TINJAUAN PUSTAKA
Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, peternak rakyat dan swasta. Pemerintah menetapkan kebijakan, memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani ternak berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008). Sebagai negara agraris perkembangan sektor peternakan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai sektor lainnya terutama pada usaha peternakan sapi potong yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pertanian sawah dan ladang serta penyebaran penduduk. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi relatif rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan yang terus meningkat. Kapasitas produksi daging sapi pada tahun 2007 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 5 277.9 ton sedangkan kebutuhannya sebesar 6 877.8 ton, sehingga 1 599.9 ton (23.26%) daging sapi belum terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu pasar daging sapi yang sangat terbuka bagi wilayah lain dan menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi pembangunan sektor peternakan daerah khususnya untuk komoditas sapi potong. Potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat mendukung untuk pengembangan peternakan sapi potong. Pada tahun 2007 potensinya diperkirakan masih dapat menampung ternak sapi sebanyak 2.45 juta ST (Satuan Ternak) dan baru dimanfaatkan sebesar 6.14 ribu ST. Selain itu jumlah penduduk sebesar 4.22 juta jiwa merupakan konsumen yang besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1.1% per tahun, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan serta meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah; (a) masih kurangnya akses
peternak terhadap pemasaran, (b) menurunnya kualitas genetik sapi potong, (c) peternak masih memposisikan diri sebagai pemelihara dengan tenaga kerja yang berasal dari keluarga, (d) kecilnya skala kepemilikan ternak (2 – 4 ekor per keluarga) dengan lokasi yang terpencar,
(e) belum intensifnya pola
pengembangbiakan sapi potong sehingga penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB) serta teknologi transfer embrio masih kurang optimal, dan (f) masih terjadinya pemotongan sapi betina produktif dalam mencukupi kebutuhan daging sapi.
Kondisi
tersebut
mengakibatkan
rendahnya
tingkat
keberhasilan
kebuntingan dan kualitas bibit yang dihasilkan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Saputra 2008). Kondisi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan tidak terlepas dari melemahnya potensi produksi daerah sentra produksi sapi potong, dimana salah satunya adalah Kabupaten Aceh Besar. Sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Besar pertumbuhan populasi sapi potong berfluktuatif selama kurun waktu 2000 – 2009, yakni dari 4.2% (sebelum tahun 2004) menjadi 2.5% (setelah tahun 2004). Melemahnya potensi produksi sapi potong terjadi pada kurun waktu tahun 2004 – 2005, dimana terjadi penurunan populasi sebesar 22% dari sebelumnya sebesar 125 219 ekor (2004) menjadi 97 224 ekor (2005). Kondisi tersebut disebabkan hilangnya ternak sapi masyarakat yang cukup besar dampak bencana tsunami yang terjadi di Kabupaten Aceh Besar pada akhir tahun 2004 (Dinkeswannak NAD 2010).
Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong Kendala dan peluang pemeliharaan sapi potong di suatu wilayah harus memperhatikan tiga faktor, yaitu faktor teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian sistem reproduksi yang berkesinambungan,
ditunjang
oleh
kemampuan
manusia,
dan
kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial dimaksudkan eksistensi teknis ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Faktor lainnya secara
eksternal di antaranya; infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah (Santosa 2001). Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan kepadatan teknis ternak yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak (ST) ternak herbivora saja. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya, maka berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Dari angka kepadatan teknis maka akan didapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan ternak akan bergantung kepada: (1) derajat kesuburan tanah, (2) iklim, (3) tataguna tanah, dan (4) topografi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak saja yang
diperhitungkan,
misalnya
tanah
pertanian,
perkebunan,
padang
penggembalaan dan sebahagian dari kehutanan (Natasasmita dan Mudikdjo 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa, ketersediaan air juga harus diperhitungkan dalam usaha peternakan sapi potong. Sapi yang kekurangan air menyebabkan aktivitas sel-sel tubuhnya akan terganggu
sehingga tubuh sakit dan
pertumbuhannya akan terganggu. Kebutuhan air bagi tiap ekor sapi dewasa diperhitungkan berkisar 40 liter sehari dan di padang penggembalaan diusahakan jarak mencapai sumber air tidak lebih dari 1.6 km agar sapi tidak terlalu letih. Subagio dan Kusmartono (1988) menyatakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas tampung ternak terutama berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembalaan yaitu: 1. Penaksiran kuantitas produksi hijauan, dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran bujur sangkar. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara acak, ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5 - 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
2. Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF masing-masing adalah 25 – 30 %, 40 – 45 %, dan 60–70 %. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan karena: (a) Erodibilitas lahan. Jika lahan mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen, (b) Pola pertumbuhan
kembali
hijauan.
