Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI DALAM SISTEM INTEGRASI DI PERKEBUNAN SAWIT (Bali Cattle Breeding Model in Integrated System of Oil Palm Plantation) CHALID TALIB1 dan R.A.B. TALIB2 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151 2 Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur
ABSTRACT P2SDS is an action activities for accelerating ability to fulfill Indonesian beef consumption in Year 2010. The program has been stated by President in some national ceremonial meetings. The 18 provinces are selected based on their capabilities ie. in natural resources, human resources and organizational resources having responsibilities to act directly. For the provinces out of the 18’s owning potential to develop beef cattle could also be contributed in improving beef cattle rearing and breeding systems in their places including East Kalimantan. Natural resources that very important for sustainable beef cattle industry are breeding stocks and feeds. East Kalimantan has Bali cattle which should be selected for breeding stocks for the future because the province has huge feed resources with carrying capacity more than 100 heads. Oil palm plantation and industries, through SISKA (Oil-palm –Bali cattle integrated system) has been known having huge potential as feed producers to produce concentrate, supplement, fiber feed and complete feed containing high quality and having good palatability for Bali cattle. The SISKA will give a significant contribution for plantation due to animal by product as an organic fertilizer from faeces and urine and also will decrease of number of weed in the plantation areas. Bali cattle showed their adaptation ability in SISKA at Bengkulu, therefore in East Kalimantan, they will also perform a similar trend; and some Bali cattle are kept in this region carrying out a good productivity and reproductive ability, too. A simple selection program would be applied to increase Bali cattle productivity and to improve their reproduction capability by way of body weight or one of the body measurements i.e. body weight or heart girth or shoulder height at certain old (1, 205 and 365 days old). Key Words: Breeding, Bali Cattle, Oil Palm, Integration ABSTRAK Program P2SDS (Program Percepatan Swasembada Daging Sapi) tahun 2010 yang dicanangkan oleh Menteri Pertanian atas persetujuan Presiden Republik Indonesia yang telah disampaikan dalam beberapa pertemuan tingkat nasional harus didukung oleh 18 Propinsi terpilih karena SDA/SDM/SDO (sumber daya organisasi) cukup tersedia. Demikian pula bagi propinsi yang belum terpilih tetapi potensial untuk mengembangan ternak sapi maka perlu merencanakan pengembangan perbibitan sapi potong misalnya: Propinsi Kalimantan Timur. Potensi sumber daya alam utama bagi pengembangan sapi potong adalah ternak bibit dan sumber pakan. Kalimantan Timur memiliki sapi Bali yang dapat diseleksi untuk dijadikan bibit pada masa mendatang karena memiliki sumber daya pakan yaitu kebun sawit dalam jumlah yang cukup untuk menampung lebih dari 100 ribu ekor ternak. Perkebunan sawit melalui program SISKA diketahui sangat potensial dalam menghasilkan pakan baik pakan serat maupun pakan konsentrat yang berkualitas dan disukai ternak. Sistem integrasi SISKA akan memberikan keuntungan baik pada peternak/ternak maupun bagi Institusi perkebunan dan tanaman sawit itu sendiri melalui pemanfaatan faeces dan urine sapi sebagai sumber pupuk organik dan menekan pertumbuhan tanaman pengganggu. Sapi Bali telah terbukti mampu beradaptasi dan berproduksi serta bereproduksi baik dalam pemeliharaan pada sistem integrasi Sapi – Sawit baik untuk penggemukan ataupun untuk perbibitan di Bengkulu, maka tentunya di Kalimantan Timur juga seharusnya dapat dikembangkan sistem yang sama, dan beberapa kelompok sapi Bali juga telah berkembang di area perkebunan sawit di sini dengan menunjukkan produktivitas dan daya reproduksi yng cukup baik. Sistem seleksi sederhana yaitu seleksi pada satu sifat saja seperti bobot hidup atau lingkar dada atau tinggi pundak
354
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
pada umur tertentu (lahir, sapih dan setahun) untuk mengukur pertumbuhan ternak sudah akan dapat memberikan hasil yang positif asalkan jumlah ternak yang dipelihara tidak melebihi kapasitas tampung ternak pada perkebunan yang bersangkutan. Kata Kunci: Perbibitan, Sapi Bali, Sawit, Integrasi
