Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
POLA BUDIDAYA DAN GADUHAN USAHA SAPI POTONG DI KAWASAN PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG (Production and Sharing Patterns of Cattle Farming Under Smallholder Estate in Lampung Province) Broto Wibowo, Sumanto Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A study to describe development of production and sharing patterns of cattle farming under smallholder estate was carried out in May 2013. This study was done at three groups of cattle farmers in the smallholder estate, i.e. Tani Sentosa in the Sub District of Meraksa Aji, Tani Makmur in the Sub District of Banjar Margo in Tulang Bawang District, and Wahana Makmur II in the District of Candipura, District of South Lampung. A survey method was used by interviewing farmers as members of the group, guided by questionnaires, mainly contained elements of production and sharing pattern. Potential of smallholder estate landarea reached 159,792 ha, that could carried around 79,896 heads of cattle, while approximately 662,880 heads were integrated into other land, such ascropland, otherestates, yard and forest. Intensive cattle raising in the barn would limit cattle size scale (1-3 heads/farmer), compared to the one on ranched, where every farmer was able to handle up to 20 head. Cattle sharing pattern has been long occurred in farmer groups and it considered appropriate to be applied for cattle development in the rural. Key Words: Production, Sharing Pattern, Cattle, Smallholder Estate ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan rakyat di Lampung berdasarkan pola budidaya dan gaduhan telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013.Hal ini dilakukan pada tiga kelompok peternak sapi potong yaitu kelompok peternak Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji dan kelompok peternak Tani Makmur di Kecamatan Banjar Margo masing-masing di Kabupaten Tulang Bawang, serta kelompok peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan Candipuro di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung.Metode survei diterapkan dengan melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan terstruktur meliputi parameter pola budidaya dan pola gaduhan. Potensi lahan sawit seluas 159.792 ha, dapat menampung sapi potong sebanyak 79.896 ekor, dimana sekitar 662.880 ekor lainnya terintegrasi dengan lahan tanaman pangan, perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan. Pola pemeliharaan sapi dikandangkan akan membatasi skala penguasaan sapi (1-3 ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola gembala dimana setiap peternak mampu menguasai hingga 20 ekor. Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di kelompok peternak dan sudah sesuai diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di perdesaan. Kata Kunci: Produksi, Pola Gaduhan, Sapi, Perkebunan Sawit Rakyat
PENDAHULUAN Pengembangan sapi lokal dan pemanfaatan sapi bakalan impor yang terintegrasi pada sentra-sentra lokasi spesifik (lahan tanaman pangan dan perkebunan) telah memberikan tambahan kegiatan bagi ratusan ribu peternak dan pelaku lainnya di beberapa tempat di Indonesia. Kegiatan ini tidak terlepas dari adanya peran kerjasama dari pihak pemerintah, swasta dan kelompok peternak untuk
peningkatan populasi dan produksi sapi potong untuk mewujudkan program swasembada daging sapi 2014. Pola budidaya sapi di Indonesia masih beragam, mulai dari pola ternak yang digembalakan, sampai kepada pola ternak intensif dengan pakan yang berfluktuasi dan terbatas sampai pakan bermutu dan berlimpah.Ketersediaan pakan yang terbatas sering dijumpai pada usaha ruminansia dari sebagian besar peternak dengan skala usaha per
259
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