Bila
hijauannya
mempunyai
pola
pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan (c) Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara. Semakin banyak jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100% hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak. 3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan. 4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas, karena hal ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Bibit sapi potong yang baik menurut Wiyono dan Aryogi (2007) harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut : a. Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, sapi PO berwarna putih, sapi Madura berwarna coklat, dan sapi Bali betina berwarna merah bata serta jantan dewasa berwarna hitam.
b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak dengan tingkat pertambahan berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu. c. Ukuran tinggi punuk minimal pada calon bibit sapi potong (indukan dan pejantan) mengacu pada standar bibit populasi lokal, regional atau nasional. d. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan (terjadi pada sapi yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi pada sapi tetua atau pada sapi keturunannya). e. Untuk pejantan, testis sapi umur diatas 18 bulan harus simetris (bentuk dan ukuran yang sama antara skrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya melebihi 32 cm (32 – 37 cm). f. Kondisi sapi sehat yang diperlihatka dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat ditularkan melalui aktivitas reproduksi. Usahatani sebagai suatu sistem dalam pendekatannya ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, adalah struktur dari sistem tersebut dan kedua, fungsi dari komponen-komponen pembentuk sistem itu sendiri. Dalam fungsinya sebagai sistem usahatani, ternak akan berintegrasi dengan lahan, komoditi lain yang diusahakan dan dengan petani sebagai pengelola usaha tani. Interaksi ternak dengan petani, mencakup empat aspek penting yaitu: (a) keserasian ternak dengan tujuan petani, (b) kesenangan petani dan ketrampilannya memelihara ternak, (c) kemampuan petani dari segi waktu dan tenaga kerja pemelihara, dan (d) keadaan sosial budaya lingkungan setempat (Siregar 1997). Partisipasi merupakan kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi dalam pembangunan adalah peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik berupa pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukkan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, materi serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Rakhmat 2000).
Persoalan biaya memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan dari suatu usaha. Secara umum biaya produksi dimaksudkan sebagai jumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi suatu usaha. Penerimaan usahatani atau disebut juga sebagai pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu perhitungan yang biasa digunakan adalah setahun Ukuran ini juga merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan dalam usaha tani (Soekartawi et al. 1986). Pendapatan bersih usaha tani (net farm income) dibedakan menjadi dua katagori. Katagori pertama adalah pendapatan tunai usaha tani yang merupakan selisih antara penerimaan total (total cash income) dengan biaya tunai total (total cash expense), pendapatan tunai ini masih disesuaikan dengan beberapa pengeluaran non tunai seperti penyusutan dan per ubahan investasi. Sebagai katagori kedua adalah pendapatan bersih usahatani (net farm income) yang merupakan hasil penyesuaian (pengurangan) antara pendapatan tunai dengan biaya non tunai (Kay 1981).
Potensi Pengembangan Sapi Bali Sapi potong di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa rumpun berdasarkan habitat wilayahnya antara lain adalah sapi Bali, Peranakan Ongol (PO), Sumba Ongol (SO), Madura, Aceh, Pesisir dan Brahman. Hardjosubroto (1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan karena didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo (1992) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali di berbagai wilayah Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.
Peranginangin (1990) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian pedet sebesar 11.18% umumnya akibat terserang penyakit Jembrana, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang sama memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7.26% terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang cukup baik yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994) memperoleh calving interval sebesar 14 – 15 bulan, sedangkan Tanari (1999) memperoleh calving interval sebesar 12.19±0.06 bulan dikarenakan manajemen reproduksi yang dilaksanakan di Bali cukup baik yakni umumnya perkawinan dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan ditunjang oleh biologi reproduksi sapi Bali yang cukup baik dimana fertilitasnya tinggi sekitar 83%. Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60% (Maryono dan Romjali 2007). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai (Andini et al. 2007). Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70% dan pakan yang baik adalah murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai ternak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan ternak serta lingkungan (Maryono dan Romjali 2007). Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama pada jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu : (1) lama bunting yang panjang, (2) panjangnya interval dari melahirkan sampai estrus pertama, (3) tingkat konsepsi yang rendah, dan (4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak sebagian besar (95%) dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Adanya perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak di suatu wilayah dipengaruhi oleh
keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi (Toelihere 1983). Melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu diperhatikan dan menghitung dengan tepat jumlah sapi Bali yang dapat dikeluarkan agar tidak mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah (Putu et al. 1997). Out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi oleh natural increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di daerah tersebut (Hardjosubroto 1994).
Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong Di Indonesia Budidaya sapi potong merupakan suatu kegiatan pemeliharaan sapi potong secara terkontrol untuk tujuan produksi yang terdiri dari usaha pembibitan dan usaha penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti (replacement stock) dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Sedangkan penggemukan sapi bertujuan untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar (Deptan RI 2002a). Basis pembibitan sapi potong di Indonesia adalah pembibitan rakyat yang cirinya tidak terstruktur, skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) yang umumnya terintegrasi dengan kegiatan lain. Problem yang dihadapi usaha pengembangan peternakan rakyat adalah ketepatan pengalokasian sumberdaya, termasuk pengalokasian jenis ternak kepada suatu daerah dan peternak dengan kondisi yang sangat beragam. Selama struktur produksi di
dominasi oleh usaha skala kecil yang berorientasi pada usahatani keluarga, maka program pengembangan ternak rakyat harus didasarkan pada pendekatan sistem pertanian secara menyeluruh dengan pendekatan keilmuan, terpadu dan spesifik lokasi, dimana petani hidup dan bekerja (Sabrani et al. 1981). Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu ; (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam “Sapta Usaha Peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, dan (3) pendekatan agribisnis dengan tujuan: mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran (Gunardi 1998). Pengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu: 1) pengembangan potensi ternak dan bibit temak, 2) pengembangan pakan ternak, 3) pengembangan teknologi budidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait dengan sanitasi dan kesehatan ternak serta peningkatan industri
dan pemasaran hasil peternakan,
pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan pengembangan
peternakan
(Sudardjat
2000).
Kebijakan
pembangunan
peternakan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak melalui pengembangan kawasan dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, sentra peternakan yang sudah ada dan kawasan di setiap kabupaten, kotamadya, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan peternakan rakyat, sudah saatnya diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem agribisnis (BAPPENAS 2004). Model meningkatkan
pembangunan produksi
dan
peternakan
yang
pendapatan
dapat
petani
digunakan
ternak
serta
untuk asas
industrialisasi peternakan sapi potong yaitu: (a) penyediaan bakalan; (b) pengembangan plasma nuftah; (c) pengembangan bapak angkat; (d) pengembangan pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat); (e) Pola Mitra Usaha; (f)
pengembangan pola koperasi; (g) pengembangan pola imbal beli; (h) pengembangan sistem bina renteng; (i) pengembangan pola Sumba Kontrak; (j) pengembangan dengan sistem bagi hasil; (k) pengembangan melalui pembinaan pasar (Tawaf 1993). Usaha penggemukan sapi potong sangat tergantung pada ketersediaan sapi bakalan, pakan dan teknologi tepat guna. Model usaha sapi potong yang telah diperkenalkan dan masih relevan diterapkan adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) sapi potong (Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004) dan Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong (Gurnadi 2004), dijelaskan sebagai berikut : 1). PIR Penggemukan Budidaya (penggemukan) sapi potong diselenggarakan dalam bentuk kerjasama diantara perusahaan Inti yang menyediakan sarana produksi, penggolahan dan pemasaran, dengan peternak plasma sebagai pelaksana budidaya seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Penggemukan Sapi KERJASAMA PERUSAHAAN & PETERNAK PERUSAHAAN INTI
SAPRODI
AGRIBISNIS BUDIDAYA PENGOLAHAN
- Bakalan - Pakan -Teknologi
PEMASARA N
Pengolahan
DOMESTIK (Substitusi Impor)
RPH
EKSPOR
Kerjasama
PETERNAK PLASMA
Penggemukan
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
2). PIR Pakan Pola kerjasama dimana plasma menyediakan pakan ternak bagi usaha penggemukan sapi yang dilakukan oleh perusahaan inti, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Pakan KERJASAMA PERUSAHAAN & PETERNAK PERUSAHAAN INTI
SAPRODI - Bakalan - Pakan -Teknologi
AGRIBISNIS BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN Feed-Lot Fattening 4-6 bulan
Pengolahan
DOMESTIK (Substitusi Impor)
RPH EKSPOR
Kerjasama PETERNAK PLASMA
Pakan
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