PENDAHULUAN Departemen Pertanian mencanangkan program swasembada daging sapi (P2SDS) pada Tahun 2010 dengan menetapkan 18 propinsi sebagai wilayah sumber bibit dan bakalan sapi potong sebagai penanggung jawab utama keberhasilan P2SDS. Walaupun demikian bukan berarti bahwa propinsi di luar itu hanya menunggu saja. Ternyata banyak propinsi potensial sumber pakan juga berusaha merancang program swasembada untuk minimal memenuhi kebutuhan daging sapi di propinsi itu sendiri. Salah satunya adalah Propinsi Kalimantan Timur yang potensi sumber pakannya berada pada areal perkebunan sawit. Sejak perkebunan mulai diakui secara nyata sebagai lumbung pakan sapi potong setelah bergulir Program SISKA (sistem integrasi sapi sawit) yang diperkenalkan oleh Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian, maka berbagai propinsi potensial perkebunan sawit yang berada di Sumatera dan Kalimantan, berusaha mengadopsi program tersebut dengan berbagai modifikasi spesifik lokasi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di masingmasing wilayah. Hal yang serupa juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kalimantan Timur. Dan tulisan ini akan fokus pada model pengembangan pembibitan sapi Bali yang terintegrasi dengan perkebunan sawit di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Kalimantan Timur adalah salah satu propinsi yang potensial untuk memenuhi kebutuhan daging sapinya dengan mengusahakan dari sumber-sumber lokal yang ada baik pakan maupun sapi. Propinsi ini mengumandangkan kebijakan pada peningkatan produksi sapi potong yang sampai saat ini masih bergantung pada impor. Tingkat permintaan daging sapi di Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 2004 adalah sebesar 35 ribu ton dan terus meningkat sekitar 10% di dalam tiga tahun. Upaya yang dilakukan adalah meningkatkan populasi dan meningkatkan produktivitas per unit ternak. Langkah pertama
dapat diperoleh melalui perencanaan perbibitan yang baik dengan perbanyakan sapi induk dan langkah kedua melalui penggemukan utuk mencapai pertumbuhan optimal. Maka strategi yang diterapkan adalah mengoptimalkan penggunaan sumber utama pakan yang ada yaitu di lingkungan perkebunan kelapa sawit karena baik kegiatan perbibitan dan pengembangan maupun penggemukan semuanya membutuhkan konsumsi bahan pakan yang cukup dalam hal nutrisi dan jumlahnya. Maka cara yang paling praktis adalah mendekatkan sapi pada sumber pakannya yang berarti baik perbibitan maupun penggemukan sedapatnya berada dekat atau berada di dalam kawasan perkebunan itu sendiri. Sapi potong yang paling banyak terdapat di Kalimantan Timur adalah sapi Bali. Dan salah satu daerah potensial pengembangan sapi Bali di sini adalah Kabupaten Pasir. Agar perencanaan perbibitan/ pengembangan dan penggemukan dapat berjalan baik maka dibutuhkan kerjasama yang apik antara institusi terkait baik formal maupun informal (Pemda, Perkebunan/Pemilik Kebun dan peternak/Gapoknak) agar keuntungan dapat dirasakan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Diharapkan langkah ini akan mempercepat terjadinya peningkatan populasi dan produktivitas ternak, mengoptimalkan sumber daya pakan dan ternak, mengurangi polusi akibat limbah dari proses sawit yang sebenarnya adalah bahan pakan potensial, dan pemanfaatan rumput dan semak di bawah sawit yang juga adalah sumber pakan dan pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk bagi tanaman perkebunan itu sendiri dan biogas untuk kebutuhan energi rumah tangga pedesaan. PERKEBUNAN DAN INDUSTRI SAWIT Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan unggulan yang dikembangkan umumnya di daerah yang mempunyai banyak sumber air ataupun pada daerah rawa. Daerah
355
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
rakyat dan swasta dapat diperbaiki untuk menyamai perkebunan negara maka secara nasional produksi CPO akan meningkat dengan cukup signifikan marena luasan areal perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat dan swasta. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas dari PR vs PBN vs PBS yang masing-masingnya adalah sebesar 2,26 vs 3,37 vs 2,68 t/ha. Kelapa sawit di Kalimantan Timur yang pertama kali dikembangkan oleh program PIRNES VII di Kabupaten Pasir pada tahun 1983 (MAKSUM et al., 2006) sekarang berkembang pesat melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar melalui kredit pinjaman maupun PTP dan perkebunan rakyat berdasarkan swadaya masyarakat. Dari berbagai kabupaten yang ada di Kalimantan Timur maka Kabupaten Pasir juga termasuk pengembang kelapa sawit potensial.
seperti ini di Indonesia banyak di temukan di pulau Sumatera, Kalimantan dan Irian. Pengembangan kelapa sawit sudah berkembang di 22 propinsi di Indonesia termasuk Kalimantan Timur, dengan total luasan areal 6.6 juta ha dan kapasitas produksi sebesar 17.1 juta ton (Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa perkebunan sawit pada tahun 1980 baru seluas 290 ribu ha dengan kapasitas produksi CPO (crude palm oil) 721 ribu ton ternyata pada tahun 2008 telah mencapai luasan 6,6 juta ha dan produksi CPO sebesar 17,1 juta ton. Walaupun demikian ternyata produktivitas perkebunan per ha selama kurun waktu 28 tahun hanya cenderung sedikit meningkat (2,48 vs 2,58 ton per ha) sehingga perlu diperhatikan untuk peningkatan produktivitas per satuan luas. Perkebunan rakyat perlu diberi arahan perbaikan agar p[roduktivitasnya dapat mendekati produktivitas pada perkebunan swasta yang kesenjangannya cukup jauh. Kalau perkebunan
Tabel 1. Luas areal dan produksi kelapa sawit Indonesia Tahun 1980 – 2008 Tahun
