Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner 1998
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI SAPI POTONG DI LAMPUNG R.H. MATONDANG, P. SITEPU,
dan C .
THALIB
Balai Penelitian Teniak, P.O . Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Penelitian ini telah dilakukan di Propinsi Lampung melalui survai 46 orang peternak sapi lokal sebagai responden . Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskripsi tentang potensi dan kepadatan ternak clan analisis fungsi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan populasi sapi lokal dapat dilakukan melalui pemanfaatan potensi wilayah dan agraris, pada tingkat teknologi hijauan pakan yang berlaku saat ini. Faktor-faktor produksi yang sangat menentukan kelangsungan usaha pemeliharaan sapi potong lokal adalah luas lahan sawah, tenaga kerja, kandang, pakan, lokasi dan jarak sumber hijauan yang masing-masing mempunyai nilai koefisien regresi : 0,32 ; -0,32 dan -0,06; 0,23 ; 0,55; 0,21 ; dan -0,13 . Respon positif dari faktor-faktor produksi tersebut dapat meningkatkan populasi pemilikan ternak sapi potong, sebaliknya tanda negatif dapat menurunkan populasi pemilikan ternak sapi potong . Disarankan agar pengembangan usaha ternak sapi potong di Lampung harus berorientasi ekonomi atau pasar, Disamping penyuluhan panca usaha peternakan, teknologi budidaya clan informasi pasar hanis berkesinambungan . Kata kunci : Sapi Lokal, potensi, perbaikan usaha PENDAHULUAN Kebutuhan sapi bakalan Nasional selain ditentukan oleh jumlah perusahaan komersial (feedlot) yang pada tahun 1995 beroperasi sebanyak 18 perusahaan, juga ditentukan oleh peternakan rakyat yang umumnya memeliliara sapi dalam jumlah terbatas (1-2 ekor) . Propinsi Lampung sebagai salah satu "gudang ternak" di Indonesia ternyata masih belum mampu menyediakan bibit sapi potong sebagai bakalan terlihat dari jenis populasi yang ada, ternyata 5,3% berasal dari sapi impor (SITEPu et al., 1992). Saat ini diperkirakan sebanyak 90% dari sapi bakalan yang dipelihara oleh perusahaan komersial berasal dari impor yang jumlahnya pada tahun 1994 diperkirakan sebesar 84 .000 ekor dan pada tahun 1995 melonjak menjadi 140 .000 ekor (AFPINDO, 1994). Apabila ditinjau dari sistem produksi berdasarkan luas lahan yang ada serta melihat kondisi pada saat ini, REKSOHADIPRODJO (1994) melaporkan bahwa potensi pakan yang tersedia per talum di Indonesia masih dapat menampung lebih dari 11 juta unit ternak (UT). Kawasan bagian Barat masih mampu menampung sebanyak 8.315 .068 UT per tahun, sedangkan kawasan bagian Tinmr 2.919.902 UT yang masih dapat ditampung . Propinsi Lampung mempunyai potensi pakan sebesar 1,38 juta UT ruminansia pada tahun 1993, sedangkan populasi ternak saat itu barn mencapai 450.002 UT (DINAS PETERNAKAN LAMPLNG, 1995) . Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi sapi potong di Propinsi Lampung belum digunakan secara optimal, sehingga produksi bibit sapi sebagai penghasil bakalan belum dapat memenuhi kebutuhan permintaan dalam negeri . Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mempelajari potensi dan keragaan pengusahaan sapi potong dikaitkan dengan ketersediaan sumberdaya lalian
Seminar Nosional Peternakan dan Veteriner 1998
