produsen Pedagang pengumpul Industri pengalengan daging Eksportir/konsumen d. Peternak Blantik Jagal/ Pedagang pengumpul besar Pedagang pengumpul kecil (Rianto dan Pubowati 2013) Margin pemasaran merupakan konsep-konsep penting dalam kajian efesiensi yang kemudian dapat menentukan apakah efesien atau tidak. Margin pemasaran terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan perbedaan antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang di terima oleh produsen. Bagian kedua margin pemasaran merupakan biaya dari jasa-jasa pemasaran tersebut. Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyatakan bahwa marjin merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Sudiyono (2002) juga menyatakan bahwa marjin pemasaran merupakan selisih harga dari dua atau lebih tingkat rantai pemasaran, atau harga di tingkat produsen dan harga eceran di tingkat konsumen. Analisis farmer’s share bermanfaat untuk mengetahui bagian harga yang diterima oleh petani dari harga di tingkat konsumen yang yang dinyatakan dalam prosentase. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran, di mana semakin tinggi marjin pemasaran, maka bagian yang akan diperoleh petani/pembudidaya semakin rendah.
11 Pendekatan Model Berlian Porter Berlian Porter (Porter’s diamond) dalam Porter (1990) adalah model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu kita dalam memahami konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara yang semakin populer dalam dunia saat ini. Berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan ditandingkan (dikompetisikan) dengan berbagai perjuangan/usaha. Keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar. Berlian ini terdiri dari empat determinan utama yang membentuk model seperti berlian yang dalam hubungannya, keempat determinan ini saling menguatkan satu sama lain. Unsur-unsur ini adalah sebagai berikut: kondisi faktor produksi, kondisi permintaan, industri-industri yang berkaitan dan mendukung, dan strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Kondisi faktor produksi dibagi menjadi dua, yaitu yang biasa dan yang terspesialisasi. Yang biasa adalah faktorfaktor produksi yang diwarisi secara alami seperti kekayaan sumber daya alam (SDA), tanah, dan tenaga kerja yang belum terlatih. Sedangkan yang terspesialisasi adalah faktor-faktor produksi yang tidak terdapat secara alami, melainkan harus diciptakan terlebih dahulu. Contoh dari faktor produksi yang terspesialisasi adalah teknologi dan tenaga kerja yang terlatih. Kondisi faktor produksi dikatakan baik apabila jumlah faktor produksi yang dimiliki ada banyak dan perbandingan antara faktor produksi biasa dengan faktor produksi terspesialisasi adalah proporsional. Semakin baik kondisi faktor produksi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di dalam suatu negara, maka akan semakin kompetitif negara tersebut. Kondisi permintaan dikatakan dapat menaikkan kompetitivitas apabila kondisi permintaan tersebut adalah mutakhir (sophisticated). Yang dimaksud dengan permintaan mutakhir di sini adalah kecenderungan untuk selalu menuntut, menuntut, dan menuntut agar produk yang dihasilkan terus diinovasi supaya bisa memuaskan kebutuhan para demander. Selanjutnya adalah industri-indutri yang berkaitan dan mendukung. Kompetitivitas dapat meningkat apabila industri yang berkaitan dan mendukung memusatkan diri mereka dalam satu kawasan. Hal ini akan menghemat biaya komunikasi, ongkos gudang penyimpanan, ongkos transportasi, serta akan meningkatkan arus pertukaran informasi. Unsur yang terakhir adalah strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Strategi dan struktur yang diterapkan perusahaan akan menentukan kompetitivitasnya. Hal ini lebih menyangkut kepada konteks waktu dan budaya di mana perusahaan itu berada. Perusahaan dituntut agar dapat menerapkan strategi dan struktur yang paling tepat dengan keadaan yang dialami agar dapat survive terhadap kondisi sekitarnya. Selain itu, persaingan antar perusahaan juga dapat meningkatkan kompetitivitas perusahaan karena dengan adanya persaingan,
12 maka dipastikan akan ada usaha ekstra dari perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya agar dapat, sekali lagi, survive dalam kompetisi. Selain keempat determinan di atas, masih ada dua unsur lagi yang berada di luar Berlian Porter, namun kedua unsur ini memiliki pengaruh pada keempat determinan tersebut. Kedua unsur tersebut adalah pemerintah dan kesempatan. Pemerintah dapat mempengaruhi keempat determinan di atas lewat kebijakankebijakannya. Sebagai contoh adalah pemerintah dapat mengorganisir industriindustri yang saling mendukung dan memiliki keterkaitan dengan memfasilitasi berdirinya kawasan berikat, sentra dagang, sentra kerajinan, dan lain-lain. Unsur kesempatan memberikan dampak yang cukup signifikan pada keempat determinan Berlian Porter, meskipun unsur yang satu ini tidak dapat diprediksi dengan tepat keberadaan dan pergerakannya.
Sekilas tentang Proses Hirarki Analitik (PHA) Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan metode yang dapat digunakan untuk menelaah suatu kebijakan strategis yang bersifat hirarki. Metode ini dikembangkan pada tahun 1970 di Amerika Serikat oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pitsburgh. Menurut Permadi (1992), PHA merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang dapat membantu kerangka berpikir manusia. Piranti metode ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan persepsi manusia sebagai input utamanya. Metode PHA memakai persepsi manusia yang dianggap ekspert sebagai input utamanya. Kriteria di sini mengacu pada orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan, merasakan akibat suatu masalah atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut. Karena menggunakan input kualitatif (persepsi manusia), maka selain hal-hal yang kuantitatif, metode ini juga dapat mengolah hal-hal kualitatif. Bisa dikatakan bahwa metode PHA merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang komprehensif, memperhitungkan hal-hal kuantitatif sekaligus kualitatif. Aspek kualitatif untuk mendefinisikan persoalan dan hirarkinya sedang aspek kuantitatif untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. PHA merupakan proses yang ampuh untuk menanggulangi berbagai persoalan politik dan sosio-ekonomi yang kompleks. Proses ini dapat diterapkan pada banyak persoalan nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian sumberdaya, perencanaan, analisis pengaruh kebijakan dan penyelesaian konflik. Para ilmuwan dan pembuat kebijakan dapat menggunakan metode ini untuk beberapa hal, yaitu: perencanaan perusahaan, pemilihan portofolio, serta pengambilan keputusan manfaat dan biaya (Saaty 1993). Sebagai suatu metode, PHA memiliki karakteristik yang menjadikannya sebagai suatu alat analisis yang unggul. Kekuatan PHA terletak pada rancangannya yang bersifat holistik yang menggunakan logika, intuisi, data kuantitatif, dan preferensi kualitatif. Juga terletak pada struktur hirarkinya yang memungkinkan dimasukkannya semua faktor penting, tangible (terukur) maupun intangible (tak terukur) dan mengaturnya dari atas ke bawah mulai dari yang
13 paling penting sampai ke tingkat yang berisi alternatif, untuk dipilih mana yang terbaik (Saaty 1993). Jika ingin mengaplikasikan PHA, maka lebih dahulu harus diketahui beberapa prinsip dasar yang dimiliki PHA. Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dasar PHA, yaitu: (1) Menyusun secara hirarki atau menggambarkan dan menguraikan secara hirarki; yaitu memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah, (2) Penetapan prioritas atau membedakan prioritas dan sintesis; yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya dan (3) Konsisitensi logis; yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Sebelum bekerja dengan metode PHA, perlu diperhatikan aksioma-aksioma yang dimiliki oleh metode PHA. Permadi (1992) menyatakan bahwa ada empat aksioma yang harus diperhatikan oleh para pemakai metode PHA karena pelanggaran dari setiap aksioma akan berakibat tidak validnya metode yang dipakai. Keempat aksioma tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perbandingan resiprokal; artinya pengambil keputusan harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal, yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala 1/x. 2. Homogenitas; artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk suatu cluster atau kelompok elemen-elemen yang baru. 3. Independensi; artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada atau obyektif secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam motode AHP adalah searah ke atas. 4. Ekspektasi; artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau obyek yang tersedia dan diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang mendasari penelitian ini adalah ranah penelitian rantai nilai, pemasaran komoditas sapi potong dan strategi pengembangan sapi potong. Adapun keterkaitan antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Penelitian dari Cahyani (2010) tentang analisis rantai nilai dan keunggulan kompetitif agribisnis ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. Analisis yang dilakukan adalah anlisis rantai nilai dan analisis terhadap determinan keunggulan kompetitif pada model Diamond Porter yang paling menentukan keunggulan kompetitif agribisnis ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. Hasil dari kedua analisis sebelumnya dipadukan dengan pendekatan matriks untuk memperoleh strategi upgrading yang sesuai untuk pengembangan agribisnis ayam ras pedaging yang berkelanjutan. Dalam penentuan faktor-faktor penentu keunggulan
14 kompetitif, pada penelitian ini dilakukan adopsi teori Berlian Porter yang disesuaikan dengan keunggulan lokasi yang dilakukan pada agribisnis ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Delphi. Tabel 3 Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan No 1
Peneliti dan Judul Cahyani EU (2010), Analisis Rantai Nilai dan Determinan Keunggulan Kompetitif Agribisnis Ayam Ras Pedaging di kabupaten Bogor.
-
Metode Analisis Analisis Value Chain Analisis Delphi untuk faktor-faktor keunggulan kompetitif
-
Relevansi Pengembangan faktorfaktor keunggulan kompetitif menggunakan metode Diamond Porter
-
Analisis strategi peningkatan keunggulan kompetitif
Tanjung MH (2012). Analisis Strategi Bersaing Pada Rantai Nilai Ayam Ras Pedaging PT. Ciomas Adisatwa Region Jawa Barat, Unit Bogor.
-
Analisis Value Chain Analisis Gross Margin Analisis SWOT
3
Irianto H dan Widianti E (2013) Analisis Value Chain dan Efisiensi Pemasaran Agribisnis Jamur Kuping di Kabupaten Karanganyar,
-
Analisis Value Chain Analisis Efisiensi Pemasaran
-
Teridentifikasi pelaku yang memperoleh tingkat keuntungan secara maksimal
4
Saputra H, Daryanto A dan Hendrawan HS (2009) Strategi Pengembangan Ternak Sapi potong Berwawasan Agribisnis Di Provinsi Aceh.
-
Analisis IFE dan EFE Analisis SWOT Analisis QSPM
-
5
Indriantoro FW (2010) Analisis Rantai Nilai Produksi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi Kasus PT. Hindoli) Di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatara Selatan. Suarda A (2009). Saluran Pemasaran Sapi Potong di Sulawesi Selatan
-
Analisis Value Chain AHP (Analytical Hierarchy Process)
-
Merumuskan strategi pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis (pada subsistem hulu, subsistem usaha budidaya, subsitem hilir, dan subsistem jasa penunjang) Penggunaan AHP dalam mendapatkan rekomendasi program berkelanjutan dengan menggunakan analisis rantai nilai
-
Analisis Efisiensi Pemasaran
-
2
6
-
-
Teridentifikasinya pelaku rantai nilai dengan masingmasing karakteristiknya serta saluran pemasaran Mengetahui nilai margin para aktor
Diketahui aktivitas pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Selatan
Tanjung (2012) melakukan penelitian tentang Strategi Bersaing pada Rantai Nilai Ayam Ras Pedaging PT. Cionas Adisatwa Region Jawa Barat, Unit Bogor. Beberapa metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah: (1) Analisis Value Chain untuk mengidentifikasi pelaku rantai nilai dengan masing-masing karakteristiknya dan saluran pemasaran, (2) Analisis Gross Margin untuk
15 mengidentifikasi nilai margin para aktor, (3) Analisis faktor internal dan faktor eksternal untuk meningkatkan daya saing PTCA dan (4) Analisis SWOT untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing PTCA. Penelitian oleh Saputra et al (2009) menyusun alternatif strategi dan merumusukan strategi prioritas strategi dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis di Provinsi Aceh. Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi strategi pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis di Provinsi Aceh, (2) Merumuskan strategi pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Aceh (pada subsistem hulu, subsistem usaha budidaya, subsitem hilir, dan subsistem jasa penunjang) dan (3) Merumuskan strategi prioritas utama dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis di Provinsi Aceh. Dari penelitian tersebut prioritas strategi yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis di Provinsi Aceh berdasar dari hasil analisis QSPM adalah pengembangan usaha ternak sapi potong melalui penerapan kawasan peternakan terpadu (cluster) yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang. Penelitian oleh Indriantoro (2010) dengan judul Analisis Rantai Nilai Produksi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi Kasus PT. Hindoli) Di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatara Selatan, menggunakan metode pendekatan deskriptif untuk mengidentifikasi rantai nilai, selanjutnya mengidentifikasi kriteria dan alternatif strategi ramah lingkungan untuk dilakukan skoring menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk merumuskan rekomendasi program ramah lingkungan. Irianto dan Widiyanti (2013) melakukan penelitian dengan judul Analisis Value Chain dan Efisiensi Pemasaran Agribisnis Jamur Kuping di Kabupaten Karanganyar. Analisis Rantai Nilai dilakukan dengan: (1) Pemetaan Rantai Nilai (Value Chain), (2) Analisis struktur pengaturan (Analysis Governance Structure), (3) Critical Succes Faktors (CSP), (4) Perbandingan antar usaha (benchmarking) dan (5) Upgrading value chain. Sedangkan efisiensi pemasaran jamur kuping dilakukan dengan: (1) Analisis margin keuntungan (profit margin) dan (2) Markup on selling. Hasil yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah pelaku dalam rantai nilai jamur kuping di Kabupaten Karanganyar terdiri dari delapan pelaku, dengan pelaku utama yang paling menentukan kualitas dan kuantitas adalah pembibit/pembaglog. Pembudidaya menerima resiko dan nilai keuntungan yang paling besar. Tingkat keuntungan secara nominal paling tinggi adalah pembudidaya pada semua saluran. Penelitian oleh Puspitasari et al (2012) tentang Strategi Pengembangan Usaha Kerajinan Enceng Gondok sebagai Produk Unggulan Kabupaten Semarang Menggunakan Analisis Rantai Nilai, dilakukan analisis rantai nilai dan kemudian analisis SWOT untuk menetapkan strategi berdasarkan variabel Diamond Porter serta melakukan analisis Critical Succes Faktor untuk mengetahui faktor-faktor kesuksesan produk enceng gondok. Penambahan nilai terbesar terjadi di retailer sebasar 50,12 persen, selanjutnya disusul oleh anyaman rotan dan pandan sebesar 14,71 persen. Strategi yang bertujuan untuk meningkatkan nilai untuk pelanggan, strategi yang bertujuan menurunkan biaya, strategi yang bertujuan membuat batik painting lebih dapat bersaing (kompetitif), dan selanjutnya strategi yang didapat
16 dikategorikan menjadi strategi untuk supplier, manufaktur, pemilik UKM, pemasaran, pemerintah setempat, lembaga pendidikan dan pelatihan terkait. Suarda (2009) yang melakukan penelitian tentang Saluran Pemasaran Sapi Potong di Sulawesi Selatan, mendapatkan beberapa tipe saluran pemasaran dalam aktivitas pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Selatan, yaitu: (1) Produsen (peternak) konsumen, (2) Peternak pedagang pengumpul konsumen, dan (3) Peternak pedagang pengumpul pedagang antar pulau konsumen. Selanjutnya efisisensi pemasaran dianalisis dengan melihat biaya-biaya yang dikeluarkan pada setiap lembaga yang terlibat dalam pemasaran ternak dan disimpulkan bahwa di Sulawesi Selatan, biaya pemasaran di tingkat pedagang antar pulau memiliki biaya yang cukup tinggi dikarenakan mata rantai pemasaran tersebut cukup panjang.
3 METODE Kerangka Pemikiran Agribisnis peternakan sapi potong memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu rantai penyedia sapi potong di Indonesia yang berpeluang menjadi pemasok sapi potong secara nasional. Terdapat beberapa peluang dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo antara lain kebijakan pemerintah yang menjadikan sapi potong sebagai komoditas unggulan subsektor peternakan, dukungan anggaran yang difokuskan untuk pengembangan ternak sapi potong, tekad menjadi lumbung ternak sapi tahun 2017 serta permintaan pasar terhadap sapi potong dalam daerah dan dari Provinsi lain. Di sisi lain, pembangunan industri peternakan menghadapi persaingan global yang mencakup kesiapan daya saing dan tantangan pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri. Strategi peningkatan keunggulan kompetitif merupakan prasyarat bagi suatu bangsa untuk dapat bersaing di dalam arus globalisasi yang semakin kuat. Adanya keunggulan kompetitif pada daerah sentra agribisnis akan mendorong para pelaku yang terlibat di dalamnya memiliki kemampuan merespon dengan baik segala tantangan dan peluang yang ada. Untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, maka perlu diidentifikasi faktor-faktor keunggulan kompetitif yang dikembangkan dengan pendekatan model Berlian Porter. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo adalah pemasaran yang ada di lapangan masih bersifat umum, belum mengarah kepada terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan. Pemasaran sapi potong masih berorientasi penyediaan pasokan dalam daerah dengan kualitas seadanya, tanpa ada standar/kriteria tertentu. Sapi potong dibeli pedagang hanya dengan mengandalkan perkiraan fisik ternak tanpa ditimbang. Ditambah lagi usaha yang dilakukan secara tradisional, dengan skala usaha kecil dan modal kecil serta ketidakpahaman peternak tentang informasi harga
17 menjadikan posisi tawar peternak semakin lemah sehingga menjadi peluang untuk mengambil keuntungan yang besar bagi pedagang. - Komoditas sapi potong merupakan komoditas unggulan peternakan - Gorontalo bertekad lumbung ternak tahun 2017 - Dukungan anggaran fokus pada ternak sapi potong - Adanya permintaan pasar dari dalam dan luar daerah
- Pemasaran umum, masih berorientasi pasokan dalam daerah dengan kualitas seadanya - Belum tercipat mekanisme pasar yang berkeadilan, harga berdasarkan perkiraan fisik tanpa ditimbang - Usaha tradisional, skala usaha kecil dan modal kecil
Pendekatan Deskriptif
Identifikasi dan analisis faktor-faktor keunggulan kompetitif: Faktor (input) kondisi, Faktor permintaan, Faktor pendukung dan industri terkait, Faktor Strategi perusahaan, Peran pemerintah dan peran kesempatan
Analisis Rantai Nilai
Aktivitas Utama:
Aktivitas Pendukung:
Logistik ke dalam, Produksi, Logistik ke luar, Pemasaran
Pemetaan & Identifikasi karakteristik aktor
Proses Hirarki Analitik ( PHA)
Infrastruktur, Sumberdaya manusia, Pengembangan teknologi, Pembelian
Analisis Marjin dan Farmer’s share (Biaya,harga pembelian dan harga penjualan)
Alternatif Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Identifikasi hambatan dan peluang dalam produksi
Pemerintah Daerah (SKPD terkait dan instansi pendukung )
Rekomendasi Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Gambar 3. Kerangka pemikiran Dalam menghadapi persaingan global yang mencakup kesiapan daya saing dan tantangan pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri, maka diperlukan peran peternak skala kecil dalam pasar peternakan guna pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri. Dalam rangka mendorong peran serta peternak skala kecil tersebut, maka pemerintah harus terus memacu memberdayakan mereka sehingga daya saing mereka meningkat, yaitu dalam membangun sistem rantai nilai yang efisien. Untuk membangun sistem rantai nilai yang efisien, maka perlu dilakukan analisis rantai nilai (VCA). Dengan VCA akan dipelajari tiap-tiap unsur yang ada di dalam aktivitas utama dan aktivitas pendukungnya, karena dalam setiap proses memiliki kemungkinan untuk menghasilkan nilai tambah, dan dapat juga dilihat sebagai kekurangan, sehingga analisis rantai nilai pun dapat menjawab permasalahan yang ada dalam proses pengembangan sapi potong.
18 Peningkatan daya saing dan keunggulan kompetitif dengan rantai nilai yang terintegrasi merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara berkesinambungan. Strategi pengembangan sapi potong dianalisis dan dirumuskan berdasarkan hasil dari identifikasi faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif, uraian pemetaan rantai nilai sapi potong, karakteristik dan daya dukung wilayah, serta informasi dari para pakar. Selanjutnya, strategi ini diharapkan dapat memperbaiki pola pengembangan ternak sapi potong menjadi lebih terarah dan terstruktur sehingga akan mampu memaksimalkan produktivitas sapi potong, meningkatkan nilai tambah produk, meningkatkan pemerataan nilai tambah yang berimbang dan meningkatkan keuntungan peternak di Kabupaten Gorontalo. Kerangka pemikiran secara skematis disajikan pada Gambar 3.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan, yakni pada bulan April dan Mei 2014. Kabupaten tersebut dipilih karena mempunyai potensi populasi sapi potong terbanyak dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2013, populasi sapi potong di Kabupaten Gorontalo mencapai 70.924 ekor (40,56 persen) dari seluruh populasi sapi potong di 6 (enam) Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo (BPS Provinsi Gorontalo 2013).
Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif. Kegiatan observasi dilakukan dengan meninjau dan mengumpulkan informasi tentang keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong, aktivitas rantai nilai sapi potong, dan pengembangan sapi potong yang ada saat ini. Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling menentukan dan gambaran rantai nilai serta menyusun strategi pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dilengkapi kuesioner dengan pakar yang menguasai pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo serta wawancara dengan lembaga pemasaran yang merupakan satu kesatuan dalam rantai nilai komoditas sapi potong (peternak, pedagang/pemasok bibit (sapi bakalan), pedagang lokal, dan pedagang antar wilayah) serta para stakeholder (pakar) terkait dari Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Provinsi dan Kabupaten, Universitas dan Perbankan).
19 Data primer yang dikumpulkan pada penelitian ini antara lain: a. Faktor-faktor pendukung keunggulan kompetitif dikembangkan dari metode Berlian Porter dan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang paling menentukan keunggulan kompetitif. b. Rantai nilai pengembangan komoditas sapi potong dalam aktivitas utama yang meliputi: 1. Logistik ke dalam diantaranya persediaan bibit atau sapi bakalan dan sarana prasarana peternakan 2. Operasional, diantaranya budidaya dan penggemukan sapi potong 3. Logistik ke luar diantaranya pengantaran hasil produk sampai ke tangan konsumen. 4. Penjualan dan pemasaran diantaranya penetapan harga oleh pedagang lokal, pengiriman sapi kepada pedagang lokal, penjualan ke pedagang antar wilayah dan penjualan kepada pemotong. c. Rantai nilai pengembangan komoditas sapi potong dalam aktivitas pendukung yang meliputi: 1. Infrastruktur, diantaranya transportasi, jalan dan telekomunikasi serta fasilitas seperti Puskeswan dan Unit Lokasi IB (Inseminasi Buatan). 2. Sumber daya manusia meliputi ketersediaan bantuan teknis pengembangan sapi potong dari pemerintah atau swasta, pendidikan dan penyuluhan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, dan pelatihan-pelatihan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia. 3. Pengembangan teknologi berupa penerapan teknologi IB, pengolahan pakan, dan pengolahan kotoran ternak menjadi kompos atau pupuk organik. 4. Pembelian dalam konteks pemasaran, kaitannya dengan cara penetapan harga sapi potong dan perluasan pemasaran sapi potong. d. Strategi pengembangan sapi potong yang dirumuskan dari hasil identifikasi faktor-faktor pendukung keunggulan kompetitif dan adanya peluang dan hambatan setiap rantai dari hasil analisis rantai nilai serta strategi yang tengah digunakan dalam pengembangan ternak sapi potong yang ada saat ini dan dimintakan pendapat dari para pakar menggunakan kuesioner PHA. Data sekunder yang digunakan adalah data umum yang mendukung penelitian terkait agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo meliputi perkembangan populasi dan produksi selama 3 tahun terakhir, perkembangan harga komoditas sapi potong yang dijual serta studi dokumentasi yang diperoleh dari pustaka, dokumentasi, dan data-data yang berasal dari Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo, Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gorontalo, dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gorontalo.
Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode: a. Wawancara, dilakukan baik secara langsung maupun dengan panduan kuesioner untuk memperoleh informasi dan data yang terkait. Teknik ini dilengkapi dengan pengisian kuesioner dan peninjauan lapangan untuk
20 mengumpulkan informasi mengenai peta rantai nilai, pendapatan dan biaya produksi. b. Kuesioner untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif dan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. c. Observasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung pada obyek penelitian yang bertujuan secara langsung untuk mengetahui kegiatan-kegiatan penting dalam setiap pelaku dalam rantai nilai sapi potong. a. Studi literatur, diperoleh dan dikumpukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengutip pendapat dari berbagai sumber buku, tesis, laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Penentuan Jumlah Sampel dan Metode Pemilihan Sampel Rincian responden untuk masing-masing tujuan penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Daftar responden dan informan beserta jumlahnya No Responden Jumlah Keterangan I. Responden faktor-faktor keunggulan kompetitif 1 Instansi terkait - Disnakbun Provinsi 6 Bidang Agribisnis, Bidang Budidaya dan Pengembangan Kawasan - Bappeda Provinsi 1 Bidang Ekonomi - DKPP Kabupaten 3 Bidang Pengembangan Peternakan - Bappeda Kabupaten 1 Bagian Perencanaan - Universitas 1 Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Jumah 12 II. Responden rantai nilai 1 Peternak - Kecamatan Bongomeme 8 Peternak dipilih dari 3 kecamatan, tiap - Kecamatan Tibawa 8 kecamatan diambil 2 desa dan dari masing- Kecamatan Pulubala 8 masing desa diambil 4 peternak (2 peternak skala kecil dan 2 peternak skala menengah). 2 Pedagang/pemasok bibit/sapi 1 Pedagang bibit (sapi bakalan), pedagang bakalan lokal, pedagang antar wilayah dan 3 Pedagang lokal 2 pemotong dipilih berdasar penelusuran 4 Pedagang antar wilayah 1 informasi dari responden peternak 5 Pemotong 1 6 Instansi terkait - Disnakbun Provinsi 1 Bidang Agribisnis - DKPP Kabupaten 1 Bidang Pengembangan Peternakan Jumah 31 III. Responden pakar PHA 1 Instansi terkait - Disnakbun Provinsi 1 Bidang Agribisnis - Bappeda Provinsi 1 Bidang Ekonomi - DKPP Kabupaten 1 Bidang Pengembangan Peternakan - Bappeda Kabupaten 1 Bagian Perencanaan - Universitas 1 Universitas Negeri Gorontalo (UNG) 2 Peternak 1 Anggota kelompok aktif 3 Perbankan 1 Bank Indonesia Jumah 7
21 Pengambilan sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, adalah responden yang dipilih untuk mendapatkan faktor-faktor keunggulan kompetitif yang paling menentukan, kedua adalah responden rantai nilai terdiri dari stakeholders sapi potong dan ketiga adalah responden pakar untuk merumuskan strategi dengan PHA. Ketiga jenis responden dipilih menggunakan pendekatan non probability sampling (contoh tak berpeluang) dimana dalam penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Responden yang merupakan pelaku rantai nilai dipilih dengan kriteria bahwa responden tersebut berkompeten dan dalam rantai nilai, telah bekerja di bidangnya minimal 1 tahun dan dapat memberi gambaran informasi tentang hambatan dan peluang untuk meningkatkan daya saing komoditas sapi potong. Responden peternak diambil di 3 kecamatan dengan populasi sapi potong terbesar, yakni Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Tibawa dan Kecamatan Pulubala. Masing-masing kecamatan diambil sebanyak 8 peternak yang dipilih dari 2 desa yang terdapat penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha peternakan, sehingga setiap desa dipilih sejumlah 4 responden (2 peternak dengan skala usaha kecil dan 2 peternak dengan skala usaha menengah).
Prosedur Analisis Data Pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Analisis faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo Setelah identifikasi faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dengan pendekatan metode Berlian Porter, selanjutnya dilakukan analisis Delphi untuk memilih prioritas faktor yang paling menentukan. Teknik Delphi, dikembangkan pada awal tahun 1950-an oleh Derkey dan asosiasinya di Rand Corporation, California pada tahun 1960-an. Prosedur metode Delphi mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) menghasilkan nama, (2) iterasi dan feedback yang terkontrol dan respon kelompok secara statistik (Chang et al dalam Marimin dan Maghfiroh 2010). Faktor-faktor yang menentukan dalam keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong akan dianalisis dengan Teknik Delphi untuk mengetahui bobot, nilai, skor dari setiap faktor tersebut. Teknik Delphi menggunakan data dan informasi yag didapatkan dari data sekunder melalui studi pustaka/literatur dan data primer yang diperoleh dengan sejumlah responden terpilih serta dipilih secara sengaja untuk menentukan faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif yang paling strategis. Selanjutnya dilakukan pengisian kuesioner kepada seluruh responden yang dianggap pakar/ahli untuk bobot dan nilai dari masing-masing faktor. Teknik Delphi menggunakan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Penentuan faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif; Seluruh faktor-faktor yang diperoleh melalui studi literatur/pustaka dan dikonfirmasi kepada responden terpilih untuk mendapatkan faktor-faktor yang paling menentukan/strategis dalam mendukung daya saing.
22 2. Penentuan bobot; Meminta responden terpilih untuk mendefinisikan dan menentukan bobot dari masing-masing faktor yang telah didefinisikan. Setiap jawaban responden yang diperoleh dikelompokkan ke dalam rentang pembobotan yang bernilai 1-5, dengan kriteria penilaian: 1 = kurang menentukan 2 = sedikit menentukan 3 = cukup menentukan 4 = menentukan 5 = sangat menentukan Pembobotan dari setiap faktor penentu keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo dilakukan dengan menggunakan Tabel 5. Tabel 5 Panduan pembobotan responden Bobot RataFaktor-faktor rata 1 2 3 4 5 1 X Y Z a 2 b ……. N Jumlah rata-rata R Catatan: 1. C = 1-5 = tingkat kepentingan faktor 2. 1….N = faktor – faktor penentu daya saing yang digunakan 3. a = ((1*X)+(2*Y)+(3*Z))/jumlah responden 4. A = (a/R)
Bobot A B
1.000
3. Penentuan nilai; Meminta responden terpilih untuk menentukan nilai dari masing-masing faktor yang telah didefinisikan sebelumnya. Setelah diberi bobot, seluruh responden kemudian diminta untuk memberikan penilaian. Makin tinggi nilai yang diberikan untuk satu faktor penentu keunggulan kompetitif, mengandung arti bahwa responden menilai bahwa faktor tersebut semakin kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Setiap jawaban responden yang diperoleh dikelompokkan dalam rentang pembobtan yang bernilai 1-4 dengan kriteria penilaian: 1 = sangat lemah 2 = cukup lemah 3 = cukup kuat 4 = sangat kuat Tabel 6 merupakan panduan untuk membantu dalam penilaian yang dilakukan oleh responden. 4. Penentuan skor; Skor digunakan untuk melihat faktor mana yang tergolong kuat, sedang dan lemah dalam menentukan keunggulan kompetitif. Skor yang diperoleh dengan mengalikan bobot dengan nilai yang telah diberikan oleh kelompok pakar dan diinterpretasikan ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: Skor 1,00 hingga 2,00 menunjukkan faktor yang lemah Skor 2,00 hingga 3,00 menunjukkan faktor yang sedang Skor diatas 3,00 menunjukkan faktor yang kuat
23 Tabel 6 Panduan penilaian responden Nilai Iumlah Faktor-faktor Responden 1 2 3 4 1 X Y Z 2 ……. N Catatan : 1. 1…4 = Besarnya nilai dari faktor keunggulan kompetitif 2. 1…N = faktor-faktor keunggulan kompetitif 3. P = modus dari jawaban kolom nilai
Peringkat
Analisis Rantai Nilai Komoditas Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Analisis rantai nilai (Value Chain Analysis) digunakan untuk mengetahui berbagai macam aktivitas dan kondisi rantai nilai komoditas sapi potong. Strategi intervensi dimulai dengan pemahaman tentang pola rantai nilai komoditas sapi potong dipetakan berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap aktor pelaku rantai nilai untuk memperoleh informasi dan gambaran deskriptif dalam aktivitas utama maupun dalam aktivitas pendukung komoditas sapi potong. Setelah diperoleh gambaran tentang rantai nilai, maka informasi tentang permasalahan dan peluang dapat terlihat pada rantai nilai tersebut. 3 (tiga) komponen dalam analisis rantai nilai adalah: (1) Value chain aktor (peternak, pedagang bibit/sapi bakalan, pedagang lokal, pedagang antar wilayah dan pemotong); (2) Enabling environment (infrastruktur dan kebijakan, institusi dan pihak-pihak yang dapat mempengaruhi lingkungan pasar) dan (3) Service provider (bisnis dan jasa tambahan yang mendukung kinerja rantai nilai) Setelah dilakukan identifikasi peran masing-masing aktor yang terlibat dalam rantai nilai, kemudian dilakukan analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Analisis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui struktur biaya dan keuntungan para pelaku dikaitkan dengan resiko yang diterima masing-masing aktor. Dalam penelitian ini marjin pemasaran dihitung sebagai selisih antara harga jual sapi potong di tingkat peternak atau lembaga pemasaran dengan harga beli sapi potong di tingkat berikutnya. Secara matematis marjin pemasaran ditulis sebagai berikut (Limbong dan Sitorus 1987 dalam Silitonga 2005): Mi = Pri – Pfi Mi = Ci + Dimana: Mi = Marjin pemasaran pada tingkat ke i Pri = Harga jual pada tingkat ke i Pti = Harga beli pada tingkat ke i Ci = Biaya pemasaran pada tingkat ke-i = Keuntungan pada tingkat ke i i = 1,2,3....dan seterusnya Sehingga total marjin pemasaran adalah: M
n
M i 1
i
Analisis farmer’s share bermanfaat untuk mengetahui bagian harga yang diterima oleh peternak dibanding harga di tingkat konsumen yang dinyatakan
24 dalam prosentase dan secara matematis dirumuskan sebagai berikut: Fs = (Pf / Pr) x 100% Dimana : Fs = Farmer’s share/ Bagian harga yang diterima peternak(%) Pf = Harga di tingkat peternak (Rp/ekor) Pr = Harga di tingkat konsumen (Rp/ekor) Perumusan Strategi Analisis strategi pengembangan sapi potong dilakukan dengan metode PHA (Saaty 1993). Alasan penggunaan AHP di antaranya karena mudah menjelaskan proses pengambilan keputusan dan dapat digambarkan secara grafis. Dengan PHA, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dasar PHA, yaitu: 1. Menyusun hirarki, yaitu pemecahan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan (hirarki) dari persoalan tadi. Penyusunan hirarki dilaksanakan dengan cara mengidentifikasi pengetahuan atau informasi yang sedang diamati. Penyusunan tersebut dimulai dari masalah yang kompleks yang diuraikan menjadi elemen pokoknya, kemudian elemen pokok ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagiannya lagi dan seterusnya secara hierarkis. Penyusuan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, susunan hirarkisnya terdiri dari 5 level yaitu fokus, aktor, faktor, tujuan dan strategi seperti yang disajikan pada Gambar 4. Fokus Level 1
Strategi Pengembangan Sapi Potong
Peternak
Aktor Level 2
Faktor Level 3
Karakteristik Industri
DKPP Kab.Gorontalo
Kondisi Pasar
Lembaga Pembiayaan
Kebijakan Pemerintah
Motivasi Usaha
1
Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi potong
Tujuan Level 4
Strategi Level 5
Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi
Peningkatan Kesejahteraan Peternak
Mengoptimal kan sarana dan prasarana pendukung peternakan
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha
Komod itas sapi Peningkatan potong Daya Saing merupa Daerah kan komodi tas unggul an peterna Meningkatkan kan pengembang an pemasaran Goront domestik
2
Gambar 4. Struktur hirarki strategi pengembangan sapi potong Gorontalo 3
Menyusun regulasi pemasaran ternak
alo berteka d lumbun g diternak Kabupaten tahun 2017 Dukun gan anggar an fokus pada ternak sapi
25 2. Menetapkan prioritas. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian itu merupakan inti dari PHA, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dari terendah. Skala komparasi yang digunakan adalah 1 sampai 9 adalah yang terbaik. Hal ini telah dibuktikan oleh Saaty dengan berdasarkan pertimbangan tingginya akurasi yang ditunjukkan dengan nilai Root Means Square (RMS) dan Median Absolute Deviation (MAD) pada berbagai problema. Nilai skala komparasi yang dimaksudkan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Skala banding secara berpasang (Saaty 1993) Tingkat Definisi Penjelasan kepentingan 1 Kedua elemen sama penting Pengaruh kedua elemen sama besar 3 Elemen yang satu sedikit Mendukung sedikit satu lebih penting elemen 5 Elemen yang satu sangat Mendukung kuat satu penting elemen 7 Elemen yang satu jelas lebih Mendukung kuat satu penting elemen dan terlihat dalam praktek 9 Elemen yang satu mutlak Dukungan satu elemen lebih penting memiliki penegasan yang kuat 2, 4, 6, 8 Nilai di antara dua penilaian Kompromi antara dua yang berdekatan penilaian Kebalikan Jika elemen i mendapat satu angka dibanding elemen j, maka elemen j mendapat nilai kebalikannya elemen i Pada setiap matriks “pairwise comparison” terdapat local priority. Oleh karena “pairwise comparison” terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa di antara local priority tersebut. Pengurutan elemen-elemen tersebut menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting. 3. Konsistensi logis. Konsistensi dalam hal ini mempunyai dua makna. Pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dari relevansinya. Kedua bahwa tingkat hubungan antara obyekobyek didasarkan pada kriteria tertentu misalnya sama penting, sedikit lebih penting, jelas lebih penting, mutlak lebih penting. Konsistensi sampai kadar tertentu dalam menetapkan prioritas untuk elemen-elemen atau aktivitasaktivitas berkenaan dengan beberapa kriteria adalah perlu untuk memperoleh hasil-hasil yang shahih dalam dunia nyata. PHA mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan kita melalui suatu rasio konsistensi.
26 Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau kurang. Jika ini lebih dari 10 persen, pertimbangan itu mungkin agak acak dan mungkin perlu diperbaiki.
4.
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Keadaan Geografis Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo merupakan wilayah di Provinsi Gorontalo yang berdasarkan letak astronomisnya terletak di bagian utara garis Katulistiwa, yaitu pada 0030‟-0054‟ Lintang Utara dan 122007‟-123044‟ Bujur Timur. Kabupaten Gorontalo mempunyai batas wilayah, baik batas darat maupun batas laut yang membatasinya dengan wilayah lain. Di sebelah utara berbatasan Kabupaten Gorontalo Utara di sebelah selatan berbatasan dengan teluk Tomini Di sebelah timur berbatasan kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Boalemo. Kabupaten Gorontalo merupakan wilayah dengan luas wilayah sekitar 2.207,58 km2. Secara administratif, pada tahun 2012 Kabupaten Gorontalo terdiri atas 19 kecamatan (termasuk satu kecamatan pemekaran terakhir), 191 desa, 14 kelurahan, 66 lingkungan dan 742 dusun (BPS Kabupaten Gorontalo 2013) dengan aktivitas pemerintahan dipusatkan di ibukota Kabupaten Gorontalo, yaitu Limboto. Kondisi Iklim Kabupaten Gorontalo Seperti halnya wilayah lain di Indonesia, secara klimatologis Kabupaten Gorontalo terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan tertinggi pada tahun 2012 berkisar 412 mm pada bulan November dengan jumlah hari hujan sebanyak 20 hari. Hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Februari sebanyak 24 hari dengan curah hujan 130 mm. Kabupaten Gorontalo memiliki iklim tropis dengan suhu bervariasi berkisar antara 26,3ºC - 27,6ºC selama tahun 2012 tergantung tinggi rendahnya tempat terhadap permukaan laut dan jarak dari pantai. Rata-rata kelembabannya adalah berkisar antara 77 sampai dengan 85 persen.
Keadaan Demografis Kabupaten Gorontalo Jumlah penduduk Kabupaten Gorontalo pada tahun 2010 sebanyak 355.988 jiwa. Tahun 2011 menjadi 363.763 jiwa atau mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 2,18 persen, dan tahun 2012 mencapai 368.053 jiwa berdasarkan proyeksi penduduk untuk kepentingan DAU 2012 atau mengalami pertumbuhan 1,18 persen (BPS Kabupaten Gorontalo 2013). Kabupaten Gorontalo merupakan daerah agraris atau daerah yang memiliki sumberdaya agraris sebagai tumpuan kehidupan ekonomi bagi sebagian besar penduduknya. Daerah ini mempunyai lahan untuk kegiatan agribisnis yang sangat luas sehingga berdampak pada jenis
27 mata pencaharian penduduk Kabupaten Gorontalo. berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8
Struktur
penduduk
Struktur penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan lapangan usaha di Kabupaten Gorontalo tahun 2012 Mata Pencaharian
Agribisnis (pertanian, kehutanan, peternakan, kehutanan, perburuan dan perikanan) Industri Pengolahan Perdagangan besar, eceran, Rumah Makan, dan hotel Jasa kemasyarakatan Lainnya (Pertambangan, Listrik, Gas, Air, Bangunan, Transportasi, dan Keuangan)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Persentase (%)
58.864
39,75
24.316 21.198 17.622 26.705
16,42 14,31 11,90 17,62
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo 2013
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa bila ditinjau dari struktur penduduk usia 15 tahun ke atas menurut lapangan usaha, 58.864 jiwa atau 39,75 persen penduduk Kabupaten Gorontalo menjadikan kegiatan agribisnis sebagai sumber mata pencahariannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kabupaten Gorontalo masih menggantungkan kehidupan ekonominya pada kegiatan agribisnis yang termasuk di dalamnya peternakan. Keadaan Ekonomi Kabupaten Gorontalo Struktur ekonomi Kabupaten Gorontalo yang ditunjukkan oleh PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku pada tahun 2012 secara sektoral, sektor pertanian adalah penyumbang perekonomian kedua setelah sektor jasa. Sub sektor andalan dalam sektor pertanian adalah subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor peternakan dan hasil-hasilnya menempati urutan ketiga setelah subsektor tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan. Sumbangan PDRB menurut subsektor pada sektor pertanian di Kabupaten Gorontalo disajikan pada Tabel 9. Tabel 9
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut subsektor pada sektor pertanian di Kabupaten Gorontalo (Jutaan Rupiah) Tahun 2009-2012 Lapangan Usaha
PERTANIAN 1. Tanaman Bahan Makanan 2. Tanaman Perkebunan 3. Peternakan dan hasil-hasilnya 4. Kehutanan 5. Perikanan Total
Tahun 2009
2010
2011*
2012**
213.365 242.892 90.317 10.185 52.780 609.539
273.260 238.223 103.501 11.703 58.728 685.415
288.158 243.331 107.144 12.391 67.890 718.914
313.023 247.128 111.625 12.391 72.136 757.303
Sumber : BPS Kabupaten Gorontalo 2013 Keterangan : * angka sementara, ** angka sangat sementara
28 Penyebaran dan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Sapi potong sebagai salah satu komoditi ternak unggulan di Kabupaten Gorontalo tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Gorontalo dengan peta wilayah dan penyebarannya pada tahun 2013 disajikan pada Lampiran 1. Jumlah populasi dan produksi sapi potong berdasar kecamatan di Kabupaten Gorontalo pada tahun 2011-2013 disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Sumber: Catatan:
BPS Kabupaten Gorontalo 2012 dan 2013, DKPP Kabupaten Gorontalo 2014 Dungaliyo masih bergabung dengan Bongomeme Populasi tahun 2011 Populasi tahun 2012 Populasi tahun 2013
Gambar 5. Populasi sapi potong di Kabupaten Gorontalo Tahun 2011-2013 Populasi sapi potong terbesar di Kecamatan Bongomeme pada tahun 2013 dan di Kecamatan Mootilango pada tahun 2011 dan 2012. Perbedaan dan naik turunnya populasi sapi di setiap kecamatan dipengaruhi oleh dinamika populasi yang di dalamnya terdiri dari kelahiran, kematian, pemasukan, pengeluaran, dan pemotongan sapi yang terjadi selama tahun berjalan.