Luas areal (000 Ha) *)
PBS
Produksi CPO (000 ton)
PR
PBN
Nasional
1980
6
200
84
290
1990
291
372
463
1126
PR
PBN
PBS
Nasional
1
499
221
721
377
1247
179
1803
1995
659
405
962
2026
1001
1614
1864
4479
1996
739
427
1084
2250
1134
1707
2058
4899
1997
813
517
1592
2922
1283
1587
2578
5448
1998
891
557
2113
3561
1345
1502
3084
5931
1999
1041
577
2284
3902
1548
1469
3439
6456
2000
1167
588
2403
4158
1906
1461
3634
7001
2001
1561
610
2542
4713
2798
1519
4079
8396
2002
1808
632
2627
5067
3427
1608
4588
9623
2003
1854
663
2766
5283
3517
1751
5173
10441
2004
2220
606
2459
5285
3847
1618
5366
10831
2005
2356
530
2567
5454
4500
1449
5911
11861
2006
2549
687
3357
6594
5783
2313
9254
17350
2007*)
2565
687
3358
6611
5895
2313
9254
17373
2008**)
2565
687
3358
6611
5805
2314
8990
17109
*)
PR = Perkebunan Rakyat; PBN = Perkebunan Besar Negara; PBS = Perkebunan Besar Swasta
Sumber: SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN (2008)
356
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
SISTEM INTEGRASI SAPI BALI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Sistem integrasi sapi-kelapa sawit (SISKA) yang mulai diperkenalkan oleh Puslitbang Peternakan sejak beberapa tahun yang lalu yang dimulai di Bengkulu (MATHIUS, 2005) ternyata sudah diadopsi juga di Kabupaten Pasir. Awalnya sapi-sapi hanya digembalakan di areal perkebunan sawit ternyata sekarang sudah mulai memanfaatkan daun sawit tanpa lidi. Penggembalaan sapi pada areal perkebunan sawit sudah cukup lama dilaksanakan oleh petani peternak baik yang memiliki kebun sawit maupun yang hanya sebagai peternak biasa. Di sini baik pemilik kebun maupun peternak sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Peternak mendapatkan pakan melalui rumput dan semak yang banyak tumbuh sebagai tanaman sela di perkebunan sawit yang dalam kacamata pekebun adalah tanaman pengganggu. Pekebun memperoleh pengurangan tanaman pengganggu sebagai dampak penggembalaan ternak dan juga mendapatkan pupuk organik yang berasal dari kotoran dan kencing ternak yang secara langsung dapat mengurangi biaya pembelian pupuk untuk tanaman sawitnya dan dalam kapasitas tertentu akan mampu memperbaiki struktur dan kesuburan lahan. Hanya sayangnya system ini baru dapat diterapkan pada perkebunan rakyat saja sedangkan pada perkebunan besar masih saling menunggu sambil mempelajari untuk melihat peningkatan rupiah yang bakal diperoleh melalui penerapan system integrasi ini. Diharapkan pada masa mendatang pihak perkebunan besar juga akan terbuka untuk mengembangkan peternakan sapi pada areal perkebunannya. Melihat keharmonisan hubungan ini maka selanjutnya pengembangan sistem integrasi mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah sejak tahun 2000. Bentuk bantuan tersebut antara lain berupa perbaikan areal penggembalaan ternak dibawah pohon kelapa sawit yang dilengkapi dengan pagar pembatas, dimana sumber hijauan pakan yang diperoleh sapi berasal dari tanaman sela yang ada disekitar perkebunan kelapa sawit, daun dan pelepah daun kelapa sawit, dan ternak menyumbangkan pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit. Pemanfaatan hasil
ikutan industri pengolahan sawit memang belum banyak dimanfaatkan karena pabrik pengolah minyak sawit di sekitar peternak masih terbatas, sehingga diharapkan bahwa kedepan pemilik kebun/industri sawit dapat meningkat kerjasamanya dengan para peternak untuk membuat system integrasi yang lebih baik lagi yaitu dengan memanfaatkan hasil ikutan dari industri proses produk sawit seperti BIS (bungkil inti sawit, PKC palm kernel cake, PKM palm kernel meal) dan lumpur sawit (solid decanter) yang telah dikeluarkan sisa cangkang/tempurung buah sawit sebagai sumber konsentrat untuk penggemukan baik sebagai sumber energi maupun sebagai sumber protein. Potensi kebun sawit dan ternak di Kalimantan Timur Perencanaan perluasan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasir telah ditargetkan oleh pemerintah daerah agar dalam kurun waktu 15 tahun (periode 2003 – 2018) mencapai target perluasan areal menjadi 250.000 ha (MAKSUM et al., 2006). Luas areal perkebunan sawit di Kalimantan Timur 64.500 Ha (Tabel 2), persentase tanaman yang belum menghasilkan hampir 30% dan yang telah menghasilkan 70% (DINAS PERKEBUNAN, 2006; BPS, 2006). Di Kalimantan Timur ada PTPN XIII mempunyai 3 buah pabrik dengan kapasitas olah total 450 ton TBS/jam. Berdasarkan hasil penelitian MATHIUS et al (2005) maka diperkirakan pabrik-pabrik tersebut akan dapat memproduksi 36 ton solid dan 46 ton BIS per hari jika pabrik bekerja nonstop selama 8 jam/hari. Maka jika pakan serat dari daun/pelepah dan rumput/semak sebagai tanaman sela dapat dimanfaatkan secara optimal maka potensi kapasitas tampung sekitar 100.000 ekor UT (setara sapi dewasa) dan dapat memproduksi 3000 ekor sapi penggemukan per bulan. Presentasi di atas dapat berhasil jika sapisapi tersebut berada di dalam kebun sawit atau mempunyai kemudahan askes untuk memperoleh sumber pakan yang berasal dari kebun maupun produk ikutan industri pengolahan secara kontinu dan secara ekonomis menguntungkan. Tetapi jika hasil perkebunan dan industri PTP tersebut sulit diakses maka kapasitas tampung riil dari PTP