dan tenaga kerja pada berbagai basis ekosistem dan 2) mempelajari faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap usaha ternak sapi potong . METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Propinsi Lampung dengan menetapkan satu kabupaten yang memiliki populasi sapi potong yang terbesar dari 5 kabipaten di Propinsi Lampung (kantong produksi sapi potong) . Dari 18 kecamatan yang ada dipilih dua kecamatan yaitu Kecamatan Tulang Bawang Udik (jauh dari sumber hijauan pakan ternak) dan Tulang Bawang Tengah (dekat dengan sumber hijauan pakan ternak) . Kedua kecamatan adalah merupakan kantong produksi sapi potong di Kabupaten Lampung Utara. Dari setiap kecamatan dipilih 23 peternak sapi potong ditetapkan secara acak. Untuk mengetahui penggunaan faktor-faktor produksi sapi potong di Propinsi Lampung dilakukan analisis regresi untuk mempelajari kaitan jumlah pemilikan ternak sapi potong dengan sumber daya lahan dan Angkatan kerja, dan untuk menerangkan jumlah pemilikan dan nilai ternak sapi potong dengan faktor-faktor produksi yaitu kandang, peralatan, pakan, tenaga kerja, dan faktor lingkungan (lokasi) pada tingkat petani . Pengumpulan data dilakukan dengan tekni<, wawancara terhadap responden . Untuk mengungkapkan orientasi pemilikan ternak, arah ketergantungan terhadaj ketersediaan pakan dan input tenaga kerja, dilakukan analisis menurut luas lahan pertanian wilayah secara keseluruhan dan kecamatan ekonomi pada berbagai daerah berdasarkan kepadatar penduduk, agroekosistem dan topografi . Data yang digunakan bersumber dari Sensus Pertanian 1993, Statistik Peternakan 1984 dan 1994, dan Lamping Utara Dalam Angka, 1993 . Analisis fungsi produksi Model yang digunakan untuk menerangkan peubah populasi ternak sapi potong adalah fungs produksi COBB-DOUGLAS (DEBERTIN, 1986) dan fingsi produksi ini telah digunakan olel MATONDANG (1994) terhadap populasi ternak . Hasil penelitian menunjukkan bahwa model COBB DOUGLAS lebih baik dibanding dengan model TRANCENDENTAL . Menurut DEBERTIN (1986) fungsi produksi COBB-DOUGLAS memiliki keunggulan antar lain perhitungannya sederhana karena dapat dibuat menjadi bentuk linier. Dengan persamaa; sebagai berikut : Y= A X, b) . . . . . . . . . . . . . .X363 ea ..... .. ... .. ... .. ... .. ... .. ... .. .. .. (1) di mana, Y X, XZ X3 A b, ...b3 e w
61 2
= Populasi ternak sapi potong (dalam unit ternak) dimana : 1 ekor sapi dewasa = 1 unit ternak (UT), 1 ekor sapi muda = 0,60 unit ternak (UT), clan 1 ekor anak sapi = 0,25 unit ternak (UT) (Bullet 06-07/VII, Dirjen Peternakan Jakarta) . = Luas lahan sawah (ha) = Luas lahan kering (ha) = Angkatan kerja (jumlah penduduk dengan umur >_ 10 tahun) = Konstanta = Koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas = Logaritma natural, e = 2,718 = Unsur galat (error)
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
Logaritma dwi persarnaan di atas adalah In Y =1n A + b, In X, +. . .. .+ b3 In X3 In X3 + v Untuk menerangkan pemilikan dan nilai ternak sapi potong oleh petani dilakukan analisis dengan model yang sama, yaitu kemampuan menghasilkan ternak dihubungkan dengan nilai sarana produksi (kandang, peralatan, dar pakan), tenaga kerja dan Lkasi. Secara umum, hubungan fungsional tersebut dapat dirimiuskan sebagai berikut di mara, Y
Xd Xf Di D A be...bi e p