rumahtangga yang rendah (2-3 ekor/KK).Kondisi pakan yang kurang baik dalam waktu lama dapat mengakibatkan kinerja ternak ruminansia menjadi kurang baik pula, meliputi aspek pemuliaan, reproduksi, produksi, pendapatan dan sosial peternak. Pola pengembangan sapi potong, yang semula merupakan inisiasi pemerintah dan masyarakat hanya sebagai obyek kini telah berganti menjadi pola partisipasi. Bahkan hal ini berkembang dengan harapan menjadi pola emansipasi dimana pemerintah dan masyarakat bekerjasama dan masyarakat diberdayakan yang diarahkan sebagai subyek (Labsosio UI, 2006), sehingga pemerintah hanya sebagai fasilitator. Model kerjasama kemitraan untuk penyebaran sapi di berbagai wilayah adalah cara guliran atau cara bagi hasil yang besar porsinya disesuaikan dengan kesepakatan bersama antara pemodal dan penerima modal. Sistem guliran sapi adalah dalam 5 tahun penerima modal akan menggembalikan sejumlah sapi yang diterima kepada pemodal. Porsi bagi hasil adalah dapat berupa 50 : 50, 60 : 40, dan 70 : 30 (Sumanto et al. 2012), disesuaikan dengan kesepakatan bersama. Tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan sejauh mana perkembangan pola gaduhan dalam pengembangan sapi potong di lahan perkebunan sawit rakyat. MATERI DAN METODE Telah diilakukan kajian pola budidaya dan gaduhan sapi potong pada bulan Mei 2013, berlokasi di kawasan perkebunan sawit rakyat di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Hasil konsultasi dengan dinas terkait (Peternakan dan Perkebunan), telah dipilih 3 lokasi kelompok peternak sapi potong di kawasan perkebunan sawit yaitu kelompok peternak Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji dan kelompok peternak Tani Makmur di Kecamatan Banjar Margo masing-masing di Kabupaten Tulang Bawang, serta kelompok peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan Candipuro di Kabupaten Lampung Selatan. Metode penelitian survei diterapkan dengan melakukan wawancara kepada masing-masing kelompok sebanyak 15 responden peternak sapi dengan menggunakan kuisioner
260
terstruktur. Data yang dikumpulkan berupa data primer (hasil wawancara) yang meliputi data teknis budidaya dan data sosial ekonomi, sedangkan data sekunder diperoleh dari informasi langsung maupun hasil laporan dari instansi terkait.Data yang telah terkumpul dilakukan tabulasi dan diolah secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil dan potensi lahan sawit Provinsi Lampung terdiri dari 13 kabupaten dan 2 kotamdaya, dengan luas wilayah adalah 3.528.835 ha. Luas wilayah Kabupaten Lampung Barat merupakan kabupaten terluas (495.040 ha), sedangkan wilayah terkecil adalah Kota Metro (6.179 ha) Tabel 1.Dilihat dari penggunaan lahan di Provinsi Lampung bahwa presentase luas lahan perkebunan sekitar 22,9% dari luas total Provinsi Lampung Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa luas lahan hutan, perkebunan dan tanaman pangan cukup dominan dan berpotensi sebagai sumber pakan hijauan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak ruminansia, khususnya sapi potong.Kajian ini diarahkan untuk melihat budidaya dan pengembangan sapi potong yang memanfaatkan biomassa di lahan sawit rakyat. Dari luas lahan perkebunan sebanyak 808.979 ha, luas lahan kelapa sawit hanya 159.792 ha dan untuk lahan kopi (161.287 ha), karet (119.839 ha), kelapa dalam (126.129 ha), tebu (113.847 ha), lada (63.902 ha), kakao (49.943 ha) dan sisanya untuk tanaman cengkih, tembakau dan lain-lain. Kepemilikan lahan kelapa sawit terbagi menjadi 3 bagian besar, yaitu: lahan sawit negara (PTPN), swasta dan rakyat. Dilihat dari luas lahan kelapa sawit sebesar 159.792 ha, dimana lahan tersebut yang diusahakan oleh negara dan swasta sebesar 77.185 ha, serta perkebunan rakyat sekitar 82.607 ha.Pemeliharaan sapi potong banyak diusahakan pada lahan sawit rakyat yang umumnya digunakan sebagai lahan pengembalaan sapi.Apabila diasumsikan bahwa dalam 2 ha lahan sawit dapat dimanfaatkan untuk 1 ekor sapi potong per tahun, maka terdapat potensi lahan sawit untuk dapat menampung sebanyak 79.896 ekor sapi.