Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI BAMBANG PRAYUDI 1, NATRES ULFI 2 dan SUPRANTO ARIBOWO 3 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi 2 Dinas Peternakan Provinsi Jambi 3 Dinas Perkebunan Provnsi Jambi
ABSTRAK Pengembangan ternak sapi melalui sistem integrasi pada kawasan perkebunan kelapa sawit, berpeluang besar dikembangkan di Provinsi Jambi. Dari sisi ketersediaan tenaga kerja, pelang terbesar pengembangan ternak sapi terdapat di perkebunan rakyat. Dengan luasan perkebunan kelapa sawit rakyat sebesar 205.599 ha, dimana satu hektar kebun sawit mampu menghidupi satu ekor ternak sapi, diharapkan akan terdapat populasi ternak sebanyak 205.599 ekor pada tahun pertama. Hal ini sangat mendukung program peningkatan perbaikan gizi masyarakat dengan kebutuhan protein hewani yang juga meningkat seiring dengan meningkatnya perekonomian penduduk. Beberapa manfaat yang sudah dirasakan oleh masyarakat pekebun kelapa sawit yang menerapkannya, antara lain tersedianya tenaga keja ternak untuk mengangkut tandan buah segar (TBS) dari dalam kebun ke tempat penampungan, tersedianya pupuk kandang yang dapat menekan biaya pupuk kimia, berorientasi ramah lingkungan dengan semakin berkurangnya penggunaan pupuk kimia dan herbisida, dan ternak sapi dapat menjadi tabungan hidup. Namun dalam tahapan pengembangannya di Provinsi Jambi masih perlu mencari solusi terhadap masalah dan kendala yang berupa: keterbatasan modal, relatif rendahnya mutu genetik ternak sapi rakyat, rendahnya mutu gizi pakan alami, dan belum adanya invetor (pengusaha) yang berorientasi kemitraan. Oleh karena itu, dalam tahapan implementasi, perlu mengupayakan kredit yang kondusif, peningkatan kemampuan manajerial pekebun, perbaikan infrastruktur pedesaan, kebijakan perdagangan, serta inovasi teknologi baru yang lebih efisien. Kata Kunci: Integrasi, Ternak Sapi, Perkebunan Kelapa Sawit
PENDAHULUAN Usaha agribisnis di sektor pertanian secara monokultur telah terbukti sangat rentan terhadap risiko kerugian, karena harga jual produk pertanian yang umumnya berfluktuasi dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, diversifikasi (penganekaragaman) jenis usaha baik secara vertikal maupun horizontal merupakan upaya untuk mengurangi risiko ketergantungan terhadap usaha monokultur. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu inovási teknologi yang sesuai untuk diintegrasikan dalam usaha pokok, dengan mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia, dan secara teknis, ekonomi dan sosial budaya layak dan dapat diterima oleh masyarakat pelaku usaha secara berkelanjutan. Pola integrasi tanaman perkebunan-ternak sapi merupakan salah satu alternatif usaha diversifikasi, dimana salah satu contoh adalah pada perkebunan kelapa sawit milik rakyat.
Integrasi ternak ruminansia pada perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi telah dilaksanakan di beberapa tempat seperti ternak sapi di Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi (menggembalakan ternak di bawah pohon sawit); ternak kerbau di Kubang Ijo, Kabupaten Merangin (menggembalakan dan pemanfaatan tenaga kerja ternak untuk pengangkutan tandan sawit); serta pengembangan kambing di Petaling, Kabupaten Muaro Jambi dan di Hitam Ulu, Kabupaten Merangin (ULFI, 2004). Pengembangan sistem integrasi ternak sapi di perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan pekebun sawit yang sekaligus sebagai peternak sapi. Manfaat tersebut diantaranya dapat berupa tambahan penghasilan dari penjualan hasil produksi ternak sapi, pupuk kandang untuk bahan perbaikan kesuburan lahan, serta manfaat lainnya yang dalam skala kecil dapat mendorong berlangsungnya usahatani secara berkelanjutan.