Sumber: Catatan:
BPS Kabupaten Gorontalo 2012 dan 2013, DKPP Kabupaten Gorontalo 2014 Dungaliyo masih bergabung dengan Bongomeme Produksi tahun 2011 Produksi tahun 2012 Produksi tahun 2013
Gambar 6. Produksi sapi potong di Kabupaten Gorontalo Tahun 2011-2013 Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa jumlah produksi sapi potong berfluktuasi selama tiga tahun terakhir. Produksi ternak dipengaruhi oleh jumlah ternak yang dipotong pada tahun berjalan. Sedangkan ternak yang dipotong
29 berdasarkan jumlah permintaan produk dalam wilayah Gorontalo. Permintaan produk terkait dengan konsumsi daging sapi. Konsumsi daging sapi di Provinsi Gorontalo pada tahun 2013 menempati urutan ketiga terbawah secara nasional, yakni sebesar 1,5 kg/kapita/tahun (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2014). Dari ketersediaan populasi dan potensi produksi, maka permintaan dalam wilayah Gorontalo sesuai dengan jumlah konsumsi sudah bisa terpenuhi, sehingga kelebihan potensi yang ada berpeluang untuk menjadi penyedia sapi potong secara nasional. Tenaga Kerja yang Terlibat dalam Usaha Pengembangan Sapi Potong Usaha ternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo melibatkan rumah tangga masyarakat yang cukup banyak dan tersebar di 18 kecamatan seperti disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jumlah Rumah Tangga pemelihara sapi potong menurut kecamatan tahun 2013 Jumlah rumah tangga Kecamatan pemelihara Batudaa Pantai 270 Biluhu 239 Batudaa 410 Bongomeme 3.494 Tabongo 1.470 Tibawa 2.971 Pulubala 2.673 Boliyohuto 1.818 Mootilango 2.463 Tolangohula 2.132 Asparaga 1.202 Bilato 580 Limboto 1.511 Limboto Barat 2.043 Telaga 653 Telaga Biru 1.187 Tilango 220 Talaga Jaya 232 Total 25.568
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo(2013) Catatan: Dungaliyo masih bergabung dengan Bongomeme
Berdasarkan hasil Survei Peternakan Nasional oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2008 tercatat jumlah Rumah Tangga Peternak di Kabupaten Gorontalo sebanyak 24.864 Rumah Tangga (RT). Dari jumlah tersebut, jumlah Rumah Tangga yang mengusahakan ternak sapi potong mencapai 16.703 Rumah Tangga atau 67,18 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa Rumah Tangga peternakan paling banyak mengusahakan ternak sapi potong. Sedangkan berdasarkan hasil
30 sensus pertanian (ST) tahun 2013, jumlah Rumah Tangga peternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo mengalami kenaikan menjadi sebanyak 25.568 Rumah Tangga. Jumlah tersebut merupakan 30,6 persen dari jumlah seluruh Rumah Tangga yang ada di Kabupaten Gorontalo. Hal ini menunjukkan besarnya jumlah Rumah Tangga yang berkecimpung dalam usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Kelembagaan Usaha Pengembangan Sapi Potong Instansi di tingkat kabupaten yang terkait langsung dengan pengembangan sapi potong adalah Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan (DKPP) Kabupaten Gorontalo. Pengembangan sapi potong di kabupaten ini telah dituangkan dalam Renstra SKPD 2012-2017 yang di dalamnya juga mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi dinas, prioritas dan sasaran pengembangan sapi potong sebagai ternak unggulan. Wadah organisasi yang ada saat ini adalah kelompok peternak yang disajikan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Penyebaran kelompok peternak, kelas, jumlah anggota, dan jumlah sapi kelompok di Kabupaten Gorontalo Tahun 2014
Nama Kecamatan Batudaa Pantai Biluhu Batudaa Bongomeme Dungaliyo Tabongo Tibawa Pulubala Boliyohuto Mootilango Tolangohula Asparaga Bilato Limboto Limboto Barat Telaga Telaga Biru Tilango Talaga Jaya JUMLAH
Jumlah Kelompok 1 75 9 54 32 70 146 21 2 22 11 5 7 455
Kelas Kelompok Pemula Lanjut 1 56 19 9 49 5 27 5 62 8 126 20 21 2 22 11 5 7 398 57
Jumlah Anggota 10 900 90 593 395 773 1.789 220 20 241 94 50 71 5.246
Jumlah Sapi Awal Akhir 16 5 1.167 2.293 103 113 658 770 499 642 1.020 1.213 2.472 3.356 248 250 24 24 366 396 149 190 54 52 126 141 6.902 9.445
Sumber: DKPP Kabupaten Gorontalo 2014 Kelembagaan kelompok peternak di Kabupaten Gorontalo mulai terbentuk sejak adanya program PUTKATI (Program Usaha Ternak Kawasan Timur Indonesia) pada tahun 2002 ketika masih menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Adanya sistem perguliran serta program-program baru dari pemerintah, menjadikan berkembangnya jumlah kelompok peternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo hingga saat ini. Kemitraan pemasaran sapi potong oleh kelompok dengan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) pada tahun 2006-2007 pernah
31 berjalan dengan baik dan memberikan manfaat yang baik dalam upaya peningkatan pendapatan peternak. Namun karena kurangnya pendampingan dan seiring lemahnya lembaga BUMD tersebut dalam pemasaran sapi potong, kemitraan tersebut tidak berlangsung lagi saat ini. Kelompok-kelompok peternak yang ada belum difungsikan secara optimal, cenderung terbentuk hanya karena adanya program pemerintah, sehingga anggota-anggota kelompok belum memanfaatkan secara optimal adanya kelembagaan tersebut baik dalam pemasaran maupun dalam memajukan usahanya. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Usaha ternak sapi potong menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat di wilayah Provinsi Gorontalo pada umumnya dan pada saat ini mendapat perhatian cukup besar dari semua pihak terkait, mengingat sapi potong ditargetkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi wilayah Gorontalo setelah jagung. Modal dasar untuk mencapai target tersebut adalah potensi ternak dan kemampuan masyarakat secara teknis dan manajemen pemeliharaan ternak serta dukungan program dan kegiatan terkait pengembangan usaha peternakan sapi potong rakyat yang diterapkan oleh Dinas yang membidangi peternakan di tingkat Kabupaten maupun Provinsi. Sapi potong merupakan komoditas unggulan mengingat pasar yang bagus seiring dengan meningkatnya permintaan. Namun demikian, populasi sapi potong masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan daging domestik. Pemeliharaan sapi potong yang dilakukan dengan benar akan sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur. Selain itu, semua organ tubuh sapi dapat dimanfaatkan antara lain: kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi dan jaket. Tulang sapi potong dapat diolah menjadi bahan perekat/lem, tepung tulang dan barang kerajinan. Tanduk dapat digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan kerajinan lainnya. Pohon industri sapi potong disajikan pada Gambar 7. Karkas merupakan produk utama sapi potong, yakni potongan bagian tubuh sapi yang tidak termasuk bagian kepala, kulit, ekor, ujung kaki, jeroan dan darah. Secara umum, karkas dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu bagian bahu, bagian punggung, bagian dada-perut, bagian paha belakang dan bagian betis. Bagian kepala, kulit, ekor, kaki dan jeroan menjadi bagian edible offal (bagian selain karkas yang bisa dimakan/dikonsumsi), sedangkan bagian lain seperti tulang, kulit dan tanduk merupakan bagian inedibe offal (bagian selain karkas yang tidak bisa dimakan). Industri sapi potong di Kabupaten Gorontalo belum berkembang maksimal, di mana produk selain karkas seperti kotoran, kulit, tulang, tanduk belum dimanfaatkan dan belum dilakukan pengolahan dengan memanfaatkan teknologi. Jika keseluruhan produk dimanfaatkan dan diolah maka akan memberikan nilai tambah bagi peternak dan industri sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Selain mempunyai potensi dalam pengembangan industri di atas, adanya permintaan pasar akan sapi potong selama ini baik di dalam daerah maupun di luar wilayah memberikan peluang pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Pemenuhan akan permintaan tersebut tergambarkan dari jumlah
32 pemotongan (dalam wilayah) Provinsi Gorontalo dan pengeluaran sapi untuk luar wilayah Provinsi Gorontalo. Jumlah pemotongan dan pengeluaran sapi potong di Provinsi Gorontalo selama tahun 2011-2013 disajikan pada Tabel 12. -
HULU
ON FARM
Industri pakan Pembibitan Embung Pompa air Infrastruktur
- Pola integrasi perkebunan - Pola integrasi tanaman pangan - Peternakan rakyat - Feedloter
PEMBESARAN & PENGGEMUKAN
HILIR
DAGING Daging segar
Olahan - Bakso - Sosis - Combeef - Dendeng
LAIN-LAIN
KULIT Industri kulit samak
Industri kulit jadi - Produk fashion (jas kulit) - Kerajinan tangan (souvenir)
-
Darah Tulang Limbah Usus
KOMPOS Pupuk organik
Bahan pakan ternak
Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balitbang Pertanian 2008
Gambar 7. Pohon industri sapi potong Tabel 12
Jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sapi potong Provinsi Gorontalo tahun 2011-2013 No Tahun Jumlah Pemotongan Jumah Pengeluaran berdasar (Ekor) Surat Rekomendasi Disnakbun 1 2011 16.674 2.467 2 2012 16.005 1.538 3 2013 18.035 1.544 Sumber: Disnakbun Provinsi Gorontalo 2012, 2013, 2014
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Keunggulan Kompetitif Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Penilaian faktor-faktor keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dipergunakan suatu model yang dapat menganalisis faktorfaktor yang dapat berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif pengembangan
33 sapi potong. Model yang digunakan adalah Teori Berlian Porter, dimana komponen-komponen keunggulan kompetitif dikembangkan berdasar model Diamond Porter. Setiap faktor yang terdapat pada Model Berlian Porter memiliki atribut-atribut penting yang mampu menjelaskan secara detail faktor yang ada. Faktor (Input) Kondisi yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sapi Potong Faktor (input) kondisi yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, infrastruktur fisik, infrastruktur administratif, infrastruktur informasi, dan infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hasil wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dari seluruh responden dalam penentuan keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo untuk faktor (input) kondisi didapatkan nilai, bobot, skor masingmasing elemen dan total skor pada faktor (input) kondisi seperti disajikan pada Tabel 13. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan rekapitulasi keseluruhan responden seperti yang disajikan pada Lampiran 2. Tabel 13
a b c d e f g
Hasil penilaian faktor (input) kondisi yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong Determinan Nilai Bobot Skor Sumberdaya alam mendukung sentra produksi 4 0,165 0,606 4 0,168 0,631 Sumberdaya manusia 3 0,144 0,396 Tersedianya sumberdaya permodalan 3 0,132 0,363 Infrastruktur fisik yang mendukung 3 0,120 0,340 Infrastruktur administratif yang mendukung 3 0,132 0,363 Infrastruktur iptek yang mendukung 3 0,138 0,380 Kualitas input sumberdaya TOTAL 1,000 3,080
Dari Tabel 13 diketahui bahwa total skor diperoleh sebesar 3,080, dimana hal ini menunjukkan bahwa faktor (input) kondisi yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai “pengaruh yang kuat” dalam pengembangan sapi potong. Elemen-elemen yang ada di dalamnya sangat menentukan keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Adapun elemen-elemen faktor di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Sumberdaya Alam yang Mendukung Sentra Produksi Dari Tabel 13 diketahui bahwa hasil analisis diperoleh nilai, bobot dan skor untuk faktor sumberdaya alam yang mendukung sentra produksi secara berturutturut adalah 4, 0,165 dan 0,631. Dengan nilai 4 menunjukkan bahwa faktor tersebut sangat kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Bobot dan skor menempati urutan kedua setelah faktor sumberdaya manusia yang berkualitas. Secara umum, usaha pengembangan sapi potong dapat dilakukan hampir di segala kondisi termasuk Kabupaten Gorontalo yang beriklim tropis yang memungkinkan usaha peternakan sapi potong dapat berjalan dengan baik. Iklim
34 merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus “menyesuaikan“ dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk daerah peternakan adalah pada klimat semi-arid. Daerah dengan klimat ini ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara relatif dan musim kering yang panjang. Meskipun curah hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508 mm, hujan dapat turun lebih lebat meskipun kejadian itu sangat jarang. Produktivitas ternak dipengaruhi oleh 70 persen faktor lingkungan, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi sekitar 30 persen Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar sekitar 60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitasnya, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Di samping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60-80 persen dari keseluruhan biaya produksi. Pakan yang memerlukan biaya terbesar merupakan sumberdaya alam pendukung untuk mencapai produktivitas ternak yang optimal. 2. Sumberdaya Manusia Elemen sumberdaya manusia pada faktor (input) kondisi mempunyai bobot dan skor tertinggi yaitu sebesar 0,168 dan 0,631. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 4 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden sangat kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Hal ini mengindikasikan begitu pentingnya kualitas sumberdaya manusia, khususnya peternak sebagai pelaku dalam proses produksi, maupun aparat pemerintah sebagai tenaga pembimbing, penyuluh dan pelayan kesehatan hewan dalam pengembangan sapi potong. Sumberdaya manusia merupakan salah satu kunci sukses keberhasilan pembangunan suatu Negara. Sumberdaya manusia merupakan faktor penggerak sumberdaya lainnya yang bersifat statis. Faktor sumberdaya manusia dalam pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo antara lain: peternak dan aparat penyuluh. Faktor sumberdaya manusia khususnya peternak di Kabupaten Gorontalo memiliki keunggulan kompetitif dari segi kuantitas serta biaya tenaga kerja yang relatif lebih murah dibandingkan negara produsen sapi potong di negara lain. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja dengan upah rendah jelas memiliki keunggulan dalam memproduksi produk yang memerlukan keterampilan rendah dan padat karya. 3. Tersedianya Sumberdaya Permodalan Elemen tersedianya sumberdaya permodalan pada faktor (input) kondisi mempunyai bobot sebesar 0,144 dan skor 0,396. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Modal merupakan faktor yang sangat menentukan berdiri dan berkembangnya suatu usaha. Ketersediaan, jumlah, biaya
35 dan tipe modal yang tersedia bagi industri dalam suatu negara berbeda dari negara lain. Tingkat tabungan, suku bunga, undang-undang pajak dan defisit pemerintah dari suatu negara mempengaruhi ketersediaan semua faktor ini. Permodalan di sektor peternakan khususnya sapi potong masih dirasakan sangat lemah. Hal ini terlihat dari masih banyaknya para pelaku usaha sapi potong, khususnya pada subsistem budidaya yang menjalankan usahanya dalam skala kecil karena keterbatasan modal. Keterbatasan modal merupakan masalah yang tidak bisa lepas dalam dunia pertanian di Indonesia. Sumber pembiayaan usaha mikro dan kecil termasuk bagi peternak sebagian besar masih berasal dari modal pribadi dan modal keluarga. Hal ini didukung oleh kenyataan di lapangan, meskipun banyak sumber dana yang tersedia, tetapi sumber tersebut belum banyak dimanfaatkan karena belum ada titik temu peternak sebagai debitur dan pihak kreditur. Dari sisi peternak, beberapa kendala dalam mengakses permodalan dari bank adalah suku bunga yang tinggi dan kesulitan memenuhi persyaratan agunan. Sedangkan dari sisi perbankan, permasalahan peternakan rakyat terletak pada kelayakan usaha, baik aspek keuangan maupun aspek pemasaran dan tenaga kerja. 4. Infrastruktur Fisik yang Mendukung Elemen infrastruktur fisik yang mendukung pada faktor (input) kondisi mempunyai bobot sebesar 0,132 dan skor 0,363. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Infrastruktur fisik meliputi sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan agribisnis sapi potong yang berperan bagi seluruh subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir, maupun subsistem penunjang. Infrastruktur pada subsistem hulu antara lain infrastruktur pendukung usaha perbibitan seperti Pos ULIB (Unit Lokasi Inseminasi Buatan), pabrik pakan serta industri obat dan vaksin. Pada subsistem budidaya, infrastruktur kandang hanya dimiliki oleh beberapa peternak, sementara pemeliharaan sapi yang banyak dilakukan secara ekstensif (tidak dikandangkan). Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) juga dibutuhkan pada subsistem budidaya untuk menjamin kesehatan ternak sapi potong. Pada subsistem pascapanen, infrastruktur pendukung pengembangan sapi potong adalah RPH (Rumah Potong Hewan). Sarana dan prasarana pendukung lainnya berupa sistem transportasi dan sistem komunikasi. 5. Infrastruktur Administratif yang Mendukung Elemen administratif yang mendukung pada faktor (input) kondisi mempunyai bobot sebesar 0,120 dan skor 0,340. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Infrastruktur administratif erat hubungannya dengan pelayanan yang diberikan oleh lembaga pemerintah. Infrastruktur administratif yang baik dapat mendukung berkembangnya agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Dukungan infrastruktur administratif antara lain seperti kemudahan pengurusan ijin usaha dan kemudahan pengurusan ijin rekomendasi pengeluaran/pemasukan ternak. Selain itu, dukungan regulasi pemasaran untuk melindungi peternak sangat dibutuhkan, tetapi belum ada hingga saat ini.
36 6. Infrastruktur IPTEK yang Mendukung Elemen IPTEK yang mendukung pada faktor (input) kondisi mempunyai bobot sebesar 0,132 dan skor 0,363. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Penguasaan IPTEK dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo diperlukan baik pada subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem budidaya maupun subsistem hilir. Para petugas dan aparat yang ditetapkan menjadi petugas IB (Inseminasi Buatan), PKB (Pemeriksa Kebuntingan) dan ATR (Asisten Teknik Reproduksi) telah dibekali dengan IPTEK terkait guna mendukung pengembangan sapi potong. Infrastruktur lainnya seperti pengolahan pakan, mesin pemotong rumput (chopper), dan pengolah pupuk kompos telah dimiliki ataupun diketahui oleh sebagian kecil peternak yang berkelompok namun belum dioperasionalkan secara maksimal. 7. Kualitas Input Sumberdaya Elemen kualitas input sumberdaya pada faktor (input) kondisi mempunyai bobot sebesar 0,138 dan skor 0,380. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Kualitas input sumberdaya meliputi kualitas bibit/sapi bakalan, pakan, obat-obatan, vitamin dan vaksin serta peralatan budidaya atau produksi. Kualitas input sumberdaya dalam jumlah dan kualitas yang memadai akan mendorong semakin tingginya keunggulan kompetititf komoditas sapi potong. Faktor Penunjang dan Terkait yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sapi Potong Faktor industri penunjang dan terkait yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong antara lain kemampuan pemasok domestik dan persaingan antara industri terkait. Kedua faktor tersebut digambarkan pada kinerja industri penunjang dan terkait dalam pengembangan agribisnis sapi potong. Hasil wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dari seluruh responden dalam penentuan faktor keunggulan kompetitif yang berpengaruh dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo untuk faktor industri penunjang dan terkait didapatkan nilai, bobot dan total skor disajikan pada Tabel 14. Nilai, bobot dan skor tersebut diperoleh dari analisis keseluruhan responden yang disajikan pada Lampiran 2. Tabel 14
Hasil penilaian faktor industri penunjang dan terkait yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong Determinan Nilai Bobot Skor a Kemampuan pemasok domestik 2 0,553 1,428 b Persaingan antar industri terkait 2 0,447 1,081 TOTAL 1,000 2,509
Dari Tabel 14 diketahui bahwa total skor diperoleh sebesar 2,509, di mana hal ini menunjukkan bahwa industri penunjang dan terkait yang berpengaruh
37 terhadap pengembangan sapi potong mempunyai “pengaruh yang sedang” dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Adapun elemen-elemen faktor di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan Pemasok Domestik Elemen kemampuan pemasok domestik pada faktor industri penunjang dan terkait mempunyai bobot sebesar 0,553 dan skor 1,428. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 2 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup lemah dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Kemampuan pemasok domestik merupakan kemampuan dalam menyediakan sarana dan input produksi untuk kelangsungan pengembangan agribisnis sapi potong. Sarana dan input produksi tersebut disediakan oleh industri terkait. Industri terkait merupakan industri yang berada dalam satu sistem agribisnis sapi potong secara vertikal, diantaranya subsistem budidaya terkait dengan subsistem hulu (pemasok bibit/sapi bakalan, pakan, obat-obatan, vitamin, vaksin dan sarana IB serta peralatan produksi atau perkandangan), dan subsistem hilir (industri pascapanen dan pengolahan). Mengingat belum berkembangnya industri terkait di Kabupaten Gorontalo, maka kemampuan pemasok domestik belum bisa memberikan dampak yang kuat bagi keunggulan kompetitif sapi potong di Kabupaten Gorontalo. 2. Persaingan antar industri terkait Elemen persaingan antar industri terkait pada faktor industri penunjang dan terkait mempunyai bobot sebesar 0,447 dan skor 1,081. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 2 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup lemah dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Mengingat belum berkembanganya industri terkait dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, maka persaingan antar industri terkait memberikan dampak yang lemah bagi keunggulan kompetitif sapi potong. Faktor Kondisi Permintaan yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sapi Potong Faktor kondisi permintaan dalam hal ini adalah ragam permintaan sapi potong domestik, pola permintaan sapi potong domestik, langkah antisipatif dan segmen pasar yang memungkinkan untuk ekspor. Keempat faktor tersebut digambarkan pada kinerja kondisi permintaan dalam pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Hasil wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dari seluruh responden dalam penentuan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo untuk kondisi permintaan didapatkan nilai, bobot dan total skor seperti disajikan pada Tabel 15. Nilai, bobot dan skor tersebut diperoleh dari analisis keseluruhan responden yang disajikan pada Lampiran 2. Dari Tabel 15 terlihat bahwa skor total pada faktor kondisi permintaan sebesar 2,882 menunjukkan bahwa faktor tersebut mempunyai “pengaruh yang sedang” dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
38 Tabel 15
a b c d
Hasil penilaian faktor kondisi permintaan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong Determinan Nilai Bobot Skor Ragam permintaan sapi potong domestic 3 0,259 0,799 Pola permintaan sapi potong domestic 3 0,247 0,700 Langkah antisipatif 3 0,235 0,606 Segmen pasar yang memungkinkan untuk ekspor 3 0,259 0.778 TOTAL
1,000
2.882
Adapun elemen-elemen faktor di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Ragam Permintaan Sapi Potong Domestik Elemen ragam permintaan sapi potong domestik pada faktor kondisi permintaan mempunyai bobot sebesar 0,259 dan skor 1,799. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Fokus dan tujuan utama dilakukannya usaha sapi potong adalah untuk memenuhi permintaan konsumen akan kebutuhan daging sapi, sehingga segmentasi pasar berupa produk sapi hidup siap potong dan daging. Namun demikian, permintaan dapat juga berupa produk keluaran lain (seperti kotoran, kulit, tanduk, darah dan tulang). Produk keluaran lain tersebut merupakan produk sampingan yang bisa memberikan tambahan pendapatan bagi peternak ataupun pemotong. Mengingat konsumsi penduduk Gorontalo terhadap daging sapi masih rendah dibanding rata-rata nasional, maka selama ini permintaan tersebut sudah terpenuhi dari ketersediaan sapi potong di dalam daerah. 2. Pola Permintaan Sapi Potong Domestik Elemen pola permintaan sapi potong domestik pada faktor kondisi permintaan mempunyai bobot sebesar 0,247 dan skor 1,700. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Pola permintaan sapi potong domestik dipengaruhi oleh tradisi dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat setempat. Pada saat bulan-bulan tertentu masyarakat banyak mengadakan pesta, maka permintaan sapi potong dan produk daging meningkat. Begitu juga pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal, permintaan sapi potong serta produk daging juga meningkat. 3. Langkah Antisipatif Elemen langkah antisipatif pada faktor kondisi permintaan mempunyai bobot sebesar 0,235 dan skor 1,606. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Langkah antisipatif dalam pengembangan sapi potong masih kurang baik dalam memenuhi kebutuhan pembeli. Secara nasional, pelaku usaha di Indonesia belum mampu menyediakan komoditas produk daging sapi potong yang sesuai dengan standar dan selera konsumen luar negeri. Selain itu pelaku usaha sapi
39 potong juga belum bisa mengantisipasi secara baik fluktuasi harga dan pasokan sarana produksi maupun pasokan daging sapi. Hal ini karena usaha sapi potong berjalan dengan apa adanya tanpa ada upaya untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi sehingga belum menghasilkan pendapatan yang tinggi. 4. Segmen yang Memungkinkan untuk Ekspor Elemen langkah antisipatif pada faktor kondisi permintaan mempunyai bobot sebesar 0,259 dan skor 1,778. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Terbukanya pasar global memberikan peluang dalam usaha pengembangan sapi potong untuk bisa berdaya saing di kancah dunia internasional, atau paling tidak mencapai swasembada daging sapi. Hal ini bisa dilakukan melalui promosi sehingga konsumen akan merasa puas dengan cita rasa daging sapi Indonesia. Namun demikian, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif sapi potong di Indonesia pada umumnya dan di Kabupaten Gorontalo pada khususnya. Faktor Strategi Perusahaan dan Persaingan yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sapi Potong Faktor strategi perusahaan dan persaingan dalam hal ini adalah investasi pengembangan sapi potong dan perbaikan program yang berkelanjutan. Kedua faktor tersebut digambarkan pada kinerja strategi perusahaan dan persaingan dalam pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Hasil wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dari seluruh responden dalam penentuan keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo untuk strategi perusahaan dan persaingan didapatkan nilai, bobot dan total skor sebagaimana pada Tabel 16. Nilai, bobot ddan skor tersebut diperoleh dari analisis keseluruhan responden yang disajikan pada Lampiran 2. Tabel 16 Hasil penilaian faktor strategi perusahaan dan persaingan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong Determinan Nilai Bobot Skor a Investasi pengembangan sapi potong 2 0,500 1,208 b Perbaikan program yang berkelanjutan 3 0,500 1,250 TOTAL 1,000 2.458 Dari Tabel 16 terlihat bahwa faktor strategi perusahaan dan persaingan dengan skor total pada faktor strategi perusahaan dan persaingan sebesar 2,458 menunjukkan bahwa faktor strategi perusahaan dan persaingan mempunyai “pengaruh yang sedang” dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Adapun elemen-elemen faktor di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Investasi pengembangan sapi potong Elemen investasi pengembangan sapi potong pada faktor strategi perusahaan dan persaingan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,500 dan skor 1,250. Nilai rata-rata dari keseluruhan
40 responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Investasi dimaksudkan untuk efisiensi biaya produksi agar dalam usaha sapi potong bisa lebih efisien dan lebih lebih dikhususkan pada penyediaan modal. 2. Perbaikan program yang berkelanjutan Elemen perbaikan program yang berkelanjutan pada faktor strategi perusahaan dan persaingan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,500 dan skor 1,208. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 2 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup lemah dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Perbaikan program dimaksudkan untuk efisiensi biaya produksi agar dalam usaha sapi potong bisa lebih efisien. Perbaikan program dilakukan guna menghadapi fluktuasi usaha serta agar mampu bersaing dengan produk impor yang harganya sangat murah. Peran Pemerintah yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sapi Potong Faktor peran pemerintah dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong, peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik, peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknologi dan peran pemerintah dalam dukungan sarana dan prasarana. Keempat faktor tersebut digambarkan pada kinerja peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Hasil wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dari seluruh responden dalam penentuan keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo untuk peran pemerintah didapatkan nilai, bobot dan total skor seperti disajikan pada Tabel 17. Nilai, bobot dan skor tersebut diperoleh dari analisis keseluruhan responden yang disajikan pada Lampiran 2. Tabel 17
a b c d
Hasil penilaian faktor peran pemerintah yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong Determinan Nilai Bobot Skor Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi 4 0,270 0,968 potong Peran pemerintah dalam membentuk permintaan 3 0,220 0,587 domestic Peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, 3 0,265 0,808 bimbingan teknologi Peran pemerintah dalam dukungan sarana dan 3 0,255 0,765 prasarana TOTAL 1,000 3.127
Dari Tabel 17 terlihat bahwa faktor peran pemerintah dengan skor tertinggi kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong dengan bobot 0,270 dan skor 0,968. Skor total pada faktor kondisi permintaan sebesar 3,127 menunjukkan bahwa faktor peran pemerintah mempunyai “pengaruh yang kuat” dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
41 Adapun elemen-elemen faktor di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong Elemen kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong pada peran pemerintah yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,270 dan skor 0,968. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 4 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden sangat kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan motivator dalam pengembangan sapi potong sangat diharapkan. Beberapa langkah nyata yang telah diwujudkan pemerintah dalam mendukung kemajuan pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo antara lain: pendistribusian bibit ternak, penguatan modal usaha kelompok peternak sapi potong, pendistribusian obat dan vaksin, dan pemberantasan penyakit ternak. 2. Peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik Elemen peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik pada peran pemerintah yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,220 dan skor 0,857. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Namun demikian, peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik memiliki nilai paling rendah. Hal ini dibuktikan belum adanya kebijakan/regulasi terkait pemasaran ternak sapi potong, baik dalam hal penetapan harga, pengaturan pengeluaran/pemasukan ternak, serta penggunaan sarana (alat timbang) dalam transaksi jual beli sapi potong. 3. Peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknologi Elemen peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknologi pada peran pemerintah yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,265 dan skor 0,808. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Upaya pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan dan bimbingan teknologi difasilitasi oleh DKPP Kabupaten Gorontalo maupun Disnakbun Provinsi Gorontalo dengan tenaga pendamping dari kedua instansi tersebut karena instansi dari Kabupaten saja belum mampu untuk menangani seluruh peternak di Kabupaten Gorontalo. 4. Peran pemerintah dalam Dukungan Sarana dan Prasarana Elemen peran pemerintah dalam dukungan sarana dan prasarana pada peran pemerintah yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,255 dan skor 0,765. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Beberapa langkah nyata yang telah diwujudkan pemerintah dalam mendukung kemajuan pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo melalui penyediaan sarana dan prasarana antara lain: penyediaan sarana dan
42 prasarana Puskeswan, pembangunan RPH, pembangunan pos ULIB (Unit Lokasi IB Baru), dan pembangunan Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO). Peran Kesempatan yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sapi Potong Faktor peran kesempatan dalam hal ini adalah penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong, Jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong, masih adanya peluang pasar baik di kabupaten maupun provinsi dan masih adanya peluang pasar di tingkat nasional. Keempat faktor tersebut digambarkan pada kinerja peran kesempatan dalam pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Hasil wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dari seluruh responden dalam penentuan keunggulan kompetitif agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo untuk peran kesempatan didapatkan nilai, bobot dan total skor sesuai dengan Tabel 18. Nilai, bobot dan skor tersebut diperoleh dari analisis keseluruhan responden yang disajikan pada Lampiran 2. Tabel 18
a b c d
Hasil penilaian faktor peran kesempatan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong Determinan Nilai Bobot Skor Penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong 2 0,215 0,483 Jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong 3 0,260 0,736 Masih adanya peluang pasar baik di kabupaten 3 0,254 0,784 maupun provinsi Masih adanya peluang pasar di tingkat nasional 3 0,271 0,859 TOTAL 1,000 2,862
Dari Tabel 18 terlihat bahwa faktor peran kesempatan dengan skor tertinggi adalah masih adanya peluang pasar di tingkat nasional dengan bobot 0,271 dan skor 0,859. Skor total pada faktor peran kesempatan sebesar 2,862 menunjukkan bahwa faktor peran kesempatan mempunyai “pengaruh yang sedang” dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Adapun elemen-elemen faktor di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Penemuan Baru dalam Bidang Produksi Sapi Potong Elemen penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong pada peran kesempatan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,215 dan skor 0,483. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 2 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup lemah dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong antara lain rekayasa genetika melalui embryo transfer, penerapan Sistem integrasi tanaman-ternak, dan pengolahan kotoran ternak. Penemuan-penemuan baru tersebut belum diterapkan secara optimal di usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. 2. Jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong Elemen jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong pada peran kesempatan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,260 dan skor 0,736. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup
43 kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Jiwa kewirausahaan dibutuhkan oleh setiap pelaku usaha sapi potong, baik peternak, pedagang lokal, pedagang antar wiayah maupun pemotong serta pelaku pendukung lainnya. Dalam menjalankan usaha tersebut dibutuhkan SDM yang tangguh, mempunyai jiwa wirausaha dan bersedia maju bersama berkembanganya usaha pengembangan sapi potong guna mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia. 3. Masih adanya peluang pasar baik di kabupaten maupun provinsi Masih adanya peluang pasar baik di kabupaten maupun provinsi sebagai elemen pada peran kesempatan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,254 dan skor 0,784. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Peluang pasar secara regional adalah meningkatnya jumlah konsumsi daging sapi tiap tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan pentingnya kesehatan, serta berbagai acara keagamaan dan adat di daerah. Sedangkan peluang pasar antar wilayah terbukti adanya pengeluaran ternak sapi potong ke Palu, Toli-Toli, Tarakan, Manado dan Bitung. 4. Masih adanya peluang pasar di tingkat nasional Masih adanya peluang pasar pada tingkat nasional sebagai elemen pada peran kesempatan yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong mempunyai bobot sebesar 0,254 dan skor 0,784. Nilai rata-rata dari keseluruhan responden adalah sebesar 3 menunjukkan bahwa faktor tersebut dinilai oleh responden cukup kuat dalam menentukan keunggulan kompetitif pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Secara nasional, ketersediaan sapi potong di Kabupaten Gorontalo berpotensi menjadi salah satu mata rantai penyedia sapi potong untuk mendukung pemenuhan kebutuhan daging sapi.