357
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 2. Luas lahan perkebunan kelapa sawit, kelapa dalam, karet dan keberadaan ternak sapi dan kerbau di kecamatan, Kabupaten Pasir, Tahun 2005 Kecamatan
Kelapa sawit (ha)
Kelapa dalam (ha)
Karet (ha)
Keberadaan ternak Sapi (ekor)
Kerbau (ekor)
Batu Sopang
484
65
240
97
8
Muara Samu
120
45
368
85
6
T. Harapan
1.080
304
0
56
6
Batu Engau
12.769
420
214
128
16
Pasir Belengkong
10.948
438
581
1.587
23
Tanah Grogot
1.165
840
33
675
12
Kuaro
8.565
129
885
956
13
22.342
146
755
1.669
272
Long Ikis Muara Komam Long Kali Jumlah
476
122
414
545
12
6.519
1.485
2.862
264
217
64.469
4.161
6.352
6.062
585
Sumber: BPS (2006)
tersebut juga tentunya menurun sesuai peluang untuk mendapatkan pakan tersebut. Dengan demikian keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat mendukung pengembangan peternakan di Kabupaten Pasir. Selain bahan sumber serat yang telah tersebut di atas (tanaman sela di antara tanaman sawit, daun tanpa lidi dan pelepah, lumpur sawit), maka berbagai hasil ikutan lainnya dari perkebunan dan industri sawit yang berpotensi sebagai sumber pakan adalah tandan buah kosong, serat perasan buah dan Palm Kernel Cake (PKC). Dari berbagai sumber bahan pakan tersebut maka lumpur sawit kering menjadi sangat penting karena bahan ini dapat diperoleh secara gratis di Kaltim saat ini. SINURAT, 2003; 2008 dari berbagai hasil penelitiannya menunjukkan nilai gizi dari lumpur sawit sebagaimana tertera dalam Tabel 3. Dengan melihat kecernaan bahan kering sawit pada Tabel 3 tersebut yang penggunaannya pada ayam dapat mencapai 24% maka tentunya pada ruminansia dapat dimanfaatkan hampir 100%. Jika dilihat dari komposisi kimia lumpur sawit maka jelas sekali kualitasnya lebih baik dari rumput Gajah terutama dalam kandungan protein, keseimbangan asam amino essensial, sumber energi yang lebih baik serta kandungan serat kasar yang jauh lebih rendah. Nilai gizi dan
358
kecernaan lumpur sawit ini dapat lebih ditingkatkan lagi melalui teknologi enrichment dengan memanfaatkan microorganisms maupun melalui proses enzymatic (SINURAT, 2008). Selanjutnya dikatakan melalui kedua proses ini nilai kecernaan bahan kering pada unggas dapat ditingkatkan menjadi 42,5% dan protein digestibility dapat ditingkatkan menjadi lebih dari 30% dan energi metabolis 2500 Kcal/kg yang berarti pakan perlakuan tersebut sudah setara dengan pakan konsentrat untuk ternak ruminansia. MODEL PERBIBITAN SAPI BALI DI PERKEBUNAN SAWIT DI KALIMANTAN TIMUR Prinsip dasar pengembangan dan peningkatan produksi sapi melalui perbibitan adalah tersedianya sapi bibit yang baik, adanya pakan yang cukup untuk pertumbuhan optimal, peluang menerapkan seleksi pada ternak secara efektif, adanya institusi pendukung serta pasar untuk menerima produk bibit yang dihasilkan dengan harga yang menguntungkan. Harga jual ini sangat penting dalam pengembangan perbibitan sapi karena selain membutuhkan periode waktu yang panjang juga biaya yang tidak sedikit. Karena potensi dasar di Kalimantan Timur ini sudah memiliki sapi Bali
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
dan ternak tersebut juga telah menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik dengan lingkungan sekitarnya terutama pakan yang ada di Kalimantan Timur maka pilihan untuk menjadikan sapi Bali sebagai primadona sapi lokal yang siap dikembangkan di sini merupakan pilihan yang sangat bijak. Tabel 3. Komposisi kimia lumpur sawit Uraian Bahan kering, % Kecernaan bahan kering pada ayam, % Lemak kasar, % Serat kasar, %
Kisaran 90 24,5 10,4 11,5 − 32,9
ADF, %
44,29
NDF, %
62,77
Energi kasar (GE), Kkal/kg
3315 − 4470
Energi metabolis (TME), Kkal/kg
1125 − 1593
Protein kasar, %
9,6 − 14,52
Protein sejati, %
8,9 − 10,44
Asam amino, % Threonin
0,33 − 0,78
Alanine
0,41 − 0,56
Sistin
0,12 − 0,13
Valine
0,36 − 0,48
Metionin
0,14 − 0,16
Isoleusin Leusin Fenilalanin
0,35 0,52 − 0,60 0,21
Lisin
0,21 − 0,31
Arginin
0,19 − 0,21
Abu, %
9 − 25
Kalsium (Ca), %
0,50 − 0,97
Fosfor (P), %
0,17 − 0,75
Sumber: SINURAT (2003)
Sapi Bali Dibandingkan dengan bangsa sapi di Indonesia lainnya dan sapi-sapi komersial baik di Indonesia maupun di manca negara, sapi Bali yang memiliki banyak nama dalam bahasa