ba bi Y = AXa .. .. ... .. .. .Xff D &+ . .. .. ... .. ..... .. ... .. ..... .(2) Pemilikan ternak (unit ternak) dan nilai ternak (Rupiah/tahun) Penyusutan kandang (Rp/tahun) Penyusutan peralatan (Rp/tahun) Nilai pakan (Rp/tahun) Jumlah penggunaan tenaga kerja (jam/tahun) Jarak rumah petard ke sumber hijauan pada musim hujan (km/tahun) Jarak riimah petard ke sumber hijauan pada musim kemarau (kin/tahun) Lokasi D = 0, dekat ke sumber hijauan 1, jauh ke sumber hijauan Konstanta Koefisein regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas Logaritma natural, e = 2,718 Unsur galat (error)
Fungsi logaritma dari perswnaan (2) sebagad berikut: In Y =1n A + ba In Xa +...+ bf In Xf+ v HASIL PENELITIAN Potensi ternak sapi potong
Pada Tabel 1 nampak bahwa kepadatan ternak sapi potong di Lampung terhadap kepadatan agraris, wilayah dar ekonomi sangat rendah . Pada umumnya kepadatan ternak untuk 1 ha lahan kering yang ditumbuhi rumput lapang dapat menampung 1 unit sapi . Secara geografis propinsi Lampung relatif tidak padat ternak maka masih dimungkinkan untuk pengembangan populasi yang antara lain dilakukan melalui pemanfaatan kepadatan wilayah dan agraris. Di Lampung, kepadatan penduduk tidak diikuti oleh kepadatan ekonomi ternak yang tinggi, terliliat dari petani yang membudidayakan padi pada umumnya memiliki kinerja usaha yang baik namun dalam pemeliharaan ternak sapi potong yang hanya memiliki 1-2 ekor sapi masih bersifat sambilan . Pemiliharaan yang bersifat sambilan dan dikelola secara tradisional dapat mengakibatkan usaha ternak sapi potong tidak optimum, tetapi hanya merupakan pelengkap dari cabang usahatani tanaman pangan . MATONDANG (1994) menemukan keadaan serupa pada usahatani dengan luas lahan berkisar antara 1500 - 3000 m2, padahal petani di Lampung memiliki lahan yang lebih luas yaitu 2 ha per petani . Oleh karena itu adaptasi teknologi peternakan dan budidaya hijauan pakan ternak perlu secara lebih intensif ditransfer kepada petani . Di Lampung pada daerah dengan basis ekosistem lahan kering dan topografi rendah nampak kepadatan ternak sapi potong yang rendah (Tabel 2), yang diperkirakan terkait dengan kelangkaan pakan karena belum berkembangnya teknologi pakan hijauan ternak yang merupakan faktor pembatas pengembangan petemakan di lahan kering . Hal yang sama terjadi di daerah lahan kering
61 3
Seminar Nasional Peternakan dan Peteriner 1998
dan dataran rendah (yang juga berbasis ekosistem lahan kering), di mana kepadatan ternak sapi potong lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang berbasis ekosistem sawah clan dataran tinggi (yang juga berbasis ekositem lahan sawah) . Tabel 1.
Kepadatan ternak sapi potong di Propinsi L ampung, 1996
Uraian
Lamptutg 0,21 0,06 34,71 181
Kepadatan agraris (unit temak/ha)' Kepadatan wilayah (Unit tetnak/ha)Z Kepadatan ekonomi (unit ternak/1000 penduduk) Penduduk (orang/km 2) Keterangan 1). Lahan diperfiitungkan adalah sawah, tegatan, ladang, dan huma 2). Tidaktemiasuk tambak, kolam, tebg dan empang Sumber: L.vnpung Utara Dalam Angka, 1993 (Diolah)
Kepadatan penduduk yang tinggi di lahan sawah ternyata diikuti oleh kepadatan ekonoini ternak yang tinggi. Penyebabnya adalah tersedianya pakan hijauan ternak dan limbah pertanian sehingga memungkinkan usaha ternak dapat berkernbang . Hal ini erat kaitannya dengan orientasi pengusahaan olell petani tetap terkait dengan peranan ternak sebagai tenaga kerja pengolah lahan pertanian . Tabel2.