Keragaan Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Lingkup yang diambil dalam penelitian ini adalah lingkup produksi dengan aktifitas-aktifitas pentingnya yang bertujuan untuk meningkatkan nilai serta keunggulan kompetitif bagi komoditas sapi potong. Pemetaan dan Identifikasi Aktor-aktor dalam Rantai Nilai Agribisnis Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Pemetaan rantai nilai sapi potong digunakan untuk mengetahui pola rantai nilai serta aktifitas penting yang dilakukan oleh setiap aktor/peran dalam usaha agribisnis sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo melibatkan pelaku utama yakni pemasok sarana produksi, peternak, pedagang dan pemotong. 1. Pemasok Sarana Produksi Kebutuhan sarana produksi oleh peternak sapi potong terdiri atas bibit/sapi bakalan, pakan. Pemasok bibit/sapi bakalan tersebut adalah peternak sendiri atau pedagang lokal. Peternak sering memelihara sendiri bibit/sapi bakalan yang dihasilkan sehingga tidak perlu membeli dari pedagang bibit/sapi bakalan.
44 Bibit/sapi bakalan juga dipasok dari pedagang lokal yang menjual bibit atau sapi bakalan berdasarkan kebiasaan. Pedagang tersebut mengkategorikan sapi bibit atau sapi bakalan berdasarkan tes piara. Tes piara merupakan cara/metode bagi para pedagang lokal untuk mengkategorikan seekor sapi layak dipelihara dan dijual kepada peternak untuk dikembangbiakkan atau digemukkan. Adapun kriteria tes piara bagi pedagang lokal adalah kondisi fisik badan sapi dengan tinggi gumba berkisar 100-120 m, berat 150-250 kg dan umur di bawah 2 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang lokal yang terbiasa menjual sapi bibit/bakalan, volume pembelian untuk pedagang sapi bakalan berkisar antara 1-2 ekor per hari, sedangkan volume penjualan mencapai rata-rata 20 ekor per bulan. Harga pembelian berkisar antara 4,25-6 juta per ekor, sedangkan harga penjualan berkisar adalah sebesar 4,5-6,5 juta per ekor. Penyedia pakan, dalam hal ini pakan konsentrat berupa konga/bekatul adalah tempat-tempat penggilingan padi di Kabupaten Gorontalo yang menjual konga/bekatul. Kadang-kadang juga konga/bekatul dibeli dari oto yang datang dari luar kecamatan ke pasar tradisional. Oto merupakan kendaraan angkutan bagi para petani yang menjual hasil produksi pertaniannya ke pusat pasar. Namun demikian, karena seluruh peternak mempunyai pekerjaan bertani dan menghasilkan padi, maka konga/bekatul sebagian besar diperoleh dari hasil penggilingan padinya sendiri. Untuk pakan hijauan juga diusahakan oleh peternak sendiri, baik rumput yang ditanam oleh peternak tersebut maupun padang penggembalaan yang ditumbuhi rumput liar serta sisa-sisa pertanian berupa jerami jagung, jerami padi dan limbah daun pisang. 2. Peternak Peternak merupakan aktor yang mempunyai peranan sangat penting dalam rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Peternak berperan dalam mengkonversi pakan menjadi daging yang dijalankan dengan penerapan manajemen pemeliharaan yang mencakup seleksi bibit, pemberian pakan, perkandangan serta pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit. Beberapa karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo yang diwawancarai antara lain: pendidikan masih rendah (54,17 persen berpendidikan SD), menjadikan beternak sebagai usaha sampingan (100 persen usaha sampingan), pengalaman beternak cukup lama (54,17 persen berpengalaman lebih dari 10 tahun), dan sapi potong yang paling banyak diusahakan adalah sapi Bali/peranakan sapi Bali (67,7 persen). Kegiatan usaha sapi potong di daerah penelitian sebagian besar dijalankan oleh para peternak dengan skala usaha kecil. Peternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo diusahakan oleh perorangan dengan modal sendiri atau keluarga serta dibantu tenaga keluarga baik itu istri atau anak dalam menjalankan usahanya. Seluruh peternak yang diwawancarai pada penelitian ini tidak ada yang menggunakan tenaga kerja orang lain dengan memberikan upah. Sehingga tenaga kerja dianggap murah karena tidak mengeluarkan biaya. Beberapa peternak saling memberi informasi nama pedagang jika ingin menjual ternaknya. Hambatan modal sering tidak teratasi oleh peternak, sedangkan untuk hambatan penyakit diatasi dengan memanggil petugas kesehatan hewan terdekat. 3. Pedagang Lokal Pedagang lokal merupakan pedagang sapi potong yang biasa membeli sapi dan menjualnya kembali di pasar dalam wilayah Gorontalo. Mereka mengambil
45 sapi potong dari tempat pembelian di kandang, tempat tinggal peternak atau pasar, dan menampung untuk menjualnya kembali kepada pemotong atau peternak di pasar pasar kecamatan atau pasar kabupaten tetangga. Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 (dua) orang pedagang lokal, volume pembelian sapi siap potong sekitar 40 ekor per bulan. Secara umum, penjualan dan pembelian sapi potong dilakukan secara bebas tidak ada ikatan kontrak. Cara pembayaran saat pembelian dapat dilakukan secara tunai atau dibayar kemudian sekitar 1-4 pekan tergantung kesepakatan saat transaksi. Harga pembelian tunai umumnya lebih rendah sekitar Rp 100.000,sampai Rp 250.000,- per ekor dibandingkan dengan harga yang dibayar kemudian. Pada saat pembelian, pedagang yang mengambil sapi, sedangkan penjualannya dilakukan di pasar hewan dengan penentuan harga penjualan dilakukan secara tawar menawar. Kisaran harga pembelian antara 6,5-12 juta, sedangkan harga penjualan berkisar antara 7-13 juta per ekor tergantung bobot karkas ternak. Pedagang lokal akan menampung sapi selama menunggu hari pasar berkisar 2-3 hari dengan memberi pakan senilai Rp 15.000,- sampai Rp 24.000,-. Dengan asumsi penambahan berat badan yang sama dengan pada saat dipelihara peternak, maka pada saat penampungan tersebut akan memberikan tambahan berat badan 400-900 gr atau jika dinilai sebesar Rp 29.000,- sampai Rp 40.500,- per ekor. Apabila mendapatka resiko salah taksir dalam pembelian sapi, maka pedagang lokal akan memelihara dalam waktu lebih lama lagi untuk menggemukkannya dan selanjutnya dijual. Para pedagang lokal bekerja sama dalam hal penyediaan modal (saling pinjam meminjam modal), namun hambatan yang dialami diatasi masing-masing oleh pedagang yang bersangkutan. Kerjasama pedagang lokal dengan pemotong tidak terjalin lagi karena pemotong sering melakukan pembayaran di belakang setelah daging habis terjual yang menyebabkan perputaran modal pedagang lokal lambat. 4. Pedagang Antar Wilayah Pedagang antar wilayah merupakan pedagang sapi potong yang biasa membeli sapi potong dari peternak secara langsung baik di tempat tinggal peternak atau kandang maupun di pasar hewan dan mengirimkannya kepada pembeli di luar wilayah Provinsi Gorontalo. Sapi-sapi yang dipilih untuk dikirim ke luar wilayah adalah sapi potong dengan berat hidup minimal 300 kg. Volume pembelian untuk pedagang antar wilayah berkisar 20-40 ekor per bulan, bahkan mencapai 80 ekor per bulan pada saat mendekati hari Raya Idul Adha. Kisaran harga pembelian antara 6,5-12 juta, sedangkan harga penjualan di luar wilayah berkisar antara 7,5-15 juta per ekor tergantung bobot karkas ternak. Pedagang antar wilayah akan menampung sapi selama 5-7 hari dengan memberi pakan senilai Rp 40.000,- sampai Rp 55.000,-. Dengan penambahan berat badan yang sama dengan pada saat dipelihara peternak, maka pada saat penampungan tersebut akan memberikan tambahan berat badan 1.000-1.400 gr atau jika dinilai sebesar Rp 45.000,- sampai Rp 63.000,- per ekor. Dalam melakukan penjualan di luar wilayah, digunakan jasa seorang pengawal yang berfungsi sebagai pengantar sapi yang bertanggungjawab dalam pengurusan surat rekomendasi, pengawalan ternak selama perjalanan, pembayaran biaya-biaya perjalanan dan penyerahan sapi kepada pembeli. Biaya pemasaran untuk pedagang antar daerah yang melakukan pembelian di Kabupaten Gorontalo
46 dan sekitarnya dan melakukan penjualan di luar wilayah sangatlah besar, mencakup biaya pembelian yang terdiri dari: (1) ongkos angkut dari tempat pembelian; (2) pakan ternak selama di penampungan dan di perjalanan; dan biaya akomodasi yang terdiri dari biaya konsumsi dan biaya penjualan terdiri dari: (1) ongkos angkutan ; (2) ongkos pengawalan; (3) izin pengeluaran ternak, (4) retribusi pasar serta (5) pungutan informal di perbatasan. Jumlah ternak untuk setiap kali pengiriman sebanyak 16-20 ekor dan diangkut dengan menggunakan truk berkapasitas 8-10 ekor sapi. Pangsa terbesar dari biaya pemasaran tersebut adalah ongkos angkutan, yaitu mencapai sebesar 65,11 persen, kemudian jasa pegawai dan pengawal 17,76 persen, biaya akomodasi 7,10 persen dan biaya pakan ternak (di penampungan dan perjalanan) 6,18 persen. Biaya untuk pembayaran pungutan-pungutan di jalan mencapai 3,85 persen, yang terdiri dari: (1) pungutan di Pos Perbatasan sebanyak 3 pos 3,62 persen dan (2) pungutan aparat 0,3 persen. Pungutan aparat ini sangat bervariasi untuk setiap pengiriman, yaitu antara Rp 20.000 – Rp 30.000 per rit (berisi 8-10 ekor sapi). 5. Pemotong Pemotong merupakan agen yang berperan melakukan proses pemotongan sapi sampai menghasilkan produk daging segar (karkas). Pemotongan dilakukan di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yang menjadi miliknya sendiri, sehingga tidak membayar biaya retribusi. Produk yang dijual berupa seluruh bagian tubuh sapi potong yang telah dipisah-pisahkan menjadi bagian karkas, edible offal,serta inedible offal. Pemotong menjual produknya kepada pedagang daging eceran, restoran/rumah makan, katering serta konsumen masyarakat biasa. Penjualan ke padagang pengecer dilakukan dengan pembayaran di belakang, yakni dibayar lunas pada saat daging habis. Hal inilah yang sering menjadikan lambatnya perputaran modal bagi pemotong. Biaya angkut ternak dari tempat pembelian sebesar Rp. 50.000,- /ekor, sedangkan biaya pakan selama menunggu penyembelihan di kandang (1 hari) sebesar Rp 3.000,-. Pada proses pemotongan, pemotong dibantu oleh 2-3 orang dengan upah per hari Rp 100.000/ekor sapi. Sementara pengangkutan produk yang dijual ditanggung oleh pembeli sehingga total biaya bagi pemotong adalah sebesar Rp 153.000,-/ekor sapi. Jika pemotong memperoleh sapi dari peternak, maka akan bertambah biaya untuk blantik pemegang tali (makelar) sebesar Rp 50.000,-. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemotong, keuntungan yang diperoleh bervariasi berdasarkan jumlah karkas yang dipesan atau jumlah sapi yang dipotong serta habis tidaknya penjualan produk dalam 1 hari. Jumlah pemotongan berkisar 4-5 ekor per minggu, sedangkan produk hasil pemotongan yang tidak terjual dalam satu hari akan disimpan dalam lemari pendingin (freezer) dan dijual pada hari berikutnya, namun dengan harga yang lebih murah. 6. Pemerintah Daerah atau Instansi dan Lembaga Terkait Peran Pemerintah Daerah dalam mendukung pengembangan komoditi sapi potong di Kabupaten Gorontalo diwujudkan dalam berbagai kebijakan untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi usaha ternak sapi potong. Provinsi Gorontalo menjadi Lumbung Ternak Sapi Potong di Kawasan Timur Indonesia tahun 2017 merupakan komitmen bersama Pemerintah Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
47 (Musrenbang) Peternakan Tahun 2013 dan diimplementasikan dalam Rencana Kinerja Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo. Selain itu, menyesuaikan dengan Rencana Strategis Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo Tahun 2012-2017, maka Kabupaten Gorontalo dikategorikan dalam Kawasan Gorontalo II yang diarahkan pada pengembangan sapi potong berbasis integrasi ternak sapi-tanaman pangan. Selain itu, pada saat ini mulai dikembangkan klaster pengembangan sapi potong yang dilaksanakan atas kerjasama Bank Indonesia dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo yang berlokasi di Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo. Adanya strategi kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu mendukung pengembangan sapi potong di Kabupaen Gorontalo untuk lebih meningkatkan sapi potong sebagai produk unggulan pada subsektor peternakan di Kabupaten Gorontalo. Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah Provinsi dengan dana APBN Tugas Pembantuan selama ini juga telah memberikan bantuan dalam bentuk bantuan modal berupa dana maupun sarana dan prasarana serta pembinaaan, penyuluhan dan bimbingan teknologi kepada peternak yang telah berkelompok. Instansi di tingkat kabupaten yang terkait langsung dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo yakni Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan (DKPP) Kabupaten Gorontalo juga telah mengupayakan programpogram dalam rangka pengembangan sapi potong. Beberapa program dan kegiatan yang telah dilaksanakan selama tahun 2013 dengan dukungan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBD II Kabupaten Gorontalo disajikan pada Tabel 19. Tabel 19
Program, kegiatan dan anggaran APBD II pendukung peternakan di Kabupaten Gorontalo tahun 2013 No Program Kegiatan Anggaran (Rp) 115.197.200 1 Pencegahan dan Pemeliharaan Kesehatan dan Penanggulangan Penyakit Pencegahan Penyakit Ternak Menular Ternak 74.700.000 2 Peningkatan Produksi Pembibitan dan Perawatan Hasil Peternakan Ternak 181.737.200 Pembangunan Sarana dan Prasarana Pembibitan Ternak Sumber: DKPP Kabupaten Gorontalo 2014 Instansi pemerintah yang lain yang mendukung pengembangan sapi di Kabupaten Gorontalo antara lain: BP4K (Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan) Kabupaten Gorontalo, Bappeda Kabupaten Gorontalo, Bappeda Provinsi Gorontalo, dan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Keberhasilan penguatan rantai nilai juga akan ditentukan oleh keberadaan akses terhadap informasi atau pengetahuan, teknologi dan keuangan serta jasa-jasa pendukung lainnya selain instansi pemerintah antara lain: i. Aspek Keuangan Akses peternak ke sumber pembiayaan sangat terbatas. Selama ini peternak memenuhi kebutuhan permodalan dengan usaha sendiri di saat panen
48 tanaman pertanian. Bantuan permodalan lainnya mayoritas dari Pemerintah, misalnya Penguatan Modal Usaha Kelompok (PUMK) Sapi Potong dari Kementerian Pertanian melalui Pemerintah Provinsi yang disalurkan melalui kelompok ternak. Permodalan dari perbankan belum banyak disalurkan dikarenakan tidak terpenuhinya analisis finansial usaha serta sulitnya pemenuhan jaminan dan persyaratan kredit. Beberapa peternak yang mendapatkan fasilitas kredit dari perbankan untuk modal sering menggabungkan analisis usaha ternaknya dengan usaha yang lainnya sehingga layak untuk dibayai menurut analisis perbankan. ii. Aspek Informasi Informasi mengenai harga pasar komoditi sapi potong dan daging selama ini tersedia cukup transparan, di mana informasi harga tersebut dapat diketahui oleh peternak dan pelaku terkait lainnya melalui informasi resmi di surat kabar setempat (Gorontalo Post). Namun demikian, informasi mengenai kebutuhan pasar masih sulit diperoleh karena permintaan yang tidak menentu. iii. Lembaga Penelitian Beberapa lembaga penelitian yang secara spesifik terkait dengan sapi potong di Kabupaten Gorontalo diantaranya adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo dan Universitas Negeri Gorontalo. Lembagalembaga tersebut selama ini aktif mengadakan penelitian terkait dengan sapi potong, baik dari aspek teknologi produksi maupun pemasaran. Saluran Pemasaran Sapi Potong, Analisis Margin dan Analisis Farmer Share Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Berdasarkan survei yang telah dilakukan pada daerah penelitian, saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 bisa diketahui saluran pemasaran sapi potong dari peternak ke konsumen di Kabupaten Gorontalo terdiri dari 3 (tiga) tingkat, yaitu: 1. Peternak Pedagang lokal Pemotong Konsumen 2. Peternak Pedagang antar wilayah Konsumen Luar Daerah 3. Peternak Pemotong Konsumen Dari ketiga saluran pemasaran tersebut, saluran pemasaran tingkat I dan II paling banyak terjadi, karena masing-masing merasa dimudahkan. Dalam menjual sapinya, peternak biasanya tidak perlu membawa ternaknya ke pasar, tetapi cukup memanggil pedagang yang sering dikenal dengan istilah blantik, baik pedagang lokal maupun pedagang antar wilayah. Hal ini dianggap mudah karena peternak tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi karena masalah transportasi ini dianggap sebagai kendala dalam pemasaran sapi potong oleh peternak ke pasar, dimana jarak rata-rata peternak ke pasar pada daerah penelitian ini sekitar 6,58 km. Oleh karena itu, pembelian oleh pedagang/blantik berlangsung di tempat tinggal atau kandang peternak. Dengan mendatangi peternak, pedagang sering mendapatkan penawaran ternak yang lebih rendah daripada di pasar hewan. Hal ini memberikan kesempatan kepada pedagang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Berdasarkan volume pembelian di daerah penelitian, penjualan sapi potong oleh peternak ke pedagang lokal sebesar 55,56 persen penjualan ke pedagang antar wilayah sebesar 41,67 persen sedangkan penjualan ke pemotong hanya terjadi sebesar 2,78 persen.