123
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
KERAGAAN PERKEBUNAN SAWIT DI PROVINSI JAMBI Provinsi Jambi saat ini sedang giat mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik oleh perkebunan swasta, perkebunan negara maupun perkebunan rakyat. Keragaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 1. Dari total luasan tersebut, luas Perkebunan Swasta mencapai 139.276 ha (38,2%), Perkebunan Negara 19.671 ha (5,4%), dan Perkebunan Rakyat 205.599 ha (56,4%). Industri kelapa sawit disamping hasil utamanya adalah crude palm oil (CPO), juga banyak menghasilkan produk samping yang
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak sapi. Produk samping yang berpotensi sebagai bahan pakan sapi tersebut diantaranya adalah pelepah sawit (oil palm frond), lumpur sawit (palm oil sludge), serabut mesocarp (palm press fibre), bungkil inti sawit (palm kernel meat), dan hijauan antar tanaman (HAT) sawit (SUBAGYONO, 2004; ULFI, 2004). Di Provinsi Jambi, potensi pakan yang telah banyak dimanfaatkan petani adalah HAT yang berupa tanaman penutup tanah (cover crops) dan rumput yang tumbuh subur secara liar. Limbah tanaman maupun olahan kelapa sawit tersebut cukup besar potensinya sebagai bahan pakan sapi (Tabel 2).
Tabel 1. Luas dan produksi kelapa sawit Provinsi Jambi, tahun 2004 Kabupaten
Produksi (ton)
Produktivitas (kg/ha)
76.262
151.920
2.527
-
85.179
147.877
2.833
-
30.175
64.034
2.642
-
32.983
57.863
2.822
37.531
-
42.819
141.268
3.764
25.961
140
32.868
64.620
2.489
10.767
43.298
-
54.065
147.266
3.401
8.77
1.918
-
10.195
5.274
2.750
97.784
265.764
998
364.546
780.122
2.935
Luas (ha) TBM
TM
TR
Jumlah
Batanghari
15.292
60.112
858
Muaro Jambi
32.979
52.200
Tebo
5.937
24.238
Bungo
12.477
20.506
Merangin
5.288
Sarolangun
6.767
Tanjab Barat Tanjab Timur Jumlah
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jambi (2004) Keterangan: TBM: tanaman belum menghasilkan, TM: tanaman menghasilkan TR: tanaman rusak Tabel 2. Produk limbah tanaman dan olahan kelapa sawit per hektar per tahun Jenis limbah
Bahan segar (kg)
Bahan kering (%)
Bahan kering kg)
Daun (tanpa lidi)
1.430
46,18
658
Pelepah
6.292
26,07
1.640
Tandan kosong
3.680
92,11
3.386
Serat perasan
2.880
93,11
2.681
Solid
4.704
24,07
1.132
560
91,83
Bungkil sawit Jumlah limbah Sumber: JALALUDIN et al. (1991)
124
514 10.011
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Dengan luasan kelapa sawit 364.546 ha tersebut (Tabel 1) dan besarnya limbah tanaman maupun olahan kelapa sawit yang tersedia sebagai bahan pakan, sebenarnya sangat besar kemampuan daya dukung perkebunan kelapa sawit untuk pengembangan ternak sapi di Provinsi Jambi. Pada prinsipnya, seluruh luasan perkebunan sawit tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak sapi melalui sistem integrasi, namun dari segi ketersediaan tenaga kerja yang lebih siap untuk dikembangkan adalah perkebunan rakyat. Dengan asumsi 1 ha lahan perkebunan sawit dapat menampung 1 ekor sapi, maka potensi perkebunan sawit rakyat saja mencapai 205.599 ekor sapi. Apabila 3 ekor sapi dapat menghasilkan 5 ton pupuk kandang/tahun (GUNAWAN et al., 2004a; 2004b), maka dari jumlah sapi tersebut akan diperoleh pupuk kandang sebesar 342.665 ton/tahun. Jumlah tersebut besar artinya untuk perbaikan kesuburan lahan kelapa sawit milik rakyat, dan dapat mengurangi jumlah pupuk buatan yang harus diberikan. Apabila Perkebunan Swasta dan Negara juga berpartisipasi mengembangkan ternak sapi di lahan perkebunan kelapa sawitnya, maka potensi ternak sapi yang dapat dikembangkan di Provinsi Jambi akan lebih besar lagi. KERAGAAN TERNAK SAPI DI PROVINSI JAMBI Pada tahun 2003, populasi ternak sapi di Provinsi Jambi sebesar 145.845 ekor, dengan pertumbuhan 2,66%/tahun, dimana jumlah sapi yang dipotong mencapai 17.589 ekor. Kebutuhan ternak sapi untuk memenuhi konsumsi lokal cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi daging per kapita, dan semakin membaiknya ekonomi masyarakat. Secara umum, Provinsi Jambi masih mengalami defisit dalam neraca pemasukan dan pengeluaran ternak sapi. Pemasukan mencapai 17.253 ekor, terutama untuk kebutuhan Kota Jambi dan sekitarnya, sementara pengeluaran ternak sapi sebesar 3.484 ekor berlangsung ke Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau Kepulauan (Batam) (DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAMBI, 2004). Dengan demikian terlihat bahwa Provinsi Jambi memiliki prospek yang cukup baik