Kepadatan ternak sapi potong menunit basis ekosistem dan topografr lahan di Propinsi Lamptuig, 1996 (dalain UT)
Uraian
Kepadatan Agraris (unit temak/hal ) Kepadatan Ekonomi (unit ternak/1000 penduduk)2 Kepadatan Penduduk (orang/ha) 3
Ekosistein Sawali
Lahan Kerirtg
0,81 292,51 23,41
0,27 98,98 7,77
Topografr Rendah (0-500 m.dpl) 0,34 124,11 9,79
Tinggi (500-700 m.dpl) 0,51 182,98 14,64
Keterangan 1). Kepadatan agarsyang di periutungkan adalah Was Lahvt sawah dankering 2). Perduduk dengan umur >I 0 tahun 3). Kepadatan penduduk adalah kepadauan agars yaitu junilah penduduk di bagi luas areal pertanian Sumber :SENsus PERTANiAN (1993) dan L.AwVNo UTARA DALAM ANGKA(1993) (Diolah)
Faktor-faktor produksi Pada Tabel 3 nampak bahwa hubungan populasi sapi potong dengan lahan sawah dan angkatan kerja memberikan petunjuk yang jelas tentang arah pengernbangan peternakan di Lampung di masa yang akan dating . Keeratan hubungan antara populasi sapi potong dengan lahail sawah bersifat nyata (0,32). Semakin luas lahan sawah sernakin banyak dibutulikan ternak sebagai tenaga kerja untuk pengolahan lallan . Apabila di daerah seperti ini dikembangkan mekanisasi pengolahan lahan, maka akan dapat terjadi kemunduran drastis dalam pengusahaan sapi potong sekiranya orientasi usaha ternak tetap berorientasi ternak kerja (RUSASTRA, 1988) . Untuk itu perk 61 4
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
disiapkan suatu perangkat teknologi budidaya agar petani tetap mengusaliakan ternak dengan orientasi menghasilkan bakalan atau ternak bibit. Tabel3.
Pengaruh lahan sawah, lahan kering dan angkatan keija terhadap populasi ternak sapi porong di Kabupaten Lampung Utara, Propinsi Lampung
Uraian
Populasi temak
0,3202
Lahan sawah Lahan kering
0,4944
Tenaga kerja
-0,3180 1,6172
Konstata
R' (%)
54,71
Keterangan : Nilai dengan tanda * nyata pada taraf5% Berbeda dengan angkatan kerja, apabila ditambah 100% maka populasi sapi potong akan
berkurang sebesar 32%. Tanda minus pada
nilai elastisitas angkatan kerja (hal yang sama
ditemukan oleh PAKPAHAN, 1981 dan MATONDANG, 1994) menunjukkan bahwa produk marginal
telah mencapai negatif. Menurut asumsi bahwa kualitas hasil pekerjaan adalah konstan walaupun
jumlah pekerjaan ditambah, produk marginal atas angkatan kerja bernilai negatif tersebut tidak mungkin terjadi,
karena produk marginal atas masukan ini minimal adalah nol. Walaupun
elastisitas angkatan kerja bernilai
negatif dan diragukan kebenarannya, hal ini tetap dapat
merupakan petunjuk kasar tentang situasi ketenaga kerjaan pertanian di Lampung.
Dari nilai elastisitas tersebut terlihat bahwa respon tenaga kerja terhadap populasi ternak sapi
potong sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat teknologi yang digunakan petani
sekarang, khususnya pada sektor usaha ternak sapi potong di pedesaan Lampung dapat dikatakan
jenuh terhadap tenaga kerja pertanian, karena tenaga kerja yang dialokasikan terlalu banyak clan tidak sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara .
Tabel 4 .