49 Peternak (Produsen) Tes Piara
Blantik Pemegang Tali/Makelar
Pedagang antar wilayah
Pedagang lokal
Blantik Pemegang Tali/Makelar
Tes Potong Blantik Pemegang Tali/Makelar
Konsumen Luar Daerah
Pemotong
Rumah makan/Katering
Pasar Tradisional
Konsumen
Sapi Hidup Daging Sapi Gambar 8. Saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo Saluran pemasaran tingkat III paling jarang terjadi. Hal ini karena sering tidak diperoleh kecocokan oleh pemotong karena pemotong ingin memilih sapi yang sesuai dengan tujuan pemotongannya. Pemotong akan lebih mudah mencari dan membeli sapi potong di pasar hewan dari pedagang lokal karena bisa melakukan pemilihan dari beberapa sapi untuk disesuaikan dengan kebutuhan pemotongannya. Hal ini karena kebutuhan pemotongan sapi tidak menentu setiap harinya, tergantung ada atau tidaknya pemesanan daging dari katering besar atau tidak. Selanjutnya disajikan hasil analisis marjin pada rantai nilai dan farmer’s share untuk masing-masing tingkatan saluran pemasaran. Analisis marjin rantai nilai dilakukan untuk memperoleh nilai tambah bagi sistem rantai nilai dan setiap agen yang terlibat di dalam sistem tersebut. Pada analisis ini dapat dilihat agen mana yang memiliki marjin terbesar dan agen mana yang memiliki marjin terendah. Kondisi ini juga dikaitkan dengan resiko yang harus ditanggung oleh pelaku rantai nilai tersebut. Analisis masing –masing berdasarkan ketiga saluran pemasaran adalah sebagai berikut: 1. Saluran Pemasaran Tingkat I (Peternak - Pedagang lokal – Pemotong Konsumen). Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat I disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa harga sapi potong bervariasi di tingkat peternak, pedagang lokal dan pemotong. Nilai marjin pedagang lokal
50 terhadap pemotong adalah sebesar Rp.950.000,- per ekor dan nilai margin pemotong terhadap konsumen adalah Rp 1.148.168,- per ekor. Melihat hasil analisis tersebut, marjin yang paling sedikit adalah marjin pedagang lokal terhadap pemotong dan pembagian harga bagi peternak (farmer’s share) pada saluran tingkat I ini sebesar 81 persen. Tabel 20 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat I Uraian Harga beli(Rp/ekor) Biaya (Rp/ekor) Keuntungan (Rp/ekor) Marjin (Rp/ekor) Harga jual (Rp/ekor) Farmer's share (%)
Agen dalam rantai nilai Peternak Pedagang Lokal 8.700.000 207.121 742.879 950.000 8.700.000 9.650.000 81
Pemotong 9.650.000 344.994 803.174 1.148.168 10.798.168
Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang lokal (pengangkutan, penampungan, dan tenaga kerja) sebesar 1,92 persen (Rp 207.121,-) dan biaya yang dikeluarkan oleh pemotong (pengangkutan, pemotongan, tenaga kerja dan pemasaran) sebesar 3,19 persen (Rp 344.994,-). Marjin terbesar yang diterima pemotong sebanding dengan biaya yang dikeluarkan serta resiko pemasaran produk daging dan ikutannya. Pemotong akan menanggung resiko kerugian pada saat produk hasil pemotongannya tidak laku dalam satu hari karena harga produk lebih rendah dalam kondisi tidak segar. Selain itu, penjualan produk oleh pemotong ke pedagang daging eceran sering dilakukan pembayaran secara bertahap, ada yang dibayar pada saat daging terjual habis dan ada yang dibayar 1-2 minggu kemudian sesuai kesepakatan bersama dengan pemotong, sehingga menyebabkan perputaran modal pada pemotong agak lambat. 2. Saluran Pemasaran II (Peternak - Pedagang Antar Wilayah - Konsumen Luar Daerah). Pada saluran pemasaran tingkat II, diperoleh marjin dan farmer’s share sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat II Uraian Harga beli(Rp/ekor) Biaya (Rp/ekor) Keuntungan (Rp/ekor) Marjin (Rp/ekor) Harga jual (Rp/ekor) Farmer's share (%)
Agen dalam rantai nilai Peternak Pedagang antar wilayah 8.700.000 1.178.504 221.496 1.400.000 8.700.000 10.100.000 86
Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa nilai marjin pedagang antar wilayah terhadap konsumen adalah Rp 1.400.000,- per ekor. Marjin yang diterima
51 pedagang antar wilayah pada saluran in lebih besar dibanding dengan nilai marjin yang diterima oleh pedagang lokal dan pemotong pada saluran pemasaran tingkat I. Hal ini sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang antar wilayah yang sangat besar. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang antar wilayah (pengangkutan, retribusi, akomodasi, tenaga kerja, penampungan dan pakan) sangat tinggi, yaitu sebesar 11,67 persen (Rp 1.178.504,-) per ekor. Oleh karena itu, keuntungan pedagang antar wilayah lebih rendah dibandingkan dengan pedagang lokal yang memasarkan ternaknya di dalam wilayah pada saluran pemasaran tingkat I. Pembagian harga bagi peternak (farmer’s share) adalah 86 persen. Farmer’s share disini lebih besar daripada saluran pemasaran tingkat I karena pada saluran pemasaran tingkat II ini hanya ada satu perantara, yakni pedagang antar wilayah yang selanjutnya dipasarkan di luar wilayah dalam bentuk sapi hidup. 3. Saluran Pemasaran III (Peternak-Pemotong/TPH-Konsumen). Pada saluran pemasaran tingkat III, diperoleh marjin pemasaran dan Farmer’s share sebagaimana Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22 tersebut terlihat bahwa nilai marjin pemotong terhadap konsumen adalah Rp 2.098.168,- per ekor. Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemotong (pengangkutan, pemotongan, tenaga kerja dan pemasaran) sebesar 3,19 persen (Rp 344.994,-). Tabel 22 Nilai marjin dan farmer’s share pada saluran pemasaran tingkat III Uraian Harga beli(Rp/ekor) Biaya (Rp/ekor) Keuntungan (Rp/ekor) Marjin (Rp/ekor) Harga jual (Rp/ekor) Farmer's share (%)
Agen dalam rantai nilai Peternak Pemotong
8.700.000 81
8.700.000 344.994 1.753.174 2.098.168 10.798.168
Pembagian harga bagi peternak (farmer’s share) dari harga jual oleh pemotong sebesar 81 persen. Pembagian harga bagi peternak disini lebih kecil daripada saluran pemasaran tingkat II meskipun sama-sama hanya ada satu perantara, yakni pemotong. Hal ini dikarenakan pemotong juga menggunakan jasa blantik pemegang tali/makelar dalam membeli sapi di pasar sehingga mendapatkan harga yang sama dengan para pedagang. Saluran pemasaran tingkat III ini sangat menguntungkan pemotong karena keuntungan yang diperoleh pemotong lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Namun tidak demikian dengan peternak, karena meskipun hanya ada satu perantara, tetapi peternak hanya mendapatkan pembagian harga sebesar 81 persen. Namun demikian, resiko yang diterima pemotong lebih besar dikarenakan penjualan produk oleh pemotong ke pedagang daging eceran sering dilakukan pembayaran secara bertahap, ada yang dibayar pada saat daging terjual habis dan ada yang dibayar 1-2 minggu kemudian sesuai kesepakatan bersama dengan pemotong. Pemotong juga akan menanggung resiko kerugian pada saat produk
52 hasil pemotongannya tidak laku dalam satu hari karena harga produk lebih rendah dalam kondisi tidak segar. Dari ketiga saluran pemasaran tersebut, aktor yang memiliki marjin paling tinggi pada penjualan sapi hidup adalah pedagang antar wilayah, sedangkan jika sampai pada penjualan daging dan ikutannya adalah pemotong. Hal tersebut sebanding dengan biaya yang ditanggung oleh kedua aktor tersebut serta resiko yang ditanggung oleh pemotong. Dengan asumsi pembelian dan penjualan dilakukan secara tunai dan produk daging dan ikutannya dari pemotong habis dalam satu hari, maka keuntungan pedagang lokal sebesar Rp 247.626,- per ekor per hari, pedagang antar wilayah Rp 44.299,- per ekor per hari, pemotong Rp 458.957,- per ekor per hari pada saluran pemasaran tingkat I dan Rp 1.001.814,per ekor per hari pada saluran pemasaran tingkat III. Meskipun pemotong memperoleh keuntungan per hari paling tinggi, tetapi pemotong sering menanggung resiko yang besar dalam usahanya. Usaha para peternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo merupakan usaha sampingan, sehingga pendapatan dari beternak sapi potong dianggap sebagai penghasilan tambahan dari usaha utama di bidang lainnya. Sedangkan usaha para pedagang dan pemotong di atas merupakan pekerjaan utama sehingga pendapatan yang diperoleh merupakan penghasilan utama dan bahkan apabila mempunyai usaha di bidang lainnya, maka dilakukan dengan membayar tenaga kerja orang lain. Struktur dan Analisis Rantai Nilai Agribisnis Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Struktur rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo terdiri atas dua aktivitas, yakni aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Aktivitas utama terdiri dari: penyediaan input dan saprodi, produksi dan pemasaran. Rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo pada aktivitas utama disajikan pada Gambar 9. KEGIATAN Penyediaan input dan saprodi
PELAKU UTAMA Peternak, produsen bahan pakan konsentrat (bekatul), pedagang lokal bibit/sapi bakalan
Produksi Pemeliharaan Pengembangbiakan Penggemukan Peternak
Pemasaran
52 R
Rp 8.700.000 Rp 8.700.000 Rp 8.700.000
Penjualan Transportasi Distribusi
Pasar
Konsumen dalam wilayah
Rp 9.650.000 Rp 10.798.000
Pedagang lokal Pedagang antar Pedagang wilayah antar wilayah Pemotong Pemotong
Pemotong
Konsumen luar wilayah
Rp 10.100.000
PELAKU PENDUKUNG
Dinas dan instansi terkait: Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten, Bappeda Kabupaten & Provinsi, BP4K Kabupaten dan Kementerian Pertanian RI Kelompok Peternak
Satuan Petugas (Satgas) Lapangan
Universitas
BPTP Provi nsi
Gambar 9. Rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo
BI/BRI
53 Dari gambar tersebut, dengan asumsi sapi yang ada langsung dikirim ke luar wilayah tanpa digemukkan terlebih dahulu oleh pedagang antar wilayah, maka marjin pemasaran sapi potong yang diterima oleh pedagang antar wilayah dari peternak adalah sebesar Rp 1.400.000,-, sedangkan marjin pemasaran yang diterima oleh pedagang lokal hanya sebesar Rp 950.000,-. Hal ini sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang antar wilayah yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan oleh pedagang lokal. Untuk pemasaran daging sapi maka marjin terbesar diterima oleh pemotong dari peternak, yakni sebesar Rp 2.098.168,-. Marjin yang diterima oleh pemotong dari pedagang lokal sebesar Rp 1.148.168,- lebih kecil daripada jika membeli langsung dari peternak, dikarenakan lebih panjangnya saluran pemasaran. Meskipun marjin pemotong lebih besar daripada marjin pedagang lokal dan pedagang antar wilayah, namun resiko yang diterima oleh pemotong sangatlah besar seperti telah disebutkan di atas. Selanjutnya dijelaskan masing-masing aktivitas utama dan pendukung dalam rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo. 1. Aktivitas Utama Aktivitas utama dari struktur rantai nilai pada bagian produksi sapi potong di Kabupaten Gorontalo diantaranya: (1) logistik ke dalam, (2) produksi, (3) logistik ke luar dan (4) pemasaran atau penjualan. i. Logistik ke Dalam Input produksi pada usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo meliputi bibit atau sapi bakalan dan pakan. Dari hasil wawancara dengan 24 peternak sapi potong di 3 (tiga) kecamatan sampel, yakni Kecamatan Pulubala, Kecamtan Tibawa dan Kecamatan Bongomeme, diketahui 62,5 persen peternak menyatakan bahwa bibit/sapi bakalan diperoleh dari peternak itu sendiri dan sisanya membeli di pasar. Dari jumlah tersebut, bibit dihasilkan dengan cara kawin alam (46,67 persen) dan dengan cara IB (53,33 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian peternak sudah memanfaatkan teknologi IB untuk mengembangbiakkan ternaknya. Hal ini ditunjukkan dari data jumlah akseptor IB selama tahun 2013 yang telah melampaui target yakni telah dicapai realisasi 1000 akseptor dari 800 akseptor yang ditargetkan (DKPP Kabupaten Gorontalo 2014). Sapi yang dipelihara peternak (responden) sebagian besar merupakan sapi Bali dan peranakanannya (70,83 persen) dan sapi lokal (29,17 persen). Sapi Bali lebih banyak dipelihara peternak karena berbagai macam kelebihan yang dimilikinya. Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki sapi Bali. Keunggulan sapi Bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, seperti dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah, mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik, persentase karkas yang tinggi yaitu 52 sampai 57,7 persen, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4 persen) dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Pemerintah Daerah Provinsi melalui Pemerintah Daerah Kabupaten juga telah mendistribusikan bibit ternak kepada masyarakat yang ditujukan untuk
54 pengembangan perbibitan sapi potong di Kabupaten Gorontalo sejak tahun 2007. Namun karena keterbatasan jumlah bibit ternak yang didistribusikan dan hanya diberikan kepada peternak yang berkelompok, maka sebagian besar peternak mengembangbiakkan serta menggemukan sapi dengan menggunakan bibit yang mereka hasilkan sendiri. Produktivitas ternak dipengaruhi oleh 70 persen faktor lingkungan, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi sekitar 30 persen. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar sekitar 60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Di samping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60-80 persen dari keseluruhan biaya produksi. Pada pemeliharaan sapi potong yang dilakukan peternak (responden), semua sapi potong diberikan pakan hijauan berupa rumput yang ditanam oleh peternak tersebut maupun padang penggembalaan yang ditumbuhi rumput liar serta sisa-sisa pertanian berupa jerami jagung, jerami padi dan limbah daun pisang. Sedangkan pakan konsentrat tidak diberikan oleh semua peternak dikarenakan keterbatasan atau kadang-kadang diberikan hanya jika peternak mempunyai kelebihan dana. Pakan konsentrat berupa konga/bekatul dibeli dari tempat-tempat penggilingan padi dengan kisaran harga antara Rp 1.200,sampai dengan Rp 1.500,-. Konga/bekatul yang dibeli dari oto yang datang dari luar kecamatan ke pasar tradisional dengan kisaran harga Rp 1.200,- sampai dengan Rp 1.300,-. Namun demikian, karena seluruh peternak mempunyai pekerjaan bertani dan menghasilkan padi, maka konga/bekatul sebagian besar diperoleh dari hasil penggilingan padinya sendiri. Pakan hijauan diusahakan peternak sendiri, penilaian harga berdasarkan kisaran harga di tempat penelitian di mana ada beberapa peternak yang kadang-kadang membeli dengan harga Rp 5.000,- setiap ikat (sekitar 15 kg). Pada semua sistem usaha peternakan sapi potong yang tersebar di berbagai lokasi usaha, hal yang paling penting adalah strategi untuk mengungkap dan mengolah bahan pakan potensial setempat menjadi produk ekonomis yang aman, sehat, utuh, halal dan berkualitas. Untuk itu diperlukan introduksi teknologi formulasi pakan murah berkualitas untuk ternak sapi. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan meningkatkan keterampilan peternakpeternak menyusun formulasi pakan melalui pemanfaatan bahan baku lokal. Efektivitas dan efisiensi usaha tersebut sangat tergantung pada: ketersediaan bahan, kandungan nutrisi (zat gizi yang diperlukan ternak), harga, anti nutrisi/racun (aflatoxin), tekstur bahan (apakah perlu diolah sebelum digunakan). Untuk tenaga kerja, seluruh peternak yang diwawancarai tidak mempekerjakan orang lain, tetapi dilakukan sendiri pada waktu-waktu luang sebelum atau sesudah melakukan pekerjaan utamanya. Jika dihitung nilai upah orang kerja sesuai dengan kondisi tempat dan waktu penelitian, pemeliharaan sapi potong memerlukan waktu 1 jam per ekor per hari atau dinilai Rp 2.333,-, sehingga untuk pemeliharaan 6 (enam) bulan penilaian upah kerja sebesar Rp 427.000,-.
55 Permasalahan yang dihadapi peternak antara lain rendahnya kualitas genetik ternak serta keterbatasan modal dana untuk pemenuhan kebutuhan pakan sapi potong. Untuk mendorong upaya peningkatan kualitas bibit sapi, maka penerapan (diseminasi) teknologi IB harus terus dioptimalkan dengan meningkatkan target akseptor. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas genetik ternak mengingat adanya penurunan kualitas genetik ternak akibat kurang berkualitasnya pakan yang diberikan. Selain ditujukan untuk perbaikan kualitas genetik, pemanfaatan teknologi IB juga akan mendorong pertumbuhan populasi sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Untuk mengatasi keterbatasan modal, maka peternak bisa difasilitasi untuk memperoleh modal oleh instansi terkait. ii. Produksi Pemeliharaan ternak oleh peternak dilakukan secara intensif (dikandangkan), semi intensif (dikandangkan dan tidak dikandangkan) dan ekstensif (tidak dikandangkan). Tujuan pemeliharaan sapi potong dibedakan menjadi dua, yaitu pembibitan dan penggemukan. Usaha pembibitan dilakukan untuk menghasilkan bibit/sapi bakalan, sedangkan usaha penggemukan dilakukan untuk menghasilkan sapi potong. Kedua jenis pemeliharaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong. Dari hasil wawancara dengan para peternak di wilayah penelitian, diketahui bahwa pola usaha sapi potong tidak terspesifikasi ke arah pembibitan atau penggemukan saja, melainkan gabungan dari keduanya, sehingga bibit/sapi bakalan yang dihasilkan dipelihara sendiri untuk menghasilkan anak maupun untuk digemukkan tergantung jenis kelamin ternak yang dilahirkan. Namun demikian, bibit yang dihasilkan kurang berkualitas dikarenakan pakan induk yang tidak memenuhi kebutuhan ternak. Pada usaha penggemukan, sebagian besar usaha peternakan rakyat yang dianggap sebagai usaha sambilan dan dikelola secara tradisional tidak akan memberikan kenaikan berat badan yang optimal. Sapi Bali yang dipelihara secara tradisional dengan pakan hijauan berupa rumput-rumputan dan hijauan konvensional memberikan pertambahan berat badan yang rendah, yaitu 100-200 g/ekor/hari. Sehubungan dengan penyediaan sapi potong dan daging, maka penulis melakukan analisis usaha tani untuk pola usaha penggemukan yang ada di peternak di wilayah penelitian. Analisis tersebut didasarkan pada penilaian harga yang ada di daerah penelitian pada saat penelitiam berlangsung dan disajikan pada Tabel 23. Keuntungan sebesar Rp 1.998.854,- atau Rp 10.923,- per hari yang diterima peternak paling rendah jika dibandingkan dengan pelaku rantai nilai lainnya. Menurut Yusdja dan Ilham (2006), masalah spesifik dalam agribisnis ternak ruminansia besar penghasil daging adalah sistem pemasaran yang ada tidak memberikan insentif yang layak kepada peternak. Dari sisi pemasaran, peternak tidak mempunyai daya tawar. Peran pedagang sangat dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain perdagangan, perdagangan antar pulau dan wilayah dalam bentuk ternak hidup menimbulkan biaya angkutan dan resiko ekonomi yang besar. Sementara perdagangan karkas menggantikan ternak hidup khususnya ternak ruminansia belum layak dilakukan karena infrastruktur yang tersedia belum memungkinkan.
56 Tabel 23
Analisis finansial usaha ternak sapi potong/ekor/periode 6 bulan (183 hari) pola penggemukan Uraian
I
II
III
Output a Nilai jual ternak b Kotoran ternak Input a Bibit b Hijauan Makanan Ternak c Bekatul/Dedak d Obat/Vitamin/Mineral e Tenaga kerja f Kandang (penyusutan) Keuntungan a Keuntungan bersih b Keuntungan tunai
Volume
Satuan
Nilai/satuan
1 915
ekor kg
8.700.000 -
1 3.294 183
ekor kg kg
4.800.000 333 1.269,09 45.000 2.333 200.000
183 0,5
JOK Tahun
per ekor/periode 6 bulan per ekor/hari
Nilai 8.700.000 8.700.000 6.701.146 4.800.000 1.096.902 232.244 45.000 427.000 100.000 1.998.854 10.923 3.767.756
Catatan: 1. Jenis sapi yang dipelihara adalah sapi Bali, bibit 200 kg umur 2 tahun, 2. Pertambahan berat badan 100-200 g/ekor/hari, berat sapi akhir periode 236,6 kg. 3. Kotoran ternak tidak dimanfaatkan 4. Keuntungan bersih = total penerimaan - total biaya 5. Keuntungan tunai = nilai penjualan ternak - biaya tunai (pengadaan ternak + konsentrat + obat + kandang)
Rendahnya keuntungan peternak juga disebabkan oleh rendahnya penambahan berat badan sehingga harga penjualan juga rendah. Rendahnya produktivitas sapi potong menyebabkan sulitnya penyediaan sapi-sapi dengan berat badan minimal 300 kg yang diinginkan pasar di luar wilayah. Adapun kendala-kendala yang dihadapi adalah sebagai berikut: 1. Ketersediaan modal yang terbatas. Hal ini menyebabkan terbatasnya jumlah sapi yang dipelihara, hanya sesuai kemampuan dan sebatas hanya sebagai tabungan serta usaha sambilan. Selain itu keterbatasan modal menyebabkan keterbatasan pemberian pakan konsentrat sebagai pakan penguat sapi potong yang bisa menambah kenaikan berat badan sapi. Peternak memberikan pakan konsentrat hanya pada saat ada kelebihan uang untuk membelinya. Pada saat tidak ada kelebihan uang, sapi hanya diberikan pakan hijauan seadanya. 2. Keterbatasan pengetahuan peternak menyebabkan ketidaktahuan peternak terhadap manajemen budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha sapi potong yang benar dalam rangka meningkatkan produksi. Peningkatan kapasitas SDM peternak akan mendorong peningkatan produktivitas sapi potong yang terdiri atas jumlah kelahiran dan penambahan berat badan ternak yang akan meningkatkan keuntungan peternak. 3. Belum adanya kerjasama antar peternak maupun kerjasama dengan pelaku kegiatan yang lainnya dalam upaya memajukan usahanya.