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 1. Nama dan luas Provinsi Lampung menurut kabupaten tahun 2011 Kabupaten/kota Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan Lampung Timur Lampung Tengah Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang Pesawaran Pringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat Kota Bandar Lampung Metro Jumlah
Luas (ha) 495.040 273.161 200.701 433.789 478.982 272.563 392.163 438.584 117.377 62.500 218.400 120.100
Jumlah kecamatan 25 20 17 24 28 23 14 15 7 8 7 8
Jumlah desa/kelurahan 254 278 251 257 307 247 210 151 133 101 75 79
19.296 6.179 3.528.835
13 5 214
98 22 2.463
Sumber: Lampung dalam angka 2012 Tabel 2. Pengunaan lahan Jenis penggunaan lahan Tanaman pangan Perkebunan Hutan Pekarangan Tidak digunakan Lainnya Total
Luas (ha) 450.881 808.979 1.006.892 817.378 213.916 230.789 3.528.835
% 12,8 22,9 28,5 23,2 6,1 6,5 100,0
Sumber: Lampung dalam angka 2009, 2012 (diolah)
Dilihat sebaran luas lahan sawit rakyat di Provinsi Lampung yang terbanyak adalah di Kabupaten Mesuji (22,342 ha), kemudian menyusul Kabupaten Wai Kanan (15.115 ha), Lampung Tengah (10,537 ha) dan Tulang Bawang (9.656 ha) Tabel 3.Melihat populasi sapi potong di Provinsi Lampung sebanyak 742.776 ekor, maka potensi pakan di lahan sawit tampaknya belum dapat mencukupi kebutuhan pakan hijauan dari populasi sapi tersebut. Oleh karena itu, kekurangan pakan
dapat dipenuhi oleh pakan hijauan dari sumber lain, seperti dari lahan pekarangan, tanaman pangan, perkebunan lainnya, dan lahan hutan. Profil kelompok peternak sapi potong Hasil survei terhadap profil kelopmpok peternak di ketiga lokasi terpilih di Lampung, disajikan pada Tabel 4.
261
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 3. Luas lahan sawit rakyat di Provinsi Lampung 2011 Kabupaten/Kota
Luas (ha)
%
Lampung barat
2.745
3,3
-
0,0
4.015
4,9
Tanggamus Lampung Selatan Lampung Timur
2.382
2,9
LampungTengah
10.537
12,8
Lampung Utara
8.816
10,7
Way Kanan
15.115
18,3
Tulang Bawang
9.565
11,6
Pesawaran
511
0,6
Pringsewu
770
0,9
Mesuji
22.342
27,0
Tulangbawang Barat
5.785
7,0
Bandar Lamp
24
0,0
Metro
-
0,0
Total
82.607
100,0
Sumber: Lampung dalam angka 2012 Tabel 4. Profil kelompok peternak sapi potong di tiga kawasan sawit rakyat Uraian Desa Kecamatan Kabupaten Luas kebun sawit (ha) Pemilik lahan sawit
Lokasi kawasan sawit Marga Jaya Meraksa Aji Tulang Bawang 6.000 Sumber indah perkasa
Kemitraan lahan sawit Kelompok peternak Jumlah anggota (orang) Usaha utama Bangsa sapi Pemeliharaan sapi Tujuan pemeliharaan Skala pemilikan(ekor/orang) Bentuk gaduhan Status usaha sapi Kerjasama dengan instansi Teknologi Pemasaran sapi
262
Sinar Palembang Candipuro Lampung Selatan 825 Rakyat
Inti-plasma Tani Sentosa 30 Pekebun sawit Bali Gembala Penghasil anak <25
Agung Jaya Banjar Margo Tulang Bawang 10.000 PT. Bangun Nusa Indah Lampung Inti-plasma Tani Makmur 25 Pekebun sawit Bali Gembala Penghasil anak >25
Bagi hasil
Bagi hasil
Sampingan Dinas peternakan
Sampingan Dinas peternakan
Perguliran (kelompok) Sampingan Dinas perkebunan
IB Pedagang desa
Tidak ada Pedagang desa
IB, APO, kompos Pedagang desa
Rakyat Wahana Makmur 11 30 Pekebun sawit Bali dan PO Kandang Penghasil Anak 1-3