latin yaitu Bos sundaicus, Bos javanicus atau Bibos banteng dan Bibos sundaicus dapat digolongkasn sebagai sapi kecil, memiliki kecepatan pertumbuhan rendah, calving rate terbaik dan persentase karkas baik (SIREGAR et al, 1985; TALIB, 1988; WIRDAHAYATI dan BAMUALIM, 1990 dan TALIB et al., 1998). Salah satu keunggulan sapi Bali adalah dalam keadaan kesulitan pakan ketika sedang menyusui, maka aktifitas reproduksi akan menjadi prioritas utama yang ditempuh dilihat dari aktifitas ovariumnya dengan mengorbankan kebutuhan pedetnya (TALIB et al., 1999). Walaupun demikian performan produksi dan reproduksi yang ditampilkan di daerah tropis kering belum maksimal dibandingkan potensi yang sebenarnya dimilikinya (DAHLANUDDIN et al., 2008 dan CHENOWETH, 1994). Belum optimalnya daya reproduksi ini, dapat dicirikan dari calving interval yang relatif panjang (13 - 18 bulan) dalam pemeliharaan di tingkat peternak (small holder). Panjangnya calving interval ini pada akhirnya akan mengakibatkan produktivitas secara keseluruhan menjadi turun. Panjang calving interval yang diinginkan adalah 12 bulan. Siklus melahirkan setahun satu kali, hanya dapat dicapai jika sapi-sapi induk memiliki high conception rate dan sapi Bali memang memilikinya, deteksi oestrus yang akurat (untuk sapi-sapi yang dipelihara individual atau hanya induk saja) sehingga interval waktu yang pendek yaitu hanya sekitar 90 hari sejak kelahiran sampai bunting kembali atau days open dapat dimanfaatkan secara sempurna (PELSSIER, 1976). Hal ini disebabkan karena periode calving interval tergantung pada lama bunting, involusi uterus, reoestrus postpartum, jumlah siklus yang dibutuhkan untuk memperoleh kebuntingan (MUKASAMUGERWA, 1989). Di NTT sapi Bali dapat melahirkan dengan baik sampai 10 kali dan bahkan masih ditemukan di lapangan sapi Bali yang mampu melahirkan 18 kali dengan baik. Di NTB melalui perbaikan sistem management perkawinan dan supplementasi pada induk dan anak diperoleh selang kelahiran antara 12-13 bulan dalam sistem kawin alam yang diatur dalam 6 bulan pencampuran induk dengan pejantan (DAHLANUDDIN et al., 2008). Di Kabupaten Pasir, Sapi Bali dipelihara di dalam areal perkebunan sawit, dimana sistem
359
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
perkawinan yang diutamakan adalah kawin alam sehingga kesulitan dalam perkawinan sebenarnya dapat diminimalisir. Prasyarat kesuksesannya adalah asalkan pejantan yang digunakan memang baik dalam hal kesehatan, pertumbuhan dan kemampuan kawin (daya reproduksi baik) serta perbandingan jantan dan betina per areal penggembalaan cukup untuk menjamin terjadinya perkawinan, induk mengkonsumsi pakan dalam jumlah cukup, maka dapat dipastikan bahwa angka kelahiran yang tinggi dan selang kelahirannya juga akan pendek. Sehingga seleksi pejantan merupakan kewajiban utama untuk terjaminnya keturunan yang baik dengan tanpa mengabaikan keunggulan sapi-sapi induk. Dari wawancara pribadi dengan kelompok peternak di dalam areal sawit di Kabupaten Pasir untuk penilaian ternak dalam rangka kontes ternak tahun 2007, diketahui bahwa angka kelahiran minimal 80%; kematian pedet 3,5%, umur pertama melahirkan 2,8 tahun dan calving interval 14 bulan. Pakan diperoleh dalam jumlah cukup dari rerumputan dan semak-belukar yang tumbuh dibawah perkebunan sawit. Penggemukan belum dilakukan oleh kelompok peternak tersebut karena sumber BIS (bungkil inti sawit) dan lumpur sawit tempatnya terletak jauh dari areal penggembalaan mereka, karena perkebunan rakyat yang digunakan untuk pengembangan peternakan tersebut belum ada industri pengolahan/prosesing buah sawit (TALIB, 2007). Permasalahan utama dalam pengembangan sapi di Kaltim adalah kekurangan bibit yang baik dan pakan yang siap dikonsumsi sapi ketika lingkungan sudah kurang mendukung terutama beberapa bulan terakhir dalam musim kemarau. Maka disinilah penggunaan daun sawit tanpa lidi dan pelepah perlu digalakkan untuk mencukupi kebutuhan ternak yang dipelihara. Maka para peternak perlu didekatkan dengan sumber modal untuk mendapatkan mesin pengupas dan pencacah daun sawit dan pelepah daun sawit agar dapat digunakan oleh peternak dalam mempersiapkan pakan sapinya. Sapi Bali dengan mudah dapat beradaptasi untuk mengkonsumsi kedua jenis pakan kaya serat tersebut seperti yang telah dilakukan di Bengkulu dengan tidak mengurangi
360
kemampuan produksi dan daya reproduksi (MATHIUS, 2005). Ketersediaan bibit Sebagaimana telah ditulis didepan bahwa Kalimantan Timur walaupun saat ini masih mengimpor sapi dan daging untuk memenuhi kebutuhan komsumsi masyarakatnya, tetapi pemerintah daerah telah menargetkan melalui perencanaan dan kegiatan lapangan untuk berswasembada. Dua langkah utama yang akan dilakukan adalah melalui peningkatan populasi dan peningkatan produktivitas. Untuk mencapai peningkatan populasi maka yang perlu dilakukan adalah pengaturan perkawinan dengan menggunakan pejantan terseleksi, kecukupan pakan untuk induk, pengaturan perkawinan untuk memperoleh calving rate tertinggi, usaha untuk meningkatkan survival rate dari pedet dan meningkatkan jumlah pedet yang dapat mencapai usia yearling. Sedangkan untuk meningkatkan produktivitas per individu maka langkah yang harus ditempuh adalah menyeleksi pejantan, calon pejantan pengganti, induk yang baik dan secara perlahan mengeluarkan sapi-sapi jantan maupun betina yang kurang produktif menjadi ternak konsumsi. Sebelum dijadikan ternak konsumsi maka ternak-ternak tersebut harus terlebih dahulu digemukkan agar tercapai bobot hidup ideal