57 4. Gangguan penyakit, seperti cacingan, diare, kaskado, kudis dan gangguan reproduksi sering dialami peternak dan hal ini menyebabkan penurunan kualitas performance ternak maupun kualitas produksinya. 5. Keterbatasan informasi yang dipunyai oleh peternak tentang prospek dan peluang usaha sapi potong menyebabkan kurangnya motivasi peternak untuk menjadikan usaha bisnis sapi potong. 6. Tidak adanya pencatatan (recording) riwayat ternak maupun usaha ternak oleh peternak karena usahanya tersebut hanya dianggap sebagai usaha sambilan, belum berorientasi bisnis sehingga sulit untuk melakukan analisis finansial karena keterbatasan ingatan peternak. Melihat berbagai kendala yang terjadi pada produksi/pemeliharaan sapi potong tersebut beberapa langkah yang bisa dikembangkan antara lain: (1) Meningkatkan produksi sapi potong melalui teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha yang benar, (2) Memfasilitasi kemudahan memperoleh modal bagi peternak, baik dengan fasilitasi kredit perbankan maupun penanaman modal/investasi, (3) Mengoptimalkan infrastruktur penunjang dan (4) Menerapkan teknologi untuk meningkatkan kualitas input dan output produksi. iii. Logistik ke Luar Pada saat peternak ingin menjual ternak sapi yang sudah dipelihara, biasanya mereka memanggil pedagang sapi/blantik, baik itu pedagang lokal maupun pedagang antar wilayah untuk membeli sapinya di tempat tinggal maupun kandang peternak. Pengangkutan sapi potong ke tempat pemasaran berikutnya setelah dibeli oleh pedagang sapi ditanggung oleh pembeli atau pedagang sapi dengan menggunakan mobil bak terbuka (pick up) ataupun kendaraan truk (Lampiran 5), baik yang merupakan milik sendiri maupun yang disewa dari orang lain. iv. Pemasaran dan Penjualan Penjualan sapi potong di daerah penelitian dijual kepada padagang lokal, pedagang antar wilayah dan kadang-kadang pemotong. Dari hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa penjualan sapi oleh peternak dilakukan di tempat tinggal ataupun kandang peternak dan hanya sebagian kecil dilakukan di pasar. Hal ini menyebabkan penawaran sapi rendah, namun peternak tidak mempunyai pilihan lain karena peternak tidak mempunyai sarana transportasi untuk membawa ke pasar sehingga sangat tergantung kepada pedagang/blantik. Struktur pasar sapi potong di Kabupaten Gorontalo cenderung bersifat oligopsoni, yaitu banyak peternak (ratusan) berhadapan dengan beberapa pedagang/blantik, baik itu pedagang lokal ataupun pedagang antar wilayah. Di Kabupaten Gorontalo terdapat 4 (empat) pasar hewan yang beroperasi pada hari yang berbeda-beda, yaitu: (1) Pasar Monggolito beroperasi pada hari Selasa dan Sabtu, (2) Pasar Pulubala beroperasi pada hari Rabu, (3) Pasar Molohu beroperasi pada hari Kamis dan (4) Pasar Bongomeme beroperasi pada hari Sabtu. Sebagian besar pedagang lokal menjual sapi potong ke pemotong dan sapi bakalan ke peternak, sedangkan pedagang antar wilayah melakukan penjualan ke luar daerah. Dalam melakukan setiap transaksi penjualan maupun pembelian sapi, setiap pedagang baik pedagang lokal maupun pedagang antar wilayah dibantu oleh seorang blantik pemegang tali (makelar) yang memperoleh imbalan
58 berkisar antara Rp 50.000,- sampai dengan Rp 100.000,- untuk setiap ekor sapi yang berhasil dijual atau dibelinya. Posisi blantik pemegang tali hanya sebagai makelar yang melakukan transaksi di pasar setempat. Ia sebagai perantara yang membelikan sapi dari peternak dan menjualkan sapi ke pemotong untuk sapi siap potong maupun ke peternak untuk sapi bibit/sapi bakalan. Pelaku pemasaran sapi potong secara garis besar di Kabupaten Gorontalo adalah: (1) pedagang lokal, (2) pedagang antar wilayah, (3) blantik pemegang tali (makelar) dan (4) pemotong. Kondisi pasar disajikan pada Lampiran 4. Keuntungan yang diperoleh setiap peternak sangat dipengaruhi oleh harga jual produknya. Di Indonesia, harga jual sapi potong sangat bervariasi di tiap provinsi yang dipengaruhi oleh proporsi karkas atau daging sapi, adanya produk impor dan adanya momentum tahunan seperti perayaan hari-hari besar dan pesta adat. Sampai dengan saat ini harga sapi potong di tingkat peternak belum mempunyai patokan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Tabel 24 menunjukkan rata-rata harga sapi potong dan daging sapi potong di Kabupaten Gorontalo pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Februari 2014. Tabel 24 Daftar harga sapi potong dan daging sapi (Rupiah) di Kabupaten Gorontalo No
Jenis Komoditi
Satuan
1
Sapi Potong - PO jantan - PO betina - Bali jantan - Bali betina Daging Sapi Murni
Kg/BH Ekor Ekor Ekor Ekor Kg
2
Sumber:
Desember 2013 28.000 13.000.000 11.200.000 11.750.000 9.000.000 90.000
Bulan Januari 2014 28.000 13.000.000 11.200.000 11.750.000 9.000.000 90.000
Februari 2014 28.000 13.000.000 11.000.000 11.000.000 8.000.000 90.000
DKPP Kabupaten Gorontalo 2013, 2014
Harga informasi pasar tersebut merupakan harga rata-rata sapi potong yang diperjualbelikan di pasar, sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan harga sapi potong di Kabupaten Gorontalo karena sebagian besar pembelian sapi potong oleh pedagang kepada peternak dilakukan di kandang atau tempat tinggal peternak dengan harga yang lebih rendah daripada harga di pasar. Selain itu, sapi potong yang diperjualbelikan sangat sangat bervariasi beratnya sehingga harganya pun juga sangat bervariasi. Meskipun DKPP telah mengeluarkan informasi mengenai harga pasar sapi potong, namun hal yang terjadi di lapangan adalah petani terpaksa mempercayai perkiraan atau taksiran berat badan sapi oleh pedagang karena pengetahuan peternak terbatas akan hal tersebut. Perkiraan atau taksiran berat badan tersebut menentukan harga sapi potong yang dijual peternak kepada pedagang, baik pedagang lokal maupun pedagang antar wilayah. Bahkan harga dari peternak tidak respon oleh pembeli siapapun dikarenakan adanya peran blantik pemegang tali/makelar yang selalu menjadi penghubung dengan pedagang lokal, pedagang antar wilayah, maupun pemotong. Beberapa peternak menganggap bahwa harga selama ini lebih ditentukan oleh pedagang. Mayoritas peternak tidak memiliki informasi harga yang valid. Meskipun informasi tersebut tersedia di surat kabar lokal harian (Gorontalo Post).
59 Untuk pemasaran sapi ke luar daerah Gorontalo, biasanya sapi-sapi yang dikirim ke luar daerah tersebut adalah sapi-sapi dengan berat badan 300 kg atau lebih. Seorang pedagang antar wilayah mengirimkan sapi berdasarkan permintaan dari daerah Palu, Toli-Toli, dan dan kadang-kadang Tarakan (Kalimantan Timur), Manado serta Bitung. Tujuan paling banyak adalah Palu dan Toli-Toli karena kemudahan transportasi lewat darat. Pengiriman sapi ke Tarakan paling jarang terjadi karena kekhawatiran pedagang antar wilayah terhadap pengangkutan dengan kapal tanpa adanya asuransi keselamatan. Permasalahan yang diperoleh dari hasil survei dan observasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembelian sapi oleh pedagang/blantik berdasarkan perkiraaan berat dagingnya tanpa menggunakan alat timbang. Perkiraan ini membuat daya tawar peternak lemah karena terbatasnya pengetahuan peternak dalam perkiraan berat badan sapi. 2. Lemahnya regulasi pemerintah terkait penetapan harga sapi yang tidak diperbarui setiap tahunnya. 3. Belum ada kebijakan/regulasi tentang pemasukan/pengeluaran (lalu lintas) ternak ke luar wilayah, sehingga informasi tentang pemasukan/pengeluaran ternak sulit diketahui. 4. Belum ada badan usaha yang menampung penjualan sapi potong oleh peternak. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadikan ketidakadilan dalam sistem jual beli dimana peternak berada pada posisi tawar yang lemah. Dalam rangka meningkatkan daya tawar peternak tersebut, maka sebaiknya pemerintah mengambil tindakan: (1) Meningkatkan pengembangan pasar domestik, (2) Meningkatkan sarana prasarana (alat timbang) di pasar hewan dan (3) Menyusun kebijakan atau regulasi tentang pemasaran ternak. 2. Aktivitas Pendukung Struktur rantai nilai pada aktivitas penunjang yang disajikan pada Tabel 25.
AKTIFITAS PENDUKUNG
Tabel 25. Aktivitas pendukung rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo INFRASTRUKTUR
a b c
SUMBERDAYA MANUSIA
a b
c d PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
a b
PEMBELIAN
a b
Akses jalan memadai, telah beraspal Sarana transportasi untuk pengangkutan sapi memadai Sarana Puskeswan sudah ada meskipun belum mempunyai Puskeswan Adanya pelatihan-pelatihan teknis bagi peternak yang sudah berkelompok Adanya pelatihan teknis bagi Satuan Petugas (Satgas) lapangan yang sudah ditetapkan menjadi petugas IB/PKB (Petugas Kebuntingan) dan ATR (Asisten Teknis Reproduksi) Adanya pelatihan teknis bagi aparat penyuluh Petugas medik dan paramedik sudah ada tetapi terbatas (3 orang) dan dokter hewan 1 orang Penerapan IB sudah dilaksanakan Adanya limbah pertanian berpotensi sebagai subtitusi pakan ternak dengan pengolahan Sistem tata niaga belum adil karena menggunakan perkiraan bobot dagingss Kurangnya promosi investasi bagi para investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo
60 Selanjutnya dijelaskan masing-masing aktivitas penunjang antara lain: (1) infrastruktur, (2) manajemen sumberdaya manusia, (3) pengembangan teknologi dan (4) pembelian. i. Infrastruktur Sarana infrastruktur pada daerah penelitian seperti akses jalan yang dilalui cukup memadai meskipun pada saat penelitian terdapat beberapa titik jalan menuju kecamatan Pulubala yang sedang dalam perbaikan sehingga menerapkan sistem buka tutup. Sejauh ini, hal tersebut tidak mengganggu pengangkutan sapi potong khususnya ke ibukota kabupaten. Infrastruktur lain yang juga sangat diperlukan dalam pengembangan sapi potong adalah Puskeswan. Puskeswan diperlukan dalam rangka mendukung penjaminan kesehatan hewan yang menjadi faktor penentu dalam produktivitas ternak. Puskeswan hingga saat ini belum dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo, namun sarana dan prasarana Puskeswan sudah ada dan ditempatkan di Kantor DKPP Kabupaten Gorontalo. ii. Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo terdiri atas sumber daya peternak dan sumber daya aparat. Sumber Daya Peternak. Rata-rata peternak berpendidikan rendah, pengetahuan tentang beternak hanya diketahui secara turun temurun dan tidak pernah mempelajari usaha beternak sapi potong yang baik dan bisa menghasilkan keuntungan yang optimal. Berbagai upaya pemerintah daerah telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya peternak. Kegiatankegiatan yang telah dilakukan bagi peternak yang sudah berkelompok antara lain: pelatihan pembuatan pakan alternatif, penyuluhan peternakan dan kesehatan hewan dan pelatihan pembuatan kompos. Keterbatasan pengetahuan peternak ini juga mengakibatkan banyaknya peternak yang belum memanfaatkan teknologi IB yang menggunakan bibit unggul serta peternak buta informasi, termasuk informasi harga pasar, sehingga posisi tawar peternak lemah dalam penjualan ternaknya. Peningkatan kualitas sumberdaya peternak yang menjadi program dan kegiatan pemerintah daerah selama ini hanya terbatas kepada peternak tertentu yang telah berkelompok, karena adanya keterbatasan anggaran. Sumberdaya Aparat. Sumberdaya aparat pemerintah daerah Kabupaten Gorontalo masih sangat terbatas. Dikarenakan lembaga yang menangani peternakan hanya merupakan bagian dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, maka jumlah aparat yang khusus menangani peternakan hanya berjumlah 12 orang, dengan petugas kesehatan sejumlah 1 orang dokter hewan dan 3 orang petugas medik dan paramedik. Jumlah ini sangatlah sedikit dibanding dengan jumlah peternak yang mengalami peningkatan dari 16.703 Rumah Tangga pada tahun 2011 menjadi 25.568 Rumah tangga pada tahun 2013. Peningkatan jumlah Rumah Tangga peternak sapi potong ini menunjukkan bahwa keinginan serta minat masyarakat di Kabupaten Gorontalo untuk beternak sapi potong semakin tinggi sehingga perlu dilakukan dukungan dari pemerintah sebagai motivator dan penggerak dalam mengarahkan tujuan pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Para petugas dan aparat yang ditetapkan menjadi petugas IB (Inseminasi Buatan), PKB (Pemeriksa Kebuntingan) dan ATR (Asisten Teknik
61 Reproduksi) telah dibekali dengan IPTEK terkait guna mendukung pengembangan sapi potong. Petugas IB/PKB/ATR merupakan petugas yang memberikan pelayanan dalam suntik IB kepada sapi-sapi yang sedang birahi, mendeteksi kebuntingan secara dini, dan menangani/menanggulangi gangguan reproduksi (kebidanan) di wilayah kerjanya, khususnya Kabupaten Gorontalo. Peranan petugas IB/PKB/ATR sangat penting dalam keberhasilan peningkatan populasi ternak sapi di Kabupaten Gorontalo. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gorontalo (2013), terdapat 20 petugas IB, 7 pertugas PKB dan 3 petugas ATR. Para petugas IB/PKB/ATR serta medik dan paramedik telah dibekali kemampuan dengan mengikutkan mereka pada pelatihan-pelatihan tingkat provinsi untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas para petugas tersebut di lapangan. iii. Pengembangan Teknologi Dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, pemanfaatan teknologi yang telah banyak diterapkan adalah pelaksanaan IB. Dengan pelaksanaan IB, peternak bisa mendapatkan keturunan sapi dari bangsa sapi lain yang dianggap unggul untuk memperbaiki kualitas genetik. Selain itu pemanfaatan teknologi dalam produksi untuk pengolahan pakan hijauan dengan mesin pemotong rumput (chopper) dan pengolahan pakan konsentrat menjadi produk pakan yang bisa diawetkan belum dilakukan oleh masyarakat peternak di daerah penelitian. Pada semua sistem usaha peternakan sapi potong yang tersebar di berbagai lokasi usaha, hal yang paling penting adalah strategi untuk mengungkap dan mengolah bahan pakan potensial setempat menjadi produk ekonomis yang aman, sehat, utuh, halal dan berkualitas. Untuk itu diperlukan introduksi teknologi formulasi pakan murah berkualitas untuk ternak sapi. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan meningkatkan keterampilan peternakpeternak dalam menyusun formulasi pakan melalui pemanfaatan bahan baku lokal serta limbah pertanian. Efektivitas dan efisiensi usaha tersebut sangat tergantung pada: ketersediaan bahan, kandungan nutrisi (zat gizi yang diperlukan ternak), harga, anti nutrisi/racun (aflatoxin), tekstur bahan (apakah perlu diolah sebelum digunakan) Pemanfaatan teknologi untuk penanganan pasca panen seperti pembuatan kompos sudah dilaksanakan meski hanya terbatas. Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) telah menjadi program pemerintah dan telah dijalankan terbatas pada 2 kelompok peternak dan belum dilaksanakan oleh peternak individu. Keterbatasan akses dan pemanfaatan teknologi tersebut menyebabkan peternak tidak bisa memperoleh pendapatan yang maksimal dari hasil samping pemeliharaan ternaknya. Selama ini peternak hanya mendapatkan hasil dari penjualan sapi saja belum menghasilkan nilai tambah yang lain dengan pemanfaatan teknologi. Untuk menangani hal tersebut, peternak memerlukan dukungan pembinaan dan pendampingan dalam penerapan (diseminasi) teknologi. Pendampingan harus dilakukan berkelanjutan agar pemanfaatan teknologi oleh peternak tidak terhenti. iv. Pembelian Dari hasil observasi dan survei yang telah dilakukan pada penelitian ini diketahui bahwa sistem pemasaran sapi potong di daerah penelitian belum
62 terwujud pemasaran yang berkeadilan. Hal ini dikarenakan pembelian sapi potong oleh pedagang hanya menggunakan taksiran bobot daging sapi. Peran pemerintah yang seharusnya memberikan kebijakan dalam penetapan harga maupun standar mutu sapi potong yang diperdagangkan juga belum ada, sehingga posisi peternak yang kebanyakan menjual ternaknya pada saat membutuhkan uang menjadi lemah. Instansi yang terkait perdagangan juga belum terlihat perannya dalam pemasaran sapi di Kabupaten Gorontalo. Selain itu, koordinasi para pelaku rantai nilai belum berjalan dengan baik, dikarenakan hanya mementingkan keuntungan masing-masing. Dalam penetapan harga dan standar mutu, untuk mendorong efisiensi pasar, maka perhatian khusus pemerintah juga diperlukan dalam promosi investasi serta memfasilitasi kemitraan antara peternak dengan investor/pemilik modal agar meningkatkan skala usahanya.
6 PERUMUSAN STRATEGI Untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo digunakan metode PHA. Strategi yang ditawarkan di sini merupakan strategi dalam rangka mendukung Program Nasional PSDS 2014 dan Program Daerah Lumbung Ternak Tahun 2017. Sebagian program/kegiatan dari strategistrategi tersebut sudah ada sebelumnya, namun perlu terus dilanjutkan, dan sebagian program dari strategi yang ditawarkan merupakan program/kegiatan baru dan belum pernah dilaksanakan. Struktur hirarki mencakup level fokus, aktor, faktor, tujuan dan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Pelaku yang berperan dalam strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo adalah peternak, DKPP Kabupaten Gorontalo dan Lembaga Pembiayaan. Adapun penjelasan masing-masing pelaku adalah sebagai berikut: 1. Peternak diartikan sebagai pelaku utama rantai nilai yang berperan pada kegiatan produksi dan banyak mengalami hambatan. 2. DKPP Kabupaten Gorontalo diartikan sebagai instansi yang paling bertanggung jawab dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. 3. Lembaga pembiayaan diartikan sebagai lembaga yang mampu memberikan input modal dalam usaha sapi potong. Faktor-faktor yang digunakan dalam penyusunan skala prioritas dianggap menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku dalam penentuan strategi pengembangan sapi potong. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Karakteristik industri diartikan sebagai ciri utama industri sapi potong yang ada. Industri sapi potong belum berkembang dengan baik, di mana kegiatan paling utama yang ada hanyalah kegiatan produksi yang meliputi budidaya/pengembangbiakan dan penggemukan. Industri hulu (seperti pakan dan obat-obatan) serta industri hilir (pengolahan produk) belum berkembang. 2. Kondisi pasar diartikan sebagai kondisi pemasaran sapi potong. Pasar masih dikuasai pedagang, posisi tawar peternak lemah karena pembelian sapi oleh
63 pedagang hanya berdasarkan perkiraan berat daging tanpa alat timbang. Peternak menjual sapi pada saat membutuhkan, sehingga hal tersebut menjadikan pedagang semakin kuat di dalam pasar sapi potong. 3. Kebijakan pemerintah diartikan seagai komitmen pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. 4. Motivasi usaha diartikan sebagai semangat dan tekad bagi masyarakat untuk merintis kesuksesan dalam usaha sapi potong. Motivasi usaha (bisnis) belum muncul di kalangan peternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo, sehingga usaha yang dilakukan perlu mendapat dukungan dari pemerintah berupa pendampingan, bantuan modal/infrastruktur, penyuluhan, pelatihan dan sebagainya. Tujuan-tujuan yang menjadi skala prioritas mempengaruhi pengembangan faktor-faktor yang ada. Tujuan-tujuan tersebut antara lain: 1. Peningkatan populasi dan produksi sapi potong diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan potensi sapi potong terkait jumlah ternak dan produksi dagingnya. Tujuan ini sejalan dengan dukungan program nasional PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau) tahun 2014. 2. Peningkatan pendapatan peternak diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan harga jual dari output yang dihasilkan oleh peternak, baik produk utama maupun hasil sampingnya. 3. Peningkatan daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan daerah untuk menghadapi tantangan dan persaingan global untuk peningkatan kesejahteraan hidup rakyat yang nyata dan berkelanjutan serta secara politis, sosial dan budaya dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan, maka alternatif-alternatif strategi yang dipilih adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan peternak dalam mengelola usaha sapi potong dengan benar. 2. Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas bibit/sapi bakalan, pakan, produksi daging maupun hasil samping lainnya dengan menerapkan teknologi. 3. Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan merupakan upaya mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada maupun menyediakan sarana dan prasarana yang belum tersedia. 4. Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha merupakan upaya mempermudah peternak untuk mengatasi masalah modal serta membuat daya tarik investor untuk menanamkan modal dalam usaha sapi potong. 5. Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik merupakan upaya memperbaiki kondisi pasar untuk meningkatkan daya tawar peternak. 6. Menyusun regulasi pemasaran ternak merupakan upaya membuat aturan yang terkait pemasaran untuk melindungi peternak dalam penjualan sapi.
64 Hasil Analisis dengan PHA Dari hasil perhitungan dengan teknik PHA (Lampiran 4) ditunjukkan bahwa yang menjadi prioritas pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo pada masing-masing level adalah seperti disajikan pada Gambar 10. Fokus Level 1
Strategi Pengembangan Sapi Potong
Peternak 0,395
Aktor Level 2
Faktor Level 3
Karakteristik Industri 0,132
Tujuan Level 4
Peningkatan Populasi & Produksi Sapi potong 0,447
Strategi Level 5
Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha 0,234
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi 0,132
DKPP Kab.Gorontalo 0,436
Kondisi Pasar 0,264
Kebijakan Pemerintah 0,313
Peningkatan Kesejahteraan Peternak 0,379
Mengoptimal kan sarana dan prasarana pendukung peternakan 0,158
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha 0,168
Lembaga Pembiayaan 0,169
Motivasi Usaha 0,291
Peningkatan Daya Saing Daerah 0,174
Meningkatkan pengembanga n pemasaran domestik 0,121
Menyusun regulasi pemasaran ternak 0,186
Gambar 10. Struktur dan nilai bobot hirarki PHA Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Tingkat peranan antar unsur pada setiap level dengan level di atasnya adalah sebagai berikut: Tingkat Peranan Aktor dalam Pengembangan Sapi Potong Berdasar Analisis Rantai Nilai di Kabupaten Gorontalo Dari hasil PHA, perbandingan antar unsur “Aktor” berdasarkan “Fokus” Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo, yaitu prioritas pertama DKPP Kabupaten Gorontalo dengan nilai 0,439. Prioritas selanjutnya adalah peternak dengan nilai 0,391 dan lembaga pembiayaan dengan nilai 0,171. DKPP dinilai memiliki kekuatan dan peluang lebih besar dibanding stakeholder lainnya dalam hal penentuan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo dikarenakan DKPP Kabupaten merupakan perwakilan Pemerintah Daerah yang membidangi peternakan di Kabupaten Gorontalo dan mempunyai peranan paling utama dalam pengambilan kebijakan/strategi pengembangan peternakan di Kabupaten Gorontalo.