3). PIR Sapi Bakalan PIR Sapi Bakalan adalah pola kerjasama perusahaan Inti dengan peternak sebagai plasma dimana plasma mendapat pelayanan dan bimbingan dari Inti untuk memproduksi sapi bakalan, sedangkan Inti memberikan pelayanan melalui Inseminasi Buatan (IB) atau Embryo Transfer (ET) seperti ditunjukkan Gambar 4. Gambar 4. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sapi Bakalan melalui IB KERJASAMA PERUSAHAAN & PETERNAK PERUSAHAAN INTI
SAPRODI
AGRIBISNIS BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN
- Bakalan - Pakan -Teknologi
Pengolahan
RPH
Kerjasama
PETERNAK PLASMA
Bibit
Anak JTN Digemukkan Anak BTN Bibit
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
DOMESTIK (Substitusi Impor) EKSPOR
4). Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong Subsistem V I Subsistem V
Subsistem IV
Subsistem III
Subsistem II
Subsistem I
Keterangan : Subsistem I = Pusat R & D dan penyalur Input Modern Subsistem II = Produser PRIMER (Peternak Mitra, Peternak Rakyat) Subsistem III = Produsen Primer Plus (“Feed-Lotter”) Subsistem IV = Produsen Sekunder (RPH) Subsistem V = Produsen Sekunder Plus (pabrik pengolah dan konsumen antara) Subsistem VI = Subsistem Tersier (konsumen akhir) Sumber : Gurnadi 2004
Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong dibagi menjadi enam subsistem usaha, yang dapat dijelaskan sebagai berikut ;
a. Subsistem I (MB-SS I) merupakan usaha pelayanan pendukung yang menyediakan bibit sapi, bibit tanaman makanan ternak, vaksin, obatobatan, dan sarana lainnya. Selain itu juga merupakan pusat penelitian dan pengembangan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan subsistem lainnya. b. Subsistem II (MB-SS II) merupakan kelompok peternak mitra atau peternak rakyat, sebagai produsen primer yang menghasilkan sapi potongan hasil penggemukan atau sapi bakalan yang dapat dijual ke peternakan inti pada Subsistem III. c. Subsistem III merupakan perusahaan inti yang mempunyai modal cukup. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan adalah menghasilkan sapi bakalan, sapi hasil penggemukan, RPH dan pabrik pengolahan. d. Subsistem IV dan III merupakan satu unit usaha atau unit usaha yang terpisah. e. Subsistem V dan Subsistem VI merupakan pasar.
Kawasan Agribisnis Sapi Potong Pengembangan model kawasan secara ekonomi merupakan upaya efisiensi kegiatan usaha dalam suatu ruang ekonomi tertentu melalui konsentrasi kegiatan atau aglomerasi. Aglomerasi dimaksudkan untuk memperoleh manfaat antara lain; (1) memaksimumkan keuntungan usaha karena berbagai kegiatan berada pada satu lokasi yang terjangkau; (2) memaksimumkan pelayanan fasilitas sehingga dapat menekan biaya transportasi; (3) lebih menjamin keterkaitan agribinsis hulu-hilir; dan (4) memudahkan koordinasi dan pembinaan pelaku/pengelola. Manfaat aglomerasi dapat diwujudkan apabila; (1) proses produksi dilakukan secara efisien; (2) pelayanan fasilitas dilakukan seefisien dan seefektif mungkin; (3) terjaminnya pasokan bahan baku, distribusi, dan kualitas produk; dan (4) adanya sistem pembinaan yang kondusif (Deptan RI 2002a). Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung dan
suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah kawasan peternakan yang berorientasi ekonomi dan memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun hilir (Deptan RI 2002b). Komponen-komponen pembentuk kawasan peternakan sapi potong yang menjadi indikator penentuan suatu bentuk kawasan meliputi lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan petugas pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Deptan RI 2002a). Menurut Bappenas (2004), dipandang dari segi potensi agroekosistem dan tingkat kemandirian kelompok, kawasan peternakan bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga macam kawasan itu adalah merupakan tahapan pengusahaan pengembangan kawasan peternakan rakyat. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kawasan Peternakan Baru Kawasan ini dikembangkan dari daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Petani telah memiliki usaha tani lain terlebih dahulu, atau belum memiliki usaha apapun di sektor agribisnis. Demikian pula kelompok petaninya juga belum terbentuk, kalaupun sudah ada tapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Lahan cukup luas dan bahan pakan cukup potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Peran pemerintah diperlukan dalam bentuk pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Peternakan Binaan Kawasan ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru, setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan.