sesuai permintaan pasar (biasanya bobot hidup antara 300 – 400 kg per ekor). Pengaturan perkawinan harus direncanakan untuk menghasilkan derajat inbreeding rendah < 6%. Jika data dari Tabel 2 dikaji lebih mendalam maka diketahui bahwa potensi kapasitas tampung minimal pada areal perkebunan (kelapa sawit, kelapa dalam dan karet) adalah sebesar 141,5 ribu UT, padahal ternak yang ada sekarang baru 4,7 ribu UT. Oleh karena itu, peluang untuk menigkatkan jumlah ternak maupun penigkatan produktivitas terbuka lebar, baik melalui perbaikan bibit yang dapat ditempuh dengan seleksi maupun melalui penggemukan untuk mengoptimalkan kemampuan produksi daging individual ternak sebelum disembelih sebagai ternak konsumsi. Persoalannya adalah jumlah sapi yang dimiliki masih sangat terbatas, oleh
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
karena itu dibutuhkan pasokan ternak dari luar baik berupa sapi jantan maupun betina bibit untuk mempercepat peningkatan populasi sesuai kemampuan keuangan daerah. Di samping itu kegiatan untuk mengoptimalkan peningkatan produktifitas dan perbaikan daya reproduksi harus tetap terjaga dalam tingkatan terbaik yang dapat dicapai. Peningkatan produktifitas melalui breeding/ pemuliaan baru dapat terlihat pada generasi berikutnya dan seterusnya dan peningkatan daya produksi tersebut bersifat permanen, sedangkan peningkatan produksi melalui penggemukan dapat langsung terlihat dan bersifat temporer. Perbaikan daya reproduksi meliputi mempercepat pencapaian bobot kawin pertama, meningkatkan angka kelahiran, memperbaiki calf survival rates, memperpanjang umur produktif induk dan pembatasan penggunaan pejantan tertentu dalam kelompok tertentu serta pengawasan pada penyakit-penyakit yang dapat menurunkan daya reproduksi seperti brucellosis, IBR dan lain-lain. Sistem perkawinan Sapi-sapi Bali yang dipelihara dalam areal perkebunan sawit selama ini menerapkan sistem perkawinan secara acak tetapi berlangsung dalam sub-populasi kecil terbatas dengan jumlah sapi induk kurang dari 50 ekor tanpa menggunakan pejantan dari luar kelompok ternak tersebut. Sistem ini jika telah berlangsung lama (5 generasi) maka dapat dipastikan bahwa derajat inbreeding telah meningkat dengan cukup tinggi dan dapat mencapai lebih dari 20%. Jika hal ini terjadi maka dapat terjadi penurunan produktifitas dan daya reproduksi yang akan langsung berpengaruh pada penurunan produksi dari populasi. Oleh karena itu, perlu menerapkan sistem perkawinan dengan outbreeding yaitu memasukkan pejantan dari tempat lain (kelompok ternak lain) yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau memiliki hubungan kekerabatan maksimal 3% dengan subpopulasi tersebut. Selanjutnya pergantian pejantan semestinya terus dilaksanakan secara berkesinambungan yaitu sebelum pedetnya mencapai usia kawin
(maksimal penggunaan pejantan disatu subpopulasi adalah selama 2,5 tahun). Seleksi untuk perbaikan produktivitas bibit dilaksanakan dengan memperhatikan jumlah populasi, ketersediaan pakan dan kecepatan hasil yang ingin dicapai. Semakin cepat hasil yang ingin dicapai maka intensitas seleksipun perlu dinaikkan yang berarti semakin banyak ternak yang harus diafkir sehingga perhitungan ekonomis harus diterapkan agar dapat diperoleh keuntungan yang optimal. Sebagai contoh pola perbibitan yang telah dilaksanakan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Pasir adalah menerapkan pola paket ternak bibit yang disebarkan kepada peternak untuk digembalakan di areal perkebunan sawit sejak Tahun 2005 dengan sistem integrasi sapi sawit (SISKA) dan penerapan LEISA (low external input sustainable agriculture) (DINAS PETERNAKAN, 2005; 2007) yang juga memperhatikan keamanan lingkungan. Jika prinsip-prinsip breeding (seleksi) diterapkan dengan memilih satu sifat saja untuk dikembangkan misalnya bobot hidup atau lingkar dada atau tinggi pundak saja (mempunyai korelasi positip dan tinggi dengan boobt badan pada umur tertentu) yang dilakukan dengan disertai rekording yang baik maka seharusnya sudah dimiliki pedet-pedet yang memiliki ukuran terbaik yang berusia lebih dari setahun pada akhir tahun 2007 yang telah diketahui tetuanya. Dengan demikian perkawinan sudah bisa dirancang untuk menghasilkan keturunan dengan derajat inbreeding yang rendah dan peningkatan ukuran tubuh yang diseleksi pada keturunannya. Contoh sifat bobot hidup yang dapat diseleksi pada sapi Bali seperti tercantum dalam Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa baik nilai heritabilitas BL, BS dab BY maupun korelasi genetik antara sifat yang berturutan berada dalam kisaran yang cukup untuk dapat digunakan dalam program seleksi dengan hasil yang cukup menjanjikan. Demikian pula dengan parameter genetik untuk sifat keindukannya juga akan dapat memberikan pengaruh yang juga baik sehingga jika seleksi diterapkan pada ternak jantan dan betina maka hasil yang akan diperoleh juga akan relatif lebih cepat dari pada jika hanya satu jenis kelamin saja yang diseleksi.