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Umur anggota peternak Anggota kelompok peternak pada ketiga lokasi mempunyai umur rata-rata 39,5 tahun, dinyatakan masih dalam kategori usia produktif. Berdasarkan sebaran umur pada masing-masing kelompok adalah: Kelompok Tani Sentosa umur <25 tahun (27%), umur 2645 tahun (53%) dan umur 46-60 tahun (26%); Kelompok Tani Makmur umur <25 tahun (26%), umur 26-45 tahun (40%) dan umur 4660 tahun (34%); Kelompok Wahana Makmur 11 umur <25 tahun (27%) , umur 26-45 tahun (38%) dan umur 46-60 tahun (35%). Sebaran tingkat umur pada ketiga kelompok menunjukkan bahwa tingkat umur 26-45 tahun lebih dominan pada masing-masing kelompok tani ternak sapi.Memperhatikan sebaran umur tersebut,tampak bahwa generasi muda mempunyai kecenderungan belum banyak yang tertarik untuk menekuni usaha pertanian. Pada umumnya masih mencari alternatif untuk bekerja di luar pertanian sehingga yang menekuni kegiatan peternakan adalah orangorang lama yang sejak kecil memang sudah berkecimpung dalam kegiatan pertanian yang sifatnya turun temurun. Namun demikian sudah mulai Nampak sebagian kecil pada kelompok usia muda yang menaruh minat dalam usaha pengembangan sapi. Pendidikan Tingkatpendidikan anggota kelompok peternak pada ketiga lokasi didominasi pada tingkat pendidikan formal Sekolah Dasar (SD) Tingkat pendidikan pada masing-masing kelompok adalah: Kelompok Tani Sentosa SD Tidak Tamat (20%), SD Tamat (74%) dan SMP (6%), pada kelompok Tani Makmur SD Tidak Tamat (40%), SD Tamat (60%) dan SMP (6%), pada kelompok Wahana Makmur 11 SD Tidak Tamat (27%), SD Tamat 67% dan SMP (6%). Pada umumnya, anggota peternak merupakan penduduk yang berasal dari transmigrasi lokal di wilayah Lampung. Kusnadi (1984) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimilki peternak maka tatalaksana pemeliharaan semakin baik, karena peternak akan lebih cepat mengadopsi teknologi baru serta lebihmatangdalam memecahkan masalah.
Handewietal (1995) menyatakan bahwa keterampilan seseorang selain ditentukan oleh tingkat pendidikan formal ataupun informal juga dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki. Mubyarto (1979), menyatakan bahwa produkivitas tenaga kerja pertanian dapat ditingkatkan melalui berbagai cara antara lain melalui pendidikan dan latihan untuk meningkatkan mutu dan hasil kerjanya. Pendidikan yang dimaksud adalah tambahan dalam cara bertani yang lebih produktif, dalam menerapkan penemuan-penemuan baru berupa alat atau bahan pertanian dan manajemen usahatani. Peningkatan mutu petani dalam program yang demikian tidak hanya bersifat teknis dan fisik, tapi juga bersifat mental dan berhubungan dengan keterampilan manajemen. Tenaga kerja untuk pemeliharaan sapi Dalam pengelolaan sapi pada ketiga lokasi lahan sawit umumnya dilakukan oleh kepala rumah tangga beserta anggotanya.Berdasarkan skala pemilikan ini (kelompok Wahana Makmur 11) keterlibatan pihak di luar keluarga belum diperlukan.Pada kelompok Tani Santosa dan Tani Makmur skala usaha sapi potong tampak lebih tinggi dibandingkan dengan pada skala usaha sapi di Kelompok Wahana Makmur 11. Hal ini disebabkan karena pada lokasi kelompok Tani Santosa dan Tani Makmur pemeliharaan sapi secara dengan cara digembalakan, dimana satu orang mampu menggembalakan sebanyak 20 ekor. Oleh karena itu, kepala keluarga dan anggotanya sudah melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Natasukarya et al. (1993) bahwa kegiatan produktif adalah kegiatan yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan baik berupa uang maupun natura dalam usaha tani sawah, tegalan dan ternak yang dipresentasikan dalam curahan tenaga. Jenis sapi yang dipelihara Di masing-masing lokasi bangsa sapi potong yang dipelihara yaitu sapi Bali. Peternak telah paham bahwa sapi Bali mempunyai kelebihan khusus dibandingkan dengan sapi lainnya, antara lain perawatan mudah, memiliki tingkat kelahiran dan nilai
263
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