Pengaruh faktor-faktor produksi terhadap pemilikan dan nilai sapi potong pada tingkat petani di Kabupaten Lampung Utara, Propinsi Lampung
Uraian
Pemilikan ternak
Kandang
0,1028
Peralatan
0,0075
Pakan
0,5954
Nilai tenak
0,2313 -0,0722 0,5513 **
Tenaga kerja
-0,0843
-0,0583
Jarak musim hujan
-0,0822
-0,1322
0,2930 0,1423
0,1015
Jarak musim kemarau Lokasi
-7,6504'} 23,91
Konstanta Koefisien variasi (CV)
R2
54,18
0,2060* 6,2763" 1,16 56,34
Keterangan : ** Sangat nyata, * nyata, masing-masing pada taraf 1%dan 5% Pada Tabel 4 nampak bahwa nilai ternak secara nyata dipengaruhi oleh beberapa faktor-
faktor
produksi, sedangkan pada
pemilikan ternak
llanya
dipengaruhi oleh
variabel
pakan.
61 5
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1998
Perbedaan ini diperlihatkan oleh koefisien variasi (CV) lebih besar pada pemilikan ternak dibandingkan dengan nilai ternak . Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat heteroskedastisitas pada model fungsi penguasaan ternak yang menyebabkan hasil analisis menjadi tidak efisien . Sesuai dengan yang dikatakan SUPRANTO (1984) bahwa keragaman parameter dalam keadaan heteroskedastisitas akan lebih besar dari keragaman parameter dalam keadaan homoskedastisitas . Selanjutnya dikatakan bahwa heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis data cross section. Untuk mengatasi persoalan tersebut ada beberapa cara antara lain dengan melakukan transformasi terhadap model fungsi yang digunakan (SUPRANTO, 1984) . Pada penelitian ini transformasi telah dilakukan dengan merubah unit ternak menjadi nilai ternak (rupiah) . Berdasarkan kenyataan ini, maka pembahasan selanjutnya digunakan fungsi produksi dari nilai ternak (Tabel 8). Respon positif dan bersifat nyata dari kandang, pakan dan lokasi terhadap nilai ternak menunjukkan adanya ketergantungan terhadap faktor-faktor tersebut, dtin merupakan sarana yang sangat penting bagi pengembangan produksi ternak sapi potong melalui usaha intensifikasi dalam arti luas. Konstanta yang sangat nyata menunjukkan bahwa adanya faktor produksi lain yang mempengaruhi nilai ternak tetapi tidak dimasukkan ke dalam model. Faktor produksi tersebut antara lain adalah ternak . Hal ini disebabkan data mutasi ternak tidak diperoleh dari petani . Peningkatan jumlah hijauan pakan ternak sebesar 1% akan meningkatkan populasi sapi potong sebesar 0,55%. Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan hijauan pakan ternak sangat menunukkan bagi pengembangan usaha ternak sapi potong di daerah ini . Untuk itu, potensi lahan kering perlu ditingkatkan penggunaannya dengan cara mengkombinasikan tanaman hijauan pakan ternak yang berkualitas tinggi (SIREGAR et al., 1982), disamping melaksanakan pasaa usalia peternakan dengan benar . Pengaruh lokasi yang dimaksud adalah pengaruh jarak antara rumah petani ke sumber hijauan pakan ternak . Semakin dekat dengan sumber hijauan pakan ternak, populasi ternak semakin bertambah sebaliknya semakin jauh dari sumber hijauan pakan ternak, populasi akan menurun . Hal ini mungkin disebabkan untuk memperoleh hijauan dengan cara cut and carrv memerlukan biaya terutama pada musim kemarau. Kondisi seperti ini dapat mengurangi motivasi peternak untuk meningkatkan populasi sapi potong yang dimilikinya balikan mengurangi populasinya . Hasil menarik lainnya adalah respon negatif dan bersifat nyata jarak sumber hijauan pakan kerumah petani pada musim hujan, seharusnya bertanda positif dan bersifat nyata . Namun hasil analisis ternyata