65 Hasil pilihan ini dinilai sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, di mana DKPP merupakan perangkat daerah yang membantu Bupati dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan khususnya pada subsektor peternakan. Sejalan dengan hasil penelitian Saputra et al (2009) bahwa Dinas yang membidangi fungsi peternakan memiliki peran daam usaha pengembangan ternak sapi potong di wilayahnya sebagai insulator dan regulator, oleh karena itu fungsi dan kontribusinya adalah pembangunan kebijakan sektoral dan penyedia dana pengembangan. Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong (Mayulu et al 2010). Tingkat Peranan Faktor dalam Pengembangan Sapi Potong Berdasar Analisis Rantai Nilai di Kabupaten Gorontalo Perbandingan antar elemen “Faktor” berdasarkan “Aktor”, yaitu urutan pertama kebijakan pemerintah dengan nilai 0,313, urutan selanjutnya secara berturut-turut adalah motivasi usaha (nilai 0,291), kondisi pasar (0,264) dan karakteristik industri (0,132). Kebijakan pemerintah dinilai sebagai prioritas pertama dibandingkan faktor lainnya dikarenakan secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental will) dan legislatif berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budi daya, serta pemasaran dan perdagangan dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak (Mayulu et al 2010). Selain kebijakan pemerintah, motivasi usaha juga menjadi faktor terpenting kedua yang bisa mendukung keberhasilan kebijakan pemerintah. Motivasi usaha yang dimiliki para pelaku usaha khususnya peternak merupakan modal besar dalam keberhasilan pembangunan peternakan. Besarnya jumlah Rumah Tangga usaha peternakan sapi potong (30,6 persen dari seluruh Rumah Tangga di wilayah Kabupaten Gorontalo) di Kabupaten Gorontalo mengindiksikan besarnya minat masyarakat terhadap usaha sapi potong, Hal tersebut perlu didukung dengan adanya penyuluhan, pelatihan dan bimbingan teknis secara sistemastis dan berkesinambungan tentang usaha sapi potong kepada masyarakat. Tingkat Peranan Tujuan dalam Pengembangan Sapi Potong Berdasar Analisis Rantai Nilai di Kabupaten Gorontalo Perbandingan antar elemen “Tujuan” berdasarkan “Faktor”, yaitu urutan pertama peningkatan populasi dan produksi sapi potong dengan nilai 0,447, urutan kedua peningkatan pendapatan peternak (nilai 0,379), urutan ketiga peningkatan daya saing daerah (nilai 0,174). Responden berpendapat bahwa dengan terwujudnya peningkatan populasi dan produksi sapi potong lebih dahulu, maka
66 akan mendorong dan memberikan dampak dalam pancapaian tujuan-tujuan yang lainnya. Tujuan peningkatan populasi dan produksi sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan potensi sapi potong terkait jumlah ternak dan produksi dagingnya. Tujuan ini sejalan dengan upaya pemerintah melalui PSDSK tahun 2014. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri dan tidak melakukan impor lagi, baik sapi bakalan maupun daging sapi. Tujuan peningkatan pendapatan peternak merupakan salah satu tujuan pembangunan peternakan yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Seiring tujuan pembangunan nasional, pembangunan peternakan mempunyai tujuan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang unggul, namun selain itu juga mempunyai tujuan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Peningkatan pendapatan peternak bisa dilakukan dengan perbaikan manajemen budidaya untuk menghasilkan produk yang berkualitas sehingga harga jual bisa lebih tinggi. Selain itu, peternak bisa memanfaatkan kotoran ternak untuk dibuat pupuk kompos yang bisa dijual dan memberikan pendapatan tambahan. Tujuan peningkatan daya saing ekonomi daerah diharapkan akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang semakin dinamis maka diperlukan upaya pembinaan, pengembangan dan inovasi secara lebih terarah dan terpadu sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemajuan pembangunan daerah. Proses menuju kemandirian suatu daerah dalam era globalisasi saat ini tidaklah terlepas dari perlu adanya daya saing dalam membentuknya. Daya saing tidaklah hanya berorientasi pada indikator ekonomi saja, tetapi lebih jauh lagi yaitu daya saing tersebut diartikan sebagai kemampuan daerah untuk menghadapi tantangan dan persaingan global untuk peningkatan kesejahteraan hidup rakyat yang nyata dan berkelanjutan serta secara politis, sosial dan budaya dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Terkait tujuan prioritas pertama, berbagai program dan kegiatan telah diarahkan dalam rangka mendukung pencapaian program dimaksud melalui Dinas Kabupaten maupun Dinas Provinsi, antara lain: pendistribusian bibit ternak kepada masyarakat, pembangunan Pos ULIB (Unit Lokasi Inseminasi Buatan), pengembangan Batamas (Biogas Tanaman Masyarakat), PUMK (Penguatan Modal Usaha Kelompok) Sapi Potong, penanggulangan penyakit reproduksi, penyelamatan dan insentif sapi betina produktif, penyediaan obat, vaksin serta penyediaan sarana dan prasarana IB. Tingkat Peranan Strategi dalam Pengembangan Sapi Potong Berdasar Analisis Rantai Nilai di Kabupaten Gorontalo Perbandingan antar “Strategi” berdasarkan “Tujuan” adalah urutan pertama meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan, dan pengelolaan usaha (nilai 0,234), urutan kedua menyusun regulasi pemasaran ternak (nilai 0,186), urutan ketiga memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha (nilai 0,168), urutan keempat mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan (nilai 0,158) dan urutan kelima meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi (nilai 0,132) dan keenam meningkatkan pengembangan pemasaran domestik (nilai 0,121).
67 Berdasarkan hasil wawancara dengan para pakar, meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan, dan pengelolaan usaha merupakan strategi pertama yang harus diterapkan untuk bisa menerapkan strategi-strategi pendukung yang lainnya. Strategi meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan, dan pengelolaan usaha merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas SDM (baik peternak maupun aparat) khususnya dalam usaha sapi potong. Seperti telah diketahui dari hasil survei bahwa peternak masih menerapkan metode tradisional dalam pemeliharaan ternaknya sehingga berdampak tidak optimalnya produksi, sehingga pendapatan peternak sangat kecil. Untuk mendorong kemampuan peternak, maka perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas SDM peternak sekaligus aparat. Keberhasilan program pengembangan usaha sapi potong bergantung pada dukungan dan kerja sama berbagai pihak secara lintas sektoral. Selain itu, dukungan SDM yang memadai merupakan prasyarat untuk memacu penerapan teknologi adaptif mulai dari tingkat aparat pelaksana sampai di lapangan (peternakan rakyat) (Mayulu et al 2010).
Implikasi Kebijakan Implementasi dari beberapa strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo berdasarkan urutan prioritas hasil pengolahan PHA (Lampiran 5) adalah sebagai berikut: (1) Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan, dan pengelolaan usaha, (2) Menyusun regulasi pemasaran ternak, (3) Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha, (4) Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan, (5) Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi, dan (6) Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik. Implikasi dari masing-masing strategi tersebut adalah sebagai berikut: Meningkatkan Teknik Budidaya, Pemeliharaan, Dan Pengelolaan Usaha Tingkat kualitas produksi sapi potong sangat tergantung pada SDM yang mengelola usaha dalam teknik budidaya, pemeliharaan, administrasi dan keuangan. Jika kapasitas SDM masih kurang karena keterbatasan pendidikan, pengetahuan dan kemampuan maka akan sulit untuk menghasilkan produksi yang tinggi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Pelatihan dan penyuluhan terhadap peternak tentang manajemen budidaya yang tepat yang dilakukan oleh DKPP Kabupaten Gorontalo, Disnakbun Provinsi maupun BP4K Kabupaten Gorontalo diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi potong. Peningkatan kapabilitas peternak tidak hanya sebatas pada usaha budidaya saja, tetapi bisa juga dilakukan pelatihan yang mendorong jiwa wirausaha peternak. Sebagian besar peternak masih kurang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, di mana hal ini bisa dilihat dari kurang adanya semangat atau motivasi untuk berkembang dan memajukan usaha ternaknya. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan semangat untuk maju yang tinggi dan kemampuan memanfaatkan peluang oleh pelakunya sehingga dapat menguntungkan usahanya. Pelaksanaan program yang melibatkan suatu kelompok (peternak) juga dibutuhkan pendamping melalui kegiatan pendampingan. Pendamping adalah seseorang atau kelompok/lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang, sedangkan pendampingan lebih diarahkan pada
68 pelaksanaan teknis suatu kegiatan, penguatan kelembagaan serta pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pemerintah, dunia usaha dan stakeholder lainnya. Pendamping dalam hal ini adalah penyuluh peternakan yang melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang diupayakan dapat melahirkan prinsipprinsip dasar pengembangan, yaitu: (1) Membangun kemandirian dan keberdayaan, (2) Partisipatif, (3) Kemitraan yang setara dan saling memberi manfaat, dan; (4) Pendampingan sebagai proses pendidikan masyarakat. Pendampingan itu bukan hanya mementingkan hasil kegiatan yang dicapai, namun juga proses bagaimana hasil-hasil itu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, serta merubah sikap kerja dari semula sebagai tenaga kerja menjadi wiraswasta yang mandiri. Pendampingan ini diperlukan dalam jangka panjang. Selain peternak dan penyuluh, petugas yang tidak kalah penting peranannya adalah petugas medik/paramedik serta petugas IB/PKB/ATR. DKPP dan BP4K Kabupaten Gorontalo sebagai lembaga yang menaungi para penyuluh peternakan, petugas kesehatan serta petugas IB/PKB/ATR harus mengoptimalkan petugaspetugas tersebut yang tepat jumlah serta kualitasnya. Saat ini jumlah aparat penyuluh peternakan sangat terbatas sehingga peningkatan kapasitas dan kualitas aparat penyuluh maupun kelembagaan merupakan prioritas dalam strategi ini. Beberapa kegiatan yang bisa diimplementasikan pada strategi ini antara lain: (1) Bimbingan teknis manajemen pemeliharan kepada peternak, (2) Pelatihan dan pendampingan manajemen usaha bagi pelaku usaha dan (3) Pendidikan dan pelatihan teknis sumberdaya aparatur (penyuluh, petugas medik/paramedik, serta petugas IB/PKB/ATR). Menyusun Regulasi Pemasaran Ternak Lemahnya dukungan regulasi pemerintah menyebabkan rendahnya daya tawar peternak dalam proses jual beli hasil ternaknya. Beberapa hal yang menyebabkan antara lain: belum adanya peraturan daerah tentang standar harga ternak dan ketentuan pengeluaran/pemasukan ternak (lalu lintas ternak). Dikemukan oleh Mayulu et al (2010) bahwa keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budi daya, serta pemasaran dan perdagangan dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi tersebut, kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci. Keberhasilan kebijakan pasar output akan berdampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan memantapkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, dan pada akhirnya menjamin keberlanjutan investasi. Menyesuaikan kondisi yang diketahui dari hasil survei pada penelitian ini, maka beberapa kegiatan yang dapat diimplementasikan dari strategi ini antara lain: (1) Penetapan standar harga ternak dan (2) Penetapan ketentuan pengeluaran/pemasukan ternak (regulasi lalu lintas ternak). Memfasilitasi Kemudahan Permodalan Dan Investasi Usaha Pemerintah (pusat dan daerah) harus secara serius dalam mendukung peningkatan kemampuan modal peternak serta membuka peluang bagi para investor untuk melakukan investasi pada usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Insentif dalam bentuk pendanaan dari pemerintah, sebaiknya
69 diprioritaskan antara lain untuk: (a) regulasi tentang usaha sapi potong yang memberikan keadilan bagi semua pelaku ekonomi yang terlibat terutama kepada peternak/produsen, (b) subsidi tentang infrastruktur publik yang diperlukan untuk kelancaran proses produksi, (c) kemudahan memperoleh sarana produksi, serta (d) aspek teknologi, budgeting, pemasaran dan kelembagaan. Beberapa kegiatan yang bisa diimplementasikan pada strategi ini antara lain: (1) Kemudahan dalam legalisasi usaha sapi potong (penguatan kelembagaan menjadi badan usaha) dan (2) Promosi investasi usaha sapi potong. Mengoptimalkan Sarana Dan Prasarana Pendukung Peternakan Penyediaan infrastruktur industri peternakan merupakan salah satu langkah strategis dalam kebijakan pengembangan sapi potong (Yusdja dan Ilham 2004). Lebih lanjut dijelaskan salah satu upaya dalam strategi tersebut adalah melalui penyediaan lahan dan pengairan untuk memproduksi hijauan makanan ternak (HMT). Penyediaan infrastruktur hendaknya dalam bentuk investasi publik sebagaimana pembangunan irigasi untuk tanaman pangan. Infrastruktur untuk pemanfaatan lahan dan dan air merupakan kendala utama dalam pengembangan peternakan. Tanpa pelayanan ini, investasi peternakan sulit berkembang dan usaha peternakan tetap bersifat tradisional. Melihat kendala yang ada di Kabupaten Gorontalo, selain diarahkan pada pemanfaatan lahan dan air, infrastruktur juga harus dikembangkan pada ketersediaan infrastruktur yang sudah ada untuk bisa dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu beberapa kegiatan sebagai implementasi kebijakan yang bisa diterapkan antara lain: (1) Pemberdayaan Pos IB dan (2) Pengelolaan lahan dan air serta perluasan areal HMT (Hijauan Makanan Ternak). Meningkatkan Kualitas Input Dan Output Produksi Melalui Pemanfaatan Teknologi Kegiatan diseminasi teknologi dimaksudkan sebagai upaya menyebarluaskan teknologi hasil-hasil perekayasaan budidaya peternakan kepada masyarakat pengguna, sehingga pada akhirnya diharapkan akan berdampak ke arah peningkatan kemampuan dan peningkatan ekonomi kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian termasuk di dalamnya pembangunan peternakan memerlukan dukungan teknologi yang memadai dan berkesinambungan. Teknologi baru akan bermanfaat apabila dapat menjangkau dan diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan/pengguna. Namun demikian, secara nasional, sistem adopsi/alih teknologi pertanian dinilai masih lemah. Hasilhasil penelitian dan pengkajian yang dihasilkan oleh lembaga penelitian belum sepenuhnya diadopsi oleh petani dan pengguna. Beberapa kegiatan sebagai implementasi dari strategi ini antara lain: (1) Penerapan dan optimalisasi teknologi IB, (2) Pengolahan pakan limbah pertanian (silase dan fermentasi jerami padi) dan (3) Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak. Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Kebijakan pemasaran domestik diarahkan untuk mewujudkan pemasaran yang tangguh, berdaya saing dan berkelanjutan untuk mensejahterakan peternak dan pelaku agribisnis. Tujuannya antara lain: (1) Meningkatkan akses pasar dalam
70 rangka peningatan daya serap pasar domestik, (2) Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya wirausaha-wirausaha bidang pemasaran domestik, (3) Mengembangkan sistem dan usaha pemasaran domestik yang efisien dan (4) Mendorong terciptanya sistem informasi, analisis, dan penyebarluasan informasi pemasaran yang efektif dan efisien (Ditjen PPHP 2013). Beberapa kegiatan yang bisa diimplementasikan dari strategi ini antara lain: (1) Operasionalisasi sarana dan prasarana pasar (alat timbang ternak) dan (2) Pengembangan jaringan pemasaran dan promosi. Keseluruhan rencana strategi, program, kegiatan serta tahun pelaksanaan disajikan pada Tabel 26.
71
Tabel 26 Rencana Program dan Kegiatan No 1
Strategi
Program
Kegiatan
Meningkatkan produksi ternak melalui teknik budidaya, pemeliharaan, dan pengelolaan usaha yang benar
Peningkatan kapasitas SDM (peternak dan aparat)
-
Bimbingan teknis manajemen pemeliharan sapi potong kepada peternak Pelatihan dan pendampingan manajemen usaha bagi pelaku usaha Pendidikan dan pelatihan teknis sumberdaya aparatur (penyuluh, petugas medik/paramedik dan petugas IB/PKB/ATR) Penetapan standar harga ternak Penetapan ketentuan pengeluaran/pemasukan ternak (Regulasi lalu lintas ternak)
Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten, BP4K Kabupaten, Perbankan (BI)
Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten, DPRD, Dinas Perdagangan, Biro Hukum Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten, Badan Pertanahan Nasional, Perbankan (BI, BRI), koperasi (jika ada) Badan Investasi Daerah (BID), Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten
2
Menyusun regulasi pemasaran ternak
Penyusunan regulasi tentang pemasaranternak
-
3
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha
Pengembangan investasi
-
Kemudahan dalam legalisasi usaha sapi potong (penguatan kelembagaan menjadi badan usaha)
-
Promosi investasi usaha sapi potong
4
5
6
Mengoptimalkan prasarana peternakan
sarana dan pendukung
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi
Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik
usaha
dan
Penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana peternakan
Penerapan Peternakan
Pengembangan Domestik
Teknologi
Pemasaran
Pemberdayaan Pos IB -
Pengelolaan lahan dan air dan perluasan areal HMT
-
Penerapan dan optimalisasi teknologi IB
-
Pengolahan pakan limbah pertanian Pengembangan sistem integrasi tanamanternak Operasionalisasi alat timbang ternak hidup di pasar Pengembangan jaringan pemasaran dan promosi sapi potong
-
Instansi/Lembaga terkait
2015 v
v v
Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten, BPTP Provinsi
Disnakbun Provinsi, DKPP Kabupaten, DPRD, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan
Tahun Pelaksanaan 2016 2017 2018 v v v
2019 v
v
v
v v
v v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v v
v v
v v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
72
8. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah disajikan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dalam penentu keunggulan kompetitif sapi potong di Kabupaten Gorontalo adalah faktor (input) kondisi dan peran pemerintah. Elemen-elemen faktor yang mempunyai pengaruh sangat kuat adalah: sumberdaya alam mendukung sentra produksi, sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong. 2. a. Aktivitas utama rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo meliputi logistik ke dalam, produksi, dan pemasaran dan penjualan dengan pelaku utama adalah: pemasok sarana produksi, peternak, pedagang lokal, pedagang antar wilayah dan pemotong. b. Peternak sebagai pelaku pada kegiatan produksi (operasi) dalam aktivitas rantai nilai sapi potong masih menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan produk yang dihasilkan berkualitas rendah sehingga mendapatkan keuntungan terendah. c. Belum ada koordinasi yang baik antar aktivitas dalam sistem rantai nilai sapi potong di Kabupaten Gorontalo. 3. Strategi pengembangan sapi potong yang dianalisis dengan PHA, sesuai urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (a) Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha, (b) Menyusun regulasi pemasaran ternak, (c) Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan, (d) Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi, (e) Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha dan (f) Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik. Saran Beberapa hal yang dapat disampaikan sebagai saran antara lain: 1. Diperlukan kerjasama dan koordinasi antara pelaku dalam rantai nilai sapi potong, dengan dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo melalui DKPP Kabupaten Gorontalo. 2. Diperlukan dukungan pendanaan dan komitmen yang kuat dalam penguatan kelembagaan di tingkat peternak untuk meningkatkan posisi tawar peternak dalam rangka mengakses sumberdaya yang dibutuhkan.
9. DAFTAR PUSTAKA Balitbang Pertanian, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Sapi Potong. ISBN: 978-979-1415-30-9.
73 BPS. 2013. Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha [Internet]. [diunduh 2013 Okt 29]. Tersedia pada: http://bps.go.id/pdb.php?kat=2&id_su byek=11¬ab=0. . 2013. Laporan Bulanan.Data Sosial Ekonomi. Katalog BPS: 9199017. Edisi 40, September 2013. BPS. Provinsi Gorontalo. 2012. Gorontalo Dalam Angka. BPS Provinsi Gorontalo. Gorontalo. . Provinsi Gorontalo. 2013. Publikasi Hasil Sensus Pertanian 2013 Provinsi Gorontalo. BPS Provinsi Gorontalo. Gorontalo. BPS Kabupaten Gorontalo. 2013. Kabupaten Gorontalo Dalam Angka. BPS Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. Cahyani UE. 2010. Analisis Rantai Nilai dan Determinan Keunggulan Kompetitif Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor. Tesis MB. IPB. Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor: IPB Press. . 2014. Laporan Tahunan Tahun 2013. Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Gorontalo. 2007. Laporan Akhir Road Map Pengembangan Komoditas Peternakan kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. . 2011, 2012, 2013. Laporan Data E-Form Provinsi Gorontalo Tahun 2011, Tahun 2012 dan Tahun 2013. Ditjen PPHP. 2013. Pedoman Umum Kegiatan Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Tahun Anggaran 2013. DKPP Kabupaten Gorontalo. 2013, 2014. Laporan Harga Pasar Bulan Desember 2013, Januari 2014 dan Februari 2014. . 2014. Laporan Tahunan DKPP Kabupaten Gorontalo. Gorontalo Tahun 2013. Handiwirawan E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa 2004 Vol. 14 No. 3. Hanafiah AM dan AM Saefuddin. 1986. Tataniaga Hasil Pertanian. Jakarta: UI Press. Imaroh TS. 2014. Pendidikan Entrepreneurship Sebagai Strategi Peningkatan Daya Saing Bangsa Dalam Menghadapi AEC. Disampaikan pada Seminar Nasional “Antisipasi Kebijakan Perpajakan dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015”. 15 Febuari 2014 di Gedung Lemhanas Jakarta. Indriantoro FW. 2010. Analisis Rantai Nilai Produksi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi Kasus PT. Hindoli) Di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatara Selatan. Tesis MB, IPB. Irianto H. dan Widianti E. 2013. Analisis Value Chain dan Efisiensi Pemasaran Agribisnis Jamur Kuping di Kabupaten Karanganyar, SEPA : Vol. 9 No. 2 Februari 2013 : 260 – 272 ISSN : 1829-9946 Kementerian Pertanian dalam Harianto MS. 2013. Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional [Internet]. [diunduh 2013 Nov 05]. Tersedia pada: http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementeriansekretariat-negara/3086-pangan-energi/12830-pembenahan-pasokan-dagingsapi-melalui-sistem-logistik-nasional?start=10. Kotler P. 1993. Manajemen Pemasaran (Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian). 1993. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ed ke-7.
74 Kotler P dan Amstrong G. 2008. Prinsip-prinsip Pemasaran. Sabran B, penerjemah; Maulana A, Barnadi D dan Hardani W, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Marketing. Ed ke-12. Kurnianita T, Rustijarno S, Soeharsono. Potensi Dan Peluang Pemasaran Ternak Sapi Potong Di Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai Pengembangan Teknologi Pertanian Yogyakarta. Marimin dan Maghfiroh N. 2010. Aplikasi Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Press. Mayulu H. Sunarso, Sutrino I. dan Sumarsono. 2010. Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 29(1), 2010. Murtidjo BA. 2012. Budidaya Sapi Potong. Cetakan ke-20 Tahun 2012. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Permadi B. 1992. Analytic Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas , Studi Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Porter ME. 1985. Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing). KARISMA Publishing Group. 2008. Editor: Saputra dan Suryanto S. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York (US): The Free Press. Puspitasari NB, Arvianto A, Tauhida D dan Hendra A. 2012. Strategi Pengembangan Usaha Kerajinan Enceng Gondok Sebagai Produk Unggulan Kabupaten Semarang Menggunakan Analisis Rantai Nilai. J@TI Undip, Vol VII, No.2, Mei 2012. Rianto E dan Purbowati E. 2013. Panduan Lengkap Sapi Potong. Cetakan IV. Penebar Swadaya, Jakarta. 2012. Saaty Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan: Bagi Para Pemimpin. Terjemahan oleh Liana Setiono. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Saputra H, Daryanto A dan Hendrawan D.S. 2009. Strategi Pengembangan Tenak Sapi Potong Berwawasan Lingkungan Di Provinsi Aceh. Jurnal Manajemen.dan Agribisnis, Vol 6.No.2, Oktober 2009. Saragih B. 2010. AGRIBISNIS. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: PT Penerbit IPB Press. Schmitz . 2005. Value Chain Analysis for Policy Makers and Racitoners, ILO Working Paper. Geneva. Silitonga EH. 2005. Analisis Efisiensi Pemasaran Sayuran Dataran Tinggi Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Komunikasi Penelitian, Vol 17 (4) 2005. Simatupang P. 2010. Introduksi dan Praktis Paradigma Agribisnis di Indonesia: Kontrbusi Profesor Bungaran Saragih. Dalam Refleksi Agribisnis. 65 Tahun Profesor Bugaran Saragih. Bogor: PT Penerbit IPB Press. Sitepoe M. 2008. Cara Memelihara Sapi Organik. Jakarta: PT Indeks . Suarda A. 2009. Saluran Pemasaran Sapi Potong di Sulawesi Selatan. J. Sains & Teknologi, Agustus 2009, Vol.9 No. 2:115-118. ISSN 1411-4674. Sudiyono. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang: UMM Press. Mayulu H, Sunarso, Sutrisno I dan Sumarsono. 2010. Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 29(1). 2010. Tanjung MH. (2012). Analisis Strategi Bersaing Pada Rantai Nilai Ayam Ras Pedaging PT. Ciomas Adisatwa Region Jawa Barat, Unit Bogor. Tesis, MB, IPB.