persentase karkas yang baik, serta mudah dijual. Ratnawati dan Afandhy (2010) menyatakan bahwa sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang mempunyai keunggulan dibandingkan dengan sapi potong lainnya, yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi dan berkembang dibeberapa wilayah di Indonesia. Selanjutnya Hafid dan Rugayah (2010) menyatakan bahwa rata-rata persentase karkas sapi Bali adalah 53-56% dengan bagian paha depan 21-22%, paha belakang 33-37%, bagian leher, dada dan punggung 40-41% dengan perut 4%. Pengalaman beternak sapi Pada umumnya masyarakat desa Marga Jaya dan khususnya anggota kelompok tani Sentosa mempunyai pengalaman beternak sapi antara 2-5 tahun mencapai 62,5%, sedangkan yang mempunyai pengalaman antara 6-10 tahun sebanyak 37,5%. Berdasarkan pengalaman tersebut maka anggota peternak umumnya masih belum memahami tatalaksana pemeliharaan yang benar, seperti halnya aspek pemberian pakan yang belum memperhatikan terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang memenuhi syarat hidup dan produksi ternak, penanganan pada masa pra sapih dan berproduksi, pengelolaan kandang yang bersih, maupun pengelolaan limbah kandang. Status usaha sapi Pada ketiga lokasi diperoleh informasi bahwa pemeliharaan sapi merupakan usaha sampingan, karena usaha pokok adalah usaha/buruh sawit. Usaha budidaya ternak sapi merupakan usaha sambilan, sehingga perhatian terhadap pemeliharaan ternak tidak optimal. Apabila peternak pada waktu yang bersamaan ternyata harus melakukan kegiatan lain (mengolah lahan), maka peternak akan memprioritaskan waktu dan tenaganya untuk mengolah lahan. Sisa waktu yang ada baru untuk usaha budidaya sapi. Mubyarto (1979) menyatakan bahwa pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit pada umumnya diusahakan dengan tujuan utama memenuhi
264
kebutuhan kehidupan (subsistensi) petani dan keluarganya. Secara ekonomis dapat dikatakan bahwa hasilnya sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, dan faktor-faktor produksi atau modal yang dipergunakannya sebagian besar berasal dari dalam usahatani sendiri. Budidaya sapi potong di kawasan perkebunan sawit rakyat Pola pemeliharaan Pola pemeliharaan sapi potong di tiga lokasi berbeda, dimana masing-masing lokasi mempunyai ciri spesifik dalam cara pengelolaan, walaupun dengan sistem yang sama, yaitu sapi digembalakan di lahan sawit rakyat. Uraian singkat untuk masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: Lokasi kelompok Tani Santosa, Desa Marga Jaya Secara rutin peternak memelihara sapi digembalakan didalam kebun sawit milik sebuah perusahaan.Waktu penggembalaan sapi dimulai jam 8 pagi menuju areal sawit danpeternak mengawasi sapi dalam kebun menjelang jam 15 sore, sekaligus mengawali untuk mengarahkan sapi menuju rumah pemilik. Selama penggembalaan ini sapi memperoleh pakan dengan cara merenggut rerumputan yang tumbuh di area kebun sawit dan sesekali merenggut daun sawit yang terjangkau. Beberapa sapi induk yang digembala diberi tali tambang dengan panjang sekitar 15 meter, yang berfungsi untuk pengontrolan jarak jelajah sapi dan memudahkan penanganan sapi. Peternak membangun kandang sederhana di pekarangan rumah untuk menampung sapi pada malam hari. Sapi berada di dalam kandang dari sore hingga pagi hari, dimana peternak tidak melakukan pemberian pakan. Pakan sapi mengandalkan hasil penggembalaan dari pagi hingga sore hari, dengan rata-rata lama penggembalan sekitar 7 jam setiap hari. Pemeliharaan dengan pola ekstensif ini skala pemilikan mencapai 15 ekor per peternak dengan berbagai umur ternak.