sebagai wilayah untuk investasi di bidang peternakan sapi, khususnya melalui sistem integrasi sapi pada kawasan perkebunan sawit. Pengembangan ternak sapi di Provinsi Jambi dimaksudkan untuk sapi potong melalui penggemukan serta untuk sapi bibit. Usaha penggemukan sapi sebagai penghasil daging merupakan usaha ekonomi jangka pendek dalam memperoleh keuntungan maupun pengembalian modal sepanjang memenuhi kaidah-kaidah pemeliharaan yang ditetapkan sedangkan pada pengembangan usaha sapi bibit, perlu waktu yang relatif lama untuk pengembalian modal. Namun demikian apabila ditinjau dari segi kesinambungan ketersediaan bibit, upaya ini akan lebih menguntungkan dalam jangka panjang dan cocok dilaksanakan dengan sistem integrasi pada perkebunan sawit. Untuk menghasilkan bibit sapi bermutu tinggi, perlu upaya peningkatan mutu genetik melalui inseminasi buatan (IB) dengan menggunakan sperma induk pejantan unggul. Jenis sapi induk betina yang sesuai untuk maksud tersebut adalah sapi Bali yang berbadan besar, untuk mengurangi risiko kesulitan proses melahirkan. MASALAH, KENDALA PENGEMBANGAN, DAN ALTERNATIF PEMECAHAN Walaupun sistem integrasi ternak sapi pada perkebunan sawit di beberapa daerah telah menunjukkan hasilnya dan telah dirasakan manfaatnya oleh petani khususnya perkebunan rakyat, masih terdapat masalah maupun kendala untuk pengembangannya dalam skala yang lebih luas lagi. Di Provinsi Jambi, masalah dan kendala yang teridentifikasi adalah keterbatasan modal, relatif rendahnya mutu genetik ternak sapi rakyat, rendahnya mutu gizi pakan alami, dan belum adanya investor (pengusaha) yang berorientasi kemitraan. Keterbatasan modal pekebun kelapa sawit untuk membeli bibit sapi bermutu baik secara mandiri, merupakan alasan yang tak terhindarkan. Di sisi lain, belum tersedia kredit yang menunjang bagi pengembangan ternak sapi; sementara kredit yang banyak diluncurkan oleh pemerintah umumnya adalah untuk pengembangan tanaman pangan. Untuk
125
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
itu perlu diadakan kredit yang kondusif dari pemerintah untuk pengembangan ternak sapi dengan mudah pengurusannya dan tingkat bunga rendah. Masih relatif rendahnya mutu genetik sapi rakyat mengakibatkan produktivitas maupun efisiensi usaha ternak sapi menjadi rendah. Oleh karena itu peningkatan mutu genetik ternak sapi rakyat perlu mendapat perhatian yang serius, dengan mempermudah pelayanan IB. Tentunya jenis sapi yang ditingkatkan mutu genetiknya harus memenuhi syarat, terutama untuk menghindari risiko kesulitan dalam proses melahirkan (distokia), dimana dalam hal ini direkomendasikan jenis sapi Bali. Rendahnya mutu gizi pakan alami menyebabkan peningkatan bobot sapi per satuan waktu menjadi lambat. HAT di perkebunan kelapa sawit umumnya dari jenis rumput liar yang mutu gizinya rendah. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk meningkatkan mutu gizi HAT dengan menanam jenis-jenis rumput bermutu baik, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak mengganggu pertumbuhan maupun operasional pengangkutan tandan kelapa sawit dalam kebun. Belum adanya pengusaha yang dapat bermitra dengan pekebun kecil untuk mengembangkan ternak sapi. Hal ini perlu ditumbuh-kembangkan pada masa yang akan datang. Pengembangan pekebun kecil dengan pengusaha dalam konteks kemitraan akan sangat membantu pemerintah, dengan semakin berkurangnya dana pemerintah dalam kegiatan pengadaan ternak sapi. MANFAAT PENGEMBANGAN INTEGRASI KELAPA SAWIT–SAPI Telah disebutkan di atas bahwa integrasi kelapa sawit–sapi merupakan usaha yang bersifat sinergis dalam pemanfaatan sumberdaya yang tersedia dalam ruang dan waktu. Usaha ini juga merupakan usaha diversifikasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pekebun kelapa sawit yang tadinya hanya mendapatkan penerimaan dari penjualan tandan buah segar (TBS). Tambahan manfaat bagi pekebun yang melaksanakan sistem integrasi tersebut antara lain:
126
1. Pekebun dapat memanfaatkan tenaga ternak sapi untuk mengangkut TBS dari dalam kebun menuju jalan besar yang telah ditetapkan sebagai tempat pengumpulan. 2. Limbah tanaman dan olahan kelapa sawit serta HAT dapat digunakan untuk pakan dasar ternak. Dengan memanfaatkan HAT, kondisi kebun menjadi lebih bersih dari gulma yang berarti dapat mengurangi biaya penyiangan serta berorientasi ramah lingkungan, karena selama ini pekebun banyak menggunakan herbisida. 3. Pupuk kandang dari kotoran sapi dapat dimanfaatkan untuk perbaikan lingkungan tumbuh kelapa sawit (kesuburan tanah baik secara kimiawi maupun biologi meningkat) sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Penggunaan pupuk kandang dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia sehingga biaya produksi dapat lebih ditekan. 4. Ternak sapi menjadi tabungan hidup bagi pekebun. Pemenuhan keperluan biaya perhelatan keluarga, sekolah anak, sandang, dan perbaikan rumah umumnya menggunakan dana yang berasal dari penjualan ternak sapi. PENUTUP Pengembangan ternak sapi melalui sistem integrasi di kawasan perkebunan kelapa sawit berpeluang besar untuk dikembangkan di Provinsi Jambi, mengingat potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia cukup luas terutama perkebunan rakyat. Selain sistem integrasi tanaman dan ternak serta sumberdaya lahan yang sinergis, sistem ini merupakan upaya menganekaragamkan pendapatan pekebun kelapa sawit untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Sudah selayaknya sistem integrasi tersebut mendapat dukungan dari semua pihak terkait. Dalam implementasinya di lapangan, perlu mengupayakan kredit yang kondusif, peningkatan kemampuan manajerial pekebun, perbaikan infrastruktur pedesaan, kebijakan perdagangan, serta inovasi teknologi baru yang lebih efisien.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
DAFTAR PUSTAKA DINAS PERKEBUNAN PROVINSI JAMBI. 2005. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi TA 2004. Disbun Provinsi Jambi. DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAMBI. 2004. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Jambi TA 2003. Disnak Provinsi Jambi. GUNAWAN, B. HERMAWAN, SUMARDI dan E.P. PRAPANTI. 2004a. Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit di Perkebunan Rakyat Bengkulu. Balitbang Provinsi Bengkulu. p. 41. GUNAWAN, B. HERMAWAN, SUMARDI dan E.P. 2004b. Keragaan model PRAPANTI. pengembangan integrasi sapi–sawit pada perkebunan rakyat di Provinsi Bengkulu. B. HARYANTO, I WAYAN MATHIUS, B.R. PRAWIRADIPURA, D. LUBIS, A. PRIYANTI dan A. DJAJANEGARA (Eds.). Sistem Integrasi Tanaman–Ternak. Pros. Seminar Nasional. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 430-438.
JALALUDIN, S., Z.A. JELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991. Recent developments in the oil palm by-product based ruminant feeding system. Proc. MSAP, Penang, Malaysia. pp. 35-34. SUBAGYONO, D. 2004. Prosek pengembangan sistem ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. B. HARYANTO, I WAYAN MATHIUS, B.R. PRAWIRADIPURA, D. LUBIS, A. PRIYANTI dan A. DJAJANEGARA (Eds.). Sistem Integrasi Tanaman–Ternak. Pros. Seminar Nasional. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 13-17. ULFI, N. 2004. Pengembangan usaha peternakan di lahan kelapa sawit. Makalah disampaikan pada Seminar Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu. BPTP Jambi. hlm. 7.
127