berbeda dari yang diharapkan . Keadaan ini memperlihatkan bahwa rendaliny i manajemen pemeliharaan ternak sapi potong oleh petani yang tidak dapat memanfaatkan hijauan pakan ternak yang cukup tersedia bahkan berlebihan pada musim hujan. Inl berarti peternak yang memelihara sapi potong belum berorientasi pasar. Oleh karena itu, frekuensi penyululiau peternakan perlu ditingkatkan, terutama penyuluhan tentang teknologi peternakan, teknologi budidaya hijauan pakan ternak dan informasi pasar . Dengan demikian peternak sebagai penghasil bibit dan bakalan sapi potong dapat diharapkan di masa yang akan dating. KESIMPULAN Pengembangan ternak sapi potong di Lampung masih memerukan peluang yang sanga! besar. Ditinjau dari kepadatan wilayah dan agraris yang tersedia, populasi ternak sapi potonq 616
Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner 1998 masih dapat ditingkatkan dari populasi yang ada pada saat ini . Selain itu, pemanfaatan laltan kering sebagai basis ekosistem pemeliharaan tenak sapi potong lokal masih belum dimanfaatkan secara optimal . Pengembangan usaha ternak sapi potong yang berorientasi kepada ekonomi atau pasar perlu dimasyarakatkan . Faktor-faktor produksi yang berpengaruh positif terhadap pemilikan dan nilai ternak sapi potong adalah lahan sawah, kandang, pakan clan lokasi . Sementara faktor produksi yang menurunkan tingkat pemilikan clan nilai ternak sapi potong adalah tenaga kerja clan jarak sumber hijauan pakan ternak ke rumah petani . Pengaruh faktor-faktor produksi tersebut harus menjadi pertimbangan dalam merancang pengembangan usaha ternak sapi potong di propinsi Lampung . DAFTAR PUSTAKA APFINDo . 1994 . Daftar Usulan hnpor Sapi Bakalan dari Pentsahaan . BuKu STATISTIK PETERNAKAN . 1984 . Direktorat Jenderal Petemakan . Jakarta . BuKu STATISTIK PETERNAKAN . 1994 . Direktorat Jenderal Peternakan . Jakarta . DwAS PETERNAKAN . 1995 . Pengembangan Potensi Sumberdaya Menuju Lampung Menjadi Gudang Ternak, Bandar Lampung . LAIvIPUNG UTARA DALAM ANGKA . 1993 . Biro Pusat Statistik Lampung Utara . MATONDANG, R . H. 1994 . Tesis MS . Analisis Ekonomi Usalia Tentak Ruminansia Kecil Dalam Sistem Usahatani di Kabupaten Sukabumi . Program Pascasarjana . IPB . Bogor. PAKPAHAN, A . 1981 . Tesis MS . Analisa Ftuigsi Produksi Usahatani Untuk Menunjang Kebijaksanaan Pengembangan Sumberdaya Daerah Aliran Sungai Cimanuk . Fak . Pascasarjana, IPB . Bogor. REKSOHADIPRODJO, S . F ., SULAIMAN, N. TRIKESowo, dan SumADI . 1994 . Sistem produksi, pengadaan bakalan dan standarisasi daging . Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Balitnak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Litbang Pertanian . RUSASTRA, I . W . 1988 . Potensi dan arah pengembangan Petemakan di Sulawesi Selatan Patanas . Pentbahan Ekonotni Pedesaan . Menuju Struktur Ekonotni Berimbang . PAE . Badan Litbang Pertanian. SENSUS PERTANIAN . 1993 . Analisa profil rumah tangga pertanian Indonesia . BPS . Jakarta-Indonesia : 70-89 . SIREGAR, M .E dan A . SEMALL .1982 . Pengaruh legtuninosa tanaman pakan ternak ditumpangsarikan dengan jagung terhadap produksi . Ilntu dan Petemakan Vol . 1, NO . 1 . Balai Penelitian Ternak . SITEPu, P, A. LuBis, dan P . SITUMORANG, 1992 . Perfonnans sapi Bali di propinsi Lampung 1 . Perfonnans sapi Induk . Ilmu dan Peternakan Vol . 5 . NO. 2 :51-55 . Balai Penelitian Ternak . SuPRANTo, J . 1984 . Jakarta .
Ekonometrik,
Buku dua . Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi . Universitas hidonesia .