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Lokasi kelompok Tani Makmur, Desa Agung Jaya Pemeliharaan dengan sistim ekstensif, yaitu ternak sapi digembala di dalam kebun sawit sepanjang hari dan malam, dimana peternak hanya sesekali menengok sapi yaitu pada jam 8 pagidan jam 17 sore. Menengok ternak sapi mempunyai makna untuk melakukan pengontrolan sapi dalam kaitannya dengan daya jelajah sapi, dan untuk mengawasi sapi agar terbebas dari hal-hal yang tidak diinginkan (termakan obat-obatan yang diberikan di kebun sawit). Peternak melakukan kontrol pada jam 8 dan jam 5 sore karena sapi sedang mencari pakan hijauan sehingga mudah ditemukan. Sapi sulit ditemukan pada siang hari, karena pada umumnya sedang beristirahat. Peternak sesekali mengarahkan sapinya menuju ke rumah pemilik, yang umumnya dilakukan setiap 15 hari sekali, sehingga dalam 1 bulan terjadi 2 kali pemulangan sapi. Hal ini ditujukan untuk dapat menghitung jumlah dan kondisi ternak. Dalam masa ini, sapi berada di rumah (pekarangan) dalam waktu semalam, karena pada pagi harinya sudah digembalakan lagi. Jarak dari batas pemukiman ke lahan sawit paling dekat adalah 3 km, sedangkan jangkauan jelajah untuk sapi masuk ke dalam kebun selama 15 hari dalam kebun sawit dapat mencapai radius 16 km. Pada pola pemeliharaan ekstensif seperti ini, maka jumlah pemilikan sapi dapat mencapai 26 ekor per peternak. Lokasi kelompok Wahana Makmur II, Desa Sinar Palembang Pola pemeliharaan sapi bersifat intensif, dimana sapi berada di dalam kandang sepanjang hari. Peternak mengupayakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sapi dalam hal pakan, kesehatan dan reproduksi. Kegiatan mencari pakan dilakukan dengan cara mengarit di berbagai lahan. Pola intensifikasi pada sapi mempunyai konsekuensi terhadap tingginya tenaga kerja yang dicurahkan, utamanya untuk mencari pakan. Setiap petani memerlukan waktu 2-3 jam untuk mencari rumput dalam sehari. Pada tahun 2011, peternak memperoleh bantuan berupa ternak sapi Bali. Paket bantuan
terdiri dari berbagai komponen, antara lain; 35 ekor sapi Bali (32 betina + 3 jantan), bangunan dan alat pengolah pupuk, alat pencacah pelepah sawit, dan kandang ternak. Pada bulan Mei tahun 2013, telah beranak 10 ekor dari 10 induk. Pada pola pemeliharaan yang intensif ini, skala pemilikan menjadi sangat terbatas, yaitu 1-3 ekor perpeternak. Kinerja reproduksi ternak sapi Pada ketiga lokasi, jarak beranak sapi Bali berkisar antara 12 bulan, khususnya pada lokasi kelompok Tani Santosa dan Tani Makmur, sedangkan pada lokasi Wahana Makmnur II baru sebagian yang melahirkan pertama. Ratnawati dan Afandhy (2010) menyatakan bahwa performans reproduksi induk sapi Bali sebelum dan sesudah dilakukan sinkronisasi, service perconseption (1,1 vs 1,0), conception rate (%) (87,5% vs 93,8 %), calving interval (bulan) (451,2 vs 369,5). Sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnR H dan PGF2alfa pada induk sapi Bali lebih efektif dari pada sinkronisasi estrus dengan hormon prostaglandin. Pola gaduhan sapi potong Pola gaduhan telah sejak lama dilakukan dalam usaha untuk pengembangan sapi baik oleh perseorangan maupun oleh pemerintah atau swasta. Pola gaduhan diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh dua belah pihak, masing-masing mempunyai peran sesuai kesepakatan yang ditentukan. Penyandang modal disebut pemilik, sedangkan yang melaksanakan kegiatan pemeliharaan disebut penggaduh. Modal berupa bibit ternak menjadi tanggung jawab pemilik, sedangkan pelaksanaan pemeliharaan menjadi tanggungjawab penggaduh. Kesepakatan antara penggaduh dan pemilik dalam usaha pemeliharaan sapi biasanya dikenal dengan sistem bagi hasil, yang umum dan awalnya adalah dengan proporsi 50% penggaduh dan 50% pemilik. Dalam hal ini yang dibagi adalah perubahannya. Sebagai contoh; seorang penggaduh menggaduh seekor sapi calon induk dari seorang pemilik, selama pemeliharaan maka induk sapi tersebut melahirkan seekor anak sapi, anak sapi inilah yang dibagi menjadi
265
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