75 Wiranata A. 2002. Analisis Kelayakan Investasi Penggemukan Sapi Potong Lokal di Daerah Kalimantan Timur untuk PT Bina Terpadu. Tesis, MB, IPB. Yusdja Y dan N Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 2 No. 2, Juni 2004, 183-203. . 2010. Suatu Gagasan Tentang Peternakan Masa Depan dan Strategi Mewujudkannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi 25(1): 19−28.
76
Lampiran 1. Peta wilayah dan penyebaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo tahun 2013
5.919 ekor 7.480 ekor
3.994 ekor 1.125 ekor 7.840 ekor 2.918 ekor
1.677 ekor
3.548 ekor
5.560 ekor 622 ekor 5.577 ekor 569 ekor 1.492 ekor 1.125 ekor 551 ekor
9.694 ekor
784 ekor
77
Lampiran 2. Rekapitulasi nilai hasil analisis delphi untuk faktor-faktor penentu keunggulan kompetitif
78
Lanjutan Lampiran 2 No
Determinan
4 Faktor kondisi permintaan a Ragam permintaan sapi potong domestik b Pola permintaan sapi potong domestik c Langkah antisipatif d Segmen pasar yang memungkinkan untuk ekspor
No
Determinan
5 Peran pemerintah a Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong b Peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik c Peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknologi d Peran pemerintah dalam dukungan sarana dan prasarana
No
Determinan
6 Faktor kesempatan a Penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong b Jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong c Masih adanya peluang pasar baik di kabupaten maupun provinsi d Masih adanya peluang pasar di tingkat nasional
1
2
1 1 0 0
0 2 3 1
1
2
0 1 0 0
0 1 0 0
1
2
1 0 0 0
2 1 0 1
5
Jumlah Responden
3 3 5 4
3 3 1 3
12 12 12 12
Bobot 3 4
5
Jumlah Responden
2 5 5 3
8 3 5 6
12 12 12 12
Bobot 3 4
5
Jumlah Responden
0 2 0 2
12 12 12 12
Bobot 3 4 5 3 3 4
2 2 2 3
3 2 3 0
6 7 9 9
Rata-rata
Bobot
4,777778 4,555556 4,444444 5,000000 18,777778
0,254 0,243 0,237 0,266 1,000
Rata-rata
Bobot
6,000000 4,888889 5,666667 5,666667 22,222222
0,270 0,220 0,255 0,255 1,000
Rata-rata
Bobot
4,222222 5,111111 5,000000 5,333333 19,666667
0,215 0,260 0,254 0,271 1,000
1
Nilai 2 3
0 0 1 1
1 3 4 2
1
Nilai 2 3
0 1 0 0
1 4 2 3
1
Nilai 2 3
1 0 0 0
7 4 0 0
9 8 6 5
3 5 6 6
4 6 11 10
4
Jumlah Peringkat Responden
2 12 1 12 1 12 4 12 TOTAL SKOR
4
Jumlah Peringkat Responden
8 12 2 12 4 12 3 12 TOTAL SKOR
4
3 3 3 3
4 3 3 3
Jumlah Peringkat Responden
0 12 2 12 1 12 2 12 TOTAL SKOR
2 3 3 3
Skor
0,785 0,687 0,611 0,799 2,882
Skor
0,968 0,587 0,808 0,765 3,127
Skor
0,483 0,736 0,784 0,859 2,862
79
Lampiran 3.
Kondisi pemeliharaan sapi potong, kondisi pasar dan sarana pengangkutan dalam pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Pemeliharaan di padang penggembalaan
Pemeliharaan di kandang
Pasar Bongomeme
Pasar Monggolito
Alat angkut sapi dengan kendaraan bak terbuka
Alat angkut sapi dengan kendaraan truk
80 Lampiran 4. Hasil pengolahan Proses Hirarki Analitik (PHA)
81
Lampiran 5. Prioritas strategi berdasarkan hasil Proses Hirarki Analitik (PHA)
82
Lampiran 6.
Kuesioner faktor-faktor keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR KEUNGGULAN KOMPETITIF PENGEMBANGAN SAPI POTONG
Judul Penelitian : STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO PENGENALAN TEMPAT : Propinsi Kabupaten
: GORONTALO : GORONTALO
Narasumber Yth. Nama saya Rini Widiastuti, mahasiswa Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah, Institut Pertanian Bogor, yang sedang mengadakan penelitian tentang STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO Penelitian ini merupakan bagian dari tesis yang sedang saya selesaikan. Demi tercapainya hasil penelitian yang diinginkan, mohon kesediaan waktu Anda untuk wawancara. Hasil wawancara bersifat rahasia dan dipergunakan hanya untuk kepentingan akademis. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Komisis Pembimbing: 1. Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si
MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
83 IDENTITAS RESPONDEN Nama Responden Tanggal pengisian kuesioner Instansi Pendidikan terakhir
: : : : :
Identifikasi faktor-faktor yang menentukan keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo didapatkan melalui studi literatur/pustaka. Faktor -faktor yang telah diidentifikasi dan dikelompokkna berdasarkan faktorfaktor dari model Diamond Porter. selanjutnya Bpk/ibu diminta memberikan pendapat dengan memberikan bobot dari masing-masing faktor berdasarkan tingkat kepentingan dalam penentu keungguan kompetitif agribisnis sapi potong di Kab. Gorontalo. Pemberian bobot untuk setiap faktor dikelompokkan ke dalam rentang pembobotan yang bernilai 1-5, dengan kriteria pilihan : 1. Kurang menentukan 2. Sedikit menentukan 3. Cukup menentukan 4. Menentukan 5. Sangat menentukan No 1
2
3
4
5
6
Determinan Faktor (Input) kondisi a Sumberdaya alam mendukung sentra produki b Sumberdaya manusia c Tersedianya sumberdaya permodalan d Infrastruktur fisik yang mendukung e Infrastruktur administratif yang mendukung f Infrastruktur iptek yang mendukung g Kualitas input sumberdaya Faktor penunjang dan terkait a Kemampuan pemasok domestik b Persaingan antar industri terkait Faktor strategi perusahaan c Investasi pengembangan sapi potong d Perbaikan program yang berkelanjutan Faktor kondisi permintaan a Ragam permintaan sapi potong domestik b Pola pemasaran sapi potong domestik c Langkah antisipatif d Segmen pasar yang memungkinkan untuk ekspor Peran pemerintah a Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong b Peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik c Peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknolgi d Peran pemerintah dalam dukungan sarana dan prasarana Faktor kesempatan a Penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong b Jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong c Masih adanya peluang pasar baik di kabupaten maupun provinsi d Masih adanya peluang pasar baik di tingkat nasional
1
2
3
4
5
84 Berikut ini merupakan faktor-faktor yang menentukan terhadap keunggulan kompetitif pengembangan sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Bapak/Ibu diminta memberikan pendapat dengan memberikan nilai pada masing-masing faktor. Pemeberian nilai untuk setiap faktor dikelompokkan dalam rentang nilai 1-4 dengan kriteria : 1. Sangat lemah 2. Cukup lemah 3. Cukup kuat 4. Sangat kuat No 1
2
3
4
5
6
Determinan Faktor (Input) kondisi a Sumberdaya alam mendukung sentra produki b Sumberdaya manusia c Tersedianya sumberdaya permodalan d Infrastruktur fisik yang mendukung e Infrastruktur administratif yang mendukung f Infrastruktur iptek yang mendukung g Kualitas input sumberdaya Faktor penunjang dan terkait a Kemampuan pemasok domestik b Persaingan antar industri terkait Faktor strategi perusahaan c Investasi pengembangan sapi potong d Perbaikan program yang berkelanjutan Faktor kondisi permintaan a Ragam permintaan sapi potong domestik b Pola permintaan sapi potong domestik c Langkah antisipatif d Segmen pasar yang memungkinkan untuk ekspor Peran pemerintah a Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong b Peran pemerintah dalam membentuk permintaan domestik c Peran pemerintah dalam pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknolgi d Peran pemerintah dalam dukungan sarana dan prasarana Faktor kesempatan a Penemuan baru dalam bidang produksi sapi potong b Jiwa kewirausahaan pelaku bisnis sapi potong c Masih adanya peluang pasar baik di kabupaten maupun provinsi d Masih adanya peluang pasar baik di tingkat nasional
1
2
3
4
85 Lampiran 7. Kuesioer Proses Hirarki Analitik (PHA) KUESIONER PENELITIAN PROSES HIRARKI ANALITIK (PHA) Judul Penelitian : STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO
Narasumber Yth. Nama saya Rini Widiastuti, mahasiswa Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah, Institut Pertanian Bogor, yang sedang mengadakan penelitian tentang STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO Penelitian ini merupakan bagian dari tesis yang sedang saya selesaikan. Demi tercapainya hasil penelitian yang diinginkan, mohon kesediaan waktu Anda untuk wawancara. Hasil wawancara bersifat rahasia dan dipergunakan hanya untuk kepentingan akademis. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Komisi Pembimbing: 1. Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si
MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
86 A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Tanggal pengisian : ......................... 2. Nama : ................................................................................ 3. Jabatan : ................................................................................ 4. Alamat Kantor: ................................................................................ 5. No.Telp/Faximile : .............................................................................. 6. E - mail : ................................................................................ 7. Jenis Kelamin : A. Laki-laki B. Perempuan 8. Latar belakang Pendidikan : [ ] SMU/SMK [ ] D3/D4 [ ] Sarjana [ ] Pasca Sarjana (S2/S3) Petunjuk Pengisian: 1. Landasan utama pengisian kuesioner ini adalah sebuah struktur hierarki keputusan dengan komponen-komponen lengkap yang disusun berdasarkan literatur, hasil observasi, dan pendapat pihak terkait. 2. Responden yang menjawab adalah key informant (tokoh kunci) seperti: perwakilan dari Bappeda dan Dinas yang menangani peternakan dari Kabupaten Gorontalo dan Provinsi Gorontalo dan perwakilan pakar. 3. Responden memberikan tanda melingkar (O) pada jawaban yang paling sesuai. 4. Bapak/Ibu/Bapak/Ibu/Bapak/Ibu/Saudara dimohon untuk membandingkan tingkat kepentingan antar hierarki yang ada. Berdasarkan pendapat dan kepentingan Bapak/Ibu//Bapak/Ibu/Saudara harap memberikan penilaian terhadap pilihan tersebut relatif terhadap pilihan yang lain. Perbandingan didasarkan pada tingkat kepentingan setiap strategi terhadap strategi lainnya dengan aturan pemberian nilai tersaji pada tabel berikut: Intensitas Definisi Penjelasan Kepentingan 1
Equal Importance
3
Moderate Importance
5
Strong Importance
7
Very Strong Importance
9
2,4,6,8
Extreme Importance Nilai kompromi atas nilai-nilai di atas
Dua aktivitas memberikan kontribusi sama terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian memberikan nilai tidak jauh berbeda antara satu aktivitas terhadap aktivitas lainnya Pengalaman dan penilaian memberikan nilai kuat berbeda antara satu aktivitas terhadap aktivitas lainnya Satu aktivitas sangat lebih disukai dibandingkan aktivitas lain Satu aktivitas secara pasti menempati urutan tertinggi dalam tingkatan preferensi Penilaian kompromi secara numeris dibutuhkan semenjak tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan tingkat preferensi
87 Contoh: Bapak/Ibu/Saudara diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan antara „PRODUK‟ dan „HARGA‟ 1. Jika Bapak/Ibu/Saudara mengangap „PRODUK‟ sedikit lebih penting dari „HARGA‟, maka: A
B
Nilai Perbandingan
Produk
9 8 7 6 5 4
3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Harga
2. Jika Bapak/Ibu/Saudara menganggap „HARGA‟ sangat jelas lebih penting dari „PRODUK‟ maka : A
B
Nilai Perbandingan
Produk
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Harga
Struktur Hirarki Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Fokus Level 1
Strategi Pengembangan Sapi Potong
Peternak
Aktor Level 2
Faktor Level 3
Karakteristik Industri
Tujuan Level 4
Peningkatan Populasi & Produksi Sapi potong
Strategi Level 5
Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi
DKPP Kab.Gorontalo
Kondisi Pasar
Kebijakan Pemerintah
Peningkatan Kesejahteraan Peternak
Mengoptimal kan sarana dan prasarana pendukung peternakan
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha
Lembaga Pembiayaan
Motivasi Usaha
Peningkatan Daya Saing Daerah
Meningkatkan
pengembang an pemasaran domestik
Menyusun regulasi pemasaran ternak
88 I. Perbandingan Antar Elemen Aktor Terhadap Fokus Fokus Level 1
Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo
Aktor Level 2
Peternak
DKPP Kab. Gorontalo
Lembaga Pembiayaan
Tujuan utama dari pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar aktor yang berpengaruh terhadap fokus Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo. Elemen-elemen aktor dalam penetapan terhadap Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo, yaitu: 1. Peternak 2. Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan (DKPP) Kabupaten Gorontalo 3. Lembaga Pembiayaan. Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya dalam menentukan bobot prioritas terhadap Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo. Kolom Kiri Peternak Peternak DKPP Kabupaten Gorontalo
9
Kolom Kiri Lebih Penting Sama 8 7 6 5 4 3 2 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan DKPP Kabupaten Gorontalo Lembaga Pembiayaan Lembaga Pembiayaan
Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
II. Perbandingan Faktor Terhadap Aktor Tujuan utama dari pengisian proses hierarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar Faktor yang berpengaruh terhadap Aktor. Elemen-elemen Faktor yeng berpengaruh terhadap Aktor adalah: 2. Karakteristik industri 3. Kondisi pasar 4. Kebijakan pemerintah 5. Motivasi usaha
89 2.1 Perbandingan Faktor terhadap Aktor (Peternak)
Aktor Level 2
Peternak
Karakteristik Industri
Faktor Level 3
DKPP Kab. Gorontalo
Lembaga Pembiayaan
Kebijakan Pemerintah
Kondisi Pasar
Motivasi Usaha
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya (besarnya pengaruh faktor) terhadap elemen AKTOR (PETERNAK). Kolom Kiri
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama
1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Karakteristi k Industri Karakteristi k Industri Karakteristi k Industri Kondisi Pasar Kondisi Pasar Kebijakan Pemerintah
Kolom Kanan Kondisi Pasar Kebijakan Pemerintah Motivasi Usaha Kebijakan Pemerintah Motivasi Usaha Motivasi Usaha
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya
2.2 Perbandingan Faktor terhadap Elemen Aktor (DKPP Kabupaten Gorontalo) Aktor Level 2
Faktor Level 3
Peternak
Karakteristik Industri
DKPP Kab. Gorontalo
Kondisi Pasar
Lembaga Pembiayaan
Kebijakan Pemerintah
Motivasi Usaha
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Faktor dengan Faktor lainnya (besarnya pengaruh faktor) terhadap AKTOR (DKPP KABUPATEN GORONTALO)
90 Kolom Kiri
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama
1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Karakteristi k Industri Karakteristi k Industri Karakteristi k Industri Kondisi Pasar Kondisi Pasar Kebijakan Pemerintah
Kolom Kanan Kondisi Pasar Kebijakan Pemerintah Motivasi Usaha Kebijakan Pemerintah Motivasi Usaha Motivasi Usaha
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya
2.3 Perbandingan Faktor terhadap Aktor (Lembaga Pembiayaan)
Aktor Level 2
Peternak
Karakteristik Industri
Faktor Level 3
DKPP Kab. Gorontalo
Lembaga Pembiayaan
Kebijakan Pemerintah
Kondisi Pasar
Motivasi Usaha
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Faktor dengan Faktor lainnya (besarnya pengaruh faktor) terhadap AKTOR (LEMBAGA PEMBIAYAAN). Kolom Kiri
9
Karakteristi k Industri Karakteristi k Industri Karakteristi k Industri Kondisi Pasar Kondisi Pasar Kebijakan Pemerintah
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama
1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan Kondisi Pasar Kebijakan Pemerintah Motivasi Usaha Kebijakan Pemerintah Motivasi Usaha Motivasi Usaha
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
91 III. Perbandingan Tujuan Terhadap Faktor Tujuan utama dari pengisian proses hierarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar Tujuan yang berpengaruh terhadap Faktor. Elemen-elemen Tujuan yang berpengaruh terhadap Faktor adalah: 1. Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong 2. Peningkatan Pendapatan Peternak 3. Peningkatan Daya Saing Daerah 3.1 Perbandingan Tujuan terhadap Faktor (Karakteristik Industri) Faktor Level 3
Karakteristik Industri
Kondisi Pasar
Peningkatan Populasi & Produksi Sapot
Tujuan Level 4
Kebijakan Pemerintah
Peningkatan Pendapatan Peternak
Motivasi Usaha
Peningkatan Daya Saing Daerah
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Tujuan dengan Tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap FAKTOR (KARAKTERISTIK INDUSTRI) Kolom Kiri
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Pendapatan Peternak
Kolom Kanan Peningkatan Pendapatan Peternak Peningkatan Daya Saing Daerah Peningkatan Daya Saing Daerah
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
3.2 Perbandingan Tujuan terhadap Faktor (Kondisi Pasar)
Faktor Level 3
Tujuan Level 4
Karakteristik Industri
Kondisi Pasar
Peningkatan Populasi & Produksi Sapot
Kebijakan Pemerintah
Peningkatan Pendapatan Peternak
Motivasi Usaha
Peningkatan Daya Saing Daerah
92 Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Tujuan dengan Tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap FAKTOR (KONDISI PASAR) Kolom Kiri
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Pendapatan Peternak
Kolom Kanan Peningkatan Pendapatan Peternak Peningkatan Daya Saing Daerah Peningkatan Daya Saing Daerah
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
3.3 Perbandingan Tujuan terhadap Faktor Kebijakan Pemerintah
Faktor Level 3
Karakteristik Industri
Peningkatan Populasi & Produksi Sapot
Tujuan Level 4
Kebijakan Pemerintah
Kondisi Pasar
Peningkatan Pendapatan Peternak
Motivasi Usaha
Peningkatan Daya Saing Daerah
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Tujuan dengan Tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap FAKTOR (KEBIJAKAN PEMERINTAH) Kolom Kiri Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Pendapatan Peternak
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan Peningkatan Pendapatan Peternak Peningkatan Daya Saing Daerah Peningkatan Daya Saing Daerah
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
93 3.4 Perbandingan Tujuan Terhadap Faktor Motivasi Usaha
Faktor Level 3
Karakteristik Industri
Kondisi Pasar
Peningkatan Populasi & Produksi Sapot
Tujuan Level 4
Kebijakan Pemerintah
Peningkatan Pendapatan Peternak
Motivasi Usaha
Peningkatan Daya Saing Daerah
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Tujuan dengan Tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap FAKTOR (MOTIVASI USAHA) Kolom Kiri
9
Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Populasi dan Produksi Sapi Potong Peningkatan Pendapatan Peternak
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan Peningkatan Pendapatan Peternak Peningkatan Daya Saing Daerah Peningkatan Daya Saing Daerah
Keterangan : Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7=sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
IV Perbandingan Strategi Terhadap Tujuan Tujuan utama dari pengisian proses hierarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar Strategi yang berpengaruh terhadap Tujuan. Elemen-elemen Strategi yang berpengaruh terhadap Faktor adalah: 1. Peningkatan Kapasitasn SDM 2. Diseminasi Teknologi 3. Pengembangan Infrastruktur 4. Fasilitasi Permodalan/Investasi 5. Pengembangan Pemasaran Domestik 6. Regulasi tentang Tatniaga Ternak
94 4.1 Perbandingan Alternatif Strategi Populasi dan Produksi Sapi Potong
Peningkatan Populasi & Produksi Sapi potong
Tujuan Level 4
Strategi Level 5
Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi
terhadap
Peningkatan Kesejahteraan Peternak
Mengoptimal kan sarana dan prasarana pendukung peternakan
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha
Tujuan
Peningkatan
Peningkatan Daya Saing Daerah
Meningkatkan
pengembang an pemasaran domestik
Menyusun regulasi pemasaran ternak
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Strategi dengan Strategi lainnya (besarnya pengaruh strategi) terhadap TUJUAN PENINGKATAN POPULASI DAN PRODUKSI SAPI POTONG. Kolom Kiri Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Menyusun regulasi pemasaran ternak
95 4.2 Perbandingan Alternatif Pendapatan Peternak Peningkatan Populasi & Produksi Sapi potong
Tujuan Level 4
Strategi Level 5
Strategi
Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi
terhadap
Peningkatan Kesejahteraan Peternak
Mengoptimal kan sarana dan prasarana pendukung peternakan
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha
Tujuan
Peningkatan
Peningkatan Daya Saing Daerah
Meningkatkan
pengembang an pemasaran domestik
Menyusun regulasi pemasaran ternak
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Strategi dengan Strategi lainnya (besarnya pengaruh strategi) terhadap TUJUAN PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK. Kolom Kiri Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Menyusun regulasi pemasaran ternak
96 4.3 Perbandingan Alternatif Strategi terhadap Tujuan Peningkatan Daya Saing Daerah
Peningkatan Populasi & Produksi Sapi potong
Tujuan Level 4
Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha
Strategi Level 5
Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi
Peningkatan Kesejahteraan Peternak
Mengoptimal kan sarana dan prasarana pendukung peternakan
Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha
Peningkatan Daya Saing Daerah
Meningkatkan
pengembang an pemasaran domestik
Menyusun regulasi pemasaran ternak
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu Strategi dengan Strategi lainnya (besarnya pengaruh strategi) terhadap TUJUAN PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH. Kolom Kiri Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan teknik budidaya, pemeliharaan dan pengelolaan usaha Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik
9
Kolom Kiri Lebih Penting 8 7 6 5 4 3 2
Sama 1
Kolom Kanan Lebih Penting 2 3 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan Meningkatkan kualitas input dan output produksi melalui pemanfaatan teknologi Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Mengoptimalkan sarana dan prasarana pendukung peternakan Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Memfasilitasi kemudahan permodalan dan investasi usaha Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Meningkatkan pengembangan pemasaran domestik Menyusun regulasi pemasaran ternak Menyusun regulasi pemasaran ternak
97 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 17 Januari 1980, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Baderi dan Suprapti. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus pada tahun 2003. Sejak tahun 2006 penulis bekerja di Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo hingga saat ini. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Magister Profesional Pembangunan Daerah, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2012 diperoleh penulis dengan beasiswa dari Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo melalui Badan Kepegawaian dan Pendidikan Pelatihan Daerah (BKPPD) Provinsi Gorontalo.