Daerah
atau
wilayah
telah
berkembang
sesuia
dengan
perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompo tani dari kelompok pemula menjadi kelompok madya, dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok tani sudah mulai dirintis, dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Demikian pula unit-unit pelayanan,
unit-unit pengembangan sarana dan unit-unit pemasaran sudah mulai dibangun. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan sudah mulai berkurang. 3. Kawasan Peternakan Mandiri Kawasan ini merupakan pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan, yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang lebih luas. Kelompok tani telah meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerja sama dengan beberapa kelompok lain dalam wadah KUBA. Bahkan telah dikembangkan beberapa KUBA yang satu sama lainnya saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA, dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Unitunit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi, dan unit-unit pemasaran telah berkembang sangat efisien, sedemikian hingga ada kemandirian para petani, kelompok petani, KUBA, dan kawasan. Pada tahap ini, peran pemerntah tinggal hanya pengaturan dan pengawasan.
Pendekatan Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck and Jauch 1994). Manajemen strategi didefinisikan
sebagai
seni
dan
pengetahuan
merumuskan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi (David 2001). Analisis SWOT adalah alat pengidentifikasian berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu usaha (kegiatan). Berdasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), yang secara bersamaan meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu usaha. Dengan demikian perencanaan strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor internal dan eksternal dari suatu usaha dalam kondisi saat itu yang disebut dengan Analisis Situasi (Rangkuti 2006). Problem sistem tidak semuanya dapat dipecahkan hanya melalui komponen yang terukur. Komponen yang tidak terukur sering mempunyai peranan yang cukup besar. Untuk mengevaluasi nilai sosial dalam masyarakat yang kompleks diperlukan suatu metode yang cocok yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan adanya interaksi antara judgment dengan fenomena sosial itu. Proses hirarki analitik (PHA) dapat digunakan untuk memecahkan
problema
yang
terukur
maupun
yang
memerlukan
judgement (Saaty 1993). Selanjutnya disebutkan bahwa prinsip dasar PHA ke dalam langkah penyusunan matriks pendapat meliputi analisis persoalan, penyusunan hirarki, komparasi berpasangan, sintesa prioritas dan pemeriksaan konsistensi. Teknik perumusan strategi yang dikembangkan oleh David (2001), memiliki tiga tahap pelaksanaan dan menggunakan matriks sebagai model analisisnya yang meliputi : 1. Tahap Input Tahap pemasukkan informasi yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal dan matriks evaluasi faktor internal. 2. Tahap Pencocokan Tujuan tahap pencocokan adalah menghasilkan strategi alternatif yang layak, bukan untuk menetapkan strategi mana yang terbaik. Tahap pencocokan dari kerangka kerja perumusan strategi digunakan matriks SWOT. Penggunaan matriks SWOT sangat ditentukan oleh informasi yang diperoleh dalam tahap input untuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan dan kelemahan internal. 3. Tahap Keputusan Tahapan keputusan dilakukan dengan menggunakan Quantitative Strategies Planning Matrix (QSPM) atau Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif.
Secara konseptual tujuan QSPM adalah untuk menetapkan daya tarik relatif (relative attractiveness) dari variasi strategi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi yang dianggap paling baik guna diimplementasikan dengan menggunakan penilaian intuitif dalam menyeleksi strategi alternatif tersebut menggunakan informasi dari tahap input dan tahap pencocokan. Tawaf (1993) menyebutkan ada empat strategi dasar pengembangan sapi potong, yaitu: 1. Strategi Agresif. Pada kondisi peluang dan kekuatan yang tinggi seluruh potensi diarahkan untuk mengembangkan peternakan. Pada keadaan ini, pengambil keputusan secara aktif dapat menetapkan keputusannya untuk mengembangkan peternakan sapi potong karena iklim usaha sangat mendukung. 2. Strategi Diversifikasi. Kondisi kekuatan dan ancaman yang tinggi dihadapkan pada dua hal yang kontradiktif. Perlu dilakukan beberapa alternatif pengembangan bila altematif pertama gagal, maka alternatif berikutnya dapat menutupi kegagalan tersebut. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan daging perlu dikembangkan berbagai bentuk usaha ternak sapi potong. 3. Strategi Berbalik. Pada kondisi peluang dan kelemahan yang tinggi memerlukan paling sedikit dua kebijakan yang bertolak belakang. Bila pemenuhan kebutuhan daging dilakukan dengan pengembangan perusahaan peternakan
menghadapi
kegagalan,
maka
alternatifnya
adalah
mengembangkan peternakan rakyat dengan skala kecil atau semula dengan sistem feedlot oleh perusahaan, berbalik menggunakan sistem kreman yang dilakukan oleh rakyat. Pada kondisi ini diperlukan perlindungan kebijakan pemerintah, introduksi modal dan teknologi yang memadai. 4. Strategi Defensif. Pada kondisi kelemahan dan ancaman yang tinggi perlu dilakukan strategi defensif. Artinya campur tangan pemerintah sangat diperlukan terutama mengenai permodalan serta teknologi baru.