dua yang masing-masing untuk penggaduh dan pemilik, sedangkan ternak bibit awal penggaduhan tetap menjadi hak pemilik.Pada perkembangannya, besarnya porsi bagi hasil dari gaduhan dapat beragam, sesuai jenis kegiatannya, seperti untuk usaha pembibitan berbeda dengan tujuan usaha penggemukan sapi (Sumanto et al. 2012). Pada lokasi kelompok Tani Santosa, Desa Marga Jaya yang mendapat bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan sapi potong, pola pembagian hasilnya menggunakan model 60% untuk pengelola dan 40% untuk kelompok, dimana hasilnya akan digulirkan kepada anggota yang lain. Porsi pengelola sebesar 60% akan diberikan sejumlah 10% sebagai kas kelompok. Ketentuan porsi pembagian hasil ini diserahkan sepenuhnya kepada kelompok peternak melalui suatu musyawarah bersama. Sedangkan pihak pemberi dana awal (instansi pemerintah) memperoleh laporan perkembangan sapi secara waktu triwulan. Pemasaran ternak Kegiatan menjual ternak dilakukan di lokasi usahanya masing-masing, dimana pedagang keliling (skala kecil) mengunjungi peternak untuk melakukan transaksi jual beli. Pada umumnya pelaku sebagai pembeli adalah pedagang keliling desa dengan skala 1-3 ekor, untuk seterusnya pedagang tersebut membawa ternak kepada pembeli (pedagang besar, atau konsumen pemotong) yang dilakukan di pasar hewan atau di rumah pedagang keliling tersebut. Penjualan sapi merupakan salah satu andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan tingkat kebutuhan yang tinggi dan mendesak. Hal ini mengakibatkan secara tidak langsung posisi peternak yang lemah dalam hal penawaran harga, sehingga calon pembeli dapat menekan harga serendah mungkin. Dengan demikian maka penjualan sapi tidak didasari atas bisnis usaha yang mempertimbangkan pengeluaran dan penerimaan, namun berdasarkan kebutuhan yang mendesak dari anggota kelompok. Jumlah pedagang keliling untuk melakukan pembelian ternak sapi adalah tujuh orang, dimana tiga orang diantaranya bermukim
266
dalam satu desa. Semakin banyak pedagang keliling maka diharapkan harga sapi dapat lebih baik, karena harga jual akan semakin bersaing dari satu pedagang dengan pedagang lainnya. Proses pengangkutan ternak dari peternak oleh pedagang dilakukan dengan cara digiring atau diangkut dengan kendaraan roda empat. Seluruh biaya pengangkutan ini menjadi tanggung jawab pedagang keliling. Proses penentuan harga ternak berdasarkan taksiran performan ternak, karena belum ada cara penjualan dengan sistem timbangan bobot badan. Cara pembayaran terhadap ternak yang telah disepakati dapat dilakukan secara kontan atau dicicil. Jika dicicil, pedagang keliling akan memberikan sekitar 10% dari harga beli, dan akan melunasinya setelah 2 hari dari terjadinya transaksi. Cara pembayaran dengan kontan dan dicicil terdapat perbedaan harga, sebagai contoh jika kontan adalah Rp. 7.000.000/ekor, sedangkan jika dicicil menjadi sekitar Rp. 7.100.000 dengan kondisi ternak yang sama. Namun demikian sering muncul peternak yang menjual pada waktu harga baik, dan pembayarannya diserahkan kepada pedagang kapan saja, dengan prioritas jumlah kebutuhan peternak dapat terpenuhi. Kaitan pola pemeliharaan dengan sistem gaduhan Pola gaduhan untuk pengembangan sapi potong dengan sistem gembala atau intensif dan pola bagi hasil yang tepat masih disukai oleh peternak dipedesaan. Porsi bagi hasil yang terjadi merupakan kesepakatan bersama baik pemilik modal maupun pihak penggaduh. Pola gaduhan sapi yang dilakukan oleh perseorangan hasinya lebih baik bila dibandingkan dengan pola gaduhan oleh pemerintah atau swasta. Hal ini disebabkan karena pola gaduhan perseorangan di pedesaan dapat lebih terasa adanya saling keterikatan yang dipengaruhi oleh hubungan faktor sosial. Sebagai contoh adalah pemodal adalah tokoh pedesaan yang disegani, sehingga penggaduh merasa lebih bertanggungjawab dengan yang akan dikelola, walaupun pola gaduhan tersebut tidak memiliki catatan yang baik. Terdapat perbedaan dalam hal kemampuan skala penguasaan sapi dalam pola pemeliharaan gembala dan intensif. Cara