Tabel 4. Ragam genetik, heritabilitas, kecermatan seleksi, maternal genetik efek dan korelasi genetik (data dianalisis dengan menggunakan BLUP)
361
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Parameter genetik
Bobot lahir (BL)
Bobot sapih (BS)
Bobot yearling (BY)
Ragam genetik
0,723
129.335
190.775
Ragam lingkungan permanen
1.334
225.661
228.358
Ragam lingkungan temporer Heritabilitas (h2) ± se Kecermatan seleksi (
0,723
129.335
190.775
0,260 ± 0,042
0,267 ± 0,046
0,313 ± 0,074
0,509
0,516
0,599
h2 )
Maternal genetik efek (m2) ± se
0,480 ± 0,042
0,466 ± 0,046
--
Lingkungan permanen (pe) ± se
--
0,260 ± 0,043
0,374 ± 0,135
Korelasi genetik (BL – BS)
0,260 ± 0,064
--
--
Korelasi genetik (BS – BY)
--
0,622 ± 0,045
--
Sumber: KOMAR-PRAYOGA dan TALIB (2008)
Jika seleksi diterapkan secara konsisten maka peningkatan ukuran tubuh yang diseleksi sudah bisa dilihat 2 tahun kemudian yaitu ketika pedet-pedet tersebut melahirkan, yang seharusnya ukuran tubuhnya lebih baik dari orangtuanya ketika seumur dengan pedet-pedet yang baru dilahirkan tersebut. Percepatan peningkatan ukuran tubuh yang diseleksi pada keturunannya bergantung juga kepada berapa banyak pedet yang dilahirkan yang akan diafkir (intensitas seleksi) yang pada tahap awal pada pejantan dipertahankan 10% pedet (pada saat akan digunakan hanya digunakan < 5%) sedangkan betina minimal diafkir 10% tergantung pada kebutuhan ternak betina dan percepatan peningkatan ukuran tubuh yang diseleksi yang diharapkan pencapaiannya dalam setiap generasi. Hal terpenting pada pola perbibitan ini adalah terbangunnya jaringan kerja–sama antara peternak sebagai pelaksana/pemelihara ternak, instansi pemerintah sebagai fasilitator, koordinator dan pelatihan bagi peternak agar dapat diperkaya pengetahuannya, serta stakeholders yang dalam hal ini adalah pedagang, perusahaan peternak dan perkebunan serta perkebunan rakyat. Perkebunan memberikan ijin bagi pembibit untuk mengembangkan perbibitan sapi Bali di kawasan perkebunan, pemerintah memfasilitasi melalui paket-paket perbantuan ternak perdesaan dan mensosialisasikan kepada peternak tetang akses modal pada perbankan dengan bunga rendah dan stakeholder pedagang agar dalam pembelian nanti dapat
362
memberikan harga jual yang lebih memadai kepada peternak. Ketersediaan pakan merupakan faktor penting dalam pembibitan ternak, karena kegiatan seleksi dan perkawinan hanya akan membrikan hasil optimal jika ternak juga dipelihara dalam kondisi yang optimal. Oleh karena itu pakan akan tetap tercukupi selama jumlah ternak yang digembalakan tidak melebihi kapasitas tampung areal perkebunan; hal tersebut akan dengan mudah diperhitungkan. Jika kapasitas tampung telah dilampaui maka dalam batasan-batasan tertentu sapi Bali akan menyesuaikan ukuran tubuhnya menjadi lebih kecil untuk mempertahankan agar fungsi reproduksinya dapat bejalan normal (TALIB dan KUSWANDI, 1999). Oleh karena itu, jika jumlah ternak melebihi kapasitas tampung maka pengeluaran ternak sudah harus dilakukan untuk menghindari kekurangan ketersediaan pakan. Jika pakan kurang maka seleksi akan tidak efektif karena akan tertuju kepada daya adaptasi terhadap kekurangan pakan dan bukan pada peningkatan produktifitas. Sapi-sapi yang menunjukkan kemampuan produksi yang terbaik dalam kondisi sub-optimal adalah ternak yang paling mampu bertahan pada kondsi kekurangan pakan dan belum tentu ternak tersebut akan mampu berproduksi tinggi pada saat pakan cukup. Cara praktis untuk penerapan seleksi sapi Bali di areal perkebunan sawit adalah: 1. Menseleksi pejantan atau semen dari pejantan yang bagus dengan hubungan kekerabatan minimal atau tidak ada
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
hubungan sama sekali sebagai pejantan untuk mengawini sapi-sapi betina yang ada dalam sub-populasi untuk pengembangan perbibitan. Pasca sistem penggembalaan dapat diambil perbandingan pejantan: betina (siap kawin) = 1 : 20. 2. Pedet-pedet jantan yang lahir dipilih 10% yang terbaik untuk dipelihara sampai lepas sapih dengan pakan cukup. Sesudah umur 7 bulan 50% dipilih untuk disiapkan sebagai pejantan untuk digunakan dalam subpopulasi sendiri ataupun untuk digunakan pada sub-populasi lainnya. Pelaksanaan performan test perlu diikuti untuk diterapkan dengan baik (DITJENNAK, 2008). 3. Pedet-pedet betina dapat dipetahankan antara 80 – 90% tergantung kebutuhan ternak betina dan kecepatan hasil seleksi yang diharapkan serta kapasitas tampung kawasan tersebut. 4. Bilamana rekording sudah berjalan baik maka selanjutnya pemilihan pejantan dan induk diatur berdasarkan ranking nilai genetik masing-masing dan pengaturan perkawinan berdasarkan individu ternak melalui nomor kode atau identifikasi individu ternak. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Program P2SDS (Program Percepatan Swasembada Daging Sapi) tahun 2010 yang dicanangkan oleh Menteri Pertanian harus didukung baik oleh Propinsi terpilih karena SDA/SDM/SDO cukup tersedia ataupun propinsi-propinsi yang di luar itu yang potensial untuk pengembangannya. 2. Perkebunan sawit melalui program SISKA diketahui sangat potensial dalam menghasilkan pakan baik pakan serat maupun pakan konsentrat yang baik dan disukai ternak. Sistem integrasi SISKA akan memberikan keuntungan baik pada peternak/ternak maupun bagi Institusi perkebunan dan tanaman sawit itu sendiri melalui pemanfaatan feses dan urin sapi sebagai sumber pupuk organik. 3. Sapi Bali telah terbukti mampu beradaptasi dan berproduksi serta bereproduksi baik dalam pemeliharaan pada sistem integrasi Sapi – Sawit baik untuk penggemukan ataupun untuk perbibitan. Penerapan sistem