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
pengelolaan intensif telah membatasi skala penguasaan sapi hanya 1-3 ekor/peternak, karena peternak tidak sanggup untuk mencari pakan bila skala usaha ditingkatkan, atau tidak mampu secara rutin membeli pakan tambahan dan dirasakan kurang menguntungkan. Lain halnya dengan pola gembala, peternak (juga sebagai penggaduh) mampu mengendalikan sapi gembalaannya sampai 20 ekor. Sapi-sapi ini dapat berkelompok untuk mencari pakan hijauan pada kawasan perkebunan sawit rakyat yang tersedia atau lahan sawit swasta yang diperbolehkan sebagai tempat gembala. Dilihat dari kondisi tubuh sapi, tampak bahwa performan sapi di lahan sawit dapat lebih baik apabila dipelihara dengan cara digembalakan daripada yang ada dikandang terus-menerus. KESIMPULAN Potensi lahan sawit di Provinsi Lampung seluas 159.792 ha, diasumsikan hanya mampu menampung sapi sebanyak 79.896 ekor, dimana sekitar 662.880 ekor lainnya perlu diintegrasikan dengan lahan tanaman pangan, perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan. Pola pemeliharaan sapi di kandang akan membatasi skala penguasaan sapi (1-3 ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola gembala dimana setiap peternak mampu menguasai sapi hingga 20 ekor. Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di kelompok peternak dan tampaknya sudah tepat diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di perdesaan.Pola gaduhan sapi dengan modal perseorangan cenderung hasilnya lebih baik dari pada pola gaduhan sapi modal pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Hafid H, Rugayah N. 2010. Persentase karkas sapi Bali pada berbagai bobot badan dan lama pemuasaan sebelum pemotongan. Dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Peternak Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.Bogor, 13-14 Agustus 2009. Bogor
(Indonesia): Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan. hlm.77-85.
dan
Handewi PSR, Sudaryanto B. 1995. Usaha ternak domba dan peranannya terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Lahan Kering. (Kasus Dua Desa di Kabupaten Semarang dan Boyolali, Jawa Tengah). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, 7-8 November 1995. Cisarua (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 787-793. Kusnadi U. 1984.Tingkat managerial skill peternak domba dan kambing di Jawa Tengah. Prosiding Domba dan Kambing di Indonesia. Bogor, 22-23 November 1983. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 184-187. Labsosio UI. 2006. Proposal tinjauan sosial budaya terhadap P4MI di tiga kabupaten. Pusat Kajian Sosiologi- FISIP UI. Lampung Dalam Angka. 2009. BPS Provinsi Lampung. Lampung Dalam Angka. 2012. BPS Provinsi Lampung. Mubyarto. 1979. Pengantar ekonomi pertanian, LP3ES.PT Intermasa. Jakarta. Natasukarya AM, Wahyuni S, Rahmawati S, Suparyanto A, Sukarsih. 1993. Peranan wanita dalam sistem usahatani ternak. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor Dalam Prospek dan kendala penerapan teknologi usaha ternak itik (Sinurat AP, Setioko AR). Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasilhasil Penelitian Peternakan di Pedesaan. Ciamis, Januari 1993. Ciamis (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 55-61. Ratnawati D, Afandhy L. 2010. Implementasi sinkronisasi ovulasi menggunakan Gonadetrophin Rleasing Hormone (GNRH) dan Prostaglandin (PGF2alfa) pada induk sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Teknologi peternakan dan veteriner mendukung industrialisasi system pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan peternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sumanto, Mathius IW, Juarini E, Lisa P. 2012. Laporan kajian sapi potong pola inti plasma di Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
267