breeding akan semakin mempercepat perbaikan baik pada produktivitas maupun daya reproduksinya. 4. Sistem seleksi sederhana yaitu seleksi pada satu sifat saja dalam mengukur pertumbuhan ternak sudah akan dapat memberikan hasil yang positif asalkan jumlah ternak yang dipelhara tidak melebihi kapasitas tampung ternak pada perkebunan yang bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2006. Kabupaten Pasir dalam Angka 2005. Diterbitkan atas kerjasama BPS dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir. CHENOWETH, P.J. 1994. Aspects of reproduction in female Bos indicus cattle: a review. Australian Veterinary J. 71: 422. DAHLANUDDIN, K. PUSTADI, S.P. QUIGLEY and J.P. CORFIELD. 2008. Herd management and feeding stratgis to increase calfcropand post weaning groth rate of Bali cattle in Eastern Indonesia. Paper presented in Bali Cattle Meeting “Improving Bali Cattle Production under Village Rearing Sysems in Eastern Indonesia”, Kupang 19 Nov. 2008. Joint work between Univ. Nusa Cendana and ACIARAustralia. DINAS PERKEBUNAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 2006. Statistik perkebunan. Penerbit Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 2005. Statistik peternakan. Penerbit Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 2007. Statistik peternakan. Penerbit Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. DITJENNAK. 2008. Pedoman performan test sapi potong. Direktorat Jenderal Peternakan – DirektoratPerbibitan. (Dalam proses publikasi). MAKSUM, A, A. RAHMAN dan BAMBANG. 2006. Peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit di Kalimantan Timur. Makalah Seminar Temu Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Kalimantan Timur, 27 September 2006.
363
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
MATHIUS, I.W. 2005. Inovasi teknologi pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit sebagai pakan ruminansia. Makalah Workshop Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi di Banjarbaru. Kalimantan Selatan, 22 – 23 Agustus 2005. MATHIUS, I.W., AZMI, D.M. SITOMPUL dan B.P. MANURUNG. 2005. Pemanfaatan limbah kelapa sawit dan hasil samping pabrik kelapa sawit sebagai pakan alternatif sapi potong. Laporan kegiatan Balai Penelitian Ternak kerjasama dengan PT Agricinal, Bengkulu. Puslitbang Peternakan, Bogor. MUKASA-MUGERWA, E. 1989. A Review of Reproductive Performance of Female Bos indicus (Zebu) cattle. International Livestock Center for Africa. PELSSIER, C.L. 1976. Dairy cattle breeding problems and their consequences. Theriogenology 6: 575. SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 2008. http://ditjenbun.deptan. go.id/sekretbun/ secret. (28 May, 2008) SINURAT, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas. Wartazoa 13(2): 39 – 47. SINURAT, A.P. 2008. Applicable technology in utilizing palm oil by products for poultry feed. Paper dipresentasikan dalam pertemuan Feed, Food and Fuel untuk penanggulangan kekurangan pakan ternak, WPSA and Balitnak. Bogor, 8 Juli 2008. SIREGAR, A.R., C. TALIB, K. DIWYANTO, P. SITEPU, U. KUSNADI, H. PRASETYO and P. SITORUS. 1985. Performance of Bali cattle at East Nusa
364
Tenggara (Performance sapi Bali di Nusa Tenggara Timur). Ditjennak dan Balitnak, Jakarta. TALIB, C. 1988. Productivity of ongole cattle in East Jawa. (Productivitas sapi ongole di Jawa). Thesis for MSc. in Faculty of Postgraduate, Bogor Agricultural University, Bogor. TALIB, C. dan KUSWANDI. 1999. Pengaruh perbaikan pakan (dan CIDR serta kombinasinya) terhadap dinamika aktivitas ovarium dalam periode postpartum. Proc. ARM II Tahun 1999/2000 hlm. 231 – 236. TALIB, C., A. BAMUALIM dan A. POHAN. 1999. Problematika sapi Bali dalam pemeliharaan di padang penggembalaan. Pros. Seminar Nasional Peterakan dan Veteriner, Bogor, Des 1 – 2, 1998. PuslitbangPeternakan, Bogor. hlm. 611 – 617. TALIB, C., G. HINCH, S. SIVARAJASINGHAM and A. BAMUALIM. 1998. Factors influencing preweaning and weaning weights of Bali (Bos sundaicus) calves. Proc. of the 6th worlds Conggress on Gen.Appl. to Livestock Prod. Armidale, NSW, Australia, Jan 11 – 16, 1998. 23: 141 – 144. TALIB. C. 2007. Wawancara pribadi dengan peternak di areal perkebunan sawit pada penilaian ternak sapi Bali peserta kontess ternak nasional Tahun 2007. WIRDAHAYATI, R.B. and A. BAMUALIM. 1990. Performance production and population tructure of Bali cattle in Timor, East Nusa Tenggara (Penampilan produksi dan struktur ternak sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur). Proc. Bali Cattle Meeting. Denpasar, 20 – 23 September, 1990. P. C1.